Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

TUBERKULOSIS PARU (TB)

DI RUANG DAHLIA 1

RSPI PROF DR SULIANTI SAROSO

NURELIYATIN

18180100130

PROGRAM PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU

JAKARTA

2019
A. Pengertian
Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan
Mycobacterium tuberculosi yang menyerang paru-paru dan hampir seluruh organ
tubuh liannya. Bakteri ini dapat masuk melalui saluran pernafasan dan saluran
pencernaan (GI) dan luka terbuka pada kulit. Tetapi paling banyak melalui inhalasi
droplet yang berasal dari orang yang terinfeksi bakteri tersebut. (Sylvia
A.Price,2006)
Tuberculosis adalah penyakit menular yang dsebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis, ditularkan melalui percikam dahak (droplet) dari penderita
tuberculosis kepada individu yang rentan. Sebagian besar kuman Mycobacterium
tuberculosis menyerang paru, namun dapat juga menyerang organ lain seperti
pleura, selaput otak, kulit, kelenjar limfe, tulang, sendi, usus, sistem urogenital,dan
lain-lain (Kemenkes RI, 2015).
Klasifikasi tuberculosis dari sistem lama :
1. Pembagian secara patologis
 Tuberculosis primer
 Tuberculosis post primer
2. Pembagian secara aktivitas radiologis Tuberkulosis paru (Koch pulmonum)
aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang menyembuh)
3. Pembagian secara radilogis (luas lesi)
 Tuberculosis minimal
 Moderately advanced tuberculosis
 Far advanced tuberculsis
Klasifikasi menurut American Thoracic Society :
1. Kategori 0 : Tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak
negative, tes tuberculin negatif
2. Kategori 1 : Terpajan tuberculosis, tapi tidak terbukti ada infeksi, riwayat
kontak positif, tes tuberculi negatif
3. Kategori 2 : Terinfeksi tuberculosis, tetapi tidak sakit, tes tuberculin positif,
radiologi dan sputum negatif
4. Kategori 3 : Terinfeksi tuberculosis dan sakit
Klasifikasi di Indonesia dipakai berdasarkan kelainan klinis, radilogis dan
makrobiologis:
1. Tuberculosis paru
2. Bekas tuberculosis paru
3. Tuberculosis paru tersangka, yang terbagi dalam :
 TB tersangka yang diobati : Sputum BTA (-), tetapi tanda-tanda lain
positif
 TB tersangka yang tidak diobati : sputum BTA (-) dan tanda-tanda lain
juga meragukan.
Klasifikasi menurut WHO 1991 TB dibagi dalam 4 kategori yaitu :
1. Kategori 1, ditujukan terhadap :
 Kasus baru dengan sputum positif
 Kasus baru dengan bentuk TB berat
2. Kategori 2, ditujukan terhadap :
 Kasus kambuh
 Kasus gagal dengan sputum BTA positif
3. Kategori 3, ditujukan terhadap :
 Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang luas
 Kasus TB ekstra par selain yang disebut dalam kategori
4. Kategori 4, ditujukan terhadap : TB kronik

