1
kasus BTA positif per satu juta penduduk. Jadi sampai saat ini belum ada satu negara
pun yang bebas tuberkulosis. TB merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan
pemberian imunisasi BCG pada anak dan pengobatan sumber infeksi, yaitu penderita
TB dewasa. Disamping itu dengan adanya penyakit karena HIV maka perhatian pada
penyakit TB harus lebih ditingkatkan. Anak biasanya tertular TB, atau juga disebut
mendapat infeksi primer TB, akan membentuk imunitas sehingga uji tuberkulin akan
menjadi positif.Tidak semua anak yang terinfeksi TB primer ini akan sakit TB.3,4,5,9,12
Efusi pleura secara definisi diartikan sebagai adanya cairan di ruang pleura yang
muncul lebih sedikit pada anak-anak dibandingkan orang dewasa, serta
dapatdisebabkkan oleh beragam infeksi dan penyakit non-infeksi. Efusi pleura pada
anak-anak umumnya kebanyakan adalah infeksi (50-70%efusi parapneumonik), gagal
jantung kongestif adalah penyebab yang lebih sedikit(5-15%) dan keganasan adalah
kasus yang jarang.
Gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara di
dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang di Asia, Afrika, Amerika
Tengah, dan Amerika Selatan. Salah satu klasifikasi dari gizi buruk adalah
marasmus-kwashiorkor. Di seluruh dunia, diperkirakan terdapat 825 juta orang yang
menderita gizi buruk pada tahun 2000–2002, dan 815 juta diantaranya hidup di
negara berkembang. Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak-anak di
bawah umur 5 tahun (balita). Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di
Indonesia masih tinggi. Berdasarkan laporan propinsi selama tahun 2005 terdapat
76.178 balita mengalami gizi buruk dan data Susenas (Survei Sosial dan
Ekonomi Nasional) tahun 2005 memperlihatkan prevalensi balita gizi buruk
sebesar 8,8%. Pada tahun 2005 telah terjadi peningkatan jumlah kasus gizi buruk di
beberapa propinsi dan yang tertinggi terjadi di dua propinsi yaitu Nusa Tenggara
Timur dan Nusa Tenggara Barat.1,2
Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya gizi buruk dan faktor tersebut
saling berkaitan. Secara langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu anak kurang
mendapat asupan gizi seimbang dalam waktu cukup lama dan anak menderita
penyakit infeksi. Anak yang sakit, asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan oleh
2
tubuh secara optimal karena adanya gangguan penyerapan akibat penyakit
infeksi. Secara tidak langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu tidak
cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, pola asuh kurang memadai, dan
sanitasi / kesehatan lingkungan kurang baik, serta akses pelayanan kesehatan terbatas.
Akar masalah tersebut berkaitan erat dengan rendahnya tingkat pendidikan, tingkat
pendapatan dan kemiskinan keluarga.
3
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara heteroanamnesis (Ibu pasien).
Keluhan Utama
Sesak nafas
4
saat tidur karena sesak (-), riwayat alergi (-). Pasien juga mengeluh demam sejak 2
minggu SMRS. Demam dirasakan hilang timbul dan memberat saat menjelang sore
hari dan sedikit mereda dipagi hari. Demam yang dirasakan disertai dengan
menggigil. Selain itu, pasien juga mengeluh batuk. Batuk dirasakan terus menerus
sejak ± 3minggu SMRS. Batuk disertai lendir (+) kental dan berwarna putih keruh,
darah (-), berbau (+), nyeri menelan (-).Riwayat kontak dalam lingkungan dengan
keluhan batuk (+), riwayat tes mantoux sebelumnya (-), riwayat penurunan berat
badan dalam sebulan terakhir disangkal, riwayat kelainan tulang dan sendi (-),
riwayat foto rontgen sebelumnya (+).
Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi dasar lengkap namun orang tua pasien lupa tanggalnya
Riwayat Keluarga
Ada anggota keluarga yang mengalami sakit seperti yang dialami pasien(Tete pasien)
dan sekrang dalam pengobatan program tb paru.
Riwayat Sosial
Pasien tinggal bersama kedua orang tua dan bersama nenek tete serta om dan tante
pasien. Memasak masih menggunakan bahan bakar kayu dan kompor. Saat tidur
pasien tidak pernah menggunakan kelambu dan tidak memakai tempat tidur.
5
Tanda Vital : Nadi: 135 x/menit, reguler, tegangan cukup, kuat angkat;
Respirasi 69 x/menit; Suhu badan 38,4oC, SpO2 90%.
