Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1 Salah satu ciri negara hukum adalah mengakui
dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia bukan hanya diperoleh oleh
orang dewasa namun anak-anak juga berhak untuk memperolehnya, karena Hak Asasi Manusia
merupakan hak yang secara hakiki dimiliki oleh manusia karena martabatnya sebagai manusia
yang dimilikinya sejak lahir.
Sebagaimana termuat di dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM)
menyebutkan bahwa ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan khusus.
Selain itu, juga disebutkan bahwa semua anak, baik yang dilahirkan di dalam dan/atau di luar
perkawinan, harus mendapatkan perlindungan sosial yang sama.2 Hal tersebut menunjukkan
bahwa konsep hak-hak asasi anak tidak berdiri sendiri, tetapi dikaitkan dengan hak asas ibu.
Konsep ini berlaku pula bagi pengaturan hak anak dalam Konvensi Jenewa 1949 yang sering
dijadikan satu dengan perlindungan baik dengan perempuan pada umumnya maupun ibu hamil
dan baru melahirkan.
Anak merupakan salah satu aset pembangunan nasional, patut dipertimbangkan dan
diperhitungkan dari segi kualitas dan masa depannya. Tanpa kualitas yang handal dan masa
depan yang jelas bagi anak, pembangunan nasional akan sulit dilaksanakan dan nasib bangsa
akan sulit dibayangkan.3 Anak merupakan generasi penerus bangsa, sehingga negara memiliki
kewajiban untuk memberikan perhatian dan perlindungan terhadap hak-hak anak, tak
terkecuali anak yang berkonflik dengan hukum. Tindak pidana yang dilakukan oleh seorang
anak tidak menghalanginya untuk memperoleh hak-haknya, terutama hak atas pendidikan.
Kehidupan di dalam lembaga penahanan atau penjara memberi peluang besar bagi anak
untuk belajar banyak hal, tak terkecuali pembelajaran yang negatif. Pola perilaku dan kebiasaan
yang sudah melembaga menjadi sub-kultur tersendiri. Kebiasaan tercipta dari secara perlahan-
lahan dibangun dari interaksi sesama warga binaan atau warga binaan pemasyarakatan dengan
petugas. Wujudnya ada yang negatif seperti berkata kotor, kekerasan, bulling, atau kebiasaan
yang positif seperti solidaritas, menghormati yang lebih tua.

1 Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2 Pasal 25 angka (2) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
3 Bunadi Hidayat, 2010, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, Alumni, Bandung, hal.01

1
Prisonisasi merupakan suatu proses akulturasi dan asimilasi terhadap dunia narapidana
yang di dalamnya menampakkan keberlakuan norma yang berlawanan dengan norma pada
masyarakat pada umumnya.4 Donald Clemmer, dikutip dalam buku Widodo, mengungkapkan
“Prisonozation are the taking on, in grester or lesser degree, of the folksway, mores, customs
and general culture of the penitentiary.” (Prisonisasi mungkin terjadi di Lapas khusus anak,
apalagi Lapas dewasa di mana ada anaknya di sana). Buku yang sama menguraikan pendapat
Donald Clemmer mengenai indikator prisonisasi sebagai berikut:5
1. Special Vocabulary, tampak dari adanya kata atau istilah khusus yang hanya digunakan
dalam berkomunikasi antar narapidana dan hanya dimengerti oleh mereka.
2. Special Stratification, perbedaan latar belakang kehidupan narapidana sebelum di Lapas
dan jenis tindak pidana yang dilakukan memunculkan stratifikasi sosial di Lapas.
3. Primary Group, ada kelompok utama yang anggotanya beberapa narapidana saja.
4. Leadership, adanya seorang pemimpin dalam kelompok utama yang berfungsi sebagai
mediator dalam berhubungan dengan kelompok lain yang lebih besar.
Muladi dalam buku Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, menegaskan
bahwa bentuk prisonisasi adanya stratifikasi sosial dalam Lapas, kelompok utama, serta
kepemimpinan dalam Lapas. Gejala prisonisasi lainnya adalah budaya pembuatan tato pada
kulit tubuh, pemerasan, perploncoan pada narapidana yang baru, serta kode etik yang
menekankan adanya solidaritas antar narapidana dengan merahasiakan sesuatu hal yang
dianggap melanggar aturan petugas.6
Kajian dari A Justice Policy Institute di Amerika menunjukkan penahanan terhadap remaja
memberikan dampak negatif terhadap kondisi mental, anak dalam kondisi yang sangat rentan
kekerasan, putus jenjang pendidikannya, serta peluang pekerjaan di masa depan menjadi
sempit.7 Mereka mengembangkan kerja sama antara pemerintah dan swasta berupa The
Juvenile Detention Alternatives Initiative (JDAI) di 3 (tiga) negara bagian. Tujuannya mencari
alternatif penahanan yang terbukti memberi dampak buruk pada anak.
Anak yang berada di Lapas mayoritas pada fase remaja dan dewasa awal yakni 14 (empat
belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun. Perkembangan emosional anak masih
labil dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Pengetahuan baru berupa kebiasaan-kebiasaan
di Lapas menjadi daya tarik sendiri. Kepribadiannya yang masih mudah dipengaruhi

