ROSASEA
ROSASEA
Oleh:
Asa Shafira Ananda, S.Ked (G1A217092)
Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunia yang telah dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
dengan judul “Rosasea : Epidemiologi, Patogenesis, dan Tatalaksana”.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada
dr. Dewi Lastia Sari, Sp. DV selaku pembimbing yang telah banyak membantu dalam
penyelesaian laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan kasus ini masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca.
Penulis
ROSASEA : EPIDEMIOLOGI, PATOGENESIS, DAN TATALAKSANA
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Rosasea (L. rosaceus, rosy) adalah penyakit umum kronis kulit yang
menjangkit sekitar 10% dari total populasi. Gejala klinis beragam kombinasi dan
keparahan, terkadang muncul diantara episeode eksaserbasi dan remisi.
Berdasarkan karakteristik morfologis, rosasea diklasifikasikan menjadi empat
subtype mayor, eritematotelengiektasis, papulopustular, phymatous, dan ocular.
Rosasea eritematotelengiektasis dikarakteristikan dengan eritem fasial temporer,
bersamaan dengan eritem sentrifasial persisten, dan dengan gejala telengiektasis pada
pasien. Definisi klinis menjadi tantangan karena temuan klinis tumpang tindih pada
kerusakanaktinisma dalam individu dengan kulit putih (dermatoheliosis). Rosasea
papulopustular memiliki intensitas beragam dari eritem sentral facial, sejumlah
eritema papul dan pustule kecil. Rosasea phymatous (Gr. Phyma, growth) lebih sering
terjadi di hidung (rhinophyma) dengan temua klinis berupa manifestasi jaringan
hipertropi penebalan kulit dan hyperplasia glandula sebasea. Gejala dari rosasea
ocular terdiri dari keluhan non spesifik seperti kering, sensasi seperti pasir, gatal, dan
kering, timbulnya hordeolum. Rosasea ocular yang lebih aktif akan menimbulkan
blefaritis, terjadang dengan injeksi konjungtiva, telengiektasia margin kelopak mata,
pembentukan chalazion dan hordeolum.
Pada praktek sehari-hari, pasien terkadang memiliki lebih dari satu subtype
roasea dan dengan complain beragam dari peningkatan sensitivitas kulit dengan
gejala sensasi terbakar, tersengat, dan gatal. Manifestasi klinis yang beragam
akhirnya menjadikan patofisiologi rosasea sulit dipahami. Stimulus lingkungan yang
beragam dan factor endogen merangsang respon imun bawaan (innate) dan sinyal
neurovakular abnormal. Kelanjutan dari mediator yang bervariasi ini menyusum efek
vascular dan inflamasi yang mencirikan penyakit. Disini, kami menelaah pengetahuan
umum tentang epidemiologi, patofisiologi, dan tatalaksana dari rosasea dengan
menekankan dari literature terbaru.
Epidemiologi
Ras kaukasia dengan kulit sensitive matahari (kulit dengan fototipe I dan II)
memiliki resiko lebih tinggi terhadap rosasea. Tidak diketahui faktor seperti
kemerahan pada seluruh muka dengan banyak pigmen kulit, efek proteksi dari
melanin dengan radiasi ultraviolet (factor eksaserbasi untuk rosasea), atau perbedaan
genetic dalam kerentanan rosasea dengan diagnosis penyakit ini pada individu
berkulit gelap. Estimasi dari prevalensi rosasea dalam populasi berkulit putih sekitar
2%-22%. Penelitian prospektif terbaru dari Jerman melaporkan prevalensi rosasea
secara keseluruhan 12% dengan subtype eritematotelengiektasis (9%) dan
papulopustular (3%). Rasio prevalensi keterlibatan ocular pada pasien dengan rosasea
<10% - >50%. Rosasea cutaneous memiliki factor predominan perempuan, dengan
pengecualian rosasea phymatous, dan biasanya didiagnosis pada umur >30 tahun.
Penyakit Terkait
Rosasea dipertimbangkan sebagai penyakit kulit, namun beberapa bukti
menunjukkan hubungan antara rosasea dengan komorbiditas sistemik.