B. Anatomi Fisiologi
Anatomi
1. Hidung
Hidung atau nasal merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai
dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Di
dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu, dan
kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung (Syaifuddin, 2006).
Di bagian depan berhubungan keluar melalui nares (cuping hidung)
anterior dan di belakang berhubungan dengan bagian atas farings
(nasofaring). Masing-masing rongga hidung dibagi menjadi bagian
vestibulum, yaitu bagian lebih lebar tepat di belakang nares anterior, dan
bagian respirasi (Graaff, 2010).
Menurut Pearce (2007) permukaan luar hidung ditutupi oleh kulit yang
memiliki ciri adanya kelenjar sabesa besar, yang meluas ke dalam vestibulum
nasi tempat terdapat kelenjar sabesa, kelenjar keringat, dan folikel rambut
yang kaku dan besar. Rambut ini berfungsi menapis benda-benda kasar yang
terdapat dalam udara inspirasi.
Terdapat 3 fungsi rongga hidung :
1) Dalam hal pernafasan = udara yang di inspirasi melalui rongga hidung
akan menjalani 3 proses yaitu penyaringan (filtrasi), penghanatan, dan
pelembaban.
2) Ephithelium olfactory = bagian meial rongga hidung memiliki fungsi
dalam penerimaan bau.
3) Rongga hidung juga berhubungan dengan pembentukan suara- suara
fenotik dimana ia berfungsi sebagai ruang resonasi.
2. Faring
Tekak atau faring merupakan tempat persimpangan antara jalan
pernapasan dan jalan makanan. Terdapat dibawah dasar tengkorak,
dibelakang rongga hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang leher.
Hubungan faring dengan organ-organ lain keatas berhubungan dengan rongga
hidung, dengan perantaraan lubang yang bernama koana. Ke depan
berhubungan dengan rongga mulut, tempat hubungan ini bernama istmus
fausium. Ke bawah terdapat dua lubang, ke depan lubang laring, ke belakang
lubang esofagus (Syaifuddin, 2006).
Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa tempat
terdapat folikel getah bening. Perkumpulan getah bening ini dinamakan
adenoid. Disebelahnya terdapat 2 buah tonsilkiri dan kanan dari tekak. Di
sebelah belakang terdapat epiglottis (empang tenggorok) yang berfungsi
menutup laring pada waktu menelan makanan (Syaifuddin, 2006).
Menurut Graaff (2010) Faring dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Nasofaring, yang terletak di bawah dasar tengkorak, belakang dan atas
palatum molle. Pada bagian ini terdapat dua struktur penting yaitu
adanya saluran yang menghubungkan dengan tuba eustachius dan tuba
auditory. Tuba Eustachii bermuara pada nasofaring dan berfungsi
menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membrane timpani.
Apabila tidak sama, telinga terasa sakit. Untuk membuka tuba ini, orang
harus menelan. Tuba Auditory yang menghubungkan nasofaring dengan
telinga bagian tengah.
2) Orofaring merupakan bagian tengah farings antara palatum lunak dan
tulang hyodi. Pada bagian ini traktus respiratory dan traktus digestif
menyilang dimana orofaring merupakan bagian dari kedua saluran ini.
Orofaring terletak di belakang rongga mulut dan permukaan belakang
lidah. Dasar atau pangkal lidah berasal dari dinding anterior orofaring,
bagian orofaring ini memiliki fungsi pada system pernapasan dan system
pencernaan. refleks menelan berawal dari orofaring menimbulkan dua
perubahan makanan terdorong masuk ke saluran cerna (oesophagus) dan
secara stimulant, katup menutup laring untuk mencegah makanan masuk
ke dalam saluran pernapasan. Orofaring dipisahkan dari mulut oleh
fauces. Fauces adalah tempat terdapatnya macam-macam tonsila, seperti
tonsila palatina, tonsila faringeal, dan tonsila lingual.
3) Laringofaring terletak di belakang larings. Laringofaring merupakan
posisi terendah dari farings. Pada bagian bawah laringofaring system
respirasi menjadi terpisah dari sitem digestif. Udara melalui bagian
anterior ke dalam larings dan makanan lewat posterior ke dalam
esophagus melalui epiglottis yang fleksibel.
3. Laring
Pangkal Tenggorokan (laring)merupakan saluran udara dan bertindak
sebagai pembentukan suara terletak di depan bagian faring sampai ketinggian
vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakea dibawahnya. Pangkal
tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah empang tenggorok yang disebut
epiglotis, yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berfungsi pada waktu
kita menelan makanan menutupi laring (Syaifuddin, 2006).
Laring terdiri dari 5 tulang rawan antara lain:
1) Kartilago tiroid (1 buah) depan jakun sangat jelas terlihat pada pria.
2) Kartilago ariteanoid (2 buah) yang berbentuk beker
3) Kartilago krikoid (1 buah) yang berbentuk cincin
4) Kartilago epiglotis (1 buah).
Laring dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian epiglotis
yang dilapisi oleh sel epitelium berlapis (Syaifuddin, 2006).
Proses pembentukan suara :
Terbentuknya suara merupakan hasil dari kerjasama antara rongga mulut,
rongga hidung, laring, lidah dan bibir. Pada pita suara palsu tidak terdapat
otot, oleh karena itu pita suara ini tidak dapat bergetar, hanya antara kedua
pita suara tadi dimasuki oleh aliran udara maka tulang rawan gondok dan
tulang rawan bentuk beker tadi diputar. Akibatnya pita suara dapat
mengencang dan mengendor dengan demikian sela udara menjadi sempit atau
luas (Syaifuddin, 2006).
Pergerakan ini dibantu pula oleh otot-otot laring, udara yang dari paru-
paru dihembuskan dan menggetarkan pita suara. Getaran itu diteruskan
melalui udara yang keluar – masuk. Perbedaan suara seseorang bergantung
pada tebal dan panjangnya pita suara. Pita suara pria jauh lebih tebal daripada
pita suara wanita (Syaifuddin, 2006).
4. Trakea
Batang Tenggorokan (trakea)merupakan lanjutan dari laring yang
terbentuk oleh 16-20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang
berbentuk seperti kuku kuda. Panjang trakea 9-11 cm dan dibelakang terdiri
dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos. Sebelah dalam diliputi oleh
selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia hanya bergerak
kearah luar (Syaifuddin, 2006).
Trakea terletak di depan saluran esofagus, mengalami percabangan di
bagian ujung menuju ke paru-paru. Yang memisahkan trakea menjadi
bronkus kiri dan kanan disebut karina. Dinding-dinding trakea tersusun atas
sel epitel bersilia yang menghasilkan lendir. Lendir ini berfungsi untuk
penyaringan lanjutan udara yang masuk, menjerat partikel-partikel debu,
serbuk sari dan kontaminan lainnya. Sel silia berdenyut akan menggerakan
mukus ini naik ke faring yang dapat ditelan atau dikeluarkan melalui rongga
mulut. Hal ini bertujuan untuk membersihkan saluran pernapasaan (Graaff,
2010).
5. Bronkus
Bronkus terbagi menjadi bronkus kanan dan kiri, bronkus lobaris kanan (
3 lobus) dan bronkus lobaris kiri ( 2 bronkus). Bronkus lobaris kanan terbagi
menjadi 10 bronkus segmental dan bronkus lobaris kiri terbagi menjadi 9
bronkus segmental. Bronkus segmentalis ini kemudian terbagi lagi menjadi
bronkus subsegmental yang dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki
arteri, limfatik dan saraf (Syaifuddin, 2006).
1) Bronkiolus
Bronkus segmental bercabang-cabang menjadi bronkiolus. Bronkiolus
mengandung kelenjar submukosa yang memproduksi lendir yang
membentuk selimut tidak terputus untuk melapisi bagian dalam jalan
nafas.
2) Bronkiolus terminalis
Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis (yang
mempunyai kelenjar lendir dan silia).
3) Bronkiolus respiratori
Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus respirstori.
Bronkiolus respiratori dianggap sebagai saluran transisional antara lain
jalan nafas konduksi dan jalan udara pertukaran gas.
4) Duktus alveolar dan sakus alveolar
Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus alveolar dan
sakus alveolar. Dan kemudian menjadi alvioli.
6. Paru-Paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari
gelembung (gelembung hawa atau alveoli). Gelembug alveoli ini terdiri dari
sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya kurang lebih
90 m². Pada lapisan ini terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah
dan CO2 dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang
lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan) (Syaifuddin, 2006).
Paru-paru dibagi dua yaitu paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belahan
paru), lobus pulmo dekstra superior, lobus media, dan lobus inferior. Tiap
lobus tersusun oleh lobulus. Paru-paru kiri, terdiri dari pulmo sinistra lobus
superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang kecil
bernama segmen. Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen
pada lobus superior, dan 5 buah segmen pada inferior. Paru-paru kanan
mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, 2 buah
segmen pada lobus medialis, dan 3 buah segmen pada lobus inferior. Tiap-
tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama
lobulus (Syaifuddin, 2006).
Di antara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat
yang berisi pembuluh darah getah bening dan saraf, dan tiap lobulus terdapat
sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang
banyak sekali, cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap duktus alveolus
berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2-0,3 mm (Syaifuddin,
2006).
Letak paru-paru di rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga
dada atau kavum mediastinum. Pada bagian tengah terdapat tampuk paru-
paru atau hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru
dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 yaitu,
yang pertama pleura visceral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru
yang langsung membungkus paru-paru. Kedua pleura parietal yaitu selaput
yang melapisi rongga dada sebelah luar. Antara keadaan normal, kavum
pleura ini vakum (hampa) sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan
juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki
permukaanya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding
dada sewaktu ada gerakan bernapas (Syaifuddin, 2006).
Persyarafan penting dalam aksi pergerakan pernapasan disuplai melalui
N. Phrenicus dan N. Spinal Thoraxic. Nervus Phrenicus mempersyarafi
diafragma, sementara N.Spinal Thoraxic mempersyarafi intercosta. Di
samping syaraf-syaraf tersebut, paru juga dipersyarafi oleh serabut syaraf
simpatis dan para simpatis (Pearce, 2007).
Di dalam paru terdapat peredaran darah ganda. Darah yang miskin
oksigen dari ventrikel kanan masuk ke paru melalui arteri pulmonalis. Selain
system arteri dan vena pulmonalis, terdapat pula arteri dan vena bronkialis,
yang berasal dari aorta, untuk memperdarahi jaringan bronki dan jaringan ikat
paru dengan darah kaya oksigen. Ventilasi paru (bernapas) melibatkan otot-
otot pernapasan, yaitu diafragma dan otot-otot interkostal. Selain ini ada otot-
otot pernapasan tambahan eperti otot-otot perut (Graaff, 2010).
Menurut Pearce (2007) volume udara pernafasan terdiri dari:
1) Volume Tidal (VT) : Volume udara yang keluar masuk paru-paru sebagai
akibat aktivitas pernapasan biasa (500 cc).
2) Volume Komplemen (VK) : Volume udara yang masih dapat
dimasukkan secara maksimal kedalam paru-paru setelah inspirasi biasa
(1500 cc)
3) Volume Suplemen (VS) : Volume udara yang masih dapat dihembuskan
secara maksimal dari dalam paru-paru setelah melakukan ekspirasi biasa
(1500 cc)
4) Volume Residu (VR) : Volume udara yang selalu tersisa di dalam paru-
paru setelah melakukan ekspirasi sekuat-kuatnya (1000 cc)
5) Kapasitas Vital (KV) : Volume udara yang dapat dihembuskan sekuat-
kuatnya setelah melakukan inspirasi sekuat-kuatnya (KV = VT + VK +
VS) 3500 cc
6) Kapasitasi Total (KT) : Volume total udara yang dapat tertampung di
dalam paru-paru (KT = KV + VR) 4500 cc
Fisiologi
Pernapasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang
mengandung oksigen serta menghembuskan udara yang banyak mengandung
karbondioksida sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan udara
ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Jadi, dalam paru-
paru terjadi pertukaran zat antara oksigen yang ditarik dan udara masuk kedalam
darah dan CO2 dikeluarkan dari darah secara osmosis. Kemudian CO2
dikeluarkan melalui traktus respiratorius (jalan pernapasan) dan masuk kedalam
tubuh melalui kapiler-kapiler vena pulmonalis kemudian massuk ke serambi kiri
jantung (atrium sinistra) menuju ke aorta kemudian ke seluruh tubuh (jaringan-
jaringan dan selsel), di sini terjadi oksidasi (pembakaran). Sebagai sisa dari
pembakaran adalah CO2 dan dikeluarkan melalui peredaran darah vena masuk ke
jantung (serambi kanan atau atrium dekstra) menuju ke bilik kanan (ventrikel
dekstra) dan dari sini keluar melalui arteri pulmonalis ke jaringan paru-paru.
Akhirnya dikeluarkan menembus lapisan epitel dari alveoli. Proses pengeluaran
CO2 ini adalah sebagian dari sisa metabolisme, sedangkan sisa dari metabolisme
lainnya akan dikeluarkan melalui traktus urogenitalis dan kulit (Syaifuddin,
2006).
Setelah udara dari luar diproses, di dalam hidung masih terjadi
perjalanan panjang menuju paru-paru (sampai alveoli). Pada laring terdapat
epiglotis yang berguna untuk menutup laring sewaktu menelan, sehingga
makanan tidak masuk ke trakhea, sedangkan waktu bernapas epiglotis terbuka,
begitu seterusnya. Jika makanan masuk ke dalam laring, maka akan mendapat
serangan batuk, hal tersebut untuk mencoba mengeluarkan makanan tersebt dari
laring (Syaifuddin, 2006).
Terbagi dalam 2 bagian yaitu inspirasi (menarik napas) dan ekspirasi
(menghembuskan napas). Bernapas berarti melakukan inpirasi dan eskpirasi
secara bergantian, teratur, berirama, dan terus menerus. Bernapas merupakan
gerak refleks yang terjadi pada otot-otot pernapasan. Refleks bernapas ini diatur
oleh pusat pernapasan yang terletak di dalam sumsum penyambung (medulla
oblongata). Oleh karena seseorang dapat menahan, memperlambat, atau
mempercepat napasnya, ini berarti bahwa refleks bernapas juga dibawah
pengaruh korteks serebri. Pusat pernapasan sangat peka terhadap kelebihan
kadar CO2 dalam darah dan kekurangan dalam darah. Inspirai terjadi bila
muskulus diafragma telah mendapat rangsangan dari nervus frenikus lalu
mengerut datar (Syaifuddin, 2006).
Muskulus interkostalis yang letaknya miring, setelah ,mendapat
rangsangan kemudian mengerut dan tulang iga (kosta) menjadi datar. Dengan
demikian jarak antara sternum (tulang dada) dan vertebra semakin luas dan
melebar. Rongga dada membesar maka pleura akan tertarik, yang menarik paru-
paru sehingga tekanan udara di dalamnya berkurang dan masuklah udara dari
luar (Syaifuddin, 2006).
Ekspirasi, pada suatu saat otot-otot akan kendor lagi (diafragma akan
menjadi cekung, muskulus interkostalis miring lagi) dan dengan demikian
rongga dan dengan demikian rongga dada menjadi kecil kembali, maka udara
didorong keluar. Jadi proses respirasi atau pernapasan ini terjadi karena adanya
perbedaan tekanan antara rongga pleura dan paru-paru (Syaifuddin, 2006).
Pernapasan dada, pada waktu seseorang bernapas, rangka dada terbesar
bergerak, pernapasan ini dinamakan pernapasan dada. Ini terdapat pada rangka
dada yang lunak, yaitu pada orang-orang muda dan pada
perempuan (Syaifuddin, 2006).
Pernapasan perut, jika pada waktu bernapas diafragma turun naik, maka
ini dinamakan pernapasan perut. Kebanyakan pada orang tua, Karena tulang
rawannya tidak begitu lembek dan bingkas lagi yang disebabkan oleh banyak zat
kapur yang mengendap di dalamnya dan banyak ditemukan pada laki-
laki (Syaifuddin, 2006).