4 Widodo, 2012, Prisonisasi Anak Nakal: Fenomena dan Penanggulangannya, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, hal.22
5 Ibid, hal.123
6 Ibid, hal.23
7 Barry Holman and Jason Ziedenberg, 2006, The Dangers of Detention: The Impact of Incarcerating Youth in

Detention and Other Secure Facilities, A Justice Policy Institue Report, Washington DC, hal.10

2
mendorong proses perkembangan prisonisasi pada komunitas anak narapidana. Penghuni baru
akan mendapatkan pengalaman perploncoan dengan kekerasan dan caci maki. Penghuni yang
lebih lama merasa lebih senior dan menimbulkan konflik tersendiri di kamar mereka. Stres
yang tinggi di dalam Lapas dan kerinduan kepada keluarga atau dunia luar mengakibatkan
perilaku agresif anak muncul. Jadi prisonisasi sebagai dampak dari penderitaan narapidana
anak yang berkepanjangan dan sebagai upaya pencarian identitas dirinya.
Fakta di Indonesia, anak yang melakukan tindak pidana atau disebut anak yang berkonflik
dengan hukum, sebagian besar mendapatkan vonis pidana penjara. Berdasarkan Sistem
Database Pemasyarakatan tercatat pada tahun 2015 yang dikategorikan sebagai anak pidana
berjumlah 2.017 (dua ribu tujuh belas) anak, pada tahun 2016 berjumlah 2.167 (dua ribu seratus
enam puluh tujuh) anak dan pada tahun 2017 berjumlah 2.820 (dua ribu delapan ratus dua
puluh) anak untuk seluruh Kanwil di Indonesia.8 Mereka memiliki kompleksitas permasalahan
sebelumnya yang datang dari lingkungan keluarga, sekolah, atau sosial. Ketika anak pertama
kali melakukan kenakalan dan mendapatkan penilaian negatif dari masyarakat, maka anak
memiliki potensi melakukan pengulangan. Respon remaja dengan jiwa petualangnya dan
proses pencarian jati diri mendorong mereka untuk memberi respon yang tak terduga. Salah
satunya, ketika mereka dilabeli anak nakal maka muncul dorongan untuk menunjukkan
perilaku sesuai dengan labelnya.
Label dapat mempengaruhi perilaku anak pada masa yang akan datang karena akan
memunculkan kenakalan baru. Teori labelling menegaskan kenakalan anak dapat muncul
karena adanya stigma nakal dari orang tua, tetangga, teman pergaulan, guru atau masyarakat
sekitar. Terdapat 3 (tiga) proporsi teori labelling terkait dengan peradilan anak yaitu:9
1. Seorang anak menjadi penjahat bukan karena melanggar peraturan perundang-undangan,
melainkan karena ia ditetapkan demikian oleh penguasa;
2. Tindakan penangkapan merupakan langkah awal dari proses labelling;
3. Labelling merupakan suatu proses yang melahirkan identifikasi dengan citra sebagai
devian dan sub-kultur serta menghasilkan rejection of the rejector.
Penjatuhan pidana penjara pada anak diharapkan lebih bijak untuk menghindarkan
perilaku yang lebih buruk pada anak. The Riyadh Guiedelines menyatakan bahwa pidana

