PENDAHULUAN
1
2
(43 juta), China (21 juta) dan Pakistan (10 juta) (Kementrian Kesehatan RI, 2016:
5).
Widagdo (2011: 2) menyatakan bahwa penyakit pernapasan menduduki
peringkat ke tiga penyebab angka kematian tertinggi pada balita di Indonesia
dengan presentase 12,7 %, setelah penyakit jantung dan pembuluh darah di urutan
pertama dengan presentase 26,3 % dan penyakit akibat infeksi menduduki urutan
kedua di Indonesia dengan presentase 22,9 %, diikuti Infeksi sendiri disebabkan
oleh mikroba (germ) yang terdapat di alam bebas termasuk ditubuh manusia.
Riskesdas (2013) menyatakan bahwa, prevalensi ISPA di Indonesia adalah 25 %.
Prevalensi yang dihitung adalah period prevalence ISPA yang dihitung dalam
kurun waktu 1 bulan terakhir pada tahun 2013.
Dinas Kesehatan Provinsi Riau (2014) menyatakan bahwa Riau
merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki presentase kejadian
ISPA balita yang cukup tinggi. Pada tahun 2014 Dinas Kesehatan Provinsi Riau
juga menemukan frekuensi kejadian ISPA yang tinggi, yaitu dari 15 penyakit
rawat inap RS se-Provinsi Riau tahun 2014, angka kunjungan rawat inap ISPA
berada pada peringkat ke 5 terbanyak (9,5%). Sedangkan pada kunjungan rawat
jalan di Rumah Sakit se-provinsi Riau, ISPA berada pada urutan pertama
terbanyak dengan 19.046 kasus (18,1%). Sedangkan pada pola penyakit rawat
jalan di Puskesmas se provinsi Riau, pada tahun 2015 ISPA menjadi penyakit
yang paling sering dijumpai, yaitu sebanyak 34,17% dari semua total kunjungan
Puskesmas. Dinas Kesehatan Provinsi Riau (2016) menyatakan bahwa jumlah
balita yang ada di provinsi Riau adalah sebanyak 727,129 balita, dimana jumlah
balita yang menderita ISPA diperkirakan sebanyak 11.250 balita.
Dinas Kesehatan Pekanbaru (2016) menyatakan bahwa terdapat 28.419
kasus ISPA pada balita di kota Pekanbaru. Data dari Dinas Kesehatan Pekanbaru
(2016) menunjukkan data dari 20 Puskesmas di kota Pekanbaru, Puskesmas
Rumbai menempati urutan ke 4 dalam penemuan kasus ISPA balita. Sepanjang
tahun 2016 yaitu sebanyak 2069 kasus ISPA. Berdasarkan data Dinas Kesehatan
(2016) total balita yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Rumbai
sebanyak 3414 balita memiliki frekuensi kejadian ISPA sebanyak 2069 orang
balita. Data dari Puskesmas Rumbai (2017) jumlah balita sebesar 4.645 yang
3
tempat tinggal memegang konstribusi yang cukup besar terhadap suatu kejadian
penyakit seperti ISPA, Pneumonia, TB dan penyakit lainnya. Sebagai faktor resiko
penyakit yang menjangkiti saluran pernafasan terutama ISPA, indoor air pollution
sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti langit–langit, ventilasi, kepadatan
hunian, dan kelembapan. (Permenkes RI. No 1077 tahun 2011).
Hal ini didukung oleh penelitan yang dilakukan oleh Potutu, S (2014)
tentang hubungan lingkungan dalam rumah dengan kejadian ISPA, menyatakan
ada hubungan antara lingkungan rumah dengan ke jadian ISPA dengan variabel
penelitian : kepadatan penghuni, suhu, kelembapan, ventilasi, pencahayaan dan
pencemaran udara di dalam rumah. Diperkuat juga dengan penelitian yang
dilakukan oleh Yusuf, Sudayasa dan Nurtamin (2014) tentang hubungan
lingkungan rumah dengan kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada
masyarakat pesisir Kelurahan Lapulu Kecamatan Abeli, menyatakan bahwa ada
hubungan antara ventilasi alami, pencahayaan alami, kelembapan dengan
kejadian ISPA, namun tidak ada hubungan antara jenis lantai, dan jenis dinding
dengan kejadian ISPA .
