Anda di halaman 1dari 21

ILMU KALAM

“ Asy’ariyah dan Maturidiyah “

Kelompok 6
Oleh:
Miatu Khabbah (B91217075)
Mita Tsalisa Putri R.L (B91217077)
Rayyanah Ali Mauladawilah (B91217088)

KELAS A3 KPI
DOSEN: M. Anis Bachtiar, M.Fil.I

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT kami panjatkan, karena berkat Rahmat
dan Karunianya kami bisa menyelesaikan tugas mata kuliah berupa makalah yang berjudul
“Asy’ariah dan Maturidiyah”
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah kami. Dan mohon maaf apabila
ada kesalahan yang pernah kami lakukan selama menyusun makalah ini, baik yang disengaja
ataupun tidak disengaja.
Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Kami mengharapkan kritik dan
saran untuk kesempurnaan makalah yang berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua dan khususnya bagi kami para penyusun. Atas perhatian semua pihak, kami sampaikan
terima kasih.

Surabaya, 09 Maret 2019

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beragam aliran teologi yang berdiri memiliki sejarah yang cukup panjang, semuanya
tidak terlepas dari para pendirinya dan latar belakang yang menyertai sampai pada para
pengikutnya yang memiliki loyalitas terhadap aliran tersebut.
Makalaah ini akan membahas tentang aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah. Aliran ini
merupakan salah satu aliran yang muncul atas reaksi terhadap Mu’tazilah sebagai paham yang
memprioritaskan akal sebagai landasan dalam beragama. Pada perkembangan selanjutnya aliran
ini banyak dianut oleh mayoritas umat Islam yang mampu mewakili cara berpikir yang
diharapkan umat Islam ditengah-tengah pergolakan hati akibat beberapa aliran yang datang
terlebih dahulu.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Timbulnya aliran Asy’ariah dan Maturidiyah?
2. Siapa tokoh-tokoh dan apa ajaran pokok aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah?
3. Bagaimana perkembangan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah?
4. Bagaimana pengaruh Asy’ariyah (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) di Dunia Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
Aliran Asy’ariyah
A. Sejarah Timbulnya Aliran Asy’ariyah
Asy’ariah adalah nama suatu aliran dalam teologi Islam yang dikenal sebagai aliran Ahli
Sunnah dan Jama’ah.1 Kata Asy’ariah diambil dari nama seorang tokoh pendiri aliran ini, yaitu
Abu al-Hasan al-Asy’ari. Pada mulanya al-Asy’ari adalah penganut aliran Mu’tazilah yang
ternama, tetapi setelah berumur 40 tahun ia meninggalkan aliran Mu’tazilah dan mencetuskan
paham baru yang dikenal sebagai aliran Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah.
Imam Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, keturunan Abu Musa al-Asy’ari, seorang
tahkim dalam peristiwa Perang Siffin dari pihak Ali. Dia lahir di kota Bashrah tahun 260 H (873
M) dan meninggal tahun 324 H (935 M) di Baghdad.2 Pada awalnya ia berguru kepada seorang
pendekar Mu’tazilah waktu itu bernama Abu Ali al-Jubai. Memang dahulunya al-Asy’ari ini
merupakan penganut paham Mu’tazilah, namun terasa baginya sesuatu yang tidak cocok dengan
Mu’tazilah yang pada akhirnya condong kepada ahli fiqih dan ahli hadits.
Setelah lama-lama berpikir dan merenungkan antara ajaran-ajaran Mu’tazilah dengan
paham ahli-ahli fiqih dan hadits, maka ketika dia sudah berumur 40 tahun dia bersembunyi di
dalam rumahnya selama 15 hari untuk memikirkan hal tersebut. Tepat pada hari jumat, dia
berdiri di atas mimbar mesjid Bashrah dan secara resmi menyatakan keluar dari Mu’tazilah.

Kata al-Asy’ari tersebut adalah:


“Wahai masyarakat, barangsiapa mengenal aku, sungguh dia telah mengenalku. Barangsiapa
yang tidak mengenalku maka aku mengenalnya sendiri. Aku adalah Fulan bin Fulan. Dahulu
aku berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk, bahwasanya allah tidak melihat dengan
mata, bahwasanya perbuatan-perbuatan yang jelek aku sendiri yang memperbuatnya. Aku
bertaubat mencabut dan menolak paham-paham mu’tazilah dan keluar darinya”.

Adapun sebab terpenting Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah adalah karena adanya


perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka sendiri, kalau

1
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986, h.64
2
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada) h.121
seandainya tidak diakhiri. Dia mendambakan kesatuan umat, dia sangat khawatir kalau al-Qur’an
dan Hadits menjadi korban dari paham-paham Mu’tazilah yang dianggapnya semakin
menyimpang dan menyesatkan masyarakat karena Mu’tazilah lebih mementingkan akal fikiran.

