Anda di halaman 1dari 36

PENDAHULUAN

Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran pernapasan akut


(ISPA) yang menjadi penyebab kematian utama pada anak usia dibawah lima tahun
(balita). World Health Organization (WHO) memperkirakan kematian balita karena
pneumonia di seluruh dunia sebesar 15%, dan pada tahun 2015 diperkirakan akan
ada 922.000 kematian balita yang disebabkan oleh pneumonia1,2.
Lebih dari dua juta anak meninggal karena pneumonia, hal ini menunjukkan
bahwa satu dari lima balitameninggal dunia karena pneumonia. United Nations
International Children's EmergencyFund (UNICEF) menyatakan pneumonia sebagai
“The forgotten Killer of Children” atau pembunuh anak paling utama yang
terlupakan. Hal ini dikarenakan masih sedikit perhatian yang diberikan pada penyakit
ini3,4.
Indonesia menempati urutan kedelapan sebagai negara dengan jumlah kasus
pneumonia yang tinggi pada balita. Data riset kesehatan dasar (Riskesdas) Tahun
2013menunjukkan bahwa Period Prevalence Pneumonia pada balita meningkat dari
2,1% pada tahun 2007 menjadi 2,7% pada tahun 2013. Hal tersebut menunjukkan
bahwa angkacakupan penemuan pneumonia balita tidak mengalami perkembangan,
berkisar antara 20-30%hingga tahun 2014. Beberapa tahun terakhir, cakupan
penemuan pneumonia tidakpernah mencapai target nasional, termasuk target tahun
2014 sebesar 80%. Angkakematian akibat pneumonia balita sebesar 0,08%, lebih
rendah dibandingkan dengan tahun 2013 yang sebesar 1,19%. Pada kelompok bayi,
angka kematian lebih tinggi yaitu sebesar0,11% dibandingkan pada kelompok umur
1-4 tahun yang sebesar 0,06%.
Penyakit tuberkulosis pada anak merupakan penyakit yang bersifat sistemik,
yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ, terutama paru. Sifat sistemik ini
disebabkan oleh penyebaran hematogen dan limfogen setelah terjadi infeksi
Mycobacterium tuberculosis. Data insidens dan prevalens tuberkulosis anak tidak
mudah. Dengan penelitian indeks tuberkulin dapat diperkirakan angka kejadian
prevalens tuberkulosis anak. Kriteria masalah tuberkulosis di suatu negara adalah

1
kasus BTA positif per satu juta penduduk. Jadi sampai saat ini belum ada satu negara
pun yang bebas tuberkulosis. TB merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan
pemberian imunisasi BCG pada anak dan pengobatan sumber infeksi, yaitu penderita
TB dewasa. Disamping itu dengan adanya penyakit karena HIV maka perhatian pada
penyakit TB harus lebih ditingkatkan. Anak biasanya tertular TB, atau juga disebut
mendapat infeksi primer TB, akan membentuk imunitas sehingga uji tuberkulin akan
menjadi positif.Tidak semua anak yang terinfeksi TB primer ini akan sakit TB.3,4,5,9,12
Efusi pleura secara definisi diartikan sebagai adanya cairan di ruang pleura yang
muncul lebih sedikit pada anak-anak dibandingkan orang dewasa, serta
dapatdisebabkkan oleh beragam infeksi dan penyakit non-infeksi. Efusi pleura pada
anak-anak umumnya kebanyakan adalah infeksi (50-70%efusi parapneumonik), gagal
jantung kongestif adalah penyebab yang lebih sedikit(5-15%) dan keganasan adalah
kasus yang jarang.
Gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara di
dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang di Asia, Afrika, Amerika
Tengah, dan Amerika Selatan. Salah satu klasifikasi dari gizi buruk adalah
marasmus-kwashiorkor. Di seluruh dunia, diperkirakan terdapat 825 juta orang yang
menderita gizi buruk pada tahun 2000–2002, dan 815 juta diantaranya hidup di
negara berkembang. Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak-anak di
bawah umur 5 tahun (balita). Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di
Indonesia masih tinggi. Berdasarkan laporan propinsi selama tahun 2005 terdapat
76.178 balita mengalami gizi buruk dan data Susenas (Survei Sosial dan
Ekonomi Nasional) tahun 2005 memperlihatkan prevalensi balita gizi buruk
sebesar 8,8%. Pada tahun 2005 telah terjadi peningkatan jumlah kasus gizi buruk di
beberapa propinsi dan yang tertinggi terjadi di dua propinsi yaitu Nusa Tenggara
Timur dan Nusa Tenggara Barat.1,2
Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya gizi buruk dan faktor tersebut
saling berkaitan. Secara langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu anak kurang
mendapat asupan gizi seimbang dalam waktu cukup lama dan anak menderita
penyakit infeksi. Anak yang sakit, asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan oleh

2
tubuh secara optimal karena adanya gangguan penyerapan akibat penyakit
infeksi. Secara tidak langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu tidak
cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, pola asuh kurang memadai, dan
sanitasi / kesehatan lingkungan kurang baik, serta akses pelayanan kesehatan terbatas.
Akar masalah tersebut berkaitan erat dengan rendahnya tingkat pendidikan, tingkat
pendapatan dan kemiskinan keluarga.

3
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : An. AR
No. DM : 47 63 70
Umur : 2 Tahun 3 bulan
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : KP
Suku Bangsa : Papua
Alamat : Kotaraja
Pekerjaan Ayah : Nelayan
Pekerjaan Ibu : PNS
Pendidikan :-
Tanggal MRS : 4 September 2018

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara heteroanamnesis (Ibu pasien).

Keluhan Utama
Sesak nafas

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang diantar oleh keluarganya ke poliklinik RSUD Abepura dengan keluhan
sesak nafas, sebelumnya pasien ke poli anak RS Dian Harapan dan di rawat selama 5
hari setelah itu pasien dipulangkan dan kembali ke mambramo, setelah beberapa
minggu keluhan sesak nafas kembali lagi dan pasien di bawa ke poli anak RS
Bhayankara kemudian diberikan obat penurun panas dan batuk selama 5 hari tetapi
tidak ada perubahan. Sesak nafas dirasakan terus menerus sejak ± 2 minggu SMRS..
Sesak tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi. Sesak setelah beraktivitas (-). Sesak
juga memberat pada malam hari, dan sedikit mereda dipagi hari.Riwayat terbangun

4
saat tidur karena sesak (-), riwayat alergi (-). Pasien juga mengeluh demam sejak 2
minggu SMRS. Demam dirasakan hilang timbul dan memberat saat menjelang sore
hari dan sedikit mereda dipagi hari. Demam yang dirasakan disertai dengan
menggigil. Selain itu, pasien juga mengeluh batuk. Batuk dirasakan terus menerus
sejak ± 3minggu SMRS. Batuk disertai lendir (+) kental dan berwarna putih keruh,
darah (-), berbau (+), nyeri menelan (-).Riwayat kontak dalam lingkungan dengan
keluhan batuk (+), riwayat tes mantoux sebelumnya (-), riwayat penurunan berat
badan dalam sebulan terakhir disangkal, riwayat kelainan tulang dan sendi (-),
riwayat foto rontgen sebelumnya (+).

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien sebelumnya pernah dirawat sebelum masuk rumah sakit abepura. Riwayat
pengobatan paru – paru sebelumnya disangkal (-).

Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi dasar lengkap namun orang tua pasien lupa tanggalnya

Riwayat Keluarga
Ada anggota keluarga yang mengalami sakit seperti yang dialami pasien(Tete pasien)
dan sekrang dalam pengobatan program tb paru.

Riwayat Sosial
Pasien tinggal bersama kedua orang tua dan bersama nenek tete serta om dan tante
pasien. Memasak masih menggunakan bahan bakar kayu dan kompor. Saat tidur
pasien tidak pernah menggunakan kelambu dan tidak memakai tempat tidur.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Tampak sesak
Kesadaran : Compos mentis

5
Tanda Vital : Nadi: 135 x/menit, reguler, tegangan cukup, kuat angkat;
Respirasi 69 x/menit; Suhu badan 38,4oC, SpO2 90%.
Berat Badan : 10 kg
Panjang Badan : 90 cm

Status Generalis
1. Kepala
 Normosefal, ubun – ubun normal
 Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikerik (-/-), edema palpebra (-/-)
 Pernapasan cuping hidung (-/-)
 Mulut:
o Mukosa bibir lembab (+)
o Oral candidiasis (-/-)
o Lidah kotor (-)
o Stomatitis daerah ujung lidah (-)
o Perdarahan gusi (-)
o Faring hiperemis (-/-)
o Tonsil T1/T1, hiperemis (-/-)
 Telinga:
o Sekret (-/-), lesi (-/-)
2. Leher :
 Pembesaran KGB regio colli (-), peningkatan JVP (-), pembesaran kelenjar
tiroid (-)
3. Pulmo :
 Inspeksi :Simetris bilateral, ikut gerak napas, retraksi (-), jejas (-)
 Palpasi : sulit dievaluasi
 Perkusi : pekak pada daerah basal
 Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+); Rhonki (+/+); Wheezing (-/-)

6
4. Cor
 Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
5. Abdomen
 Inspeksi: meteorismus (-)
 Auskultasi: bising usus (+)
 Palpasi: supel, nyeri tekan (-) regio epigastrium, hepar - lien (tidak teraba
besar), turgor kembali cepat (+) normal
 Perkusi: timpani
6. Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2”, petekie (-), edema (-), anemis (-), sianosis
(-), Ikterus (-), nodul (-)
7. Status Neurologis:
 Refleks Fisiologi : biseps, triseps refleks (Positif)
 Refleks Patologis : Babinsky (Negatif)
 Rangsang Meningeal : Kaku Kuduk (Negatif) ; Brudzinsky 1 (Negatif)
9. Status Gizi berdasarkan indeks BB/PB
BB = 10 kg
PB = 90 cm
Kategori status gizi pasien = Gizi Buruk (- 3 SD)

7
2.4 Diagnosis Kerja
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan,
pasien didiagnosis dengan bronkopneumonia, TB paru, Efusi pleura, Gizi Buruk
marasmus

2.5 Diagnosis Banding


 Bronkiolitis
 Bronkitis
 Asma
 ISPA
 Gizi buruk kwarshiorkor

2.6 Penatalaksanaan
1. Perencanaan Terapi
 O2 nasal 1-2 lpm
 IVFD D5 ½ NS15 TPM mikro
 Inj. Ceftriaxone 2 x 550mg/iv

8
 Inj. Gentamisin 1 x 60mg/iv
 Nebu combivent 1 rep+NaCl 3 cc 3x1
2. Rawat Inap untuk observasi lebih lanjut
3. Pro foto thoraks PA
4. Pro periksa darah lengkap

2.7 Prognosis
Quo ad vitam :dubia
Quo ad functionam :dubia
Quo ad sanationam : dubia

2.9 Resume
Seorang anak laki-laki, usia2 tahun 3 bulan, berat badan 10 kg, panjang badan
90 cm. Pasien datang dengan keluhan sesak nafassejak ± 2 minggu SMRS. Sesak
nafas dirasakan terus menerus . Selain sesak, pasien juga mengeluh demam, batuk
berlendir.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital respirasi 69x/menit; suhu
badan 38,4oC, SpO2 90%. Status generalis didapatkan pernapasan cuping hidung,
retraksi subkostal (+) dan pada auskultasi paru suara napas bronkovesikuler, bunyi
rhonki basah halus pada apeks paru destra dan sinistra (+/+) serta bising usus
meningkat. Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan WBC 16.700 /µL
(Leukositosis) dan pada foto usg thorax didapatkan gambaran infiltrat minimal pada
kedua lapang paru. Dan pada status gizi anak ini termasuk dalam status gizi buruk
karna pada kurva tumbuh kembang who berdasarkan BB dan panjang badan berada
pada -3SD

9
2.10 Follow Up
An. AAR, 2 tahun 3 bulan, BB 10 kg
Planning
Hari,
Follow Up (Hasil Lab dan Terapi
Tanggal
Medikamentosa)
Kamis , S : Sesak (+), Demam (-), batuk Terapi Medikamentosa
6/9/2018 berlendir(+),darah (-)  O2 nasal 1-2 lpm
Kesadaran: Compos Mentis  IVFD D5 ½ NS15 TPM mikro
Keadaan Umum : Tampak  Inj. Ceftriaxone 2 x 500mg/iv
lemah  Inj. Gentamisin 2 x 30mg/iv
TTV: Nadi 121 x/m, reguler,  Nebu combivent 1 rep+NaCl 3
kuat angkat; RR: 61x/m, SB: cc 3x1
o
37,1 C  FDC 1X2 TAB
Kepala: Normosefal, ubun –  Post transfusi PRC 110 cc
ubun normal, CA (-/-), SI (-/-),
Tonsil T1/T1 hiperemis (-)
Darah Lengkap (5 september
Leher:P > KGB(-), kaku kuduk
2018)
(-), P ↑ JVP (-), P > kelenjar
Pemeriksaan Hasil
tiroid (-)
HGB 6,5
Thorax :Simetris bilateral, ikut
RBC 3,78x106
gerak nafas, retraksi(-), suara
HCT 21,6%
nafas vesikuler (+), Rhonki
WBC 22,39x103
(+/+), Wheezing (-/-), BJ I-II
PLT 618x103
Reguler, mur-mur (-), galop (-)
MCV 57,1
Abdomen : meteorismus (-), BU
MCH 17,2
(+) normal, hepar/lien tidak
MCHC 30,1
teraba, nyeri tekan (-)
DDR Negatif
Ekstremitas: akral hangat, CRT
AST 27
<2”
ALT 5

10
Kulit: turgor kulit normal GDS 65
Scoring TB:
-Kontak TB:3 Hasil Radiologi (5 september 2018)
-Demam >2minggu:1
-batuk >3minggu:1
- klinis gizi buruk atau BB/TB <
70% BB/U < 60 %:2
-Foto:1

A:
Kesimpulan:pleuropneumonia
 Bronkopneumonia
bilateral terutama kiri e.c TB paru
 TB paru
aktif
Saran:
USG thoraks
Jumat, S : Sesak sedikit berkurang, Terapi Medikamentosa
7- batuk(+).  O2 nasal 1-2 lpm
10/9/201 Kesadaran: Compos Mentis  IVFD D5 ½ NS15 TPM mikro
8 Keadaan Umum : Tampak ada  Inj. Ceftriaxone 2 x 500mg/iv
perbaikan  Inj. Gentamisin 2 x 30mg/iv
TTV: Nadi 132 x/m, reguler,  Nebu combivent 1 rep+NaCl 3
kuat angkat; RR: 57 x/m, SB: cc 3x1
o
36,9 C  FDC 1X2 TAB
Kepala:Normosefal, ubun –  PBP 3x1
ubun normal, CA (-/-), SI (-/-),
Tonsil T1/T1 hiperemis (-)
Hasil Lab (6 september 2018)
Leher:P > KGB(-), kaku kuduk Hb : 8,2 g/dl
(-), P ↑ JVP (-), P > kelenjar HCT : 26,6%
tiroid (-) MCV : 60,0 Fl
Thorax :Simetris bilateral, ikut

11
gerak nafas, retraksi(-), suara MCH : 18,5 pg
nafas vesikuler (+), Rhonki MCHC: 30,8 g/dl
(+/+), Wheezing (-/-), BJ I-II WBC 17,49
Reguler, mur-mur (-), galop (-) EO : 0,15 %
Abdomen : meteorismus (-), BU BASO : 0,06 %
(+) normal, hepar/lien tidak NEUT : 10,45 %
teraba, nyeri tekan (-) LYMPH : 3,77 %
Ekstremitas: akral hangat, CRT MONO : 3,06 %
<2” PLT 636.000
Kulit: turgor kulit normal RBC L: 4,43
A:
 Bronkopneumonia Hasil USG thoraks (10 september
 TB paru 2018)

Kesimpulan:efusi pleura kiri disertai


proses inflamasi(pleuropneumonia
efusi pleura kanan minimal)
Selasa, S : Sesak berkurang (+), batuk Terapi Medikamentosa
9- (+),  O2 nasal 1-2 lpm
16/9/201 Kesadaran: Compos Mentis  IVFD D5 ½ NS15 TPM mikro
8 Keadaan Umum : Tampak baik  Inj. Ceftriaxone 2 x 500mg/iv
TTV: Nadi 137 x/m, reguler,  Inj. Gentamisin 2 x 30mg/iv
kuat angkat; RR: 30 x/m, SB:  Nebu combivent 1 rep+NaCl 3
o
37,0 C cc 3x1
Kepala: Normosefal, ubun –  FDC 1X2 TAB
ubun normal, CA (-/-), SI (-/-),  PBP 3x1
Tonsil T1/T1 hiperemis (-)

12
Leher:P > KGB(-), kaku kuduk  Drip Paracetamol 3x120 mg
(-), P ↑ JVP (-), P > kelenjar  Inj.dexametason 3x2 mg
tiroid (-)  Susu F 75 8x50 ml tgl 15-9-
Thorax :Simetris bilateral, ikut 2018 diganti F 100 8x50 ml
gerak nafas, retraksi(-), suara  Asam folat 1x1 mg (pulv)
nafas vesikuler (+), Rhonki  Rawat HCU
(+/+), Wheezing (-/-), BJ I-II  Konsul bedah
Reguler, mur-mur (-), galop (-)
Abdomen : meteorismus (-), BU
(+) normal, hepar/lien tidak
teraba, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT
<2”
Kulit:turgor kulit normal
A:
 Bronkopneumonia
 TB Paru
 Efusi Pleura
 Gizi buruk
Senin, S : Sesak berkurang (+), batuk Terapi Medikamentosa
17/9/201 (+),  O2 nasal 1-2 lpm
8 Kesadaran: Compos Mentis  IVFD D5 ½ NS15 TPM mikro
Keadaan Umum : Tampak baik  Inj. Ceftazidime 3x275 mg
TTV: Nadi 118 x/m, reguler,  Inj. Aminofilin 3x33mg drip
kuat angkat; RR: 32 x/m, SB: dalam D5 50 cc dalam 30
o
36,5 C spo2:99% menit
Kepala: Normosefal, ubun –  Nebu combivent 1 rep+NaCl 3
ubun normal, CA (-/-), SI (-/-), cc 3x1
Tonsil T1/T1 hiperemis (-)  FDC 1X2 TAB

13
Leher:P > KGB(-), kaku kuduk  PBP 3x1
(-), P ↑ JVP (-), P > kelenjar  Drip Paracetamol 3x120 mg
tiroid (-)  Inj.dexametason 3x2 mg
Thorax :Simetris bilateral, ikut  Susu F 100 8x50 ml
gerak nafas, retraksi(-), suara  Asam folat 1x1 mg (pulv)
nafas vesikuler (+), Rhonki  cek DL, Ro thorax pro evaluasi
(+/+), Wheezing (-/-), BJ I-II
Reguler, mur-mur (-), galop (-)
Abdomen : meteorismus (-), BU
(+) normal, hepar/lien tidak
teraba, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT
<2”
Kulit:turgor kulit normal
A:
 Bronkopneumonia
 TB Paru
 Efusi Pleura
 Gizi buruk
Selasa, S : Sesak berkurang (+), batuk Terapi Medikamentosa
18/9/201 (+),  O2 nasal 1-2 lpm
8 Kesadaran: Compos Mentis  IVFD D5 ½ NS15 TPM mikro
Keadaan Umum : Tampak baik  Inj. Ceftazidime 3x275 mg
TTV: Nadi 130 x/m, reguler,  Inj. Aminofilin 3x33mg drip
kuat angkat; RR: 50 x/m, SB: dalam D5 50 cc dalam 30
o
36,7 C spo2:97% menit
Kepala: Normosefal, ubun –  Nebu combivent 1 rep+NaCl 3
ubun normal, CA (-/-), SI (-/-), cc 3x1
NCH (-/-), Tonsil T1/T1  FDC 1X2 TAB

14
hiperemis (-)  PBP 3x1
Leher:P > KGB(-), kaku kuduk  Drip Paracetamol 3x120 mg
(-), P ↑ JVP (-), P > kelenjar  Inj.dexametason 3x2 mg
tiroid (-)  Susu F 100 8x50 ml
Thorax :Simetris bilateral, ikut  Asam folat 1x1 mg (pulv)
gerak nafas, retraksi(-), suara
nafas vesikuler (+),
Rhonki Hasil Lab (17 september 2018)
(+/+), Wheezing (-/-), BJ I-II Hb : 9,5 g/dl
Reguler, mur-mur (-), galop (-) HCT : 32%
Abdomen : meteorismus (-), BU MCV : 66,4 Fl
(+) normal, hepar/lien tidak MCH : 19,7 pg
teraba, nyeri tekan (-) MCHC: 29,7 g/dl
Ekstremitas: akral hangat, CRT WBC 18,58
<2” EO : 0,13 %
Kulit:turgor kulit normal BASO : 0,09 %
A: NEUT : 13,35 %
 Bronkopneumonia LYMPH : 3,70 %
 TB Paru MONO : 1,31 %
 Efusi Pleura PLT 861.000
 Gizi buruk RBC : 4,82
Hasil Radiologi (17 september
2018)

