Anda di halaman 1dari 8

HUKUM DAN MORAL

Menurut Hans Kelsen dalam The Pure Theory of Law

Program Doktoral Hukum UI


Peminatan Hukum Tata Negara

Oleh : Ahsanul Minan


NPM : 1806158966

1|Page
Hukum dan moral merupakan salah satu topik yang sangat banyak
diperbincangkan dalam filsafat hukum. Dalam turut membahas isu ini,
Kelsen membagi pembahasannya ke dalam beberapa bagian; pertama
norma moral sebagai norma sosial; kedua moral sebagai aturan mengenai
perilaku internal; ketiga moral sebagai aturan positif noncoersif; keempat
hukum sebagai bagian dari moral; kelima relatifitas nilai moral; keenam
pemisahan aturan hukum dan moral; dan ketujuh justifikasi hukum melalui
moral.
Kelsen pada dasarnya berpendapat bahwa hukum dan moral memiliki
keterkaitan yang erat dan saling mempengaruhi, meskipun demikian dia
menegaskan bahwa hukum bukanlah (hanya) berarti moral, atau dengan
kata lain hukum lebih dari sekedar moral.
Moral menurut Kelsen memiliki beberapa “keterbatasan”. Pertama bahwa
moral hanya sekumpulan norma sosial yang tidak memiliki perangkat
sanksi yang bersifat koersif. Sanksi dalam norma moral hanya berupa
persetujuan atau ketidaksetujuan terhadap tindakan/perilaku yang
melanggar norma moral. Kedua, moral berangkat dari nilai yang berasal
dari keyakinan keagamaan dan dari kekuasaan ilahiyah sehingga tidak
dapat diuji validitasnya. Kebenaran moral akan sangat rentan ketika
diperhadapkan dengan moral lain yang bersumber dari keyakinan agama
lainnya. Ketiga, norma moral sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu.
Nilai moral yang diyakini dan dipraktekkan oleh sebuah komunitas di suatu
waktu, akan berbeda dengan nilai moral yang diyakini dan dipraktekkan
oleh komunitas di tempat dan waktu lainnya, sehingga dengan demikian
nilai moral memiliki tingkat relativitas yang tinggi.
Berdasarkan atas “keterbatasan” moral tersebut, maka menurut Kelsen,
postulat yang menganggap bahwa hukum itu harus selaras dengan moral
dan (khususnya) keadilan sangat lemah dan bertentangan dengan teori
hukum murni. Teori Hukum Murni memisahkan hukum dengan moral
(meskipun tetap mengakui bahwa diantara keduanya tetap memiliki
hubungan).
Kelsen berpendapat bahwa teori Hukum Murni memandang hubungan
antara hukum dan moral mengandung beberapa aspek penting sebagai
berikut:
 Hukum lebih luas dari norma moral karena hukum bersifat koersif,
sedangkan moral merupakan norma sosial yang tidak bersifat koersif.
 Hukum mengatur –tidak hanya- perilaku internal manusia, tetapi juga
perilaku eksternal, sebagaimana norma moral.
 Hukum tidak bisa dijustifikasi melalui norma moral (dan juga keadilan),
dalam artian validitas hukum tidak dapat diukur sekedar dari
kesesuaiannya dengan norma moral (dan keadilan), karena norma moral
bersifat relatif.
Argumentasi yang disajikan oleh Kelsen melalui teori hukum murni dalam
menjelaskan hubungan antara moral dan hukum ini sangat penting
terutama untuk mendudukkan masalah yang seringkali muncul dalam
masyarakat yang menganggap bahwa hukum haruslah selaras dengan
moral, padahal moral memiliki validitas yang relatif.

