Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Edema paru adalah keadaan patologi dimana cairan intravaskuler keluar ke


ruang ekstravaskuler, jaringan interstisial dan alveoli. Pada keadaan normal cairan
intravaskuler merembes ke jaringan interstisial melalui kapiler endotelium dalam
jumlah yang sedikit sekali, kemudian cairan ini akan mengalir ke pembuluh limfe
menuju ke vena pulmonalis untuk kembali ke dalam sirkulasi. (Nendrastuti, 2010)
Pada edema paru terdapat penimbunan cairan serosa atau serosanguinosa
secara berlebihan di dalam ruang interstisial dan alveoli paru. Edema yang terjadi
akut dan luas sering disusul oleh kematian dalam waktu singkat. (Rampengan, 2014)
Di Indonesia, edema paru pertama kali terdeteksi pada tahun 1971. Sejak itu
penyakit tersebut dilaporkan di berbagai daerah sehingga sampai tahun 1980 sudah
mencakup seluruh propinsi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus
menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di
Indonesia insiden tersebar terjadi pada 1998 dengan incidence rate (IR) = 35,19 per
100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar
10,17%, namun pada tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 %
(tahun 2000), 19,24 % (tahun 2002), dan 23,87 % (tahun 2003).2,8 Edema paru
kardiogenik akut (Acute cardiogenic pulmonary edema/ACPE) se-ring terjadi, dan
berdampak merugikan dan mematikan dengan tingkat kematian 10- 20%.
(Rampengan, 2014)
Edema paru dapat terjadi karena penyakit jantung maupun penyakit di luar
jantung (edema paru kardiogenik dan non kardiogenik). Angka kematian edema paru
karena infark miokard akut mencapai 38 – 57% sedangkan karena gagal jantung
mencapai 30%. Pengetahuan dan penanganan yang tepat pada edema paru akut dapat
menyelamatkan jiwa penderita. Penanganan yang rasional harus berdasarkan
penyebab dan patofisiologi yang terjadi. (Nendrastuti, 2010)

1
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Edema paru adalah keadaan patologi dimana cairan intravaskuler keluar
ke ruang ekstravaskuler, jaringan interstisial dan alveoli. Pada keadaan normal
cairan intravaskuler merembes ke jaringan interstisial melalui kapiler
endotelium dalam jumlah yang sedikit sekali, kemudian cairan ini akan
mengalir ke pembuluh limfe menuju ke vena pulmonalis untuk kembali ke
dalam sirkulasi. (Nendrastuti, 2010)
Edema paru didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi
perpindahan cairan dari vaskular paru ke interstisial dan alveoli paru. Pada
edema paru terdapat penimbunan cairan serosa atau serosanguinosa secara
berlebihan di dalam ruang interstisial dan alveoli paru. Edema yang terjadi akut
dan luas sering disusul oleh kematian dalam waktu singkat. (Rampengan, 2014)

2.2. Etiologi dan Patogenesis


Edema paru diklasifikasikan sebagai edema paru kardiogenik dan edema
paru non-kardiogenik. Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan
tekanan hidrostatik kapiler paru yang dapat terjadi akibat perfusi berlebihan
baik dari infus darah maupun produk darah dan cairan lainnya, sedangkan
edema paru non-kardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler
paru antara lain pada pasca transplantasi paru dan reekspansi edema paru,
termasuk cedera iskemia-reperfusi-dimediasi. (Rampengan, 2014)
Edema paru timbul bila cairan yang difiltrasi oleh dinding mikrovaskuler
lebih banyak dari yang bisa dikeluarkan. Akumulasi cairan ini akan berakibat
serius pada fungsi paru oleh karena tidak mungkin terjadi pertukaran gas
apabila alveoli penuh terisi cairan. (Nendrastuti, 2010)
Dalam keadaan normal di dalam paru terjadi suatu aliran keluar yang
kontinyu dari cairan dan protein dalam pembuluh darah ke jaringan interstisial
3

dan kembali ke sistem aliran darah melalui saluran limfe. Mekanisme yang
menjaga agar jaringan interstisial tetap kering adalah (Nendrastuti, 2010):
a. Tekanan onkotik plasma lebih tinggi dari tekanan hidrostatik kapiler
paru.
b. Jaringan konektif dan barier seluler relatif tidak permeabel terhadap
protein plasma.
c. Adanya sistem limfatik yang secara ekstensif mengeluarkan cairan
dari jaringan interstisial.
Pada individu normal tekanan kapiler pulmonal (“wedge” pressure)
adalah sekitar 7 dan 12 mm Hg. Karena tekanan onkotik plasma berkisar antara
25 mm Hg, maka tekanan ini akan mendorong cairan kembali ke dalam kapiler.
Tekanan hidrostatik bekerja melewati jaringan konektif dan barier seluler, yang
dalam keadaan normal bersifat relatif tidak permeabel terhadap protein plasma.
Paru mempunyai sistem limfatik yang secara ekstensif dapat meningkatkan
aliran 5 atau 6 kali bila terjadi kelebihan air di dalam jaringan interstisial paru.
(Nendrastuti, 2010)
Edema paru akan terjadi hanya ketika tekanan kapiler paru naik ke nilai
yang melebihi tekanan osmotik koloid plasma, yaitu sekitar 28 mmHg pada
manusia. Meskipun tekanan kapiler paru harus tinggi secara abnormal untuk
perkembangan edema paru, tekanan ini mungkin tidak berkorelasi dengan
tingkat keparahan edema paru. Tingkat peningkatan cairan paru-paru pada
setiap peningkatan tekanan kapiler terkait dengan kapasitas fungsional limfatik
dan variasi dalam tekanan interstitial dan pulmonary. (Tsitskari, 2013)
Edema paru akan terjadi bila mekanisme normal untuk menjaga paru
tetap kering terganggu seperti tersebut di bawah ini (Nendrastuti, 2010):
a. Permeabilitas membran yang berubah.
b. Tekanan hidrostatik mikrovaskuler yang meningkat.
c. Tekanan peri mikrovaskuler yang menurun.
d. Tekanan osmotik / onkotik mikrovaskuler yang menurun.
e. Tekanan osmotik / onkotik peri mikrovaskuler yang meningkat.
4

