Anda di halaman 1dari 9

Menurut Cvijik (1924-1926), berdasarkan kenampakan benang lahan nya,

sifat batuan, dan proses pelarutan yang terjadi, topografi karst dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) tipologi utama, yaitu holokars dan merokars. Holokarst
merupakan tipe karst yang mempunyai bentang lahan lengkap, terbentuk pada
batuan karbonat yang sangat mudah larut. Pada tipe ini terbentuk rekahan-rekahan
pada batu gamping murni dengan proses kartstifikasi dibawah muka air tanah.
Lapisan batu gamping sangat tebal, dengan bentukan yang telah berkembang baik,
seperti ponor, dolinee, uvala, polje, dan sistem gua dengan sedikit atau tampa
drainase permukaan. Vegetasi pada tipe ini jarang dijumpai, area nya cukup luas,
tetapi banyak dijumpai gua-gua cukup besar, depresi tertutup dengan sedikit
lembah sungai. Merokarst merupakan tipe karst tidak sempurna. Lapisan batu
gamping sangat tipis dan tidak semuanya berbatuan batu gamping atau campuran.
Proses karstifikasi belum sempurna dan sedikit sekali terdapat kenampakan karst
yang unik. Batuan yang tertutup oleh tanah yang subur dengan vegetasi yang
sangat rapat. Gua yang terbentuk umum nya mempunyai pola draenase yang
belum kompleks dan sistem goa masih sangat jarang. Kedua tipe karst tersebut
mempunyai pebedaan yang mendasar, yang ditinjau dari sumber CO 2 yang
membentuknya. Pada merokarst kandungan CO2 berasal dari vegetasi yang
menutupinya. Sedangkan pada holokarst CO2 diperoleh dari udara yang larut
dalam air hujan sehingga bentukkan karst yang dihasilkan berbeda. Selain dua tipe
karst tersebut, terdapat tipe karst yang mempunyai ciri gabungan antara holokarst
dan merokarst, yang disebut dengan transisinalkarst.

Berdasarkan klasivikasi tipologi karst diatas, dapat dikatan bahwa


dikabupaten gunung kidul termasuk dalam tipe holokarst. Topografi karst dalam
wilayah kajian ini tebentuk oleh lapisan batu gamping murni terumbu yang sangat
tebal dan mudah larut, kedudukan pada elevasi perbukitan yang cukup tinggi,
dengan curah hujan tinggi pada daerah tropis. Faktor-faktor inilah yang
menyebabkan terbentuknya topografi karst yang cukup unik dan ideal
dikabupaten gunung kidul. Karst di wilayah kajian ini merupakan bagian dari
topografi karst gunung sewu dibagian barat yang didominasi oleh bentuk-bentuk
kerucut atau sinoid. Meskipun demikian, secara acak ditemukan juga bentuk-
bentuk lain, seperti karst menara. Walaupun mempunyai bentuk yang hampir sama
secara lebih rinci karst gunung sewu yang terdapat di kabupaten gunung kidul
dapat dibedakan 3 sub tipe, yaitu tipe polygonal, labyrint, dan tower-cone karst
(Haryono, 2000;Team Fakultas Geografi,2002).

Karst Polygonal

Karst polygonal yang relatif ideal di kabupaten gunung kidul ditemukan


dibagian selatan, seperti di kecamatan Panggang. Karst polygonal dicirikan oleh
doline-doline yang saling berhubungan. Semua wilayah karst telah berkembang
menjadi doline yang menurut white (1988), seluruh wilayah ini mepunyai rasio
antara luas area doline dan luas area karst mendekati satu banding satu.
Perkembangan doline di karst poligonal kecamatan panggang menghasilkan
kubah-kubah yang relatif bulat, yang menurut Flathe dan Pfeiffer (1965) disebut
sebagai sinoid; sedangkan Lehman (1936) menyebutnya sebagai kegelkarst.
Kenampakan karst pelygonal tersebut membentuk topografi seperti tempat telur.
Bentuk polygonal karst di kecamatan panggang tidak begitu ideal seperti umum
nya pola karst polygon didunia. Hal ini disebabkan perkembangan karst pada
umum nya dikabupaten gunung kidul telah lanjut dibandingkan dengan tahapan
polygonal itu sendiri. Karst polygonal yang ada hanya merupakan sisa dari
perkembangan karst diwilayah ini pada saat ini telah mencapai stadium akhir atau
lanjut perkembangan karst. Menurut Ford dan williams (1996), tahapan akhir
perkembangan karst setelah karst polygonal adalah proses planasi yang dominan
sehingga cekungan-cekungan sudah tidak ditemukan lagi karena sudah benar-
benar membentuk dataran dengan kubah-kubah tersebar secara acak ditengah-
tengah nya.

