Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Tuberkulosis (TB)

a. Prevalensi dan Insiden TB di Indonesia

TB merupakan penyakit yang menjadi perhatian global.

Berdasarkan World Health Organization (WHO) Global TB Report

2018, diperkirakan insiden TB di Indonesia mencapai 842 ribu kasus

dengan angka mortalitas 107 ribu kasus dan menduduki urutan ketiga

tertinggi di dunia. (Putri, 2018). Menurut Global Tuberculosis Report

WHO (2016), diperkirakan insidens TB di Indonesia pada tahun 2015

sebesar 395 kasus/100.000 penduduk dan angka kematian sebesar

40/100.000 penduduk (penderita HIV dengan TB tidak dihitung) dan

10/100.000 penduduk pada penderita HIV dengan TB (Kemenkes RI,

2017).

Menurut perhitungan model prediction yang berdasarkan data

hasil survei prevalensi TB tahun 2013-2014 estimasi prevalensi TB

tahun 2015 sebesar 643 per 100.000 penduduk dan estimasi prevalensi

TB tahun 2016 sebesar 628 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI,

2017). Kondisi ini tentunya terbilang memprihatinkan karena

berdampak besar terhadap sosial dan ekonomi pasien, keluarga, serta

masyarakat.

8
9

TB paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium Tuberculosis yang menyerang paru-paru dan bronkus.

TB paru tergolong penyakit air borne infection, yang dapat masuk ke

dalam tubuh manusia melalui udara pernapasan ke dalam paru-paru.

Kemudian kuman menyebar dari paru-paru ke bagian tubuh lainnya

melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfa, melalui bronkus

atau penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya (Widyanto dan

Tribowo, 2015).

Penyakit TB paru yang diderita oleh individu dalam

kehidupannya akan membawa dampak negatif, baik secara fisik, mental

dan kehidupan sosialnya. Penderita TB sekitar 75% adalah kelompok

usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan

seorang penderita TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya

3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan

tahunan rumah tangga sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB,

maka akan kehilangan pendapatan sekitar 15 tahun. Selain merugikan

secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara

sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Adanya penolakan

dan rasa malu sering mencegah orang yang mencari pengobatan dan

menyelesaikan pengobatan (Marwansyah, 2015).

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya TB

Banyak faktor risiko yang mampu memicu timbulnya kejadian

TB, beberapa diantaranya adalah lingkungan. Faktor lingkungan

merupakan salah satu yang mempengaruhi pencahayahaan rumah,


10

kelembapan, suhu, kondisi atap, dinding, lantai rumah serta kepadatan

hunian. Selain itu faktor selain lingkungan berupa, jenis kelamin,umur,

pendapatan, pengetahuan serta sikap terhadap pencegahan TB juga

mempengaruhi terjadinya penyakit (Budi, 2018).

Menurut Khaerunnisa (2017) faktor-faktor yang mempengaruhi

kejadian tubekulosis antara lain:

1) Umur

Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit TB paru.

Kelompok umur yang >45 tahun memiliki prevalensi mengidap TB

lebih tinggi dibanding kelompok umur lainnya. Lingkungan kerja

yang padat serta berhubungan dengan banyak orang dapat

meningkatkan risiko terjadinya TB paru. Kondisi kerja yang

demikian ini memudahkan seseorang yang berusia produktif lebih

mudah dan lebih banyak menderita TB paru. Hal tersebut

disebabkan meningkatnya peluang bagi usia produktif untuk

terpapar dengan M.tuberculosis (Khaerunnisa, 2017).

2) Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan suatu variabel untuk membedakan

presentasi penyakit antara laki-laki dan perempuan. WHO

melaporkan bahwa di sebagian besar dunia, lebih banyak laki-laki

daripada perempuan didiagnosis TB. Jenis kelamin laki-laki lebih

beresiko terkena TB paru basil tahan asam. Tingginya kasus TB

Paru terhadap laki-laki antara lain disebabkan oleh kebiasaan

merokok yang banyak dilakukan oleh laki-laki, rokok yang dihisap


11

oleh seseorang mengandung racun yang dapat merusak kesehatan

sehingga mudah terinfeksi berbagai penyakit diantaranya bakteri

TB (Khaerunnisa, 2017).

Penderita TB paru sebagian besar pada kelompok usia 15-

54 tahun, karena kelompok usia ini mempunyai mobilitas yang

sangat tinggi sehingga kemungkinan terpapar dengan kuman

Mikobakterium TB paru lebih besar selain itu reaktifan endogen

(aktif kembali yang telah ada dalam tubuh) dapat terjadi pada usia

yang sudah tua (Dotulong, 2014).

3) Status gizi

Secara umum kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap

kekuatan, daya tahan dan respon imun tubuh terhadap serangan

penyakit. Status gizi yang kurang ada hubungan bermakna dengan

kejadian TB paru dimana masyarakat yang memiliki status gizi

yang kurang akan lebih mudah terjangkit TB paru dibanding

masyarakat yang memiliki status gizi yang baik (Khaerunnisa,

2017).

Status gizi merupakan faktor resiko kejadian TB paru atau

ada hubungan antara status gizi dengan kejadian TB paru. Keadaan

status gizi dan penyakit infeksi merupakan pasangan yang terkait.

Infeksi dapat menyebabkan kekurangan gizi ataupun sebaliknya

kurang gizi juga dapat menghambat dan memperburuk dalam

mengatasi penyakit infeksi karena kekurangan gizi dapat

menghambat reaksi pembentukan kekebalan tubuh (Yuniar, 2017).


12

4) Pendidikan

Semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, maka ilmu

pengetahuan dibidang kesehatan akan semakin kurang. Prevelensi

masyarakat yang terkena penyakit TB Paru semakin rendah sejalan

dengan tingginya tingkat pendidikan. Pendidikan dapat

meningkatkan kematangan intelektual seseorang. Kemampuan

intelektual ini berpengaruh pada wawasan, cara berfikir, baik dalam

cara pengambilan keputusan maupun dalam pembuatan kebijakan.

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pengetahuan

seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat

kesehatan dan pengetahuan tentang penyakit TB Paru

(Khaerunnisa, 2017).

5) Pekerjaan

Hubungan antara penyakit TB paru erat kaitannya dengan

pekerjaan. Secara umum peningkatan angka kematian yang

dipengaruhi rendahnya tingkat sosial ekonomi yang berhubungan

dengan pekerjaan merupakan penyebab tertentu yang didasarkan

pada tingkat pekerjaan. Hasil penelitian mengemukakan bahwa

sebagian besar penderita TB paru adalah tidak bekerja. Penyakit

TB lebih banyak terjadi pada penduduk yang tidak bekerja

(pengangguran) (Khaerunnisa, 2017).

Hasil penelitian yang telah dilakukan Oktavia (2016) bahwa

pekerjaan responden ratarata berasal dari sektor non formal 63,7%

(buruh serabutan, buruh harian lepas, dan pengrajin anyaman dan


13

tenun) yang memiliki pendapatan yang tidak tetap per bulannya

sehingga sangat berpengaruh pada makanan/gizi secara langsung

serta kesehatan lingkungan perumahan yang tidak memenuhi syarat

kesehatan yang berdampak pada kesehatan mereka sendiri. Kepala

keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah UMR akan

mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai

dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga

mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk

terkena penyakit infeksi diantaranya TB paru. Dalam hal jenis

konstruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang

maka konstruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat

kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya penularan

penyakit TB paru.

6) Merokok

Merokok meningkatkan risiko terjadinya TB paru sebab

menganggu pembersihan sekresi mukosa, menurunkan kemampuan

fagosit makrofag alveolar dan menurunkan respon imun dan atau

limpofenia CD4+ akibat kandungan nikotin dalam rokok. Perokok

yang berisiko adalah perokok yang mengosumsi rokok lebih dari

20 tahun dan jumlah yang dikonsumsi lebih dari 10 batang perhari

(Khaerunnisa, 2017).

7) Hunian yang padat

Luas bangunan rumah mempunyai luas lantai yang cukup

bagi penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut


14

harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan

yang tidak seimbang dengan jumlah penghuninya akan

menyebabkan perjubelan (Overcrowded) hal ini tidak sehat, sebab

disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila

salah satu keluarga terkena penyakit infeksi maka akan mudah

menular kepada anggota keluarga yang lain (Kherunnisa, 2017).

Kepadatan hunian ditentukan berdasarkan jumlah luas lantai

ruangan per jumlah luas lantai ruangan per jumlah penghuni rumah,

merupakan faktor yang penting terhadap penularan penyakit infeksi

termasuk TB paru. Untuk rumah sederhana kepadatan hunian yang

memenuhi syarat adalah minimal 10 m²/orang. Luas bangunan

yang tidak sebanding dengan jumlah penghuni akan menyebabkan

over crowded. Dalam hubungan dengan penularan TB Paru, maka

kepadatan hunian dapat menyebabkan infeksi silang (cross

infection) diantara penghuni rumah. Mycobacterium tuberculosis

menyebar melalui udara (droplet nuclet) saat seseorang penderita

TB BTA+ batuk, bicara atau bersin dan percikan ludah (droplet)

yang mengandung bakteri terhirup oleh orang lain saat bernafas

(Khaerunnisa, 2017).

Kepadatan penghuni rumah juga dapat mempengaruhi

kesehatan, karena jika suatu rumah yang penghuninya padat dapat

memungkinkan terjadinya penularan penyakit dari satu manusia

kemanusia lainnya. Kepadatan penghuni didalam ruangan yang

berlebihan akan berpengaruh, hal ini dapat berpengaruh terhadap


15

perkembangan bibit penyakit dalam ruangan. Kepadatan penguhuni

dalam rumah merupakan salah satu faktor yang dapat

meningkatkan insiden penyakit TB Paru dan penyakit-penyakit

lainnya yang dapat menular (Dotulong, 2014).

8) Pencahayaan hunian

Kondisi pencahayaan merupakan faktor risiko yang cukup

signifikan, dengan pencahayaan yang kurang maka perkembangan

kuman TB Paru akan meningkat karena cahaya matahari

merupakan salah satu faktor yang dapat membunuh kuman TB

Paru, sehingga jika pencahayaan bagus maka penularan dan

perkembangbiakan kuman bisa dicegah (Khaerunnisa, 2017).

Kondisi Pencahayaan yang tidak memenuhi syarat ini

diantaranya disebabkan karena orientasi letak rumah yang tidak

disesuaikan dengan arah angin dan jalannya sinar matahari

sehingga cahaya matahari tidak dapat masuk secara optimal,

kurangnya ventilasi seperti jendela, pintu dan lubang angin sebagai

jalan masuknya sinar matahari ke dalam rumah karena jarak rumah

yang rapat sehingga berakibat ventilasi hanya terdapat di bagian

depan rumah, penempatan perabotan di dalam rumah yang

menghalangi masuknya cahaya matahari, ventilasi yang tertutup

kain karena responden lebih mengutamakan interior rumah,

perilaku membuka jendela di pagi hari dan kurangnya inisiatif

untuk memasang genteng kaca, fiber transparan atau glass box

sebagai solusi karena keterbatasan yang ada (Khaerunnisa, 2017).


16

2. Dukungan Keluarga

a. Pengertian dukungan keluarga

Dukungan keluarga adalah suatu keadaan yang bermanfaat bagi

individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya sehingga

seseorang akan tahu bahwa orang lain memperhatikan, menghargai dan

mencintainya. Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan

penerimaan keluarga terhadap anggotanya. Anggota keluarga

memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap

memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Setiadi, 2014).

Dukungan keluarga adalah suatu proses hubungan antara

keluarga dan lingkungan sosialnya. Dukungan keluarga adalah proses

yang terjadi seumur hidup, dimana sumber dan jenis dukungan keluarga

berpengaruh terhadap tahap lingkaran kehidupan keluarga. Dukungan

dari keluarga merupakan unsur yang terpenting dalam membantu

individu dalam menyelesaikan masalah. Apabila ada dukungan, rasa

percaya diri akan bertambah dan motivasi untuk menghadapi masalah

yang terjadi akan meningkat (Hanum, 2018).

b. Dimensi dukungan keluarga

Menurut House dalam Setiadi (2014) setiap bentuk dukungan

keluarga mempunyai ciri-ciri antara lain:

1) Informatif, yaitu bantuan informasi yang disediakan agar dapat

digunakan oleh seseorang dalam menanggulangi persoalan-persoalan

yang dihadapi, meliputi pemberian nasehat, pengarahan, ide-ide atau

informasi lainnya yang dibutuhkan dan informasi ini dapat


17

disampaikan kepada orang lain yang mungkin menghadapi persoalan

yang sama atau hampir sama.

2) Perhatian emosional, setiap orang pasti membutuhkan bantuan afeksi

dari orang lain, dukungan ini berupa dukungan simpatik dan empati,

cinta, kepercayaan dan persoalan merasa dirinya tidak menanggung

beban sendiri tetapi masih ada orang lain yang memperhatikan, mau

mendengar segala keluhannya, bersimpati dan empati terhadap

persolanan yang dihadapinya, bahkan mau membantu memecakan

masalah yang dihadapinya.

3) Bantuan instrumental, bantuan bentuk ini bertujuan untuk

mempermudah seseorang dalam melakukan aktifitasnya berkaitan

dengan persoalan-persoalan yang dihadapinya atau menolong secara

langsung kesulitan yang dihadapinya, misalnya dengan menyediakan

peralatan lengkap dan memadai bagi penderita, menyediakan obat-

obatan yang dibutuhkan dan lain-lain.

4) Bantuan penilaian, yaitu suatu bentuk penghargaan yang diberikan

seseorang kepada pihak lain berdasarkan kondisi sebenarnya dari

penderita. Penilaian ini bisa positif dan negatif yang mana

pengaruhnya sangat berarti bagi seseorang. Berkaitan dengan

dukungan sosial keluarga maka penilaian yang sangat membantu

adalah penilaian yang positif.

Menurut Friedman dalam Hanum (2018) ada 4 jenis dukungan

sosial keluarga, yaitu sebagai berikut:


18

1) Dukungan informasional

Keluarga berfungsi sebagai kolektor dan diseminator

informasi munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan

dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu.

Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, saran, petunjuk

dan pemberian informasi.

2) Dukungan emosional

Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat

dan belajar serta membantu penguasaan terhadap emosi, diantaranya

menjaga hubungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan

dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian dan

mendengarkan atau didengarkan saat mengeluarkan perasaannya.

3) Dukungan instrumental

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan

konkrit, diantaranya keteraturan menjalani terapi, kesehatan

penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, dan

terhindarnya penderita dari kelelahan. Dukungan ini juga mencakup

bantuan langsung, seperti dalam bentuk uang, peralatan, waktu,

modifikasi lingkungan maupun menolong pekerjaan pada saat

penderita mengalami stres.

4) Dukungan penghargaan

Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik,

membimbing dan menengahi pemecahan masalah. Terjadi lewat

ungkapan rasa hormat (penghargaan) serta sebagai sumber dan


19

validator identitas anggota keluarga, diantaranya adalah memberikan

penghargaan dan perhatian saat pasien menjalani rehabilitasi.

3. Pengobatan TB

a. Panduan pengobatan TB

Tujuan pengobatan pada penderita TB paru selain mengobati,

juga untuk mencegah kematian, kekambuhan, resistensi tehadap OAT,

serta memutuskan mata rantai penularan. Pengobatan TB terbagi

menjadi dua fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7

bulan). Panduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat

tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan

rekomendasi WHO adalah ifampisin, Isoniazid, Piazzinamid,

Steptomisisn dan Etambutol (Muttaqin, 2012).

Menurut Muttaqin (2012) untuk keperluan pengobatan perlu

dibuat batasan kasus terlebih dahulu berdasarkan lokasi TB, berat

ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologi, apusan sputum

dan riwayat pengobatan sebelumnya. Disamping itu, perlu

pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai

Directly Observed Treatment Short Couse (DOTSC). DOTSC yang

direkomendasikan oleh WHO terdiri dari lima komponen yaitu:

1) Adanya komitmen politis berupa dukungan para pengambil

keputusan dalam penanggulan TB.

2) Diagnosis TB melalui pemeriksaan sputum secara mikroskopik

langsung, sedangkan pemeriksaan penunjang lainnya seperti


20

pemeriksaan radiologis dan kultur dapat dilaksanakan di unit

pelayanan yang memiliki sarana tersebut.

3) Pengobatan TB dengan panduan OAT jangka penderk di bawah

pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO),

khusus dalam dua bulan pertama di mana penderita harus minum

obat setiap hari.

4) Kesinambungan ketersediaan panduan OAT jangka pendek yang

cukup.

5) Pencatatan dan pelaporan yang baku.

WHO menganjurkan panduan obat sesuai dengan kategori

penyakit. Kategori didasarkan pada urutan kebutuhan pengobatan

dalam program. Untuk itu, penderita dibagi dalam empat kategori

sebagai berikut:

1) Kategori I

Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan

penderita dengan keadaan yang berat seperti meningitis, TB milier,

perikarditis, peritonitis, pleuritis masif dan bilateral, spondiolitis

dengan gangguan neurologis dan penderita dengan sputum negatif

tetapi kelainan parunya luas. TB usus, TB seluran perkemihan dan

sebagainya.

Dimulai dengan fase 2 HRZS (E) obat diberikan setiap hari

selama dua bulan. Bila selama dua bulan sputum menjadi negatif,

maka dimulai fase lanjutan. Bila setelah dua bulan sputum masih

tetap positif, maka fase intensif diperpanjang 2-4 minggu lagi


21

(dalam program P2TB Depkes diberikan 1 bulan dan dikenal

sebagai obat sisipan), kemudian diteruskan dengan fase lanjutan

tanpa melihat apakah sputum sudah negatif atau belum. Fase

lanjutannya adalah 4 HR atau 4 H3R3. Pada penderita meningitis,

TB milier, spondiolitis dengan kelainan neurologis, fase lanjutan

diberikan lebih lama yaitu 6-7 bulan hingga total pengobatan 8-9

bulan. Sebagai panduan alternatif pada fase lanjutan ialah 6 HE.

2) Kategori II

Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum

tetap positif. Fase intensif dalam bentuk 2 HRZES-1 HRZE. Bila

setelah fase intensif sputum menjadi negatif, baru diteruskan ke

fase lanjutan. Bila setelah tiga bulan sputum masih tetap positif,

maka fase intensif diperpanjang 1 bulan lagi dengan HRZE (juga

dikenal sebagai obat sisipan). Bila setelah empat bulan sputum

masih tetap positif, maka pengobatan dihentikan 2-3 hari.

Kemudian periksa bikan dan uji resistensi lalu pengobatan

diteruskan dengan fase lanjutan.

Bila penderita mempunyai data resisten sebelumnya dan

ternyata bakteri masih sensitif terhadap semua obat dan setelah fase

intensif sputum menjadi negatif maka fase lanjutan dapat diubah

seperti kategori I dengan pengawasan ketat. Tetapi jika data

menunjukkan resistensi terhadap H dan R, maka kemungkinan

keberhasilan pengobatan kecil. Fase lanjutan adalah 5-H3R3E3 bila


22

dapat dilakukan pengawasan atau 5 HRE bila tidak dapat dilakukan

pengawasan.

3) Kategori III

Kategori III adalah kasus dengan sputum negatif tetapi

kelainan parunya tidak luas dan kasus TB di luar paru paru selain

yang disebut dalam kategoi I. Pengobatan yang diberikan 2 HRZ/6

HE, 2 HRZ/4 HR, 2 HRZ/4 H3R3.

4) Kategori IV

Kategori IV adalah TB kronis. Prioritas pengobatan rendah

karena kemungkinan keberhasilan pengobatan kecil sekali. Untuk

negara kurang mampu dari segi kesehatan masyarakat, dapat

diberikan H saja seumur hidup. Untuk negara maju atau

pengobatan secara individu (penderita mampu), dapat dicoba

pemberian obat berdasarkan uji resisten atau obat lapis kedua

seperti Quinolon, Ethiomide, Sikloserin, Amikasin, Kanamisin dan

sebagainya.

Tabel 2.1 Panduan Pemberian Obat Anti-TB (OAT)


Rekomendasi Dosis
Obat anti- (mg/kgBB)
Aksi Potensi
TB esensial Per Perminggu
Hari 3X 2X
Isoniazid
Bakterisidal Tinggi 5 10 15
(INH)
Rifampisin
(R) Bakterisidal Tinggi 10 10 10

Pirazinamid
Bakterisidal Rendah 25 45 50
(Z)
Streptomisi
Bakterisidal Rendah 15 15 15
n (S)
Etambutol
Bakteriostatik Rendah 15 30 45
(E)
23

Menurut Kemenkes RI (2011) pengobatan TB bertujuan

untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah

kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya

resistensi kuman terhadap Obat Anti TB (OAT). Pengobatan TB

dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis

obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori

pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).

Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih

menguntungkan dan sangat dianjurkan.

2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment)

oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan

lanjutan.

Tahap awal (intensif)

a) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari

dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya

resistensi obat.

b) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara

tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun

waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif

menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.


24

Tahap Lanjutan

a) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,

namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

b) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister

sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

b. Peran perawat dalam pemberian obat

Secara umum, perawat memiliki peran sebagai advokat

(pembela) klien, koordinator, kolaborator, konsultan, pembaharu dan

perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan. Dalam manajemen

terapi, perawat memiliki peran yang penting. Peran sebagai

kolaborator dan pemberi asuhan keperawatan, mewajibkan seorang

perawat memastikan bahwa kebutuhan pasien akan terapi dapat

terpenuhi dengan tepat (Kemenkes RI, 2016).

Menurut Perwitasari (2012) peran perawat dalam pemberian

obat antara lain:

1) Peran dalam mendukung keefektifan obat

Perawat harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang

daya kerja dan efek terapeutik obat, perawat harus mampu

melakukan observasi untuk mengevaluasi efek obat dan harus

melakukan upaya untuk meningkatkan keefektifitasan obat.

Berbagai pendekatan yang dapat dipakai dalam mengevaluasi

keefektifatasan obat yang diberikan pada pasien. Namun laporan

langsung yang disampaikan oleh pasien dapat digunakan pada

berbagai keadaan, sehingga perawat penting untuk bertanya


25

langsung kepada pasien tentang keefektifitasan obat yang diberikan

(Perwitasari, 2012).

2) Peran perawat dalam mengobservasi efek samping dan elergi obat

Perawat mempunyai peran yang penting dalam

mengobservasi pasien terhadap kemungkinan terjadinya efek

samping obat. Perawat harus memberitahu pasien yang memakai

atau minum obat mengenai tanda-tanda atau gejala efek samping

obat yang harus dilaporkan pada dokter atau perawat. Perawat perlu

tanggap terhadap kemungkinan terjadinya sensitifitas solang (cross

sensitivity) terhadap berbagai obat atau makanan yang berbeda

(Perwitasari, 2012).

3) Peran perawat dalam menyimpan, menyiapkan dan administrasi

obat

Cara menyimpan, menyiapkan dan administrasi obat sangat

bervariasi antara satu rumah sakit dengan rumah sakit yang lain.

Perawat harus tahu tata cara menyimpan obat yang benar karena

penyimpanan yang salah dapat merusak struktur kimia maupun

efek obat. Saat mempersiapkan obat, perawat harus memeriksa

tanda kadaluwarsa obat, cara penggunaan dan pemberiannya.

Perawat juga harus menguasai dasar-dasar perhitungan obat

misalnya dalam menyiapkan pemberian dosis insulin, injeksi,

pembuatan larutan dan lain-lain (Perwitasari, 2012).


26

4) Peran perawat dalam melakukan pendidikan kesehatan tentang obat

Perawat mempunyai tanggung jawab dalam melakukan

pendidikan kesehatan pada pasien, keluarga dan masyarakat. Hal

ini termasuk pendidikan yang berkaitan dengan obat. Perawat dapat

memberikan penyuluhan tentang manfaat obat secara obat,

sedangkan informasi yang lebih terperinci bukan merupakan

tanggung jawab perawat tetapi tanggung jawab dokter (Perwitasari,

2012).

4. Perilaku Pengobatan

a. Pengertian perilaku

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk

hidup) yang bersangkutan. Dari sudut pandang biologis, semua makhluk

hidup mulai dari tumbuhan, hewan dan manusia berperilaku, karena

punya aktifitas masing-masing. Perilaku (manusia) adalah semua

tindakan atau aktifitas manusia, baik yang dapat diamati langsung

maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Maulana, 2014).

Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau

suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik,

durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku merupakan

kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Perilaku dari

pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktifitas

organism yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakektanya

adalah suatu aktifitas dari manusia itu sendiri (Wawan & Dewi, 2011).
27

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku

Menurut Mubarak (2011) perilaku ditentukan atau terbentuk dari

tiga faktor antara lain:

1) Faktor predisposisi (predisposing factors) terwujud dalam

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, persepsi,

motivasi dan sebagainya.

