Anda di halaman 1dari 10

Tatalaksana DM tipe 1

Komponen pengelolaan DMT1 meliputi pemberian insulin, pengaturan


makan, olah raga, edukasi, dan pemantauan mandiri (IDAI, 2017):

1. Pemberian insulin
Tujuan terapi insulin adalah menjamin kadar insulin yang cukup di dalam
tubuh selama 24 jam untuk memenuhi kebutuhan metabolisme sebagai insulin
basal maupun insulin koreksi dengan kadar yang lebih tinggi (bolus) akibat efek
glikemik makanan.
Regimen insulin sangat bersifat individual, sehingga tidak ada regimen yang
seragam untuk semua penderita DMT1. Regimen apapun yang digunakan
bertujuan untuk mengikuti pola fisiologi sekresi insulin orang normal sehingga
mampu menormalkan metabolisme gula atau paling tidak mendekati normal.
Pemilihan regimen insulin harus memperhatikan beberapa faktor yaitu: umur, lama
menderita diabetes melitus, gaya hidup penderita (pola makan, jadwal latihan,
sekolah dsb), target kontrol metabolik, dan kebiasaan individu maupun
keluarganya. • Regimen apapun yang digunakan, insulin tidak boleh dihentikan
pada keadaan sakit. Dosis insulin disesuaikan dengan sakit penderita dan
sebaiknya dikonsulkan kepada dokter. • Bagi anak-anak sangat dianjurkan paling
tidak menggunakan 2 kali injeksi insulin per hari (campuran insulin kerja cepat/
pendek dengan insulin basal) (Danne, Bangstad, Deeb, Jarosz-Cobot, & Mungiae,
2014).
Dosis insulin harian, tergantung pada: Umur, berat badan, status pubertas,
lama menderita, fase diabetes, asupan makanan, pola olahraga, aktifitas harian,
hasil monitoring glukosa darah dan HbA1c, serta ada tidaknya komorbiditas.
Dosis insulin (empiris):
 Dosis selama fase remisi parsial, total dosis harian insulin <0,5 IU/
kg/hari
 Prepubertas (diluar fase remisi parsial) dalam kisaran dosis 0,7–1
IU/kg/hari
 Selama pubertas kebutuhan biasanya meningkat menjadi 1.2–2 IU/kg/hari

Tabel 1.1 Jenis sediaan insulin dan profil kerjanya

2. Penyesuaian dosis insulin


Penyesuaian dosis insulin bolus dapat dilakukan dengan memperhitungkan
rasio insulin bolus-karbohidrat, yaitu dengan cara memperhitungkan rasio dosis
insulin bolus harian dengan total karbohidrat harian. Penyesuaian dosis insulin
juga dapat dilakukan dengan jalan memperhitungkan rasio insulin-karbohidrat
(menggunakan rumus 500). Angka 500 dibagi dengan dosis insulin total harian
hasilnya dinyatakan dalam gram, artinya 1 unit insulin dapat mencakup sejumlah
gram karbohidrat dalam diet penderita (Danne et al., 2014).
Koreksi hiperglikemia: dapat dilakukan dengan rumus 1800 bila
menggunakan insulin kerja cepat, dan rumus 1500 bila menggunakan insulin kerja
pendek. Angka 1800 atau 1500 dibagi dengan insulin total harian hasilnya dalam
mg/dL, artinya 1 unit insulin akan menurunkan kadar glukosa darah sebesar hasil
pembagian tersebut dalam mg/dL. Hasil perhitungan dosis koreksi ini bersifat
individual dan harus mempertimbangkan faktor lain misalnya latihan (Danne et al.,
2014).
3. Pengaturan makan
Pada regimen konvensional, pengaturan makan dengan memperhitungkan
asupan dalam bentuk kalori. Pada regimen basal-bolus, pengaturan makan dengan
memperhitungkan asupan dalam bentuk gram karbohidrat. Pemilihan jenis
makanan dianjurkan karbohidrat dengan indeks glikemik dan glicemic load yang
rendah (Rewers, Pillay, Beaufort, Craig, & Hanas, 2014).
4. Olahraga
Berikut ini adalah petunjuk mengenai beberapa penyesuaian diet, insulin, dan
cara monitoring gula darah agar aman berolahraga bagi anak dan remaja DMT 1
(Roberson, Riddle, Guinhouya, Hanas, & Adolfson, 2014).
a. Sebelum berolahraga
1) Tentukan waktu, lama, jenis, intensitas olahraga. Diskusikan dengan
pelatih/guru olah raga dan konsultasikan dengan dokter.
2) Asupan karbohidrat dalam 1-3 jam sebelum olahraga.
3) Cek kontrol metabolik, minimal 2 kali sebelum berolahraga.
4) Jika glukosa darah < 5 mmol/L) dan cenderung turun, tambahkan ekstra
karbohidrat e. Jika glukosa darah 90-250 mg/dL (5-14 mmol/L) tidak
diperlukan ekstra karbohidrat (tergantung lama aktifitas dan respons
individual).
5) Jika glukosa darah >250 mg/dL dan keton urin/darah (+), tunda olah raga
sampai glukosa darah normal dengan insulin
6) Bila olah raga aerobik, perkirakan energi yang dikeluarkan dan tentukan
apakah penyesuaian insulin atau tambahan karbohidrat diperlukan
7) Bila olah raga anaerobik atau olah raga saat panas, atau olahraga
kompetisi sebaiknya insulin dinaikkan
8) Pertimbangkan pemberian cairan untuk menjaga hidrasi (250 mL pada 20
menit sebelum olahraga)
b. Selama berolahraga
1) Monitor glukosa darah tiap 30 menit
2) Teruskan asupan cairan (250 ml tiap 20-30 menit)
3) Konsumsi karbohidrat tiap 20-30 menit, bila diperlukan

