Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembangunan kesehatan dalam 3 dekade terakhir telah berhasil
meningkatkan umur harapan hidup penduduk Indonesia dari 54,4 pada tahun 1980
(Sensus Penduduk (SP) 1980) menjadi 69,8 pada tahun 2012 (Badan Pusat
Statistik (BPS), 2013). Keberhasilan juga ditunjukkan dalam hal menurunkan
angka kesakitan dari berbagai penyakit menular. Namun demikian, Indonesia
masih dihadapkan dengan berbagai tantangan dalam pencegahan dan
pengendalian penyakit menular, antara lain masih tingginya angka kesakitan dan
kematian akibat Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) (Kementerian Kesehatan
RI, 2016: 1).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi yang menyerang
salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai hidung sampai alveoli
termasuk sinus, rongga telinga bagian tengah, dan pleura (Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, 2016: ix). Wong (2008: 935) menyatakan bahwa Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) atau Nasofaringitis akut (sama dengan flu pada
umumnya) disebabkan oleh berbagai jenis virus yang berbeda, biasanya rinovirus,
RSV, virus influenza, atau virus parainfluenza, dengan tanda dan gejala diawali
dengan peningkatan suhu tubuh dan disertai dengan gejala lainnya seperti batuk
berdahak atau kering, pilek, tenggorokan sakit, maupun nyeri ketika menelan,
gejala ini lebih berat terjadi pada bayi dan balita (anak). Pandi dan Wirakusumah
(2012) menyatakan bahwa bawah lima tahun atau sering disingkat sebagai balita
merupakan salah satu periode usia setelah bayi sebelum dimulai dari dua sampai
dengan lima tahun atau biasa digunakan perhitungan bulan yaitu usia 24 – 60
bulan. Periode usia ini disebut juga sebagai usia prasekolah.
World Health Organization (WHO) (2015) menyatakan bahwa pada tahun
2015 sebanyak 16 % dari 6 juta anak balita yang meninggal di dunia oleh ISPA.
Insiden ISPA menurut kelompok umur balita diperkirakan 0,29 episode per
anak/tahun di negara berkembang, di benua Asia kasus terbanyak terjadi di India

1
2

(43 juta), China (21 juta) dan Pakistan (10 juta) (Kementrian Kesehatan RI, 2016:
5).
Widagdo (2011: 2) menyatakan bahwa penyakit pernapasan menduduki
peringkat ke tiga penyebab angka kematian tertinggi pada balita di Indonesia
dengan presentase 12,7 %, setelah penyakit jantung dan pembuluh darah di urutan
pertama dengan presentase 26,3 % dan penyakit akibat infeksi menduduki urutan
kedua di Indonesia dengan presentase 22,9 %, diikuti Infeksi sendiri disebabkan
oleh mikroba (germ) yang terdapat di alam bebas termasuk ditubuh manusia.
Riskesdas (2013) menyatakan bahwa, prevalensi ISPA di Indonesia adalah 25 %.
Prevalensi yang dihitung adalah period prevalence ISPA yang dihitung dalam
kurun waktu 1 bulan terakhir pada tahun 2013.
Dinas Kesehatan Provinsi Riau (2014) menyatakan bahwa Riau
merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki presentase kejadian
ISPA balita yang cukup tinggi. Pada tahun 2014 Dinas Kesehatan Provinsi Riau
juga menemukan frekuensi kejadian ISPA yang tinggi, yaitu dari 15 penyakit
rawat inap RS se-Provinsi Riau tahun 2014, angka kunjungan rawat inap ISPA
berada pada peringkat ke 5 terbanyak (9,5%). Sedangkan pada kunjungan rawat
jalan di Rumah Sakit se-provinsi Riau, ISPA berada pada urutan pertama
terbanyak dengan 19.046 kasus (18,1%). Sedangkan pada pola penyakit rawat
jalan di Puskesmas se provinsi Riau, pada tahun 2015 ISPA menjadi penyakit
yang paling sering dijumpai, yaitu sebanyak 34,17% dari semua total kunjungan
Puskesmas. Dinas Kesehatan Provinsi Riau (2016) menyatakan bahwa jumlah
balita yang ada di provinsi Riau adalah sebanyak 727,129 balita, dimana jumlah
balita yang menderita ISPA diperkirakan sebanyak 11.250 balita.
Dinas Kesehatan Pekanbaru (2016) menyatakan bahwa terdapat 28.419
kasus ISPA pada balita di kota Pekanbaru. Data dari Dinas Kesehatan Pekanbaru
(2016) menunjukkan data dari 20 Puskesmas di kota Pekanbaru, Puskesmas
Rumbai menempati urutan ke 4 dalam penemuan kasus ISPA balita. Sepanjang
tahun 2016 yaitu sebanyak 2069 kasus ISPA. Berdasarkan data Dinas Kesehatan
(2016) total balita yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Rumbai
sebanyak 3414 balita memiliki frekuensi kejadian ISPA sebanyak 2069 orang
balita. Data dari Puskesmas Rumbai (2017) jumlah balita sebesar 4.645 yang
3