8 http://smslap.ditjenpas.go.id/public/arl/current/monthly/year/2017/month/12, diakses pada tanggal 7 Oktober 2018

pada pukul 13.33 Wita


9 Sri Sutatiek, 2013, Rekonstruksi Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Anak di Indonesia, Aswaja Pressindo,

Yogyakarta, hal.46

3
penjara hanya dapat dijatuhkan berdasarkan pertimbangan bahwa orang tua anak tersebut tidak
dapat memberikan jaminan perlindungan, mempertimbangkan kondisi fisik dan psikis anak.10
Sistem pembinaan narapidana mulai dikenal dengan istilah pemasyarakatan sejak tahun
1964. Bermula dari ide Sahardjo mengenai perubahan tujuan pembinaan narapidana dari sistem
kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Gagasan tersebut diturunkan dalam 10 (sepuluh)
prinsip bimbingan dan pemasyarakatan sebagai berikut:11
1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan bekal hidup sebagai warga negara
yang baik dan berguna dalam masyarakat;
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara;
3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan;
4. Negara tidak berhak membuat seorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat daripada
sebelum ia masuk lembaga;
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada
masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat;
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu saja atau
hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara, pekerjaan yang diberikan
harus ditujukan untuk pembangunan negara;
7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila;
8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah
tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia penjahat;
9. Narapidana hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan; dan
10. Sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem
pemasyarakatan.
Jauh sebelum sistem pemasyarakatan muncul di Indonesia, terlebih dahulu diberlakukan
sistem kepenjaraan yang berasal dari Eropa. Belanda membawa sistem tersebut melalui
pemberlakuan Gestichten Reglement (Reglemen Penjara) Stbl. 1917 Nomor 708. Sistem
kepenjaraan, tujuan pemidanaan adalah penjeraan bagi pelaku tindak pidana. Harapan agar
tidak terjadi pengulangan tindak pidana ditampilkan melalui peraturan-peraturan yang keras
dan sering tidak manusiawi.12 Konsep tersebut berbeda dengan sistem pemasyarakatan yang
melihat tujuan pemidanaan sebagai bentuk pembinaan dan bimbingan dengan tahapan adminis
atau orientasi, tahap pembinaan, dan asimilasi.

10 Resolusi PBB No.45/112 Tahun 1990 tentang Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Rangka Pencegahan

Tindak Pidana Remaja, Pasal 46


11 Diwdja Priyatno, 2013, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hal.98
12 C.L. Harsono, 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta, hal.10

4
Dunia Internasional mengenal beberapa peraturan minimum standar bagi perlakuan
terhadap narapidana. Kongres Pertama PBB mengenai pencegahan kejahatan dan perlakuan
terhadap para pelanggar di Geneva tahun 1955. Kemudian disetujui oleh Dewan Ekonomi dan
Sosial PBB dengan Resolusi 663C (XXIV) tanggal 31 Juli tahun 1957 dan 2076 (LXII) tanggal
3 Mei 1977.13 Konvensi Internasional tersebut secara substansi telah diadopsi pemerintah
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan peraturan
pemerintah turunannya. Pada prinsip hak dasar narapidana dinyatakan secara tegas bahwa tidak
boleh ada diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, politik, budaya atau status lainnya. Serta
diharuskan ada penghormatan atas keyakinan agama atau ajaran moral yang dianut oleh
narapidana.
Istilah warga binaan pemasyarakatan dikenal dalam sistem pemasyarakatan yang
mencakup status tahanan dan narapidana. Tujuan diselenggarakan sistem pemasyarakatan
dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan (dewasa dan anak) agar menjadi
manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak
pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung
jawab.14 Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Pemasyarakatan diterbitkan 4 (empat)
tahun kemudian yakni Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan
Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan pemerintah tersebut mengatur
perihal pembinaan narapidana dilakukan melalui tahap awal, lanjutan dan tahap akhir.
Pembinaan awal dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai 1/3
(satu pertiga) masa pidana. Tahap lanjutan merupakan kelanjutan proses dari tahap awal hingga
2/3 (dua pertiga) masa pidana. Sedangkan tahap akhir dihitung semenjak tahap lanjutan hingga
selesai masa pidana dari warga binaan.
Narapidana diposisikan bukan sebagai obyek semata, namun berkedudukan sebagai
subyek layaknya manusia lainnya yang dapat melakukan kesalahan. Manusia tidak pernah
lepas dari kekhilafan dan dapat dikenai sanksi. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan
narapidana atau anak didik pemasyarakatan agar menyesali perbuatannya dan dapat kembali
menjadi warga masyarakat yang baik dan taat hukum. Pembinaan untuk anak didik
pemasyarakatan tentunya memiliki kekhasan tersendiri sesuai dengan kondisi anak. Anak didik
pemasyarakatan berhak mendapatkan bimbingan rohani dan jasmani serta dijamin hak-haknya

13 Yesmil Anwar, 2009, Saat Menuai Kejahatan: Sebuah Pendekatan Sosiokultural Kriminologi, Hukum, dan HAM,

Refika Aditama, Bandung, hal.269


14 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

5
untuk beribadah, berhubungan dengan orang tua, dan sebagainya. Anak didik pemasyarakatan
adalah anak pidana yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas anak
paling lama sampai berumur 18 (delapan) tahun. Pengertian tersebut berdasarkan Undang-
Undang Pemasyarakatan, di mana masih terdapat istilah anak sipil dan anak negara.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, yang secara resmi menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak diharapkan adanya perubahan paradigma dalam penanganan anak yang
berhadapan dengan hukum, antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat,
pemerintah, dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
meningkatkan kesejahteraan anak serta memberikan perlindungan khusus kepada anak yang
berhadapan dengan hukum.
Penempatan anak berkonflik dengan hukum dikenal dengan istilah Lembaga Penempatan
Anak Sementara (LPAS) diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Fungsi
penempatan sementara selama ini dilaksanakan oleh rutan atau Lapas setempat. LPAS menjadi
tempat penahanan anak sementara selama proses persidangan berlangsung sesuai dengan
permintaan penyidik atau penuntut umum. Anak yang berada di dalam LPAS berhak atas
pelayanan, perawatan, pendidikan dan pelatihan, pembimbingan, dan pendampingan serta hak
lainnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Selain Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak menghadirkan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) sebagai lembaga atau
tempat anak menjalani masa pidananya. LPKA dan LPAS di bawah kewenangan dari
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, keduanya menjalankan fungsi pembinaan dan
bimbingan bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Anak dapat ditempatkan di LPKA ketika
keadaan dan perbuatan anak yang bersangkutan memiliki potensi membahayakan
masyarakat.15 Keadaan yang membahayakan diukur lewat dampak perbuatan anak dan
berdasarkan rekomendasi dari penelitian pemasyarakatan (litmas) petugas BAPAS.
Adapun jumlah LPKA di Indonesia berjumlah 33 (tiga puluh tiga) yang terdiri dari 7
(tujuh) LPKA Klas I dan 26 (dua puluh enam) LPKA Klas II-B. Dari 33 (tiga puluh tiga) LPKA
tersebut, 18 (delapan belas) merupakan perubahan nomenklatur dari 18 (delapan belas) Lapas
anak yang telah ada, sementara 15 (lima belas) LPKA untuk sementara masih ditempatkan di
Lapas/rutan dewasa.16

15 Pasal 81 undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
16 http://www.validnews.co/ICJR--LEMBAGA-PEMBINAAN-KHUSUS-ANAK-MINIM--V0000297, diakses pada
tanggal 26 Maret 2018 pada pukul 20.35 wita

