PENDAHULUAN
Bangsa Yunani Kuno menganggap epilepsi sebagai tanda kesurupan dari para dewa;
sedangkan kebudayaan-kebudayaan lain menganggap ini sebagai ulah dari ilmu sihir jahat.
Hasil yang dicapai dari penelitian-penelitian modern mampu menyingkirkan anggapan-
anggapan tadi, namun apakah penyebabnya dan bagaimanakah penanganannya masih sulit
ditemukan.
Saat gelombang penemuan obat-obat yang bermanfaat malalui metode yang
menggunakan hewan percobaan antara tahun 1938 hingga 1960 berakhir, maka semakin
jelaslah bahwa dalam upaya mancapai kemajuan dalam penanganan epilepsi, diperlukan
pengetahuan yang lebih mendalam tentang patofisiologi seluler dari penyakit tersebut dan
mekanisme kerja obat-obat yang dapat mengatasinya. Selama empat dekade terakhir, telah
dicapai kemajuan yang berarti dalam penelitian sinaptik serebral secara umum dan kerja
obat-obat antiseizure yang ada sekarang.
Prinsip mekanisme obat-obat antiseizure meliputi kanal ion yang dioperasikan oleh
perubahan poltase serta fungsi sinaps inhibitorik dan eksitatorik. Kanal Na+ yang bergantung
pada perubahan tegangan listrik memasuki suatu keadaan tidak aktif setelah terjadi suatu
potensial aksi. Perpanjangannya keadaan tidak aktif ini – dangan perpanjangan keadaan
refrakter – dianggap sebagai suatu mekanisme utama dari phenytoin, carbamazepine, dan
lamotrigine; ini juga nerupakan mekanisme yang mendasari efek dari phenobarbital, valproate,
dan topiramate. Fenomena ini berkaitan dengan penekanan aktivitas rangsangan yang
berulang dan cepat (rapid repetive firing) pada neoron yang terisolasi dan proteksi terhadap
kejut elektrik maksimal (maksimal elektroschok) pada binatang percobaan dan fokal seizure
pada manusia.
1
efek penurunan trigliserida oleh niacin. Obat tersebut tidak mempunyai efek pada produksi
asam empedu. Ekskresi sterol netral pada tinja meningkat secara akut disebabkan
mobilisasi kolesterol dari tempat pengumpulannya di jaringan. Suatu kondisi stabil baru
yang kemudian dicapai. Selama pemberian obat tersebut secara kronis. Kolesterogenesis
dihambat, suatu efek yang tetap berlangsung pada pemberian resin pengikat asam
empedu. Penurunan sintesis kolesterol dihati maningkatkan ambilan LDL hepatis untuk
mendukung peningkatan sistesis asam empedu yang di induksi oleh resin. Tingkat
katabolisme KDL diturunkan, peningkatan kadar kolesterol HDL dan apo A-I di dalam
plasma. Proses aterogenesis atau trombosis dapat dipengaruhi penurunan sejumlah besar
kadar fibrinogen dalam sirkulasi yang diproduksi oleh niacin , dan kadar aktivator
plasminogen jaringan diduga meningkat. Niacin adalah suatu penghambat kuat pada
sistem lipase intraseluler dari jaringan adipose, yang diduga dapat menurunkan produksi
VL:DL dengan menurunkan aliran asam lemak bebas ke hati. Namun, kelanjutan
penghambatan lipolisis sebelum jelas diketahui. Niacin menurunkan kadar Lp (a) plasma
pada banyak subyek dengan suatu mekanisme yang tidak diketahui.
2
memiliki reseptor LDL yang fungsional, merupakan indikasi bahwa penurunan
kolesterologenesis secara de novo berperan pula dalam penurunan kolesterol oleh agen
tersebut. Penurunan yang sedikit dalam trigliserida plasma dan sedikit peningkatan dalam
kadar kolesterol HDL terjadi pula selama pengobatan.
B. Obat-obat Depolarisasi
1. Penyakatan fase I (depolarisasi) : succinylcholine adalah satu-satunya obat penyakat
depolarisasi neuromuskuler yang digunakan secara klinis di Amerika Serikat. Efek-efek
neuromuskulernya menyerupai acetylcholine kecuali bahwa succinylcholine
3
menghasilkan efek yang lebih lama. Succinylcholine bereaksi dengan reseptor nikotinik
untuk membuka kanal dan menyebabkan depolarisasi pada end plate, dan nantinya
senyawa ini akan menyebar dan mendepolarisasi membran-membran yang berdekatan,
menyebabkan kontraksi yang tidak terorganisasi dari unit-unit motor otot.