2|Page
Bahwa norma hukum memiliki kesamaan dengan norma moral, hal itu
diakui oleh Kelsen, karena menurutnya, keduanya sama-sama mengatur
tentang perilaku manusia. Artinya hukum dan moral adalah sama, tapi
dalam batas bentuknya, yakni aturan tentang tata perilaku manusia. Namun
dalam hal isi (content) maka hukum tidak sama dengan moral, melainkan
hukum lebih dari sekedar moral dan harus melampaui moral yang
validitasnya bersifat relatif. Kelsen menggambarkan kisah Paul ketika
menulis surat kepada orang-orang Romawi dalam proses pembentukan
hukum, yang meminta agar dilakukan penelitian terhadap norma-norma
moral yang diyakini oleh berbagai komunitas yang berbeda, dan dicari titik
temunya guna mendapatkan standard nilai moral yang paling banyak
disetujui oleh komunitas-komunitas tersebut.
Namun demikian, dalam menjelaskan hubungan antara moral dan hukum
ini, terdapat sebuah kelemahan dari penjelasan Kelsen, ketika dia
menegaskan tentang relatifitas norma moral yang dipengaruhi oleh ruang,
waktu, dan keyakinan keagamaan manusia, pada saat yang sama dia tidak
menjelaskan tentang kemungkinan bahwa norma hukum juga dipengaruhi
oleh ruang dan waktu yang (juga) dapat mempengaruhi validitasnya.
Sebuah norma hukum yang berlaku, dalam perjalanannya dapat juga
berkurang atau bahkan hilang validitasnya seiring perubahan waktu, ruang
dan keyakinan manusia. Namun hal ini dapat dimaklumi karena Kelsen
memandang hukum sebagai sebuah produk ansich, tanpa melihat
bagaimana norma hukum tersebut berkembang, baik dalam arti direvisi,
atau bahkan diganti.

3|Page
Hukum dan Moral
Moral Sebagai Norma Sosial
Dengan membatasi hukum sebagai norma, maka pengertian ini mengandung
pertentangan dengan alam, ilmu hukum berbeda dengan ilmu alam. Di luar
norma hukum, terdapat norma lain yang mengatur tentang bagaimana
perilaku antar manusia, yang disebut dengan norma sosial, dimana hal ini
sering juga disebut dengan “moral”, dan ilmu yang mempelajarinya disebut
“ethic” (dalam prakteknya, kedua istilah ini sering dipertukarkan). Hubungan
antara keadilan dan hukum termasuk dalam (menjadi bagian dari) hubungan
antara hukum dan moral. Keterkaitan hubungan ini menjadikan “kemurnian
metodologis” ilmu hukum sering dikorbankan dan kurang dianggap ilmiah.
Terkadang karakter sosial dari moral diperhadapkan pada kasus/masalah
individual misalnya larangan untuk bunuh diri, yang dianggap sebagai masalah
orang perorang dan bukan masalah sosial (hubungan antar orang dalam
masyarakat).
Larangan bunuh diri menjadi bagian dari norma sosial bukan karena persoalan
individualnya, tetapi karena dampak dari tindakan bunuh diri yang dilakukan
oleh seseorang tersebut akan menimbulkan konsekwensi bagi masyarakat di
sekitarnya.
Bahkan kewajiban individual juga merupakan kewajiban sosial, karena
individu tidak akan dapat hidup sendirian.

Moral sebagai Aturan yang Mengatur Perilaku Internal


Perbedaan antara moral dan hukum tidak dapat diukur dengan (hanya
berdasarkan) perilaku manusia. Bunuh diri tidak hanya dilarang secara moral,
tapi juga secara hukum. Keberanian dan kesucian tidak hanya menjadi kewajiban
moral, tetapi juga kewajiban hukum. Demikian juga (perbedaan keduanya) tidak
sekedar seperti yang dipersepsikan oleh khalayak bahwa hukum mengatur
perilaku eksternal (antar manusia) sedangkan moral mengatur perilaku internal.
Kedua norma ini (norma hukum dan norma moral) sama-sama mengatur
tentang kedua jenis perilaku tersebut.
Jika norma hukum melarang tindakan pembunuhan, maka pada dasarnya aturan
hukum tersebut tidak hanya melarang tindakan penghilangan nyawa oleh
perilaku ekternal orang lain, tetapi juga melarang perilaku internal individu
(yang disebut dengan kehendak untuk bertindak yang menyebabkan timbulnya
akibat).
Perilaku internal (agar dapat dikategorikan sebagai moral) harus
diarahkan untuk melawan kecenderungan dan kepentingan egoistik
seseorang. Ketika perilaku internal diartikan sebagai sebuah kewajiban (yang
diciptakan oleh norma moral) untuk bertindak melalui cara tertentu itu berlaku
(valid bahkan ketika kecenderungan atau kepentingan egoistik tersebut
bertentangan dengan perilaku yang diperintahkan), maka kewajiban tersebut
juga berlaku terhadap kewajiban yang dibuat oleh hukum. Merupakan hal yang
tak dapat dihindari bahwa tatanan sosial akan mengatur sebuah perilaku yang
diarahkan untuk melawan kecenderungan dan kepentingan egoistik seseorang,
jika sebaliknya tatanan sosial hanya mengatur sebuah perilaku yang sesuai
dengan kecenderungan dan kepentingan egoistik maka menjadi tidak berguna,
karena orang akan selalu berusaha untuk mengikuti kecenderungan atau