B. TOKOH-TOKOH DAN PEMIKIRANNYA


1. Abu al-Hasan al-Asy’ari
Abu Hasan al-Asy’ari nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali ibn Ismail ibn Abu
Basyr ibn Ismail ibn Abdullah ibn Musa ibn Bilal ibn Abu Burdah ibn Abu Musa al-
Asy’ari. Beliau lahir di Bashrah pada tahun 260 H (873 M) dan meninggal di Baghdad
pada tahun 324 H (935 M).
Asy’ari kecil rajin mempelajari ilmu agama, terutama dalam ilmu bidang teologi yang
beraliran Mu’tazilah. Hal ini dapat dimaklumi karena ia dibesarkan di dalam lingkungan
keluarga yang mengikuti aliran Mu’tazilah. Maka dari itu sejak kecil Asy’ari berada dalam
asuhan Mu’tazilah. Ketika dewasa, Asy’ari sering diberi tugas untuk menghadiri ceramah-
ceramah, jika al-Jubba’I berhalangan. Karena kemampuan intelektualnya dan pandai
berdebat, maka al-Asy’ari menjadi salah seorang tokoh aliran Mu’tazilah yang kenamaan
dan menjadi andalan al-Jubaa’I. Al-Jubba’I merupakan tokoh Mu’tazilah yang kuat dan
gigih membela-membela ajaran-ajarannya pada waktu itu, dan menikah dengan ibunda
Asy’ari setelah ayahnya Asy’ari meninggal.3
Asy’ari sering melakukan dialog dengan al-Jubba’I yang berakhir dengan
ketidakpuasaan dan tidak mendapatkan penyelesaian. Yang pada gilirannya, ia justru
meninggalkan aliran Mu’tazilah. Pemikiran-pemikiran al-Asy’ari di bidang teologi hasil
rumusannya, dapat dilihat dari buku karyanya yakni:
 Al-Ibanah’an Ushul al-Diyanah : Penjelasan tentang dasar-dasar agama
 Al-Luma’ : Sorotan
 Al-Maqolat al-Islamiyah : Pendapat golongan-golongan Islam .
Tiga buku itu karangan al-Asy’ari yang terkenal sampai sekarang. Menurut keterangan ia
telah menyusun buku sebanyak kurang lebih 90 buah.

a. Sifat Tuhan

3
Ris’an Rusli, Teologi Islam, (Jakarta: KENCANA, 2014) h.109
Menurut Asy’ari Tuhan mempunyai sifat seperti Ilm, Qudrah, Sama’, Bashar dan
kalam. Sifat-sifat tersebut bukanlah Dzat-nya. Berlainan dengan paham Mu’tazilah
yang tidak mengakui adanya sifat Tuhan. Dalil naqli yang dijadikan dasar oleh al-
Asy’ari antara lain:
Surah an-Nisaa’ ayat 166

ْ َ‫نزلَهُۥ بِ ِع ْل ِم ِهۦ ٓ َوٱ ْل َم َّٰ َلٓئِكَةُ ي‬


َ َ ‫نز َل إِلَ ْيكَ ٓ أ‬
َ َ ‫ش َه ُد بِ َمآ أ‬ َّٰ
َ ‫ش َهد‬
ٓ ‫ُون‬ ‫له ِك ِن ه‬
ْ َ‫ٱَّللُ ي‬
‫َو َكفَ َّٰى بِ ه‬
‫ٱَّللِ ش َِهيدًا‬
Surah al-Fussilat ayat 47

ِ ‫ج ِم ْن ث َ َم َرات ِم ْن أ َ ْك َم‬
‫ام َها َو َما ت َ ْح ِم ُل ِم ْن أ ُ ْنث َى َوال‬ ُ ‫ع ِة َو َما ت َ ْخ ُر‬ ‫إِلَ ْي ِه يُ َر ُّد ِع ْل ُم ال ه‬
َ ‫سا‬
‫ِيه ْم أ َ ْي َن ش َُركَا ِئي قَالُوا آذَنهاكَ َما ِمنها ِم ْن ش َِهيد‬
ِ ‫ض ُع ِإال ِب ِع ْل ِم ِه َويَ ْو َم يُنَاد‬
َ َ‫ت‬
Surah Hud ayat 14

۟ ‫ٱَّللِ َوأَن هال۟ ِإ َّٰلَهَ ِإ هال ُه َو‬ ِ ُ ‫ست َ ِجيبُوا۟ لَ ُك ْم فَٱ ْعلَ ُمو۟ا۟ أَنه َما۟ أ‬
‫نز َل ِب ِع ْل ِم ه‬ ْ ‫فَ ِإله ْم َي‬
ْ ‫فَ َه ْل أَنتُم ُّم‬
َ ‫س ِل ُم‬
‫ون‬
b. Kedudukan al-Qur’an
Menurut al-Asy’ari, al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk. Jika
kalamullah makhluk berarti al-Quran diciptakan, dan Tuhan menciptkannya dengan
kata-kata kun. Untuk meciptakan kun (yang terdapat di dalam al-Qur’an perlu pula
kun lainnya, sehingga terdapat sederetan kata-kata kun. Hal ini menurut al-Asy’ari
tidak mungkin. Dengan demikian, al-Qur’an tidak mungkin diciptakan.

c. Kedudukan Akal
Akal manusia tidak dapat mengetahui sesuatu perbuatan itu wajib atau tidak.
Kewajiban hanya dapat diketahui oleh wahyu. Al-Asy’ari mendasarkan
pendapatnya pada dalil al-Qur’an surah al-Israa’ ayat 15. Begitu juga mengenai
kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, pahala orang yang taat dan siksaan orang
yang maksiat, hanya wajib diketahui dengan wahyu, bukan dengan akal.4

4
Abu al-Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah’an Ushul al-Diyanah, (Kairo: maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1969) h.102
d. Perbuatan Manusia dan Kehendak Mutlak Tuhan
Al-Asy’ari berpendapat bahwa perbuatan manusia tidak akan terlepas dari
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Menurutnya pendapatnya, manusia tidak
mampu menciptakan apapun, bahkan sebenarnya manusialah yang diciptakannya.
Pendapat ini didasarkan pada firman Allah swt pada surah al-Insaan ayat 30.

2. Al-Baqillani
Nama lengkapnya adalah al-Qadli Abu Bakr Muhammad ibn Thaiyib ibn Muhammad ibn
Abu Bakr al-Baqillani. Wafat tanggal 21 Dzu al-Qa’idah 403 H atau 1013 M. dia
memperoleh ajaran Asy’ariyah dari murid al-Asy’ari, Ibnu Murjahid dan Abu al-Hasan al-
Bahili. Diantara karangan-karangannya yang masih dapat ditemukan adalah al-Tauhid,
I’jaz al-Qur’an, al-Inshaf, al-Bayan ‘an al-Faraq bain al-Mu’jizat wa al-Karamat, dan
Nukt al-Intishar. Al-Baqillani sebagai pengikut dan tokoh al-Asy’ariyah tidak selamanya
sependapat dengan ajaran-ajaran al-Asy’ari. Beberapa pemikirannya adalah:

a. Sifat Tuhan
Tentang sifat Tuhan al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat,
berbeda dengan pendapat Mu’tazilah yang meniadakan sifat Tuhan. Bagi al-
Baqillani kedua pendapat tersebut tidak tepat. Dia berpendapat bahwa sifat Allah
bukanlah sifat tetapi al-hal, yaitu tidak terwujud dan tidak berwujud. Kelihatannya
Baqillani ingin mengkromikan kedua pendapat tersebut, namun ternyata
pendapatnya ini sesuai dengan pendapat Abu Hasyim al-Jubbaa’I dari Mu’tazilah.

b. Perbuatan Manusia
Al-Baqillani dalam memahami perbuatan manusia berbeda dengan al-Asy’ari. Bagi
al-Baqillani manusia mempunyai sumbangan atau andil yang efektif dalam
perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan adalah gerak yang terdapat
dalam diri manusia. Adapun bentuk dan sifat darik gerak itu dihasilkan oleh
manusia itu sendiri.
Dalam hal ini tentang sifat Tuhan dan perbuatan manusia al-Baqillani berbeda pendapat
dengan al-Asy’ari. Akan tetapi dalam hal dalil naqli mereka tidak berbeda pendapat. Al-
Baqillani seperti halnya al-Asy’ari mengatakan bahwa Allah swt mempunyai tangan, mata,
wajah, dan Dia bersemayam di atas arasy. Tetapi hal itu tidak sama dengan tangan, mata,
dan wajah makhluk dan tidak sama pula dengan cara bersemayamnya seorang raja di atas
singgasana. Bentuk dan keadaan tangan, mata, wajah dan cara bersemayamnya Allah tidak
dapat digambarkan.5

3. Al-Juwaini
‘Abd. Al-Malik al-Juwaini terkenal dengan nama Imam al-Haramain, lahir di Khurasan
pada tahun 419 H dan wafat pada tahun 478 H. Nama lengkapnya adalah Abu al-Ma’ali
‘Abd. Al-Malik ibn al-Syekh Abi Muhammad ‘Abdullah ibn Abi Ya’qub Yusuf ibn
‘Abdullah ibn Yusuf ibn Muhammad Haiyuyah al-Juwaini. Dia belajar ilmu kalam dari
‘Ali Abi al-Qosim Abd. Al-Jabbar ibn ‘Ali seorang murid Abi Ishaq Ibrahim ibn
Muhammad yang belajar dari Abi al-Hasan al-Bahili murid al-Asy’ari. 6

Adapun pemikiran-pemikirannya adalah:

a. Sifat Tuhan
Dalam hal ini al-Juwaini sependapat dengan al-Asy’ari yang mengatakan bahwa
zat Tuhan qadim dan sifat Tuhan juga qadim. Zat Tuhan qadim dengan sifatnya
dan tidak mungkin menggambarkan zat tanpa sifat. Ini bukan berarti bahwa zat
merupakan tempat berdirinya sifat, akan tetapi zat berdiri sendiri dan adanya sifat
karena adanya zat.

b. Perbuatan Manusia
Mengenai perbuatan manusia al-Juwaini melangkah lebih maju dari al-Baqillani.
Daya yang ada pada manusia dalam pendapat al-Juwaini juga mempunyai efek.
Tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab.