Berat Badan : 10 kg
Panjang Badan : 90 cm
Status Generalis
1. Kepala
Normosefal, ubun – ubun normal
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikerik (-/-), edema palpebra (-/-)
Pernapasan cuping hidung (-/-)
Mulut:
o Mukosa bibir lembab (+)
o Oral candidiasis (-/-)
o Lidah kotor (-)
o Stomatitis daerah ujung lidah (-)
o Perdarahan gusi (-)
o Faring hiperemis (-/-)
o Tonsil T1/T1, hiperemis (-/-)
Telinga:
o Sekret (-/-), lesi (-/-)
2. Leher :
Pembesaran KGB regio colli (-), peningkatan JVP (-), pembesaran kelenjar
tiroid (-)
3. Pulmo :
Inspeksi :Simetris bilateral, ikut gerak napas, retraksi (-), jejas (-)
Palpasi : sulit dievaluasi
Perkusi : pekak pada daerah basal
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+); Rhonki (+/+); Wheezing (-/-)
6
4. Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
5. Abdomen
Inspeksi: meteorismus (-)
Auskultasi: bising usus (+)
Palpasi: supel, nyeri tekan (-) regio epigastrium, hepar - lien (tidak teraba
besar), turgor kembali cepat (+) normal
Perkusi: timpani
6. Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2”, petekie (-), edema (-), anemis (-), sianosis
(-), Ikterus (-), nodul (-)
7. Status Neurologis:
Refleks Fisiologi : biseps, triseps refleks (Positif)
Refleks Patologis : Babinsky (Negatif)
Rangsang Meningeal : Kaku Kuduk (Negatif) ; Brudzinsky 1 (Negatif)
9. Status Gizi berdasarkan indeks BB/PB
BB = 10 kg
PB = 90 cm
Kategori status gizi pasien = Gizi Buruk (- 3 SD)
7
2.4 Diagnosis Kerja
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan,
pasien didiagnosis dengan bronkopneumonia, TB paru, Efusi pleura, Gizi Buruk
marasmus
2.6 Penatalaksanaan
1. Perencanaan Terapi
O2 nasal 1-2 lpm
IVFD D5 ½ NS15 TPM mikro
Inj. Ceftriaxone 2 x 550mg/iv
8
Inj. Gentamisin 1 x 60mg/iv
Nebu combivent 1 rep+NaCl 3 cc 3x1
2. Rawat Inap untuk observasi lebih lanjut
3. Pro foto thoraks PA
4. Pro periksa darah lengkap
2.7 Prognosis
Quo ad vitam :dubia
Quo ad functionam :dubia
Quo ad sanationam : dubia
2.9 Resume
Seorang anak laki-laki, usia2 tahun 3 bulan, berat badan 10 kg, panjang badan
90 cm. Pasien datang dengan keluhan sesak nafassejak ± 2 minggu SMRS. Sesak
nafas dirasakan terus menerus . Selain sesak, pasien juga mengeluh demam, batuk
berlendir.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital respirasi 69x/menit; suhu
badan 38,4oC, SpO2 90%. Status generalis didapatkan pernapasan cuping hidung,
retraksi subkostal (+) dan pada auskultasi paru suara napas bronkovesikuler, bunyi
rhonki basah halus pada apeks paru destra dan sinistra (+/+) serta bising usus
meningkat. Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan WBC 16.700 /µL
(Leukositosis) dan pada foto usg thorax didapatkan gambaran infiltrat minimal pada
kedua lapang paru. Dan pada status gizi anak ini termasuk dalam status gizi buruk
karna pada kurva tumbuh kembang who berdasarkan BB dan panjang badan berada
pada -3SD
9
2.10 Follow Up
An. AAR, 2 tahun 3 bulan, BB 10 kg
Planning
Hari,
Follow Up (Hasil Lab dan Terapi
Tanggal
Medikamentosa)
Kamis , S : Sesak (+), Demam (-), batuk Terapi Medikamentosa
6/9/2018 berlendir(+),darah (-) O2 nasal 1-2 lpm
Kesadaran: Compos Mentis IVFD D5 ½ NS15 TPM mikro
Keadaan Umum : Tampak Inj. Ceftriaxone 2 x 500mg/iv
lemah Inj. Gentamisin 2 x 30mg/iv
TTV: Nadi 121 x/m, reguler, Nebu combivent 1 rep+NaCl 3
kuat angkat; RR: 61x/m, SB: cc 3x1
o
37,1 C FDC 1X2 TAB
Kepala: Normosefal, ubun – Post transfusi PRC 110 cc
ubun normal, CA (-/-), SI (-/-),
Tonsil T1/T1 hiperemis (-)
Darah Lengkap (5 september
Leher:P > KGB(-), kaku kuduk
2018)
(-), P ↑ JVP (-), P > kelenjar
Pemeriksaan Hasil
tiroid (-)
HGB 6,5
Thorax :Simetris bilateral, ikut
RBC 3,78x106
gerak nafas, retraksi(-), suara
HCT 21,6%
nafas vesikuler (+), Rhonki
WBC 22,39x103
(+/+), Wheezing (-/-), BJ I-II
PLT 618x103
Reguler, mur-mur (-), galop (-)
MCV 57,1
Abdomen : meteorismus (-), BU
MCH 17,2
(+) normal, hepar/lien tidak
MCHC 30,1
teraba, nyeri tekan (-)
DDR Negatif
Ekstremitas: akral hangat, CRT
AST 27
<2”
ALT 5
10
Kulit: turgor kulit normal GDS 65
Scoring TB:
-Kontak TB:3 Hasil Radiologi (5 september 2018)
-Demam >2minggu:1
-batuk >3minggu:1
- klinis gizi buruk atau BB/TB <
70% BB/U < 60 %:2
-Foto:1
A:
Kesimpulan:pleuropneumonia
Bronkopneumonia
bilateral terutama kiri e.c TB paru
TB paru
aktif
