Pernahkah kita menemukan suatu masyarakat yang tidak pernah berhadapan dengan masalah
sosial? Masyarakat di mana seluruh anggotanya mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Masyarakat di mana seluruh individu di dalamnya berfungsi sosial secara adekuat. Masyarakat di
mana seluruh kelompok-kelompok sosial di dalamnya memiliki akses dan kesempatan yang sama untuk
menjangkau sumber-sumber ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial secara adil dan
merata. Masalah sosial datang silih berganti. Beragam kebutuhan manusia senantiasa hadir setiap
saat. Masalah sosial membutuhkan pemecahan. Kebutuhan sosial memerlukan pemenuhan.
Meskipun masalah dan kebutuhan memiliki pengertian yang berbeda, namun dalam konteks
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat kedua istilah tersebut seringkali dipertukarkan.
Masalah pada hakekatnya merupakan kebutuhan, karena masalah mencerminkan adanya kebutuhan
dan sebaliknya kebutuhan apabila tidak dipenuhi akan menimbulkan masalah. Masalah pada dasarnya
merupakan pernyataan suatu kondisi secara ‘negatif’sedangkan kebutuhan menyatakan secara
‘positif’. ‘Masyarakat mengalami suatu kelaparan’ adalah suatu pernyataan masalah, tetapi
‘masyarakat memerlukan bantuan makanan’ adalah pernyataan kebutuhan.
Secara luas masalah dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara harapan dan kenyataan atau
sebagai kesenjangan antara situasi yang ada dengan situasi yang seharusnya (Jenssen, 1992:42).
Dalam diskusi ini, pengertian masalah akan lebih difokuskan pad masalah sosial. Menurut Horton dan
Leslie (1982) masalah sosial adalah suatu kondisi yang dirasakan banyak orang tidak menyenangkan
serta menuntut pemecahan melalui aksi sosial secara kolektif. Dari definisi ini dapat disimpulkan
bahwa masalah sosial memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Kondisi yang dirasakan banyak orang
Suatu masalah dapat dikatakan sebagai masalah sosial apabila kondisinya dirasakan oleh banyak
orang. Namun demikian, tidak ada batasan mengenai berapa jumlah orang yang harus merasakan
masalah tersebut. Jika suatu masalah mendapat perhatian dan menjadi pembicaraaan lebih dari
satu orang, masalah tersebut adalah masalah sosial.
2. Kondisi yang dinilai tidak menyenangkan
Menurut paham Hedonisme, orang cenderung mengulang sesuatu yang menyenangkan dan
menghindari sesuatu yang tidak mengenakkan. Orang senantiasa menghindari masalah, karena
masalah selalu tidak menyenangkan. Penilaian masyarakat sangat penting dalam menentukan suatu
kondisi sebagai masalah sosial. Suatu kondisi dapat dianggap sebagai masalah sosial oleh
masyarakat tertentu tetapi tidak untuk masyarakat lainnya. Ukuran ‘baik’ atau ‘buruk’ sangat
bergantung kepada nilai atau norma yang dianut masyarakat.
3. Kondisi yang menuntut pemecahan
Suatu kondisi yang tidak menyenangkan senantiasa menuntut pemecahan. Pada waktu lalu, masalah
kemiskinan tidak dianggap sebagai masalah sosial, karena kemiskinan dianggap sesuatu yang ilmiah
dan masyarakat belum memiliki kemampuan untuk memecahkannya. Sekarang, setelah masyarakat
memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk menanggulangi kemiskinan, kemiskinan ramai
diperbincangkan dan diseminarkan, karena dianggap sebagai masalah sosial.
4. Pemecahan tersebut harus dilakukan melalui aksi sosial secara kolektif
Masalah sosial berbeda dengan masalah individu. Masalah individual dapat diatasi secara
individual, tetapi masalah sosial hanya dapat diatasi melalui rekayasa sosial seperti aksi sosial,
kebijakan sosial atau perencanaan sosial, karena penyebab dan akibatnya bersifat
multidimensional dan menyangkut banyak orang.
