PENDAHULUAN
1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Edema paru adalah keadaan patologi dimana cairan intravaskuler keluar
ke ruang ekstravaskuler, jaringan interstisial dan alveoli. Pada keadaan normal
cairan intravaskuler merembes ke jaringan interstisial melalui kapiler
endotelium dalam jumlah yang sedikit sekali, kemudian cairan ini akan
mengalir ke pembuluh limfe menuju ke vena pulmonalis untuk kembali ke
dalam sirkulasi. (Nendrastuti, 2010)
Edema paru didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi
perpindahan cairan dari vaskular paru ke interstisial dan alveoli paru. Pada
edema paru terdapat penimbunan cairan serosa atau serosanguinosa secara
berlebihan di dalam ruang interstisial dan alveoli paru. Edema yang terjadi akut
dan luas sering disusul oleh kematian dalam waktu singkat. (Rampengan, 2014)
dan kembali ke sistem aliran darah melalui saluran limfe. Mekanisme yang
menjaga agar jaringan interstisial tetap kering adalah (Nendrastuti, 2010):
a. Tekanan onkotik plasma lebih tinggi dari tekanan hidrostatik kapiler
paru.
b. Jaringan konektif dan barier seluler relatif tidak permeabel terhadap
protein plasma.
c. Adanya sistem limfatik yang secara ekstensif mengeluarkan cairan
dari jaringan interstisial.
Pada individu normal tekanan kapiler pulmonal (“wedge” pressure)
adalah sekitar 7 dan 12 mm Hg. Karena tekanan onkotik plasma berkisar antara
25 mm Hg, maka tekanan ini akan mendorong cairan kembali ke dalam kapiler.
Tekanan hidrostatik bekerja melewati jaringan konektif dan barier seluler, yang
dalam keadaan normal bersifat relatif tidak permeabel terhadap protein plasma.
Paru mempunyai sistem limfatik yang secara ekstensif dapat meningkatkan
aliran 5 atau 6 kali bila terjadi kelebihan air di dalam jaringan interstisial paru.
(Nendrastuti, 2010)
Edema paru akan terjadi hanya ketika tekanan kapiler paru naik ke nilai
yang melebihi tekanan osmotik koloid plasma, yaitu sekitar 28 mmHg pada
manusia. Meskipun tekanan kapiler paru harus tinggi secara abnormal untuk
perkembangan edema paru, tekanan ini mungkin tidak berkorelasi dengan
tingkat keparahan edema paru. Tingkat peningkatan cairan paru-paru pada
setiap peningkatan tekanan kapiler terkait dengan kapasitas fungsional limfatik
dan variasi dalam tekanan interstitial dan pulmonary. (Tsitskari, 2013)
Edema paru akan terjadi bila mekanisme normal untuk menjaga paru
tetap kering terganggu seperti tersebut di bawah ini (Nendrastuti, 2010):
a. Permeabilitas membran yang berubah.
b. Tekanan hidrostatik mikrovaskuler yang meningkat.
c. Tekanan peri mikrovaskuler yang menurun.
d. Tekanan osmotik / onkotik mikrovaskuler yang menurun.
e. Tekanan osmotik / onkotik peri mikrovaskuler yang meningkat.
4
2.3. Klasifikasi
Untuk tujuan klinis, edema paru dibagi berdasarkan patofisiologi pada
edema kardiogenik dan non-kardiogenik. Diferensiasi dan diagnosis yang tepat
dibuat berdasarkan kombinasi antara temuan dan pertimbangan klinis dan
radiologis. (Glaus, 2012)
angsur atau tiba-tiba seperti pada kasus edema paru akut. Selain itu, sputum
dalam jumlah banyak, berbusa dan berwarna merah jambu. Gejala-gejala umum
lain yang mungkin ditemukan ialah: mudah lelah, lebih cepat merasa sesak
napas dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas cepat
(takipnea), pening, atau kelemahan. Tingkat oksigenasi darah yang rendah
(hipoksia) mungkin terdeteksi pada pasien dengan edema paru. (Rampengan,
2014)
Pada auskultasi dapat didengar suara-suara paru yang abnormal, seperti
ronki atau crakles. (Rampengan, 2014)
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis,
yaitu (Rampengan, 2014):
a. Pemeriksaan foto toraks menunjukkan kardiomegali (pada pasien dengan
CHF) dan adanya edema alveolar disertai efusi pleura dan infiltrasi bilateral
dengan pola butterfly, gambaran vaskular paru dan hilus yang berkabut serta
adanya garis-garis Kerley b di interlobularis. Gambaran lain yang
berhubungan dengan penyakit jantung berupa pembesaran ventrikel kiri
sering dijumpai. Efusi pleura unilateral juga sering dijumpai dan
berhubungan dengan gagal jantung kiri.
b. EKG menunjukan gangguan pada jantung seperti pembesaran atrium kiri,
pembesaran ventrikel kiri, aritmia, miokard iskemik maupun infark.
c. Ekokardiografi dilakukan untuk mengetahui apakah ada penurunan fungsi
dari ventrikel kiri dan adanya kelainan katup-katup jantung.
