Anda di halaman 1dari 8

STRATEGI PEMANFAATAN LIMBAH TERNAK SAPI SEBAGAI SOLUSI

PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI DI KABUPATEN MAROS

(The Cattle Waste Utilization Strategy as Farmer Welfare Improvement


Solution In Maros Regency)

Muhammad Risala dan Syahdar Babab


aDosen Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian YAPIM Maros
bLaboratorium Penyuluhan dan Sosilogi Peternakan Fak. Peternakan Unhas

ABSTRAK

Kajian ini bertujuan mengidentifikasi besarnya potensi limbah peternakan sapi potong
dan permasalahan-permasalahan yang menjadi penghambat pemanfaatan limbah
tersebut serta menghasilkan konsep sebagai solusinya. Metode kajian yang dilakukan
adalah observasi melalui interview terhadap stekholder di kabupaten Maros. Hasil kajian
ini adalah Kabupaten Maros memiliki potensi limbah ternak sapi potong yang
melimpah tetapi belum dimanfaatkan secara maksimal kerena pengolahan yang
dilakukan selama ini belum berorientasi pasar. Konsep yang harus dikembangkan
adalah membangun komitmen seluruh stakeholder untuk menciptakan interkoneksitas
setiap unit usaha yang dikelola petani/peternak demi tercapainya pertanian terpadu.
Key word : Limbah peternakan, Ternak sapi, Kesejahteraan petani

PENDAHULUAN

Peningkatan kebutuhan pangan memacu pertanian secara intensif untuk


menghasilkan pangan sebesar mungkin. Intensifikasi pertanian meningkatkan
penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus akan mengakibatkan kerusakan
tanah, Serangan hama, dan penyakit yang meningkat. Kondisi ini mengharuskan
penggunaan pestisida secara rutin sehingga penggunaan input pertanian menjadi
tidak efisien. Penggunaan input yang sama tahun sebelumnya maka produksi menjadi
menurun hal ini menunjukkan menurunkan produktivitas lahan.
Perbaikan lahan sudah sepatutnya menjadi prioritas untuk menjaga
kelangsungan produksi dan produktivitas lahan. Sadar atau tidak, kita telah dibutakan
oleh sistem pertanian saat ini bahwa kita tidak melihat Allah SWT telah membangun
sistem yang tidak seharusnya di ubah yaitu dari tanah kembali ketanah dan sebagian
untuk dimakan manusia dan sebagian untuk ternak kemudian kembali ketanah. Maka
sepatutnya pengembangan pertanian yang manusiawi harus diterapkan yaitu semua
bentuk kehidupan harus dihargai (tanaman, hewan dan manusia dihargai. Martabat
dasar semua mahluk hidup dihormati dan hubungan serta institusi menggabungkan
nilai kemanusian yang mendasar, seperti kepercayaan, harga diri, kerjasama dan rasa
sayang (Reijntjes C, dkk. 1999).
Pada umumnya petani yang ada dipedesaan segaligus memelihara ternak
sebagai sumber pendampatan tambahan keluarga, namun baru batas penjualan
ternaknya saja. Peternak belum mengoptimalkan bahwa ternak sapi yang mereka
pelihara masih memiliki potensi lain seperti feces dan urine dapat menghasilkan
pupuk organik yang bernilai ekonomis tinggi dan biogas untuk memasak.

321
POTENSI DAN PERMASALAHAN PEMANFAATAN LIMBAH SAPI POTONG

Potensi
Bahan baku untuk pembuatan kompos di Kabupaten Maros cukup tersedia
dengan dukungan usaha peternakan khususnya ternak besar yang akan memproduksi
bahan baku setiap harinya. Populasi ternak sapi di Kabupaten Maros sebesar 58.303
ekor, yang tersebar di 14 kecamatan. Potensi kotoran ternak sapi yang dihasilkan oleh
seekor ternak sapi setiap harinya adalah 10 – 30 kg. (Susanty I, 2009).

Tabel 1. Populasi Ternak Sapi Kabupaten Maros dan Potensi Kompos yang dihasilkan.
Jumlah Potensi Feces Potensi Kompos
No Kecamatan
Ternak (Kg/hr) (Kg/hr)
1 Tompo Bulu 11,014 110,140 64,788.24
2 Bantimurung 8,576 85,760 50,447.06
3 Bontoa 1,446 14,460 8,505.88
4 Camba 5,978 59,780 35,164.71
5 Cendrana 7,102 71,020 41,776.47
6 Lau 1,800 18,000 10,588.24
7 Mallawa 3,883 38,830 22,841.18
8 Mandai 2,094 20,940 12,317.65
9 Maros Baru 1,026 10,260 6,035.29
10 Marusu 1,794 17,940 10,552.94
11 Moncongloe 2,021 20,210 11,888.24
12 Simbang 5,328 53,280 31,341.18
13 Tanralili 5,393 53,930 31,723.53
14 Turikale 848 8,480 4,988.24
Jumlah 58,303 583,030 342,958.82
Sumber: Dinas Perikanan, Kelautan dan Peternakan Kabupaten Maros, 2012.

Jumlah feces yang dihasilkan dari ternak sapi sebesar 583 ton/hr dengan potensi
kompos yang dapat dihasilkan adalah 342 ton/hr atau dalam sebulan 10.260
ton/bulan. Jika asumsi 10% dari populasi dapat menjadi mitra perusahaan kita maka
potensi kompos yang dapat dihasilkan adalah 34,2ton/hr.
Hasil produksi kompos akan dipasarkan diKabupaten Maros dan sekitarnya.
Kebutuhan Kabupaten Maros sendiri cukup besar setiap musim tanamnya untuk
diaplikasikan pada berbagai komoditi.
Prospek pasar pupuk kompos di Kabupaten Maros sangat besar yaitu 21.655 ton
per musim tanam. Kebutuhan sebesar ini apa bila semua kelompok tani sudah sadar
akan penggunaan pupuk kompos. Untuk saat ini kebutuhan Dinas Pertanian
Kabupaten Maros untuk memenuhi kebutuhan kompos dalam program demplot
percontohan penggunaan pupuk kompos, yaitu 1 ha per kelompok sehingga
kebutuhannya sekitar 923 ton/musim karena pengaplikasiannya dilapangan baru
menggunakan 750 kg/ha.

322
Tabel 2. Jumlah Kelompok, Luas Pertanaman dan Kebutuhan Pupuk Kompos
Kabupaten Maros

Kebutuhan
Kebutuhan
No Jenis Komoditi Jmlh KLP Luas (Ha) Kompos
Kompos (ton)
SLPTT (ton)
Padi Lahan
1 120 3,000.00 3,000.00 90
Kering
2 Padi Non Hibrida 463 11,575.00 11,575.00 347
3 Padi Hibrida 408 4,080.00 4,080.00 306
4 Kedelai 120 1,200.00 1,200.00 90
5 Jagung 120 1,800.00 1,800.00 90
Jumlah 1231 21,655.00 21,655.00 923
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Maros, 2012.

Permasalahan

Sistem usaha tani ternak


Usaha ternak sapi potong selama ini merupakan usaha sampingan oleh petani
sehingga sumberdaya yang diberikan adalah sisa dari usaha utama yaitu usaha tani
padi. Sumberdaya yang dimaksud adalah modal, skil, tenagakerja (Daniel, M. 2002).
Usaha tani tenak sapi potong selama ini dikelola secara tradisional dimana inovasi
yang diintroduksikan berjalan sangat lambat. Pada hal inovasi dalam bidang
peternakan sapi potong berkembang sangat pesat seperti dalam bidang reproduksi
dan pakan ternak. Pemerintah saat ini telah mengembangkan Inseminasi Buatan (IB)
untuk mengatasi kelangkaan pejantan dilapangan atau mengatasi penurunan kualitas
genetik ternak yang ada. Bahkan teknologi ini telah memasyarakat dengan
dikembangkannya IB mandiri dengan melatih masyarakat peternak untuk mampu
melakukan IB sendiri terhadap ternak yang ada di daerah kelompoknya, walaupun
disadari bahwa penerapan teknologi tersebut tidak cukup dengan pengembangan skil
saja namun perlu didukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung.
Inovasi dalam bidang pakan ternak sapi potong saat ini telah dikembangkan dengan
adanya komplit feed berbahan baku lokal yaitu membuat pakan ternak dengan
memanfaatkan limbah pertanian dan industri yang ada disekitar peternak.
Sistem usaha tani sapi potong yang dikelola secara tradisional dapat
menghambat penerapan teknologi untuk meningkatkan produktivitas ternak,
termasuk pemanfaatan limbah ternak sebagai bahan baku biogas dan pupuk kompos
untuk meningkatkan pendapatan peternak. (setiawan, AI. 2008).