Setiap masyarakat dimana pun berada senantiasa memiliki masalah dan kebutuhan. Agar
mencapai tujuan yang diharapkan, penanganan masalah harus dimulai dari perumusan masalah sosial.
Penanganan masalah sosial harus mampu merespon masalah dan kebutuhan manusia dalam masyarakat
yang senantiasa berubah, meningkatkan keadilan dan hak asasi manusia, serta mengubah struktur
masyarakat yang menghambat pencapaian usaha dan tujuan kesejahteraan sosial. Oleh karena itulah
dalam parakteknya, penanganan masalah sosial kerap diimplementasikan ke dalam program-program
kegiatan dari, bagi dan bersama individu, keluarga, kelompok sosial, organisasi sosial dalam mencapai
tujuan sosial dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
1. Pemetaan Sosial
Pemetaan sosial dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan dalam penanganan masalah
sosial. Pemetaan sosial (social mapping) adalah proses penggambaran masyarakat yang sistematik
serta melibatkan pengumpulan data dan informasi mengenai masyarakat termasuk di dalamnya
profile dan masalah sosial yang ada pada masyarakat tersebut. Merujuk pada Netting, Kettner dan
Mc Murtry (1993), pemetaan sosial dapat disebut juga social profiling atau pembuatan profil suatu
masyarakat.
Sebagai sebuah pendekatan, pemetaan sosial sangat dipengaruhi oleh ilmu penelitian sosial dan
geography. Salah satu bentuk atau hasil akhir pemetaan sosial biasanya berupa peta wilayah yang
sudah diformat sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu image mengenai pemusatan
karakteristik masyarakat atau masalah sosial, misalnya jumlah orang miskin, rumah kumuh, anak
terlantar, yang ditandai dengan warna tertentu sesuai dengan tingkat pemusatannya. Dengan
demikian, fungsi utama pemetaan sosial adalah memasok data dan informasi bagi pelaksanaan
program pemberdayaan masyarakat. Perlu dicatat bahwa tidak ada aturan dan bahkan metode
tunggal yang secara sistematik dianggap paling unggul dalam melakukan pemetaan sosial.
Prinsip utama bagi para praktisi pekerjaan sosial dalam melakukan pemetaan sosial adalah
bahwa bahwa ia dapat mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dalam suatu wilayah tertentu
secara spesifik yang dapat digunakan sebagai bahan membuat keputusan terbaik dalam proses
pertolongannya. Mengacu pada Netting, Kettner, dan McMurty (1993:63) ada tiga alasan utama
mengapa para praktisi pekerjaan sosial memerlukan sebuah pendekatan sistematik dalam melakukan
pemetaan sosial :
1. Pandangan mengenai “manusiaa dalam lingkungannya” (the-person-in-environment) merupakan
faktor penting dalam praktik pekerjaan sosial, khususnya dalam praktek tingkat makro atau
praktek pengembangan masyarakat. Masyarakat di mana seseorang tinggal sangat penting
dalam menggambarkan siapa gerangan dia, masalah apa yang dihadapinya, serta sumber-
sumber apa yang tersedia untuk menangani masalah tersebut. Pengembangan masyarakat
tidak akan berjalan baik tanpa pemahaman mengenai pengaruh-pengaruh masyarakat
tersebut.
2. Pengembangan masyarakat memerlukan pemahaman mengenai sejarah dan perkembangan
suatu masyarakat serta analisis mengenai status masyarakat saat ini. Tanpa pengetahuan ini,
para praktisi akan mengalami hambatan dalam menerapkan nilai-nilai, sikap-sikap dan tradisi-
tradisi pekerjaan sosial maupun dalam memelihara kemapanan dan mengupayakan perubahan.
3. Masyarakat secara konstan berubah. Individu-individu dan kelompok-kelompok bergerak ke
dalam perubahan kekuasaan, stukrur ekonomi, sumber pendanaan dan peranan penduduk.
Pemetaan sosial dapat membantu dalam memahami dan mengintepretasikan perubahan-
perubahan tersebut.