4|Page
mementingkan ego pribadinya meskipun tanpa diperintahkan (untuk
melakukannya).
Perlu dicatat bahwa jika orang mematuhi/berperilaku seperti yang diatur
dalam tatanan sosial, mereka melakukannya hanya karena sesuai dengan
kepentingan dan keinginannya yang dibentuk oleh tatanan sosial –yang
mungkin kepentingan tersebut akan berbeda jika tidak diatur oleh tatanan
sosial. Tidak ada tatanan sosial yang dapat menghilangkan kecenderungan dan
ego pribadi orang sebagai motif dalam melakukan perbuatan, melainkan
(tatanan sosial) hanya bisa menciptakan/mengarahkan agar kecenderungan dan
kepentingan agar sesuai dengan tatanan sosial dan menghambat/mencegah
kecenderungan dan kepentingan yang bertentangan dengan tatanan sosial.
Doktrin etis dimaknai bahwa perilaku yang diatur dalam tatanan sosial hanya
dianggap memiliki nilai moral sepanjang perilaku tersebut diarahkan untuk
melawan kecenderungan dan kepentingan pribadi. Doktrin etis tersebut
menunjukkan bahwa moral menentukan untuk menghambat kecenderungan
seseorang dan bukan untuk merealisasikan kepentingan pribadi orang tersebut,
tetapi lebih agar bertindak berdasarkan motif yang lain. Dengan demikian
berarti bahwa norma moral hanya merujuk pada motif dari perilaku seseorang.
Tatanan moral dimana norma hanya berkaitan dengan motif dari perilaku
mengandaikan tatanan sosial lain, yang mengatur sebuah perilaku eksternal.
Tidak semua perilaku adalah moral ketika ia diarahkan untuk melawan
kecenderungan dan kepentingan pribadi. Jika seseorang mematuhi perintah
untuk membunuh, maka tindakan ini tidak memiliki nilai moral, meskipun
perintah ini berlawanan dengan kecenderungan dan kepentingan pribadi,
sepanjang pembunuhan dilarang secara moral (contoh yang aneh). Sebuah
perilaku dianggap memiliki nilai moral jika perilaku tersebut sesuai dengan
norma moral. Motif tidak bisa dipisahkan dari perilaku yang diarahkan
(motivated behavior), demikian juga moral tidak bisa dibatasi oleh hukum.

Moral sebagai Aturan Positif yang noncoercive


Norma moral sebagaimana norma hukum diciptakan oleh kebiasaan dan
tindakan dari keinginan (acts of will). Dalam kerangka ini, moral merupakan
aturan yang positif (berlaku), dan hanya aturan moral yang positif saja yang
dapat menjadi obyek dari ilmu etika. Tatanan moral tidak memiliki hirarkhi
maupun pembagian bidang-bidang. Tatanan hukum primitif juga
terdesentralisasi, demikian juga hukum internasional.
Perbedaan antara moral dan hukum bukan terletak pada perintah atau
larangannya, namun pada bagaimana perintah dan larangan tersebut
mempengaruhi perilaku. Hukum merupakan perintah dan larangan yang
bersifat koersif, sedangkan moral tidak koersif (tidak mengandung sanksi).
Sanksi dalam norma moral lebih mengacu pada persetujuan atau
ketidaksetujuan terhadap norma tersebut, dan tidak ada tindakan koersif yang
diatur sebagai sanksi.

Hukum sebagai Bagian dari Moral


Setelah hukum dan moral diketahui sebagai sebuah sistem norma yang berbeda,
maka pertanyaan yang kerap muncul berikutnya adalah apa kaitan antara
keduanya? Bagaimana seharusnya keterkaitan keduanya? Jika kedua pertanyaan
ini dicampuradukkan maka akan menghasilkan kesalahpahaman.

5|Page
Kebanyakan pertanyaan mengenai hubungan antara hukum dan moral dijawab
dengan mengatakan bahwa hukum pada asalnya adalah moral, yang berarti
bahwa perilaku yang diperintahkan atau dilarang oleh hukum adalah juga
perilaku yang diperintahkan atau dilarang oleh moral. Selanjutnya jika tatanan
sosial memerintahkan sebuah perilaku yang dilarang oleh moral atau melarang
sesuatu yang diperintahkan oleh moral, maka perintah atau larangan tersebut
bukan hukum, karena hal ini tidak adil.
Pertanyaan ini juga dijawab dengan mengatakan bahwa hukum dapat (tapi
tidak musti) berarti moral (dalam arti just/adil); bahwa tatanan sosial
yang bertentangan dengan moral maka bukan hukum.
Jika pertanyaan tentang kaitan hukum dan moral dipahami sebagai
pertanyaan terkait dengan isi hukum dan bukan bentuknya, maka hukum
mengandung nilai-nilai moral, hukum itu valid sepanjang sesuai dengan tata
moral, tata hukum merupakan bagian dari tata moral, serta hukum itu adalah
moral. Dalam kerangka demikian, maka harus diandaikan bahwa hanya
ada satu aturan moral yang valid untuk menjadi dasar munculnya nilai-
nilai moral, dan hanya norma-norma yang sesuai dengan aturan moral tersebut
yang dianggap sebagai “hukum”.

Relativitas Nilai Moral


Jika sebuah nilai absolut pada umumnya dan sebuah nilai moral yang absolut
pada khususnya ditolak oleh ilmu pengetahuan (ditolak kebenarannya secara
scientific), karena nilai yang absolut diasumsikan hanya bisa berdasarkan
keyakinan agama dan berasal dari kekuasaan ilahiyah, maka keabsolutan
perintah moral harus mengesampingkan kemungkinan adanya perintah moral
yang lain (berdasarkan keyakinan agama lain); jika (dilanjutkan pertanyaan
kritisnya) pada waktu dan tempat yang berbeda (baik di negara yang berbeda
atau bahkan yang satu negara) terdapat perbedaan sistem moral yang berlaku;
jika diakui bahwa nilai moral itu relatif, maka tuntutan bahwa hukum itu
harus mengandung nilai moral harus dimaknai bahwa untuk
mengkualifikasi sebuah hukum, maka hukum itu harus mengandung nilai
moral yang secara umum disetujui oleh banyak sistem moral sebagai
sebuah sistem keadilan.
Hal ini sulit dilakukan, karena relatifitas nilai moral, dimana perbedaan
keyakinan agama, waktu dan tempat akan mempengaruhi perbedaan pandangan
tentang nilai-nilai moral. Semua perintah moral pada umumnya hanya memiliki
satu kesamaan yakni bahwa mereka itu norma sosial, yang memuat aturan tata
perilaku antar orang. Mereka memiliki bentuk yang sama, yakni “ought”,
seharusnya, perintah untuk melakukan sesuatu yang memiliki karakter
normatif. Nilai relatif moral dibangun oleh norma sosial yang mengatur agar
orang berperilaku dengan cara tertentu.
Di bawah prasangka ini, pernyataan “hukum pada dasarnya adalah moral” tidak
berarti bahwa hukum memiliki kandungan tertentu, tetapi hukum itu berisi
norma (norma sosial) yang mengatur agar orang berperilaku dengan cara
tertentu. Dalam kerangka ini, maka setiap hukum adalah moral, setiap
hukum mengatur sebuah nilai moral yang relatif. Dengan demikian,
pertanyaan tentang keterkaitan hukum dengan moral bukanlah pada aspek
konten hukumnya, melainkan bentuknya.

6|Page
Oleh karenanya tidak tepat untuk dikatakan bahwa hukum tidak hanya
mengandung norma tapi juga mengatur atau mengandung nilai. Theori yang
mengatakan bahwa hukum pada esensinya mencerminkan moral tidak
dapat diterima. Karena postulat ini mengandaikan adanya kemanunggalan
moral yang berlaku untuk seluruh umat manusia.

Pemisahan Aturan Hukum dan Moral


Jika diasumsikan bahwa hukum pada dasarnya adalah moral (yang diikuti
dengan anggapan akan adanya nilai moral yang absolut), maka menjadi tidak
berarti untuk menuntut bahwa hukum harus sama dengan (menjadi) moral.
Postulat ini bisa bermanfaat jika diakui ada hukum yang tidak bermoral (tidak
mengandung elemen moral).
Jika teori hukum positif menuntut pembedaan antara hukum dan moral,
dan hukum dengan keadilan, maka sebenarnya teori ini diarahkan untuk
melawan pandangan tradisional (yang pada umumnya diyakini oleh
hakim) akan adanya satu nilai moral yang absolut dan valid.
Tuntutan untuk memisahkan hukum dengan moral dan justice berarti bahwa
validitas hukum tidak bergantung pada moral (yang bersifat relatif). Jika
tuntutan bahwa hukum harus selaras dengan moral, maka moral yang dijadikan
sebagai acuan untuk mengukur keselarasan tersebut haruslah hanya satu di
antara beberapa tata moral yang ada. Tuntutan pemisahan ini bukan berarti
menganggap bahwa antara hukum dengan moral tidak memiliki keterkaitan,
bukan berarti bahwa konsep hukum itu berada di luar (terpisah) dari konsep
kebaikan. Konsep kebaikan dimaknai sebagai hal-hal yang sesuai dengan norma
sosial, dan jika hukum didefinisikan sebagai norma sosial maka apa yang sesuai
dengan norma hukum maka sesuai pula dengan konsep kebaikan.
Teori pemisahan hukum dan moral dibangun atas anggapan tentang
relatifitas nilai, yang berarti bahwa: 1) jika perintah hukum dianggap harus
mengandung atau tidak mengandung moral dan keadilan, maka anggapan ini
menunjukkan hubungan antara perintah hukum dengan salah satu dari beberapa
sistem moral, sehingga mengandung penilaian moral yang relatif; 2) keberlakuan
sebuah perintah hukum tidak bergantung pada kesesuaiannya dengan beberapa
sistem moral.
Teori ini sering disalahpahami dengan mengatakan bahwa dengan demikian
tidak ada nilai moral dan khususnya nilai keadilan dalam hukum. Oleh karena itu
diingatkan bahwa mengevaluasi perintah hukum dari sudut pandang moral dan
keadilan itu tidak tepat, karena ukuran moral dan keadilan itu relatif.

Justifikasi Hukum melalui Moral


Justifikasi hukum melalui moral hanya dapat dilakukan jika ada
perbedaan yang mencolok antara norma hukum dengan moral –jika ada
norma hukum yang baik atau buruk secara moral. Jika norma hukum dibuat
melalui proses pengamatan terhadap tata moral dari beberapa sistem moral
yang ada untuk mendapatkan titik kesamaan diantara mereka (sebagaimana
dinyatakan oleh Paul dalam suratnya ke orang-orang Romawi), maka menjadi
tidak mungkin untuk melegitimasi norma hukum dengan norma moral.

7|Page
Postulat untuk memisahkan hukum dengan moral, ilmu hukum dengan ilmu
etika berarti bahwa dalam sudut pandang ilmiah, pengujian atas norma hukum
dengan menggunakan moral tidak relevan, karena tugas dari ilmu hukum bukan
untuk menyetujui atau tidak menyetujui materinya melainkan untuk mengetahui
dan menggambarkannya. Ilmuwan hukum tidak mengidentikkan dirinya dengan
nilai-nilai tertentu, dan harus netral.

Jika perbedaan antara moral dan hukum itu mungkin terjadi, maka postulat
untuk memisahkan hukum dengan moral berarti bahwa validitas hukum tidak
bergantung pada kesesuaian hukum itu dengan moral, hukum masih valid
meskipun dianggap bertentangan dengan moral.
Thesis bahwa hukum pada dasarnya adalah moral ditolak oleh teori hukum
murni bukan hanya karena thesis tersebut mengandaikan adanya nilai moral
yang absolut (yang pada kenyataannya relatif), tetapi juga karena aplikasinya
dalam ilmu hukum mengandung justifikasi yang tidak kritis terhadap pemegang
wewenang penegakan hukum dalam komunitas. Jika moral dijadikan justifikasi
oleh pemegang wewenang penegakan hukum dalam komunitas untuk menilai
hukum maka akan berpeluang menghasilkan penyelewengan dan kesewenang-
wenangan karena mereka akan memaksakan pandangan moralnya kepada
kelompok yang memiliki pandangan moral yang berbeda.

8|Page

Anda mungkin juga menyukai