Skil peternak dalam pengolahan limbah


Penerapan suatu teknologi kepada peternak sangat erat hubungannya dengan
skill peternak dan tingkat kerumitan pengoperasian teknologi tersebut. Sehingga
keberhasilan penerapan teknologi tergantung pada kesesuaian atara kemampuan
peternak dengan teknologi yang akan diterapkan. Limbah ternak sapi potong pada
dasarnya dapat menjadi bahan baku untuk pembuatan biogas, pupuk kompos dan
biourine. Pengolahan limbah ini menjadi gas untuk bahan bakar kompor telah
dimodifikasi sedemikaian sederhana yang disesuaikan dengan karakteristik peternak

323
di Sulawesi Selatan. Peternak yang memiliki ternak 2-3 ekor dengan pemeliharaan
intensif dapat membuat biogas dengan digester 1 m3 yang terbuat dari fiber yang
dapat dibeli pada lokasi masing-masing, cara pembuatannya sangat sederhana dan
teknik pembuatannya dapat dilakukan sendiri oleh peternak (Baba, S. 2007).
Sedangkan pengolahan feces ternak menjadi kompos yang berkualitas tinggi pada
dasarnya peternak belum mampu melakukannya secara mandiri disebabkan karena
tidak adanya standar kualitas yang dimiliki peternak, misalnya tidak adanya akses
peternak untuk melakukan uji kualitas terhadap hasil produksinya utuk mengetahui
apakah hasil produksinya sudah memenuhi kualitas kompos yang dipersyaratkan.
Pengolahan urine sapi menjadi biourine selama ini belum dilakukan karena
terkendala dengan minimnya pengetahuan terhadap teknologi ini, bahkan belum
pernah ada penguji cobaan yang dilakukan dalam hal pemanfaatan urine sapi tersebut.

Bahan baku pengolahan limbah


Pengolahan limbah juga terkendala pada bahan baku, dimana akses masyarakat
untuk mendapatkan starter pada pengolahan kompos sangat terbatas, sehingga
pengolahan kompos yang dilakukan hanya dalam skala kecil. Bukan hanya itu tetapi
peternak terkendala pada pengumpulan feces sebagai bahan baku dengan skala besar
karena peternakan yang dilakukan masih skala kecil dan sistim pemeliharaan yang
sebagian besar taradisional dan semi intensif. Pengumpulan feces ini sebenarnya bisa
dilakukan jika feces yang selama ini tidak berharga bahkan menjadi masalah bagi
peternak dapat dihargai. Feces yang dikumpulkan peternak ini dapat dihargai dengan
Rupiah yaitu dengan harga Rp 5.000/ karung atau Rp 100- Rp200/kg bahkan peternak
rela mengumpulkan ternak setelah membersihkan kandangnya dengan imbalan
pelayanan kesehatan ternak dan IB atau obat-obatan ternak. Sedangkan untuk
pengadaan bahan baku stater pengurai untuk mempercepat proses composting
sebenarnya dapat dibuat sendiri dengan memanfaatkan limbah yang ada disekitarnya
atau limbah rumah tangganya menjadi MOL (Mikro Organisme Lokal) (Setiawan, BS.
2010)

Pemasaran hasil produksi


Kebutuhan kompos untuk kabupaten Maros setiap musim tanam dalam
program SLPTT berbagai komoditi sebanyak 936 ton jika ditambah dengan kebutuhan
petani berdasrkan RDKK (Rencana Depenitif Kebutuhan Kelompo) adalah 1.450 ton.
Kebutuahan Dinas Pertanian dan masyarakat ini merupakan peluang pasar yang
selama ini dimanfaatkan oleh kabupaten lain karena selama ini Dinas Pertanian
Kabupaten Maros harus memesanya dari luar kabupaten.
Kebutuhan kompos yang begitu besar dikabupaten maros membutuhkan
anggaran yang sangat besar yaitu jika kebutuhannya 1.450 ton dan harga komposnya
Rp 1000/kg maka besarnya anggaran yang dibutuhkan adalah Rp 1.450.000.000,-.
Uang sebesar ini yang seharusnya dapat dibelanjakan di Kabupaten Maros sendiri
tetapi karena tidak adanya sistem atau model untuk mengolah feces yang melimpah
menjadi kompos.
Pemasaran kompos yang terjadi selama ini baru sebatas program pemerintah
untuk dibagikan kepada kelompok tani secara gratis dengan tujuan memancing petani
untuk mau menggunakan kompos sedangkan permintaan petani untuk digunakan
sendiri belum ada. Kompos yang digunakan petani selama ini dibagikan gratis oleh
pemerintah dimana pengadaannya melalui tender pemerintah dengan produsen

324
pupuk organik. Model pengadaan seperti ini mengakibatkan pengolahan kompos
yang skala kecil sulit berkembang karena tidak mampu bersaing dalam pengadaan
kebutuhan kompos oleh dinas pertanian. Peluang yang besar yang dimiliki patani dan
peternak untuk saling bersinergi memiliki solusi jika seluruh stake holder mengetahui
tupoksinya masing-masing dan membangun model untuk mensinergikan usaha tani
yang ada dan komitmen dalam menjalankannya.