Memahami Masyarakat
Pemetaan sosial memerlukan pemahaman mengenai kerangka konseptualisasi masyarakat yang
dapat membantu dalam membandingkan elemen-elemen masyarakat antara wilayah satu dengan
wilayah lainnya. Misalnya beberapa masyarakat memiliki wilayah (luas-sempit), komposisi etnik
(heterogen-homogen) dan status sosial-ekonomi (kaya-miskin atau maju-tertinggal) yang berbeda
satu sama lain. Kerangka untuk memahami masyarakat akan berpijak pada karya klasik Warren
(1978), the Community in America, yang dikembangkan kemudian oleh Netting, Kettner dan McMurty
(1993:68-92). Sebagaimana digambarkan Tabel 2.1, kerangka pemahaman masyarametode dan kat
dan masalah sosial terdiri dari 4 fokus atau variabel dan 9 tugas.
C. Metode Partisipatoris
Metode partisipatoris merupakan proses pengumpulan daya yang melibatkan kerjasama aktif
antara pengumpul data dan responden. Pertanyaan-pertanyaan umumnya tidak dirancang secara
baku, melainkan hanya garis-garis besarnya saja. Topik-topik pertanyaan bahkan dapat muncul
dan berkembang berdasarkan proses tanya-jawab dengan responden. Terdapat banyak teknik
pengumpulan data partisipatoris. Empat dibawah ini cukup penting diketahui :
1. Penelitian dan aksi partisipatoris (Participatory Research and Action). Metode yang terkenal
dengan istilah PRA (Participatory Rural Appraisal) ini merupakan alat pengumpulan data yang
sangat berkembang dewasa ini. PRA terfokus pada proses pertukaran informasi dan
pembelajaran antara pengumpul data dan responden. Metode ini biasanya menggunakan
teknik-teknik visual (penggunaan tanaman, biji-bijian, tongkat) sebagai alat penunjuk
pendataan sehingga memudahkan masyarakat biasa (bahkan yang buta huruf) berpartisipasi.
PRA memiliki banyak sekali teknik, antara lain Lintas Kawasan, Jenjang Pilihan dan Penilaian,
Jenjang Matriks Langsung, Diagram Venn, Jenjang Perbandingan Pasangan (Suharto,
1997;2002; Hikmat, 2001).
2. Stakeholder Analysis. Analisis terhadap para peserta atau pengurus dan anggota suatu
program, proyek pembangunan atau organisasi sosial tertentu mengenai isu-isu yang terjadi
di lingkungannya, seperti relasi kekuasaan, pengaruh, dan kepentingan-kepentingan berbagai
pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan. Metode ini digunakan terutama untuk menentukan
apa masalah dan kebutuhan suatu organisasi, kelompok, atau masyarakat setempat.
3. Beneficiary Asessment. Pengidentifikasian masalah sosial yang melibatkan konsultasi secara
sistematis dengan para penerima pelayanan sosial. Tujuan utama pendekatan ini adalah untuk
menfidentifikasi hambatan-hambatan partisipasi, merancang inisiatif-inisiatif pembangunan,
dan menerima masukan-masukan guna memberbaruhi sistem dan kualitas pelayanan dan
kegiatan pembangunan.
4. Monitoring dan Evaluasi Partisipatoris (Participatory Monitoring and Evaluation). Metode ini
melibatkan anggota masyarakat dari berbagai tingkatan yang bekerjasama mengumpulkan
informasi, mengidentifikasi dan menganalisis masalah, serta melahirkan rekomendasi-
rekomendasi.
B. Social Exclusion
Marginalisasi terjadinya dilihat dari adanya beberapa peristiwa yakni diantaranya dari
terjadinya social exclusion dan kemiskinan. Social exclusion adalah definisi yang diberikan kepada
sebuah proses pembangunan yang secara sengaja dan tidak sengaja meminggirkan kelompok tertentu
masyarakat dari manfaat pembangunan. Bahkan ia menjadi korban-korban pembangunan seperti
penggusuran, kemiskinan, tidak memiliki akses terhadap kesehatan, pendidikan dan perumahan yang
layak serta lain-lain. Isyarat paling umum dari social exclusion adalah fenomena kemiskinan. Kenapa?
Karena kemiskinan adalah alasan uatama kenapa perlu pembangunan paling tidak dari segi
kesejahteraan fisik.
