Anda di halaman 1dari 4

Hambatan Perwujudan Democratic Governance di Indonesia, dengan

Berfokus pada Pelaksanaan Hak Asasi Manusia

Democratic governance merupakan proses perumusan kebijakan yang diselenggarakan


oleh pemerintah yang menerapkan norma demokrasi yang sekaligus merupakan prinsip dasar
dari good governance. (James G. March, Johan P Olsen, 1995). Democratic governance sering
dipahami sebagai tiga hal yang dicakupnya : good governance, Hak Asasi Manusia (HAM) dan
demokrasi. Kini, Indonesia tengah memperbaiki ketiga hal dalam cakupan democratic
governance ini dengan tujuan supaya Indonesia dipandang dan ditandai sebagai negara yang
menjalankan democratic governance secara positif.

Democratic governance sebagai remedi bagi negara-negara yang sedang dalam keadaan
kritis dan memiliki beberapa keterbatasan yang harus bisa disiasati dengan tepat dan cepat.
Beberapa keterbatasan yang dimasud adalah.

1. Bersama munculnya pokok persoalan dan kondisi transisi yang lain, konsep
democratic governance akan dirasa sebagai sebauah ancaman dan tekanan sehingga
menghasilkan perlawanan karena tidak dirasa sebagai kebutuhan bagi masyarakat dan
pemerintah.
2. Apabila ruang cakupan democratic governance mengalami perubahan atau
pergesaran, maka akan terjadi perlawanan terhadap democratic governance itu
sendiri.
3. Good governance mungkin belum sampai kepada pandangan sebagai nilai universal
apabila HAM dipandang memiliki karakter universal dan internasional. Bahkan,
seejumlah negara Asia termasuk Indonesia memandang universalitas HAM sebagai
bentuk agresivitas, imperialisme kultural, hegemoni global, dan pendiktean Barat atas
negara berkembang (Ghai, 1995: 56; dan Caballero-Anthony, 1995: 40). Meski
demikian, HAM hanya secara kesejarahan saja berasal dari Barat, namun tetap
berkarakter universal dan internasional. (Freeman, 1995: 17).
4. Peniruan atau pengopian suatu program yang sukses dari suatu negara ke negara lain
kemungkinan justru menghasilkan pemujaan terhadap program tersebut, tanpa diikuti
pemahaman untuk menyerap dan menerapkan substansinya di setiap tingkat
pemerintahan.
5. Koverasi media masa tidak akan banyak membantu persebaran dan penerimaan good
governance, demokrasi, HAM, dan hingga ke democratic governance karena agenda
media dan agenda publik cenderung tidak terlalu memperhatikannya.

Terlepas dari segala motivasi dan latar belakang pendirian Komisi Nasional Untuk HAM
yang dilakukan untuk memenuhi standar Internasional HAM, Komisi Nasional HAM di
sejumlah negra Asia dan Pasifik kebanyakan didirikan atas dasars saran dan permintaan
Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations) dengan bantuan negraa-negara yang cukup maju
dalam hal implementasi HAM, seperti Australia dan Kuba. Walaupun Australia merupakan salah
satu negara dengan implementasi HAM yang baik, tentu saja perlu dipertanyakan dasar
penentuan negara tersebut. Karena nyatanya, Australia juga masih mengalami sejumlah
permasalahan HAM. Namun, Kuba memiliki cerita lain tentang jaminan sosial yang dianggap
terbaik di dunia yang juga menjadi contoh bagi upaya penegakan HAM. Kebijakan jaminan
sosial ituterungkap lewat pernyataan tim pakar PBB yang berkunjung ke Kuba, Jumat (14/4).
Dilansir, kunjungan perwakilan PBB yang bertujuan untuk membuka dialog soal penegakan
HAM justru mendapati temuan lain, yaitu efektivitas kebijakan jaminan sosial di Kuba yang
mampu menekan angka perbudakan dan perdagangan manusia. (kumparan.com 15/04/17). Yang
menjadi poin dalam paragraf ini adalah, bahwa sebaik apapun peraturan penegakan HAM pasti
akan berjalan secara berbeda jika dilaksanakan di negara yang berbeda pula.

Terkait dengan pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia menunjukkan perlu


adanya pemahaman HAM tidak sebatas karena hak itu dipunyai oleh semua manusia, namun
juga pelayanan terhadap hak itu perlu dilakukan oleh semua manusia. Di sisi lain, pandangan
awam yang terlalu menyederhanakan HAM perlu pula diluruskan. Dengan kata lain, persoalan
HAM di Indonesia pada dasarnya telah berhulu dan berhilir pada tata penyelenggaraan
pemerintahan yang dilakukan.

Beberapa persoalan-persoalan mendasar HAM di Indonesia dapat dilihat dari hal-hal berikut ini.