Berdasarkan laporan Badan Lingkungan Hidup Amerika (Environmental
Protection Agency / EPA) mencatat tidak kurang dari 300 ribu anak berusia 1-5
tahun menderita bronkhitis dan pneumonia, karena turut menghisap asap rokok
yang dihembuskan orang disekitarnya terutama ayah dan ibunya. Merokok
merupakan kebiasan yang dilakukan oleh indvidu yang menimbulkan pencemaran
udara di lingkungan sekitar, dimana pencemaran udara meningktakan kasus
kesakitan dan akibat penyakit saluran pernapasan (Alamsyah dan Muliawati,
2013: 171)
Sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Milo, Ismanto,
dan Kallo (2015) di Puskesmas Sario Kota Manado tentang hubungan kebiasaan
merokok di dalam rumah dengan kejadian ISPA pada anak umur 1-5 tahun,
menyatakan ada hubungan antara kebiasaan merokok di dalam rumah dengan
kejadian ISPA pada anak. Hal yang sama juga di peroleh dari penelitian Isnaini, M
(2012) yang meneliti tentang pengaruh kebiasaan merokok keluarga didalam
rumah terhadap kejadian ISPA pada balita di Kabupaten Kampar Riau, yang
menyatakan bahwa keluarga yang mempunyai kebiasann merokok didalam rumah
5
mempunyai resiko 4,043 kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga yang
tidak memiliki kebiasaan merokok didalam rumah.
Hasil Observasi awal di wilayah kerja Puskesmas Rumbai pada tanggal 10
dan 27 Februari 2018, masih ditemukan warga yang membakar sampah di
pekarangan rumah. Beberapa penduduk memelihara hewan ternak seperti bebek,
angsa, dan ayam, juga hewan peliharaan seperti burung, kucing dan anjing yang
umumnya masyarakat menempatkan kandangnya di dekat rumah. Pada saat survei
pendahuluan masih warga yang pada umumnya adalah bapak-bapak dan remaja
laki-laki yang merokok didalam rumah. Dari hasil survei awal pada tanggal 10
Februari 2018 di RT 3 RW 10 kelurahan limbungan dari 3 keluarga yang
mempunyai balita ditemukan 1 balita menderita ISPA dengan gejala batuk pilek.
Ibu balita tersebut mengatakan bahwa suaminya merupakan seorang perokok aktif
dan sering merokok dirumah, ibu balita itu juga mengatakan kalau untuk
penanganan sampah mereka lebih sering membakar sampah di pekarangan rumah,
hal ini dikarenakan tidak ada pilihan lain. Pada tanggal 27 Februari 2018 peneliti
melakukan kunjungan ke Puskesmas Rumbai. Peneliti mendatangi poli anak, dari
12 kunjungan bayi dan balita 9 diantaranya didiagnosis menderita ISPA dengan
gejala batuk dan pilek.
Melihat tingginya angka kejadi ISPA pada balita, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul penelitian hubungan lingkungan tempat
tinggal dan perilaku merokok di rumah dengan angka kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Rumbai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
tentang ada atau tidaknya hubungan lingkungan tempat tinggal balita dan adanya
perokok dirumah dengan angka kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja
Puskesmas Rumbai.
masih belum mampu untuk melawan virus ISPA. Dikarenakan angka kejadian
ISPA yang cukup tinggi di dunia, membuat penelitian tentang kejadian ISPA
sangat menarik untuk diteliti. Berdasarkan fenomena yang terjadi di masyarakat
peneliti merurumuskan masalah penelitian tentang Apakah ada hubungan
lingkungan tempat tinggal dan perilaku merokok di rumah dengan kejadian ISPA
pada balita di wilayah kerja Puskesmas Rumbai ?