C. Kemiskinan
Kemiskinan adalah fenomena sosial paling menyita perhatian seluruh kalangan karena
merupakan masalah klasik dan pelik. Tidak hanya peneliti, politikus, dan pemerintah, tokoh agama
sekalipun tak hentinya memikirkan bagaimana cara keluar dari krisis tidak hanya seruan moral tetapi
juga langkah-langkah praktis di lapang. Hingga saat ini hampir enam dasawarsa setelah Marshall Plan
menuai hasil fantastis di Eropa serta kebangkitan Jepang dan Korea selatan dalam mendominasi
ekonomi dunia kemiskinan tetap memprihatinkan bahkan lebih buruk menurut bebarapa ahli
(Friedmann, 1992). Berikut masing-masing akan coba diuraian tentang sebab-sebab kemiskinan dari
berbagai dimensi dan dari berbagai level analisis.
a. Kemiskinan karena masalah fisik. Kemiskinan tipe ini pada tingkat lokal lebih banyak karena
masalah alam seperti lahan yang gersang, curah hujan yang kurang, kurang sumberair,
kekuarangan sumberday alam lainnya, juga kondisi alam yang kurang menguntungkan secara
geografis. Pada level nasional, biasanya terjadi permasalahan kerusakan sumberdaya alam
seperti deforestasi, erosi, over penggembalaan, juga langkanya sumber energy. Pada skala
internasional sebab kemiskinan bisa karena lokasi negara yang terpencil dari rute perdagangan
(tidak punya laut-land locked nation)
b. Selain fisik maka kemiskinan juga disebabkan oleh masalah sosial atau yang banyak kita
kenal sebagai kemiskinan struktural atau bagian penting dari sosial exclusion. Pada level lokal
kekuarangan pengetahuan, skills, kesadaran, dan kerjasama antar masyrakat menjadi penyebab
cukup umum dari fenomena kemiskinan. Sebab lain seperti pemikiran yang selalu tergantung,
kurangnya inisiatif dan resistensi untuk berubah sering kita temua dimasyarakat kita. Ketidak
percayaan, korupsi dan lain-lain juga menjadi peryebab kemiskinan yang sangat potensial.
Sementara itu diskala nasional perbedaan etnik, kelas sosial, korupsi, mismanajemen, serta sisa-
sisa kolonialisme menjadi penyebab kemiskinan. Destruksi terhadap lahan, erosi, deforestasi,
over penggembalaan, juga kurangnya sarana pendidikan dan kurikulum yang buruk serta
rendahnya kemampuan negara memberi pelayanan kesehatan juga menjadi masalah pokok
kemiskinan. Ditingkat internsional disisi lain sebab kemiskinan karena masalah sosial antara lain
neo-kolonialism dan kecemburuan ras.
c. Selain masalah sosial, kemiskinan juga bisa disebabkan oleh masalah politik terutama
dinegara-negara yang belum menerapkan pemerintahan yang bersih atau daerah konflik.
Pada level lokal, lemahnya pemerintahan lokal, sektarianisme, nepotisme dan favouritisme
menjadi penyebab cukup penting. Pemilihan pemimpin karena popularitas sebagai misal dapat
menyebabkan kemiskinan karena orang tidak memilih sesuai dengan kapasitasnya. Selain itu
kurangnya partisipasi masyarakat dan kecilnya pendidikan politik juga menjadi penyebab
kemiskina. Pengkerdilan gerakan politik selama orde baru sebagai misal masih menyisakan
masalah pelik hingga sat ini seperti kualitas perwakilan yang buruk, pemimpin-pemimpin yang
lahir tidak kredible dan banyak lagi masalah karena masyarakat belum memikili knowledge yang
memadai tentang bagaimana berdemokrasi. Pada level nasional, ketidakstabilan politik, perang
sipil, kurangnya demokrasi dalam pengambilan keputusan, lemahnya keinginan penduduk lokal,
sisa-sia hukum kolonial,KKN-korupsi-kolosi-nepotisme dan rendahnya kualitas pemerintahan
menjadi kendala juga selain lemahnya penerjemahan hukum pada level nasional. Pada level
internasional, neo-kolonialisme, blok-blok politik, rivalitas nasional dan pengungsi juga potensial
menjadi penyebab kemiskinan.
d. Masalah lain adalah ekonomi. Pada tingkat lokal kurangnya ketersediaan kapital, simpanan,
kredit, tenaga kerja ahli, enterpreneur, gudang penyimpan, alat dan bahan, serta exploitasi oleh
pedagang menjadi penyebab kemiskinan. Pada kasus Indonesia rendahnya entrepreneur menjadi
kendala bagi pertumbuhan ekonomi karena intrepreneur identik dengan inovasi dan masyarakat
miskin. Pada level internasional, neo-kolonialisme, fluktuasi harga komoditi, tarif dan quota,
perdagangan tidak fair, dan hutang luar negeri juga potensial menjadi penyebab kemiskinan.
e. Jika kemajuan. Tengkulak atau pedagang perantara juga menjadi kendala klasik pembangunan
pedesaan di Indonesia selain lemahnya sistem logistik yang mampu menjangkau hasil petani. Pada
level nasional, inflasi, pasar terpusat, sedikitnya tanaman komersial dan keterlambatan atau
ketergesaan pembayaran juga potensial menyebabkan kemiskinan. Ijon (ketergesaan) dan
konsinasi (bayar belakang) sering kita temua di masyarakat kita. Disisi pedagangan sedikitnya
product exsport dan lemahnya permintaan pasar juga menjadi kendala selain tidak efisiennya
lembaga penyangga seperti bulog dan lain-lain. Tentu saja infrastruktur yang kurang memadai
akan potensial menjadikan
Kita amati satu persatu maka terlihat bahwa hampir seluruh penyebab kemiskinan lebih banyak
akibat tidak berjalannya sistem daripada karena masalah fisik yang lebih banyak karena determinasi
alam. Dengan demikian kemiskinan lebih banyak merupakan proses social exclusion daripada sesuai
yang “given”. Pemberdayaan dalam hal ini adalah usaha untuk memberikan alternatif pemikiran dan
praktik pembangunan yang mampu menghilangkan penyebab-penyebab kemiskinan, terutama karena
penyebab struktural. Untuk melihat kemiskinan dalam suatu wilayah terdapat beberapa metode
pengukuran yang dapat digunakan, antara lain :
1. Indeks Gini
Suatu ukuran yang singkat mengenai derajat ketidakmerataan distribusi pendapatan dalam suatu
negara biasa diperoleh dengan menghitung luas daerah antara garis diagonal (kemerataan
sempurna) dengan kurva Lorenz dibandingkan dengan luas total dari separuh bujur sangkar dimana
terdapat kurva Lorenz tersebut. Pada Gambar di bawah ini koefisien Gini itu ditunjukkan oleh
perbandingan antara daerah yang diarsir A dengan luas segitiga BCD.
Dimana:
KG : Angka koefisien gini
Xi : Proporsi jumlah rumah tangga kumulatif dalam kelas i.
fi : Proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas i.
Yi : Proporsi jumlah pendapatan rumah tangga kumulatif dalam kelas i.
Koefisien Gini ini merupakan ukuran ketidakmerataan agregat dan nilainya terletak
antara 0 (kemerataan sempurna) sampai 1 (ketidakmerataan sempurna). Koefisien Gini dari
negara-negara yang mengalami ketidakmerataan tinggi berkisar antara 0,50 – 0,70;
ketidakmerataan sedang berkisar antara 0,36 – 0,49; dan yang mengalami ketidakmerataan
rendah berkisar antara 0,20 - 0,35.