c. Setelah berolahraga
1) Monitor glukosa darah, termasuk sepanjang malam (terutama bila tidak
biasa dengan program olahraga yang sedang dijalani).
2) Pertimbangkan mengubah terapi insulin, dengan menurunkan dosis insulin
basal
3) Pertimbangkan tambahan karbohidrat kerja lambat dalam 1-2 jam setelah
olahraga untuk menghindari hipoglikemia awitan lambat. Hipoglikemia
awitan lambat dapat terjadi dalam interval 2 x 24 jam setelah latihan.

d. Pemantauan glukosa darah mandiri


Pemantauan glukosa darah mandiri memungkinkan pasien untuk melakukan
penyesuaian insulin terhadap makanan yang dikonsumsi menjadi lebih baik dan
memungkinkan pasien DM untuk mengkoreksi kadar glukosa darah yang berada
diluar target sehingga dapat memperbaiki kadar HbA1c. Pemantauan glukosa
darah mandiri selama olahraga memungkinkan penyesuaian dosis insulin sebelum
dan selama olahraga sehingga mengurangi risiko terjadinya hipoglikemia selama
dan setelah olahraga (Rewers et al., 2014).
Frekuensi pemantauan glukosa darah mandiri berbeda-beda untuk masing-
masing individu tergantung dari ketersediaan alat dan kemampuan anak untuk
mengidentifikasikan hipoglikemia. Untuk mengoptimalkan kontrol glikemik maka
pemantauan glukosa darah mandiri harus dilakukan 4-6 kali sehari (Rewers et al.,
2014).
 Pagi hari setelah bangun tidur untuk melihat kadar glukosa darah
setelah puasa malam hari.
 Setiap sebelum makan.
 Pada malam hari untuk mendeteksi hipoglikemia atau hiperglikemia.
 1,5-2 jam setelah makan.

Pemantauan glukosa darah mandiri dilakukan secara lebih sering pada


olahraga dengan intensitas tinggi yaitu sebelum, selama dan setelah melakukan
kegiatan tersebut (Rewers et al., 2014).

