Anda di halaman 1dari 29

PANDUAN

ASESMEN GAWAT DARURAT


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmad dan Hidayahnya kepada kita
semua, sholawat serta salam kita curahkan kepada Nabi Junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Penyusunan asesmen gawat darurat ini disusun berdasarkan kebutuhan dan kondisi pasien.
Sehingga pasien dengan kondisi Gawat Darurat dilakukan asesmen Gawat Darurat. Assesmen
Gawat Darurat ini dilakukan oleh dokter yang kompeten sesuai perizinan undang-undang dan
peraturan yang berlaku.
Assesmen gawat darurat ini disusun untuk menseragamkan proses asesmen gawat darurat di RS.
Muhammadiyah Lamongan, dan diharapkan dengan adanya Panduan Asesmen Gawat Darurat
dapat mempermudah staf medis untuk memberikan asesmen Gawat Darurat sesuai dengan
Panduan Asesmen Gawat Darurat yang telah disusun.
Demikian penyusunan panduan asesmen Gawat Darurat semoga bisa bermanfaat sebagai
panduan di RS. Muhammadiyah Lamongan.

Wassalamua’laikum Wr. Wb

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar 2
BAB I DEFINISI 4
A. Definisi 4
BAB II RUANG LINGKUP 6
BAB III TATALAKSANA 7
A. Persiapan Pasien 7
B. Triase 8
C. Primary Survey 9
D. Resusitasi 13
E. Tambahan Primary Survey 16
F. Re-evaluasi Pasien 18
G. Secondary Survey 18
H. Tambahan pada Secondary Survey 23
I. Re-evaluasi Penderita 24
J. Penanganan Definitif 24
BAB IV DOKUMENTASI 25
Kepustakaan 26
Lampiran 27

3
BAB I
DEFINISI

 Asesmen pasien terdiri atas 3 proses utama :

1. Mengumpulkan informasi dan data : dari anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


penunjang/pemeriksaan yang lain.
2. Melakukan analisis informasi dan data sehingga menghasilkan suatu diagnosa untuk
mengidentifikasi kebutuhan pelayanan kesehatan pasien.
3. Membuat rencana pelayanan untuk memenuhi semua kebutuhan pasien yang telah
diidentifikasi.

 Asesmen gawat darurat ini disusun berdasarkan kebutuhan dan kondisi pasien. Jadi pasien
dengan kondisi gawat darurat dilakukan asesmen gawat darurat.

 Asesmen pasien terdiri dari :

1. Asesmen awal
- Asesmen yang dilakukan pada awal ketika pasien datang ke rumah sakit.
- Tujuan dilakukannya asesmen awal adalah :
a. Memahami pelayanan apa yang dicari pasien
b. Memilih jenis pelayanan yang terbaik bagi pasien.
c. Menetapkan diagnosis awal.
d. Memahami respon pasien terhadap pengobatan sebelumnya.

2. Asesmen ulang
- Asesmen yang dilakukan pada pasien selama proses pelayanan pada interval tertentu
berdasarkan kebutuhan dan rencana pelayanan atau sesuai kebijakan dan prosedur
rumah sakit.
- Asesmen ulang merupakan kunci untuk memahami apakah keputusan pelayanan
sudah tepat dan efektif.

4
 Asesmen gawat darurat ini dilakukan oleh dokter yang kompeten sesuai perizinan, undang-
undang dan peraturan yang berlaku.

5
BAB II
RUANG LINGKUP

Asesmen Gawat Darurat dilakukan pada pasien dengan kondisi gawat darurat di Instalasi
Gawat Darurat RS. Muhammadiyah Lamongan.

6
BAB III
TATA LAKSANA

Pengelolaan pasien yang terluka parah memerlukan penilaian yang cepat dan pengelolaan yang
tepat guna menghindari kematian. Pada pasien trauma, waktu sangat penting, karena itu
diperlukan adanya suatu cara yang mudah diingat dan dilaksanakan. Proses ini dikenal sebagai
Initial assessment (penilaian awal) dan meliputi :
 Persiapan
 Triage
 Primary survey (ABCDE)
 Resusitasi
 Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi
 Pertimbangkan kemungkinan rujukan
 Secondary survey, (pemeriksaan head to toe dan anamnesis)
 Tambahan terhadap secondary survey
 Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan
 Penanganan definitif

Baik primary survey maupun secondary survey dilakukan berulang-kali agar dapat mengenali
penurunan keadaan pasien, dan memberikan terapi bila diperlukan. Urutan kejadian di atas
diterapkan seolah-olah berurutan (sekuensial), namun dalam praktek sehari-hari dapat
berlangsung bersama-sama (simultan). Penerapan secara berurutan ini merupakan suatu cara atau
sistem bagi dokter untuk menilai perkembangan keadaan pasien.