Studi case control terbaru (n = 130) menunjukkan bahwa pasien dengan
rosasea secara signifikan memiliki alergi (udara ataupun makanan), penyakit
respirasi, penyakit gastrointestinal, hipertensi, penyakit metaboli, penyakit urogenital,
dan ketidakseimbangan hormone pada wanita dengan umur, kelamin, dan ras sesuai
control subjek tanpa rosasea. Rosasea sedang hingga berat memiliki hubungan
dengan hiperlipidemia, hipertensi, metabolic, cardiovascular, dan penyakit
gastrointestinal. Penelitian cohort berdasarkan population based mengkonfirmasi
temuan ini dan melaporkan asosiasi lebih lanjut dari rosasea dan diabetes mellitus
tipe 1, penyakit celiac, sclerosis multiple, rheumatoid arthritis, penyakit Parkinson,
dan migraine. Dengan tambahan dari komorbiditas fisik, roassea memiliki hubungan
dengan tingkat keparahan penuakit, meningkatkan resiko dari gangguan depresi dan
ansietas. Karena itu menaksir dari factor resiko kardiocaskular, gastrointestinal, dan
morbiditas psikiatri pada pasien dengan rosasea harus bijaksana terutama dengan
tingkat keparahan yang lebih berat.
Dampak Psikososial
Rosasea lebih sering terjadi pada wajah sehingga dapat menganggu dari
penampilan fisik pasien. Dalam survey yang dilakukan oleh National Rosacea
Society dengan lebih dari 400 peserta, sekitar 75% pasien rosasea memiliki
kepercayaan diri yang rendah, 70% merasa malu, dan 69% merasa frustasi. Pada
pasien dengan gejala berat 88% mengeluhkan bahwa penyakit ini mempengaruhi
interaksi professional mereka, dan 51% sering tidak masuk kerja karena kondisi yang
dialami. Sebagai tambahan 41% mengalami ansietas dan 25% mengalami depresi,
bergantung kepada kosmetik, sensasi nyeri dan terbakar, serta penurunan kualitas
hidup.
Rosasea Genetik
Telah diteliti bahwa idnividu dengan riwayat penyakit keluarga memiliki
rosasea akan lebih memungkinkan untuk mengidap rosasea. Studi yang dilakukan
terhadap pasien kembar menunjukkan 46% memiliki kontribusi genetic, dimana
sesuai dengan studi cross sectional dengan hasil riwayat penyakit keluarga dengan
rsasea pada 50% pasien. Akhir-akhir ini, studi hubungan genom mengidentifikasi tiga
alel antigen leukosit manusia (Human Leucocyte Antigen/HLA) dan dua polimorfism
rantai tunggal nukleotida (Single-Nucleotide Polymorphisms/SNP) memiliki
hubungan dengan rosasea. Menariknya, rosasea pada gen HLA memiliki hubungan
dengan penyakit autoimun termasuk Diabetes Mellitus tipe I dan penyakit celiac.
Penelitian terbaru membantu dalam hipotesa dari komponen genetic rosasea, namun
penelitian kedepan dibutuhkan untuk menginvestigasi dari factor genetic spesifik
yang memiliki hubungan dengan resiko rosasea, dan untuk mengindentifikasi
hubungan mekanik antara variasi fen dan fenotip rosasea.
Meskipun sodium sulfaceamid 10% dengan atau tanpa sulphur 5%, formula
(cleanser, krim, gel, losion) telah lama digunakan untuk mengkontrol rosasea
papulopustular, tidak disetujui oleh FDA karena kurangnya keabsahan data. Terapi
topical lain yang digunakan dalam menangani rosasea seperti makrolid dan analog
makrolid, permetrin, retinoid, inhibitor calcineurin topical, dan lain-lain, biasanya
hanya berupa bukti anekdot. Terapi non FDA dapat membantu pada spesifik pasien
berdasarkan dari penilaian dokter.