Saran:
USG thoraks
Jumat, S : Sesak sedikit berkurang, Terapi Medikamentosa
7- batuk(+). O2 nasal 1-2 lpm
10/9/201 Kesadaran: Compos Mentis IVFD D5 ½ NS15 TPM mikro
8 Keadaan Umum : Tampak ada Inj. Ceftriaxone 2 x 500mg/iv
perbaikan Inj. Gentamisin 2 x 30mg/iv
TTV: Nadi 132 x/m, reguler, Nebu combivent 1 rep+NaCl 3
kuat angkat; RR: 57 x/m, SB: cc 3x1
o
36,9 C FDC 1X2 TAB
Kepala:Normosefal, ubun – PBP 3x1
ubun normal, CA (-/-), SI (-/-),
Tonsil T1/T1 hiperemis (-)
Hasil Lab (6 september 2018)
Leher:P > KGB(-), kaku kuduk Hb : 8,2 g/dl
(-), P ↑ JVP (-), P > kelenjar HCT : 26,6%
tiroid (-) MCV : 60,0 Fl
Thorax :Simetris bilateral, ikut
11
gerak nafas, retraksi(-), suara MCH : 18,5 pg
nafas vesikuler (+), Rhonki MCHC: 30,8 g/dl
(+/+), Wheezing (-/-), BJ I-II WBC 17,49
Reguler, mur-mur (-), galop (-) EO : 0,15 %
Abdomen : meteorismus (-), BU BASO : 0,06 %
(+) normal, hepar/lien tidak NEUT : 10,45 %
teraba, nyeri tekan (-) LYMPH : 3,77 %
Ekstremitas: akral hangat, CRT MONO : 3,06 %
<2” PLT 636.000
Kulit: turgor kulit normal RBC L: 4,43
A:
Bronkopneumonia Hasil USG thoraks (10 september
TB paru 2018)
12
Leher:P > KGB(-), kaku kuduk Drip Paracetamol 3x120 mg
(-), P ↑ JVP (-), P > kelenjar Inj.dexametason 3x2 mg
tiroid (-) Susu F 75 8x50 ml tgl 15-9-
Thorax :Simetris bilateral, ikut 2018 diganti F 100 8x50 ml
gerak nafas, retraksi(-), suara Asam folat 1x1 mg (pulv)
nafas vesikuler (+), Rhonki Rawat HCU
(+/+), Wheezing (-/-), BJ I-II Konsul bedah
Reguler, mur-mur (-), galop (-)
Abdomen : meteorismus (-), BU
(+) normal, hepar/lien tidak
teraba, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT
<2”
Kulit:turgor kulit normal
A:
Bronkopneumonia
TB Paru
Efusi Pleura
Gizi buruk
Senin, S : Sesak berkurang (+), batuk Terapi Medikamentosa
17/9/201 (+), O2 nasal 1-2 lpm
8 Kesadaran: Compos Mentis IVFD D5 ½ NS15 TPM mikro
Keadaan Umum : Tampak baik Inj. Ceftazidime 3x275 mg
TTV: Nadi 118 x/m, reguler, Inj. Aminofilin 3x33mg drip
kuat angkat; RR: 32 x/m, SB: dalam D5 50 cc dalam 30
o
36,5 C spo2:99% menit
Kepala: Normosefal, ubun – Nebu combivent 1 rep+NaCl 3
ubun normal, CA (-/-), SI (-/-), cc 3x1
Tonsil T1/T1 hiperemis (-) FDC 1X2 TAB
13
Leher:P > KGB(-), kaku kuduk PBP 3x1
(-), P ↑ JVP (-), P > kelenjar Drip Paracetamol 3x120 mg
tiroid (-) Inj.dexametason 3x2 mg
Thorax :Simetris bilateral, ikut Susu F 100 8x50 ml
gerak nafas, retraksi(-), suara Asam folat 1x1 mg (pulv)
nafas vesikuler (+), Rhonki cek DL, Ro thorax pro evaluasi
(+/+), Wheezing (-/-), BJ I-II
Reguler, mur-mur (-), galop (-)
Abdomen : meteorismus (-), BU
(+) normal, hepar/lien tidak
teraba, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT
<2”
Kulit:turgor kulit normal
A:
Bronkopneumonia
TB Paru
Efusi Pleura
Gizi buruk
Selasa, S : Sesak berkurang (+), batuk Terapi Medikamentosa
18/9/201 (+), O2 nasal 1-2 lpm
8 Kesadaran: Compos Mentis IVFD D5 ½ NS15 TPM mikro
Keadaan Umum : Tampak baik Inj. Ceftazidime 3x275 mg
TTV: Nadi 130 x/m, reguler, Inj. Aminofilin 3x33mg drip
kuat angkat; RR: 50 x/m, SB: dalam D5 50 cc dalam 30
o
36,7 C spo2:97% menit
Kepala: Normosefal, ubun – Nebu combivent 1 rep+NaCl 3
ubun normal, CA (-/-), SI (-/-), cc 3x1
NCH (-/-), Tonsil T1/T1 FDC 1X2 TAB
14
hiperemis (-) PBP 3x1
Leher:P > KGB(-), kaku kuduk Drip Paracetamol 3x120 mg
(-), P ↑ JVP (-), P > kelenjar Inj.dexametason 3x2 mg
tiroid (-) Susu F 100 8x50 ml
Thorax :Simetris bilateral, ikut Asam folat 1x1 mg (pulv)
gerak nafas, retraksi(-), suara
nafas vesikuler (+),
Rhonki Hasil Lab (17 september 2018)
(+/+), Wheezing (-/-), BJ I-II Hb : 9,5 g/dl
Reguler, mur-mur (-), galop (-) HCT : 32%
Abdomen : meteorismus (-), BU MCV : 66,4 Fl
(+) normal, hepar/lien tidak MCH : 19,7 pg
teraba, nyeri tekan (-) MCHC: 29,7 g/dl
Ekstremitas: akral hangat, CRT WBC 18,58
<2” EO : 0,13 %
Kulit:turgor kulit normal BASO : 0,09 %
A: NEUT : 13,35 %
Bronkopneumonia LYMPH : 3,70 %
TB Paru MONO : 1,31 %
Efusi Pleura PLT 861.000
Gizi buruk RBC : 4,82
Hasil Radiologi (17 september
2018)
Kesimpulan: pleuropneumonia
bilateral terutama kiri
15
Rabu, S : Sesak berkurang (+), batuk Terapi Medikamentosa
19- (+), O2 nasal 1-2 lpm
21/9/201 Kesadaran: Compos Mentis IVFD D5 ½ NS15 TPM mikro
8 Keadaan Umum : Tampak baik Inj. Ceftazidime 3x275 mg
TTV: Nadi 138 x/m, reguler, Inj. Aminofilin 3x33mg drip
