Anda di halaman 1dari 10

KLIPING SEJARAH INDONESIA

DISUSUN OLEH
NAMA : MUH ARIO.P
NIS : 8742
KELAS : XII 𝑴𝑰𝑷𝑨𝟐
30 September 1965

Menjelang G30S 1965 Ahmad Yani Tahu


Dirinya akan Diculik

Letnan Jenderal Ahmad Yani dan Letnan Kolonel Untung. tirto.id/Sabit


Oleh: Petrik Matanasi - 30 September 2018

Dibaca Normal 2 menit

Luput dan lengah.


Noda sejarah pada
malam berdarah.

- Kalender tanggal 30 September 1965 jatuh pada hari Kamis. Pukul 08.00, Brigadir
Jenderal M. Sabur menemui Presiden Sukarno guna menyerahkan sebuah berkas soal
pergantian Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad). Kala itu Menpangad dijabat
Letnan Jenderal Ahmad Yani.

Sedari 6 Maret 1962, Yani adalah orang nomor satu di Angkatan Darat. Sukarno kemudian
menorehkan tanda tangan dalam rancangan pergantian itu. Surat tersebut lalu diteruskan
sekretaris presiden, Yamin.

Orang yang rencananya menggantikan Yani adalah Mayor Jenderal Moersjid. Sama seperti
Yani, Moersjid punya darah Bagelen. Ayahnya berasal dari daerah di Purworejo itu dan
ibunya berdarah Betawi. Jenderal kelahiran Jakarta, 10 Desember 1924 ini, menurut Harsya
Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD (1989: 208-209), juga pernah dinas di
PETA, seperti Yani. Moersjid adalah Shodancho PETA Jakarta.
Sukarno sudah bertanya ke Moersjid soal kesediaannya pada sore 29 September 1965.
Seperti ditulis Anthony C.A. Dake dalam Soekarno File (2005: 31) dan dicatat buku Kronik
’65 (2017: 218) yang disusun Kuncoro Hadi dan kawan-kawan, Moersjid menjawab: “Saya
bersedia menerimanya.”

Antara Sugandhi, Sukarno, dan Yani


Tiga jam setelahnya, sekitar pukul 11.00, Brigadir Jenderal Sugandhi, salah satu orang
dekat Sukarno, datang menghadap sang presiden. Kala itu Sugandhi adalah anggota DPR-
GR. Kepada Sukarno, Gandhi bercerita dirinya telah bertemu dengan D.N. Aidit dan
Sudisman. “Keduanya mengajak Sugandhi untuk bergabung dalam aksi melawan Dewan
Jenderal,” catat Kuncoro Hadi dan kawan-kawan (2017: 223).

Menurut Victor M. Fic dalam Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang
Konspirasi (2005: 110-111), mereka berdua bilang jika Sukarno sudah tahu. Sebagai
ajudan presiden, Gandhi hendak mengkonfirmasi soal tindakan terhadap para
jenderal ini ke Sukarno. Gandhi tentu bertanya tentang tahu atau tidaknya presiden
soal itu. Sukarno dengan nada marah menyuruh agar Gandhi jangan ikut campur.
Sukarno menambahkan pula, “Kamu jangan PKI-phobi!”.

Victor M. Fic menceritakan, Gandhi berusaha menjelaskan bahwa Yani setia kepada
presiden. Tapi Sukarno tidak termakan penjelasan Gandhi.

“Sudah! Jangan banyak bicara, jangan ikut-ikut. Kamu tahu dalam revolusi menurut
Thomas Carlyle, seorang Bapak dapat memakan anaknya sendiri,” kata Sukarno.

“Waduh, kalau begitu bapak ini sudah jadi PKI,” timpal Gandhi.

“Diam kamu! Tak tempeleng pisan kowe. Sudah sudah pulang sana. Yang ngati-ati,”
pesan Sukarno yang berusaha menahan amarah.

Sugandhi tidak sakit hati dengan omongan Sukarno nan kasar. Itu hal biasa baginya.

Cerita soal pertemuan antara Gandhi dengan Sukarno tak hanya dicatat McFic.
Amelia Yani, putri Ahmad Yani, juga mencatat hal yang kurang-lebih sama
dalam Ahmad Yani, Sebuah Kenang-kenangan (1981: 299). Setelah siang yang
panas bersama Sukarno itu, Gandhi pun berusaha melaporkannya kepada Yani. Ia
berusaha secepatnya, namun Yani sulit ditemui. Sugandhi lalu menelepon, tapi Yani
sedang menerima kedatangan Mayor Jenderal Basoeki Rachmat.

Menurut Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (2006), Yani akhirnya
hanya bisa bicara lewat telepon. Yani tidak yakin akan penculikan atas dirinya. Dari
pembicaraan itu, menurut Gandhi seperti dikutip Rum Aly, "rasa percaya diri Yani masih
cukup kuat sepanjang hubungannya dengan Sukarno” (hlm. 118).
Yani merasa omongan Sudisman dan Aidit yang katanya akan menindak jenderal adalah
pancingan belaka.