2. Indeks HDI
Tujuan dasar dari pembangunan adalah memperbesar pilihan untuk masyarakat. Pada prinsipnya,
pilihan itu bersifat tak terbatas dan berubah-ubah sepanjang waktu. Masyarakat sering menilai
prestasi yang tidak terlihat secara nyata, atau pun tidak secara langsung, pendapatan atau
pertumbuhan: akses yang luas untuk mendapatkan pengetahuan, gizi yang lebih baik dan pelayanan
kesehatan, keamanan lingkungan, keamanan terhadap criminal dan tindak kejahatan fisik,
kenyamanan bertamasya, kebebasan berpolitik dan berbudaya dan partisipasi dalam kegiatan
komunitas atau kelompok. Tujuan dari pembangunan itu sendiri pada dasarnya untuk menciptakan
adanya lingkungan bagi masyarakat yang dapat dinikmati dalam jangka panjang, sehat dan hidup
yang kreatif (Mahbub ul Haq, 2008). Dalam hubungannya dengan pembangunan, HDI (Human
Development Index) merupakan index gabungan untuk mengukur kesejahteraan ekonomi dan
sosial. HDI juga dapat melihat perkembangan suatu negara, merupakan negara berkembang
secara ekonomi atau negara tidak berkembang. Mengukur pemahaman dan penilaian dampak
kebijakan ekonomi suatu negara yang berhubungan dengan kualitas hidup masyarakatnya.
Berdasarkan HDI, negara-negara di dunia dibagi menjadi tiga yakni negara dengan tingkat
perkembangan tinggi, sedang dan tinggi. Pengukuran HDI menjadi penting karena mengukur
perkembangan manusia, yang mana perkembangan manusia tersebut merupakan keluaran dan
sebuah proses untuk memperbesar pilihan masyarakat dalam meningkatkan nilai hidup mereka,
pertumbuhan ekonomi juga merupakan faktor penting yang mendorong keberhasilan pembangunan
manusia. Hasil pengukuran HDI digunakan untuk melihat tingkat pertumbuhan manusia, yang
biasanya dihubungkan dengan kemajuan dan hubungan kompleks antara pendapatan dan
kesejahteraan. Dimensi dan indikator HDI adalah tingkat usia yang diindikasikan dengan tingkat
kelahiran, dan indeks populasi pada kesehatan dan tingkat usia. Selanjutnya yakni pengetahuan
dan pendidikan yang diindikasikan dengan program wajib belajar dan belajar lanjutan. Yang
terakhir, adalah standar hidup yang diindikasikan dengan nilai natural logaritma dari GDP per
kapita pada tingkat daya beli masyarakat (diukur dalam US$). HDI dikategorikan berdasarkan
nilai indeksnya yakni 0,900 – 1, berarti tingkat pertumbuhan manusianya sangat tinggi, 0,699 –
0,899 berarti tingkat pertumbuhan manusianya tinggi, 0,522 – 0,698 berarti tingkat
pertumbuhan manusianya sedang, dan indeks HDI dibawah 0,521 berarti tingkat pertumbuhan
manusianya tergolong rendah. Sehingga secara matematis rumus perhitungan HDI adalah sebagai
berikut :
HDI = √𝑳𝑬𝑺 𝒙 𝑬𝑰 𝒙 𝑰𝑰
𝟑
D. Stratifikasi Sosial
Per definisi, stratifikasi sosial adalah sebuah konsep yang menunjukkan adanya pembedaan
dan/atau pengelompokan suatu kelompok sosial (komunitas) secara bertingkat. Misalnya: dalam
komunitas tersebut ada strata tinggi, strata sedang dan strata rendah. Pembedaan dan/atau
pengelompokan ini didasarkan pada adanya suatu simbol -simbol tertentu yang dianggap berharga
atau bernilai — baik berharga atau bernilai secara sosial , ekonomi, politik, hukum, budaya maupun
dimensi lainnya — dalam suatu kelompok sosial (komunitas). Simbol -simbol tersebut misalnya,
kekayaan, pendidikan, jabatan, kesalehan dalam beragama, dan pekerjaan.
Dengan kata lain, selama dalam suatu kelompok sosia l (komunitas) ada sesuatu yang dianggap
berharga ataubernilai, dan dalam suatu kelompok sosial (komunitas) pasti ada sesuatu yang dianggap
berharga atau bernilai, maka selama itu pula akan ada stratifikasi sosial dalam kelompok sosial
(komunitas) tersebut. Secara sosiologis --jika dilacak ke belakang-- konsep stratifikasi sosial
memang kalah populer dengan istilah kelas sosial, dimana istilah kelas sosial pada awalnya menurut
Ralf Dahrendorf (1986), diperkenalkan pertama kali oleh penguasa Romawi Kuno. P ada waktu itu,
istilah kelas sosial digunakan dalam konteks penggolongan masyarakat terhadap para pembayar
pajak.
Ketika itu ada dua masyarakat, yaitu masyarakat golongan kaya dan miskin. Pada abad ke-18,
istilah kelas sosial digunakan oleh ilmuwan Eropa d alam pengertian yang berbeda, yaitu digunakan
dalam pengertian sebagai status sosial atau kedudukan. Dengan kata lain, istilah kelas sosial dan
status sosial dianggap sama. Pada abad ke -19, istilah kelas social mulai digunakan dalam analisis
kesenjangan so sial yang berakar dari kondisi ekonomi suatu masyarakat. Akhirnya sejak Marx
mengajukan konsepnya tentang kelas sosial penggunaan istilah ini dibedakan dengan istilah status
sosial.
Dalam studi-studi sosiologi kontempo-rer, istilah status sosial dikaitkan dengan istilah peran
(role), di mana kedua istilah tersebut memiliki hubungan yang bersifat ko -eksistensial (Beteille,
1977). Misalnya, jika ada status sosial tentu akan ada peran sosial, semakin tinggi status social
semakin banyak peran sosialnya, atau s emakin tinggi status sosial semakin sedikit peran sosialnya.
Perbedaan secara tegas antara kelas sosial dan status sosial antara lain dikemu -kakan Max Weber
dengan mengaju-kan konsep tentang kelas sosial, status sosial dan partai.
Menurut Weber, kelas sosial merupakan stratifikasi sosial yang berkaitan dengan hubungan
produksi dan penguasaaan kekayaan. Sedangkan status sosial merupakan manifestasi dari stratifikasi
social yang berkaitan dengan prinsip yang dianut oleh komunitas dalam mengkonsumsi kekayaa nnya
dan/atau gaya hidupnya. Partai merupa -kan perkumpulan sosial yang berorientasi penggunaan
kekuasaan untuk mempenga-ruhi suatu tindakan sosial tertentu. Konsep Weber tentang kelas sosial
merupakan perluasan dari konsep Marx. Menurut Marx, kelas sosial meru-pakan himpunan orang-
orang yang mem-peragakan fungsi yang sama dalam organisasi produksi.
Kelas-kelas sosial dalam komunitas dibedakan berdasarkan perbedaan posisinya dalam tatanan
ekonomi, yaitu pembedaan dalam posisinya dalam penguasaan alat –alat produksi. Weber
menggunakan istilah kelas sosial dalam pengertian seperti yang digunakan Marx, dengan
menambahkan dua faktor, yaitu kemampuan individu dan situasi pasar. Menurut Weber: pertama,
kelas merupa-kan himpunan manusia yang berada dalam situasi ya ng sama;
kedua, kelas bukan merupakan sebuah komunitas.
Dimensi Stratifikasi Sosial
Ada banyak dimensi yang bisa digunakan untuk mendeskripsikan stratifikasi sosial yang ada
dalam suatu kelompok sosial atau komunitas (Svalastoga, 1989), misalnya: dimensi pemilikan kekayaan
(diteorikan Koentjaraningrat), sehingga ada strata wong sugih dan wong cilik. Awalnya, dimensi ini
digunakan untuk melakukan identifikasi pada masyarakat Jawa, maka yang disebut pemilikan
kekayaan akan terfokus pada simbol-simbol ekonomi yang lazim dihargai masyarakat Jawa. Misalnya,
pemilikan tanah (rumah, pekarangan atau sawah). Dimensi distribusi sumber daya diteorikan oleh
Gerhard Lensky, di mana ada strata tuan tanah, strata petani bebas, strata pedagang, strata
pegawai, strata petani, strata pengrajin, strata pengangguran, dan strata pengemis. Dimensi ini pada
awalnya diberlakukan pada masyarakat
pra-industri di mana sistem stratifikasi sosialnya belum sekompleks masyarakat industri.