C. Penyebab
Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Basil ini tidak
berspora, sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari dan sinar
ultraviolet. Ada dua macam mikobakteria tuberculosis yaitu tipe human dan tipe
Bovin.Basil tipe Bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberculosis
usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) dan di udara yang
berasal dari penderita TBC, dan orang yang terkena rentan terinfeksi bila
menghirupnya. Setelah organisme terinhalasi, dan masuk paru-paru dapat bertahan
hidup dan menyebar ke nodus limfatikus local. Penyebaran melalui aliran darah ini
dapat menyebabkan TB pada organ lain, dimana infeksi laten dapat bertahan
sampai bertahun-tahun.
Dalam perjalanan penyakitnya terdapat 4 fase :
1. Fase 1 (fase Tuberculosis primer)
Masuk ke dalam paru dan berkembang biak tanpa menimbulkan reaksi
pertahanan tubuh
2. Fase 2
3. Fase 3 (fase laten)
Fase dengan kuman yang tidur (bertahun-tahun/seumur hidup) dan reaktifitas
bila terjadi perubahan keseimbangan daya tahan tubuh, dan bisa terdapat di
tulang panjang, vertebra, tuba fallopi, otak, kelenjar limf hilus, leher dan ginjal
4. Fase 4
Dapat sembuh tanpa cacat atau sebaliknya, juga dapat menyebar ke organ yang
lain dan yang kedua ke ginjal setelah paru.