Yani sendiri pernah mendapat informasi dari Mayor Jenderal Suwondo Parman, asisten intel
Menpangad, tentang adanya gerakan pada 19-20 September 1965 yang dimotori PKI. Tapi
gerakan itu tidak terjadi. Laporan Gandhi tentu dimentalkan Yani. Meski begitu, Yani
berpesan, “kita harus berhati-hati.”

Jelang malam 30 September 1965, tepat hari ini 53 tahun lalu, Yani tidak berusaha
menambah jumlah pasukan pengawal untuk dirinya sendiri.

Pada dini hari 1 Oktober 1965, rumah Yani pun disatroni Pasukan Pasopati, yang jumlahnya
cukup untuk melumpuhkan penjagaan di kediamannya. Ketika bertemu pasukan penculik,
Yani yang merasa diperlakukan dengan kurang ajar sempat mengadakan perlawanan
hingga dia ditembak Sersan Gijadi.
Setelah Tanggal 30 Berakhir
Mayor Jenderal Moersjid, sebelum 30 September, adalah Deputi I (Operasi) Menpangad.
Dia dianggap orang nomor dua di Angkatan Darat setelah Yani. Menurut catatan Julius Pour
di harian Kompas (24/8/2008), Moersjid yang dicap tukang gelut konon termasuk dalam
daftar jenderal yang akan diculik juga. Meski sumber lain menyebut Ahmad Sukendro lah
sasaran yang tidak jadi diculik.

Moersjid tak pernah mengisi jabatan Menpangad, meski Ahmad Yani terbunuh dan
rencananya pada 6 Oktober 1965 akan ada serah terima jabatan. Dia juga tidak pernah
menuntut jabatan yang disodorkan Sukarno itu. Reputasi Moersjid sebagai tukang gelut
dinilai membahayakan jika diangkat menggantikan Yani di masa kacau tersebut.

Sukarno sempat menunjuk Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro, jenderal berdarah


Bagelen yang lain, untuk menjadi pejabat Menpangad. Niatan Sukarno ini tak pernah
terwujud. Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto yang kemudian menjadi nomor satu di
Angkatan Darat.

Baik Moersjid maupun Pranoto belakangan jadi tahanan. Karier mereka mati, hanya sampai
mayor jenderal. Moersjid sempat dijadikan Wakil Menteri Koordinator Pertahanan sebelum
ditahan selama empat tahun tanpa kejelasan. Moersjid pernah juga dijadikan Duta Besar
Indonesia untuk Filipina sebelum namanya rusak.

Penulis: Petrik Matanasi

Yani merasa omongan Sudisman dan Aidit yang


katanya akan menindak jenderal adalah pancingan.
Seri Huru-Hara 1965

Ramai-Ramai Tak Mengakui G30S pada 3


Oktober 1965

Oleh: Petrik Matanasi - 3 Oktober 2018


Dibaca Normal 2 menit
Beberapa pejabat menyangkal soal keterlibatannya dalam Dewan Revolusi dan
tetap berdiri di belakang Presiden Sukarno.
- Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) adalah angkatan paling sial setelah 30
September 1965. Ketika ada pihak-pihak yang meragukan kesetiaan AURI kepada
Presiden Sukarno, maka Sukarno sebaliknya. “Itu anak lanangku,” katanya, agar
semua tahu AURI itu ibarat anak laki-laki yang bisa diandalkan.

Hingga kini AURI rawan kena serang jika terkait isu G30S. Selain karena Pahlawan
Revolusi terbunuh di Lubang Buaya yang tak jauh dari kompleks pangkalan udara
Halim Perdana Kusumah, D.N. Aidit yang nebeng pesawat AURI ke Yogyakarta juga
jadi bahan untuk menyudutkan institusi pertahanan udara ini.

Sebagai anak lanang, AURI pernah dibela Sukarno dalam sebuah pengumuman.

“Saudara-saudara sekalian. Berhubung dengan beberapa kesalah-pahaman yang


dapat menimbulkan pertentangan tentara antara pihak-pihak dalam Angkatan
Bersenjata, dan menghilangkan keraguraguan masyarakat, dan untuk membina
kesatuan dan persatuan nasional yang lebih kokoh dalam rangka perjuangan
dwikora dengan ini saya sebagai Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar
Revolusi mengumumkan bahwa: 1. Tuduhan terhadap AURI tentang tersangkutnya
dalam Gerakan 30 September ini adalah tidak benar; 2. Kepergian saya ke
Pangkalan Udara Halim, pada tanggal 1 Oktober pagi-pagi adalah atas kehendak
saya sendiri, karena saya berpendapat bahwa tempat yang terbaik bagiku adalah
tempat dekat dengan kapal udara, yang dapat mengangkut saya tiap saat ke tempat
lain kalau terjadi suatu yang tidak diharap; 3. Kita harus tetap waspada jangan
sampai AURI dan Angkatan Darat dapat diadu-dombakan sehingga pihak nekolim
dan pihak lain akan dapat keuntungannya,” kata Sukarno, seperti dikutip buku Kronik
’65 (2017: 307).