PERSIAPAN PASIEN
Persiapan pasien sebaiknya berlangsung dalam 2 fase yang berbeda, yaitu :
1. Fase pertama adalah fase pra rumah sakit (pre-hospital).
 Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan petugas lapangan.
 Rumah sakit sudah diberitahukan sebelum pasien mulai diangkut dari tempat kejadian.

7
 Pada fase pra rumah sakit titik berat diberikan pada penjagaan airway, kontrol perdarahan
dan syok, imobilisasi pasien dan segera ke rumah sakit terdekat yang cocok, sebaiknya ke
suatu pusat trauma yang diakui.
 Waktu di tempat kejadian (scene time) yang lama harus dihindari. Yang penting adalah
mengumpulkan keterangan yang nanti dibutuhkan di rumah sakit seperti waktu kejadian,
sebab kejadian,dan riwayat pasien. Mekanisme kejadian dapat menerangkan jenis dan
berat perlukaan.

2. Fase kedua adalah fase rumah sakit (hospital) dimana dilakukan persiapan untuk menerima
pasiery sehingga dapat dilakukan resusitasi dalam waktu cepat.
 Harus dilakukan perencanaan sebelum pasien tiba.
 Dipersiapkan ruangan resusitasi.
 Persiapan perlengkapan airway (laringoskop, endotracheal tube dsb), dicoba, dan
diletakkan di tempat yang mudah terjangkau.
 Persiapan obat dan alkes emergensi dan diletakkan di tempat yang mudah dicapai.
 Perlengkapan monitoring yang diperlukan sudah dipersiapkan.
 Dipersiapkan formulir rujukan ke pusat trauma.
 Pemakaian alat pelindung diri seperti masker (face mask), proteksi mata (kaca mata),
baju kedap air, sepatu dan sarung tangan kedap air, bila ada kontak dengan cairan tubuh
pasien.

TRIASE
 Triase adalah cara pemilahan pasien berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang
tersedia.
 Terapi didasarkan pada prioritas ABC (Airway dengan kontrol vertebra servikal), Breathing,
dan Circulation dengan kontrol perdarahan.
 Triase juga berlaku untuk pemilahan pasien di lapangan dan rumah sakit yang akan di rujuk.

8
PRIMARY SURVEY

Pada primary survey dilakukan penilaian :


1. A = Airway adalah mempertahankan jalan napas dengan teknik manual atau menggunakan
alat bantu. Tindakan ini mungkin akan banyak memanipulasi leher sehingga harus
diperhatikan untuk menjaga stabilitas tulang leher (cervical spine control).
2. B = Breathing adalah menjaga pernafasan/ventilasi dapat berlangsung dengan baik.
3. C = Circulation adalah mempertahankan sirkulasi bersama dengan tindakan untuk
menghentikan perdarahan (hemorrhage control).
4. D = Disability adalah pemeriksaan untuk mendapatkan kemungkinan adanya gangguan
neurologis.
5. E = Exposure/environmental control adalah pemeriksaan pada seluruh tubuh penderita untuk
melihat jejas atau tanda-tanda kegawatan yang mungkin tidak terlihat dengan menjaga
supaya tidak terjadi hipotermi.

 Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali, dan resusitasinva
dilakukan pada saat itu juga.
 Prioritas penanganan untuk pasien usia muda maupun usia lanjut adalah sama. Salah satu
perbedaannya adalah bahwa pada usia muda ukuran organ relatif lebih kecil, dan fungsinya
belum berkembang secara maksimal.
 Pada ibu hamil prioritas tetap sama, hanya saja proses kehamilan membuat proses fisiologis
berubah karena adanya janin.
 Pada orang tua, Karena proses penuaan fungsi tubuh menjadi lebih rentan terhadap trauma
karena berkurangnya daya adaptasi tubuh.

1. Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical spine control)


Step 1 : Penilaian
a. Mengenal patensi airway.
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas.
b. Penilaian cepat akan adanya obstruksi
Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda
asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea.

9
Step 2 : Pengelolaan - mengusahakan airway
a. Melakukan chin lift atau jaw thrust
b. Membersihkan airway dari benda asing
c. Memasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
d. Memasang airway definitif
1) Intubasi oro- atau naso-trakeal
2) Krikotiroidotomi dengan pembedahan
e. Melakukan jet insuffIation dari airway dan mengetahui bahwa tindakan ini bersifat
sementara.

