BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 44 Tahun
Alamat : Kp. Selang Nangka
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Tanggal Kunjungan : 14 Mei 2019
Tempat : RSUD Kabupaten Bekasi
II. ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan dengan pasien pada hari Selasa, pukul 09.30 tanggal
14 Mei 2019 di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Kabupaten Bekasi.
a. Keluhan Utama
Bercak kemerahan hampir seluruh badan sejak bulan maret 2019
b. Keluhan Tambahan
Disertai rasa gatal dan panas
1
menyebar ke daerah kaki hingga kesuluruh tubuh pasien. Bercak merah awalnya
berukuran kecil-kecil dan berbatas tidak tegas namun tidak gatal, 1 minggu
kemudian bercak merah makin membesar dan menjadi warna kehitaman
disertai rasa gatal dan panas pada tangan, kaki dan seluruh badan. Pada minggu
awal april bercak merah pada daerah kaki berubah menjadi kehitaman dan
terdapat beberapa benjolan berisi cairan yang disertai rasa gatal dan panas,
kemudian 2 minggu setelahnya pasien mengatakan terasa baal dan kadang
keram pada daerah kaki dan kadang terdapat luka berisi cairan hijau yang tidak
dirasakan pasien.
e. Riwayat Pengobatan
Pasien belum mendapatkan pengobatan
f. Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi
2
a. Kepala
Bentuk : Normocephale
Mata : CA -/-, SI -/-, Lagoftalmus (-)
Telinga : Normal, Serumen -/-, Cairan -/-
Hidung : Normal, Epistaksis (-)
Mulut : Tidak ada kelainan
b. Leher
Tidak ada pembesaran KGB, Massa (-), Deviasi Trakea (-)
c. Thorax
Inspeksi : Datar, Sikatrik (-), Massa (-)
Palpasi : Fremitus Taktil dan Vocal Simetris, Krepitasi (-)
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Rh -/-, Wh -/-, S1 dan S2 Reguler
d. Abdomen
Inspeksi : Datar, Sikatrik (-), Massa (-)
Palpasi : Turgor Normal, Hepar, Lien dan Renal tidak teraba
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen, Nyeri ketok CVA -/-
Auskultasi : Bising Usus (+) Normal, Metallic Sound (-)
e. Extremitas
SESUAI STATUS DERMATOLOGIS
1. Regio thoracalis, abdomen, dorsum, lumbal gluteus, pelvis, brachium dan
femur : Tampak makula dan patch dengan ukuran beragam <1 cm dan >1
cm dengan jumlah lesi > 5 berwarna merah dan hitam tersebar simetris,
batas tidak tegas, irregular, hiperpigmentasi multiple luas disertai nodul
berbatas tegas.
3
2. Regio Manus Dextra et Sinistra : Tampak makula dan patch dengan ukuran
beragam <1 cm dan >1 cm dengan jumlah lesi > 5 berwarna merah dan
hitam tersebar simetris, batas tidak tegas, irregular, hiperpigmentasi
multiple luas disertai nodul berbatas tegas.
4
4. Regio Pedis Dextra et Sinistra : Tampak makula dan patch dengan ukuran
beragam <1 cm dan >1 cm dengan jumlah lesi > 5 berwarna merah dan
hitam yang tersebar simetris batas tidak tegas, irreguler, hiperpigmentasi
dan hipopigmentasi multiple luas disertai pustula dan likenifikasi dengan
batas tegas.
5
PEMERIKSAAN SENSORIK DAN MOTORIK
MATA KANAN KIRI
Nervus Facialis:
(-) (-)
Lagophthalmos
Penebalan saraf (-) Penebalan saraf (-)
Nervus Auricularis Magnus
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
TANGAN KANAN KIRI
Nervus Ulnaris Penebalan saraf (-) Penebalan saraf (-)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Nervus Radialis
Penebalan saraf (-) Penebalan saraf (-)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Kekuatan Otot
Jari ke V(N. Ulnaris)
Kuat Kuat
Ibu Jari (N. Medianus)
Kuat Kuat
Pergelangan Tangan (N.
Kuat Kuat
Radialis)
6
Mikrobiologi (Pemeriksaan KOH 10%) :
Epitel : 1-3/lpk
Hifa : Negatif (-)
Spora : Negatif (-)
Budding : Negatif (-)
V. RESUME
Tn. S usia 44 tahun rujukan dari Puskesmas dengan diagnosis Suspect Morbus
Hansen datang ke poliklinik kulit RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan bercak
merah dan hitam hampir seluruh badan yang sudah dirasakan sejak 2 bulan
terakhir. Pada bulan maret 2019 pasien demam dan muncul bercak merah pada
daerah tangan pertama kali kemudian menyebar ke daerah kaki hingga kesuluruh
tubuh pasien. Bercak merah awalnya berukuran kecil-kecil dan berbatas tidak tegas
namun tidak gatal kemudian bercak merah makin membesar dan menjadi warna
kehitaman disertai rasa gatal dan panas pada tangan, kaki dan seluruh badan. Pada
minggu awal april bercak merah pada daerah kaki berubah menjadi kehitaman dan
terdapat beberapa benjolan berisi cairan yang disertai rasa gatal dan panas,
kemudian 2 minggu setelahnya pasien mengatakan terasa baal dan kadang keram
pada daerah kaki dan kadang terdapat luka berisi cairan hijau yang tidak dirasakan
pasien.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan :
1. Regio thoracalis, abdomen, dorsum, lumbal gluteus, pelvis, brachium dan
femur, Regio Manus Dextra et Sinistra, Regio Antebrachii Dextra et Sinistra
dan Regio Cruris Dextra et Sinistra : Tampak makula dan patch dengan ukuran
beragam <1 cm dan >1 cm dengan jumlah lesi > 5 berwarna merah dan hitam
tersebar simetris, batas tidak tegas, irregular, hiperpigmentasi multiple luas
disertai nodul berbatas tegas.
2. Regio Pedis Dextra et Sinistra : Tampak makula dan patch dengan ukuran
beragam <1 cm dan >1 cm dengan jumlah lesi > 5 berwarna merah dan hitam
yang tersebar simetris batas tidak tegas, irreguler, hiperpigmentasi dan
hipopigmentasi multiple luas disertai pustula dan likenifikasi dengan batas
tegas.
7
Pemeriksan penunjang :
Pemeriksaan Hematologi (BTA Kulit) : Telinga Kanan Positif (+), Telinga Kiri
Positif (+), Lengan Kanan Positif (+), Lengan Kiri Positif (+), Kaki Kanan Positif
(+), Kaki Kiri Positif (+).
Mikrobiologi (Pemeriksaan KOH 10%) : Epitel 1-3/lpk, Hifa Negatif (-), Spora
Negatif (-), Budding Negatif (-).
VIII. PENATALAKSANAAN
Rifampisin 600 mg/bulan
Klofazimin 300 mg/bulan pada hari pertama diteruskan 50 mg/hari
Dapson/DDS 100 mg/hari
IX. EDUKASI
- Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit kusta bukan merupakan penyakit
kutukan dan menganjurkan kepada pasien untuk berobat secara teratur
- Lindungi kaki dengan selalu memakai alas kaki, alas kaki yang cocok adalah
yang empuk di bagian dalamnya, keras di bagian tengah bawah supaya benda
tajam tidak dapat menembus
- Sering memeriksa kaki jika yang luka atau lecet sedikit apapun
- Segera rawat dan istirahatkan kaki (jangan diinjakkan) jika ada luka, memar
atau lecet
- Memakai sarung tangan jika bekerja dengan benda tajam atau panas
- Jika anggota keluarga yang lain mempunyai gejala yang sama segera di bawah
ke rumah sakit
8
X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam sampai dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam sampai dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam sampai dubia ad malam
9
BAB II
PEMBAHASAN
10
KLASIFIKASI DAN MANIFESTASI KLINIS
Menurut WHO, kusta dibagi menjadi 2 bentuk yaitu pausi basiler
(indeterminate dan tuberculoid) dan multi basiler (borderline dan lepromatous).
11
b. Tuberculoid leprosy (TT): lesi kulit minimal. Biasanya hanya berupa satu
plak eritem dengan bagian tepi yang meninggi. Predileksi pada wajah,
ekstremitas, intertriginosa, dan kepala. Lesi kering, skuama, hipohidrotik,
dan tanpa rambut. Pada bentuk ini, lesi pada kulit sudah mengalami anestesi.
c. Bordeline tuberculoid leprosy (BT): lesi sama dengan tipe tuberculoid,
namun lesi lebih kecil dan banyak. Berupa makula anestesi atau plak yang
disertai lesi satelit di pinggirnya. Gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit
dan skuama tidak jelas. Saraf tidak terlalu membesar dan tidak terlalu
menyebabkan alopesia dibandingkan tipe tuberculoid. Bentuk ini biasanya
bertahan/tetap, namun dapat kembali pada tipe tuberkuloid atau progresif
menuju bentuk lepromatosa.
d. Borderline borderline leprosy (BB): tipe yang paling tidak stabil, disebut
juga dimorfik dan jarang dijumpai. Lesi kulit banyak, merah, berupa plak
ireguler. Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk, maupun distribusinya.
Bisa didapatkan lesi punched out yaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian
tengah. Distribusi menyerupai bentuk lepromatosa, namun asimetris. Dapat
terjadi adenopati regional.
e. Borderline lepromatous leprosy (BL): lesi banyak dan terdiri atas makula,
papula, plak dan nodul. Terdapat lesi punched-out annular. Anestesi tidak
terjadi.
f. Lepromatous leprosy (LL): lesi awal berupa makula yang pucat. Makula
kecil, difus dan simetris. Anetesi tidak terjadi pada bentuk ini, saraf tidak
menebal, dan hidrotik. Hilangnya rangsang saraf lambat dan progresif.
12
Permukaan Kering,skuama Kering, skuama Halus agak
berkilat
Anestesia Jelas Jelas Tidak ada sampai
tidak jelas
Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau
tidak jelas
BTA
Pada lesi kulit Negatif Negatif, atau 1+
Biasanya negatif
Tes Lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah
Dapat positif
lemah atau negatif
*Tes Lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat
diketahui setelah 3minggu
Pada pasien ini terdapat kelainan klinis pada lesi kulit yaitu bentuk makula,
papul, nodul dengan distribusi luas dan tidak terdapat kulit sehat, distribusi simetris
dengan permukaan halus berkilat dan didapatkan anetesia pada daerah Dorsum
13
Pedis Dextra et Sinistra. Klasifikasi yang sesuai dengan temuan pada kasus ini
berdasarkan kriteria Ridley dan Jopling yaitu Morbus Hansen tipe Lepromatosa
(LL).
PATOGENESIS
M. leprae berpredileksi di daerah-daerah tubuh yang relatif lebih dingin.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit disebabkan oleh
respon imun yang berbeda yang menyebabkan timbulnya reaksi granuloma
setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena
itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya
lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya.
Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan
pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui
kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.
Pengaruh, M. leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang,
kemampuan hidup M. leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang
lama, serta sifat kuman yang avirulens dan nontoksis.
Masuknya M. leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen
Presenting Cell) dan melalui dua sinyal yaitu sinyal pertama dan sinyal kedua.
Sinyal pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell
receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC
sedangkan sinyal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan
dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28.
Adanya kedua sinyal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi
menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi To
menjadi Th1.
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis
makrofag (fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M. leprae akan berikatan
dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan
difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL
lalu CD8+. Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari
penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat
menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan
growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya
14
makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari
makrofag akan membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid
dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma.
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari
eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan mengaktifasi
sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi
sel mast.
Sinyal I tanpa adanya sinyal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan
tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2.
Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi
dibandingkan dengan Th2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih
tinggi dibandingkan dengan Th1.3
Pada pasien ini dapat dilihat bahwa perjalanan bakteri M. Leprae sangat
panjang dan bergantung pada respon imunitas pasien itu sendiri meskipun intesitas
infeksi rendah dapat terjadi infeksi jika imunitas pasien rendah dan ini yang terjadi
pada Tn. S, dimana perjalanan penyakit pada pasien ini dicurgai sejak 1 tahun dari
awal muncul demam tapi belum muncul lesi pada kulit oleh karena peran dari
imunitas baik pada saat itu
DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan
histopatologis, dan serologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang
terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling
sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan
dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang
hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Kelainan kulit pada penyakit kusta
tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat, saja atau keduanya.
Secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak
membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak terlalu jelas. Hal ini dengan mudah
dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa
raba, dan dapat juga dengan rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan tabung reaksi.
Perhatikan pula ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat dipertegas dengan
menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah
lesi ke arah kulit normal. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi.
15
Dan ditemukan satu atau lebih tanda kardinal pasien dari daerah endemik,lesi kulit
dengan karakter lepra dengan atau tidak rasa baal,disertai dengan saraf perifer,dan
menemukan M.Leprae. 1,4
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran,
konsistensi, dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan
perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikuralis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N.
medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis posterior. Untuk tipe lepramatosa
kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang untuk tipe tuberkuloid
kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.1,4
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam
deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh
granuloma yang terbentuk sebgai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan
merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas,
tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan
saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena
kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf:1,4
1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis,
clawing kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus serta
kedua otot lumbrikalis medial.
2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan
jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah, ibu jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk,
tangan gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan
tangan.
4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis,
kaki gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.
5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik
kaki dan kolaps arkus pedis.
6. N. fasialis: lagoftalmus (cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan
servikal).
7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.
16
Pada pasien ini didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yaitu sesuai dengan
tanda kardinal dari Morbus Hansen terdapat bercak hipigmentasi atau erimatosa,
makula, dan mati rasa pada bercak bersifat lokal di daerah dorsum pedis.
Pemeriksaan Fungsi Saraf
a. Tes sensorik
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa raba
- Rasa tajam
- Suhu
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit
kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis, yaitu :5
1. Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)
2. Tes Pilokarpin
3. Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus,
n.radialis, dan n. peroneus
Hasil dari pemeriksaan fungsi saraf pada pasien ini untuk menegakkan
diagnosis yaitu anestesia pada daerah dorsum pedis berupa mati rasa pada tes
sensorik sedangkan pemeriksaan motoric dalam batas normal.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaaan bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat.
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan Ziehl Neelson. Bakterioskopik negatif pada
seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil M.
leprae. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling
padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil.
Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6
tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling
aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping
telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena
pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.
17
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (I.B) dengan nilai 0 sampai 6+
menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
18
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan
saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe
lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu
suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik.
Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat
campuran unsur – unsur tersebut.1
3. Pemeriksaan serologik
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.
leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu
antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta
35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-
lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.1
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta
yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.Pemeriksaan
serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji
ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay) dan ML dipstick
(Mycobacterium Leprae dipstick).1
DIAGNOSIS BANDING
DD Etiologi Efluoresensi,Gejala Klinis
19
Psoriasis Autoimun,Gen Bercak eritema yang meninggi (plak)
etik dengan skuama di atasnya. Fenomena
tetesan Lilin,Auspitz dan Kobner
Neurofibromatosis Mutasi gen Neurofibroma,Cafe-au-lait spot
NF1
Granuloma Idiopatik Ruam berbentuk benjol kemerahan
Anulare
Xantomatosis Genetik Deposit lemak kekuning kuningan pada
kulit atau tempat lain (dalam sel retikulo-
endotelial) karena hiperlipidemia
Skleroderma Idiopatik Bercak skleropatik atau plak soliter
(tersering) atau bercak-bercak multiple
(terjarang)
Leukemia Kutis Leukimia Infiltrasi sel-sel leukemia yang bersifata
gresif kedalam lapisan epidermis,dermis
maupun subkutis.
Tuberkulosis Kutis M. Skrofuloderma,chancre
Tuberculosis
Verukosa HPV Kutil berbentuk bulat,berwarna abu-
abu,permukaan kasar
Birth mark Overgrowth of Gambaran kelainan kulit yang timbul saat
B.V.,Melanocy atau setelah lahir
tes,smooth
muscle,fat,fibr
oblast, or
keratinocytes
Dermatofitosis Jamur Gatal dan kelainan berbatas
tegas,polomorfi. Eczema marginatum
Pada pasien ini memiliki gambaran klinis serupa dengan Pitiriasis Vesikolor
dan Psoriasis yaitu bercak berskuama halus yang berwarna putih sampai coklat
hitam dan bercak eritema yang meninggi (plak) dengan skuama di atasnya.
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan
insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya
penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yg dilakukan didasarkan
atas deteksi dini dan pengobatan penderita.2
Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy
(MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS, direkomendasikan
oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah: mengatasi resistensi
dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-out rate) dan
ketidaktaatan penderita.
20
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS,
klofazimin dan rifampicin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotik
lain untuk pengobatan alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.1,4
DDS (Dapsone)
Merupakan singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfon. Dapson bersifat
bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja
sebagai anti metabolit PABA. Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati
dengan Dapson biasanya menjadi nol setelah 5 sampai 6 bulan.
Dosis: dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat
badan untuk anak-anak. Efek samping: erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia,
insomnia, neuropatia, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan
methemoglobinemia. Efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim.
Rifampisin
Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan merupakan
obat paling ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambat enzim
polimerase RNA yang berikatan secara irreversibel. Namun obat ini harganya
mahal dan telah dilaporkan adanya resistensi.
Dosis: dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh
kuman kira-kira 99.9% dalam waktu beberapa hari.
Efek samping: hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi
kulit.
Klofazimin
Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Diduga bekerja melalui
gangguan metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek anti
inflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta.
Dosis: 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1
mg/kgBB/hari. Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk
mengurangi reaksi tipe I dan II.5
Efek samping: hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan
gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksia dan vomitus).1,4
Penatalaksanaan kusta menggunakan Multi Drug Therapy (MDT) menurut
WHO tahun 1998 adalah sebagai berikut:5
21
Skema Regimen MDT WHO
Tabel 2.4 Obat dan dosis regimen MDT-PB
OBAT DEWASA
BB<35 kg BB>35 kg
Rifampisin 450 mg/bln (diawasi) 600 mg/bln (diawasi)
Dapson swakelola 50mg/hari(1-2mg/kgBB/hari) 100 mg/hari
Tabel 2.6 Obat dan dosis regimen MDT WHO untuk anak
PB MB
OBAT < 10 tahun 10 th – 14 th < 10 th 10 th -14 th
BB < 50kg BB < 50 kg
Rifampisin 300 mg/bln 450 mg/bln 300 mg/bln 450 mg/bln
Klofazimin - - 100 mg/bln 150 mg/bln
dilanjutkan 50 mg, dilanjutkan 50
25 mg/hr 50 mg/hr 2x/mgg mg/hr
25 mg/hr 50 mg/hr
22
Obat morbus hansen dari WHO
• Lamanya pengobatan morbus hansen tipe PB adalah 6 dosis diselesaikan
dalam 6-9 bulan.
• Pengobatan morbus hansen tipe MB adalah sudah sebesar 24 dosis
diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan.
• Minimum 6 bulan untuk PB dan minimum 24 bulan untuk MB maka
dinyatakan RFT (Release From Treatment).
• WHO Expert Committee:1,5
o MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk
kasus PB dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan.
o Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah Rifampisin 600 mg
ditambah dengan Ofloksasin 400 mg dan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis
tunggal.
• Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula
dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Untuk itu
pengobatannya dengan klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin
100 mg setiap hari selama 6 bulan, diteruskan klofazimin 50 mg ditambah
ofkloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg setiap hari selama 18 bulan.
• Bagi penderita MB yang menolak klofazimin, diberikan rifampisin 600 mg
ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal
setiap bulan selama 24 bulan.
• Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT).
Setelah RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis
dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Bila bakterioskopis
tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari
pengamatan atau disebut Release From Control (RFC).
23
Pada pasien ini diberikan terapi sesuai dengan klasifikasi WHO yaitu tipe
Multibasilar (MB) dengan terapi MDT (Multi Drug Treatment) :
- Rifampisin 600 mg/bln
- Klofazimin 300 mg/bln dan diteruskan 50 mg/hari
- Dapson/DDS 100 mg/hari
PROGNOSIS
- Quo ad vitam adalah ad bonam karena MH tidak mengancam nyawa walaupun
bersifat kronik dan membutuhkan pengobatan jangka panjang.
- Quo ad fungsionam adalah dubia ad bonam karena MH juga tidak
mengakibatkan gangguan fungsi organ-organ tubuh pada pasien ini, walaupun
dapat menyebabkan deformitas pada beberapa kasus yang terlambat
mendapatkan pengobatan.
-
Quo ad sanationam pada pasien ini adalah dubia ad bonam karena pasien
memiliki kesadaran yang baik dan mampu memahami pentingnya pengobatan
jangka panjang terhadap penyakitnya.
24
BAB III
KESIMPULAN
Tn. S usia 44 tahun dengan keluhan bercak merah dan hitam yang muncul
pertama kali pada daerah tangan kemudian menyebar pada daerah kaki hingga
keseluruh tubuh disertai rasa gatal dan panas, pada daerah dorsum pedis terdapat
anestesi. Pada awalnya hanya bercak merah dan hitam tanpa rasa gatal dan panas
kemudian berubah menjadi pustula dan likenifikasi di daerah dorsum pedis. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan makula dan patch dengan ukuran beragam <1 cm dan
>1 cm dengan jumlah lesi > 5 berwarna merah dan hitam tersebar simetris, batas
tidak tegas, irregular, hiperpigmentasi multiple luas disertai nodul berbatas tegas
di Regio thoracalis, abdomen, dorsum, lumbal gluteus, pelvis, brachium dan femur,
Regio Manus Dextra et Sinistra, Regio Antebrachii Dextra et Sinistra dan Regio
Cruris Dextra et Sinistra. Pemeriksaan penunjang yaitu BTA 6 tempat didapatkan
hasil +1 di semua daerah pemeriksaan. Penegakan diagnosis kerja berdasarkan
kriteria Ridley dan Jopling Morbus Hansen tipe Lepromatous Leprosy (LL) dan
diberikan terapi sesuai klasifikasi dari WHO Morbus Hansen tipe Multibasilar
(MB) yaitu Rifampisin 600 mg/bln, Klofazimin 300 mg/bln dan diteruskan 50
mg/hari dan Dapson/DDS 100 mg/hari. Edukasi pada pasien ini merubah
paradigma bahwa kusta bukan merupakan penyakit kutukan dan mengajurkan
untuk berobat secara teratur, melindungi kaki dengan selalu memakai alas kaki,
sering memeriksa kaki jika ada luka atau lecet dan jika ada anggota keluarga yang
memiliki gejala yang sama segera di bawah ke rumah sakit. Prognosis pada pasien
ini yaitu Quo ad vitam bonam sampai dubia ad bonam, Quo ad functionam dubia
ad bonam sampai dubia ad malam dan Quo ad sanationam dubia ad bonam sampai
dubia ad malam.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam:
Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2010.h. 73-88.
4. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Fritzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 6th
Edition. Mc Graw Hill; 2008.h. 665-71.
26