f. Gangguan saluran limfe.


Pergerakan cairan fisiologis melalui membran vaskular ke jaringan di
sekitarnya tergantung pada 3 faktor, yaitu permeabilitas membran, gradien
tekanan onkotik dan gradien tekanan hidrostatik. Sebagai faktor tambahan
drainase limfatik menangkal akumulasi cairan ekstravaskular. Edema
berkembang, jika salah satu dari 4 faktor ini terganggu pada tingkat yang tidak
dapat dikompensasi. Agar edema paru berkembang, pada dasarnya selalu terjadi
peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular atau permeabilitas pembuluh
darah yang terganggu. (Glaus, 2012)

Gambar 2.1 Fisiologi Mikrovaskuler (Lorraine, 2005)


Di paru-paru normal seperti tampak pada Gambar 2.1 Panel A, cairan
bergerak terus menerus ke luar dari vaskular ke ruang interstitial sesuai dengan
perbedaan bersih antara tekanan osmotik hidrostatik dan protein, serta
permeabilitas membran kapiler. (Lorraine, 2005)
Persamaan Starling berikut untuk penyaringan cairan melintasi membran
semipermeabel menggambarkan faktor-faktor yang menentukan jumlah cairan
5

yang meninggalkan ruang vaskular: Q = K [(Pmv − Ppmv) - (πmv − πpmv)], di


mana Q adalah aliran cairan transvaskular bersih, K adalah permeabilitas
membran, Pmv adalah tekanan hidrostatik dalam pembuluh mikro, Ppmv
adalah tekanan hidrostatik dalam perimikrovaskuler interstitium, πmv adalah
tekanan osmotik protein plasma dalam sirkulasi, dan πmv adalah tekanan
osmotik protein dalam interstitium perimikrovaskular. (Lorraine, 2005)
Ketika tekanan hidrostatik meningkat dalam sirkulasi mikro, laju filtrasi
cairan transvaskular meningkat seperti tampak pada Gambar 2.1 Panel B.
Ketika tekanan interstitial paru melebihi tekanan pleura, cairan bergerak
melintasi visum al pleura, menciptakan efusi pleura. Karena permeabilitas
endotel kapiler tetap normal, cairan edema yang disaring meninggalkan
sirkulasi memiliki kandungan protein yang rendah. Penghapusan cairan edema
dari ruang udara paru-paru tergantung pada transpor aktif natrium dan klorida
melintasi penghalang epitel alveolar. Situs utama reabsorpsi natrium dan
klorida adalah saluran ion epitel yang terletak pada membran apikal sel tipe I
dan II epitel alveolar dan epitel saluran napas bagian distal. Sodium secara aktif
diekstrusi ke dalam ruang interstitial dengan menggunakan Na + / K + -ATase
yang terletak di membran basolateral sel tipe II. Air mengikuti secara pasif,
mungkin melalui aquaporin, yang merupakan saluran air yang ditemukan
terutama pada sel tipe I epitel alveolar. (Lorraine, 2005)
Edema paru nonkardiogenik seperti tampak pada Gambar 2.1 Panel C,
terjadi ketika permeabilitas membran mikrovaskular meningkat karena cedera
paru langsung atau tidak langsung (termasuk sindrom distres pernapasan akut),
yang mengakibatkan peningkatan jumlah cairan dan protein yang meninggalkan
ruang vaskular. Edema paru nonkardiogenik memiliki kandungan protein yang
tinggi karena membran mikrovaskuler yang lebih permeabel memiliki kapasitas
yang berkurang untuk membatasi pergerakan keluar molekul yang lebih besar
seperti protein plasma. Tingkat banjir alveolar tergantung pada luasnya edema
interstitial, ada atau tidak adanya cedera pada epitel alveolar, dan kapasitas
6

epitel alveolar untuk secara aktif mengeluarkan cairan edema alveolar.