Kesimpulan: pleuropneumonia
bilateral terutama kiri

15
Rabu, S : Sesak berkurang (+), batuk Terapi Medikamentosa
19- (+),  O2 nasal 1-2 lpm
21/9/201 Kesadaran: Compos Mentis  IVFD D5 ½ NS15 TPM mikro
8 Keadaan Umum : Tampak baik  Inj. Ceftazidime 3x275 mg
TTV: Nadi 138 x/m, reguler,  Inj. Aminofilin 3x33mg drip
kuat angkat; RR: 28 x/m, SB: dalam D5 50 cc dalam 30
o
36,6 C spo2:98% menit
Kepala: Normosefal, ubun –  Nebu combivent 1 rep+NaCl 3
ubun normal, CA (-/-), SI (-/-), cc 3x1
Tonsil T1/T1 hiperemis (-)  FDC 1X2 TAB
Leher:P > KGB(-), kaku kuduk  PBP 3x1
(-), P ↑ JVP (-), P > kelenjar
 Drip Paracetamol 3x120 mg
tiroid (-)
 Inj.dexametason 3x2 mg
Thorax :Simetris bilateral, ikut
 Susu F 100 8x50 ml
gerak nafas, retraksi(-), suara
 Asam folat 1x1 mg (pulv)
nafas vesikuler (+), Rhonki
 Amikasin 1x165mg
(+/+), Wheezing (-/-), BJ I-II
 fisioterapi
Reguler, mur-mur (-), galop (-)
Abdomen : meteorismus (-), BU
(+) normal, hepar/lien tidak
teraba, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT
<2”
Kulit:turgor kulit normal
A:
 Bronkopneumonia
 TB Paru
 Efusi Pleura

16
 Gizi buruk
Sabtu, S : Sesak berkurang (+), batuk Terapi Medikamentosa
22- (+),  O2 nasal 1-2 lpm
26/9/201 Kesadaran: Compos Mentis  IVFD D5 ½ NS15 TPM mikro
8 Keadaan Umum : Tampak baik  Inj. Meropenem 2x250mg
TTV: Nadi 129 x/m, reguler,  Inj. Aminofilin 3x33mg drip
kuat angkat; RR: 44 x/m, SB: dalam D5 50 cc dalam 30
o
36,6 C spo2:98% menit
Kepala: Normosefal, ubun –  Nebu combivent 1 rep+NaCl 3
ubun normal, CA (-/-), SI (-/-), cc 3x1
Tonsil T1/T1 hiperemis (-)  FDC 1X2 TAB
Leher:P > KGB(-), kaku kuduk  PBP 3x1
(-), P ↑ JVP (-), P > kelenjar
 Drip Paracetamol 3x120 mg
tiroid (-)
 Inj.dexametason 3x2 mg
Thorax :Simetris bilateral, ikut
 Susu F 100 8x50 ml
gerak nafas, retraksi(-), suara
 Asam folat 1x1 mg (pulv)
nafas vesikuler (+), Rhonki
 Amikasin 1x165mg
(+/+), Wheezing (-/-), BJ I-II
 fisioterapi
Reguler, mur-mur (-), galop (-)
Abdomen : meteorismus (-), BU
(+) normal, hepar/lien tidak
teraba, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT
<2”
Kulit:turgor kulit normal
A:
 Bronkopneumonia
 TB Paru
 Efusi Pleura

17
 Gizi buruk
Kamis, S : Sesak berkurang(+),batuk (+), Terapi Medikamentosa
27/9/201 Kesadaran: Compos Mentis  O2 nasal 1-2 lpm
8 Keadaan Umum : Tampak baik  IVFD D5 ½ NS15 TPM mikro
TTV: Nadi 129 x/m, reguler,  Inj. Meropenem 2x250mg
kuat angkat; RR: 44 x/m, SB:  Inj. Aminofilin 3x33mg drip
o
36,6 C spo2:98% dalam D5 50 cc dalam 30
Kepala: Normosefal, ubun – menit
ubun normal, CA (-/-), SI (-/-),  Nebu combivent 1 rep+NaCl 3
Tonsil T1/T1 hiperemis (-) cc 3x1
Leher:P > KGB(-), kaku kuduk  FDC 1X2 TAB
(-), P ↑ JVP (-), P > kelenjar  PBP 3x1
tiroid (-)
 Drip Paracetamol 3x120 mg
Thorax :Simetris bilateral, ikut
 Inj.dexametason 3x2 mgstop
gerak nafas, retraksi(-), suara
 Prednisone 5-5-5 mg
nafas vesikuler (+), Rhonki
 Susu F 100 8x50 ml
(+/+), Wheezing (-/-), BJ I-II
 Asam folat 1x1 mg (pulv)
Reguler, mur-mur (-), galop (-)
 Amikasin 1x165mg
Abdomen : meteorismus (-), BU
 fisioterapi
(+) normal, hepar/lien tidak
teraba, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT
<2”
Kulit:turgor kulit normal
A:
 Bronkopneumonia
 TB Paru
 Efusi Pleura
 Gizi buruk

18
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesa didapatkan pasien datang dengan keluhan sesak nafas.


Sesak nafas dirasakan terus menerus sepanjang hari sejak ± 2 minggu SMRS. Sesak
tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi. Sesak setelah beraktivitas (-). Sesak juga
memberat dimalam hari, dan sedikit mereda dipagi hari. Riwayat terbangun saat tidur
karena sesak (-), riwayat alergi (-).
Berdasarkan teori, ada beberapa penyakit saluran respiratorius yang dapat
menyebabkan sesak napas pada anak di antaranya adalah bronkopneumonia,
bronkiolitis akut, efusi pleura, dan pneumotoraks1. Sesak pertama kali dirasakan
menandakan bahwa tidak ada riwayat sesak sebelumnya. Sesak tidak dipengaruhi
perubahan posisi, berat ringannya aktivitas, dan tidak ada riwayat terbangun tengah
malam dari tidur karena sesak menyingkirkan gejala – gejala sesak yang disebabkan
oleh kelainan jantung. Berdasarkan teori, takipnea tanpa dispnea yang signifikan
merupakan salah satu gejala gagal jantung.
Dalam anamnesa juga ditemukan pasien mengeluh demam sejak 2 minggu
SMRS. Demam dirasakan hilang timbul dan memberat saat menjelang sore hari dan
sedikit mereda dipagi hari. Demam yang dirasakan disertai dengan menggigil. Selain
itu, pasien juga mengeluh batuk. Batuk dirasakan terus menerus sejak 3 minggu
SMRS. Batuk disertai lendir (+) kental dan berwarna putih keruh, darah (-), berbau
(+), nyeri menelan (-).Riwayat kontak dalam lingkungan dengan keluhan batuk (+),
riwayat tes mantoux sebelumnya (-), riwayat penurunan berat badan dalam sebulan
terakhir , riwayat kelainan tulang dan sendi (-), riwayat foto rontgen sebelumnya (-).
Berdasarkan anamnesa, dapat di tegakkan sesak akibat TB paru yaitu dengan
menentukan skor TB, dimana skor batuk lebih dari 3 minggu berjumlah 1,
berjumlah 2 dimana kontak dalam lingkungan keluarga dengan keluhan batuk
berkepanjangan. Sehingga dapat dipikirkan juga kemungkinan yaitu
bronkopneumonia dimana, kejadiannya paling tinggi pada bayi dan anak – anak
dengan gambaran klinis berupa demam, batuk dan sesak. Berdasarkan teori,
Pneumonia pada anak umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang

19
menunjukkan gangguan sistem respiratori serta gambaran radiologis. Prediktor paling
kuat menunjukkan penumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala
respiratori antara lain takipnea, batuk, napas cuping hidung, ronki, dan suara napas
melemah4. Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian
atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40ºC dan
mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispneu,
pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis disekitar
hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit, anak akan
mendapat batuk setelah beberapa hari, dimana pada awalnya merupakan batuk kering
kemudian menjadi batuk produktif6,7.
Pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan respirasi per menit (69 kali), ,
peningkatan JVP (-), retraksi dada (-), pada auskultasi paru terdengar suara nafas
vesikuler dengan rhonki, pada pemeriksaan jantung ditemukan bunyi jantung 1-2
reguler tanpa disertai adanya murmur maupun gallop, dan pada pemeriksaan
abdomen, hepar dan lien tidak teraba pembesaran. Sedangkan pada pemeriksaan paru
ditemukan suara nafas vesikuler disertai rhonki, menunjukan kelainan pada paru..
Berdasarkan teori, pada pemeriksaan penunjang, gambaran radiologis
bronkopneumonia mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan corakan
bronkovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang paru.
Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus bawah. Pneumonia bakterial ditandai
oleh adanya konsolidasi lobaris atau pneumonia berbentuk bundar disertai dengan
adanya efusi pleura pada 10-30% kasus. Gambaran radiologi pada pneumonia viral
adalah infiltrat bronkopneumonia yang berbentuk seperti garis yang tumpang tindih
(streaky) dan menyebar (difus). Pneumonia atipikal seperti pada infeksi paru akibat
M. Pneumonia dan C. Pneumonia, memperlihatkan tanda peningkatan gambaran
interstisial atau bronkopneumonia. Selain itu ditemukannya peningkatan leukosit
pada pemeriksaan darah lengkap senilai 16.710 m3. Peningkatan jumlah leukosit
menunjukan adanya infeksi patogen. Berdasarkan teori, pada pemeriksaan darah
lengkap, terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung jenis leukosit pada pneumonia
viral seringkali normal ataupun sedikit meningkat, dengan limfosit predominan,

20
sedangkan pada pneumonia bakterial hitung jenis leukosit mengalami peningkatan (>
20.000 mm3) dengan predominan neutrofil. Pada hitung jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta peningkatan LED3,8,9.
Pada kasus ini pasien didiagnosis dengan bronkopneumonia. Berdasarkan
anamnesa ditemukan keluhan berupa sesak disertai demam, batuk produktif. Keadaan
umum tampak rewel. Berdasarkan pemeriksaan fisik, tanda –tanda vital ditemukan
peningkatan respirasi dan suhu tubuh, suara nafas vesikuler disertai rhonki serta
bising usus yang meningkat. Serta berdasarkan pemeriksaan penunjang ditemukan
gambaran radiologi dominan infiltrat disertai peningkatan leukosit pada pemeriksaan
darah rutin. Berdasarkan teori, diagnosis pneumonia ditegakkan bila ditemukan 3 dari
5 gejala berikut berupa sesak napas disertai dengan pernapasan cuping hidung dan
tarikan dinding dada, panas badan, ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles), foto
thoraks menunjukkan gambaran infiltrat difus dan leukositosis (infeksi virus tidak
melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000, dan
neutrofil yang predominan)3,6,8.
Pada kasus ini diagnosis banding yang mendekati adalah bronkiolitis.
Berdasarkan anamnesa, pasien berusia 2 tahun 3 bulan, merupakan rentang usia yang
cenderung mengalami bronkopneumonia maupun bronkiolitis, dari keluhan sesak,
demam dan batuk dapat juga ditemukan pada pasien – pasien dengan bronkiolitis.
Berdasarkan teori, terdapat perbedaan yang terlihat dari segi usia dimana bronkiolitis
cenderung terjadi pada usia 2 bulan – 2 tahun sedangkan pada bronkopneumonia
mencakup semua usia. Penyebab bronkiolitis adalah virus Respiratory Syncitial Virus
(RSV sehingga pada tes RSV hasilnya selalu positif, sedangkan pada
bronkopneumonia bukan hanya virus melainkan patogen lain seperti bakteri maupun
jamur sehingga pada tes RSV hasilnya bisa positif maupun negatif. Berdasarkan
pemeriksaan fisik, pada bronkopneumonia dapat ditemukan rhonki positif di fase
inspirasi sedangkan pada bronkiolitis ditemukan pada fase inspirasi. Pada gambaran
radiologis, bronkiolitis akan tampak berupa gambaran hiperaerasi, sedangkan
bronkopneumonia tampak sebagai gambaran infiltrat. Keluhan padabronkopneumonia
dapat ditemukan pulapada bronkiolitis namun biasanya pada bronkiolitis akut

21
didahului dengan batuk kering disertai demam yang tidak terlalu tinggi, pasien juga
mengalami takipneu dan sianosis. Bronkiolitis akut juga sering timbul gejala pilek
(nasal discharge) sebelum adanya gejala lain.Padabronkiolitis auskultasi paru
ditemukan bunyi wheezing yang sangat jelas, sedangkan pada bronkopneumonia
suara rhonki basah halus nyaring yang ditemukan dominan dan pada beberapa kasus
ringan jarang ditemukan wheezing3,5.
Pada kasus ini pasien didiagnosis dengan bronkopneumonia. Berdasarkan
anamnesa ditemukan keluhan berupa sesak disertai demam, batuk produktif. Keadaan
umum tampak rewel. Berdasarkan pemeriksaan fisik, tanda –tanda vital ditemukan
peningkatan respirasi dan suhu tubuh, suara nafas vesikuler disertai rhonki serta
bising usus yang meningkat. Serta berdasarkan pemeriksaan penunjang ditemukan
gambaran radiologi dominan infiltrat di sertai peningkatan leukosit pada pemeriksaan
darah rutin. Berdasarkan teori, diagnosis pneumonia ditegakkan bila ditemukan 3 dari
5 gejala berikut berupa sesak napas disertai dengan pernapasan cuping hidung dan
tarikan dinding dada, panas badan, ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles), foto
thoraks menunjukkan gambaran infiltrat difus dan leukositosis (infeksi virus tidak
melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000, dan
neutrofil yang predominan)3,6,8.
Pada kasus ini diagnosis banding yang mendekati adalah bronkiolitis.
Berdasarkan anamnesa, pasien berusia 2 tahun 3 bulan, merupakan rentang usia yang
cenderung mengalami bronkopneumonia maupun bronkiolitis, dari keluhan sesak,
demam dan batuk dapat juga ditemukan pada pasien – pasien dengan bronkiolitis.
Berdasarkan teori, terdapat perbedaan yang terlihat dari segi usia dimana bronkiolitis
cenderung terjadi pada usia 2 bulan – 2 tahun sedangkan pada bronkopneumonia
mencakup semua usia. Penyebab bronkiolitis adalah virus Respiratory Syncitial Virus
(RSV) sehingga pada tes RSV hasilnya selalu positif, sedangkan pada
bronkopneumonia bukan hanya virus melainkan patogen lain seperti bakteri maupun
jamur sehingga pada tes RSV hasilnya bisa positif maupun negatif. Berdasarkan
pemeriksaan fisik, pada bronkopneumonia dapat ditemukan rhonki positif di fase
inspirasi sedangkan pada bronkiolitis ditemukan pada fase inspirasi. Pada gambaran