Tabel 1.2 target glukosa darah


Tatalaksana hepatitis

1. Hepatitis A
Pada kasus tanpa komplikasi akut, umumnya cukup dengan perawatan suportif,
berupa tirah baring, diet, dan terapi simptomatik. Penderita sebaiknya tidak bekerja
selama fase akut (hingga 10 hari dari sejak timbulnya ikterus), dianjurkan mengonsumsi
diet tinggi kalori, menghindari alkohol dan obat-obat hepatotoksik, seperti anti-kejang
dan antituberkulosis. Perawatan di rumah sakit diperlukan bila terdapat mual dan
muntah disertai dehidrasi yang memerlukan pemberian cairan intravena. Penderita
dengan tanda/gejala gagal hati akut juga perlu dirawat di rumah sakit. Parasetamol
diberikan secara hati-hati untuk mengurangi rasa nyeri dan/ atau demam, dengan dosis
maksimum 3-4 g/hari pada orang dewasa. Mual dan muntah dapat diobati dengan anti-
emetik. Terapi lainnya sesuai dengan komplikasi spesifik yang timbul (Matherny &
Kingery, 2012).
Transplantasi hati dapat dipertimbangkan pada kasus FHF, meskipun 60% penderita
dapat sembuh dengan terapi suportif. Pernah dilaporkan adanya rekurensi penyakit
pasca-tindakan (Gane, SAllie, Saleh, Portmann, & William, 1995). Tindakan transplantasi
memerlukan prosedur life-saving dan proses seleksi yang rumit. Keterlambatan tindakan
akan menimbulkan komplikasi berat, berupa gagal ginjal, koagulopati, dan edema
serebral. Waktu tunggu yang lama untuk transplantasi juga dapat memperburuk
outcome. Transplantasi hati telah dilakukan pada penderita hepatitis A relaps dengan
dekompensasi hati dan hasilnya baik, meskipun terjadi rekurensi penyakit pascatindakan
(Matherny & Kingery, 2012)
2. Hepatitis B
Penatalaksaan
1. Asupan kalori dan cairan yang adekuat
2. Tirah baring
3. Pengobatan simptomatik
a. Demam : ibuprofen 2x400mg/hari
b. Mual : antiemetik seperti Metoklopramid 3x10mg/hari atau
Domperidon 2x10mg/hari
c. Perut begah atau kembung : H2 blocker 9cimetidin 3x200mg/hari atau
ranitidine 2x150 mg/hari) atau PPI (Proton pum Inhibitor) seperti
omeprazole1x20 mg/hari
3. Hepatitis C
a. Tujuan dan indikasi terapi
Pemberian terapi antivirus DAA (Direct Acting Antiviral) diindikasikan pada
seluruh pasien naive dan gagal terapi dengan penyakit hati kompensata dan
dekompensata. Pemberian terapi antivirus pada pasien dengan sirosis hati
kompensata ditujukan untuk mengurangi risiko komplikasi terjadinya sirosis hati
dekompensata dan risiko terjadinya karsinoma hepatoselular. Pada pasien hepatitis
C akut, dapat dipertimbangkan pemberian terapi antivirus (Kemenkes RI, 2017).
Tabel 1.3 Indikasi terapi hepatitis C kronik

b. Kontraindikasi terapi
Terdapat beberapa kontraindikasi atau perhatian khusus pada manajemen
terapi dengan beberapa regimen DAA, terutama terkait dengan fungsi hati dan ginjal.
Dalam hal ini, setiap regimen yang berbasis sofosbuvir dikontraindikasikan bila
terdapat kondisi gagal ginjal dengan eGFR < 30 ml/menit/1,73m2 , sementara
simeprevir dan elbasvir/grazoprevir dikontraindikasikan pada sirosis child Pugh B
atau C. Diperlukan kewaspadaan dan perhatian khusus pada penggunaan obat-
obatan lain terkait dengan kemungkinan interaksi obat (Kemenkes RI, 2017).
Tabel 1.4 Kontraindikasi penggunaan Peg-Interferon alfa dan Ribavirin

c. Terapi
Pasien dengan infeksi VHC akut dapat diterapi menggunakan regimen
sofosbuvir/ledipasvir (genotipe 1, 4, 5, atau 6), dan kombinasi sofosbuvir daclatasvir
(semua genotipe) selama 8 minggu. Apabila terdapat koinfeksi HIV atau kadar RNA
VHC > 1 juta IU/mL, terapi perlu diperpanjang hingga 12 minggu (Kemenkes RI,
2017).
Gambar 1.1 Algoritma Penanganan Hepatitis C
Danne, T., Bangstad, H., Deeb, L., Jarosz-Cobot, P., & Mungiae, L. (2014). ISPAD
Clinical Practice Consensus Guidelines 2014 Compendium: Insulin treatment in
children and adolescents with diabetes. 2Pediatric Diabetes, 15(20), 115–134.

Gane, E., SAllie, R., Saleh, M., Portmann, B., & William, R. (1995). Clinical
recurrence of hepatitis A following liver transplantation for acute liver failure. J
Med Virology, 45(1), 35–39.

IDAI. (2017). Diagnosis dan Tatalaksana Diabetes Melitus Tipe 1 pada Anak dan
Remaja. UKK Endokrinologi IDAI.

Kemenkes RI. (2017). Tatalaksana Hepatitis C. Jakarta: Direktorat Jenderal


Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Ri.

Matherny, S., & Kingery, J. (2012). Hepatitis A. American Family Physician, 86(11),
1027–1034.

Rewers, M., Pillay, K., Beaufort, C. de, Craig, M., & Hanas, R. (2014). ISPAD
Clinical Practice Consensus Guidelines 2014 Compendium: Assessment and
monitoring of glycemic control in children and adolescents with diabetes.
Pediatric Diabetes, 15(20), 102–114.
Roberson, K., Riddle, M., Guinhouya, B., Hanas, R., & Adolfson, P. (2014). No
Title. Pediatric Diabetes2, 15(20), 203–230.

Anda mungkin juga menyukai