tersebar di 4 wilayah kerja diantaranya Kelurahan Meranti Pandak sebanyak 1.487


balita, Kelurahan Limbungan sebanyak 1.529 balita, Kelurahan Okura sebanyak
643 balita, dan wilayah Sei. Ukai sebanyak 987 balita, sedangkan jumlah
penderita ISPA pada balita dari awal bulan Januari 2017 sampai dengan akhir
bulan Januari 2018 adalah sebesar 1938 kasus yang tersebar di 4 wilayah kerja
diantaranya Kelurahan Meranti Pandak sebanyak 1008 kasus, Kelurahan
Limbungan sebanyak 629 kasus, Kelurahan Okura sebanyak 121 kasus, dan
wilayah Sei. Ukai sebanyak 180 kasus.
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita, antara
lain: faktor lingkungan, faktor individu anak serta faktor perilaku. Faktor
lingkungan meliputi: pencemaran udara dalam rumah (asap rokok dan asap hasil
pembakaran bahan dapur dengan konsentrasi yang tinggi), ventilasi rumah dan
kepadatan hunian. Faktor individu anak meliputi : umur anak, berat badan lahir,
status gizi, vitamin A dan status imunisasi. Faktor perilaku meliputi perilaku
pencegahan dan penanggulangan ISPA pada balita atau peran aktif keluarga atau
masyarakat dalam menangani penyakit ISPA serta perilaku kebiasaan yang
merugikan kesehatan seperti merokok dalam keluarga (Maryunani, 2010).
WHO (2008) menyatakan bahwa ISPA menyebabkan Kejadian Luar Biasa
(KLB) dengan angka mortalitas dan mordibitas yang tinggi, sehingga
menyebabkan kondisi darurat pada kesehatan masyarakat dan menjadi masalah
internasional. Salah satu dari ISPA yang dapat menyebabkan pandemik dan dapat
menyebabkan kematian adalah avian influenza atau flu burung (H5N1) (Inglis,
2011 dalam jurnal Herawati dan Sukoco,2011). ISPA berpotensi menjadi KLB
seperti SARS, flu burung pada manusia. ISPA sangat perlu diwaspadai karena
mengakibatkan radang saluran tenggorokan atau pharingitis dan radang telingan
atau otitis. Pharingitis yang disebakan kuman tertentu (streptococcd hemolyticus)
dapat berkomplikasi dengan penyakit jantung (endokarditis). Sedangkan radang
telinga tengah yang tidak dapat diobati dapat berakibat terjadinya ketulian, bila
tidak ditangani lebih lanjut akan mengakibatkan penyakit pneumonia (Maryunani,
2010).
Tempat tinggal dan rumah merupakan salah satu bagian dari lingkungan
yang sangat berpengaruh dan kejadian suatu penyakit. Lingkungan rumah atau
4

tempat tinggal memegang konstribusi yang cukup besar terhadap suatu kejadian
penyakit seperti ISPA, Pneumonia, TB dan penyakit lainnya. Sebagai faktor resiko
penyakit yang menjangkiti saluran pernafasan terutama ISPA, indoor air pollution
sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti langit–langit, ventilasi, kepadatan
hunian, dan kelembapan. (Permenkes RI. No 1077 tahun 2011).
Hal ini didukung oleh penelitan yang dilakukan oleh Potutu, S (2014)
tentang hubungan lingkungan dalam rumah dengan kejadian ISPA, menyatakan
ada hubungan antara lingkungan rumah dengan ke jadian ISPA dengan variabel
penelitian : kepadatan penghuni, suhu, kelembapan, ventilasi, pencahayaan dan
pencemaran udara di dalam rumah. Diperkuat juga dengan penelitian yang
dilakukan oleh Yusuf, Sudayasa dan Nurtamin (2014) tentang hubungan
lingkungan rumah dengan kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada
masyarakat pesisir Kelurahan Lapulu Kecamatan Abeli, menyatakan bahwa ada
hubungan antara ventilasi alami, pencahayaan alami, kelembapan dengan
kejadian ISPA, namun tidak ada hubungan antara jenis lantai, dan jenis dinding
dengan kejadian ISPA .
Berdasarkan laporan Badan Lingkungan Hidup Amerika (Environmental
Protection Agency / EPA) mencatat tidak kurang dari 300 ribu anak berusia 1-5
tahun menderita bronkhitis dan pneumonia, karena turut menghisap asap rokok
yang dihembuskan orang disekitarnya terutama ayah dan ibunya. Merokok
merupakan kebiasan yang dilakukan oleh indvidu yang menimbulkan pencemaran
udara di lingkungan sekitar, dimana pencemaran udara meningktakan kasus
kesakitan dan akibat penyakit saluran pernapasan (Alamsyah dan Muliawati,
2013: 171)
Sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Milo, Ismanto,
dan Kallo (2015) di Puskesmas Sario Kota Manado tentang hubungan kebiasaan
merokok di dalam rumah dengan kejadian ISPA pada anak umur 1-5 tahun,
menyatakan ada hubungan antara kebiasaan merokok di dalam rumah dengan
kejadian ISPA pada anak. Hal yang sama juga di peroleh dari penelitian Isnaini, M
(2012) yang meneliti tentang pengaruh kebiasaan merokok keluarga didalam
rumah terhadap kejadian ISPA pada balita di Kabupaten Kampar Riau, yang
menyatakan bahwa keluarga yang mempunyai kebiasann merokok didalam rumah
5

mempunyai resiko 4,043 kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga yang
tidak memiliki kebiasaan merokok didalam rumah.
Hasil Observasi awal di wilayah kerja Puskesmas Rumbai pada tanggal 10
dan 27 Februari 2018, masih ditemukan warga yang membakar sampah di
pekarangan rumah. Beberapa penduduk memelihara hewan ternak seperti bebek,
angsa, dan ayam, juga hewan peliharaan seperti burung, kucing dan anjing yang
umumnya masyarakat menempatkan kandangnya di dekat rumah. Pada saat survei
pendahuluan masih warga yang pada umumnya adalah bapak-bapak dan remaja
laki-laki yang merokok didalam rumah. Dari hasil survei awal pada tanggal 10
Februari 2018 di RT 3 RW 10 kelurahan limbungan dari 3 keluarga yang
mempunyai balita ditemukan 1 balita menderita ISPA dengan gejala batuk pilek.
Ibu balita tersebut mengatakan bahwa suaminya merupakan seorang perokok aktif
dan sering merokok dirumah, ibu balita itu juga mengatakan kalau untuk
penanganan sampah mereka lebih sering membakar sampah di pekarangan rumah,
hal ini dikarenakan tidak ada pilihan lain. Pada tanggal 27 Februari 2018 peneliti
melakukan kunjungan ke Puskesmas Rumbai. Peneliti mendatangi poli anak, dari
12 kunjungan bayi dan balita 9 diantaranya didiagnosis menderita ISPA dengan
gejala batuk dan pilek.
Melihat tingginya angka kejadi ISPA pada balita, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul penelitian hubungan lingkungan tempat
tinggal dan perilaku merokok di rumah dengan angka kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Rumbai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
tentang ada atau tidaknya hubungan lingkungan tempat tinggal balita dan adanya
perokok dirumah dengan angka kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja
Puskesmas Rumbai.