D. Manifestasi Klinik
1. Demam 40 – 410 C
2. Batuk, kadang disertai darah
3. Malaise, keringat malam
4. Suara khas pada perkusi dada
5. Peningkatan sel darah putih dengan dominasi limfosit
6. Pada anak
 Berkurangnya BB 2 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas atau
gagal tumbuh
 Demam tanpa sebab jelas, terutama jika berlanjut sampai 2 minggu
 Batuk kronik > 3 minggi, dengan atau tanpa wheeze
 Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa
 Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi local timbul < 7 hari
setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem scoring TB anak
 Anak dengan TB jika jumlah skor > 6 (skor maksimal 13)
 Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke Rumah Sakit untuk
evaluasi lebih lanjut

E. Patofisiologi
Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman dibersinkan atau
dibatukkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat
menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar
ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap
kuman dapat tahan selama berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi
ini terhisap oleh orang sehat akan menempel pada jalan nafas atau paru-paru.
Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukurannya kurang dari 5 mikromilimeter.
Tuberculosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas
perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag sedangkan limfosit (biasanya sel T )
adalah imunoresponsifnya. Tipe imunitas seperti ini basanya lokal, melibatkan
makrofag yang diaktifkan ditempat infeksi oleh limposit dan limfokinnya. Raspon
ini desebut sebagai reaksi hipersensitifitas (lambat).
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi
sebagai unit yang terdiri dari 1-3 basil. Gumpalan basil yang besar cendrung
tertahan dihidung dan cabang bronkus dan tidak menyebabkan penyakit (
Dannenberg 1981 ). Setelah berada diruang alveolus biasanya dibagian bawah
lobus atas paru-paru atau dibagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini
membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak didaerah
tersebut dan memfagosit bakteria namun tidak membunuh organisme ini. Sesudah
hari-hari pertama leukosit akan digantikan oleh makrofag . Alveoli yang terserang
akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler
akan sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa atau proses akan berjalan
terus dan bakteri akan terus difagosit atau berkembang biak didalam sel. Basil juga
menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag
yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga
membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limposit. Reaksi ini butuh
waktu 10-20 hari.
Nekrosis pada bagian sentral menimbulkan gambangan seperti keju yang
biasa disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang terjadi nekrosis kaseosa dan jaringan
granulasi disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast menimbulkan
respon yang berbeda.Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan
parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru dinamakn fokus ghon dan gabungan terserangnya kelenjar
getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks ghon. Respon lain yang
dapat terjadi didaerah nekrosis adalah pencairan dimana bahan cair lepas kedalam
bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkel yang dilepaskan dari dinding
kavitas akan masuk kedalan percabangan trakeobronkhial. Proses ini dapat terulang
lagi kebagian paru lain atau terbawa kebagian laring, telinga tengah atau usus.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan
meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen brokus dapat
menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapt dekat dengan perbatasan
bronkus rongga. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir
melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan dan
lesi mirip dengan lesi kapsul yang terlepas. Keadaan ini dapat dengan tanpa gejala
dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan brokus sehingge menjadi
peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah.
Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam
jumlah kecil, kadang dapat menimbulkan lesi pada oragan lain. Jenis penyeban ini
disebut limfohematogen yang biasabya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen
biasanya merupakan fenomena akut yang dapat menyebabkan tuberkulosis
milier.Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak
organisme yang masuk kedalam sistem vaskuler dan tersebar keorgan-organ
lainnya.
F. Pathways
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Laboratorium darah rutin : LED meningkat, limfositosis
b. Pemeriksaan sputum BTA
c. Kultur Sputum : Positif untuk Mycobacterium tuberculosis pada tahap
aktif penyakit
d. Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan
cairan darah) : Positif untuk basil asam-cepat.
e. Tes kulit (Mantoux, potongan Vollmer) : Reaksi positif (area indurasi 10
mm atau lebih besar, terjadi 48-72 jam setelah injeksi intradcrmal
antigen) menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya antibodi tetapi tidak
secara berarti menunjukkan penyakit aktif. Reaksi bermakna pada pasien
yang secara klinik sakit berani bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan
atau infeksi disebabkan oleh mikobakterium yang berbeda.
f. Histologi atau kultur jaringan (termasuk pembersihan gaster; urine dan
cairan serebrospinal, biopsi kulit) : Positif untuk Mycobacterium
tuberculosis.
g. Biopsi jarum pada jaringan paru : Positif untuk granuloma TB; adanya
sel raksasa menunjukkan nekrosis.
h. Elektrolit : Dapat tak normal tergantung pada lokasi dan beratnya infeksi;
contoh hiponatremia disebabkan oleh tak normalnya retensi air dapat
ditemukan pada TB paru kronis luas.
i. Pemeriksaan fungsi paru : Penurunan kapasitas vital, peningkatan rasio
udara residu dan kapasitas paru total, dan penurunan saturasi oksigen
sekunder terhadap infiltrasi parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru
dan penyakit pleural (Tuberkulosis paru kronis luas).
2. Pemeriksaan Radiologis
Foto thorak : Dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru atas,
simpanan kalsium lesi sembuh primer, atau effusi cairan. Perubahan
menunjukkan lebih luas TB dapat termasuk rongga, area fibrosa.
H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan keperawatan diantaranya dapat dilakukan dengan cara:
a. Promotif
1. Penyuluhan kepada masyarakat apa itu TBC
2. Pemberitahuan baik melalui spanduk/iklan tentang bahaya TBC, cara
penularan, cara pencegahan, faktor resiko
3. Mensosialisasiklan BCG di masyarakat.
b. Preventif
1. Vaksinasi BCG
2. Menggunakan isoniazid (INH)
3. Membersihkan lingkungan dari tempat yang kotor dan lembab.
4. Bila ada gejala-gejala TBC segera ke Puskesmas/RS, agar dapat diketahui
secara dini.
2. Penatalaksanaan secara medik
Dalam pengobatan TB paru dibagi 2 bagian :
1. Jangka pendek.
Dengan tata cara pengobatan : setiap hari dengan jangka waktu 1 – 3
bulan.
* Streptomisin injeksi 750 mg.
* Pas 10 mg.
* Ethambutol 1000 mg.
* Isoniazid 400 mg.
2. Jangka panjang
Tata cara pengobatan : setiap 2 x seminggu, selama 13 – 18 bulan, tetapi
setelah perkembangan pengobatan ditemukan terapi.
Terapi TB paru dapat dilakukan dengan minum obat saja, obat yang
diberikan dengan jenis :
* INH.
* Rifampicin.
* Ethambutol.
Dengan fase selama 2 x seminggu, dengan lama pengobatan
kesembuhan menjadi 6-9 bulan.
3. Dengan menggunakan obat program TB paru kombipack bila ditemukan
dalam pemeriksan sputum BTA ( + ) dengan kombinasi obat :
* Rifampicin.
* Isoniazid (INH).
* Ethambutol.
* Pyridoxin (B6).

I. Fokus Pengkajian Keperawatan


1. Identitas klien: selain nama klien, asal kota dan daerah, jumlah keluarga.
2. Keluhan: penyebab klien sampai dibawa ke rumah sakit.
3. Riwayat penyakit sekarang:
Tanda dan gejala klinis TB serta terdapat benjolan/bisul pada tempat-tempat
kelenjar seperti: leher, inguinal, axilla dan sub mandibula.
4. Riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat sosial ekonomi dan lingkungan.
 Riwayat keluarga.
Biasanya keluarga ada yang mempunyai penyakit yang sama.
 Aspek psikososial.
Merasa dikucilkan dan tidak dapat berkomunikasi dengan bebas, menarik diri.
 Biasanya pada keluarga yang kurang mampu.
Masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu yang
lama dan biaya yang banyak.Tidak bersemangat dan putus harapan.
 Lingkungan:
Lingkungan kurang sehat (polusi, limbah), pemukiman yang padat, ventilasi
rumah yang kurang sehingga pertukaran udara kurang, daerah di dalam rumah
lembab, tidak cukup sinar matahari, jumlah anggota keluarga yang banyak.
Pola fungsi kesehatan.
1. Pola persepsi sehat dan penatalaksanaan kesehatan.
Kurang menerapkan PHBS yang baik, rumah kumuh, jumlah anggota
keluarga banyak, lingkungan dalam rumah lembab, jendela jarang dibuka
sehingga sinar matahari tidak dapat masuk, ventilasi minim menybabkan
pertukaran udara kurang, sejak kecil anggita keluarga tidak dibiasakan
imunisasi.
2. Pola nutrisi - metabolik.
Anoreksia, mual, tidak enak diperut, BB turun, turgor kulit jelek, kulit
kering dan kehilangan lemak sub kutan, sulit dan sakit menelan.
3. Pola eliminasi
Perubahan karakteristik feses dan urine, nyeri tekan pada kuadran kanan
atas dan hepatomegali, nyeri tekan pada kuadran kiri atas dan splenomegali.
4. Pola aktifitas – latihan
Pola aktivitas pada pasien TB Paru mengalami penurunan karena sesak
nafas,mudah lelah, tachicardia, jika melakukan aktifitas berat timbul sesak
nafas (nafas pendek).
5. Pola tidur dan istirahat
sulit tidur, frekwensi tidur berkurang dari biasanya, sering berkeringat pada
malam hari.
6. Pola kognitif – perceptual
Kadang terdapat nyeri tekan pada nodul limfa, nyeri tulang
umum, sedangkan dalam hal daya panca indera (perciuman, perabaan, rasa,
penglihatan dan pendengaran) jarang ditemukan adanya gangguan
7. Pola persepsi diri
Pasien tidak percaya diri, pasif, kadang pemarah, selain itu Ketakutan
dan kecemasan akan muncul pada penderita TB paru dikarenakan
kurangnya pengetahuan tentang pernyakitnya yang akhirnya membuat
kondisi penderita menjadi perasaan tak berbedanya dan tak ada harapan.
8. Pola peran – hubungan
Penderita dengan TB paru akan mengalami gangguan dalam hal hubungan
dan peran yang dikarenakan adanya isolasi untuk menghindari penularan
terhadap anggota keluarga yang lain.
Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi
Konjungtiva mata pucat karena anemia, malaise, badan kurus/ berat badan
menurun. Bila mengenai pleura, paru yang sakit terlihat agak tertinggal
dalam pernapasan.
 Perkusi
Terdengar suara redup terutama pada apeks paru, bila terdapat kavitas yang
cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonar dan timpani. Bila
mengenai pleura, perkusi memberikan suara pekak.
 Auskultasi
Terdengar suara napas bronchial. Akan didapatkan suara napas tambahan
berupa rhonci basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrasi ini diliputi oleh
penebalan pleura, suara napas menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat
kavitas yang cukup besar, auskultasi memberikan suara amforik. Bila
mengenai pleura, auskultasi memberikan suara napas yang lemah sampai
tidak terdengar sama sekali.
 Palpasi
Badan teraba hangat (demam)
Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret
kental atau sekret darah
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran
alveoler-kapiler
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia
4. Nyeri Akut berhubungan dengan nyeri dada pleuritis
5. Hipertemia berhubungan dengan proses inflamasi
J. Fokus Intervensi Keperawatan

TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENSI


NO DIAGNOSA KEPERAWATAN
(NOC) (NIC)
1 Bersihan Jalan Nafas tidak Efektif NOC : NIC :
 Respiratory status : Ventilation Airway suction
Definisi : Ketidakmampuan untuk  Respiratory status : Airway 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal
membersihkan sekresi atau obstruksi patency suctioning
dari saluran pernafasan untuk  Aspiration Control 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan
mempertahankan kebersihan jalan sesudah suctioning.
nafas. Kriteria Hasil : 3. Informasikan pada klien dan keluarga
1. Mendemonstrasikan batuk tentang suctioning
Batasan Karakteristik : efektif dan suara nafas yang 4. Minta klien nafas dalam sebelum suction
1.Dispneu, Penurunan suara nafas bersih, tidak ada sianosis dan dilakukan.
2.Orthopneu dyspneu (mampu mengeluarkan 5. Berikan O2 dengan menggunakan nasal
3.Cyanosis sputum, mampu bernafas dengan untuk memfasilitasi suksion nasotrakeal
4.Kelainan suara nafas (rales, mudah, tidak ada pursed lips) 6. Gunakan alat yang steril sitiap
wheezing) 2. Menunjukkan jalan nafas yang melakukan tindakan
5.Kesulitan berbicara paten (klien tidak merasa 7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan
6.Batuk, tidak efekotif atau tidak ada tercekik, irama nafas, frekuensi napas dalam setelah kateter dikeluarkan
7.Mata melebar pernafasan dalam rentang dari nasotrakeal
8.Produksi sputum normal, tidak ada suara nafas 8. Monitor status oksigen pasien
9.Gelisah abnormal) 9. Ajarkan keluarga bagaimana cara
10. Perubahan frekuensi dan irama 3.  Mampu mengidentifikasikan melakukan suksion
nafas dan mencegah factor yang dapat 10. Hentikan suksion dan berikan oksigen
menghambat jalan nafas apabila pasien menunjukkan bradikardi,
peningkatan saturasi O2, dll.
Faktor-faktor yang berhubungan: Airway Management
1.Lingkungan : merokok, menghirup 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin
asap rokok, perokok pasif-POK, lift atau jaw thrust bila perlu
infeksi 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
2.Fisiologis : disfungsi ventilasi
neuromuskular, hiperplasia dinding 3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan
bronkus, alergi jalan nafas, asma. alat jalan nafas buatan
3.Obstruksi jalan nafas : spasme 4. Pasang mayo bila perlu
jalan nafas, sekresi tertahan, 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
banyaknya mukus, adanya jalan 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau
nafas buatan, sekresi bronkus, suction
adanya eksudat di alveolus, adanya 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
benda asing di jalan nafas. tambahan
8. Lakukan suction pada mayo
9. Berikan bronkodilator bila perlu
10. Berikan pelembab udara Kassa basah
NaCl Lembab
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan status O2

2. Gangguan Pertukaran gas NOC : NIC :


 Respiratory Status : Gas Airway Management
Definisi : Kelebihan atau kekurangan exchange 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin
dalam oksigenasi dan atau pengeluaran  Respiratory Status : ventilation lift atau jaw thrust bila perlu
karbondioksida di dalam membran  Vital Sign Status 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
kapiler alveoli ventilasi
Kriteria Hasil : 3. Identifikasi pasien perlunya
1. Mendemonstrasikan pemasangan alat jalan nafas buatan
peningkatan ventilasi dan 4. Pasang mayo bila perlu
Batasan karakteristik : oksigenasi yang adekuat 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
1. Gangguan penglihatan 2. Memelihara kebersihan paru 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau
2. Penurunan CO2 paru dan bebas dari tanda tanda suction
3. Takikardi distress pernafasan 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya
4. Hiperkapnia 3. Mendemonstrasikan batuk suara tambahan
5. Keletihan efektif dan suara nafas yang 8. Lakukan suction pada mayo
6. somnolen bersih, tidak ada sianosis dan 9. Berika bronkodilator bial perlu
7. Iritabilitas dyspneu (mampu mengeluarkan 10. Barikan pelembab udara
8. Hypoxia sputum, mampu bernafas 11. Atur intake untuk cairan
9. kebingungan dengan mudah, tidak ada mengoptimalkan keseimbangan.
10. Dyspnoe pursed lips) 12. Monitor respirasi dan status O2
11. nasal faring 2. Tanda tanda vital dalam
12. AGD Normal rentang normal Respiratory Monitoring
13. sianosis 1. Monitor rata – rata, kedalaman, irama
14. warna kulit abnormal (pucat, dan usaha respirasi
kehitaman) 2. Catat pergerakan dada,amati
15. Hipoksemia kesimetrisan, penggunaan otot
16. hiperkarbia tambahan, retraksi otot supraclavicular
17. sakit kepala ketika bangun dan intercostal
18. frekuensi dan kedalaman nafas 3. Monitor suara nafas, seperti dengkur
abnormal 4. Monitor pola nafas : bradipena,
takipenia, kussmaul, hiperventilasi,
Faktor faktor yang berhubungan : cheyne stokes, biot
1. ketidakseimbangan perfusi 5. Catat lokasi trakea
ventilasi 6. Monitor kelelahan otot diagfragma
2. perubahan membran kapiler- (gerakan paradoksis)
alveolar 7. Auskultasi suara nafas, catat area
penurunan / tidak adanya ventilasi dan
suara tambahan
8. Tentukan kebutuhan suction dengan
mengauskultasi crakles dan ronkhi pada
jalan napas utama
9. auskultasi suara paru setelah tindakan
untuk mengetahui hasilnya

