Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang

serius menyebabkan meningkatnya angka kesakitan dan kematian serta

menjadi perhatian dunia. Menurut World Health Organization (WHO) jumlah

penderita TB di dunia tahun 2017 diperkirakan sebanyak 10 juta orang

(kisaran, 9,0-11,1 juta), dari jumlah tersebut terdapat 5,8 juta laki-laki, 3,2

juta wanita dan 1,0 juta anak (WHO, 2018). Jumlah kasus baru TB paru di

Indonesia tahun 2017 sebanyak 360.770 kasus, sedangkan di Provinsi

Kalimantan Selatan sebanyak 2.801 kasus (Kemenkes RI, 2018).

Strategi yang efektif pada pengendalian TB yang dapat di

implementasikan yaitu strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short

Course) yang berhasil membantu pencapaian target keberhasilan pengobatan

TB sebesar 90% (Kemenkes RI, 2013). Penerapan strategi DOTS melibatkan

berbagai elemen seperti organisasi pemerintahan, institusi pendidikan,

organisasi profesi, yayasan, organisasi keagamaan dan Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) internasional dalam memberikan pelayanan bagi keluarga

dan masyarakat sekitarnya (Kemenkes RI, 2011).

Pelaksanaan program DOTS telah terbukti keberhasilanya, namun

implementasi program pengobatan masih menimbulkan permasalahan yang

disebabkan oleh: riwayat pengobatan klien, kegagalan pengobatan, putus

obat, pengobatan yang tidak benar menyebabkan terjadinya Multi Drugs

1
2

Resistance Tuberculosis (TB-MDR) (Diel et al., 2012). Berdasarkan data

Riskesdas Litbang Depkes tahun (2010) menyebutkan bahwa ketidakpatuhan

penderita TB meminum obat (19,3%) dan penderita tidak mengkonsumsi

OAT (2,6%). Selanjutnya berdasarkan studi penelitian Suwarsa (2001)

menunjukkan bahwa di Garut didapatkan angka konversi (52,3%), dan untuk

target minimal program (80%), sehingga setiap Unit Pelayanan Kesehatan

(UPK) dapat menjalankan program DOTS.

Keberhasilan pengobatan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.

Berdasarkan hasil penelitian Gebremariam (2010) faktor internal yang

mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB, yaitu: 1) faktor sarana yang

meliputi tersedianya cakupan pengobatan yang berkesinambungan, edukasi

petugas kesehatan, dan pemberian OAT yang adekuat, 2) faktor penderita

yang meliputi pengetahuan, kesadaran, keyakinan untuk sembuh, dan

kebersihan diri, 3) faktor keluarga, masyarakat dan lingkungan. Sedangkan

faktor eksternal keberhasilan program pengendalian TB meliputi Puskesmas,

Rumah Sakit Pemerintah, (BP4), Klinik Pengobatan, Dokter Praktek Swasta

(DPS) dan layanan pengobatan dengan menggunakan strategi pengobatan TB

(Kemenkes RI, 2013).

Pencegahan dan penanggulangan TB dipengaruhi oleh masyarakat,

lingkungan dan klien itu sendiri. Pengobatan klien TB menjadi proses yang

panjang, dimana membutuhkan strategi pengelolaan terhadap penyakit

(Mitnick et al., 2008). Program pengendalian TB juga melibatkan seperti

keluarga dan petugas kesehatan dengan penderita. Pencapaian keberhasilan

pengobatan melalui keterlibatan klien untuk melakukan manajemen diri


3

dalam pengobatan dan perawatan dari penyakit yang dapat dipengaruhi oleh

perilaku individu, kepatuhan penggunaan obat, perhatian terhadap perubahan

keparahan penyakit (Bagiada & Primasari, 2010; Muture et al., 2011;

Chiappini et al., 2011).

Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus

rangsangan dari luar. Perubahan perilaku akan muncul jika terjadi perubahan

status kesehatan dari area sehat menuju area sakit dengan tujuan untuk

mendapatkan status kesehatannya kembali (Nurhidayah 2010). Perilaku orang

yang sakit atau lelah terkena masalah kesehatan, untuk memperoleh

penyembuhan atau pemecahan masalah kesehatannya disebut perilaku

pencarian pelayanan kesehatan (Angga, 2016).

Pemanfaatan pelayanan kesehatan meliputi tiga faktor penentu perilaku

kesehatan yaitu predisposing, enabling dan need factors. Ketiga faktor ini

menggambarkan keputusan individu untuk menggunakan pelayanan

kesehatan, faktor pertama yaitu: predisposing factors menggambarkan ciri

individu yang melekat pada dirinya dan memberi variasi terhadap

penggunaan pelayanan kesehatan. Predisposing factors meliputi faktor

demografi (usia, jenis kelamin, status perkawinan), faktor sosial (pendidikan,

pekerjaan, suku) dan faktor keyakinan terhadap kesehatan (pengetahuan dan

keyakinan) (Andersen, 1995; Nainggolan, 2013). Faktor ke dua yaitu

enabling factors menunjukkan kemampuan individu untuk mendapatkan

pelayanan dan merupakan suatu kondisi yang membuat individu mampu

melakukan tindakan guna memenuhi kebutuhannya terhadap pelayanan

kesehatan. Enabling factors terdiri dari sumber daya keluarga (penghasilan


4

keluarga, asuransi kesehatan, dukungan keluarga) dan sumber daya

masyarakat (availability dan accessability terhadap layanan TB). Faktor ke

tiga yaitu need factors merupakan dasar dan stimulus langsung untuk

menggunakan pelayanan. Kebutuhan merujuk pada kebutuhan yang dirasakan

(perceived need) dan evaluasi klinik oleh penyedia layanan kesehatan

(Andersen, 1995; Scoot & Walter, 2010).

Berbagai penelitian menyebutkan bahwa karakteristik sosiodemografi

yang berpengaruh terhadap keterlambatan klien dipengaruhi oleh usia dan

jenis kelamin (Ayotte, Margrett, & Patrick, 2010; Kagee, 2014). Selanjutnya

berdasarkan penelitian Diez et. al (2004) menyatakan bahwa faktor umur,

perempuan baik yang menikah atau janda berpengaruh terhadap

keterlambatan dalam mencari pelayanan kesehatan. Klien TB yang bertempat

tinggal di daerah pedesaan lebih berpengaruh terhadap keterlambatan klien

dibandingkan daerah perkotaan (Fatiregun & Ejeckman, 2010;

Mahendradhata, Syahrizal, & Utarini, 2008). Faktor yang berpengaruh adalah

pekerjaan dan penghasilan rendah berpengaruh terhadap keterlambatan klien

yang merupakan salah satu faktor dominan yang berpengaruh terhadap

perilaku pencarian pengobatan klien TB (Chang & Esterman, 2007; Qureshi,

Morkve, & Mustafa, 2008; Chirstin et al; 2010). Dengan demikian faktor

sosiodemografi pada umumnya berpengaruh terhadap keterlambatan klien

yang berfokus pada jenis kelamin, tipe keluarga, tingkat pendidikan dan

pekerjaan.

Keterlibatan keluarga dalam pengobatan sangatlah penting, selain untuk

mengontrol pengobatan juga menstabilkan rencana program pengobatan.


5

Dukungan keluarga merupakan merupakan bagian dari penderita yang paling

dekat dan tidak dapat dipisahkan. Penderita akan merasa senang dan tenang

apabila mendapat perhatian dan dukungan dari keluarganya, karena dengan

dukungan keluarga tersebut akan meningkatkan kepercayaan dirinya untuk

menghadapi atau mengelola penyakitnya dengan baik. Bentuk dukungan

keluarga antara lain dukungan finansial dan ketersediaan anggota keluarga

untuk menemani klien pergi ke fasilitas pelayanan kesehatan (Burnette et al.,

2009: Nadinloyi et al., 2013).

Pemanfaatan pelayanan pada pengobatan berkaitan dengan biaya dan

tersedianya pelayanan kesehatan. Faktor yang mempengaruhi dalam

pelayanan kesetahatan adalah availability yang menunjukkan pada kondisi

yang memudahkan bagi klien TB mendapatkan pelayanan kesehatan seperti

diagnosis yang tepat dan pengobatan anti TB (Anderson, 1995; Person,

Rosof, & Mustanski, 2008). Faktor availibility merupakan faktor informasi

yang didapatkan masyarakat tentang TB untuk mengetahui keberhasilan

penyuluhan yang telah dilakukan. Sedangkan faktor accessability adalah

kemudahan akses digambarkan sebagai kemampuan untuk memanfaatkan

fasilitas kesehatan. Beberapa rintangan untuk mengakses pelayanan kesehatan

meliputi fisik (jarak, waktu perjalanan, jenis transportasi), ekonomi (biaya

perjalanan, biaya pengobatan), sosial kultural (nilai atau keyakinan atau

sikap) (WHO, 2008; Dempesey, Wilson, Taylor, & Wilkinson, 2009).

Persepsi yang positif terhadap pengobatan akan membantu klien

memperoleh lebih banyak pengetahuan dan pengalaman. Pengalaman ini

menjadi faktor penentu keputusan klien mencari pelayanan kesehatan (Scoot


6

& Walter, 2010). Persepsi yang negatif terhadap pengobatan TB

menyebabkan perilaku mencari pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dan

juga meningkatkan keterlambatan dalam pengobatan TB (Nur, 2011).

Perilaku sendiri merupakan hasil dari pada segala macam pengalaman serta

interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk

pengetahuan, sikap dan tindakan (Wu et al., 2011).

Jumlah klien tuberkolusis di Kota Banjarmasin tahun 2018 sebanyak

2.551 orang, dari jumlah tersebut yang di wilayah kerja Puskesmas Sungai

Bilu yaitu sebanyak 36 orang (Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin, 2018).

Penelitian ini akan dilaksanakan di Puskesmas Sungai Bilu Banjarmasin

karena di wilayah kerja puskesmas tersebut paling banyak terdapat pasien TB.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka dilakukan penelitian

yang berjudul “Hubungan Dukungan Keluarga dengan Perilaku Minum Obat

Pada Klien Tuberkulosis di Puskesmas Sungai Bilu Banjarmasin”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dapat dikemukakan adalah “Apakah ada

hubungan dukungan keluarga dengan perilaku minum obat pada klien TB di

Puskesmas Sungai Bilu Banjarmasin?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan perilaku minum obat

pada klien TB di Puskesmas Sungai Bilu Banjarmasin.

2. Tujuan khusus
7

a. Mengidentifikasi dukungan keluarga pada klien TB di Puskesmas

Sungai Bilu Banjarmasin

b. Mengidentifikasi kepatuhan minum obat pada klien TB di Puskesmas

Sungai Bilu Banjarmasin

c. Menganalisis hubungan dukungan keluarga dengan perilaku minum

obat pada klien TB di Puskesmas Sungai Bilu Banjarmasin.

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat perkembangan ilmu

keperawatan hingga nantinya dapat memperkaya teori asuhan keperawatan

pada klien TB khususnya mengenai hubungan dukungan keluarga dengan

perilaku konsumsi obat klien TB.

2. Praktis

a. Bagi Puskesmas Sungai Bilu Banjarmasin

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjaring data perilaku konsumsi

obat klien TB sehingga dapat diterapkan sebagai bahan masukan dalam

meningkatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan pada klien TB.

b. Bagi perawat

Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan perawat

komunitas dalam mengidentifikasi dukungan keluarga yang berkaitan

dengan masalah perilaku konsumsi obat klien TB. Pengetahuan tersebut

dapat mendasari perawat komunitas dalam memberikan motivasi pada


8

keluarga untuk memberikan dukungan sesuai dengan kebutuhan klien

TB.

c. Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi

perkembangan ilmu keperawatan terkait kepatuhan konsumsi obat serta

menambah bahan pembelajaran mengenai hubungan dukungan keluarga

dengan perilaku minum obat pada klien TB.

d. Bagi peneliti

Penelitian ini dapat menambah pengalaman dan pengetahuan peneliti

serta dapat memberikan informasi dasar bagi pengembangan penelitian

selanjutnya terkait dengan hubungan dukungan keluarga dengan

perilaku minum obat pada klien TB.

E. Keaslian Penelitian

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian


Nama/Judul dan
No Metode Penelitian Hasil Penelitian
Tahun Penelitian
1 Evaluasi Perilaku Alat pengumpul data berupa Hasil penelitian dari 23 total
Kepatuhan Berobat kuesioner sebagai data primer responden selama menjalani
Penderita TB di dan kartu pengobatan pasien pengobatan menunjukkan
Tinjau dari Faktor (Form TB 01) sebagai data jumlah responden yang patuh
Predisposisi sekunder. Penelitian ini terhadap pengobatan TB lebih
Kejadian TB di dilaksanakan di Puskesmas kecil dibandingkan responden
Puskesmas Selogiri Selogiri pada bulan Nopember yang tidak patuh, yaitu 10
Wonogiri sampai Desember 2017. responden (43,47%) patuh
(Ratnasari, 2017) Populasi seluruh pasien TB sedangkan responden tidak
yang berobat di Puskesmas patuh 13 (56,52%).
Selogiri, yang terdaftar dari
bulan Januari 2016 sampai
Desember 2017. Pengambilan
sampel menggunakan teknik
total sampling,
2 Hubungan Peran Populasi sampel adalah pasien Ada hubungan peran pengawas
Pengawas Menelan TB di wilayah kerja menelan obat dengan
Obat dengan Puskesmas Ngawai. Teknik kepatuhan minum obat pasien
Kepatuhan Minum sampling dengan total sampel tuberkolusis paru di Wilayah
Obat Pasien yaitu sebanyak 41 responden. Kerja Puskesmas Ngawi
Tuberkolusis Paru di Pengumpulan data (p value = 0,006)
Wilayah Kerja menggunakan kuesioner dan
9

Puskesmas Ngawi observasi. Analisis data


(Kurniasih, 2017) dengan chi-square
3 Hubungan Jenis penelitian kuantitatif Ada hubungan tingkat
Pengetahuan dengan dengan desain deksriptif pengetahuan dengan kepatuhan
Kepatuhan pada korelasional. Data diambil pada pengobatan penderita TB
Pengobatan menggunakan kuesioner. di puskesmas pekauman kota
Penderita TB di Sampel berjumlah 40 orang banjarmasin
Puskesmas dengan teknik purposive (p value = 0,015)
Pekauman Kota sampling. Analisis data
Banjarmasin menggunakan spearman rank.
(Aryani, 2016).

Perbedaaan penelitian ini dengan ketiga penelitian tersebut diatas terletak

pada variabel, tempat dan tahun penelitian.

1. Variabel bebas penelitian ini adalah dukungan keluarga.

2. Variabel terikat penelitian ini adalah perilaku minum obat

3. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Sungai Bilu Banjarmasin tahun

2019.

Anda mungkin juga menyukai