Salah satu bentukan pada karst polygonal di kecamatan panggang adalah


cockpit. Cokpit merupakan bentukan yang ditandai oleh dasar doline relatif datar
dengan bentuk meruncing pada sudut-sudutnya sehingga menyerupai bintang.
Lebar dasar cockpit lebih besar dari pada doline tunggal. Hasil pengukuran
dilapangan menunjukan lebar dasar cockpit berkisar antara 90 hingga 120 meter,
sedangkan lebar dasar doline tunggal disekitar daerah tersebut berkisar antara 55
hingga 75 meter (Haryono,2000). Hasil pengukuran lapangan terhadap merfometri
doline juga menunjukan bahwa doline diwilayah tersebut telah berkembang ke
orde tiga sehingga dapat disimpulkan bahwa perkembangan karst di kecamatan
panggan telah mencapai stadium lanjut. Rerata panjang doline hampir 2 kali dari
rerata lebarnya yang menunjukan bahwa bentuk doline tidak simetris.
Perkembangan doline di wilayah tersebut sangat terkontrol oleh arah kelurusan
yang secara umum barat-timur laut, dan lereng regional, kearah selatan; sehingga
semakin kearah selatan atau barat daya bentuk doline semakin melebar.
Kedalaman doline berkisar antara 33 hingg 114 meter, dengan bentuk lereng lurus
hingga cembung. Doline yang dalam terdapat disebelah selatan mendekati pantai
yang disebabkan ketebalan lapisan batu gamping keselatan semakin tebal.

Karst Labirin

Karst labirin di kabupaten gunung kidul banyak di temui di desa banjaran,


kecamatan saktosari, dan sekitarnya sekitar pantai kukup. Karst labirin dicirikan
oleh lembah-lembah kering memanjang sebagai akibat pelarutan yang terkontrol
oleh kekar mayor atau sesar. Lembah-lembah tersebut dibatasi oleh jajaran kubah
karst dikanan kirinya dengan dinding yang terjal. Di beberapa tempat, karst labirin
telah berkembang lanjut membentuk lembah kering yang lebar dengan bukit-bukit
sisa ditengah nya (Haryono,2000). Hasil pengukuran lapangan terdapat
morfometri doline karst labirin di kecamatan saptosari menunjukan bahwa
panjang rata-rata doline tiga kali lebar doline. Perbandingan tersebut
membuktikan bahwa bentuk doline memanjang karena terkontrol kuat oleh kekar
atau sesar yang membentuk lembah kering atau cannyon dengan arah lembah
searah dengan kelurusan.

Karst Menara (Tower Karst)

Terdapat dua pengertian Karst Tower dalam buku-buku teks karst, yaitu
pertama, mengganggap bahwa karst tower merupakan bentukan positif yang
mempunyai dinding terjal hingga vertikal (Wite, 1988;Trutgill,1985), tanpa
memperhatikan genetik; dan pendapat kedua mendefinisikan bahwa karst tower
tidak harus mempunyai dinding yang terjal tetapi yang lebih penting ialah
keberadaan bukit-bukit sisa ditengah corosion plain (Ford dan Williams 1996).
Karst tower mempunyai ciri dari perkembangan karst lanjutan setelah karst
polygonal. Uraian berikut mendasarkan pada pengertian yang digukan oleh Ford
dan Williams (1996).

Karts tower di kabupaten gunung kidul berkembang baik di kecamatan


ponjong dibagian selatan. Di wilayah tersebut cekungan tertutup tidak ditemukan
lagi, doline telah berhubungan satu sama lain tanpa pembatas topogarfi. Doline
orde satu, dua, maupun orde tiga jarang ditemukan. Panjang rerata-rataan, korosi
sebesar 1.205.500 meter dan lebar 981.575. jika dilihat dari foto udara, karst
tower dikabupaten gunung kidul terlihat seperti kubah-kubah secara acak dan
tidak saling berhungan. Sebagian besar berbentuk sinoid atau kegle, tetapi
setempat-setempat telah mengalami perkembangan membentuk lereng yang
vertikal.