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari NOC : NIC :


kebutuhan tubuh  Nutritional Status : food and Nutrition Management
Fluid Intake 1. Kaji adanya alergi makanan
Definisi : Intake nutrisi tidak cukup 2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
untuk keperluan metabolisme tubuh. Kriteria Hasil : menentukan jumlah kalori dan nutrisi
1. Adanya peningkatan berat badan yang dibutuhkan pasien.
Batasan karakteristik : sesuai dengan tujuan 3. Anjurkan pasien untuk meningkatkan
2. Berat badan ideal sesuai dengan intake Fe
1.Berat badan 20 % atau lebih di tinggi badan 4. Anjurkan pasien untuk meningkatkan
bawah ideal 3. Mampu mengidentifikasi protein dan vitamin C
2.Dilaporkan adanya intake makanan kebutuhan nutrisi 5. Berikan substansi gula
yang kurang dari RDA 4. Tidak ada tanda tanda malnutrisi 6. Yakinkan diet yang dimakan
(Recomended Daily Allowance) 5. Tidak terjadi penurunan berat mengandung tinggi serat untuk
3.Membran mukosa dan konjungtiva badan yang berarti mencegah konstipasi
pucat 7. Berikan makanan yang terpilih ( sudah
4.Kelemahan otot yang digunakan dikonsultasikan dengan ahli gizi)
untuk menelan/mengunyah 8. Ajarkan pasien bagaimana membuat
5.Luka, inflamasi pada rongga mulut catatan makanan harian.
6.Mudah merasa kenyang, sesaat 9. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan
setelah mengunyah makanan kalori
7.Dilaporkan atau fakta adanya 10. Berikan informasi tentang kebutuhan
kekurangan makanan nutrisi
8.Dilaporkan adanya perubahan 11. Kaji kemampuan pasien untuk
sensasi rasa mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
9.Perasaan ketidakmampuan untuk
mengunyah makanan Nutrition Monitoring
10. Miskonsepsi 1. BB pasien dalam batas normal
11. Kehilangan BB dengan 2. Monitor adanya penurunan berat badan
makanan cukup 3. Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang
12. Keengganan untuk makan biasa dilakukan
13. Kram pada abdomen 4. Monitor interaksi anak atau orangtua
14. Tonus otot jelek selama makan
15. Nyeri abdominal dengan atau 5. Monitor lingkungan selama makan
tanpa patologi 6. Jadwalkan pengobatan dan tindakan
16. Kurang berminat terhadap tidak selama jam makan
makanan 7. Monitor kulit kering dan perubahan
17. Pembuluh darah kapiler mulai pigmentasi
rapuh 8. Monitor turgor kulit
18. Diare dan atau steatorrhea 9. Monitor kekeringan, rambut kusam, dan
19. Kehilangan rambut yang mudah patah
cukup banyak (rontok) 10. Monitor mual dan muntah
20. Suara usus hiperaktif 11. Monitor kadar albumin, total protein,
21. Kurangnya informasi, Hb, dan kadar Ht
misinformasi 12. Monitor makanan kesukaan
13. Monitor pertumbuhan dan
Faktor-faktor yang berhubungan : perkembangan
1. Ketidakmampuan pemasukan 14. Monitor pucat, kemerahan, dan
atau mencerna makanan atau kekeringan jaringan konjungtiva
mengabsorpsi zat-zat gizi 15. Monitor kalori dan intake nuntrisi
berhubungan dengan faktor 16. Catat adanya edema, hiperemik,
biologis, psikologis atau hipertonik papila lidah dan cavitas oral.
ekonomi. 17. Catat jika lidah berwarna magenta,
scarlet
4. Hipertermia NOC : NIC :
Thermoregulation Fever treatment
Definisi : suhu tubuh naik diatas 1. Monitor suhu sesering mungkin
rentang normal Kriteria Hasil : 2. Monitor IWL
1. Suhu tubuh dalam rentang 3. Monitor warna dan suhu kulit
Batasan Karakteristik: normal 4. Monitor tekanan darah, nadi dan RR
1. kenaikan suhu tubuh diatas 2. Nadi dan RR dalam rentang 5. Monitor penurunan tingkat kesadaran
rentang normal normal 6. Monitor WBC, Hb, dan Hct
2. serangan atau konvulsi (kejang) 3. Tidak ada perubahan warna 7. Monitor intake dan output
3. kulit kemerahan kulit dan tidak ada pusing, 8. Berikan anti piretik
4. pertambahan RR merasa nyaman 9. Berikan pengobatan untuk mengatasi
5. takikardi penyebab demam
6. saat disentuh tangan terasa hangat 10. Selimuti pasien
11. Lakukan tapid sponge
Faktor faktor yang berhubungan : 12. Berikan cairan intravena
1.penyakit/ trauma 13. Kompres pasien pada lipat paha dan
2.peningkatan metabolisme aksila
3.aktivitas yang berlebih 14. Tingkatkan sirkulasi udara
4.pengaruh medikasi/anastesi 15. Berikan pengobatan untuk mencegah
5.ketidakmampuan/penurunan terjadinya menggigil
kemampuan untuk berkeringat
6.terpapar dilingkungan panas Temperature regulation
7.dehidrasi 1. Monitor suhu minimal tiap 2 jam
8. pakaian yang tidak tepat 2. Rencanakan monitoring suhu secara
kontinyu
3. Monitor TD, nadi, dan RR
4. Monitor warna dan suhu kulit
5. Monitor tanda-tanda hipertermi dan
hipotermi
6. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
7. Selimuti pasien untuk mencegah
hilangnya kehangatan tubuh
8. Ajarkan pada pasien cara mencegah
keletihan akibat panas
9. Diskusikan tentang pentingnya
pengaturan suhu dan kemungkinan efek
negatif dari kedinginan
10. Beritahukan tentang indikasi terjadinya
keletihan dan penanganan emergency
yang diperlukan
11. Ajarkan indikasi dari hipotermi dan
penanganan yang diperlukan
12. Berikan anti piretik jika perlu