1.2 Rumusan Masalah

ISPA merupakan penyakit yang menyerang saluran pernafasan. ISPA


sendiri masih merupakan momok yang cukup menakutkan di dunia. Hal ini
dikarenakan ISPA menjadi penyebab utama kesakitan dan kematian akibat
penyakit menular di dunia terutama pada balita. Balita lebih sering terkena
penyakit ISPA dibandingkan orang dewasa dikarenakan sistem imun balita yang
6

masih belum mampu untuk melawan virus ISPA. Dikarenakan angka kejadian
ISPA yang cukup tinggi di dunia, membuat penelitian tentang kejadian ISPA
sangat menarik untuk diteliti. Berdasarkan fenomena yang terjadi di masyarakat
peneliti merurumuskan masalah penelitian tentang Apakah ada hubungan
lingkungan tempat tinggal dan perilaku merokok di rumah dengan kejadian ISPA
pada balita di wilayah kerja Puskesmas Rumbai ?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
lingkungan tempat tinggal dan merokok di rumah dengan kejadian ISPA pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Rumbai.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah agar teridentifikasinya :
a. Gambaran kejadian ISPA pada balita.
b. Gambaran pembakaran sampah dengan kejadian ISPA pada balita.
c. Gambaran kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita.
d. Gambaran hewan ternak dengan kejadian ISPA pada balita
e. Gambaran perilaku merokok dirumah dengan kejadian ISPA pada balita.
f. Hubungan antara pembakaran sampah dengan kejadian ISPA pada balita.
g. Hubungan antara Kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita.
h. Hubungan antara hewan ternak dengan kejadian ISPA pada balita.
i. Hubungan antara merokok dirumah dengan kejadian ISPA pada balita.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Apllikatif
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuat responden lebih menyadari
akan pentingnya upaya untuk menurunkan angka kejadian ISPA pada balita,
karena bermanfaat untuk membantu meningkatkan derajat kesehatan balita dan
keluarga.
1.4.2 Manfaat Keilmuan
7

Hasil penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan dalam ilmu kesehatan


yang meliputi KMB, Keperawatan Anak dan Keperawatan Komunitas yang
diperoleh peneliti selama masa perkuliahan dengan praktek di lapangan sehingga
dapat menambah wawasan bagi peneliti.
1.4.3 Manfaat Metodologi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada pihak
lain yang ingin meneliti permasalahan yang sama dimasa yang akan datang.

1.5 Ruang Lingkup


Penelitian ini membahas tentang hubungan lingkungan tempat tinggal dan
perilaku merokok dirumah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja
Puskesmas Rumbai. Responden pada penelitian ini adalah keluarga yang memiliki
balita di wilayah kerja Puskesmas Rumbai tepatnya di Kelurahan Meranti Pandak.
Penelitian akan dilaksanakan dari tanggal 7 sampai dengan 12 Mei 2018.
Penelitian ini berguna untuk mengetahui adanya hubungan antara lingkungan
tempat tinggal dan merokok di rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Metode
pengumpulan data yang akan dilakukan ialah dengan melakukan observasi data,
memberikan angket/kuesioner kepada pasien dan keluarga.

Anda mungkin juga menyukai