kuat angkat; RR: 28 x/m, SB: dalam D5 50 cc dalam 30
o
36,6 C spo2:98% menit
Kepala: Normosefal, ubun – Nebu combivent 1 rep+NaCl 3
ubun normal, CA (-/-), SI (-/-), cc 3x1
Tonsil T1/T1 hiperemis (-) FDC 1X2 TAB
Leher:P > KGB(-), kaku kuduk PBP 3x1
(-), P ↑ JVP (-), P > kelenjar
Drip Paracetamol 3x120 mg
tiroid (-)
Inj.dexametason 3x2 mg
Thorax :Simetris bilateral, ikut
Susu F 100 8x50 ml
gerak nafas, retraksi(-), suara
Asam folat 1x1 mg (pulv)
nafas vesikuler (+), Rhonki
Amikasin 1x165mg
(+/+), Wheezing (-/-), BJ I-II
fisioterapi
Reguler, mur-mur (-), galop (-)
Abdomen : meteorismus (-), BU
(+) normal, hepar/lien tidak
teraba, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT
<2”
Kulit:turgor kulit normal
A:
Bronkopneumonia
TB Paru
Efusi Pleura
16
Gizi buruk
Sabtu, S : Sesak berkurang (+), batuk Terapi Medikamentosa
22- (+), O2 nasal 1-2 lpm
26/9/201 Kesadaran: Compos Mentis IVFD D5 ½ NS15 TPM mikro
8 Keadaan Umum : Tampak baik Inj. Meropenem 2x250mg
TTV: Nadi 129 x/m, reguler, Inj. Aminofilin 3x33mg drip
kuat angkat; RR: 44 x/m, SB: dalam D5 50 cc dalam 30
o
36,6 C spo2:98% menit
Kepala: Normosefal, ubun – Nebu combivent 1 rep+NaCl 3
ubun normal, CA (-/-), SI (-/-), cc 3x1
Tonsil T1/T1 hiperemis (-) FDC 1X2 TAB
Leher:P > KGB(-), kaku kuduk PBP 3x1
(-), P ↑ JVP (-), P > kelenjar
Drip Paracetamol 3x120 mg
tiroid (-)
Inj.dexametason 3x2 mg
Thorax :Simetris bilateral, ikut
Susu F 100 8x50 ml
gerak nafas, retraksi(-), suara
Asam folat 1x1 mg (pulv)
nafas vesikuler (+), Rhonki
Amikasin 1x165mg
(+/+), Wheezing (-/-), BJ I-II
fisioterapi
Reguler, mur-mur (-), galop (-)
Abdomen : meteorismus (-), BU
(+) normal, hepar/lien tidak
teraba, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT
<2”
Kulit:turgor kulit normal
A:
Bronkopneumonia
TB Paru
Efusi Pleura
17
Gizi buruk
Kamis, S : Sesak berkurang(+),batuk (+), Terapi Medikamentosa
27/9/201 Kesadaran: Compos Mentis O2 nasal 1-2 lpm
8 Keadaan Umum : Tampak baik IVFD D5 ½ NS15 TPM mikro
TTV: Nadi 129 x/m, reguler, Inj. Meropenem 2x250mg
kuat angkat; RR: 44 x/m, SB: Inj. Aminofilin 3x33mg drip
o
36,6 C spo2:98% dalam D5 50 cc dalam 30
Kepala: Normosefal, ubun – menit
ubun normal, CA (-/-), SI (-/-), Nebu combivent 1 rep+NaCl 3
Tonsil T1/T1 hiperemis (-) cc 3x1
Leher:P > KGB(-), kaku kuduk FDC 1X2 TAB
(-), P ↑ JVP (-), P > kelenjar PBP 3x1
tiroid (-)
Drip Paracetamol 3x120 mg
Thorax :Simetris bilateral, ikut
Inj.dexametason 3x2 mgstop
gerak nafas, retraksi(-), suara
Prednisone 5-5-5 mg
nafas vesikuler (+), Rhonki
Susu F 100 8x50 ml
(+/+), Wheezing (-/-), BJ I-II
Asam folat 1x1 mg (pulv)
Reguler, mur-mur (-), galop (-)
Amikasin 1x165mg
Abdomen : meteorismus (-), BU
fisioterapi
(+) normal, hepar/lien tidak
teraba, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT
<2”
Kulit:turgor kulit normal
A:
Bronkopneumonia
TB Paru
Efusi Pleura
Gizi buruk
18
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN
19
menunjukkan gangguan sistem respiratori serta gambaran radiologis. Prediktor paling
kuat menunjukkan penumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala
respiratori antara lain takipnea, batuk, napas cuping hidung, ronki, dan suara napas
melemah4. Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian
atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40ºC dan
mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispneu,
pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis disekitar
hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit, anak akan
mendapat batuk setelah beberapa hari, dimana pada awalnya merupakan batuk kering
kemudian menjadi batuk produktif6,7.
Pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan respirasi per menit (69 kali), ,
peningkatan JVP (-), retraksi dada (-), pada auskultasi paru terdengar suara nafas
vesikuler dengan rhonki, pada pemeriksaan jantung ditemukan bunyi jantung 1-2
reguler tanpa disertai adanya murmur maupun gallop, dan pada pemeriksaan
abdomen, hepar dan lien tidak teraba pembesaran. Sedangkan pada pemeriksaan paru
ditemukan suara nafas vesikuler disertai rhonki, menunjukan kelainan pada paru..
Berdasarkan teori, pada pemeriksaan penunjang, gambaran radiologis
bronkopneumonia mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan corakan
bronkovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang paru.
Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus bawah. Pneumonia bakterial ditandai
oleh adanya konsolidasi lobaris atau pneumonia berbentuk bundar disertai dengan
adanya efusi pleura pada 10-30% kasus. Gambaran radiologi pada pneumonia viral
adalah infiltrat bronkopneumonia yang berbentuk seperti garis yang tumpang tindih
(streaky) dan menyebar (difus). Pneumonia atipikal seperti pada infeksi paru akibat
M. Pneumonia dan C. Pneumonia, memperlihatkan tanda peningkatan gambaran
interstisial atau bronkopneumonia. Selain itu ditemukannya peningkatan leukosit
pada pemeriksaan darah lengkap senilai 16.710 m3. Peningkatan jumlah leukosit
menunjukan adanya infeksi patogen. Berdasarkan teori, pada pemeriksaan darah
lengkap, terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung jenis leukosit pada pneumonia
viral seringkali normal ataupun sedikit meningkat, dengan limfosit predominan,
20
sedangkan pada pneumonia bakterial hitung jenis leukosit mengalami peningkatan (>
20.000 mm3) dengan predominan neutrofil. Pada hitung jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta peningkatan LED3,8,9.
Pada kasus ini pasien didiagnosis dengan bronkopneumonia. Berdasarkan
anamnesa ditemukan keluhan berupa sesak disertai demam, batuk produktif. Keadaan
umum tampak rewel. Berdasarkan pemeriksaan fisik, tanda –tanda vital ditemukan
peningkatan respirasi dan suhu tubuh, suara nafas vesikuler disertai rhonki serta
bising usus yang meningkat. Serta berdasarkan pemeriksaan penunjang ditemukan
gambaran radiologi dominan infiltrat disertai peningkatan leukosit pada pemeriksaan
darah rutin. Berdasarkan teori, diagnosis pneumonia ditegakkan bila ditemukan 3 dari
5 gejala berikut berupa sesak napas disertai dengan pernapasan cuping hidung dan
tarikan dinding dada, panas badan, ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles), foto
thoraks menunjukkan gambaran infiltrat difus dan leukositosis (infeksi virus tidak
melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000, dan
neutrofil yang predominan)3,6,8.
Pada kasus ini diagnosis banding yang mendekati adalah bronkiolitis.
Berdasarkan anamnesa, pasien berusia 2 tahun 3 bulan, merupakan rentang usia yang
cenderung mengalami bronkopneumonia maupun bronkiolitis, dari keluhan sesak,
demam dan batuk dapat juga ditemukan pada pasien – pasien dengan bronkiolitis.
Berdasarkan teori, terdapat perbedaan yang terlihat dari segi usia dimana bronkiolitis
cenderung terjadi pada usia 2 bulan – 2 tahun sedangkan pada bronkopneumonia
mencakup semua usia. Penyebab bronkiolitis adalah virus Respiratory Syncitial Virus
(RSV sehingga pada tes RSV hasilnya selalu positif, sedangkan pada
bronkopneumonia bukan hanya virus melainkan patogen lain seperti bakteri maupun
jamur sehingga pada tes RSV hasilnya bisa positif maupun negatif. Berdasarkan
pemeriksaan fisik, pada bronkopneumonia dapat ditemukan rhonki positif di fase
inspirasi sedangkan pada bronkiolitis ditemukan pada fase inspirasi. Pada gambaran
radiologis, bronkiolitis akan tampak berupa gambaran hiperaerasi, sedangkan
bronkopneumonia tampak sebagai gambaran infiltrat. Keluhan padabronkopneumonia
dapat ditemukan pulapada bronkiolitis namun biasanya pada bronkiolitis akut
21
didahului dengan batuk kering disertai demam yang tidak terlalu tinggi, pasien juga
mengalami takipneu dan sianosis. Bronkiolitis akut juga sering timbul gejala pilek
(nasal discharge) sebelum adanya gejala lain.Padabronkiolitis auskultasi paru
ditemukan bunyi wheezing yang sangat jelas, sedangkan pada bronkopneumonia
suara rhonki basah halus nyaring yang ditemukan dominan dan pada beberapa kasus
ringan jarang ditemukan wheezing3,5.
Pada kasus ini pasien didiagnosis dengan bronkopneumonia. Berdasarkan
anamnesa ditemukan keluhan berupa sesak disertai demam, batuk produktif. Keadaan
umum tampak rewel. Berdasarkan pemeriksaan fisik, tanda –tanda vital ditemukan
peningkatan respirasi dan suhu tubuh, suara nafas vesikuler disertai rhonki serta
bising usus yang meningkat. Serta berdasarkan pemeriksaan penunjang ditemukan
gambaran radiologi dominan infiltrat di sertai peningkatan leukosit pada pemeriksaan
darah rutin. Berdasarkan teori, diagnosis pneumonia ditegakkan bila ditemukan 3 dari
5 gejala berikut berupa sesak napas disertai dengan pernapasan cuping hidung dan
tarikan dinding dada, panas badan, ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles), foto
thoraks menunjukkan gambaran infiltrat difus dan leukositosis (infeksi virus tidak
melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000, dan
neutrofil yang predominan)3,6,8.
Pada kasus ini diagnosis banding yang mendekati adalah bronkiolitis.
Berdasarkan anamnesa, pasien berusia 2 tahun 3 bulan, merupakan rentang usia yang
cenderung mengalami bronkopneumonia maupun bronkiolitis, dari keluhan sesak,
demam dan batuk dapat juga ditemukan pada pasien – pasien dengan bronkiolitis.