(Lorraine, 2005)
Pada edema akibat cedera paru akut, cedera epitel alveolar umumnya
menyebabkan penurunan kapasitas untuk mengeluarkan cairan alveolar,
menunda resolusi edema paru. (Lorraine, 2005)

2.3. Klasifikasi
Untuk tujuan klinis, edema paru dibagi berdasarkan patofisiologi pada
edema kardiogenik dan non-kardiogenik. Diferensiasi dan diagnosis yang tepat
dibuat berdasarkan kombinasi antara temuan dan pertimbangan klinis dan
radiologis. (Glaus, 2012)

2.3.1. Edema Paru Kardiogenik


Edema paru hidrostatik biasanya kardiogenik. Penyebab disfungsi
ventrikel kiri sistolik dan diastolik yang biasa (penyakit arteri koroner,
miokarditis, kardiomiopati, hipertensi, penyakit jantung bawaan)
bertanggung jawab untuk perkembangan edema paru akut. Faktor pemicu
yang biasa adalah iskemia akut, infark miokard, irama atau konduksi
abnormalitas, tekanan darah tinggi, infeksi, penghilangan asupan obat,
penyalahgunaan makanan, stres fisik atau psikologis. (Tsitskari, 2013)
Tekanan kapiler paru normal adalah sekitar 8 mmHg. Karena efek
gravitasi, tekanan hidrostatik lebih besar dari apex ke base dan ini
menjelaskan perfusi darah yang tidak homogen ke paru-paru.
Penyimpangan dari pola yang bergantung pada gravitasi ini disebut
redistribusi vaskular. Redistribusi disebabkan oleh peningkatan tekanan
vena pulmonal dan ditunjukkan oleh perfusi yang lebih besar ke apeks
daripada ke dasar paru-paru. Jenis redistribusi ini terlihat setelah serangan
akut edema paru alveolar atau dalam situasi kronis dengan tekanan atrium
kiri tinggi seperti yang terjadi pada stenosis mitral dan gagal jantung
kongestif. (Tsitskari, 2013)
7

Pada keadaan normal terdapat keseimbangan tekanan onkotik


(osmotik) dan hidrostatik antara kapiler paru dan alveoli. Tekanan
hidrostatik yang meningkat pada gagal jantung menyebabkan edema paru,
sedangkan pada gagal ginjal terjadi retensi cairan yang menyebabkan
volume overload dan diikuti edema paru. Hipoalbuminemia pada sindrom
nefrotik atau malnutrisi menyebabkan tekanan onkotik menurun sehingga
terjadi edema paru. (Rampengan, 2014)
Pada pasien dengan gagal jantung kronis, limfatik mengalami
hipertrofi dan aliran getah bening dapat melebihi hingga dua puluh kali
angka normal. Ini menciptakan margin keselamatan untuk kompensasi
peningkatan tekanan hidrostatik dan peningkatan filtrasi. Itulah sebabnya
pasien dengan gagal jantung mungkin memiliki tekanan irisan arteri
pulmonalis hingga 45 mmHg tanpa berada di edema paru. (Nicholaos,
2003)
Pada tahap awal edema paru terdapat peningkatan kandungan cairan
di jaringan interstisial antara kapiler dan alveoli. Pada edema paru akibat
peningkatan permeabilitas kapiler paru perlu dipikirkan bahwa kaskade
inflamasi timbul beberapa jam kemudian yang berasal dari suatu fokus
kerusakan jaringan tubuh. Neutrofil yang teraktivasi akan beragregasi dan
melekat pada sel endotel yang kemudian menyebabkan pelepasan
berbagai toksin, radikal bebas, dan mediator inflamasi seperti asam
arakidonat, kinin, dan histamin. Proses kompleks ini dapat diinisiasi oleh
berbagai macam keadaan atau penyakit dengan hasil akhir kerusakan
endotel yang berakibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar.
Alveoli menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein dan
banyak mengandung neutrofil dan sel-sel inflamasi sehingga terbentuk
membran hialin. Karakteristik edema paru akibat peningkatan
permeabilitas kapiler paru ialah tidak adanya peningkatan tekanan
pulmonal (hipertensi pulmonal). (Rampengan, 2014)
Penyebab edema paru kardiogenik ialah (Rampengan, 2014):
8

a. Gagal jantung kiri, yang dapat diakibatkan oleh: infark miokard,


penyakit katup aorta dan mitral, kardiomiopati, aritmia,
hipertensi krisis, kelainan jantung bawaan (paten duktus
arteriosus, ventrikel septal defek)
b. Volume overload
c. Obstruksi mekanik aliran kiri
d. Insufisiensi limfatik, yang terjadi sebagai akibat lanjut
transplantasi paru, karsinomatosis limfangi-ektasis, atau
limfangitis fibrosis
Dalam keadaan normal di dalam paru terjadi aliran yang kontinyu
dari cairan dan protein intravaskular ke jaringan interstisial dan kembali
ke sistem aliran darah melalui saluran limfatik yang memenuhi hukum
Starling Q = K (Pc-Pt) - d (c-t). (Rampengan, 2014)
Edema paru terjadi bila cairan yang difiltrasi oleh dinding
mikrovaskuler lebih banyak daripada yang bisa dikeluarkan yang
berakibat alveoli penuh terisi cairan sehingga tidak memungkinkan
terjadinya pertukaran gas. Faktor-faktor penentu yang berperan disini
yaitu perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik dalam lumen kapiler dan
interstisial, serta permeabilitas sel endotel terhadap air, larutan, dan
molekul besar seperti protein plasma. Adanya ketidakseimbangan dari
satu atau lebih dari faktor-faktor diatas akan menimbulkan terjadinya
edema paru. (Rampengan, 2014)
Edema paru kardiogenik terjadi sekunder akibat peningkatan
tekanan hidrostatik pada kapiler paru (normal <12 mmHg). Ketika
peningkatan tekanan bertahap, tekanan mungkin melebihi 20 mmHg
sebelum edema paru terjadi, karena kapasitas drainase limfatik dapat
ditingkatkan. Agar edema paru kardiogenik berkembang, menurut definisi
harus ada gagal jantung kongestif sisi kiri yang harus ada penyakit
jantung yang mendasarinya dapat diidentifikasi. Sebagian besar penyakit
9

penting didapat, penyakit katup mitral degeneratif lanjut dan


kardiomiopati dilatasi, dan bawaan, paten ductus arteriosus. (Glaus, 2012)
Pada edema paru kardiogenik (volume overload edema) terjadinya
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru menyebabkan
peningkatan filtrasi cairan transvaskular. Bila tekanan interstisial paru
lebih besar daripada tekanan intrapleural maka cairan bergerak menuju
pleura viseral yang menyebabkan efusi pleura. Bila permeabilitas kapiler
endotel tetap normal, maka cairan edema yang meninggalkan sirkulasi
memiliki kandungan protein rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik ka-
piler paru biasanya disebabkan oleh meningkatnya tekanan di vena
pulmonalis yang terjadi akibat meningkatnya tekanan akhir diastolik
ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri (>25 mmHg). Dalam keadaan
normal tekanan kapiler paru berkisar 8-12 mmHg dan tekanan osmotik
koloid plasma 28 mmHg. Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran
setan yang terus memburuk oleh proses-proses sebagai berikut
(Rampengan, 2014):
1. Meningkatnya kongesti paru menyebabkan desaturasi dan
menurunnya pasokan oksigen miokard memperburuk fungsi
jantung.
2. Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan
vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan tekanan
ventrikel kanan yang melalui mekanisme interdependensi
ventrikel akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.
3. Insufisiensi sirkulasi menyebabkan asidosis sehingga
memperburuk fungsi jantung.
Keluarnya cairan edema dari alveoli paru tergantung pada transpor
aktif ion Na+ dan Cl- melintasi barier epitel yang terdapat pada membran
apikal sel epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran napas distal. Ion
Na+ secara aktif ditranspor keluar ke ruang insterstisial oleh kerja Na/K-
ATPase yang terletak pada membran basolateral sel tipe II. Air secara
10

pasif mengikuti, kemungkinan melalui aquaporins yang merupakan


saluran air pada sel tipe I. (Rampengan, 2014)
Edema paru kardiogenik dapat terjadi akibat dekompensasi akut
pada gagal jantung kronik maupun akibat gagal jantung akut pada infark
miokard dimana terjadinya bendungan dan peningkatan tekanan di
jantung dan paru akibat melemahnya pompa jantung. Kenaikan tekanan
hidrostatik kapiler paru menyebabkan transudasi cairan ke dalam ruang
interstisial paru, dimana tekanan hidrostatik kapiler paru lebih tinggi dari
tekanan osmotik koloid plasma. Pada tingkat kritis, ketika ruang
interstitial dan perivaskular sudah terisi, maka peningkatan tekanan
hidrostatik menyebabkan penetrasi cairan ke dalam ruang alveoli.
(Rampengan, 2014)
Terdapat tiga tingkatan fisiologi dari akumulasi cairan pada edema
paru kardiogenik (Rampengan, 2014):
a. Tingkat 1: Cairan dan koloid berpindah dari kapiler paru ke
interstisial paru tetapi terdapat peningkatan cairan yang keluar
dari aliran limfatik.
b. Tingkat 2: Kemampuan pompa sistem limfatik telah terlampaui
sehingga cairan dan koloid mulai terakumulasi pada ruang
interstisial sekitar bronkioli, arteriol, dan venula.
c. Tingkat 3: Peningkatan akumulasi cairan menyebabkan
terjadinya edema alveoli. Pada tahap ini mulai terjadi gangguan
pertukaran gas.

2.3.2. Edema Paru Non Kardiogenik


NCPE (Non-Cardiogenic Pulmonary Edema) terus mewakili
penyebab penting morbiditas dan mortalitas dengan biaya manusia dan
finansial yang besar. Karena kemiripan gambaran klinis dengan yang
terlihat dengan gangguan pernapasan neonatus, NCPE telah disebut
sebagai Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Terlepas dari
11