KONSEP PEMANFAATAN LIMBAH SAPI POTONG MENJADI PUPUK


ORGANIK

Pemanfaatan limbah sapi potong menjadi pupuk organik merupakan peluang


untuk meningkatkan pendapatan petani/peternak dan perbaikan lahan pertanian
yang telah rusak oleh penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus. Sejalan
dengan itu peluang tersebut mengalami banyak rintangan seperti yang dibahas
sebelumnya, untuk itu perlu adanya konsep yang mampu mengubah pola pikir
peternak bahwa feces dan urine yang dihasilkan ternak mereka adalah sumber
tambahan pendapatan apabila diolah lebih lanjut.

Ketika ada lembaga yang mampu memberikan jaminan bahwa peternak yang
dapat mengumpulkan limbah ternaknya akan dihargai sesuai korbananya maka hal
tersebut akan dijalankan oleh peternak. Ada dua konsep yang dikembangkan yaitu
feces dan urine sapi yang dikumpulkan oleh peternak akan dibeli oleh Perusahaan
Daerah Pertanian Maros untuk diolah menjadi pupuk organik atau peternak
mengolah sampai menjadi pupuk organik sesuai dengan petunjuk pengolahan dari
perusahaan kemudian di pasarkan oleh perusahaan. Konsep yang kedua yaitu
mengumpulkan dan mengolah limbah ternak menjadi pupuk organik serta
mempergunakannya pada usaha pertaniannya dan hasilnya akan dibeli dan
dipasarkan oleh perusahaan. Kedua konsep ini harus mengacu pada peningkatan
pendapatan usaha tani sebelumnya. Alur kedua konsep dapat dilihat pada gambar 1
dan 2.

Gambar 1. Konsep I

Gambar 2. Konsep II

Pencapaian kedua konsep ini memerlukan strategi dan kelembagaan yang


matang untuk menjalankannya, maka strateginya adalah:

325
1. Membangun model pengolahan limbah ternak sapi menjadi pupuk organik yang
memiliki kualitas dan kuantitas yang berdaya saing (Rumah kompos)
2. Membangun model pengaplikasian pupuk organik pada usaha tani yang efisien
dan menghasilkan produk pertanian organik (Rumah organik)
3. Membangun lembaga keuangan mikro untuk menunjang keuangan aktivitas
usaha.
4. Penguatan kelembagaan petani dengan orientasi ekonomi dengan pemanfaatan
limbah ternak menjadi pupuk organik.
5. Produk yang dihasilkan baik pupuk organik maupun hasil pertanian organik
telah dipersiapkan pasarnya secara kontinu.