5
Ris’an Rusli, Teologi Islam, (Jakarta: KENCANA, 2014) h.116
6
Ahmad Hanafi, THEOLOGY ISLAM, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.64
4. Al- Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali.
Dilahirkan di Desa Gazlah di daerah Tus (Wilayah Khurasan) tahun 450 H/1058 M. Al-
Ghazali adalah pengikut al-Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat
Islam. Berbeda dengan gurunya al-Jawaini dan al-Baqillani, paham teologi yang
dimajukannya boleh dikatakan tidak berbeda dengan paham-paham al-Asy’ari. Diantara
pemikirannya adalah:

a. Sifat Tuhan
Al-Ghazali seperti halnya al-Asy’ari tetap mengakui sifat-sifat qadim yang tidak
identik dengan zath Tuhan dan mempunyai wujud di luar zat. Sifat-sifat itu tidak
sama dengan esensi (zatNya) tetapi berada di luar zat tersebut. hal ini menurut al-
Ghazali tidaklah merusak kemahaesaan Allah dan tidak akan membawa kepada
berbilangnya yang qadim (ta’addul al-Qudama), karena kemahaesaan itu
dipandang dari segi esensi bukan dari segi sifat-sifat di luar esensi zatNya.

b. Perbuatan Manusia
Tentang perbuatan manusia, al-Ghazali berpendapat bahwa Tuhanlah yang
menciptakan daya dan perbuatan. Beliau pun mempunyai paham yang sama
dengan Asy’ari tentang beatific vision yaitu bahwa Tuhan dapat dilihat, karena
tiap-tiap yang mempunyai wujud dapat dilihat.

C. ALIRAN ASY’ARIAH IDENTIK DENGAN AHLUSUNNAH


Imam Al-Asy’aria mendapat kedudukan yang tinggi, mempunyai banyak pengikut dan
mendapat kedudukan bantuan dari para penguasa pemerintahan. Lebih dari itu, pendapat-
pendapatnya disebut sebagai pendapat “ Ahlusunnah wal Jamaad “ atau “ Ahlusunnah “ tanpa al
Jamaah, dan sebutan ini yang banyak dipakai, atau sebutan “ Madzahibus Salaf wa Ahlusunnah
“.
Penyebutan Ahlusunnah sudah dipakai sejak sebelum al-Asy’ari yaitu terhadap mereka
yang apabila menghadapi sesuatu peristiwa, maka dicari hukumnya dari bunyi Qur’an dan
Hadis, dan apabila tidak didapatinya maka mereka diam saja, karena tidak berani melampauinya.
Mereka lebih terkenal dengan sebutan ahlul hadis yang sudah dimulai sejak zaman sahabat,
kemudian dilanjutkan sampai masa tabiin. Kebalikan dari mereka disebut “ Ahlur Ra’ji “ yaitu
pemegang pendapat pikiran, yang apabila menghadapi keadaan yang sama, maka tidak berhenti
melainkan berusaha dengan akal dan pikirannya untuk menemukan hukum peristiwa yang
dihadapinya dengan jalan qiyas atau ihtisan dan sebagainya.
Iman akan bertenpatnya Tuhan wajib, tetapi menanyakannya adalah suatu bid’ah.
Pendirian tersebut juga menjadi pendirian Imam Ahmad bin Hanbal, Sufyan at-Tsauri, Dawud
bin Ali az-Zahiri dan lain-lain. Mereka tidak memperkuat pendirian tersebut dengan ilmu kalam,
sebagaimana yang diperbuat oleh ulama-ulama salaf berikutnya, seperti al-Harits bin Asad al-
Muhasibi, yang memakai ilmu kalam. Setelah mereka semua datanglah imam Al-Asy’ari yang
setelah mengadakan perdebatan dengan gurunya dalam soal “ shalah dan ashilah “ (baik dan
terbaik), menyatakan penggabungan diri dengan golongan salaf dan memperkuat paham-paham
mereka dengan alasan ilmu kalam dalam bentuk yang lebih nyata. Pikiran-pikiran al-Asy’ari
tersebut oleh pengikut-pengikutnya disebut paham “ Ahlusunnah wal Jamaah “
Jadi ia sebenarnya tidak bermaksud mengadakan aliran tersendiri yang terlepas dari aliran
yang telah ada sebelumnya dan boleh jadi sebutan “ Ahlusunnah wal Jama’ah “ itu sendiri,
sebagai mana aliran asy’ari belum dikenal pada masanya, sebab sumber tertua tentang asal-usul
penyebutan itu, ada di buku “ at-Tabshir fid Din “ oleh Abul Mudhaffar al-Isfaraini. Perkataan
“assunnah” dapat berarti jalan atau “cara” (thariqah). Pertama-tama yang dimaksudkan ialah
jalan atau cara yang ditempuh oleh sahabat dan tabiin dalam menghadapi ayat-ayat
mutasyabihat, yaitu menyerahkan artinya kepada Tuhan, tanpa menanyakan lagi. Perkataan
“assunnah” dapat juga diartikan “ Hadis Nabi “ dan yang dimaksudkan dengan “ Ahlusunnah “
ialah orang yang mengakui serta mempercayai kebenaran hadis Nabi tanpa menolaknya. Boleh
jadi kedua arti “assunnah” tersebut dipakai untuk perkataan “ahlusunnah”.
Perkataan “Jama’ah” berarti golongan kaum muslimin, pengertian al jamaah tidak
mencakup golongan Khawarij atau Rafidhah (Syi’ah) karena mereka tidak mempercayai
golongan muslimin yang lebih besar jumlahnya, tidak pula mencakup aliran Mu’tazilah karena
aliran ini tidak mengakui sahnya Ijma’ yaitu kebulatan pendapat golongan Mujtahidin sebagai
wakil dari keseluruhan kaum Muslimin.7

7
Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Al Husna Dzikra, 1995), hal.126-127
D. PERKEMBANGAN DAN PENGARUH ASY’ARIYAH (Ahlu Sunnah Wal Jama’ah) di
Dunia Islam
Perkembangan Aliran Asy’ariah (Ahlu Sunnah wal jama’ah)Sebagaimana telah
diuraikan sebelumya bahwa dalam perkembanganya aliran al Asy’ari kemudian diidentikkan
dengan paham Ahlu Sunnah wal jama’ah maka untuk membahas perkembangannya dan
pengaruhnya di dunia Islam pada dasarnya tidak terlepas dari peranan tokoh-tokohnya
sendiri. Pengaruh Asy’ariah (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) jika diperhatikan perjalanan sejarah
tokoh-tokoh Asy’ariah dalam perkembanganya dengan klaim Ahlu Sunnah wal Jama’ah, maka
dapat dikatakan bahwasanya pengaruh ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak terlepas dari
beberapa hal:

1. Kepintaran tokoh sentralnya yaitu Imam al-Asy’ari dan keahliannya dalam perdebatan
dengan basis keilmuan yang dalam. Di samping itu ia adalah seseorang yang shaleh dan
taqwa sehingga ia mampu menarik simpati orang banyak dan memperoleh kepercayaan
dari mereka.
2. Asy’ariah memiliki tokoh-tokoh dari kalangan intelektual dan birokrasi (penguasa) yang
sangat membantu penyebaran paham ini.Para tokoh-tokoh tersebut tidak hanya ahli
dalam bidang memberikan argumentasi-argumensi yang meyakinkan dalam
mengembangkan ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah melalui perdebatan namun juga
melahirkan karya-karya ilmiah yang menjadi referensi hingga saat ini. Karya tersebut
antara lain: Maqalat al-Islamiyyah, al-Ibanah an Ushuluddianah, al Luma’Ketiganya
oleh Asy’ari, al-Tamhid oleh al Baqillani, al-Irsyad oleh al Juwaini, al-Qawaidul
Aqa’id dan Ihya Ulumuddin oleh al Ghazali, Aqidatu Ahlut Tauhid oleh al
Sanusi, Risalatut Tauhid oleh Muhammad Abduh dan karya-karya lainnya.
5. Pengaruh Ahlu Sunnah ini sampai ke Indonesia. Di Indonesia misalnya NU secara
formal konstitusional menganut ideologi, demikian pula Muhammadiyah secara tidak
langsung mengakui ideologi ini seperti yang terlihat adalah salah satu keputusan majlis
tarjih yang menyatakan bahwa keputusan-keputusan tentang iman merupakan aqidah
dari Ahlu Haq wal Sunnah. Sedangkan pergerakan lainnya juga menyatakan berhak
menyandang sebutan Ahlu Sunnah ialah Persatuan Islam. Kenyataan ini menunjukkan
betapa aliran Ahlu Sunnah itu diyakini sebagai satu-satunya aliran yang benar dan
selamat.
ALIRAN MATURIDIYAH
A. Sejarah Kemunculan Maturidiyyah
Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang
berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami dalam membantah penyelisihnya
seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk menetapkan hakikat agama dan akidah
Islamiyyah.
Maturidiyyah adalah merujuk kepada sekumpulan pengikut yang menuruti
pemikiran al-Maturidi. Kebanyakan ulama al-Maturidiyyah pula terdiri daripada para pengikut
aliran fiqh al-Hanafiyyah. Ini kerana pada umumnya, aliran pemikiran al-Maturidiyyah
berkembang di kawasan aliran al-Hanafiyyah. Bagaimanapun, mereka tidaklah sekuat para
pengikut aliran Asy’ariyah.
Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama
pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad.8 Di samping itu, dalam buku
terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran
maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama
aliranini.9
Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang
berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami dalam membantah penyelisihnya
seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk menetapkan hakikat agama dan akidah
Islamiyyah. Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam
yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal
Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.
Aliran al-Maturidiyah ini sehenarnya tidak jauh berbeda dengan aliran al-Asy’ariyah.
Keduanya dilahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang sama. Kedua aliran ini datang untuk
memenuhi kehutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas
kaum rasionalis dimana yang berada dibarisan paling depan adalah Mu’iazilah, maupun kaum
tekstualitas yang dipelopori oleh kaum Hanbaliyah (para pengikut Imam Ibnu Hanbal).

A. Hanafi. 2003.Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka Al Husna Baru.


8

Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib. 1996. Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos Publishing
9

House.
Keduanya herbeda pendapat hanya dalam hal yang menyangkut masalah cabang dan detailitas10.
Aliran al-Maturidiyah berdiri atas prakarsa al-Maturidi pada tahun pertama abad ke-4 H di
wilayah Samarkand.11
Pada awalnya antara kedua aliran ini dipisahkan oleh jarak. aliran Asy’ariyah
berkembang di Irak dan Syam (Suriah) kemudian meluas sampai ke Mesir sedangkan aliran al-
Maturidiyah berkembang di Samarkand dan di daerah-daerah seberang sungai (Oxus). Kedua
aliaran mi bisa hidup dalam aliran yang kompleks dan memhentuk suatu mazhab. Nampak jelas
hahwa perbedaan sudut pandang mengenai masalah-masalah fiqih kedua aliran ini merupakan
faktor pendorong untuk berlomba dan survive. Orang-orang Hanafiah (pengikut imam Hanafi
membentengi aliran-aliran Maturidiyah dan mereka kaitkan akarnya sampai pada imam Abu
Hanifah sendiri12. Teolog yang juga bermazhab Hanafiyah seperti Maturidi adalah Abu Ja’far al-
Tahawi di Mesir. Dia adalah seorang ulama besar dibidang hadis dan fiqih yang teiah
mengembangkandogma-dogma teologi yang lebih besar. Lebih dari satu abad, mazhab
Asy’ariyah tetap populer hanya diantara pengikut Syafi‘iyah sementara mazhab Maturidiyah dan
begitu juga Tahawiyah terbatas penganutnya diantara pengikut Hanafi.13

B. TOKOH dan PEMIKIRAN ALIRAN MATURIDIYAH


1. MATURIDIYAH SAMARKAND
Nama lengkap al-Maturidi adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud
al-Maturidi. Lahir di kotakecil ”Maturid” dekatkota Samarkand wilayah Transoxiana di Asia
Tengah (daerah Urbekistan sekarang). Sebagian penulis menyebutkan bahwa al-Maturidi dari
turunan Abu Ayub al-Anshari, seorang sahabat Rasul di Madinah.14 Abu Mansur hidup pada
masa khalifah al-Mutawakkil yang memerintah tahun 232 -247 H/847-861 M. ia wafat tahun 333
H/944 M.15
Pada masa pendidikannya Abu Mansur lebih banyak menekuni bidang teologi, hal ini
sebagai usaha untuk memperkuat pengetahuannya terhadap paham-paham teologi yang
berkembang namun tidak sesuai dengan akidah dan syara’. Dalam pemikiran teologinya al-

10
Ibid.
11
Dr. Ihrahim Madkour. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Sinar Grafika offset.
12
Ibid.
13
Sayyed Hossein Nasr. 1996. Intelektual islam. Yogakarta: Pustaka Pelajar.
14
Mustafa al-Maraghi, Op. cit.; Ensiklopedia Islam, Op. cit., hlm. 133.
15
Mustafa al-Maraghi, Op. cit.; Ensiklopedia Islam, Op. cit., hlm. 13.
Maturidi menggunakan dasar al-Qur’an dan akal, sama seperti al-Asy’ari. Tetapi kedudukan
yang diberikan kepada akal lebih besar dari pada kedudukan yang diberikan kepada al-Qur’an.
a. Akal dan Wahyu
Menurut al-Maturidi, akal bisa mengetahui kewajiban untuk mengetahui Tuhan, seperti yang
diperintahkan oleh Tuhan dalam ayat-ayat al-Qur’an untuk menyelidiki (memperhatikan)
alam, langit dan bumi. Akan tetapi, meskipun akal semata-mata sanggup mengetahui Tuhan,
namun ia tetap tidak sanggup mengetahui dengan sendirinya hukum-hukum taklifi (perintah-
perintah Tuhan), dan pendapat terakhir ini berasal dari Abu Hanifah.16 Akal bisa mengetahui
kebaikan dan keburukan sebagian sesuatu perbuatan.
Al-Maturidi mengikuti pendapat Abu Hanifah, yaitu bahwa meskipun akal sanggup
mengetahui, namun kewajiban itu datangnya dari Syara’, karena akal semata-mata tidak
dapat bertindak sendiri dalam kewajiban-kewajiban agama, sebab yang mempunyai taklik
(mengeluarkan perintah-perintah agama) hanya Tuhan sendiri.
b. Perbuatan Manusia
Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan, karena segala sesuatu yang
termasuk perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan, sedangkan apabila mengatakan sesuatu
yang bukan ciptaan Tuhan adalah syirik dan tidak benar.17
c. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Perbuatan manusia dan segala sesuatu yang terwujud adalah ciptaan Tuhan dan semua
berada dalam kehendak Tuhan. Namun walau demikian, bukan berarti kehendak Tuhan
adalah sewenang-wenang. Akan tetapi perbuatan dan kehendak Tuhan adalah suatu hikmah
dan keadilan yang sudah di tetapkan-Nya sendiri.
d. Sifat Tuhan
Menurut Maturidy, pembicaraan tentang sifat harus di dasarkan atas pengakuan bahwa
Tuhan mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman azaly, tanpa pemisahan antara sifat-sifat zat,
seperti qodrat, dan sifat-sifat aktif (perbuatan, sifat af’al), seperti menciptakan,
menghidupkan, memberi rizqi dan lain-lain. Dalam membicarakan sifat-sifat Tuhan menurut
Maturidy harus digunakan cara Tasybih dan Tanzil Bersama-sama. Sifat-sifat Tuhan itu

16
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam (Jakarta: Pustaka, 1980), hlm. 135.
17
Ris’anRusli, Teologi Islam, Telaah Sejarah dan PemikiranTokoh-tokohnya (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 144
qadim dan tidak bisa diterangkan kecuali dengan menggunakan kata-kata yang biasa dipakai
untuk lingkungan manusia.
e. Melihat Tuhan
Al-Maturidy berpendapat bahwa melihat Tuhan itu nanti di akhirat dan dapat ditangkap
dengan penglihatan, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun lain materi. Tetapi melihat
Tuhan di akhirat itu tanpa diketahui bagaimana bentuknya, justru keadaan akhirat tidak sama
dengan keadaan didunia dan itu hanya diketahui oleh Tuhan saja.
f. Kalam Tuhan (Al-Qur’an)
Al-Maturidy membedakan antara kalam (sabda) yang terusun dari huruf dan bersuar dengan
kalam nafsi. Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari
huruf dan suara adalah baru (hadis).
g. Perbuatan-Perbuatan Tuhan
1) Kewajiban Tuhan terhadap Manusia
Menurut al-Maturidy tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud kecuali semuanya
adalah dalam kehendak Tuhan, dan kehendak Tuhan tidak ada yang memaksa atau
membatasinya kecuali karena hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya
sendiri. Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat menciptakan atau kewajiban-kewajiban
yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang telah
dikehendaki-Nya.
Kewajiban-kewajiban tersebut adalah:
a) Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia yang diluar
kemampuannya.
b) Hukuman-hukuman atau ancaman dan janji mesti terjadi.
2) Pengutusan Rasul
Dengan berdasarkan kepada pendapat al-Maturidy bahwa akal tidak selamanya mampu
mengetahui kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban
mengetahui baik atau buruk, dan kewajiban lainnya dari syariat yang dibebankan
kepada manusia, maka akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk dapat
mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut.
h. Pelaku Dosa Besar
Al-Maturidy berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak akan kekal
di dalam neraka walaupun mati sebelum bertobat. Hal ini adalah karena menurut al Maturidy
bahwa tuhan telah menjanjikan akan memberi balasan perbuatan manusia sesuai dengan
perbuatannya. Kekal neraka adal ah alasan bagi orang yang berdosa syirik. Selain itu, al-
maturidy beralasan bahwa iman itu cukup dengan tasdiq dan ikrar, adapun amal adalah
penyempurna iman, karena itu amal tidak menambah atau mengurangi pada sifatnya saja.
Karena itu pula orang yang berdosa besar tidak kafir, tetapi akan mendapat siksaan sesuai
dengan dosanya di akhirat kelak.

2. MATURIDIYAH BUKHARA
Dalam kelanjutan teologi Abu Mansur al-Maturidy terdapat dua golongan besar, yaitu
golongan al-Maturidiyah versi Samarkand yaitu para pengikut al-Maturidy sendiri dan golongan
Bukhara yaitu pengikut al-Bazdawi. Al-Bazdawi nama lengkapnya Abu Yusri Muhammad bin
Muhammad bin Abd. Al-Karim dilahirkan pada tahun 421 H. Ajaran al-Maturidiyah didapatkan
al-Bazdawi melalui orang tuanya sendiri yang belajar dari kakeknya Abd. Al Karim. Kecuali itu
al-Bazdawi belajar dari beberapa tokoh ulama Hanafiyah dan lainnya. 18AjaranMaturidy,
dipelajarinya dari karangan-karangan Maturidy, antara lain “Kitab al-Tauhid” dan “Kitab
Ta’wilat Al-Qur’an” Al-Bazdawi wafat tahun 493 H setelah berhasil membina beberapa
muridnya yang kemudian terkenal, termasuk dalam memasyhurkan nama al-Bazdawi, antara lain
Najmu al-Din Muhammad al-Hanafi
a. Akal dan Wahyu
Dalam kajian teologi ada empat pertanyaan/masalah akal dan wahyu, yaitu:
1) Dapatkah akal mengetahui adanya Tuhan?
2) Kalau iya, dapatkah akal mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan?
3) Dapatkah akal mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk?
4) Kalau iya, dapatkah akal mengetahui bahwa wajib bagi manusia berbuat baik dan
wajib baginya menjauhi perbuatan buruk?

Dalam masalah ini, al Bazdawi berpendapat bahwa akal hanya dapat mengetahui adanya
Tuhan dan apa yang baik dan apa yang buruk.
b. Sifat-sifat Tuhan
18
Harun Nasution, Op. cit., hlm.78
Al-Bazdawi berpendapat bahwa sifat-sifat Tuhan adalah sebagaimana yang tertulis dalam
ayat al-Qur’an. Berkaitan dengan al-Qur’an, al-Bazdawi berkata: apabila yang dimaksud
al-Qur’an, yang dibacakan oleh orang ,yaitu terjadi perbuatan membaca, yang tersusun
dari huruf dan suaranya, maka tidak pantas dikatakan bahwa al-Qur’an itu disebut “bukan
makhluk”. Namun perlu ditegaskan bahwa al-Qur’an itu bukan makhluk. Kalau dikatakan
secara mutlak bahwa qiraahnya, tilawahnya dan lafadznya makhluk. Karena itu, dalam
pandangan Maturidiyah Bukhara ini, sama dengan pendapat Asy’ari, Al-Qur’an itu
qadim.19
c. Keimanan
Al-Bazdawi memberi Batasan mengenai iman kepada Tuhan. Iman iala menerima dengan
hati dan mengucapkan dengan lidah bahwa tidak Tuhan selain Allah dan tidak ada sekutu
bagi-Nya. Al-Maturidi sendiri menulis bahwa Islam adalah mengetahui Tuhan dengan
tidak bertanya bagaimana bentuk-Nya, iman adalah mengetahui Tuhan dalam ketuhanan-
Nya, makrifah adalah mengetahui Tuhan dengan segala sifat-Nya, dan tauhid adalah
mengetahui Tuhan dalam keesaan-Nya.
d. Perbuatan Tuhan
Al-Maturidy berpendapat bahwa Allah itu menciptakan manusia itu karena ada hikmah
tertentu yang telah dipilih dan dikehendaki oleh Allah. Allah tidak menghendaki
mengubah hikmah yang telah ditetapkan-Nya
e. Kekuasaan dan Kehendak Tuhan
Tuhan berbuat dan berkehendak apa saja yang dikehendak-Nya. Tuhan menentukan
segalanya dan tidak siapapun yang dapat menentang kehendak-Nya. Dengan inilah yang
dinamakan bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak.
f. Keadilan Tuhan
Maturidy Bukhara ini percaya bahwa Tuhan itu berbuat terhadap manusia atas dasar
kekuasaan dan kehendak-Nya yang mutlak. Dengan ini, manusia sebagai makhluk Tuhan
harus meyakini bahwa diri manusia adalah milik Tuhan secara mutlak. Oleh karena itu,
sah-sah saja Tuhan berkehendak sesuatu terhadap makhluk-Nya sesuai dengan kehendak
dan pengetahuan-Nya.
g. Perbuatan Manusia

19
Ris’anRusli, Teologi Islam, Telaah Sejarah dan PemikiranTokoh-tokohnya (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 157
Bahwa manusia itu diberi oleh Allah Masy’ah (kehendak) yang dengan itu mereka
mempunyai andil besar dalam perbuatannya sendiri, sehingga kalau ia berbuat baik atau
buruk, maka resikonya akan kembali kepadanya.

BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan makalah ini, ditarik suatu kesimpulan, bahwa secara histories
timbulnya aliran al-Asy’ariah disebabkan oleh karena kuatnya keinginan untuk kembali pada
pemahaman yang semula yaitu pemikiran Ahlussunnah Waljamaah, tapi juga dalam
pemikirannya al-Asy’ari masih menggunakan metode yang digunakan oleh kaum Mu’tazilah,
yaitu menggunakan kemampuan akal menganalisis nas-nas al-Qur’an.
Kaum Mu’tazilah selalu mengedepankan akal pikiran untuk memahami wahyu, berangkat
dari akal kemudia wahyu. Tapi al-Asy’ari sebaliknya mengedepankan wahyu dibanding akal,
menggunakan akal seperlunya saja. Sehingga tidak heran al-Asy’ari dalam pemikirannya selalu
mengkompromikan pemahaman Ahlussunnah Waljamaah dengan kaum rasionalis tersebut. Hal
tersebut dapat dilihat pada setiap pokok-pokok pemikirannya.

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib. 1996. Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam. Jakarta:
Logos Publishing House.
Al-Maraghi, Mustafa. Ensiklopedia Islam.
Asmuni, Yusran. 2000. Ilmu Tauhid. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Al-Asy’ari, Abu al-Hasan. 1969. al-Ibanah’an Ushul al-Diyanah. Kairo: maktabah al-Nahdah al-
Misriyyah.
Hanafi. 1995. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Al Husna Dzikra.
Hanafi, Ahmad. 1969. THEOLOGY ISLAM. Jakarta: Bulan Bintang.
Madkour, Ihrahim. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Sinar Grafika offset.

Nasr, Sayyed Hossein. 1996. Intelektual islam. Yogakarta: Pustaka Pelajar.


Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan. Jakarta: UI-
Press.
Rusli, Ris’an. 2014. Teologi Islam. Jakarta: KENCANA..

Anda mungkin juga menyukai