22
radiologis, bronkiolitis akan tampak berupa gambaran hiperaerasi, sedangkan
bronkopneumonia tampak sebagai gambaran infiltrat. Keluhan padabronkopneumonia
dapat ditemukan pulapada bronkiolitis namun biasanya pada bronkiolitis akut
didahului dengan batuk kering disertai demam yang tidak terlalu tinggi, pasien juga
mengalami takipneu dan sianosis. Bronkiolitis akut juga sering timbul gejala pilek
(nasal discharge) sebelum adanya gejala lain.Padabronkiolitis auskultasi paru
ditemukan bunyi wheezing yang sangat jelas, sedangkan pada bronkopneumonia
suara rhonki basah halus nyaring yang ditemukan dominan dan pada beberapa kasus
ringan jarang ditemukan wheezing3,5.
Pada kasus ini diberikan kombinasi antibiotik golongan sefalosporin generasi
ketiga dengan aminoglikosida. Digunakan cefotaxime karena lebih aktif terhadap
bakteri gram negatif dan aktif pada penyebab Streptococcus pneumoniae
dibandingkan sefalosporin yang lain. Streptococcus pneumoniae adalah bakteri
patogen yang paling umum pada usia 3 minggu sampai 4 tahun. Pemberian empiris
parenteral sefalosporin generasi ketiga (cefotaxime) harus diresepkan untuk balita
yang dirawat di rumah sakit. Adapun penggunaan gentamisin yang merupakan
antibiotik golongan aminoglikosida yang digunakan pada infeksi berat yang
disebabkan oleh kuman gram negatif aerob terutama aktivitas bakterisidal terhadap
Pseudomonas aeruginosa dan spesies Enterobacter.
Berdasarkan teori, Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab
pneumonia pada anak segala usia, selain usia neonatus. Pemberian bronkodilator pada
kasus ini bertujuan untuk mengurangi bronkostriksi akibat produksi
mucus.Berdasarkan teori, terapi pneumonia adalah terapi suportif dan terapi spesifik
yang tergantung pada berat ringannya penyakit, komplikasi dan kuman penyebab
pneumonia. Walaupun sebagian besar kasus pneumonia komunitas pada anak kecil
disebabkan oleh virus, pada sebagian besar situasi para ahli menyarankan pemberian
terapi antibiotik empiris untuk berbagai kasus yang dapat diterapi. Pneumonia
pneumococcus dapat diobati dengan terapi sefalosporin dosis tinggi bahkan dengan
adanya resistensi penisilin tingkat tinggi1,3,5. Berdasarkan teori, terapi nebulisasi
menggunakan salbutamol diberikan untuk mengurangi sesak akibat penyempitan

23
jalan nafas atau bronkospasme akibat hipersekresi mukus. Salbutamol merupakan
suatu obat agonis beta2 adrenegik yang selektif terutama pada otot bronkus.
Salbutamol menghambat pelepasan mediator dari pulmonary mast cell. Namun terapi
nebulisasi bukan menjadi gold standart pengobatan dari bronkopneumonia. Gold
standart pengobatan bronkopneumonia adalah penggunaan 2 antibiotik3,8.
Diagnosis TB Paru ditegakkan dengan hasil uji tuberkulin, foto rontgen paru dan
gambaran klinis, tetapi pada kenyataannya menegakkan diagnosis TB pada anak tidak
selalu mudah.Gejala klinik TB terdiri atas gejala umum atau sistemik (seperti demam,
anoreksia, berat badan menurun, keringat malam dan malaise), dan gejala khusus
sesuai dengan organ yang terkena. Gambaran foto rontgen paru pada TB anak tidak
selalu khas. Biasanya kecurigaan ke arah TB muncul kalau ditemukan pembesaran
kelenjar hilus, paratrakeal dan mediastinum, atelektasis, konsolidasi efusi pleura,
kavitas, emfisema lobus dan gambaran milier.10,11Pemeriksaan bakteriologis TB
untuk mendapatkan bahan pemeriksaan bakteriologis berupa sputum pada anak
sangat sukar, sebagai gantinya biasanya dilakukan bilasan lambung karena cairan
lambung mengandung sputum yang tertelan. Cairan ini pun sebenarnya kurang
memuaskan disamping kesulitan untuk mendapatkan biakan metode pembiakan basil
TB memerlukan waktu cukup lama sehingga dibutuhkan suatu metode pembiakan
yang lebih baik.13

24
Pada pasien didapatkan hasil skoring TB 9 dengan parameter:

Parameter 0 1 2 3
kontak TB tidak jelas - Laporan BTA (+)
keluarga BTA
Positif (≥
(-) / BTA tidak
10mm/≥ 5mm
jelas/ tidak
pada
tahu
imunokompro
mise
Uji negatif - - -
Tuberkulin (
mantoux)
BB/Keadaan - BB/TB < klinis gizi -
gizi 90% atau buruk atau
BB/U < BB/TB < 70%
80% BB/U < 60 %
Demam yang - ≥ 2 minggu - -
tidak
diketahui
penyebab
batuk kronik - ≥ 3 minggu - -
pembesaran - ≥ 1 cm, ≥ - -
kelenjar limfe 1KGB
colli, aksila, tidak -nyeri
inguinal
pembengkaka - Ada - -
n tulang/sendi pembengka
panggul, lutut kan
foto thoraks normal/kelainan gambaran - -

25
tidak jelas sugestif
meningkat
(mendukun
g) TB

Dengan penatalaksanaan sebagai berikut 9,10,12 :

1. Isoniazid

INH adalah obat antituberkulosis yang efektif saat ini bersifat bakterisid dan
sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolit aktif yaitu kuman yang
sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini
efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi kedalam seluruh jaringan
dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal (CSS), cairan pleura, cairan asites,
jaringan caseosa dan angka timbulnya reaksi simpang (adverse reaction) sangat
rendah. Dosis harian INH biasa diberikan 5-15 mg/kgBB/hari, max 300 mg/hari,
secara peroral, diberikan 1x pemberian. INH yang tersedia umumnya dalam bentuk
tablet 100 mg dan 300 mg dan dalam bentuk sirup 100 mg/5 ml.

INH mempunyai 2 efek toksik utama yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer,
tetapi keduanya jarang terjadi pada anak, tetapi frekuensinya meningkat dengan
bertambahnya usia. Hepatotoksik mungkin terjadi pada remaja atau anak-anak
dengan tuberkulosis berat. Idealnya perlu pemantauan kadar transaminase pada 2
bulan pertama. Hepatotoksik akan meningkat apabila INH diberikan bersama dengan
Rifampisin dan PZA. Penggunaan INH bersama dengan fenobartbital atau fenitoin
dapat meningkatkan resiko hepatotoksik. INH tidak dilanjutkan pemberiannya pada
keadaan kadar transaminase serum naik lebih dari 3x harga normal atau terjadi
manifestasi klinik hepatitis, berupa mual, muntah, nyeri perut dan kuning.

26
Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme piridoksin.
Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan INH tetapi manifestasi
klinisnya jarang sehingga tidak diperlukan piridoksin tambahan. Manifestasi klinis
neuritis perifer yang paling sering adalah mati rasa atau kesemutan pada tangan dan
kaki. Piridoksin diberikan 1x sehari 25-50 mg atau 10 mg piridoksin tiap 100 mg
INH.

Manifestasi alergi atau hipersensitivitas yang disebabkan INH jarang terjadi.


Efek samping yang jarang terjadi antara lain pelagra, anemia hemolitik pada pasien
dengan defisiensi enzim G6PD, dan reaksi mirip lupus yang disertai ruam dan artritis.