Opersional kerja dari strategi yang dirumuskan adalah Perusda Pertanian


Kabupaten Maros yang telah dibentuk focus pada pertanian organik dengan misi
utama membangun pertanian yang bermartabat dan berkedailan. Untuk itu langkah
pertama yang dikembangkan adalah integrated farming system. Model pertanian ini
dilaksanakan melalui kemitraan dengan peternak dengan sering permodalan dimana
peternak hanya mempersiapkan lahan dan tenaga kerja saja sedangkan selebihnya
ditanggung oleh Perusda Pertanian termasuk manjemen dan teknologinya. Tujuan
utamanya adalah pengembangan pertanian organik ini harus dimulai lansung
kepetani/peternak untuk mempercepat introduksi teknologinya. Penyertaan modal
yang dilakukan untuk meningkatkan keyakinan peternak bahwa usaha pengolahan
limbah peternakan memiliki prospek.
Model yang utama dibentuk adalah peternakan sapinya karena usaha ini
merupakan usaha yang menghasilkan input untuk pengolahan pupuk organik yang
akan digunakan pada pertanian organik. Kandang sapi dibagun dengan meningkatkan
fungsi kandang dimana kandang sekaligus sebagai gudang penyimpanan pakan hasil
permentasi. Pengolahan limbah padat dan cair telah terkoneksi lansung dengan
kandang sehingga kontruksi kandang telah menyesuaikan dengan kedua tempat
pengolahan limbah tersebut. Kapasitas pengolahan limbah yang buat melebihi jumlah
limbah yang dihasilkan ternak sapi yang ada dikandang, tujuannya adalah untuk
menampung limbah ternak dari anggota kelompok yang lain untuk dikelola bersama-
sama dalam satu tempat pengolahan. Untuk mendukung kuantitas dan kontinuitas
produk maka dibangun bank Feces untuk menampung feces yang dihasilkan peternak
lain. Peternak yang telah terdaftar sebagai nasabah bank feces berhak mendapatkan
buku tabungan sebagai catatan terhadap jumlah feces yang telah disetorkan kebank
feces dan penarikan yang dilakukan dalam bentuk uang dengan menghargai feces Rp
200/kg, penarikan dapat dilakukan setiap hari kerja pada LKM (Lembaga Keuangan
Mikro) yang dibentuk oleh Perusda Pertanian pada kelompok mitra dengan kelipatan
1 ton untuk setiap penarikan. Bank feces ini akan dikembangkan dengan membangun
unit-unit bank dibeberapa kelompok mitra yang telah mampu mandiri dalam hal
pengolahan pupuk organik dan telah membentuk LKM dalam kelompoknya. Untuk
menjaga kualitas produk maka unit bank feces harus mengacu pada SOP yang
dikeluarkan oleh bank sentral yang dikelola oleh Perusda Pertanian.
Sejalan dengan itu penggunaan pupuk organik ditataran peternak/petani terus
digalakkan dengan langkah, perusda pertanian sebagai induk akan menerapkan
terlebih dahulu penggunaan pupuk organik yang telah dihasilkan bersama dengan
petani mitra dan hasilnya akan di setor kerumah organik yang dikelola oleh LKM.
Rumah Organik inilah yang bertugas untuk memasarkan produk organik kepasar
yang ada dikota Makassar dan Maros sendiri (Perhotelan, restoran, catering, umum).

326
Untuk meningkatkan jumlah penjualan maka unit bank feces yang ada ditempat lain
diharapkan dapat mengaplikasikan pupuk organik pada usaha taninya untuk
menghasilkan produk organik yang dapat dikomsumsi sendiri atau dikumpulkan
pada rumah organik untuk dipasarkan. Kegiatan ini terus dikembangkan agar setiap
kegiatan unit usaha petani terkoneksi satu dengan yang lainnya agar cita-cita
pertanian terpadu dapat terlaksana dengan kontinu. Rangkaian operasional
pemanfaatan limbah ternak potong sebagai pupuk organik dapat dilihat pada Gambar
3.

Gambar 3. Konsep Alur Operasional Pemanfaatan Limbah Ternak Potong Sebagai


Pupuk Organik Untuk Meningkatkan Pendapatan Keluarga

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan pembahasan sebagai berikut:


1. Potensi bahan baku pupuk organik sangat besar namun belum dimanfaatkan
secara maksimal
2. Pemanfaatan limbah ternak harus berorientasi pasar sehingga setiap aktifitas
peternak dalam mengelola limbah mendapatkan pendapatan tambahan
pendapatan keluarga.
3. Perlunya komitmen seluruh stakeholder untuk membangun pertanian terpadu
4. Interkoneksitas setiap unit usaha tani untuk mendukung pertanian terpadu.

DAFTAR PUSTAKA

Baba, S. 2007. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Biogas di Sulawesi Selatan. Laporan
Penelitian Kerjasama LIPI dengan Yayasan Al-Basyard Maros.

Daniel, M. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. PT Bumi Aksara, Jakarta.

327
Dinas Pertanian. 2012. Laporan Rencana Depenitif Kebutuhan Kelompok Dinas Pertanian
Kabupaten Maros Tahun 2012. Dinas Pertanian Kabupaten Maros.

Dinas Perikanan, Kelautan dan Peternakan. 2012. Data Sensus Peternakan 2011, Kabupaten
Maros. Dinas Perikanan, Kelautan dan Peternakan Kabupaten Maros.

Reijntjes, C. Havekart, B. Bayer, AW. 1999. Pertanian Masa Depan Pengantar Untuk Pertanian
Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Karnisius, Yogyakarta.

Setiawan, BS. 2010. Membuat Pupuk Kandang Secara Cepat. Tim Penulis ETOSA IPB, Penebar
Swadaya, Jakarta.

Setiawan, AI. 2008. Memanfaatkan Kotoran Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta.

Susanty, I. 2009. Pengelolaan Biogas Sebagai Mesin Listrik dan Kompor Rumah Tangga. Badan
Penelitian dan Pengembangan Daerah (BALITBANGDA) Propinsi Sulawesi Selatan,
Makassar.

328

Anda mungkin juga menyukai