6
Penempatan anak di LPAS atau LPKA merupakan kewenangan dari hakim tentunya
dengan mempertimbangkan Litmas BAPAS atau rekomendasi pekerja sosial. Bilamana hakim
terpaksa memenjarakan terdakwa anak, maka secara normatif pilihan tersebut merupakan
pilihan terakhir dan semata-mata untuk kepentingan terbaik anak. Pemenjaraan anak sebagai
ultimum remidium karena di dalam penjara dapat memberikan dampak kontaminasi pada
perilaku dan psikis anak. Konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa dalam semua tindakan yang
menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial, pemerintah,
atau swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau lembaga legislatif maka kepentingan
terbaik anak harus merupakan pertimbangan utama.17
Kondisi LPKA atau LPAS yang kurang kondusif untuk tumbuh kembang anak
menghambat proses efektifitas pembinaan anak, contohnya adalah iklim yang kurang
mendukung anak untuk bersosialisasi dengan baik, pembina tidak menguasai materi psikologi
anak, pembina kurang paham kebutuhan anak, serta kurikulum pembinaan serta fasilitasnya
tidak membantu pengembangan kepribadian anak.18
Pengamatan permasalahan pembinaan anak di lembaga penahanan menjadi perhatian
berbagai pihak. Yusti Probowati menyampaikan dalam workshop Model Pengembangan
Lembaga Pemasyarakatan Anak mengenai hasil kajiannya tentang permasalahan di LPKA
sebagai berikut:19
1. Masih adanya residivis dan jumlah narapidana yang relatif stabil merupakan indikasi
sistem pembinaan selama ini belum optimal;
2. Tidak ada kriteria jelas mengenai keberhasilan dan kegagalan;
3. Jumlah petugas keamanan lebih banyak daripada jumlah petugas rehabilitasi;
4. Rasio petugas rehabilitasi tidak sebanding dengan jumlah narapidana. Hal ini
menunjukkan lebih dominannya security approach daripada rehabilitation approach;
5. Rehabilitasi yang diterapkan masih jauh dari konsep rehabilitasi yang seharusnya karena
kekurangan tenaga yang berkualitas;
6. Masih adanya kekerasan fisik sebagai salah satu cara pemberian hukuman dengan dalil
pembinaan;
7. Kurangnya prasarana sehingga menghambat proses pembinaan; dan
8. Kurang terkoordinasinya sistem pembinaan di dalam lembaga dan pembinaan di luar
lembaga.

17 Pasal 3 angka (1) Konvensi Hak Anak


18 Abintoro Prakoso, 2013, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Laksbang Grafika, Yogyakarta, hal.244
19 Fanny Tanuwijaya, 2009, Pembinaan Anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak dalam Rangka Pembinaan Anak

Pidana, Disertasi Program Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hal.8

7
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa
setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi umat manusia dan bahwa setiap orang
berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.20 Selanjutnya tercantum dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu:21
1. Setiap warga negara berhak atas pendidikan;
2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya;
3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang;
4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh
persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; dan
5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-
nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta umat manusia.
Di dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sendiri ada beberapa hal yang perlu dipahami bahwa hak atas pendidikan dimiliki oleh:
1. Setiap Orang,
Hak atas pendidikan bagi setiap orang sebagaimana tercantum di dalam Pasal 28 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk mengembangkan dan
memajukan dirinya. Artinya, proses semua orang untuk mengembangkan dan memajukan
dirinya itu harus dijamin dan dilindungi serta dihormati oleh negara. Dengan kata lain,
hak-hak tersebut sifatnya dipenuhi oleh yang memiliki hak, karena kata-kata
mengembangkan dan memajukan di sini ditujukan pada warga negara yang
melakukannya. Namun negara harus tetap melindungi dan menghormati terhadap hak
tersebut.
2. Setiap Warga Negara,
Sementara hak atas pendidikan bagi seluruh warga negara tercantum di dalam Pasal 31
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berbeda dengan sifat

20 Pasal 28C Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945


21 Pasal 31 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945

8
yang dimiliki ada hak atas pendidikan bagi setiap orang. Karena hak atas pendidikan bagi
seluruh warga negara, adalah untuk mendapatkan. Artinya, ada kewajiban pemerintah
untuk membuat warga negaranya mendapatkan pendidikan. Sehingga akhirnya pendidikan
dalam penyelenggaraannya menjadi kewajiban pemerintah.
Hak atas pendidikan bagi anak dapat juga kita lihat di dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak menjelaskan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan
minat dan bakat. Hak yang tercantum antara lain adalah hak untuk mengembangkan diri dan
memajukan dirinya, artinya bahwa proses semua anak untuk mengembangkan dan memajukan
dirinya itu harus dijamin dan dilindungi, serta dihormati oleh negara. Memberi layanan dan
kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga
negara tanpa diskriminasi, menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi
setiap warga negara yang berusia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun, memfasilitasi
satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu, menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal
jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, dan membina dan mengembangkan tenaga
kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah
daerah.
Menurut Hillary Rodham bahwa konsep dasar dari substansi hak-hak anak sebagai Hak
Asasi Manusia merupakan suatu slogan dalam proses pencapaian suatu pengertian dan
pemahaman hakiki dari hak-hak anak itu sendiri. Sebagai suatu proses, pengertian dan
pemahaman hak-hak asasi anak sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia mengalami perubahan
substantif berdasarkan evolusi dan revolusi waktu dari konsep perlindungan (protection) ke
otonomi (outonomy) dari konsep ketidakmatangan mental dan fisik (nurturance) menjadi
kematangan pribadi dalam penentuan sikap dan nasibnya sendiri (self determination), serta dari
konsep kesejahteraan (welfare) menjadi keadilan (justice).22 Perubahan ini sangat menentukan
corak pengakuan, pemenuhan, perlindungan serta penegakan hukum dari hak-hak anak di
setiap negara, demikian juga yang terjadi di Indonesia yang masih mengambil jalan tengah
diantara perubahan-perubahan tersebut.
Sebagai negara yang bersungguh-sungguh dalam menjunjung dan menghormati hak asasi
manusia, negara Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh

22 Muladi, 2015, Hak Asasi Manusia, Refika Aditama, Bandung, hal.210

9
pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat,
bakat dan tingkat kecerdasannya.23
Mendapatkan pendidikan, kesehatan dan kehidupan yang layak menjadi hak bagi seluruh
warga Indonesia, terutama bagi anak-anak usia sekolah sebagaimana tercantum dalam Undang-
Undang Perlindungan Anak yang juga telah mengatur hak-hak anak antara lain hak hidup, hak
atas nama, hak pendidikan, kesehatan dasar, beribadat menurut agamanya, berekspresi,
berpikir, bermain, berekreasi, beristirahat, bergaul dan jaminan sosial. Indonesia sebagai
negara yang berdasarkan atas hukum merupakan slogan pertama sistem pemerintahan negara
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berarti bahwa
menganut Rechstaat dan bukan Machtaat, negara hukum dan penghormatan terhadap Hak
Asasi Manusia.
Berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah sebagai
upaya sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual,
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia serta ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara. Pendidikan dilaksanakan untuk membantu
terwujudnya amanat nasional sebagai diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia mewujudkan ketertiban umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
Kondisi anak yang sedang mengalami masa pidananya di lembaga pemasyarakatan anak
tidak membuat mereka kehilangan haknya untuk mendapat pendidikan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa:
1. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu;
2. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial
berhak memperoleh pendidikan khusus;
3. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil
berhak memperoleh pendidikan layanan khusus;
4. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh
pendidikan khusus; dan