2. Rifampisin

Rifampisin bersifat bakteriosid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki


semua jaringan, dapat membunuh kuman semi-dormand yang tidak dapat dibunuh
oleh INH. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada
saat perut kosong, dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini rifampisin
diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20mg/kgbb/hari, maksimal 600mg/hari
dengan dosis 1 kali pemberian perhari. jika diberikan bersama INH, dosis rifampisin
tidak melebihi 15mg/kgbb/hari dan dosis INH tidak melebihi 10mg/kgbb/hari. Seperti
halnya INH, rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh,
termasuk CSS. Ekskresi rifampisin terutama terjadi melalui traktus biliaris. Kadar
yang efektif juga dapat ditemukan diginjal dan urin. Efek samping rifampisin lebih
sering terjadi daripada INH.

Efek samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah)


dan hepatotoksisitas (ikterus atau hepatitis) yang biasanya ditandai oleh peningkatan
kadar transaminase serum yang asimptomatik. Rifampisin dapat menyebabkan
trombositopenia. Rifampisin umumnya tersedia dalam sediaan kapsul 150mg, 300mg
dan 450mg. sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak-anak dengan
berbagai kisaran berat badan.

27
3. Pirazinamid

Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid berpenetrasi baik pada jaringan


dan cairan tubuh termasuk SSP, cairan serebrospinal, bakterisid hanya pada intrasel
pada suasana asam, diresorbsi baik pada saluran pencernaan. Pemberian PZA secara
oral dengan dosis 15-30mb/kgbb/hari dengan dosis maksimal 2g/hari. Pirazinamid
tersedia dalam bentuk tablet 500mg. efek samping PZA adalah hepatotoksisitas,
anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensisitivitas dan hiperurisemia
jarang timbul pada anak.

4. Etambutol

Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata.
Dosis etambutol (EMB) 15-20mg/kg/hari. Maksimal 1,25g/hari dengan dosis tunggal.
Ekskresi terutama lewat ginjal dan saluran cerna. EMB tersedia dalam tablet 250mg
dan 500mg. Memiliki aktivitas bakteriostatik dan berdasarkan pengalaman, dapat
mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. EMB dapat bersifat
bakteriosid, jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. EMB tidak
berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. EMB ditoleransi
dengan baik pada dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis 1 atau 2
kali sehari. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optik dan buta warna
merah-hijau. Tidak terdapat laporan toksisitas optik pada anak-anak.

5. Streptomisin

Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik. Kuman ekstraseluler pada


keadaan basa atau netral, jadi tidak efektif membunuh kuman intraseluler.
Streptomisin dapat diberikan secara IM dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal
1 gram perhari, kadar puncak 40-50 mikrogram permilliliter dalam waktu 1-2 jam.
Streptomicin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat
melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada

28
jaringan dan cairan pleura, dieksresi melalui ginjal. Toksisitas utama streptomisin
terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran
berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing.

Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 2 macam obat dan diberikan


dalam waktu relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase
intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Pemberian paduan obat
ini ditujukan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraseluler dan ekstraseluler. Sedangkan pemberian obat jangka panjang selain untuk
membunuh kuman, juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya relaps. OAT
pada anak diberikan setiap hari, bukan 2 atau 3 kali dalam seminggu. Hal ini
bertujuan mengurangi ketidak teraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika
obat tidak diminum setiap hari. Obat-obat baku untuk seagian besar kasus TB pada
anak adalah paduan rifampisin, INH dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan
rifampisin, INH, dan pirazinamid, sedangkan fase lanjutan hanya diberikan rifampisin
dan INH. Pada keadaan TB berat baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB
milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain pada fase intensif diberikan minimal 4
macam obat (rifampisin, INH, PZA, EMB, atau streptomisin) sedangkan fase lanjutan
diberikan rifampisin dan INH selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu TB
milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis TB, dan
peritonitis TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3 dosis. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan
dosis penuh, dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama.

Evaluasi pengobatan dilakukan setelah 2 bulan. Diagnosis TB pada anak sulit


dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Apabila berespon pengobatan baik yaitu
gejala klinisnya hilang dan terjadi penambahan berat badan, maka pengobatan
dilanjutkan. Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada, tidak
terjadi penambahan berat badan, maka obat anti TB tetap diberikan dengan tambahan
merujuk ke sarana lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Apabila setelah
pengobatan 6-12 bulan terdpat perbaikkan klinis, seperti berat badan mengingkat,

29
napsu makan membaik, dan gejala-gejala lainnya menghilang, maka pengobatan
dapat dihentikan. Jika masih terdapat kelainan gambaran radiologis maka dianjurkan
pemeriksaan radiologis ulangan.

Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif


lama dengan jumlah obat yang banyak, paduan OAT disediakan dalam bentuk
kombinasi dosis tetap = KDT ( Fixed Dose Combination = FDS) 10,11.

Berat badan (kg) 2 Bulan tiap hari 3 Bulan tiap hari


RH(75/50)
RHZ ( 75/50/150)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet

Keterangan :

 Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit.


 Anak dengan BB ≥ 33 kg, disesuaikan dengan dosis dewasa.
 Obat harus diberikan secara utuh tidak boleh dibelah.
 OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau
digerus sesaat sebelum di minum.

Pada kasus ini pasien diagnosis dengan efusi pleura. Dari anamnesa pasien
mengeluhkan adanya sesak yang sudah lama dialami dan sering berobat namun tidak
ada perubahan, pasien juga sebelumnya diagnosis dengan tb paru saat pertama kali
berobat namun pasien tidak datang untuk berobat lanjut. pada pemeriksaan fisik saat
pasien tiba dirumah sakit didapatkan rhonki pada kedua lapang paru pasien dan saat
dilakukan palpasi didapatkan vocal fremitus menurun pada kedua lapang paru dan
pada saat perkusi ditemukan redup pada daerah basal paru kanan dan kiri hal ini di
dukung pada pemeriksaan penunjang thorax paru dan usg paru saat pasien dirawat

30
dirumah sakit, pasien dikonsulkan pada dokter bedah untuk tatalaksana efusi dan
hanya diberikan obat untuk efusi pleuara yang diharapkan dapat berkurang tanpa
tindakan bedah lainnya. Pada teori mengatakan efusi pluera dapat disebabkan oleh
infeksi paru disebut infeksi infeksi parapneumonik. Penyebab efusi pleura yang
sering terjadi di negara maju adalah CHF, keganasan, pneumonia bakterialis, dan
emboli paru.
Pada pasien ini penyebab efusi adalah penyakit bronkopneumoni dan tb paru,
pada gejala klinis efusi pleura sama seperti pada gejala pneumoni yaitu sesak nafas,
demam, banyak berkeringat, nyeri dada, dan batuk. Pada pemeriksaan fisik dapat
nyeri dada, vocal fremitus melemah, pada perkusi pekak dalam keadaan duduk
permukaan cairan membentuk garis melengkung. Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan untuk menegakan suatu diagnosis efusi dapat digunakan foto thorax untuk
menilai seberapa bnayak cairan pada rongga pleura serta usg untuk melakukan
tindakan bedah berupa pungsi cairan. Tatalaksananya pada kasus efusi pleura yaitu
mengobati penyakit dasar seperti pneumonia, dan juga dapat dilakukan torakosintesis
dengan tujuan membuang cairan pada rongga pleura pada kasus ini pasien hanya
diberikan pengobatan dengan alasan cairan pada rongga pleura bisa dapat terserap
sendiri.
Pada anamnesa dari ibu pasien bahwa pasien ini merupakan anak pertama yang
sangat dimanja oleh keluarga, pasien merupakan anak yang makan sedikit dan suka
jajan di luar, ibu pasien mengatakan bahwa berat badan pasien tidak pernah naik
sampai gemuk namun diakui pasien semenjak pasien sakit pasien mengalami
penurunan berat badan yang cukup drastis, pasien dari kecil tidak pernah
mendapatkan asi dari ibu pasien hanya meminum susu formula dan makanan
pendukung lainnya. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien tampak pucat dan
kurus dan pada pemeriksaan antropometri didapatkan grafik berada pada -3SD
menunjukan pasien berada dalam keadaaan gizi buruk pada tatalaksananya pasien
diberikan vitamin asam folat dan susu f100 pasien juga diberikan makan yang gizinya
diatur oleh bagian gizi dari rumah sakit pada gizi buruk juga yaitu mengobati infeksi
yang sedang diderita serta untuk rehidrasi cairan.