Dari pihak AURI sendiri, lewat Surat Pernyataan Nomor 5/207/65 lewat RRI,
Laksamana Madya Omar Dani selaku Menpangau menyebut bahwa AURI tidak ada
sangkut pautnya dengan G30S. Selain itu, AURI berdiri mendukung pembersihan
unsur G30S.

PKI Mulai Tertuduh


Tak hanya AURI, Kronik ’65 (hlm. 300-323) menyebut, pada 3 Oktober 1965, tepat hari ini
53 tahun lalu, angkatan lain juga mengeluarkan pernyataan sikap dalam situasi kacau
setelah 30 September 1965. Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), lewat Deputi I
Menpangal, Laksamana Madya Moeljadi, dengan atas nama Menpangal, mengeluarkan
pernyataan sikap: ALRI tetap loyal kepada Presiden Sukarno dan siap sedia menerima
komando dari Presiden

Sementara itu, Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI) memberi pernyataan bahwa
perwira polisi yang ada dalam daftar Dewan Revolusi adalah tidak benar. Kepolisian siap
menunggu perintah dari Mayor Jenderal Soeharto. Menteri Panglima Angkatan Kepolisian
Sutjipto Joedodihardjo juga membantah dan tidak tahu apa-apa soal namanya tercantum
dalam Dewan Jenderal.

Departemen-departemen juga tidak ketinggalan. Departemen Urusan Perhubungan


bersama alim ulama hanya mengakui kepemimpinan Presiden Sukarno dan menyatakan
bahwa Gerakan 30 September dan Dewan Revolusinya adalah gerakan kontra-
revolusioner.

Departemen Pekerjaan Umum (Bina Marga) juga menyatakan hal sama, tidak mengakui
G30S dan tetap setia kepada Presiden Sukarno.

Sementara Departemen Perindustrian Dasar merilis Surat Pernyataan nomor


223/M/Perdas/65 yang mengimbau agar semua tugas dilaksanakan seperti biasa dan tetap
berdiri di belakang presiden.

Pada 3 Oktober 1965 itu pula, di Solo terjadi demonstrasi penolakan terhadap pendirian
Dewan Revolusi. Bentrokan dengan orang-orang komunis juga terjadi. Buku Kronik ’65 (hlm.
302) mencatat, di Demak juga terjadi hal serupa.

Di Aceh sudah tersebar berita bahwa PKI adalah dalang G30S. Di hari itu juga, Brigadir
Jenderal Ishak Djuarsa, selaku Panglima Daerah Pertahanan A dan Penguasa Pelaksana
Dwikora Daerah (Papelrada) Aceh, lewat Surat Keputusan No.Kep/Papelrada-29/10/1965,
membekukan semua kegiatan PKI.
Jenazah Jenderal Ditemukan
Setelah sulit untuk melaksanakan perintah Sukarno, karena terhalangi oleh Mayor Jenderal
Soeharto pada hari-hari sebelumnya, Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra akhirnya
menjalankan tugasnya sejak 3 Oktober 1965 selaku caretaker Menpangad. Di hari itu,
Pranoto memberi pengumuman kepada jajaran Angkatan Darat. Mulai dari tamtama,
bintara, hingga perwira.

“TNI/Angkatan Darat sepenuhnya dan tanpa reserve setia dan patuh kepada Paduka Yang
Mulia Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dan akan
melaksanakan amanat beliau sebaik-baiknya,” kata Pranoto, seperti tercatat dalam Catatan
Jenderal Pranoto Reksosamodra: dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya (2014: 192-
193).

Selain itu, selaku caretaker Menpangad, Pranoto juga akan mendukung langkah-langkah
daripada Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto dalam memulihkan keadaan Indonesia
yang sedang kacau.

Nan jauh di Kedung Tambun, seperti dicatat pula dalam Kronik ’65 (hlm. 312), sebanyak 20
personil Batalyon 454 yang kabur dari Halim Perdanakusumah setelah diserbu RPKAD
berhasil ditangkap pada pukul 14.15. Kemungkinan mereka hendak kabur ke Jawa tengah.
Malamnya, Njono, salah satu pimpinan PKI Jakarta, juga berhasil ditangkap di Salemba,
Jakarta. Waktu tertangkap, dia mengaku bernama Sugijono.

Jelang senja, sekitar pukul 17.15, lokasi jenazah para korban yang diculik dan terbunuh
pada 1 Oktober 1965 berhasil ditemukan satuan Resimen Para Komando Angkatan Darat
(RPKAD) di kawasan hutan karet Lubang Buaya. Penemuan itu berkat informasi dari Agen
Polisi Tingkat II Sukitman, yang ikut terculik tapi tak dihiraukan pasukan penculik.

Malamnya, sekitar pukul 22.00, Letnan Dua Sintong Panjaitan melaporkan kepada Letnan
Satu Feisal Tanjung soal penemuan itu. Berhubung hari sudah malam serta belum siap
untuk melakukan pengangkutan, malam itu jenazah belum bisa diapa-apakan di lokasi
penemuan.

Penulis: Petrik Matanasi

Pada 3 Oktober 1965, sudah tersebar berita bahwa PKI


adalah dalang G30S.

Anda mungkin juga menyukai