peningkatan besar dalam terapi suportif, angka kematian terus melebihi


50%. Diagnosis dini penting untuk penatalaksanaan sindrom ini.
(Tsitskari, 2013)
Banyak kondisi yang berhubungan dengan edema paru yang
tampaknya disebabkan oleh kerusakan difus dan peningkatan
permeabilitas membran alveolar-kapiler. (Tsitskari, 2013)
Kondisi-kondisi ini termasuk septikemia infeksi (bakterial, virus,
parasit), trauma, dan koagulasi intravaskular diseminata. Juga, syok paru-
paru sehubungan dengan trauma non-toraks, pankreatitis hemoragik akut,
inhalasi gas beracun (asap, ozon, kadmion, fosgen, klorin, nitrogen
dioksida), zat asing yang bersirkulasi (racun ular, aloksan, alfa-naftil
thiourea) dan zat vasoaktif endogen (histamin, kinin). Luka bakar,
aspirasi isi lambung, inhalasi benda asing, pneumonitis radiasi akut dan
tenggelam juga terlibat dalam perkembangan edema paru. (Tsitskari,
2013)
Berbagai mekanisme bertanggung jawab untuk terjadinya edema
non-kardiogenik, yaitu tekanan alveolar rendah, peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, peningkatan tekanan hidrostatik dan
kombinasi dari semuanya. (Glaus, 2012)
Penurunan tekanan alveolar terjadi setelah pengangkatan efusi
pleura, pneumotoraks, atau lobus paru yang cepat, yang disebut edema
ekspansi ulang. Kematian komplikasi langka ini pada orang digambarkan
sebagai 20%. (Glaus, 2012)
Penurunan tekanan alveolar juga merupakan akibat dari obstruksi
jalan nafas atas, yang disebut edema pasca obstruktif; misalnya pada
sindrom brachycephalic, paralisis laring, kolaps trakea, strangulasi, dan
iatrogenik selama intubasi dan bronkoskopi. (Glaus, 2012)
Secara patofisiologis, aktivasi sympatho-adrenergik yang
berlebihan di medula oblongata memainkan peran sentral. Hal ini
menghasilkan penyempitan vena pulmonal yang menggeser darah dari
12

sirkulasi sistemik ke sirkulasi paru, meningkatkan tekanan hidrostatik


paru dan akhirnya edema. Patogenesis tertentu dari edema paru
neurogenik adalah satu di atlit ketahanan yang disebabkan oleh edema
serebral yang ditimbulkan oleh hiponatremia. Prognosis untuk pemulihan
total dalam edema neurogenik baik dengan perawatan suportif yang
memadai. (Glaus, 2012)
Yang sangat penting bagi perkembangan edema non kardiogenik
adalah sindrom gangguan pernapasan akut (sebelumnya orang dewasa),
ARDS. Penyebab mendasar adalah kerusakan parah dan difus parenkim
paru-paru yang mengakibatkan gangguan endotel dan epitel permeabilitas
dan keluar dari cairan kaya protein. Faktor-faktor yang rumit adalah
gangguan koagulasi, gangguan perfusi dan hilangnya surfaktan. ARDS
mungkin merupakan komplikasi dari kerusakan paru-paru primer, mis.
setelah menghirup gas beracun (keracunan asap), aspirasi isi lambung,
menghirup oksigen hiperbarik (intoksikasi oksigen) atau pneumonia.
ARDS juga bisa merupakan komplikasi dari penyakit sistemik yang parah
seperti sepsis, luka bakar yang luas dan pankreatitis akut. (Glaus, 2012)
Prognosisnya bahkan dengan perawatan suportif intensif buruk.
Edema paru mirip dengan ARDS dapat ditimbulkan oleh beberapa
transfusi darah; meskipun komplikasi ini mengancam jiwa, prognosisnya
jauh lebih baik daripada ARDS. (Glaus, 2012)
Meskipun tekanan onkotik, terutama tergantung pada konsentrasi
albumin plasma, merupakan salah satu faktor penting untuk menjaga
cairan di dalam pembuluh darah, itu tidak memainkan peran penting
dalam paru-paru. Ruang interstisial paru biasanya memiliki konsentrasi
albumin yang lebih tinggi daripada jaringan interstitial lainnya dan
gradien onkotik kecil, karena permeabilitas kapiler paru lebih tinggi
daripada kapiler lain. Ketika albumin plasma turun, konsentrasi albumin
interstitial juga turun, oleh karena itu tidak secara nyata mempengaruhi
gradien onkotik. Dengan demikian, tidak biasa untuk menemukan edema
13

paru ketika hipoalbuminaemia adalah satu-satunya kelainan. (Glaus,


2012)

2.4. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis edema paru baik kardiogenik maupun non-kardiogenik
bisa serupa; oleh sebab itu sangat penting untuk menetapkan gejala yang
dominan dari kedua jenis tersebut sebagai pedoman pengobatan. Tabel 2.1
memperlihatkan perbedaan edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
(Rampengan, 2014)
Tabel 2.1. Perbedaan Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik
Edema Paru Kardiogenik Edema Paru Non-
Kardiogenik
Anamnesis Riwayat sakit jantung Ada riwayat inhalasi gas,
radiasi, trauma torak,
(kejadian kardiovaskuler)
shock sepsis, dsb.
Pemeriksaan Fisik
- Akral Dingin Hangat, nadi kuat
- Kardiomegali (S1 Galop) (+) (-)
- Tekanan vena jugular Meningkat Tidak meningkat
- Ronki Basah Kering
Penunjang
- EKG Iskemia/Infark Biasanya Normal
- CXR Distribusi perihiler, Distribusi perifer, ukuran
kardiomegali, efusi pleura jantung normal
- Enzim kardiak Dapat meningkat Biasanya normal
- PaO2/FiO2 Normal atau sedikit menurun <300
- Hipoksemia (+) Berat
- Rasio protein edema dan plasma <0.5 >0/7