1. Landasan solid HAM


Penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia masih tetap membutuhkan
landasan yang baku dan kuat. Karena dalam perjalanannya, Indonesia sendiri mengakami
perubahan konstitusi sejak masa kemerdekaan hingga sekarang. Sejauh ini Amandemen
terhadap UUD 1945 yang dapat mengarah dan melakukan perbaikan jaminan HAM,
namun ahli hukum pada umumnya melihat bahwa UUD 1949 dan UUDS 1950 lebih
mengakomodasikan jaminan HAM. Dengan kata lain, landasan HAM di Indonesia
mengalami maju-mundur dalam hal landasan solid HAM ini.
Persoalan perbaikan dan perlindungan HAM yang lain di Indonesia muncul dari
kontroversi penerapan UU HAM serta penerapan hukum bagi pelanggar HAM itu sendiri.
Hal ini kembali pada kurang memadainya landasan kuat untuk jaminan HAM sehingga
dikhawatirkan akan muncul kembali pelanggaran HAM secara potensial, meskipun tidak
ada jaminan juga bahwa landasan yang solid dalam penegakan HAM juga akan
meniadakan pelanggaran. Pernyataan ini sesuai dengan pernyataan Amnesty
Internasional (1994 dan 1998) yang menyatakan bahwa tidak ada satu negara pun yang
terbebas dari persoalan dan pelanggaran HAM.
2. Kebijakan Antarrezim
Pada setiap pemerintahan rezim baru, biasanya semangat untuk menjalankan
perlindungan HAM hanya terjadi pada tahun-tahun awal pergantian atau dimulainya
suatu rezim. Karena pada tahun-tahun awal itulah biasanya rezim baru memberikan janji-
janji politik positif terhadap jaminan dan perlindungan HAM, namun ketika sudah
berjalan lebih dari dua tahun akan mulai terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam
perlindungan HAM ini karena berbagai alasan.

Dari sudut pandang pemerintahan, pembatasan HAM disebutkannya untuk


menjamin adanya kesatuan dan persatuan bangsa serta keamanan dan ketertiban
masyarakat. Namun, dari sudut pandang lain, pembatasan HAM ini justru dirasa sebagai
aib bagi rezim yang sedang menjalankannya atau melakukannya. Selain itu, terdapat juga
pemusatan kekuasaan yang disebut sebagai persoalan HAM yang ada di Indonesia.
Pengingkaran HAM yang terjadi pada masa kekuasaan rezim Orde Baru juga
memperlihatkan kecenderungan yang serupa. Dalam waktu 32 tahun memerintah,
sejumlah kebebasan berserikat dan kebebasan pers dicoreng moreng jati dirinya,
diganggu bahkan dimusnahkan.
3. Perubahan aktor pelanggar HAM
Kenyataan baru dalam hal pelanggaran HAM ini adalah munculnya aktor-aktor
pelanggar HAM lainnya sehingga memperpanjang deretan pelanggaran HAM di
Indonesia. Yang artinya, ketika satu pihak berusaha bersikap dewasa dalam masalah
HAM, sejumlah individu dan kelompok justru berubah diri dengan “memanjakan”
kekerasan, ketidaksantunannya dan ketidakdewasaannya berpikir dan sikapnya, dengan
mengatasnamakan keyakinan.

Bayefski (1997:74-75) dalam Yuliarso (2015: 302) menyatakan adanya perubahan


aktor pelanggar HAM meskipun alasan pelanggaran sebenarnya tidak mengalami
perubahan secara substansial.
4. Fokus besar dan keterlambatan
Dalam hal ini, pelanggaran HAM diukur secara kuantitatif atas dasar besaran
jumla korban, tingkat kekejian dan cara pelanggaran itu dilakukan serta aktor dan dalang
dalam kasus itu dilakukan. Yang artinya, kasus pelanggaran HAM kan lebih dilihat dan
disoroti apabila jumlah korban, jenis pelanggaran dan aktor pelakunya dikategorikan
berat dan memenuhi kelayakan untuk dimuat di media massa, hal tersebut seakan abai
akan persoalan nyata dari nilai-nilai HAM yang teringkari.

Konsekuensinya, ketika pengabaian ini menjadi besar, kejahatan tanpa hukuman


yang menimbulkan ancaman serius bagi HAM berkecenderungan terjadi. Akibat lainnya,
kesadaran akan terjadinya pelanggaran dan pengingkaran HAM akan datang terlambat
dan rentetan akibat ini akan semakin panjang saat penanganannya menjadi semakin berat
hingga ke titik “sudah terlalu terlambat”.
5. Topeng penyelamatan demi Indonesia
Harus diakui bahwa tidak semua nilai bisa diterapkan adalah sebuah keniscayaan,
namun berlindung di balik topeng yang bernama “for the sake of Indonesia” pun tidak
selalu bisa dan boleh diterapkan. Masalah “demi Indonesia” memang layak mendapat
pembelaan dan dukungan tentunya. Namun hal ini menjadi salah bila “demi Indonesia”
sebenarnya hanya menjadi kedok dari aktivitas sebuah kelompok atau topeng dari
kepentingan tertentu yang bila ditelusuri bermuara pada masalah pemusatan kekuasaan
dan keengganan untuk menerima kritik dari pihak lain.

SUMBER:
 https://xerma.blogspot.com dalam judul “Democratic Governance Dalam Perumusan
Kebijakan Publik”
 https://kumparan.com dalam judul “Jaminan Sosial di Kuba buat PBB terkagum-kagum”
yang terbit pada tanggal 15 april 2017
 Yuliarso, Kurniawan. (2015). Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia: Menuju Democratic
Governances. Yogyakarta: Fisipol UGM.

Anda mungkin juga menyukai