23 Pasal 60 angka (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

10
5. Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang
hayat.
Pasal ini menguraikan mengenai hak warga negara untuk memperoleh pendidikan yang
diberikan bukan hanya sekedar memberikan ketersediaan sekolah, melainkan juga penjaminan
mutu dari institusi pendidikan itu sendiri. Prinsip awalnya adalah kesamaan hak bagi seluruh
warga negara untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Namun selanjutnya terdapat
berbagai kekhususan yang menjadi hak khusus bagi kelompok-kelompok masyarakat yang
memang membutuhkan perlakuan khusus, seperti kelainan fisik, emosional, mental, intelektual
dan/atau sosial, tinggal di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang
terpencil, serta warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Termasuk
juga menjamin hak atas pendidikan bagi warga negara sepanjang hayat. Selanjutnya Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasional juga mengatur tentang:
1. Setiap warga negara yang berusia 7 (tujuh) sampai dengan 15 (lima belas) tahun wajib
mengikuti pendidikan dasar;
2. Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan
pendidikan.
Peran masyarakat dalam penyelenggaraan hak atas pendidikan diatur dalam Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasional bahwa masyarakat berhak berperan serta, dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan, serta masyarakat
berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Di sini
dapat dilihat bahwa peran masyarakat tidak saja dalam proses kebijakan dan pelaksanaan dari
hak atas pendidikan, namun juga sumber daya yang bahkan diwajibkan untuk turut serta dalam
penyelenggaraan pendidikan. Artinya ada pembagian tanggung jawab antara pemerintah dan
masyarakat.
Adapun yang mengenai peran pemerintah baik pemerintah pusat dan daerah Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasional yang menjelaskan bahwa pemerintah dan pemerintah
daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaraan
pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menunjukkan tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan. Peran yang
11
diberikan merupakan peran yang wajib, dan dilakukan melalui pengarahan, dan jaminan
penyelenggaraan termasuk dalam bentuk pendanaan. Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional menyebutkan bahwa:
1. Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah
daerah dan masyarakat;
2. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan
sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; dan
3. Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tersebut maka anak yang
ditempatkan dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) juga berhak mendapatkan
pendidikan tanpa dibeda-bedakan dan pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan
pendidikan tersebut. Ketika negara tidak mampu melaksanakan amanat undang-undang ini
maka negara seharusnya menghindarkan anak-anak pelaku tindak pidana dari penerapan
pidana penjara.
Telah dijelaskan pada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa pidana
penjara terhadap anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Sehingga
apabila anak dijatuhi pidana penjara ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak
(LPKA) maka berhak memperoleh pembinaan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan,
pendidikan dan pelatihan, serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.24 Terkait ketentuan mengenai pembinaan anak yang berkonflik dengan hukum
masih mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan
Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, dalam peraturan pemerintah tersebut
menjelaskan bahwa program pembinaan diperuntukkan bagi narapidana dan anak didik
pemasyarakatan. Sehingga dalam hal ini peraturan pemerintah tersebut masih menggabungkan
program pembinaan bagi narapidana dewasa dan anak. Kemudian pada Peraturan Pemerintah
tersebut juga menyebutkan bahwa pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian
berkaitan dengan:25
1. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2. Kesadaran berbangsa dan bernegara;

24Pasal 81 angka (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
25 Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan

12
3. Intelektual;
4. Sikap dan perilaku;
5. Kesehatan jasmani dan rohani;
6. Kesadaran hukum;
7. Reintegrasi sehat dengan masyarakat;
8. Keterampilan kerja; dan
9. Latihan kerja dan produksi.
Anak yang berkonflik dengan hukum memiliki hak-hak yang sama dengan anak pada
umumnya di luar Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Mereka juga merupakan
generasi penerus bangsa yang harus dilindungi dari perilaku non diskriminasi. Termasuk dalam
hal pemenuhan hak anak atas pendidikan sebagaimana merupakan tanggung jawab daripada
negara dan masyarakat selama berada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Hal ini
sangat penting untuk dilaksanakan mengingat untuk kepentingan kelangsungan hidup anak
yang diharapkan pada saat keluar dari penjara, mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat
sehingga mencegah anak untuk mengulangi kembali perbuatan pidana.
Baik Peraturan Pemerintah tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan maupun Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak belum mengatur
secara khusus terkait mekanisme pembinaan terhadap anak, khususnya pemenuhan hak tumbuh
kembang anak berupa segala bentuk pendidikan baik formal maupun non formal agar tercapai
standar hidup yang layak bagi anak. Maka perlu adanya konsep pembinaan yang melindungi
hak asasi anak yang berkonflik dengan hukum ditempatkan pada Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (LPKA) dalam sebuah regulasi atau aturan khusus yang mengatur pemenuhan hak atas
pendidikan dan pelatihan ketrampilan termasuk sarana prasarana dalam rangka pengembangan
pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya. Sehingga terwujud prinsip
dasar dari hak asasi anak antara lain non diskriminasi dan kepentingan yang terbaik bagi anak.

13

Anda mungkin juga menyukai