31
Gizi merupakan suatu hal penting bagi perkembangan anak, dengan gizi yang
tercukupi anak akan mampu berkembang secara optimal dimassa emasnya. Untuk
mengetahui gizi seorang anak dapat diketahui melalui anamnesa yaitu pertumbuhan
yang kurang, anak kurus, atau berat badan yang kurang, selain itu ada keluhan anak
tidak mau makan sering menderita sakit yang berulang atau timbulnya bengkak pada
kedua kaki kadang sampai seluruh tubuh. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
keadaan umum pucat, kurus, atrofi pada elstermitas, adanya edema pedis.
Rambut pada penderita kwarshiorkor rambut kepalayang mudah tercabut tanpa
rasa sakit. pada penderita kwashiorkor lanjut,rambut akan tampak kusam,halus,
kering, jarang dan berubah warna menjadi putih kering bulu mata menjadi
panjang.rambut yang mudah dicabut di daerah temporal terjadi karena kurangnya
protein menyebabkan degenerasi pada rambut dan kutikula rambut yang rusak kulit
penderita biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih
mendalam dan lebar. Untuk penunjang dapat digunakan kurva tumbuh kembang
WHO ataupun CDC. Untuk pentalaksaan pasien gizi buruk dapat memberikan
makanan yang bergizi, memberikan lebih banyak makanan atau sering makan,
memberikan penambahan vitamin dan zat-zat yang bernutrisi misalnya yang
mengandung zat besi, kalsium, vitamin dan protein, usahakan 4 sehat 5 sempurna.
Prognosis pasien pasien pada kasus ini dikatakan dubia. Dengan tatalaksana
yang tepat, Status gizi pasien ini adalah gizi buruk . Berdasarkan teori, status gizi
pada saat seseorang terkena bronkopneumonia memberikan pengaruh pada prognosis
dari pasien itu sendiri. Status gizi dan keadaan pasien yang terinfeksi memberikan
interaksi sinergis. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan pasien melalui asupan
makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Pasien tidak
mengalami penurunan nafsu makan, status gizi buruk, fungsi dari pada organ lainnya
juga baik. Oleh karena itu untuk prognosis pada pasien ini adalah dubia untuk vitam,
functionam, dan Sanationam. Pasien dengan bronkopneumonia dapat dipulangkan
jika gejala dan tanda pneumonia telah menghilang, asupan peroral adekuat,
pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (peroral), keluarga mengerti dan
setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol, kondisi rumah memungkinkan

32
untuk perawatan lanjutan di rumah. Pada kasus ini pasien belum dipulangkan karena
kondisi pasien yang masih sesak, ronki masih ada dan status gizi pasien yang
buruk1,3,8.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Price,Sylvia. A.Patofisiologi:konsepklinis prosesperjalananpenyakit.Jakarta:EGC ;


2012;14(3):804-811(1).
2. World Health Organization. Revised WHO classification and treatment of
childhood pneumonia at health facilities (evidence summaries). Geneva:
WHO; 2010.
3. Marcdante dkk, 2014. NELSON Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 6. Singapore :
Elsevier. Hal. 526-534 (4) ; 559(1)
4. Kartasasmita C. Pneumonia Pembunuh Balita. 2010;3:22-8. Buletin Jendela
Epidemiologi. 2010;3:22–8.
5. Said M. Pneumonia. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, editor.
Buku ajar respirologi anak. Edisi ke-1. Jakarta:Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2010. Hal. 784-65.
6. Dharmayanti A, 2014. Pneumonia pada Anak Balita di Indonesia. Kesmas: Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional. 2014;8(8):359–65
7. Hegar, Badriul. Pedoman pelayanan medis. Jakarta: IDAI; 2010; 12(3) : 45-
49 (1)
8. An war A, Dharmayanti I. Pneumonia pada Anak Balita di Indonesia. Kesmas:
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2014;8(8):359–65.
9. Nastiti N Rahajoe, dkk. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. 2005. Jakarta :
UKK Pulmonologi PP IDAI
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan
Pentalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika, 2006.
11. American Thorachic Society. Diagnostic Standards and Classification of
Tuberculosis in Adults and Children. Am J Respir Crit Care Med vol 161.
2000
12. Behrman, Kliegman, Arvin, 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Penerbit Buku
Kedokteran AGC, Jakarta.

34
13. Extensive Transmission of Mycobacterium tuberculosis from a Child.
http://www.cdc.gov/TB/pubs/sledeset/pediatricTB/defailt.htm..Last Modified:
2006.
14. Lusa. 2009. Gizi buruk. 24 maret 2013. Lusa. Web.id
15. Ali, Arsad Rahim. 2009. Patogenesis penyakit defisiensi Gizi. 4 april 2013. Arali
2008.wordpress.com
16. Munif. 2012. Epidemiologi Gizi Buruk. 4 April 2013. Helpingpeopleideas.com
17. Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009.
Depkes RI 2005.
18. Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta :
Buku Kedokteran EGC.
19. Fajar, Ibnu, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Moehji, Sjahmien. 1999. Ilmu Gizi. Jakarta : Bhratara.
20. Santoso, Soegeng, Ranti, Anne Lies. 2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta : Rineka
Cipta.
21. Syamsuhidayat R. & Jong W. D (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC
22. Mitchell, Kuman, Abbas & Fausto. Dasar Patologis Penyakit Edisi : 7. Jakarta :
EGC
23. NANDA Internasional. Diagnoas Keperawatan. Defenisi dan Klasifikasi. 2012-
2014
24. Khairani R, Syahruddin E, Partakusuma LG. Karakteristik Efusi Pleura di
Rumah Sakit Persahabatan. J Respir Indo 2012;32(3):155-60.
25. Light RW. Pleural diseases. 5th ed. Baltimore: Wiliams and Wilkins; 2007. p.412.
26. Mayse ML. Non malignant pleural effusions. In: Fishman AP, editor. Fishman’s
pulmonary diseases and disorders. 4th ed. New York: Mc Graw Hill.
2008;1487-504.
27. Marel M. Epidemiology of pleural effusion. Eur Respir Mon. 2002;22:146-56.
28. Syahruddin E, Hudoyo A, Arief N. Efusi Pleura Ganas pada Kanker Paru.
Jakarta: Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI.
2004.

35
29. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR, et al. Clinically Oriented Anatomy. 6 th ed.
Baltimore: Lippincott Williams and Wilkins; 2010.p.72-180.
30. Halim H. Penyakit-penyakit Pleura. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M Setiati S. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III.
Jakarta: Interna Publishing; 2014. h.2329-36.

36

Anda mungkin juga menyukai