Step 3 : Menjaga leher dalam posisi netral, bila perlu secara manual, bila melakukan tindakan
untuk membebaskan airway.

Step 4 : Fiksasi leher dengan berbagai cara, setelah memasang airway.

Ingat : Anggaplah ada fraktur servikal pada setiap pasien multi-trauma, terlebih bila ada
gangguan kesadaran atau perlukaan di atas klavikula.
Harus dilakukan segala usaha untuk menjaga jalan nafas dan memasang airway definitif bila
diperlukan. Tidak kalah pentingnya adalah mengenali kemungkinan gangguan airway yang
dapat terjadi kemudian, dan ini hanya dapat dikenali dengan reevaluasi berulang terhadap
airway .

2. Breathing dan Ventilasi


Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat
bernafas, mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh.
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap
komponen ini harus di evaluasi secara cepat.
Step 1 : Penilaian :
a. Buka leher dan dada sambil menjaga imobilisasi leher dan kepala.
b. Tentukan laju dan dalamnya pemafasan.

10
c. Inspeksi dan palpasi leher dan toraks untuk adanya deviasi trakea, ekspansi toraks
simeteris atau tidak simetris, pemakaian otot tambahan, dan tandatanda cedera lainnya.
d. Perkusi toraks untuk menentukan redup atau hipersonor.
e. Auskultasi toraks bilateral.

Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah tension pneumothorax,
flail chest dengan kontusio paru, dan open pneumothorax. Keadaan-keadaan ini harus
dikenali pada saat dilakukan primary survey.
Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan kontusio paru mengganggu
ventilasi dalam derajat yang lebih ringan dan harus dikenali pada saat melakukan secondary
survey.

Step 2 : Pengelolaan
a. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi.
b. Ventilasi dengan alat Bag-Valve-Mask.
c. Menghilangkan tension pneumo-thorax.
d. Menutup open pneumo-thorax.
e. Memasang sensor CO2 dari kapnograf pada ETT.
f. Memasang pulse oximeter.

3. Circulation dengan control perdarahan


Yang dibicarakan adalah volume darah dan cardiac output, serta perdarahan.
Step 1 : Penilaian
a. Dapat mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal.
b. Mengetahui sumber perdarahan internal.
c. Nadi : Kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoxus.
Periksalah pada nadi yang besar seperti a.femoralis atau a.karotis (kiri-kanan), untuk
kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya
merupakan tanda normovolemia (bila pasien tidak minum obat beta-blocker). Nadi yang
cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang
lain. Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan bahwa normovolemia. Nadi yang tidak

11
teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari
arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi segera untuk memperbaiki
volume dan cardiac output.
d. Warna kulit.
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Pasien trauma yang kulitnya
kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang yang dalam keadaan
hipovolemia. Sebaliknya wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat,
merupakan tanda hipovolemia.
e. Tekanan darah (bila ada waktu).
Penilaian tekanan darah merupakan indicator yang kurang baik guna menilai perfusi
jaringan.

Step 2 : Pengelolaan
a. Tekanan langsung pada tempat perdarahan eksternal.
Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka. Spalk udara (pneumatic
splinting device) juga dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan. Spalk jenis ini
harus tembus cahaya untuk dapat dilakukan pengawasan perdarahan. Tourniquet
sebaiknya jangan dipakai karena merusak jaringan dan menyebabkan iskemia distal,
sehingga tourniquet hanya dipakai bila ada amputasi traumatik. Pemakaian hemostat dan
dapat merusak jaringan seperti syaraf dan pembuluh darah.
b. Mengenal adanya perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah, serta konsultasi
bedah.
Sumber perdarahan internal (tidak terlihat) adalah perdarahan dalam rongga toraks,
abdomen sekitar fraktur dari tulang panjang, retro-peritoneal, atau fraktur pelvis.
c. Memasang 2 kateter IV ukuran besar.
d. Mengambil sampel darah untuk pemeriksaan darah rutin, analisis kimia, tes kehamilan,
golongan darah dan cross-match, dan Analisis Gas Darah.
e. Memberikan cairan dengan cairan Ringer Laktat yang dihangatkan dan pemberian darah.
f. Cegah hipotermi.

12
4. Disability (Neurologic Evaluation)
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara
cepat.
Step 1 : Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS
GCS (Glasgow Coma Scale) adalah sistem scoring yang sederhana dan dapat meramal
kesudahan (outcome) pasien terutama motorik terbaiknya. Bila pemeriksaan GCS belum
dilakukan pada survey primer, harus dilakukan pada secondary survey pada saat pemeriksaan
neurologis.