Gambaran klinis edema paru yaitu dari anamnesis ditemukan adanya


sesak napas yang bersifat tiba-tiba yang dihubungkan dengan riwayat nyeri
dada dan riwayat sakit jantung. Perkembangan edema paru bisa berangsur-
14

angsur atau tiba-tiba seperti pada kasus edema paru akut. Selain itu, sputum
dalam jumlah banyak, berbusa dan berwarna merah jambu. Gejala-gejala umum
lain yang mungkin ditemukan ialah: mudah lelah, lebih cepat merasa sesak
napas dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas cepat
(takipnea), pening, atau kelemahan. Tingkat oksigenasi darah yang rendah
(hipoksia) mungkin terdeteksi pada pasien dengan edema paru. (Rampengan,
2014)
Pada auskultasi dapat didengar suara-suara paru yang abnormal, seperti
ronki atau crakles. (Rampengan, 2014)
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis,
yaitu (Rampengan, 2014):
a. Pemeriksaan foto toraks menunjukkan kardiomegali (pada pasien dengan
CHF) dan adanya edema alveolar disertai efusi pleura dan infiltrasi bilateral
dengan pola butterfly, gambaran vaskular paru dan hilus yang berkabut serta
adanya garis-garis Kerley b di interlobularis. Gambaran lain yang
berhubungan dengan penyakit jantung berupa pembesaran ventrikel kiri
sering dijumpai. Efusi pleura unilateral juga sering dijumpai dan
berhubungan dengan gagal jantung kiri.
b. EKG menunjukan gangguan pada jantung seperti pembesaran atrium kiri,
pembesaran ventrikel kiri, aritmia, miokard iskemik maupun infark.
c. Ekokardiografi dilakukan untuk mengetahui apakah ada penurunan fungsi
dari ventrikel kiri dan adanya kelainan katup-katup jantung.
d. Pemeriksaan laboratorium enzim jantung perlu dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis infark miokard. Peningkatan kadar brain natriuretic
peptide (BNP) di dalam darah sebagai respon terhadap peningkatan tekanan
di ventikel; kadar BNP >500 pg/ml dapat membantu menegakkan diagnosis
edema paru kardiogenik.
e. Analisis gas darah (AGDA) dapat memperlihatkan penurunan PO2 dan
PCO2 pada keadaan awal tetapi pada perkembangan penyakit selanjutnya
15

PO2 semakin menurun sedangkan PCO2 meningkat. Pada kasus yang berat
biasanya dijumpai hiperkapnia dan asidosis respiratorik.
f. Kadar protein cairan edema: Pengukuran rasio konsentrasi protein cairan
edema dibandingkan protein plasma dapat digunakan untuk membedakan
edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik. Bahan pemeriksaan diambil
dengan pengisapan cairan edema paru melalui pipa endotrakeal atau
bronkoskop dan pengambilan plasma. Pada edema paru kardiogenik,
konsentrasi protein cairan edema relatif rendah dibanding plasma (rasio
<0,6). Pada edema paru non-kardiogenik konsentrasi protein cairan edema
relatif lebih tinggi (rasio >0,7) karena sawar mikrovaskular berkurang.

2.5. Gambaran Foto Thorax pada Edema Paru

Gambar 2.2 Butterfly Appearance pada Edema Paru (Han, 2018)


Batwing Sign adalah salah satu manifestasi edema paru pada radiografi
dada frontal di mana kekeruhan ruang udara bilateral perihilar menyerupai
sayap penyebaran kelelawar. Meskipun hubungannya dengan edema paru sudah
diketahui, kurang dari 10% kasus edema paru menunjukkan pola ini, dan
biasanya berhubungan dengan gagal jantung onset cepat. Berbagai hipotesis
untuk patofisiologi termasuk perbedaan dalam efisiensi limfatik paru sentral
dan perifer serta efek pemompaan dari siklus pernapasan yang membantu
memompa cairan interstitial ke arah hilus. Penampilan ini juga dikenal sebagai
tanda Batwing Sign dan Butterfly Sign. Kedua tanda tersebut pada CXR
dijelaskan dalam literatur pada awal 1950-an. (Han, 2018)
16

Selain edema paru, entitas lain yang dapat bermanifestasi dengan cara ini
termasuk pneumonia, cedera inhalasi, tenggelam, proteinosis alveolar,
perdarahan paru, sarkoidosis dan jarang karsinoma bronkalveolar. (Han, 2018)

Gambar 2.3 Ilustrasi Edema Paru. (Sumber: Radiology Assisstant)

Gambar 2.4 Edema Paru Kardiogenik, dengan Kardiomegali. (Tsitskari, 2013)


Pemeriksaan foto toraks menunjukkan kardiomegali (pada pasien dengan
CHF) dan adanya edema alveolar disertai efusi pleura dan infiltrasi bilateral
dengan pola butterfly, gambaran vaskular paru dan hilus yang berkabut serta
adanya garis-garis Kerley B di interlobularis. Gambaran lain yang berhubungan
dengan penyakit jantung berupa pembesaran ventrikel kiri sering dijumpai.
Efusi pleura unilateral juga sering dijumpai dan berhubungan dengan gagal
jantung kiri. (Rampengan, 2014)
17