Berdasarkan teori, terdapat perbedaan yang terlihat dari segi usia dimana bronkiolitis
cenderung terjadi pada usia 2 bulan – 2 tahun sedangkan pada bronkopneumonia
mencakup semua usia. Penyebab bronkiolitis adalah virus Respiratory Syncitial Virus
(RSV) sehingga pada tes RSV hasilnya selalu positif, sedangkan pada
bronkopneumonia bukan hanya virus melainkan patogen lain seperti bakteri maupun
jamur sehingga pada tes RSV hasilnya bisa positif maupun negatif. Berdasarkan
pemeriksaan fisik, pada bronkopneumonia dapat ditemukan rhonki positif di fase
inspirasi sedangkan pada bronkiolitis ditemukan pada fase inspirasi. Pada gambaran
22
radiologis, bronkiolitis akan tampak berupa gambaran hiperaerasi, sedangkan
bronkopneumonia tampak sebagai gambaran infiltrat. Keluhan padabronkopneumonia
dapat ditemukan pulapada bronkiolitis namun biasanya pada bronkiolitis akut
didahului dengan batuk kering disertai demam yang tidak terlalu tinggi, pasien juga
mengalami takipneu dan sianosis. Bronkiolitis akut juga sering timbul gejala pilek
(nasal discharge) sebelum adanya gejala lain.Padabronkiolitis auskultasi paru
ditemukan bunyi wheezing yang sangat jelas, sedangkan pada bronkopneumonia
suara rhonki basah halus nyaring yang ditemukan dominan dan pada beberapa kasus
ringan jarang ditemukan wheezing3,5.
Pada kasus ini diberikan kombinasi antibiotik golongan sefalosporin generasi
ketiga dengan aminoglikosida. Digunakan cefotaxime karena lebih aktif terhadap
bakteri gram negatif dan aktif pada penyebab Streptococcus pneumoniae
dibandingkan sefalosporin yang lain. Streptococcus pneumoniae adalah bakteri
patogen yang paling umum pada usia 3 minggu sampai 4 tahun. Pemberian empiris
parenteral sefalosporin generasi ketiga (cefotaxime) harus diresepkan untuk balita
yang dirawat di rumah sakit. Adapun penggunaan gentamisin yang merupakan
antibiotik golongan aminoglikosida yang digunakan pada infeksi berat yang
disebabkan oleh kuman gram negatif aerob terutama aktivitas bakterisidal terhadap
Pseudomonas aeruginosa dan spesies Enterobacter.
Berdasarkan teori, Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab
pneumonia pada anak segala usia, selain usia neonatus. Pemberian bronkodilator pada
kasus ini bertujuan untuk mengurangi bronkostriksi akibat produksi
mucus.Berdasarkan teori, terapi pneumonia adalah terapi suportif dan terapi spesifik
yang tergantung pada berat ringannya penyakit, komplikasi dan kuman penyebab
pneumonia. Walaupun sebagian besar kasus pneumonia komunitas pada anak kecil
disebabkan oleh virus, pada sebagian besar situasi para ahli menyarankan pemberian
terapi antibiotik empiris untuk berbagai kasus yang dapat diterapi. Pneumonia
pneumococcus dapat diobati dengan terapi sefalosporin dosis tinggi bahkan dengan
adanya resistensi penisilin tingkat tinggi1,3,5. Berdasarkan teori, terapi nebulisasi
menggunakan salbutamol diberikan untuk mengurangi sesak akibat penyempitan
23
jalan nafas atau bronkospasme akibat hipersekresi mukus. Salbutamol merupakan
suatu obat agonis beta2 adrenegik yang selektif terutama pada otot bronkus.
Salbutamol menghambat pelepasan mediator dari pulmonary mast cell. Namun terapi
nebulisasi bukan menjadi gold standart pengobatan dari bronkopneumonia. Gold
standart pengobatan bronkopneumonia adalah penggunaan 2 antibiotik3,8.
Diagnosis TB Paru ditegakkan dengan hasil uji tuberkulin, foto rontgen paru dan
gambaran klinis, tetapi pada kenyataannya menegakkan diagnosis TB pada anak tidak
selalu mudah.Gejala klinik TB terdiri atas gejala umum atau sistemik (seperti demam,
anoreksia, berat badan menurun, keringat malam dan malaise), dan gejala khusus
sesuai dengan organ yang terkena. Gambaran foto rontgen paru pada TB anak tidak
selalu khas. Biasanya kecurigaan ke arah TB muncul kalau ditemukan pembesaran
kelenjar hilus, paratrakeal dan mediastinum, atelektasis, konsolidasi efusi pleura,
kavitas, emfisema lobus dan gambaran milier.10,11Pemeriksaan bakteriologis TB
untuk mendapatkan bahan pemeriksaan bakteriologis berupa sputum pada anak
sangat sukar, sebagai gantinya biasanya dilakukan bilasan lambung karena cairan
lambung mengandung sputum yang tertelan. Cairan ini pun sebenarnya kurang
memuaskan disamping kesulitan untuk mendapatkan biakan metode pembiakan basil
TB memerlukan waktu cukup lama sehingga dibutuhkan suatu metode pembiakan
yang lebih baik.13
24
Pada pasien didapatkan hasil skoring TB 9 dengan parameter:
Parameter 0 1 2 3
kontak TB tidak jelas - Laporan BTA (+)
keluarga BTA
Positif (≥
(-) / BTA tidak
10mm/≥ 5mm
jelas/ tidak
pada
tahu
imunokompro
mise
Uji negatif - - -
Tuberkulin (
mantoux)
BB/Keadaan - BB/TB < klinis gizi -
gizi 90% atau buruk atau
BB/U < BB/TB < 70%
80% BB/U < 60 %
Demam yang - ≥ 2 minggu - -
tidak
diketahui
penyebab
batuk kronik - ≥ 3 minggu - -
pembesaran - ≥ 1 cm, ≥ - -
kelenjar limfe 1KGB
colli, aksila, tidak -nyeri
inguinal
pembengkaka - Ada - -
n tulang/sendi pembengka
panggul, lutut kan
foto thoraks normal/kelainan gambaran - -
25
tidak jelas sugestif
meningkat
(mendukun
g) TB
1. Isoniazid
INH adalah obat antituberkulosis yang efektif saat ini bersifat bakterisid dan
sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolit aktif yaitu kuman yang
sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini
efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi kedalam seluruh jaringan
dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal (CSS), cairan pleura, cairan asites,
jaringan caseosa dan angka timbulnya reaksi simpang (adverse reaction) sangat
rendah. Dosis harian INH biasa diberikan 5-15 mg/kgBB/hari, max 300 mg/hari,
secara peroral, diberikan 1x pemberian. INH yang tersedia umumnya dalam bentuk
tablet 100 mg dan 300 mg dan dalam bentuk sirup 100 mg/5 ml.
INH mempunyai 2 efek toksik utama yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer,
tetapi keduanya jarang terjadi pada anak, tetapi frekuensinya meningkat dengan
bertambahnya usia. Hepatotoksik mungkin terjadi pada remaja atau anak-anak
dengan tuberkulosis berat. Idealnya perlu pemantauan kadar transaminase pada 2
bulan pertama. Hepatotoksik akan meningkat apabila INH diberikan bersama dengan
Rifampisin dan PZA. Penggunaan INH bersama dengan fenobartbital atau fenitoin
dapat meningkatkan resiko hepatotoksik. INH tidak dilanjutkan pemberiannya pada
keadaan kadar transaminase serum naik lebih dari 3x harga normal atau terjadi
manifestasi klinik hepatitis, berupa mual, muntah, nyeri perut dan kuning.
26
Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme piridoksin.
Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan INH tetapi manifestasi
klinisnya jarang sehingga tidak diperlukan piridoksin tambahan. Manifestasi klinis
neuritis perifer yang paling sering adalah mati rasa atau kesemutan pada tangan dan
kaki. Piridoksin diberikan 1x sehari 25-50 mg atau 10 mg piridoksin tiap 100 mg
INH.
2. Rifampisin
27
3. Pirazinamid
4. Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata.
Dosis etambutol (EMB) 15-20mg/kg/hari. Maksimal 1,25g/hari dengan dosis tunggal.
Ekskresi terutama lewat ginjal dan saluran cerna. EMB tersedia dalam tablet 250mg
dan 500mg. Memiliki aktivitas bakteriostatik dan berdasarkan pengalaman, dapat
mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. EMB dapat bersifat
bakteriosid, jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. EMB tidak
berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. EMB ditoleransi
dengan baik pada dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis 1 atau 2
kali sehari. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optik dan buta warna
merah-hijau. Tidak terdapat laporan toksisitas optik pada anak-anak.
5. Streptomisin
28
jaringan dan cairan pleura, dieksresi melalui ginjal. Toksisitas utama streptomisin
terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran
berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing.
29
napsu makan membaik, dan gejala-gejala lainnya menghilang, maka pengobatan
dapat dihentikan. Jika masih terdapat kelainan gambaran radiologis maka dianjurkan
pemeriksaan radiologis ulangan.
Keterangan :
Pada kasus ini pasien diagnosis dengan efusi pleura. Dari anamnesa pasien
mengeluhkan adanya sesak yang sudah lama dialami dan sering berobat namun tidak
ada perubahan, pasien juga sebelumnya diagnosis dengan tb paru saat pertama kali
berobat namun pasien tidak datang untuk berobat lanjut. pada pemeriksaan fisik saat
pasien tiba dirumah sakit didapatkan rhonki pada kedua lapang paru pasien dan saat
dilakukan palpasi didapatkan vocal fremitus menurun pada kedua lapang paru dan
pada saat perkusi ditemukan redup pada daerah basal paru kanan dan kiri hal ini di
dukung pada pemeriksaan penunjang thorax paru dan usg paru saat pasien dirawat
30
dirumah sakit, pasien dikonsulkan pada dokter bedah untuk tatalaksana efusi dan
hanya diberikan obat untuk efusi pleuara yang diharapkan dapat berkurang tanpa
tindakan bedah lainnya. Pada teori mengatakan efusi pluera dapat disebabkan oleh
infeksi paru disebut infeksi infeksi parapneumonik. Penyebab efusi pleura yang
sering terjadi di negara maju adalah CHF, keganasan, pneumonia bakterialis, dan
emboli paru.
Pada pasien ini penyebab efusi adalah penyakit bronkopneumoni dan tb paru,
pada gejala klinis efusi pleura sama seperti pada gejala pneumoni yaitu sesak nafas,
demam, banyak berkeringat, nyeri dada, dan batuk. Pada pemeriksaan fisik dapat
nyeri dada, vocal fremitus melemah, pada perkusi pekak dalam keadaan duduk
permukaan cairan membentuk garis melengkung. Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan untuk menegakan suatu diagnosis efusi dapat digunakan foto thorax untuk
menilai seberapa bnayak cairan pada rongga pleura serta usg untuk melakukan
tindakan bedah berupa pungsi cairan. Tatalaksananya pada kasus efusi pleura yaitu
mengobati penyakit dasar seperti pneumonia, dan juga dapat dilakukan torakosintesis
dengan tujuan membuang cairan pada rongga pleura pada kasus ini pasien hanya
diberikan pengobatan dengan alasan cairan pada rongga pleura bisa dapat terserap
sendiri.