Terapi Sistemik
Meskipun luasnya penggunaan dari tetrasiklin oral dan doksisiklin dalam
variasi dosis regimen untuk tatalaksana rosasea, agen oral yang hanya di setujui oleh
FDA untuk mengobati lesi inflamasi rosasea adalah dengan modified-release
doksisiklin (40mg sekali sehari), yang disetujui tahun 2006. Dosis ini menyediakan
anti inflamasi tanpa efek antimikroba, dalam studi microbiologis in
vivomendemonstrasikan tidak adanya efek jangka panjang dalam flora bakteri pada
mulut, kulit, traktus intestinal, dan vagina. Berdasarkan dari bukti terbaru, tetrasiklin
oral (bukti kualitas sedang) dan doksisiklin (bukti kualitas tinggi) dimana keduanya
berhubungan dengan perbaikan pada rosasea papulopustular dibandingkan dengan
placebo. Tidak ada perbedaan dalam efektifnya obat antara 100mg dan 40 mg
doksisiklin, namun terdapat bukti dalam efek merugikan (adverse effect) dalam dosis
rendah. Sebagai catatan, tetrasiklin oral dibandingkan dengan metronidazole topical
tidak memiliki perbedaan yang signifikan diantara kedua pengobatan. Pada pasien
dengan rosasea inflamasi yang tidak dapat menggunakan tetrasiklin, azitromicin oral
dapat menjadi alternative, meskipun data meliputi keamanan dan ke efektifan masih
sedikit.
Pada kasus yang persisten atau berat dari rosasea papulopustular dan
phymatous awal, isotretinoin dosis rendah (0,3 mg/kg perhari) menunjukkan
perbaikan pada rosasea papulopustular dibandingkan dengan doksisiklin 50-100 mg.
Namun, relaps setelah pengobatan berhenti sering terjadi, tidak seperti tretinoin pada
acne vulgaris.
Rosasea Ocular
Pasien dengan rosasea sedang terkadang mengeluhkan adanya pasir ada mata,
dan dapat ditatalaksana dengan higenitas kelopak dan pemberian lubrikasi tetes mata.
Pasien dengan rosasea ocular berat yang mengeluhkan sensasi terbakar dan sengatan
pada mata, atau terbentuknya hordeolum atau chalazion, biasanya membutuhkan
antibiotic topical atau sistemik, atau siklosporin.
Topical siklosporin 0,05% emulsi oftalmik menunjukkan manfaat daripada air
mata buatan pada pengobatan rosasea ocular. Dalam rosasea ocular yang berat harus
dirujuk kepada spesialis mata.
Modalitas Fisik
- Telangiektasia
Penurunan dari telengiektasia tidak dapat diharapkan pada agen topikal untuk
rosasea. Namun, penggunaan ini mempengaruhi psikologis pasien dan
menyebabkan dampak pada kualitas hidup.
Kerusakan dari dilatasi pembuluh darah dengan laser atau cahaya intense
menjadi terapi utama untuk mengurangi telangiectasia. Energy cahaya
diabsopsi oleh haemoglobin di pembuluh kutaneus, sehingga pembuluh
menjadi panas dan terjadi koagulasi. Tatalaksana yang sering dilakukan pada
pasien rosasea eritem dan telangiectasia adalah dengan pulsed dye lase dan
intense pulse light. Berdasarkan dari tinjauan sistematis Cochrane terbaru,
terapi ini menunjukkan perbaikan dari eritema dan telangiectasia tanpa adanya
perubahan antara pengobatan.
- Rosasea phymatous
Rinophyma dapat bereaksi dengan tatalaksana sistemik pada penggunaan
isotretinoin. Isotretinoin ini mengecilkan glandula sebasea, namun remisi
jangka panjang tidak terjadi ketika isotretinoin tidak dilanjutkan. Penyakit
yang lebih parah diikuti dengan deformitas berespon terhadap eksisi bedah,
elektrosurgery, dan terapi laser CO2. Namun, trial randomized-control untuk
tatalaksana phymatous rosasea masih sedikit.
Kesimpulan
Rosasea merupakan penyakit inflamasi kulit dengan karakteristik disfungsi
imun dan disregulasi neurovascular. Secara rasional memilih diantara intervensi
potensial, dokter dapat membantu pasien dalam mengurangi gejala rosasea, namun
tidak ada pengobatan yang kuratif.
Adanya peningkatan jumlah penelitian yang menunjukkan hubungan antara
rosasea dengan penyakit sistemik, namun hubungan patofisiologi masih belum
diketahui. Kemungkinan hubungan ini termasuk dalam mekanisme yang mendasari
kondisi inflamasi seperti inflamasi sitokin, dan metaboli, imun , dan perubahan
endokrin. Hubungan antara rosasea dan penyakit intestinal, respirasi, reproduksi,
urinary, dan kulit meningkatkan kecurigaan bahwa beberapa bentuk dari disbiosis
berkontribusi dalam perkembangan rosasea. Riset lebih lanjut dibutuhkan untuk
menginvestigasi bagaimana perubahan keadaan jaringan pada pasien dengan rosasea.