Glasgow Coma Scale (GCS) pada Dewasa


Tanda Nilai Glasgow Coma Scale
Mata 4 Terbuka spontan
(Eye = E) 3 Terbuka saat dipanggil
2 Terbuka terhadap rangsang nyeri
1 Tidak merespon
Lisan 5 Orientasi baik
(Verbal = V) 4 Disorientasi/bingung
3 Jawaban tidak sesuai
2 Suara tidak dimengerti/erangan/teriakan
1 Tidak merespon
Motorik 6 Mengikuti perintah
(Motoric = M) 5 Melokalisir nyeri
4 Menarik diri dari rangsang nyeri
3 Fleksi abnormal anggota gerak terhadap rangsangan
(dekortikasi)
2 Ekstensi abnormal anggota gerak terhadap rangsangan
(deserebrasi)
1 Tidak merespon

13
Keterangan :
Total skor : mata + verbal + pergerakan = 3-15
 Skor 14 – 15 : ringan
 Skor 9 – 13 : sedang
 Skor 3 – 8 : berat

Glasgow Coma Scale (GCS) pada Anak


Tanda Nilai Glasgow Coma Scale
Mata 4 Terbuka spontan
(Eye = E) 3 Terbuka saat dipanggil
2 Terbuka terhadap rangsang nyeri
1 Tidak merespon
Lisan 5 Orientasi baik
(Verbal = V) 4 Menangis, interaksi tidak tepat
3 Menangis, interaksi menyerang
2 Menangis, interaktif iritabel
1 Tidak merespon
Motorik 6 Mengikuti perintah
(Motoric = M) 5 Melokalisir nyeri
4 Menarik diri dari rangsang nyeri
3 Fleksi abnormal anggota gerak terhadap rangsangan
(dekortikasi)
2 Ekstensi abnormal anggota gerak terhadap rangsangan
(deserebrasi)
1 Tidak merespon
Keterangan :
Total skor : mata + verbal + pergerakan = 3-15
 Skor 14 – 15 : ringan
 Skor 9 – 13 : sedang
 Skor 3 – 8 : berat

14
Cara penulisannya berurutan E-V-M sesuai nilai yang didapatkan.
- Penderita yang sadar = composmentis pasti GCSnya 15 (4-5-6), sedang penderita koma
dalam, GCSnya 3 (1-1-1).
- Bila salah satu reaksi tidak bisa dinilai, misal kedua mata bengkak sedang V dan M
normal, penulisannya X-5-6.
- Bila ada trakheostomi sedang E dan M normal, penulisannya 4-X-6.
- Atau bila tetraparese sedang E dan V normal, penulisannya 4-5-X.
GCS tidak bisa dipakai untuk menilai tingkat kesadaran pada anak berumur kurang dari 5
tahun. Atau jika ditotal skor GCS dapat diklasifikasikan :
 Skor 14 – 15 : compos mentis
 Skor 12 – 13 : apatis
 Skor 11 – 12 : somnolen
 Skor 8 – 10 : stupor
 Skor < 5 : koma

Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan
dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :

1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab
semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya,
sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-
teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang
lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah
dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap
nyeri.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan
apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon
pupil terhadap cahaya).

15
Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke
otak, atau disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan kesadaran menuntut
dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi dan perfusi.
Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran pasien. Walaupun demikian,
bila sudah disingkirkan kemungkinan hipoksia atau hipovolemia sebagai sebab penurunan
kesadaran, maka trauma kapitis dianggap sebagai penyebab penurunan kesadaran dan bukan
alkoholisme, sampai terbukti sebaliknya.

Step 2 : Nilai pupil untuk besarnya isokor dan reaksi

5. Exposure/Kontrol Lingkungan
Pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering dengan cara menggunting, guna
memeriksa dan evaluasi pasien. Setelah pakaian dibuka, penting bahwa pasien diselimuti
agar pasien tidak hipotermia. Harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan
diberikan cairan intra-vena yang sudah dihangatkan. Yang penting adalah suhu tubuh pasien,
bukan rasa nyaman petugas kesehatan.

RESUSITASI
Resusitasi yang agresif dan pengelolaan cepat pada yang mengancam nyawa merupakan hal yang
mutlak bila ingin pasien tetap hidup.
Meliputi : Airway, Breathing/Ventilasi/Oksigenasi, Circulation (dengan control perdarahan).

TAMBAHAN PADA PRIMARY SURVEY DAN RESUSITASI


Step 1 : Tentukan analisis gas darah dan laju pernafasan.
Digunakan untuk menilai airway dan breathing.

Step 2 : Monitor udara ekspirasi dengan monitoring CO2.


Alat pengukur CO2 secara kolorimetrik mengukur End-Tidal CO2 dan merupakan cara yang
baik untuk menetapkan bahwa posisi ETT dalam trakea, dan bukan dalam esophagus.

16
Step 3 : Pasang monitor EKG.
Monitor EKG dipasang pada semua pasien trauma. Disritmia (termasuk takikardia yang tidak
diketahui sebabnya), fibrilasi atrium atau ekstra-sistol dan perubahan segmen ST dapat
disebabkan kontusio jantung Pulseless Electrical Activity (PEA, dulu disebut Disosiasi elektro-
mekanikal, electro-mechanical dissociation, EMD) mungkin disebabkan tamponade jantung,
tension pneumothorax, dan/atau hipovolemia berat. Bila ditemukan bradikardi, konduksi aberan
atau ekstra sistol harus segera dicurigai adanya hipoksia dan hipoperfusi. Hipotermia yang berat
juga dapat menyebabkan disritmia.

Step 4 : Pasang kateter uretra dan NGT kecuali bila ada kontra-indikasi dan monitor urin setiap
jam.
Harus dilakukan pemasangan kateter urin dan lambung yang merupakan bagian dari proses
resusitasi. Jangan lupa mengambil sampel urin untuk pemeriksaan urin rutin.
Produksi urin merupakan indicator yang peka untuk menilai keadaan perfusi ginjal dan
hemodinamik pasien. Kateter urin jangan dipasang bila ada dugaan rupture uretra.
Kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan mengurangi kemungkinan
muntah. Isi lambung yang pekat akan mengakibatkan NGT tidak berfungsi, lagipula
pemasangannya dapat mengakibatkan muntah. Darah dalam lambung dapat disebabkan darah
tertelan, pemasangan NGT yangtraumatik atau perlukaan lambung. Bila lamina kribosa patah
atau diduga patah, kateter lambung harus dipasang melalui mulut untuk mencegah masuknya
NGT dalam rongga otak. Dalam keadaan ini semua pipa jangan dimasukkan lewat jalur
nasofaringeal.

Step 5 : Pertimbangkan perlunya foto.


Pemakaian foto ronsen harus selektif dan jangan menghambat proses resusitasi. Bila tidak
memungkinkan, foto ronsen dapat dilakukan saat secondary survey.
(1) Toraks AP
(2) Pelvis AP
(3) Servikal lateral

17
Step 6 : Pertimbangkan kebutuhan DPL atau USG abdomen
Pemeriksaan DPL (Diagnostik Peritoneal Lavage) dan USG abdomen (FAST) merupakan
pemeriksaan yang bermanfaat untuk menentukan adanya perdarahan intra-abdomen.

RE-EVALUASI PASIEN DAN PERTIMBANGKAN PERLUNYA RUJUKAN


Setelah Primary Survey dan Resusitasi, dokter sudah mempunyai cukup informasi untuk
mempertimbangkan rujukan.

SECONDARY SURVEY
Secondary survey baru dilakukan setelah Primary Survey selesai, Resusitasi dilakukan dan ABC-
nya pasien dipastikan membaik.
Secondary survey meliputi :
1. Anamnesis
Step 1 : Dapatkan riwayat AMPLE dari pasien, keluarga atau petugas pra-rumah sakit
Riwayat “AMPLE'' patut diingat :
A : Alergi
M : Medikasi (obat yang diminum saat ini)
P : Past illness (penyakit penyerta)/pregnancy
L : Last meal
E : Event/environment (lingkungan) yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.

Step 2 : Dapatkan anamnesis sebab cedera dan mekanisme cedera


Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat perlukaan.
Mekanisme perlukaan sangat menentukan keadaan pasien.
Jenis perlukaan dapat diramalkan dari mekanisme kejadian perlukaan itu.
Cedera lain dimana riwayat penting, adalah cedera termal, dan bahan berbahaya (hazardous
material).

18
Mechanisms of Injury and Related Suspected Injury Patterns
Mekanisme perlukaan Kemungkinan pola perlukaan
Benturan frontal : - Fraktur servikal
- Kemudi bengkok - Flail chest anterior
- Jejak lutut pada dashboard - Kontusio miokard
- Cedera bull’s eye, pada kaca depan - Pneumothorax
- Ruptur aorta
- Rupture lien/hepar
- Fraktur/dislocation coxae, lutut
Benturan samping, mobil - Sprain servikal kontralateral
- Fraktur servikal
- Flail chest lateral
- Pneumothorax
- Ruptur aorta
- Ruptur diafragma
- Ruptur hepar/lien/ginjal
- Fraktur pelvis/asetabulum
Benturan belakang, mobil - Fraktur servikal
- Kerusakan jaringan lunak leher
Terlempar keluar, kendaraan - Semua jenis perlukaan
- Mortalitas jelas meningkat
Pejalan kaki >< mobil - Trauma kapitis
- Perlukaan toraks/abdomen
- Fraktur tungkai/pelvis

3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada Secondary Survey dilakukan berurutan mulai dari kepala, maksilo-
fasial, servikal dan leher, dada, abdomen, perineum/rektum/vagina, muskuloskeletal sampai
pemeriksaan neurologis.

19
Kepala dan Maksilofasial
Step 3 : Penilaian
a. Inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya laserasi, kontusi, fraktur dan
luka termal.
b. Re-evaluasi pupil.
c. Re-evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
d. Penilaian mata untuk perdarahan, luka tembus, ketajaman penglihatan, dislokasi lensa,
dan adanya lensa kontak.
e. Evaluasi syaraf cranial.
f. Periksa telinga dan hidung akan adanya kebocoran cairan serebrospinal.
g. Periksa mulut untuk adanya perdarahan dan kebocoran cairan serebrospinal, perlukaan
jaringan lunak dan gigi goyang.

Step 4 : Pengelolaan
a. Jaga airway, pernafasan dan oksigenasi.
b. Kontrol perdarahan.
c. Cegah kerusakan otak sekunder.
d. Lepaskan lensa kontak.

Vertebra Servikalis dan Leher


Pasien dengan trauma kapitis atau maksilofasial dianggap ada fraktur servikal atau kerusakan
ligamentous servikal, pada leher kemudian dilakukan imobilisasi sampai vertebra servikal
diperiksa dengan teliti. Tidak adanya kelainan neurologis tidak menyingkirkan kemungkinan
fraktur servikal, dan tidak adanya fraktur servikal hanya ditegakkan setelah ada foto servikal,
dan foto ini telah diperiksa oleh dokter yang berpengalaman.

Step 5 : Penilaian :
a. Periksa adanya cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot pernafasan
tambahan.
b. Palpasi untuk adanya nyeri, deformitas, pembengkakan, emfisema subkutan, deviasi
trakea, simetri pulsasi.

20
c. Auskultasi a.karotis akan adanya murmur.
d. Mintakan foto servikal lateral.

Step 6 : Pengelolaan : Jaga imobilisasi, segaris dan proteksi servikal.

Toraks
Step 7 : Penilaian :
a. Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk adanya trauma tumpul
ataupun tajam, pemakaian otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral.
b. Auskultasi pada bagian depan dan basal untuk bising nafas (bilateral) dan bising jantung.
c. Palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema subkutan,
nyeri tekan dan krepitasi.
d. Perkusi untuk adanya hipersonor atau keredupan.

Step 8 : Pengelolaan
a. Dekompresi rongga pleura dengan jarum atau tube thoracostomy sesuai indikasi
b. Sambungkan chest tube ke alat WSD
c. Tutup secara benar suatu luka terbuka toraks
d. Perikardiosintesis bila indikasi
e. Transfer pasien ke ruang operasi bila diperlukan

Abdomen
Step 9 : Penilaian :
a. Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk adanya trauma tajam/tumpul dan
adanya perdarahan internal.
b. Auskultasi bising usus.
c. Perkusi abdomen untuk menemukan nyeri lepas (ringan).
d. Palpasi abdomen untuk nyeri tekan, defans muskuler, nyeri lepas yang jelas, atau uterus
yang hamil.
e. Dapatkan foto pelvis.
f. Bila diperlukan lakukan DPL atau USG abdomen.

21
g. Bila hemodinamik normal, lakukan CT Scan abdomen.

Step 10 : Pengelolaan
a. Transfer pasien ke ruang operasi bila diperlukan.
b. Bila ada indikasi pasang PASG untuk kontrol perdarahan dari fraktur pelvis.

Perineum/Rektum/Vagina
Step 11 : Penilaian perineum :
a. Kontusio dan hematoma.
b. Laserasi.
c. Perdarahan uretra.

Step 12 : Penilaian rektum :


a. Perdarahan rektum.
b. Tonus sfinkter ani.
c. Utuhnya dinding rektum.
d. Fragmen tulang.
e. Posisi prostat.

Step 13 : Penilaian vagina pada penderita khusus :


a. Adanya darah daerah vagina
b. Laserasi vagina

Muskuloskeletal
Step 14 : Penilaian :
a. Inspeksi lengan dan tungkai akan adanya trauma tumpul/tajam, termasuk adanya laserasi
kontusio dan deformitas.
b. Palpasi lengan dan tungkai akan adanya nyeri tekan, krepitasi, pergerakan abnormal, dan
sensorik.
c. Palpasi semua arteri perifer untuk kuatnya pulsasi dan ekualitas.
d. Nilai pelvis untuk adanya fraktur dan perdarahan.