Gambar 2.5. Radiografi Dada Representatif dari Pasien dengan Edema Paru
Cardiogenik dan Nonkardiogenik. (Lorraine, 2005)
Pada gambar 2.5, panel kanan, menunjukkan radiografi dada
anteroposterior dari seorang pria berusia 51 tahun yang mengalami infark
miokard anterior akut dan edema paru kardiogenik akut. Perhatikan pembesaran
ruang peribronkovaskular (panah) dan garis septum yang menonjol (garis
Kerley B) (panah) serta area sinar dari peningkatan opasitas yang bergabung
menjadi konsolidasi yang nyata. Pinggirannya relatif bebas, sebuah temuan
umum pada edema kardiogenik. (Lorraine, 2005)
Selanjutnya, panel kiri dari gambar 2.5 menunjukkan radiografi dada
anteroposterior dari seorang wanita 22 tahun yang kultur darahnya positif untuk
Streptococcus pneumoniae, menyebabkan pneumonia yang diperumit oleh syok
septik dan sindrom gangguan pernapasan akut. Infiltrat alveolar difus tampak
tidak merata dan bilateral dengan bronkogram udara (panah), temuan yang
merupakan karakteristik, tetapi tidak spesifik untuk edema nonkardiogenik dan
cedera paru akut. Meskipun terlibat, lobus kiri atas relatif terhindar. Tidak ada
bukti pembengkakan pembuluh darah atau redistribusi aliran darah paru.
(Lorraine, 2005)

2.6. Penatalaksanaan
Pengetahuan tentang penyebab edema paru memiliki implikasi penting
untuk pengobatan. Pasien dengan edema paru kardiogenik biasanya diobati
dengan diuretik dan pengurangan afterload, meskipun penyebab yang
18

mendasari mungkin memerlukan pengobatan lain, termasuk revaskularisasi


koroner. Pasien dengan edema paru non-kardiogenik yang membutuhkan
ventilasi mekanis harus berventilasi dengan volume tidal rendah (6 ml per
kilogram dari perkiraan berat badan) dan tekanan jalan udara dataran tinggi
kurang dari 30 cm air. (Lorraine, 2005)
Strategi ventilasi pelindung paru ini mengurangi angka kematian pada
pasien dengan cedera paru akut. Selain itu, untuk pasien dengan sepsis berat,
protein C4 teraktivasi rekombinan dan hidrokortison dosis rendah harus
dipertimbangkan. Diagnosis segera dari penyebab edema paru akut dengan
penggunaan metode non-invasif, dilengkapi dengan kateterisasi arteri
pulmonalis ketika ada ketidakpastian diagnostik, memfasilitasi perawatan yang
tepat waktu dan tepat. (Lorraine, 2005)
Dalam edema paru kardiogenik, fokus terapi sentral adalah mengurangi
preload dengan diuresis agresif menggunakan loop diuretik. Sebaliknya,
berbagai mekanisme edema nonkardiogenik tidak dipengaruhi oleh diuresis.
Terlebih lagi, dalam berbagai penyakit, terapi cairan alih-alih diuresis untuk
mengobati penyakit yang mendasarinya diindikasikan, mis. pada sepsis,
pankreatitis dan leptospirosis. (Glaus, 2012)
Edema paru merupakan salah satu kegawatan medis yang perlu
penanganan secepat mungkin setelah ditegakkan diagnosis. Penatalaksanaan
utama meliputi pengobatan suportif yang ditujukan terutama untuk
mempertahankan fungsi paru (seperti pertukaran gas, perfusi organ), sedangkan
penyebab utama juga harus diselidiki dan diobati sesegera mungkin bila
memungkinkan. (Rampengan, 2014)
Singkatnya, penyebab kardiogenik dan non-kardiogenik bertanggung
jawab atas terjadinya edema paru. Identifikasi yang tepat dari penyebab yang
mendasarinya sangat penting untuk terapi dan prognosis. (Glaus, 2012)
Prinsip penatalaksanaan meliputi pemberian oksigen yang adekuat,
restriksi cairan, dan mempertahankan fungsi kardiovaskular. (Rampengan,
2014)
19

a. Oksigenasi
Hipoksemia umum pada edema paru merupakan ancaman utama bagi
susunan saraf pusat, baik berupa turunnya kesadaran sampai koma maupun
terjadinya syok. Oleh karena itu suplementasi oksigen merupakan terapi
intervensi yang penting untuk meningkatkan pertukaran gas dan menurunkan
kerja pernapasan, mengopti-malisasi unit fungsional paru sebanyak
mungkin, serta mengurangi overdistensi alveolar. (Rampengan, 2014)
Pada kasus ringan oksigen bisa diberikan dengan kanul hidung atau
masker muka (face mask). Continuous positive airway pressure (CPAP)
sangat membantu pada pasien edema paru kardiogenik. Masip et al.
mendapatkan bahwa penggunaan CPAP menurunkan kebutuhan akan
intubasi dan angka mortalitas. (Rampengan, 2014)