Terbentuknya suatu perilaku baru dimulai pada domain

pengetahuan kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu

terhadap stimulus yang berupa materi atau objek diluarnya. Sehingga

menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut, dan

selanjutnya menimbulkan respons batin dalam bentuk perilaku si

subjek terhadap objek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan

yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut

akan menimbulkan respons lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan

(action) terhadap atau sehubungan dengan stimulus atau objek tadi.

Namun demikian, didalam kenyataan stimulus yang diterima oleh

subjek dapat langsung menimbulkan tindakan. Artinya seorang dapat

bertindak atau berperilaku baru dengan mengetahui terlebih dahulu

terhadap makna stimulus yang diterimanya (Kustantya, 2015).

Sikap merupakan suatu evaluasi yang positif dan negatif,

serta melibatkan emosional seseorang dalam menanggapi objek

sosial, artinya bila hasilnya positif maka seseorang akan cenderung

mendekati objek, dan sebaliknya bila sikapnya negatif cenderung


28

menjauhi objek. Semakin baik pengetahuan dam sikap, maka akan

cenderung semakin baik perilakunya (Rahayu, 2014).

2) Faktor-faktor pendukung (enabling factors) terwujud dalam

lingkungan fisik (tersedia atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana

kesehatan), misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kesehatan

dan lain-lain.

Sarana berkaitan dengan penampilan fisik fasilitas kesehatan.

Kenyamanan, kebersihan, kerapihan, kelengkapan alat periksa dan

ragam obat yang diberikan merupakan factor penting untuk menarik

pasien yang dapat menjamin kelangsungan berobat. Sarana

merupakan unsure lain yang dianggap mempengaruhi pemanfaatan

pelayanan kesehatan karena dapat mempengaruhi lama waktu tunggu

dalam menerima pelayanan kesehatan yang diinginkan. Dengan

adanya sarana waktu tunggu akan merasa lebih menyenangkan.

Sarana merupakan sarana terhadap alat-alat medis yang digunakan

oleh puskesmas dalam memberikan pelayanan keehatan untuk

mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dan ragam obat yang

diberikan merupakan factor penting untuk menarik pasien yang

dapat menjamin kelangsungan berobat (Wulandari, 2016).

3) Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) terwujud dalam sikap

dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan

kelompok referensi dari perilaku masyarakat misalnya keluarga.

Dukungan dari tenaga kesehatan profesional merupakan faktor

lain yang dapat mempengaruhi perilaku. Pelayanan yang baik dari


29

petugas dapat menyebabkan berperilaku positif. Perilaku petugas

yang ramah dan segera mengobati pasien tanpa menunggu lama-

lama, serta penderita diberi penjelasan tentang obat yang diberikan

dan pentingnya makan obat yang teratur (Khotimah, 2014).

Keluarga merupakan lembaga sosial yang mempunyai fungsi

tradisional keluarga seperti fungsi sosial ekonomi, karena sebagian

hasil kerja yang dilakukan di dalam rumah atau di luar rumah

dikelola dalam keluarga, yang ditunjukkan dengan adanya

pembentukan kerabat, keturunan, dan hubungan sosial. Orang yang

mendapat perhatian dan penghiburan maupun pertolongan dari

keluarga cenderung lebih mudah mengikuti nasehat medis, karena

peranan keluarga sangat besar bagi penderita dalam mendukung

perilaku atau tindakan dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan

(Khotimah, 2014).

B. Kerangka Teori

Adapun kerangka teori dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar

2.1 berikut.

Predisposing Factor (faktor yang


memudahkan)
- Pengetahuan
- Sikap
- Kepercayan
- Keyakinan
- Nilai-nilai
- Persepsi
- Motivasi

Perilaku
Enabling Factor (faktor yang memungkinkan) Minum Obat
- Ketersediaan sarana dan prasarana Klien TB
kesehatana
- Umur
- Pendidikan
- Pekerjaan
- Gizi
30

Reinforcing Factor (faktor pendorong)


- Petugas kesehatan
- Keluarga

Gambar 2.1 Kerangka Teori

C. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.2 berikut:

Variabel bebas Variabel Terikat

Dukungan Perilaku
Keluarga Minum
Obat Klien
TB

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

D. Hipotesis

Ada hubungan dukungan keluarga dengan perilaku minum obat pada klien TB

di Puskesmas Sungai Bilu Banjarmasin


31

Anda mungkin juga menyukai