Vital sign Monitoring


1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3. Monitor VS saat pasien berbaring,
duduk, atau berdiri
4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan
bandingkan
5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum,
selama, dan setelah aktivitas
6. Monitor kualitas dari nadi
7. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
8. Monitor suara paru
9. Monitor pola pernapasan abnormal
10. Monitor suhu, warna, dan kelembaban
kulit
11. Monitor sianosis perifer
12. Monitor adanya cushing triad (tekanan
nadi yang melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
13. Identifikasi penyebab dari perubahan
vital sign

5. Nyeri NOC : NIC :


 Pain Level, Pain Management
Definisi :  Pain control, 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
Sensori yang tidak menyenangkan dan  Comfort level komprehensif termasuk lokasi,
pengalaman emosional yang muncul Kriteria Hasil : karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
secara aktual atau potensial kerusakan 1. Mampu mengontrol nyeri (tahu dan faktor presipitasi
jaringan atau menggambarkan adanya penyebab nyeri, mampu 2. Observasi reaksi nonverbal dari
kerusakan (Asosiasi Studi Nyeri menggunakan tehnik ketidaknyamanan
Internasional): serangan mendadak nonfarmakologi untuk 3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik
atau pelan intensitasnya dari ringan mengurangi nyeri, mencari untuk mengetahui pengalaman nyeri
sampai berat yang dapat diantisipasi bantuan) pasien
dengan akhir yang dapat diprediksi 2. Melaporkan bahwa nyeri 4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon
dan dengan durasi kurang dari 6 bulan. berkurang dengan nyeri
menggunakan manajemen nyeri 5. Evaluasi pengalaman nyeri masa
Batasan karakteristik : 3. Mampu mengenali nyeri (skala, lampau
1.Laporan secara verbal atau non intensitas, frekuensi dan tanda 6. Evaluasi bersama pasien dan tim
verbal nyeri) kesehatan lain tentang ketidakefektifan
2.Fakta dari observasi 4. Menyatakan rasa nyaman kontrol nyeri masa lampau
3.Posisi antalgic untuk menghindari setelah nyeri berkurang 7. Bantu pasien dan keluarga untuk
nyeri 5. Tanda vital dalam rentang mencari dan menemukan dukungan
4.Gerakan melindungi normal 8. Kontrol lingkungan yang dapat
5.Tingkah laku berhati-hati mempengaruhi nyeri seperti suhu
6.Muka topeng ruangan, pencahayaan dan kebisingan
7.Gangguan tidur (mata sayu, 9. Kurangi faktor presipitasi nyeri
tampak capek, sulit atau gerakan 10. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
kacau, menyeringai) (farmakologi, non farmakologi dan inter
8.Terfokus pada diri sendiri personal)
9.Fokus menyempit (penurunan 11. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
persepsi waktu, kerusakan proses menentukan intervensi
berpikir, penurunan interaksi 12. Ajarkan tentang teknik non farmakologi
dengan orang dan lingkungan) 13. Berikan analgetik untuk mengurangi
10. Tingkah laku distraksi, contoh : nyeri
jalan-jalan, menemui orang lain 14. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
dan/atau aktivitas, aktivitas 15. Tingkatkan istirahat
berulang-ulang) 16. Kolaborasikan dengan dokter jika ada
11. Respon autonom (seperti keluhan dan tindakan nyeri tidak
diaphoresis, perubahan tekanan berhasil
darah, perubahan nafas, nadi dan 17. Monitor penerimaan pasien tentang
dilatasi pupil) manajemen nyeri
12. Perubahan autonomic dalam
tonus otot (mungkin dalam rentang Analgesic Administration
dari lemah ke kaku) 1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas,
13. Tingkah laku ekspresif (contoh dan derajat nyeri sebelum pemberian
: gelisah, merintih, menangis, obat
waspada, iritabel, nafas 2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat,
panjang/berkeluh kesah) dosis, dan frekuensi
14. Perubahan dalam nafsu makan 3. Cek riwayat alergi
dan minum 4. Pilih analgesik yang diperlukan atau
kombinasi dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
Faktor yang berhubungan : 5. Tentukan pilihan analgesik tergantung
1. Agen injuri (biologi, kimia, tipe dan beratnya nyeri
fisik, psikologis) 6. Tentukan analgesik pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
7. Pilih rute pemberian secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri secara teratur
8. Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali
9. Berikan analgesik tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
10. Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)
K. Daftar Pustaka

Bulechek, Gloria M, dkk. (2016). Edisi Keenam Nursing Interventions


Classification (NIC). Indonesia : Elsevier Global Rights.

Herdman, T. Heather, dkk. (2015). NANDA International Diagnosis


Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC.

Moorhead, Sue, dkk. (2016). Edisi Kelima Nursing Outcomes Classification


(NOC). Indonesia : Elsevier Global Rights.

Nurarif, Amin Huda (2015). Aplikasi asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC. Jogjakarta : MediAction

Price, Sylvia Anderson, Wilson, Lorraine Mc Carty (2006). Patofisiologi


Konsep Klinis proses-proses penyakit,Ed.6, Volume 1&2. Jakarta : EGC

Syaifuddin, H.,( 2006). Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan,


Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai