Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

ABSES PERITONSIL SINISTRA

Di Susun Oleh :
Yohana Br Sidabalok
11.2017.276

Pembimbing :
dr. Arroyan Wardhana, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK THT RSUD KOJA – JAKARTA UTARA


PERIODE 12 NOVEMBER – 15 DESEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

1
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk - Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT THT
Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus :
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA

Nama : Yohana Br Sidabalok Tanda Tangan


NIM : 112017276 ......................

Pembimbing / Penguji : dr. Arroyan Wardhana, SpTHT-KL ......................

IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Tn. MRH Jenis kelamin : Laki laki
Umur : 20 tahun Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar Pendidikan : SMA
Alamat : Jl. Muara angke, Pluit Status Menikah: Belum menikah

ANAMNESA
Diambil secara: Autoanamnesis
Pada tanggal : 22 Juli 2018 Jam : 12.00 WIB

Keluhan Utama:
Nyeri pada tenggorok sejak 1 minggu SMRS.

Keluhan Tambahan:
Nyeri dan sulit menelan, sukar membuka mulut, suara serak, da nada benjolan di bawah rahang
kiri sejak 1 minggu SMRS.

2
Riwayat Penyakit Sekarang:
Satu minggu SMRS, pasien mengatakan nyeri pada tenggorokkan, nyeri semakin
bertambah ketika pasien menelan makanan atau minuman dan saat pasien membuka mulut.
Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak, dahak berwarna hijau kekuningan, darah (-), pilek (+),
suara serak (+). Selain itu, pasien demam (+), sifat demam naik-turun, menggigil (-), mual (+),
muntah (-). Terdapat benjolan dibawah rahang kiri, benjolan hanya ada 1, bersifat nyeri saat
ditekan, hangat dan keras.
MRS ke IGD, pasien mengalami demam, sulit menelan, nyeri menelan, sulit membuka
mulut, benjolan dirasakan semakin membesar dan semakin nyeri. Sakit kepala (+), batuk (+), dan
tidak ada asupan makanan yang masuk selama 1 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah dirawat di rumah sakit, riwayat trauma (-), Diabetes Mellitus (-),
hipertensi (-), Asma (-), alergi (-), penyakit jantung (-), riwayat keganasan pada keluarga (-)

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
- Keadaan umum : tampak sakit sedang
- Kesadaran : compos mentis
- Tanda-tanda vital :
 Tekanan darah : 111/82 mmHg
 Nadi : 84 x/menit
 Pernapasan : 20 x/menit
 Suhu : 38,9ºC

Status Lokalis
TELINGA
KANAN KIRI
Bentuk daun telinga Normotia Normotia
Kelainan kongenital Atresia liang telinga (-), fistula Atresia liang telinga (-), fistula
(-), Bat’s Ear (-) (-), Bat’s Ear (-)

3
Radang, tumor Nyeri (-), edema (-), hiperemis Nyeri (-), edema (-), hiperemis
(-), tumor (-) (-), tumor (-)
Nyeri tekan tragus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Penarikan daun telinga Nyeri tarik (-) Nyeri tarik (-)
Kelainan pre- Fistula preaurikuler (-), Fistula preaurikuler (-),
infra,retroaurikuler hematoma (-), pseudokista (-), hematoma (-), pseudokista (-),
laserasi (-), massa (-) laserasi (-), massa (-)
Regio mastoid Nyeri (-), abses (-), massa (-), Nyeri (-), abses (-), massa (-),
hiperemis (-), edema (-) hiperemis (-), edema (-)
Liang telinga Tampak lapang, serumen (+), Tampak lapang, serumen (+),
furunkel (-), jaringan granulasi furunkel (-), jaringan granulasi
(-), hifa (-), otorea (-) (-), hifa (-), otorea (-)
Membran timpani Utuh, retraksi (-), hiperemis (- Utuh, retraksi (-), hiperemis (-
), perforasi (-), reflex cahaya ), perforasi (-), reflex cahaya
(+) arah jam 5 (+) arah jam 7

Serumen Refleks Cahaya (+) jam 5 Refleks Cahaya (+) jam 7 Serumen

TES PENALA
KANAN KIRI
Rinne (+) (+)
Weber Lateralisasi (-) Lateralisasi (-)
Schwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Penala yang dipakai 512 Hz 512 Hz
Kesan: kedua telinga normal

4
HIDUNG

KANAN KIRI
Bentuk Normal Normal
Tanda paradangan Hiperemis (-), nyeri (-), massa (-) Hiperemis (-), nyeri (-), massa (-)
Daerah sinus frontalis Nyeri tekan (-), nyeri ketuk (-) Nyeri tekan (-), nyeri ketuk (-)
dan maxillaris
Vestibulum Benjolan (-), sekret (-), hiperemis Benjolan (-), sekret (-), hiperemis
(-), laserasi (-), furunkel (-), (-), laserasi (-), furunkel (-), krusta
krusta (-), benda asing (-) (-), benda asing (-)
Cavum nasi Tampak lapang, sekret (-), massa Tampak lapang, sekret (-), massa
(-), edema (-), perdarahan aktif (-) (-), edema (-), perdarahan aktif (-)
Konka inferior Eutrofi, hiperemis (-), livide (-), Eutrofi, hiperemis (-), livide (-),
edema (-) edema (-)
Meatus nasi inferior Normal, sekret (-) Normal, sekret (-)
Konka medius Eutrofi (-), hiperemis (-), livide (- Eutrofi (-), hiperemis (-), livide (-
),edema (-) ),edema (-)
Meatus masi medius Normal,sekret (-) Normal,sekret (-)
Septum deviasi Deviasi (-) Deviasi (-)

5
RHINOPHARYNX
 Koana : tidak dilakukan
 Septum nasi posterior : tidak dilakukan
 Muara tuba eustachius : tidak dilakukan
 Torus tubarius : tidak dilakukan
 Post nasal drip : negatif

PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI
 Sinus frontalis kanan, grade : tidak dilakukan
 Sinus frontalis kiri, grade : tidak dilakukan
 Sinus maxillaris kanan, grade : tidak dilakukan
 Sinus maxillaris kiri, grade : tidak dilakukan

TENGGOROK
PHARYNX

Benjolan 3x3 cm, berisi pus (aspirasi 1,5cc), nyeri, hiperemis (kiri).

 Dinding pharynx : hiperemis (+), penonjolan dinding faring lateral (-)


 Arcus : asimetris, hiperemis (+)
 Tonsil : T3-T3, hiperemis (+), kripta melebar, detritus (+)
 Uvula : deviasi (-), hiperemis (-)

6
LARYNX

 Epiglottis : tidak dilakukan


 Plica aryepiglottis : tidak dilakukan
 Arytenoids : tidak dilakukan
 Ventricular bands : tidak dilakukan
 Pita suara : tidak dilakukan
 Rima glotidis : tidak dilakukan
 Cincin trakea : tidak dilakukan
 Sinus piriformis : tidak dilakukan
 Kelenjar limfe submandibular dan cervical: terdapat benjolan di kelenjar imfe
submandibula dengan ukuran sekitar 5x5 cm, keras/indurasi, tidak fluktuatif, terfiksir,
tidak berdarah, hangat, nyeri tekan (+).

RESUME
Dari anamnesa didapatkan keluhan:
Pasien laki laki berusia 20 tahun datang dengan keluhan nyeri pada tenggorok sejak 1
minggu SMRS. Nyeri semakin bertambah ketika pasien menelan makanan atau minuman dan
saat pasien membuka mulut. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak, dahak berwarna hijau

7
kekuningan, darah (-), pilek (+), suara serak (+). Selain itu, pasien demam (+), sifat demam naik-
turun, menggigil (-), mual (+), muntah (-). Terdapat benjolan dibawah rahang kiri, benjolan
hanya ada 1, bersifat nyeri saat ditekan, hangat dan keras.
Dari pemeriksaan didapatkan pada:
 Telinga:
 Kanan : normal
 Kiri : normal
 Hidung: normal
 Tenggorok
 Dinding pharynx : hiperemis (+), penonjolan dinding faring lateral (-)
 Arcus : asimetris, hiperemis (+)
 Tonsil : T3-T3, hiperemis (+), kripta melebar, detritus (+)
 Uvula : deviasi (-), hiperemis (-)
Terdapat benjolan di peritonsiler sinistra berukuran 3x3 cm, berisi pus (aspirasi 1,5cc),
nyeri, hiperemis.
 Leher:
Terdapat benjolan di kelenjar imfe submandibula dengan ukuran sekitar 5x5 cm,
keras/indurasi, tidak fluktuatif, terfiksir, tidak berdarah, hangat, nyeri tekan (+)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
23 November 2018
Hematologi
Hb : 13.6 g/dL (N: 12,5-16,0)
Leukosit : 12.53 x 103 /uL (N: 4000-10500/uL)
Ht : 38,8% (N: 37-47%)
Trombosit : 310.000/uL (N: 182000-369000/uL)
Hemostasis
PT : 11,8 detik (N: 9,9-11,8 detik)
APTT : 41.6 detik (N: 31,0-47,0 detik)
Kimia Klinik
SGOT : 14 U/L (N: < 40 U/L)

8
SGPT : 12 U/L (N: < 41 U/L)
Ureum : 21.4 mg/dL (N: 16.6 – 48.5 mg/dL)
Kreatinin : 0.82 mg/dL (N: 0,67-1,17 mg/dL)
Serologi
Anti HIV : non reaktif (N: non reaktif)
Hepatitis Marker
HBsAg : non reaktif (N: non reaktif)
Anti HCV : non reaktif (N: non reaktif)

DIAGNOSIS BANDING (DD/)


- Abses parafaring
- Limfadenitis

WORKING DIAGNOSIS (WD/)


Abses perotonsil sinistra

PENATALAKSANAAN
 Terapi:
- Ampicillin 3x1,5 gram  antibiotic, untuk infeksi
- Metronidazole 500 mg, 3x1  untuk infeksi bakteri anaerob
- Ketorolac 30mg 3x1 ampul  untuk anti nyeri
- Ondansetron 8 mg, 2x1  untuk mencegah mual dan muntah
- Tindakan aspirasi pus:
Tindakan dilakukan menggunakan semprit 10 ml, dan jarum no.18 setelah
pemberian anestesi topical (misalnya xylocain spray) dan infiltrasi anestesi lokal
(misalnya lidokain). Lokasi aspirasi pertama adalah pada titik atau daerah paling
berfluktuasi atau pada tempat pembengkakan maksimum  pus keluar,
dilakukan massage untuk mengeluarkan pus  pus kurang lebih 1,5 cc.
- Rencana tindakan operatif tonsilektomi

9
PROGNOSIS
Ad functionam: dubia ad bonam
Ad vitam: dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Abses adalah kumpulan nanah dalam suatu rongga yang terjadi akibat adanya
suatu proses infeksi bakteri piogenik yang terdapat dibawah jaringan, organ, atau pada
ruang-ruang kosong. Abses mempunyai daerah pusat yang menonjol yang terjadi akibat
penumpukan sel dan jaringan yang mati. Daerah tersebut dilindungi oleh netrofil, sedang
di sebela luarnya terdapat pelebaran pembuluh darah serta jaringan parenkim dan
fibroblas yang berfungsi untuk mempercepat proses penyembuhan.1
Abses peritonsil atau Quinsy adalah salah satu dari abses leher dalam yang paling
sering ditemukan. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensiial di antara fasia
leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut
tenggorok dan sekitarnya. Abses leher dalam merupakan salah satu penyakit infeksi yang
mengancam jiwa, dibentuk oleh lapisan fasia servikalis profunda, morbiditas dan
mortalitasnya berkisar antara 1,6-40%.2
Pada abses peritonsil ditemkan kumpulan pus yang berlokasi antara kapsul fibrosa
tonsil palatine dan otot kontriktor faringeal superior. Daerah ini terjadi atas jaringan ikat
longgar, infeksi dapat menjalar dengan cepat membentuk cairan yang purulent. Inflamasi
yang progresif dapat meluas secara langsung kea rah palatum mole, dinding lateral faring,
dan jarang ke arah basis lidah.2
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus,
kuman anaerob Bacterioides atau kuman campuran yang menginfeksi ruangan peritonsil.
Ruangan peritonsil dibatasi di medial oleh kapsul tonsil, di lateral muskulus konstriktor
faringeal superior, di inferior pilar anterior tonsil, dan di pilar posterior tonsil.3,2

2.2 Etiologi
Abses peritonsil atau Quinsy terjadi sebagai komplikasi tonsillitis akut atau
infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman
penyebab sama dengan penyebab tonsillitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.
Penyakit gigi dapat memegang pernanan dalam etiologi abses peritonsil.3
Organisme aerob yang palig sering menyebabkan abses peritonsil adalah
Streptococcus pyogene (Gru A beta-hemolitiv streptococcus) sedangkan organisme
anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Untuk kebanyakan abses peritonsil diduga
disebabkan karena kombinasi antara organisme aerob dan anaerob. Kuman aerob: Grup A
beta-hemolitic streptococci (GABHS), Group B, C, G streptococcus, Haemophilus
influenza (type B and nontypeable), Staphylococcus aureus, Haemophilus
parainfluenzae, Neisseria species, Mycobacteria sp. Kuman anaerobic: Fusobacterium,
Peptostreptococcus, Streptococcus sp, Bacteroides. Virus: Eipstein-Barr Virus,
Adenovorus, Influenza A dan B, Herpes simplex, dan Parainfluenza.2

11
2.3 Patofisiologi
Abses peritonsil biasanya terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut,
walaupun dapat terjadi tanpa infeksi tonsil sebelumnya. Infeksi yang terjadi akan
menembus kapsul tonsil (umumnya pada kutub atas tonsil) dan meluas ke dalam ruangan
jaringan ikat di antara kapsul dan dinding posterior fosa tonsil. Hal ini kemudian akan
menyebabkan penumpukan pus atau pus meluas ke arah otot konstriktor faring superior
menuju ruang parafaring dan retrofaring terdekat.4 Daerah superior dan lateral fosa
tonsilatis merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruangan
potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole
membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang.2
Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil yang
disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan cairan ludah ke
dalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris
yang terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi infeksi berulang,
dapat terjadi gangguan pada proses tersebut lalu timbul sumbatan terhadap sekresi
kelenjar Weber yang mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati
secara maksimal, akan terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada
kelenjar Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga
menyebabkan terjadinya abses.4
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga
permukaan yang hiperemis. Bila proses tersebut berlanjut, terjadi supurasi sehingga
daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil
akan mendorong tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi
kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga timbul trismus.2

2.3 Gejala Klinis


Beberapa gejala klinis abses peritonsil antara lain berupa pembengkakan awal
hamper selalu berlokasi pada daerah palatum mole di sebelah atas tonsil yang
menyebabkan tonsil membesar ke arah medial. Onset gejala abses peritonsil biasanya
mulai sekitar 3 sampai 5 hari sebelum pemeriksaan dan diagnosis. Gejala klinis berupa
rasa sakit tenggorok yang terus menerus hingga keadaan memburuk secara progresif
walaupun telah diobati. Rasa nyeri terlokalisir, demam tinggi (sampai 40o C), lemah dan
mual. Odinofagi dapat merupakan gejala menonjol dan pasien mungkin mendapatkan
kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah. Akibat tidak dapat mengatasi sekresi ludah
sehingga terjadi hipersalivasi dan ludah seringkali menetes keluar. Keluhan lainnya
berupa mulut berbau (foetor ex ore), muntah (regurgitasi) sampai nyeri alih ke teling
(otalgia). Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-otot pterigoid.5

12
Penderita mengalami kesulitan berbicara, suara menjadi seperti suara hidung,
membesar seperti mengulum kentang panas (hot potato’s voice) karena penderita
berusaha mengurangi rasa nyeri saat membuka mulut. Pada pemeriksaan tonsil, ada
pembengkakan unilateral, karena jarang kedua tonsil terinfeksi pada waktu bersamaan.
Bila keduanya terinfeksi maka yang kedua akan membengkak setelah tonsil yang satu
membaik. Bila terjad pembengkakan secara bersamaan, gejala sleep apnea dan obstruksi
jalan nafas akan lebih berat. Pada pemeriksaan fisik penderita dapat menunjukkan tanda-
tanda dehidrasi dan pembengkakan serta nyeri kelenjar servikal/ servikal adenopati.
Disaar pembengkakan pada daerah peritonsilar yang terlibat disertai pembesaran pilar-
pilar tonsil atau palatum mole yang terkena.5
Tonsil pada umumnya tertutup oleh jaringan sekitarnya yang membengkak atau
tertutup oleh mukopus. Timbul pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan
terdorongnya uvula pada sisi yang berlawanan. Paling sering abses peritonsil pada
bagian supratonsil atau di belakang tonsil, penyebaran pus kea rah inferior dapat
menimbulkan pembengkakan supraglotis dan obstruksi jalan napas. Pada keadaan ini
penderita akan tampak cemas dan sangat ketakutan. Abses peritonsil yang terjadi pada
kutub inferior tidak menunjukkan gejala yang sama dengan ppada kutub superior.
Umunya uvula tampak normal dan tidak bergeser, tonsil dan daerah peritonsil superior
tampak berukuran normal hanya ditandai dengan kemerahan.4