d. Pemeriksaan laboratorium enzim jantung perlu dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis infark miokard. Peningkatan kadar brain natriuretic
peptide (BNP) di dalam darah sebagai respon terhadap peningkatan tekanan
di ventikel; kadar BNP >500 pg/ml dapat membantu menegakkan diagnosis
edema paru kardiogenik.
e. Analisis gas darah (AGDA) dapat memperlihatkan penurunan PO2 dan
PCO2 pada keadaan awal tetapi pada perkembangan penyakit selanjutnya
15
PO2 semakin menurun sedangkan PCO2 meningkat. Pada kasus yang berat
biasanya dijumpai hiperkapnia dan asidosis respiratorik.
f. Kadar protein cairan edema: Pengukuran rasio konsentrasi protein cairan
edema dibandingkan protein plasma dapat digunakan untuk membedakan
edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik. Bahan pemeriksaan diambil
dengan pengisapan cairan edema paru melalui pipa endotrakeal atau
bronkoskop dan pengambilan plasma. Pada edema paru kardiogenik,
konsentrasi protein cairan edema relatif rendah dibanding plasma (rasio
<0,6). Pada edema paru non-kardiogenik konsentrasi protein cairan edema
relatif lebih tinggi (rasio >0,7) karena sawar mikrovaskular berkurang.
Selain edema paru, entitas lain yang dapat bermanifestasi dengan cara ini
termasuk pneumonia, cedera inhalasi, tenggelam, proteinosis alveolar,
perdarahan paru, sarkoidosis dan jarang karsinoma bronkalveolar. (Han, 2018)
Gambar 2.5. Radiografi Dada Representatif dari Pasien dengan Edema Paru
Cardiogenik dan Nonkardiogenik. (Lorraine, 2005)
Pada gambar 2.5, panel kanan, menunjukkan radiografi dada
anteroposterior dari seorang pria berusia 51 tahun yang mengalami infark
miokard anterior akut dan edema paru kardiogenik akut. Perhatikan pembesaran
ruang peribronkovaskular (panah) dan garis septum yang menonjol (garis
Kerley B) (panah) serta area sinar dari peningkatan opasitas yang bergabung
menjadi konsolidasi yang nyata. Pinggirannya relatif bebas, sebuah temuan
umum pada edema kardiogenik. (Lorraine, 2005)
Selanjutnya, panel kiri dari gambar 2.5 menunjukkan radiografi dada
anteroposterior dari seorang wanita 22 tahun yang kultur darahnya positif untuk
Streptococcus pneumoniae, menyebabkan pneumonia yang diperumit oleh syok
septik dan sindrom gangguan pernapasan akut. Infiltrat alveolar difus tampak
tidak merata dan bilateral dengan bronkogram udara (panah), temuan yang
merupakan karakteristik, tetapi tidak spesifik untuk edema nonkardiogenik dan
cedera paru akut. Meskipun terlibat, lobus kiri atas relatif terhindar. Tidak ada
bukti pembengkakan pembuluh darah atau redistribusi aliran darah paru.
(Lorraine, 2005)
2.6. Penatalaksanaan
Pengetahuan tentang penyebab edema paru memiliki implikasi penting
untuk pengobatan. Pasien dengan edema paru kardiogenik biasanya diobati
dengan diuretik dan pengurangan afterload, meskipun penyebab yang
18
a. Oksigenasi
Hipoksemia umum pada edema paru merupakan ancaman utama bagi
susunan saraf pusat, baik berupa turunnya kesadaran sampai koma maupun
terjadinya syok. Oleh karena itu suplementasi oksigen merupakan terapi
intervensi yang penting untuk meningkatkan pertukaran gas dan menurunkan
kerja pernapasan, mengopti-malisasi unit fungsional paru sebanyak
mungkin, serta mengurangi overdistensi alveolar. (Rampengan, 2014)
Pada kasus ringan oksigen bisa diberikan dengan kanul hidung atau
masker muka (face mask). Continuous positive airway pressure (CPAP)
sangat membantu pada pasien edema paru kardiogenik. Masip et al.
mendapatkan bahwa penggunaan CPAP menurunkan kebutuhan akan
intubasi dan angka mortalitas. (Rampengan, 2014)
b. Obat-obatan
1. Obat-obatan yang menurunkan preload
Nitrogliserin (NTG) dapat menurunkan preload secara efektif,
cepat, dan efeknya dapat diprediksi. Pemberian NTG secara intra vena
diawali dengan dosis rendah (20μg/menit) dan kemudian dinaikkan secara
bertahap (dosis maksimal 200μg/menit). (Rampengan, 2014)
Loop diuretics (furosemide) dapat menurunkan preload melalui 2
mekanisme, yaitu: diuresis dan venodilatasi. Dosis furosemide dapat
diberikan per oral 20-40 mg/hari pada keadaan yang ringan hingga 5-40
mg/jam secara infus pada keadaan yang berat. (Rampengan, 2014)
Morfin sulfat digunakan untuk menurunkan preload dengan dosis 3
mg secara intra vena dan dapat diberikan berulang. (Rampengan, 2014)
2. Obat-obatan yang menurunkan afterload
Angiotensin-converting enzyme inhi-bitors (ACE inhibitors)
menunurunkan after load, serta memperbaiki volume sekuncup dan curah
jantung. Pemberian secara intra vena (enalapril 1,25 mg) ataupun
20
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA