1|Page
Hukum dan moral merupakan salah satu topik yang sangat banyak
diperbincangkan dalam filsafat hukum. Dalam turut membahas isu ini,
Kelsen membagi pembahasannya ke dalam beberapa bagian; pertama
norma moral sebagai norma sosial; kedua moral sebagai aturan mengenai
perilaku internal; ketiga moral sebagai aturan positif noncoersif; keempat
hukum sebagai bagian dari moral; kelima relatifitas nilai moral; keenam
pemisahan aturan hukum dan moral; dan ketujuh justifikasi hukum melalui
moral.
Kelsen pada dasarnya berpendapat bahwa hukum dan moral memiliki
keterkaitan yang erat dan saling mempengaruhi, meskipun demikian dia
menegaskan bahwa hukum bukanlah (hanya) berarti moral, atau dengan
kata lain hukum lebih dari sekedar moral.
Moral menurut Kelsen memiliki beberapa “keterbatasan”. Pertama bahwa
moral hanya sekumpulan norma sosial yang tidak memiliki perangkat
sanksi yang bersifat koersif. Sanksi dalam norma moral hanya berupa
persetujuan atau ketidaksetujuan terhadap tindakan/perilaku yang
melanggar norma moral. Kedua, moral berangkat dari nilai yang berasal
dari keyakinan keagamaan dan dari kekuasaan ilahiyah sehingga tidak
dapat diuji validitasnya. Kebenaran moral akan sangat rentan ketika
diperhadapkan dengan moral lain yang bersumber dari keyakinan agama
lainnya. Ketiga, norma moral sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu.
Nilai moral yang diyakini dan dipraktekkan oleh sebuah komunitas di suatu
waktu, akan berbeda dengan nilai moral yang diyakini dan dipraktekkan
oleh komunitas di tempat dan waktu lainnya, sehingga dengan demikian
nilai moral memiliki tingkat relativitas yang tinggi.
Berdasarkan atas “keterbatasan” moral tersebut, maka menurut Kelsen,
postulat yang menganggap bahwa hukum itu harus selaras dengan moral
dan (khususnya) keadilan sangat lemah dan bertentangan dengan teori
hukum murni. Teori Hukum Murni memisahkan hukum dengan moral
(meskipun tetap mengakui bahwa diantara keduanya tetap memiliki
hubungan).
Kelsen berpendapat bahwa teori Hukum Murni memandang hubungan
antara hukum dan moral mengandung beberapa aspek penting sebagai
berikut:
Hukum lebih luas dari norma moral karena hukum bersifat koersif,
sedangkan moral merupakan norma sosial yang tidak bersifat koersif.
Hukum mengatur –tidak hanya- perilaku internal manusia, tetapi juga
perilaku eksternal, sebagaimana norma moral.
Hukum tidak bisa dijustifikasi melalui norma moral (dan juga keadilan),
dalam artian validitas hukum tidak dapat diukur sekedar dari
kesesuaiannya dengan norma moral (dan keadilan), karena norma moral
bersifat relatif.
Argumentasi yang disajikan oleh Kelsen melalui teori hukum murni dalam
menjelaskan hubungan antara moral dan hukum ini sangat penting
terutama untuk mendudukkan masalah yang seringkali muncul dalam
masyarakat yang menganggap bahwa hukum haruslah selaras dengan
moral, padahal moral memiliki validitas yang relatif.
2|Page
Bahwa norma hukum memiliki kesamaan dengan norma moral, hal itu
diakui oleh Kelsen, karena menurutnya, keduanya sama-sama mengatur
tentang perilaku manusia. Artinya hukum dan moral adalah sama, tapi
dalam batas bentuknya, yakni aturan tentang tata perilaku manusia. Namun
dalam hal isi (content) maka hukum tidak sama dengan moral, melainkan
hukum lebih dari sekedar moral dan harus melampaui moral yang
validitasnya bersifat relatif. Kelsen menggambarkan kisah Paul ketika
menulis surat kepada orang-orang Romawi dalam proses pembentukan
hukum, yang meminta agar dilakukan penelitian terhadap norma-norma
moral yang diyakini oleh berbagai komunitas yang berbeda, dan dicari titik
temunya guna mendapatkan standard nilai moral yang paling banyak
disetujui oleh komunitas-komunitas tersebut.
Namun demikian, dalam menjelaskan hubungan antara moral dan hukum
ini, terdapat sebuah kelemahan dari penjelasan Kelsen, ketika dia
menegaskan tentang relatifitas norma moral yang dipengaruhi oleh ruang,
waktu, dan keyakinan keagamaan manusia, pada saat yang sama dia tidak
menjelaskan tentang kemungkinan bahwa norma hukum juga dipengaruhi
oleh ruang dan waktu yang (juga) dapat mempengaruhi validitasnya.
Sebuah norma hukum yang berlaku, dalam perjalanannya dapat juga
berkurang atau bahkan hilang validitasnya seiring perubahan waktu, ruang
dan keyakinan manusia. Namun hal ini dapat dimaklumi karena Kelsen
memandang hukum sebagai sebuah produk ansich, tanpa melihat
bagaimana norma hukum tersebut berkembang, baik dalam arti direvisi,
atau bahkan diganti.
3|Page
Hukum dan Moral
Moral Sebagai Norma Sosial
Dengan membatasi hukum sebagai norma, maka pengertian ini mengandung
pertentangan dengan alam, ilmu hukum berbeda dengan ilmu alam. Di luar
norma hukum, terdapat norma lain yang mengatur tentang bagaimana
perilaku antar manusia, yang disebut dengan norma sosial, dimana hal ini
sering juga disebut dengan “moral”, dan ilmu yang mempelajarinya disebut
“ethic” (dalam prakteknya, kedua istilah ini sering dipertukarkan). Hubungan
antara keadilan dan hukum termasuk dalam (menjadi bagian dari) hubungan
antara hukum dan moral. Keterkaitan hubungan ini menjadikan “kemurnian
metodologis” ilmu hukum sering dikorbankan dan kurang dianggap ilmiah.
Terkadang karakter sosial dari moral diperhadapkan pada kasus/masalah
individual misalnya larangan untuk bunuh diri, yang dianggap sebagai masalah
orang perorang dan bukan masalah sosial (hubungan antar orang dalam
masyarakat).
Larangan bunuh diri menjadi bagian dari norma sosial bukan karena persoalan
individualnya, tetapi karena dampak dari tindakan bunuh diri yang dilakukan
oleh seseorang tersebut akan menimbulkan konsekwensi bagi masyarakat di
sekitarnya.
Bahkan kewajiban individual juga merupakan kewajiban sosial, karena
individu tidak akan dapat hidup sendirian.
4|Page
mementingkan ego pribadinya meskipun tanpa diperintahkan (untuk
melakukannya).
Perlu dicatat bahwa jika orang mematuhi/berperilaku seperti yang diatur
dalam tatanan sosial, mereka melakukannya hanya karena sesuai dengan
kepentingan dan keinginannya yang dibentuk oleh tatanan sosial –yang
mungkin kepentingan tersebut akan berbeda jika tidak diatur oleh tatanan
sosial. Tidak ada tatanan sosial yang dapat menghilangkan kecenderungan dan
ego pribadi orang sebagai motif dalam melakukan perbuatan, melainkan
(tatanan sosial) hanya bisa menciptakan/mengarahkan agar kecenderungan dan
kepentingan agar sesuai dengan tatanan sosial dan menghambat/mencegah
kecenderungan dan kepentingan yang bertentangan dengan tatanan sosial.
Doktrin etis dimaknai bahwa perilaku yang diatur dalam tatanan sosial hanya
dianggap memiliki nilai moral sepanjang perilaku tersebut diarahkan untuk
melawan kecenderungan dan kepentingan pribadi. Doktrin etis tersebut
menunjukkan bahwa moral menentukan untuk menghambat kecenderungan
seseorang dan bukan untuk merealisasikan kepentingan pribadi orang tersebut,
tetapi lebih agar bertindak berdasarkan motif yang lain. Dengan demikian
berarti bahwa norma moral hanya merujuk pada motif dari perilaku seseorang.
Tatanan moral dimana norma hanya berkaitan dengan motif dari perilaku
mengandaikan tatanan sosial lain, yang mengatur sebuah perilaku eksternal.
Tidak semua perilaku adalah moral ketika ia diarahkan untuk melawan
kecenderungan dan kepentingan pribadi. Jika seseorang mematuhi perintah
untuk membunuh, maka tindakan ini tidak memiliki nilai moral, meskipun
perintah ini berlawanan dengan kecenderungan dan kepentingan pribadi,
sepanjang pembunuhan dilarang secara moral (contoh yang aneh). Sebuah
perilaku dianggap memiliki nilai moral jika perilaku tersebut sesuai dengan
norma moral. Motif tidak bisa dipisahkan dari perilaku yang diarahkan
(motivated behavior), demikian juga moral tidak bisa dibatasi oleh hukum.
5|Page
Kebanyakan pertanyaan mengenai hubungan antara hukum dan moral dijawab
dengan mengatakan bahwa hukum pada asalnya adalah moral, yang berarti
bahwa perilaku yang diperintahkan atau dilarang oleh hukum adalah juga
perilaku yang diperintahkan atau dilarang oleh moral. Selanjutnya jika tatanan
sosial memerintahkan sebuah perilaku yang dilarang oleh moral atau melarang
sesuatu yang diperintahkan oleh moral, maka perintah atau larangan tersebut
bukan hukum, karena hal ini tidak adil.
Pertanyaan ini juga dijawab dengan mengatakan bahwa hukum dapat (tapi
tidak musti) berarti moral (dalam arti just/adil); bahwa tatanan sosial
yang bertentangan dengan moral maka bukan hukum.
Jika pertanyaan tentang kaitan hukum dan moral dipahami sebagai
pertanyaan terkait dengan isi hukum dan bukan bentuknya, maka hukum
mengandung nilai-nilai moral, hukum itu valid sepanjang sesuai dengan tata
moral, tata hukum merupakan bagian dari tata moral, serta hukum itu adalah
moral. Dalam kerangka demikian, maka harus diandaikan bahwa hanya
ada satu aturan moral yang valid untuk menjadi dasar munculnya nilai-
nilai moral, dan hanya norma-norma yang sesuai dengan aturan moral tersebut
yang dianggap sebagai “hukum”.
6|Page
Oleh karenanya tidak tepat untuk dikatakan bahwa hukum tidak hanya
mengandung norma tapi juga mengatur atau mengandung nilai. Theori yang
mengatakan bahwa hukum pada esensinya mencerminkan moral tidak
dapat diterima. Karena postulat ini mengandaikan adanya kemanunggalan
moral yang berlaku untuk seluruh umat manusia.
7|Page
Postulat untuk memisahkan hukum dengan moral, ilmu hukum dengan ilmu
etika berarti bahwa dalam sudut pandang ilmiah, pengujian atas norma hukum
dengan menggunakan moral tidak relevan, karena tugas dari ilmu hukum bukan
untuk menyetujui atau tidak menyetujui materinya melainkan untuk mengetahui
dan menggambarkannya. Ilmuwan hukum tidak mengidentikkan dirinya dengan
nilai-nilai tertentu, dan harus netral.
Jika perbedaan antara moral dan hukum itu mungkin terjadi, maka postulat
untuk memisahkan hukum dengan moral berarti bahwa validitas hukum tidak
bergantung pada kesesuaian hukum itu dengan moral, hukum masih valid
meskipun dianggap bertentangan dengan moral.
Thesis bahwa hukum pada dasarnya adalah moral ditolak oleh teori hukum
murni bukan hanya karena thesis tersebut mengandaikan adanya nilai moral
yang absolut (yang pada kenyataannya relatif), tetapi juga karena aplikasinya
dalam ilmu hukum mengandung justifikasi yang tidak kritis terhadap pemegang
wewenang penegakan hukum dalam komunitas. Jika moral dijadikan justifikasi
oleh pemegang wewenang penegakan hukum dalam komunitas untuk menilai
hukum maka akan berpeluang menghasilkan penyelewengan dan kesewenang-
wenangan karena mereka akan memaksakan pandangan moralnya kepada
kelompok yang memiliki pandangan moral yang berbeda.
8|Page