22
e. Inspeksi dan palpasi vertebra torakalis dan lumbalis untuk adanya trauma tajam/tumpul,
termasuk adanya kontusio, laserasi, nyeri tekan, deformitas, dan sensorik.
f. Evaluasi foto pelvis akan adanya fraktur.
g. Mintakan foto ekstremitas sesuai indikasi.

Step 15 : Pengelolaan :
a. Pasang atau perbaiki bidai sesuai indikasi.
b. Pertahankan imobilisasi vertebra torakalis dan lumbalis.
c. Pasang PASG sesuai indikasi untuk kontrol perdarahan dari fraktur pelvis, atau pasang
kain sekitar pelvis.
d. Pasang bidai untuk imobilisasi cedera ekstremitas.
e. Berikan ATS.
f. Berikan obat-obatan sesuai indikasi atau petunjuk spesialis.
g. Pertimbangkan kemungkinan sindroma kompartemen.
h. Lakukan pemeriksaan neurovaskular lengkap dari ekstremitas.

Neurologis
Step 16 : Penilaian :
a. Reevaluasi pupil dan tingkat kesadaran.
b. Tentukan skor GCS.
c. Evaluasi motorik dan sensorik dari keempat ekstremitas.
d. Tentukan adanya tanda lateralisasi.

Step 17 : Pengelolaan :
a. Teruskan oksigenasi dan ventilasi.
b. Pertahankan imobilisasi pasien.

TAMBAHAN PADA SECONDARY SURVEY


Step 18 : Pertimbangkan perlunya diadakan pemeriksaan tambahan :
 Foto vertebra tambahan
 CT kepala, vertebra, toraks, abdomen

23
 Foto ekstremitas
 Dan lain-lain sesuai indikasi.

RE – EVALUASI PENDERITA
 Penurunan keadaan dapat dikenal apabila dilakukan evaluasi ulang terus menerus, sehingga
gejala yang baru timbul segera dapat dikenali dan dapat ditangani secepatnya. Penilaian
ulang terhadap pasien, dengan mencatat, melaporkan setiap perubahan pada kondisi pasien,
dan respon terhadap resusitasi.
 Monitoring dari tanda vital dan produksi urin mutlak. Produksi urin pada orang dewasa
sebaiknya dijaga ½ cc/kgBB/jam, pada anak 1 cc/kgBB/jam.
 Bila pasien dalam keadaan kritis dapat dipakai pulse oximetry dan end-tidal CO2 monitoring.
 Penanganan rasa nyeri merupakan hal penting. Rasa nyeri dan ketakutan akan timbul pada
pasien trauma, terutama pada perlukaan musculoskeletal.

PENANGANAN DEFINITIF
 Terapi definitif pada umumnya merupakan tugas dari dokter sesuai kewenangan klinisnya.
 Proses rujukan harus sudah dimulai saat alasan untuk merujuk ditemukan, karena menunda
rujukan akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas penderita.
 Keputusan untuk merujuk penderita didasarkan atas data fisiologis penderita, cedera
anatomis, mekanisme perlukaan, penyakit penyerta serta factor-faktor yang dapat mengubah
prognosis.

24
BAB IV
DOKUMENTASI

 Asesmen gawat darurat didokumentasikan dalam Medical Record Electronic (MRE) Instalasi
Gawat Darurat.
 Pengawasan dan evaluasi ulang didokumentasikan dalam lembar observasi pasien.
 Pemberian edukasi/penyuluhan didokumentasikan di formulir lembar edukasi kepada pasien
dan keluarga pasien terintegrasi di status rekam medis pasien.

25
KEPUSTAKAAN

 American College of Surgeons Committee on Trauma. Advanced Trauma Life Support for
Doctors. Student Course Manual. (2008). Diterjemahkan & dicetak oleh komisi trauma
“IKABI”. Eighth Edition.
 Tim Materi GELS – Brigade Siaga Bencana – Unit Diklat IGD. (2013). Materi Pelatihan
General Emergency Life Support. Kemenkes RI - Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan
– RSUP dr. Sardjito Yogyakarta.
 EBM – Diagnostic. ocw.usu.ac.id/…/cvs146_slide_ebm-diagnostic.pdf
 Emergency Care Singapore General Hospital.www.sgh.com.sg;
 Emergency Severity Index (ESI) : A Triage Tool For Emergency
Department.www.ahrq.gov/professionals/systems/hospital/esi/esi1.html;
 Singapore Emergency Patients Categorisation Scale.pdf
 Singapore Emergency Medicine Services Patient Acuity Category.mht.
http://semsonline.org/index.html;
 Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118. (2011). Buku Panduan BT&CLS (Basic Trauma Life
Support And Basic Cardiac Life Support). Edisi Keempat.