Ada tujuh dimensi stratifikasi sosial (diteorikan Bernard Baber), yaitu: occupational prestige,
authority and power ranking, income or wealth, educational and knowledge, religious and ritual
purity, kinship, ethnis group, and local community. Ketujuh dimensi ini, baik secara terpisah maupun
bersama-sama, akan bisa membantu dalam mendes -kripsikan bagaimana susunan stratifikasi sosial
suatu kelompok sosial (komunitas) dan faktor yang menjadi dasar terben –tuknya stratifikasi sosial
tersebut.
Samuel Huntington mengemukakan bahwa ada dimensi modernisasi untuk menjelaskan
stratifikasi sosial, yaitu: strata sosial (baru) yang mampu merealisasi aspirasinya ( the new have) dan
strata sosial yang tidak mampu merealisasi aspirasinya atau mereka kalah dalam memperebutkan
posisi strata dalam komunitasnya ( the looser). Dimensi ini lebih terfokus pada
stratifikasi sosial yang pembentukannya didasarkan pada berbagai simbol gaya hidup. Teorisasi
Huntington ini dalam beberapa hal berhimpitan dengan teori Leisure Class-nya dari Thorstein
Veblen (Beteille, 1977).
Stratifikasi sosial karena adanya penenmpatan individu dalam tempay-tempat yang tersedia
dalam struktur sosial dan mendorongnya agar melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan kedudukan
serta peranannya. Pengisian tempat-tempat tersebut merupakan daya pendorong agar masyarakat
bergerak sesuai dengan fungsinya. Akan tetapi wujudnya dalam setiap masyarakat juga berlainan.
Karena tergantung pada bentuk dan kebutuhan masig-masing masyarakat. Jelas bahwa kedudukan
dan peranan yang dianggap tertinggi oleh setiap masyarakat adalah kedudukan dan peranan yang
dianggap terpenting serta memrlukan kemampuan dan latihan-latihan yang maksimal. Sehingga pada
umumnya masyarakat terbagi menjadi tiga lapisan yakni lapisan atas (upper class), lapisan tengah
(middle class) dan lapisan bawah (lower class), yang digambarkan pada Gambar dibawah ini;
Upper Class
Middle Class
Lower Class
TUGAS
Setelah membaca dan memahami materi di atas secara berkelompok mahasiswa diminta untuk :
1. Mengidentifikasi masalah sosial yang terjadi pada desa acuan sesuai dengan hasil studi monografi
desa dan survey lapang pendahuluan yang telah dilakukan.
2. Menentukan masalah sosial yang akan dipilih untuk dijadikan latar belakang penyusunan program
pemberdayaan.
3. Menentukan sasaran penerima manfaat kegiatan pemberdayaan yang akan dilakukan di desa acuan.
Referensi :
Adams. Robert. 2003. Social and Empowerment-Third Edition. Palgrave Macmillan.
Amaluddin, Moh., Kemiskinan dan Polarisasi Sosial: Studi Kasus di Desa Bulugede, Kabupaten Kendal,
Jawa Tengah (Jakarta: UI Press, 1987).
Beteille, Andre, Inequality among Man (London: Basil Blac Well, 1977).
Dahrendorf, Ralf, Konflik dan Konflik Kelas dalam Masyarakat Industri (Jakarta: CV Rajawali, 1986).
Dewanta, Awan Setya (ed)., Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia (Yogyakarta: Aditya Media,
1995).
Laeyendecker, L., Tata, Perubahan dan Ketimpangan (Jakarta: PT Gramedia, 1983).
Maeda, Narifumi & Matulada, Transformation of the Agricultural Landscape in Indonesia(Japan:
Center for South East Asian Studies, Kyoto University, 1984).
Popkin, Samuel L., The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vietnam
(California: California University Press, 1979).
Prapti. Lulus. 2006. Keterkaitan antara Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan. Tesis.
Semarang. Universitas Diponegoro
Rambo, A. Terry, Conceptual Approaches to Human Ecology (Honolulu: East-West Environment and
Policy Institute, 1981).
Salim, Agus, Stratifikasi Etnik: Kajian Mikro Sosiologi Interaksi Etnis Jawa dan Cina (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2006).
SIHFW. 2008. Human Development Index. Jaipur. State Institute of Health and Family Welfare.
Suharto. Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung. Refika Aditama