Hasil yang kita dapat dari perekaman kanal-tunggal mnenunjukkan adanya
penyakat-penyakat depolarisasi dapat “gerakan (flickering)” konduktans ion yang
durasinya diperpanjang. Oleh karena Succinylcholine tidak metabolisme secara efektif
pada sinaps, membran-membran yang terdepolarisasi berada dalam keadaan tetap dan
tidak memberikan respons terhadap impuls-impuls tambahan. Lagi pula, karena
penggabungan konsentrasi eksitasi membutuhkan repolarisasi end plate (“repriming”)
dan “firing” yang sifatnya ulangan untuk menjaga ketegangan otot, akibatnya terjadi
paralisis flasid. Penyakatan fase I ditingkatkan, bukan sebaliknya, dengan inhibitor-
inhibitor choline esterase.
4
dikombinasi dengan aminoglycoside didapatkan hasil bakterisid . tambahan gentamycin atau
streptomicin pada penicilin memungkinkan pemendekan durasi terapi untuk pasien-pasien
yang terseleksi dengan endokarditis streptokokkus viridan. Demikian pula ketika gentimycin
ditambahkan pada nafcillin memungkinkan pendekatan durasi terapi endokarditis sisi kanan
staphylococcus aureus pada pemakai obat intravena. Ada bukti tertentu bahwa kombinasi-
kombinasi antimikroba yang sinergistis (misalnya β-laktam ditambah pada pasien-pasien
kanker demam neutropenik dan pada infeksi-infeksi yang disebabkan Pseudomonas
aeruginosa.
Kombinasi-kombinasi antimikroba sinergistis lainnya terbukti lebih efektif daripada
monoterapi dengan komponen-komponen individual. Trimethoprim-sulfametoxazole berhasil
digunakan untuk mengobati infeksi bakteri dan pneumonia Pneumocystis carinii.
Penghambat-penghambat laktamase-𝛽 memulihkan aktivitas 𝛽-laktam yangsecara intrinsik
aktif tetapi dapat dihidrolisis terhadap organisme-organisme seperti S aureus dan Bacteroides
fragilis.
Tiga mekanisme utama sinergisme antimikroba yang telah dibangun:
a. Penyakat langkah sekuensial pada sekuens metabolisme
Trimethoprim-sulfametoxazole adalah contoh terbaik yang dikenal dari mekanisme sinergi
ini. Penyakatan dua langkah-langkah sekuensial pada jalur asam folat siklis oleh
Trimethoprim-sulfametoxazole menghasilkan jauh lebih banyak hambatan pertumbuhan
yang lengkap daripada yang dicapai oleh salah satu komponen ini secara tunggal.
5
rentan, aktivitas bakterisid berhasil. Sama halnya dengan amphotericin B yang diduga
meningkatkan ambilan flucytisine oleh fungi.
7
peningkatan kadan GABA di dalam otak setelah pemberian valprote, meskipun mekanisme
peningkatan ini masih belum jelas.
Keraguan atas relevansi peningkatan ini dengan efek terapeutik munsul karena adanya
fakta bahwa efek antikonvulsi teramati sebelum adanya peningkatan kadar GABA otak. Salah
satu efek dari valproate memfasilitasi asam glutamat dekarboksilase (glutamic acid
decarboxylase – GAD), suatu eksim yang berperan menyintesis GABA, myaitu GAT-1, yang
baru dijelaskan mungkin berperan terhadap terjadinya kerja antiseizure dari valproate. Pada
konsentrasi yang sangat tinggi, valproate menghambat GABA-T di dalam otak, kemudian
meningkatkan kadar GABA dengan menyakat perubahan GABA menjadi succinic
semialdehyde. Tetapi, pada dosis valproate yang relatif rendah yang dibutuhkan untuk
menghilangkan seizure akibat penyuntikan pentylenatetrazol, kadar GABA di dalam otak tetap
tidak berubah. Valproate menyebabkan penurunan kandungan aspartate di dalam otak
binatang pengerat, tetapi relevansi efek ini terhadap kerja antikonvulsinya masih belum
diketahui.
Pada konsentrasi tinggi, valprote tampak meningkatkan konduktans kalium pada
membran. Lebih jauh lagi, konsentrasi valproate mempunyai kerja melalui efek langsung pada
kanal kalium membran.
Valproate kemungkinan besar memiliki jangkauan kerja yang lebih dari satu
mekanisme molekuler. Kerjanya terhadap serangan seizure absen tetap masih harus
dijelaskan.
FARMAKODINAMIKA
Mekanisme Kerja
Anestetika inhalasi (dan sebagian besar anestetika intravena) secara spontan menekan
dan membangkitkan aktivitas neuron berbagai area di dalam otak. Konsep awal mekanisme
anestesi berdasarkan interaksi antara senyawa nonspesifik tersebut dengan susunan lipid
membran saraf (interaksi tersebut diperkirakan menyebabkan perubahan sekunder dari
aliran ion melalui membran). Penalaran ini berdasarkan pertimbangan perbedaan-perbedaan
struktur diantara senyawa-senyawa anestetika, di mana hal ini didukung oleh berbagai
pengamatan adanya hubungan erat antara potensi anestetis dengan kelarutan di dalam lipid
(prinsip Meyer-Overton). Kenyataan baru-baru ini menunjukkan bahwa modifikasi aliran ion
oleh senyawa anestetika dapat berbeda-beda, akan tetapi pada konsentrasi yang sama dengan
8
efektivitas klinis tampaknya melibatkan interaksinya dengan fast neurotransmitter-gated
channel family. Sebagai contoh, telah dilaporkan bahwa anestetika inhalasi menyebabkan
hiperpolarisasi membran (suatu aksi inhibisi) melalui aktivasi ligand-gated potassium
channels. Saluran semacam ini banyak didapati di seluruh sistem saraf pusat dan
berhubungan dengan beberapa neurotransmitor, seperti acetylcholine, dopamine,
norepinephrine, dan serotonin. Lebih jauh, analisis dengan patch clamp electrophysiologic
terhadap aliran ion di membran sel terkultur telah menunjukkan bahwa anestetika inhalasi
mengurangi lamanya pembukaan nicotinic receptor activated cation channels – suatu kerja
yang mengurangi efek eksitatorik dari acetylcholine pada sinap-sinaps kholinergik.
Sepuluh tahun terakhir ini, berbagai bukti telah menyimpulkan bahwa sasaran
molekuler utama dari berbagai anestetika umum adalah reseptor GABAA-kanal klorida, suatu
mediator utama dari transmisi sinaps inhibitorik.
Reseptor GABAA-kanal klorida merupakan susunan pentamerik dari lima protein yang
berasal dari beberapa subkelas polipeptida. Kombinasi dari tiga subunit utama: a, b, dan g,
diperlukan dalam fungsi-fungsi farmakologis dan fisiologis normal. Reseptor GABAA yang
terdapat di berbagai area dalam sistem saraf pusat mengandung kombinasi sub-sub unit yang
berbeda-beda dan menyebabkan sifat farmakologis yang berbeda pula pada subtipe reseptor
seperti ini.
Anestetika inhalasi dan anestetika intravena dengan sifat anestetis umum secara
lengsung mengaktifkan reseptor GABAA, akan tetapi pada konsentrasi rendah juga
memfasilitasi kerja GABA dalam meningkatkan aliran ion klorida ke dalam sel. Sebaliknya,
benzodiazepine sedatif yang tidak mempunyai sifat anestetis umum (misalnya midazolam)
mempunyai efek memfasilitasi GABA tetapi tidak mempunyai efek langsung pada reseptor
GABA, bahkan pada konsentrasi tinggi tanpa adanya GABA.
Studi rekonstruksi ulang dengan tranfected cells yang menggunakan reseptor chimeric
GABA dan mutated GABA, mengungkapkan bahwa molekul-molekul anestetika tidak
mengadakan interaksi langsung dengan tempat ikatan GABA, tetapi dengan tempat-tempat
spesifik di daerah transmembran dari sub unit alfa dan subunit beta. Kebergantungan suhu
dari efek anestetika inhalasi pada reseptor GABA dalam sistem rekonstruksi ulang sejajar
dengan efek ketergantungan suhu dari potensi anestetika pada studi dengan menggunakan
hewan.