26
LAMPIRAN

SECONDARY SURVEY
Hal yang Identifikasi/ Konfirmasi
Penilaian Penemuan Klinis
dinilai Tentukan dengan
 Beratnya trauma  Skor GCS  8, trauma kapitis  CT Scan
kapitis  9 – 12, trauma  Ulangi tanpa
Tingkat
sedang relaksasi otot
kesadaran
 13 – 15, trauma
ringan
 Jenis trauma  Ukuran  Mass effect
kapitis  Bentuk  Diffuse axonal
Pupil
 Luka pada mata  Reaksi injury
 Perlukaan mata
 Luka pada kulit  Inspeksi adanya  Luka kulit  CT Scan
kepala luka dan fraktur kepala
Kepala
 Fraktur tulang  Palpasi adanya  Fraktur impresi
tengkorak fraktur  Fraktur basis
 Luka jaringan  Inspeksi :  Fraktur tulang
lunak deformitas wajah
 Fraktur  Maloklusi  Cedera jaringan
Maksilofasial  Kerusakan  Palpasi : krepitus lunak
syaraf  Deformitas
 Luka dalam laring
mulut/gigi
 Cedera pada  Inspeksi  Emfisema  Foto servikal
laring  Palpasi subkutan  Angiografi/D
Leher
 Fraktur servikal  Auskultasi  Hematoma oppler
 Kerusakan  Murmur  Esofagoskopi

27
vascular  Tembusnya  Laringoskopi
 Cedera platisma
esophagus  Nyeri, nyeri
 Gangguan tekan C-spine
neurologis  Jejas, deformitas,
gerakan
 Perlukaan  Inspeksi  Paradoksal  Foto toraks
dinding toraks  Palpasi  Nyeri tekan  CT Scan
 Emfisema  Auskultasi dada, krepitus  Angiografi
subkutan  Bising nafas  Bronchoskop
 Pneumo/hematot berkurang i
Toraks oraks  Bunyi jantung  Tube
 Cedera bronchus jauh torakostomi
 Kontusio paru  Krepitasi  Perikardiosin
 Kerusakan aorta mediastinum tesis
torakalis  Nyeri punggung  USG Trans-
hebat Esofagus
 Perlukaan  Inspeksi  Nyeri, nyeri  DPL/USG
dinding  Palpasi tekan abdomen abdomen
abdomen  Auskultasi  Iritasi peritoneal  CT Scan
Abdomen/
 Cedera  Tentukan arah  Cedera organ  Laparatomi
Pinggang
intraperitoneal penetrasi visceral  Foto dengan
 Cedera  Cedera kontras
retroperitoneal retroperitoneal  Angiografi
 Cedera genito-  Palpasi simfisis  Cedera genito-  Foto pelvis
urinarius pubis untuk rinarius  Urogram :
 Fraktur pelvis pelebaran (hematuria)  Uretrogram
Pelvis  Nyeri tekan  Fraktur pelvis  Sistogram
tulang pelvis  Perlukaan  IVP
 Tentukan perineum,  CT Scan
instabilitas rectum, vagina dengan

28
pelvis (hanya kontras
satu kali)
 Inspeksi
perineum
 Pem.
rectum/vagina
 Trauma kapitis  Pemeriksaan  “Mass effect”  Foto polos
 Trauma medulla motorik unilateral  MRI
Medulla spinalis  Pemeriksaan  Tetraparesis
spinalis  Trauma syaraf sensorik  Paraparesis
perifer  Cedera radiks
syaraf
 Fraktur  Respon verbal  Fraktur atau  Foto polos
 Instabilitas terhadap nyeri, dislokasi  CT Scan
Kolumna
kolumna v. tanda lateralisasi
vertebralis
 Kerusakan  Nyeri tekan
syaraf  Deformitas
 Cedera jaringan  Inspeksi  Jejas,  Foto ronsen
lunak  Palpasi pembengkakan,  Doppler
 Fraktur pucat  Pengukuran
 Kerusakan sendi  Mal-alignment tekanan
 Deficit neuro-  Nyeri, nyeri kompartemen
Ekstremitas vaskular tekan, krepitasi  Angiografi
 Pulsasi
hilang/berkurang
 Kompartemen
 Deficit
neurologis

29

Anda mungkin juga menyukai