b. Obat-obatan
1. Obat-obatan yang menurunkan preload
Nitrogliserin (NTG) dapat menurunkan preload secara efektif,
cepat, dan efeknya dapat diprediksi. Pemberian NTG secara intra vena
diawali dengan dosis rendah (20μg/menit) dan kemudian dinaikkan secara
bertahap (dosis maksimal 200μg/menit). (Rampengan, 2014)
Loop diuretics (furosemide) dapat menurunkan preload melalui 2
mekanisme, yaitu: diuresis dan venodilatasi. Dosis furosemide dapat
diberikan per oral 20-40 mg/hari pada keadaan yang ringan hingga 5-40
mg/jam secara infus pada keadaan yang berat. (Rampengan, 2014)
Morfin sulfat digunakan untuk menurunkan preload dengan dosis 3
mg secara intra vena dan dapat diberikan berulang. (Rampengan, 2014)
2. Obat-obatan yang menurunkan afterload
Angiotensin-converting enzyme inhi-bitors (ACE inhibitors)
menunurunkan after load, serta memperbaiki volume sekuncup dan curah
jantung. Pemberian secara intra vena (enalapril 1,25 mg) ataupun
20

sublingual (captopril 25 mg) akan memperbaiki keluhan pasien. Pada


suatu meta analisis didapati bahwa pemberian ACE inhibitors akan
menurunkan angka mortalitas. (Rampengan, 2014)
3. Obat-obatan golongan inotropic
Obat-obatan golongan inotropik diberikan pada edema paru
kardiogenik yang mengalami hipotensi, yaitu dobutamin 2-20
μg/kg/menit atau dopamin 3-20 μg/kg/menit. (Rampengan, 2014)
21

BAB III
KESIMPULAN

Edema paru adalah keadaan patologi dimana cairan intravaskuler keluar ke


ruang ekstravaskuler, jaringan interstisial dan alveoli. Untuk tujuan klinis, edema
paru dibagi berdasarkan patofisiologi pada edema kardiogenik dan non-kardiogenik.
Diferensiasi dan diagnosis yang tepat dibuat berdasarkan kombinasi antara temuan
dan pertimbangan klinis dan radiologis.
Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik
kapiler paru yang dapat terjadi akibat perfusi berlebihan baik dari infus darah maupun
produk darah dan cairan lainnya, sedangkan edema paru non-kardiogenik disebabkan
oleh peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Manifestasi klinis edema paru baik kardiogenik maupun non-kardiogenik bisa
serupa; oleh sebab itu sangat penting untuk menetapkan gejala yang dominan dari
kedua jenis tersebut sebagai pedoman pengobatan.
Penatalaksanaan utama meliputi pengobatan suportif yang ditujukan terutama
untuk mempertahankan fungsi paru (seperti pertukaran gas, perfusi organ), sedangkan
penyebab utama juga harus diselidiki dan diobati sesegera mungkin. Pengetahuan
tentang penyebab edema paru memiliki implikasi penting untuk pengobatan.
Identifikasi yang tepat dari penyebab yang mendasarinya sangat penting untuk terapi
dan prognosis.
Prinsip penatalaksanaan meliputi pemberian oksigen yang adekuat, restriksi
cairan, dan mempertahankan fungsi kardiovaskular. Pasien dengan edema paru
kardiogenik biasanya diobati dengan diuretik, meskipun penyebab yang mendasari
mungkin memerlukan pengobatan lain. Pasien dengan edema paru non-kardiogenik
yang membutuhkan ventilasi mekanis.
22

DAFTAR PUSTAKA

1. Glaus, Tony. 2012. Non Cardiogenic Pulmonary Oedema. Zurich Open


Repository and Archive. https://doi.org/10.5167/uzh71369
2. Han, Jason, et al. 2018. Batwing or Butterfly Sign: Pulmonary Oedema. The
Royal Australian and New Zealand College of Radiologists. doi:10.1111/1754-
9485.06_12785
3. Lorraine B. Ware and Michael A. Matthay. 2005. Acute Pulmonary Edema.
The New England Journal of Medicine, 353;26. Diunduh dari www.nejm.org
4. Mulyadi. 2010. Edema Paru Non Kardiak. Jurnal Kesehatan Syiah Kuala.
Volume 10, nomor 1.
5. Nendrastuti, Hetty, dan Soetomo, Mohammad. 2010. Edema Paru Akut
Kardiogenik dan Non Kardiogenik. Majalah Kedokteran Respirasi, Volume 1,
Nomor 3.
6. Nicholaos S. Kakouros and Stavros N. Kakouros. 2003. Non Cardiogenic
Pulmonary Edema. Hellenic Journal Cardiology, 44: 385-391.
7. Rampengan, Starry H. 2014. Edema Paru Kardiogenik Akut. Jurnal
Biomedik, Volume 6, Nomor 3.
8. Tsitskari, et al. 2013. Differential Imaging of Pulmonary Oedema; Tips For
Junior Radiologist. European Society of Radiology, DOI 10.1594/ecr2013/C-
1728. www.myESR.org

Anda mungkin juga menyukai