9
Dasar neurofarmakologik dari efek yang menandai tahap-tahap anestesi tempaknya
menunjukkan adanya kepekaan yang berada dari anestetika pada neuron-neuron spesifik
atau jalur-jalur neuronal. Sel-sel substansia gelatinosa pada kornu dorsalis di sistem tulang
belakang sangat peka terhadap senyawa anestesis pada konsentrasi yang relatif rendah dalam
sistem saraf pusat. Berkurangnya aktivitas neuron didaerah ini mengganggu transmisi dari
stimulus nosiseptif. Efek ini yang mendasari dan terjadinya tahap I atau tahap analgesia. Efek
disinhibisi dari anestetika umum (tahap kedua) yang terjadi pada konsentrasi yang sangat
tinggi di otak, diakibatkan oleh kerja neuron yang sangat komplek termasuk penyakatan
beberapa neuron inhibitorik kecil misalnya, sel-sel Golgi tipe II, bersama dengan fasilitasi
paradoksal dari neurotransmiter eksitatorik. Depresi progresif dari ascending pathways (jalur
menaik) pada sistem aktivasi retikuler terjadi dalam tahap ketiga atau anastesia pembedahan
bersama, dengan terjadinya penekanan aktivitas refleks sum-sum tulang belakang, yang
menyebabkan terjadinya relaksasi otot. Neuron-neuron di dalam pusat-pusat napas dan
vasomotor pada medula relatif kurang peka terhadap efek anestetika umum, tetapi pada
konsentrasi tinggi aktivitasnya mengalami depresi yang selanjutnya mengakitkan terjadinya
gagal kardiorespirasi (tahap keempat). Akan tetapi yang masih menjadi permasalahan dalam
hal ini adalah apakah variasi regional dalam kerja anestetika berhubungan dengan variasi
regional dalam sub-sub tipe reseptor GABAA.
10
fenofibrate juga berfungsi sebagai ligan untuk PPAR-α. Efek tersebut pada lipoprotein mirip
dengan efek pada gemfibrozil, kemunginan dengan penurunan kadar LDL yang lebih besar.
TOPIRAMATE
Mekanisme Kerja
Topiramate penyakat repetive firing dari kultur neuron korda spinalis, seperti halnya
Phenytoin dancatbamazqine. Mekanisme kerjanya oleh karena itu lebih melibatkan
penyakatan kanal natrium yang bergantung voltase. Topiramate juga tampak memperkuat
efek inhibtorik dari GABA, dengan bekerja pada situs ikatan yang berbeda dari situs ikatan
benzodia zepin atau barbiturate. Topiramte juga menekan kerja eksitatorik dari kainate pada
reseptor-reseptor AMPA. Kemungkinan ketiga kerja tersebut berperan terhadap efek
antikonvulsi topiramate.
ANTIKOAGOLANSIA
Mekanisme Kerja
Antikoagulensia coumarin menyakat(bloc) g-carboxylation dari beberapa rasidu-rasidu
glutamate dalam prothrombin dan faktor-faktor VII, IX, dan X dan protein-protein
antikoagulan endogen C dan S. penyakatan tersebut menghasilkan molekul yang tidak
sempurna yang secara biologis tidak aktif dalam pembekuan (koagulasi). Karboksilasi
protein ini secara fisiologis terarangkai dengan deaktivasi oksidatif dari vitamin K.
antikoagulansia mencegah metabolisme reduktif dari epoxide vitamin K yang tidak aktif
kembali kepada bentuk hydroquinone yang aktif. Perubahan mutasional dan enzim yang
bertanggung jawab, vitamin K epoxide reductase, dapat meningkatkan kekebalan genetis
terhadap warfarin pada manusia dan terutama pada tikus.
Indometasin
Kerja
11
Indometasin (Imdocid) memiliki sifat anti-inflamasi san anti piretik. Kerja terapeutiknya
dimulai sekitar dua jam atau kurang sesudah dosis oral dan bertahan enam jam atau
lebih. Indometasi adalah salah satu obat NSAID yang paling kuat.
Rekasi Merugikan
Reaksi merugikan dari penggunaan agens ini adalah sakit kepala, vertigo, bingung, dan
sejumlah sensasi serebral lain yang terkait dosis, dan berkurang atau menghilang bila
dosisnya diturunkan. Gejala gastrointestinal, nyeri abdomen, tidak nyaman, reksia atau
ulkus peptikum dapat setiap waktu pada dosis apapun, pernah dilaporkan adanya
depresi, halusinasi, dan bahkan psikosis. Penggunaan sipositoria dapat mengurangi,
tetapi tidak mencegah iritasi gastrointestinal.
Kegunaan Klinis
Agens ini dipakai untuk gangguan reumatoid, paling bermanfaat untuk spondilitis,
gour, artritis rematoid, dan osteoartritis, terutama pangkal paha.
12