2.4 Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan riwayat penyakit gejala klinis, dan pemeriksaan
fisik. Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Aspirasi
dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi merupakan tindaan
diagnosis yang akurat untuk memastikan abses peritonsil. Yang merupakan “gold
standar” untuk mendiagnosis abses peritonsil adalah dengan mengumpulkan pus dari
abses dengan menggunakan jarum aspirasi. Untuk mengetahui jenis kuman pada abses
peritonsil tidak dapat dilakukan dengan cara usap tenggorok. Pemeriksaan penunjang
akan sangat membantu selain untuk diagnosis, juga untuk perencanaan penatalaksanaan.2
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti
darah lengkap, pemeriksaan radiologi polos posisi antero-posterior hanya menunjukkan
“distorsi” dari jaringan tetapi tidak berguna untuk menentukan pasti lokasi abses,
pemeriksaan CT-Scan pada tonsil dapat terlihat daerah hipodens, yang menandakan
adanya cairan pada tonsil yang terkena, di samping itu juga dapat dilihat pembesaran
yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk rencana operasi.
Ultrasonografi merupakan teknik yang sederhana dan noninvasif dapat membantu dalam
membedakan antara selulitis dan awal abses.6
Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat mendiagnosis abses peritonsil secara
spesifik dan mungkin dapat digunakan sebagai alternatif pemeriksaan. Mayoritas kasus

13
yang diperiksa menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran sentral
hypoechoic.6

Gambar 1. Intraoral ultrasonografi6


Gambaran tersebut kurang dapat dideteksi bila volume relatif pus dalam seluruh
abses adalah kurang dari 100% pada penampakan tomografi computer. Penentuan lokasi
abses yang akurat, membedakan antara selulitis dan abses peritonsil serta menunjukkan
gambaran penyebaran sekunder dari infeksi ini merupakan kelebihan penggunaan
tomografi komputer. Khusus untuk diagnosis abses peritonsil di daetah kutub bawah
tonsil akan sangat terbantu dengan tomografi computer.6

Gambar 2. Tomografi Komputer Abses Peritonsil6


Tomografi dan ultrasonografi dapat membantu untuk membedakan antara abses
peritonsil dengan selulitis tonsil.

14
2.5 Diagnosis Banding
Penonjolan satu atau kedua tonsil, atau setiap pembengkakan pada daerah
peritonsilar harus dipertimbangkan penyakit lain selain abses peritonsil sebagai diagnosis
banding. Contohnya adalah infeksi mononukleuosis, benda asing, tumor / keganasan /
limfoma, adenitis servikal dan infeksi gigi. Kelainan-kelainan ini dapat dibedakan dari
abses peritonsil melalui pemeriksaan darah, biopsy dan pemeriksaan diagnostik lain.2
Tidak ada kriteria spesifik yang dianjurkan untuk membedakan selulitis dan abses
peritonsil. Karena itu disepakati bahwa, kecuali pada kasus yang sangat ringan, semua
penderita dengan gejala infeksi daerah peritonsil harus menjalani aspirasi/punksi. Apabila
hasil aspirasi positif (terdapat pus), berarti abses, maka penatalaksaan selanjutnya dapat
dilakukan. Bila hasil aspirasi negatif (pus tidak ada), pasien mungkin dapat didiagnosis
sebagai selulitis peritonsil.4

2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan harus segera dilakukan dan adekuat, untuk mencegah obstruksi
pernafasan dan mencegah meluasnya abses ke ruang parafaring dan mediastinum dan
basis kranii. Setelah dibuat diagnosa abses peritonsil, segera dilakukan asprasi kemudian
insisi abses dan drainase. Masih ada kontroversi antara insisi drainase dengan aspirasi
jarum saja, atau dilanjutkan dengan insisi dan drainase, Gold standard adalah insisi dan
drainase abses. Pus yang diambil dilakukan pemeriksaan kultur dan uji resistensi.2

Terapi antibiotika
Salah satu faktor yang masih merupakan kontroversi dalam penanganan abses
peritonsil adalah pemilihan terapi antibiotika sebelum dan sesudah pembedahan.
Antibiotika pada gejala awal diberikan dalam dosis tinggi disertai obat simptomatik,
kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres hangat pada leher (untuk
mengendurkan tegangan otot). Dengan mengutamakan pemeriksaan kultur dan
sensitifitas, pemberian terapi antibiotika ditunjukkan pada jenis bakteri mana yang lebih
banyak muncul. Penisilin dan sefalosporin (generasi pertama kedua atau ketiga) biasanya
merupakan obat pilihan. Penisilin dalam dosis tinggi sebagai obat pilihan diberikan
dengan mempertimbangkan kontra indikasi seperti alergi atau timbulnya kemungkinan
adanya reaksi koagulasi organisme. Penisilin dapat digunakan pada penderita abses
peritonsil yang diperkirakan disebabkan oleh kuman staphylococcus. Metronidazol
merupakan antimikroba yang sangat baik untuk infeksi anaerob. Tetrasiklin merupakan
antibiotika alternatif yang sangat baik bagi orang dewasa, meskipun klindamisin saat ini
dipertimbangkan sebagai antibiotik pilihan untuk menangani bakteri yang memproduksi
beta laktamase. Penting untuk dicatat bahwa memberikan antibiotika intravena pada
penderita abses peritonsil yang dirawat inap belakangan ini sudah kurang umum
digunakan.7,8

15
Insisi dan drainase
Abses peritonsil merupakan suatu indikasi tindakan yang juga disebut intraoral
drainase. Tujuan utama tindakan ini adalah mendapatkan drainase abses yang adekuat
dan terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada
pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah paling berfluktuasi.4
Teknik insisi
Pada penderita yang sadar, tindakan dapat dilakukan dengan posisi duduk
menggunakan anestesi lokal. Anestesi lokal dapat dilakukan pada cabang tonsilar dari
nervus glossofaringeus (N.IX) yang memberikan inervasi sensoris mayoritas pada daerah
ini, dengan menyuntikkan lidokain melalui mukosa ke dalam fosa tonsil. 9

Gambar 3. Teknik Insisi


Pada penderita yang memerlukan anestesi umum, posisi penderita saat tindakan
adalah kepala lebih rendah (trendelenberg) menggunakan ETT (Endotrakeal tube).
Anestesi topikal dapat berupa xylocaine spray atau menggunakan lidokain 4-5% atau
tetrakain 2% untuk mencegah keterlibatan jaringan tonsil yang lain. Menggunakan pisau
skalpel no.11.9

Gambar 4. Lokasi Insisi


Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada:9
1. Pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah yang
paling fluktuatif

16
2. Pada titik yang terletak dua pertiga dari garis khayal yang dibuat antara
dasar uvula dengan molar terakhir.
3. Pada pertengahan garis horizontal antara pertengahan basis uvula dan M3
atas
4. Pada pertemuan garis vertikal melalui titik potong pinggir medial pilar
anterior dengan lidah dengan garis horizontal melalui basis uvula
5. Pada pertemuan garis vertikal melalui pinggir medial M3 bawah dengan
garis horizontal melalui basis uvula Insisi diperdalam dengan klem dan
pus yang keluar langsung dihisap dengan menggunakan alat penghisap.
Tindakan ini (menghisap pus) penting dilakukan untuk mencegah aspirasi yang
dapat mengakibatkan timbulnya pneumonitis. Biasanya bila insisi yang dibuat tidak
cukup dalam, harus lebih dibuka lagi dan diperbesar. Setelah cukup banyak pus yang
keluar dan lubang insisi yang cukup besar, penderita kemudian disuruh berkumur dengan
antiseptik dan diberi terapi antibiotika. Umumnya setelah drainase terjadi, rasa nyeri akan
segera berkurang. Pus yang keluar juga sebaiknya diperiksakan untuk tes kultur dan
sensitifitas, biasanya diambil saat aspirasi (diagnosis).9
Drainase dengan aspirasi jarum
Model terapi abses peritonsil yang digunakan sampai saat ini, pertama insisi dan
drainase serta yang kedua tonsilektomi. Saat ini ada beberapa penelitian yang
mendiskusikan tentang aspirasi menggunakan jarum sebagai salah satu terapi bedah pada
abses peritonsil. Beberapa keuntungan dari evaluasi penatalaksanaan aspirasi jarum
dibanding insisi dan drainase adalah :10
1. Mudah untuk dilakukan, sederhana, aman, dan murah.
2. Dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis dengan trauma minimal (yang
biasanya dapat dilakukan sebelum insisi dan drainase).
3. Dapat ditoleransi (ditahan) oleh penderita / tidak menakutkan.
4. Tidak / kurang mencederai struktur jaringan sekitar.
5. Lebih memudahkan untuk mengumpulkan specimen / pus guna pemeriksaan
mikroskopis dan tes kultur / sensitifitas.
6. Memberikan penyembuhan segera, mengurangi kesakitan.
7. Mencegah prosedur bedah dan anestesi umum.
8. Merupakan prosedur yang dapat dipercaya untuk abses peritonsil.
Kerugian terapi dengan drainase dengan aspirasi jarum adalah20:
1. Bila pus terkumpul kembali dapat menyebabkan infeksi yang berulang.
2. Tidak dapat melakukan pembersihan kantung pus secara maksimal.
3. Pus yang tersisa tidak maksimal keluar sehingga dapat menyebabkan
proses penyembuhan lama.

17
Teknik aspirasi
Tindakan dilakukan menggunakan semprit 10 ml, dan jarum no.18 setelah
pemberian anestesi topical (misalnya xylocain spray) dan infiltrasi anestesi lokal
(misalnya lidokain).

Gambar 5. Tindakan Aspirasi Abses Peritonsil


Lokasi aspirasi pertama adalah pada titik atau daerah paling berfluktuasi atau
pada tempat pembengkakan maksimum. Bila tidak ditemukan pus, aspirasi kedua dapat
dilakukan 1 cm di bawahnya atau bagian tengah tonsil. Aspirasi jarum, seperti juga insisi
dan drainase, merupakan tindakan yang sulit dan jarang berhasil dilakukan pada anak
dengan abses peritonsil karena biasanya mereka tidak dapat bekerja sama. Selain itu
tindakan tersebut juga dapat menyebabkan aspirasi darah dan pus ke dalam saluran nafas
yang relative berukuran kecil.10
Tonsilektomi
Tindakan pembedahan pada abses peritonsil merupakan topik yang kontroversial
sejak beberapa abad. Filosofi dari tindakan tonsilektomi pada abses peritonsil adalah
karena berdasarkan pemikiran bahwa kekambuhan pada penderita abses peritonsil terjadi
cukup banyak sehingga tindakan pengangkatan kedua tonsil ini dilakukan untuk
memastikan tidak terjadinya kekambuhan. Sementara insisi dan drainase abses
merupakan tindakan yang paling banyak diterima sebagai terapi utama untuk abses
peritonsil, beberapa bentuk tonsilektomi kadang-kadang dilakukan. Waktu pelaksanaan
tonsilektomi sebagai terapi abses peritonsil, bervariasi :8
1. Tonsilektomi a chaud: dilakukan segera / bersamaan dengan drainase abses.
2. Tonsilektomi a tiede : dilakukan 3-4 hari setelah insisi dan drainase.
3. Tonsilektomi a froid : dilakukan 4-6 minggu setelah drainase.
Tonsilektomi merupakan penanganan yang terbaik untuk mencegah rekurensi
abses peritonsil. Pada masa lalu, orang berpendapat operasi harus dilakukan 2-3 minggu
setelah infeksi akut berkurang. Tetapi setelah 2-3 minggu, menimbulkan bekas luka yang
terdapat pada kapsul tonsil, sehingga tindakan operasi sulit dan menimbulkan perdarahan
serta sisa tonsil. Saat ini tampaknya dibenarkan bahwa tonsilektomi pada abses peritonsil,
dilakukan dalam anestesi umum, melalui tonsilektomi secara diseksi dan dalam
perlindungan terapi antibiotika adalah suatu operasi yang memberikan resiko yang sama
dengan tonsilektomi abses pada fase tenang (cold tonsillectomy).10
Beberapa keuntungan dari tonsilektomi segera pada abses peritonsil adalah:10

18
1. Penanganan penderita dilakukan dalam satu tahap pada saat sakit.
2. Memberikan drainase pus yang lengkap.
3. Mengurangi kesulitan tonsilektomi selang waktu yang kadang-kadang
timbul.
4. Mengurangi waktu perawatan (bila penderita dirawat inap di rumah sakit)
5. Mengurangi rasa sakit dengan segera dan menghilangkan perasaan tidak enak
mengalami prosedur yang lain (insisi dan drainase)
Beberapa kerugian tindakan tonsilektomi segera pada abses peritonsil adalah :10
1. Dapat terjadinya perdarahan pada saat tindakan tonsilektomi.
2. Dapat terjadi trombosis, sinus kavernosus, aspirasi paru, dan meningitis.
Indikasi tonsilektomi segera, yaitu :
1. Abses peritonsil yang tidak dapat diinsisi dan drainase karena trismus atau
abses yang berlokasi di kutub bawah.
2. Abses peritonsil yang meluas dari hipofaring ke daerah parafaring, dengan
resiko meluas ke daerah leher dalam.
3. Penderita dengan DM (Diabetes Melitus) yang memerlukan toleransi
terhadap terapi berbagai antibiotika.
4. Penderita diatas 50 tahun dengan tonsil-tonsil yang melekat, karena abses
akan sangat mudah meluas ke daerah leher dalam.
Pada umumnya insisi dan drainase diikuti dengan tonsilektomi 6-12 minggu
kemudian adalah prosedur terapi abses peritonsil. Pasien dilakukan operasi 2-3 hari
setelah infeksi terkontrol jika ukuran luka pada abses yang pecah spontan kurang dari 2,5
cm. Namun, bila ukuran luka pada abses yang pecah spontan lebih dari 2,5 cm maka
tindakan operasi harus dilakukan segera dengan tetap memperhatikan kondisi umum dan
komplikasi sistemik pada pasien.5

2.7 Komplikasi
Komplikasi segera yang dapat terjadi berupa dehidrasi karena masukan makanan
yang kurang. Pecahnya abses secara spontan dengan aspirasi darah atau pus dapat
menyebabkan pneumonitis atau abses paru. Pecahnya abses juga dapat menyebabkan
penyebaran infeksi ke ruang leher dalam, dengan kemungkinan sampai ke mediastinum
dan dasar tengkorak. Komplikasi abses peritonsil yang sangat serius pernah dilaporkan
sekitar tahun 1930, sebelum masa penggunaan antibiotika. Infeksi abses peritonsil
menyebar ke arah parafaring menyusuri selubung karotis kemudian membentuk ruang
infeksi yang luas. Perluasan Infeksi ke daerah parafaring dapat menyebabkan terjadinya
abses parafaring, penjalaran selanjutnya dapat masuk ke mediastinum sehingga dapat
terjadi mediastinitis. Pembengkakan yang timbul di daerah supra glotis dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas yang memerlukan tindakan trakeostomi. Keterlibatan
ruangruang faringomaksilaris dalam komplikasi abses peritonsil mungkin memerlukan
drainase dari luar melalui segitiga submandibular. Bila terjadi penjalaran ke daerah

19
intracranial dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak.
Pada keadaan ini, bila tidak ditangani dengan baik akan menghasilkan gejala sisa
neurologis yang fatal. Komplikasi lain yang mungkin timbul akibat penyebaran abses
adalah endokarditis, nefritis, dan peritonitis juga pernah ditemukan.16 Marom4,
melaporkan sebanyak 13 pasien (3%) mengalami komplikasi seperti selulitis parafaring
atau edema supraglotis dan penanganan komplikasi yang serius di rumah sakit. Ming
CF13 mengatakan bila tidak dilakukan pengobatan abses peritonsil dengan segera maka
dapat menyebabkan komplikasi antara lain limfadenitis servikal, infeksi parafaring dan
perdarahan, edema laring, abses leher dalam, dan jarang terjadi seperti fasciitis nekrotik
servikal, dan mediastinitis.4,5

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Batu LM. Diagnosis dan penatalaksanaan abses parafaring. Surabaya: Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga; 2007.
2. Marbun EM. Diagnosis, tatalaksana dan komplikasi abses peritonsil. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana; 2016.
3. Arsyad Efiaty,Iskandar Nurbaity dkk Ed, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher, Edisi Ketujuh. Balai Penerbit FK UI : Jakarta, 2012.
4. Novialdi, Prijadi J. diagnosis dan penatalaksanaan abses peritonsil. Padang: Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas; 2010.
5. Ming CF. Effycacy of Three Theraupetic Methods for Peritonsillar Abscess. Journal of
Chinese Clinical Medicine 2006;2:108-11.
6. Fasano J.C, Chudnofsky C. Bilateral Peritonsillar Abscesses: Not Your Usual Sore Throat.
The Journal of Emergency Medicine 2005;29 p. 45-7.
7. Marom T, Cinamon U. Changing Trends of Peritonsillar Abscess. Am J of Otol HNS 2010;
31:162-67.
8. Finkelstein Y, Ziv JB. Peritonsillar Abscess as a Cause of Transient Velopharyngeal
Insufficiency. Cleft Palate Craniofacial Journal, July 1993;30:421-28.
9. Su WY, Hsu WC. Inferior pole Peritonsillar Abscess Successfully Treated With Non
Surgical Approach In Four Cases. Tsu Chi Med J 2006;18:287-90.
10. Braude DA, Shalit M. A Novel Approach to Enchance Visualization During Drainage of
Peritonsillar Abscess. The Journal of Emergency Medicine 2007;35:297-98.

21

Anda mungkin juga menyukai