Pada anamnesa dari ibu pasien bahwa pasien ini merupakan anak pertama yang
sangat dimanja oleh keluarga, pasien merupakan anak yang makan sedikit dan suka
jajan di luar, ibu pasien mengatakan bahwa berat badan pasien tidak pernah naik
sampai gemuk namun diakui pasien semenjak pasien sakit pasien mengalami
penurunan berat badan yang cukup drastis, pasien dari kecil tidak pernah
mendapatkan asi dari ibu pasien hanya meminum susu formula dan makanan
pendukung lainnya. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien tampak pucat dan
kurus dan pada pemeriksaan antropometri didapatkan grafik berada pada -3SD
menunjukan pasien berada dalam keadaaan gizi buruk pada tatalaksananya pasien
diberikan vitamin asam folat dan susu f100 pasien juga diberikan makan yang gizinya
diatur oleh bagian gizi dari rumah sakit pada gizi buruk juga yaitu mengobati infeksi
yang sedang diderita serta untuk rehidrasi cairan.
31
Gizi merupakan suatu hal penting bagi perkembangan anak, dengan gizi yang
tercukupi anak akan mampu berkembang secara optimal dimassa emasnya. Untuk
mengetahui gizi seorang anak dapat diketahui melalui anamnesa yaitu pertumbuhan
yang kurang, anak kurus, atau berat badan yang kurang, selain itu ada keluhan anak
tidak mau makan sering menderita sakit yang berulang atau timbulnya bengkak pada
kedua kaki kadang sampai seluruh tubuh. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
keadaan umum pucat, kurus, atrofi pada elstermitas, adanya edema pedis.
Rambut pada penderita kwarshiorkor rambut kepalayang mudah tercabut tanpa
rasa sakit. pada penderita kwashiorkor lanjut,rambut akan tampak kusam,halus,
kering, jarang dan berubah warna menjadi putih kering bulu mata menjadi
panjang.rambut yang mudah dicabut di daerah temporal terjadi karena kurangnya
protein menyebabkan degenerasi pada rambut dan kutikula rambut yang rusak kulit
penderita biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih
mendalam dan lebar. Untuk penunjang dapat digunakan kurva tumbuh kembang
WHO ataupun CDC. Untuk pentalaksaan pasien gizi buruk dapat memberikan
makanan yang bergizi, memberikan lebih banyak makanan atau sering makan,
memberikan penambahan vitamin dan zat-zat yang bernutrisi misalnya yang
mengandung zat besi, kalsium, vitamin dan protein, usahakan 4 sehat 5 sempurna.
Prognosis pasien pasien pada kasus ini dikatakan dubia. Dengan tatalaksana
yang tepat, Status gizi pasien ini adalah gizi buruk . Berdasarkan teori, status gizi
pada saat seseorang terkena bronkopneumonia memberikan pengaruh pada prognosis
dari pasien itu sendiri. Status gizi dan keadaan pasien yang terinfeksi memberikan
interaksi sinergis. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan pasien melalui asupan
makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Pasien tidak
mengalami penurunan nafsu makan, status gizi buruk, fungsi dari pada organ lainnya
juga baik. Oleh karena itu untuk prognosis pada pasien ini adalah dubia untuk vitam,
functionam, dan Sanationam. Pasien dengan bronkopneumonia dapat dipulangkan
jika gejala dan tanda pneumonia telah menghilang, asupan peroral adekuat,
pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (peroral), keluarga mengerti dan
setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol, kondisi rumah memungkinkan
32
untuk perawatan lanjutan di rumah. Pada kasus ini pasien belum dipulangkan karena
kondisi pasien yang masih sesak, ronki masih ada dan status gizi pasien yang
buruk1,3,8.
33
DAFTAR PUSTAKA
34
13. Extensive Transmission of Mycobacterium tuberculosis from a Child.
http://www.cdc.gov/TB/pubs/sledeset/pediatricTB/defailt.htm..Last Modified:
2006.
14. Lusa. 2009. Gizi buruk. 24 maret 2013. Lusa. Web.id
15. Ali, Arsad Rahim. 2009. Patogenesis penyakit defisiensi Gizi. 4 april 2013. Arali
2008.wordpress.com
16. Munif. 2012. Epidemiologi Gizi Buruk. 4 April 2013. Helpingpeopleideas.com
17. Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009.
Depkes RI 2005.
18. Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta :
Buku Kedokteran EGC.
19. Fajar, Ibnu, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Moehji, Sjahmien. 1999. Ilmu Gizi. Jakarta : Bhratara.
20. Santoso, Soegeng, Ranti, Anne Lies. 2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta : Rineka
Cipta.
21. Syamsuhidayat R. & Jong W. D (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC
22. Mitchell, Kuman, Abbas & Fausto. Dasar Patologis Penyakit Edisi : 7. Jakarta :
EGC
23. NANDA Internasional. Diagnoas Keperawatan. Defenisi dan Klasifikasi. 2012-
2014
24. Khairani R, Syahruddin E, Partakusuma LG. Karakteristik Efusi Pleura di
Rumah Sakit Persahabatan. J Respir Indo 2012;32(3):155-60.
25. Light RW. Pleural diseases. 5th ed. Baltimore: Wiliams and Wilkins; 2007. p.412.
26. Mayse ML. Non malignant pleural effusions. In: Fishman AP, editor. Fishman’s
pulmonary diseases and disorders. 4th ed. New York: Mc Graw Hill.
2008;1487-504.
27. Marel M. Epidemiology of pleural effusion. Eur Respir Mon. 2002;22:146-56.
28. Syahruddin E, Hudoyo A, Arief N. Efusi Pleura Ganas pada Kanker Paru.
Jakarta: Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI.
2004.
35
29. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR, et al. Clinically Oriented Anatomy. 6 th ed.
Baltimore: Lippincott Williams and Wilkins; 2010.p.72-180.
30. Halim H. Penyakit-penyakit Pleura. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M Setiati S. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III.
Jakarta: Interna Publishing; 2014. h.2329-36.
36