Di samping ketiga tipe kars yang dijelaskan sebelumnya, dikabupaten


gunung kidul juga dijumpai bentukan-bentukan karst mikro yang disebut dengan
kareen atau lapies. Bentukan karst mikro ini berbentuk baik pada batuan yang
kompak, yaitu pada batu gamping terumbu yang terletak dibagian selatan
topografi karst kabupaten gunung kidul. Kareen berkembang baik pada batu
gamping dengan persentase sparit besar dan tanpa mikrit. Yaitu berkembang pada
batuan rudestone atau floadstone. Satuan litologi tesebut pada umumnya
mempunyai kekar yang rapat. Kareen yang ada di kabupaten gunung kidul apabila
tersingkat pada suatuu tebing, dapat diamati hingga kedalaman >10 meter.
Sebaliknya pada litologi dengan landungan mikrit yang besar, kareen tidak dapat
berkembang baik, seperti didaerah bedoyo kecamatan ponjong. Diperbukitan karst
gunung sewu kabupaten gunung kidul, banyak dijumpai berbagai tipe karren.
Lembah Karst (Dolinee)

Selain kerucut-kerucut karst dan karren, lembah antar bukit karst (dolinee)
merupakan fenomena khas yang di jumpai pada bentang lahan perbukitan karst.
Lembah karst adalah lembah-lembah sempit dan datar yang terdapat diantara
bukit-bukit karst. Bentuk lahan ini mempunyai sumber daya lahan yang potensial
pada bentang lahan perbukitan karst karena didukung oleh faktor-faktor:

a. Topografi berupa dataran atau cekungan dengan kemiringan lereng 0-3%


yang terbentuk akibat sedimentasi material hancuran atau hasil erosional
lereng-lereng perbukitan disekitarnya dan terakumulasi secara lokal pada
lembah ini;
b. Materila penyusun berupa bahan-bahan alufium akibat sedimentasi
meterial perbukitan yang tererosi oleh aliran air permukaan atau bahan
kolovium (rombakan lereng) akibat proses pelapukan batuan dan gerakan
masa yang terakumulasi yang cukup tebal berukuran lempung hingga pasir
halus;
c. Tanah relatif telah berkembang membentuk horizon tanah A-B2t-R
(mediteran), tekstur lempung, struktur granuler hingga gumpel, konsistensi
sangat teguh dan lekat-plastis bila basah, warna merah cerah hingg merah
kekuningan (5 YR 4/6), permeabilitas lambat, solum tanah 30-90 cm, pH
6,0-6,5, KTK sedang-tinggi, kejenuhan batas tinggi, kesuburan, dan
potensi tanah rendah hingga sedang;
d. Morfologi lembah antar bukit karst juga merupakan suatu akuifer lokal
yang cukup produktif untuk meyimpan air tanah (cukungan air tanah
lokal); sehingga
e. Lahan ini banyak dimanfaatkan oleh penduduk sebagai lahan-lahan sawah
tadah hujan atau pertanian lahan kering, dengan tanaman padi gaga,
kacang tanah, jagung, palawija lainnya, maupun sayur-sayuran.
6.2 POTENSI SUMBER DAYA ALAM BENTANG LAHAN PERBUKITAN
KARST GUNUNG SEWU

A. Hidrologi Karst (Air Permukaan)


Secara umum potensi air permukaan pada perbukitan karst dikontrol oleh
struktur geologi seperti retakan dan diaklas, kondisi kekerasan batuan, dan
morfologi permukaan. Struktur geologi sangat menetukan besar kecilnya
koofisien aliran dan cadangan air tanah. Sistem hidrologi permukaan pada
perbukitan karst kabupaten gunung kidul, menurut McDonald dan Parnets (1984),
dikenal dengan sistem augthigenic.
Air hujan yang jatuh diatas topografi karst sebagian menjadi limpasan
permukaan dan sebagian meresap kedalam tanah. Limpasan permukaan tersebut
untuk selanjutnya berkumpul dan mengalir sebagai sistem sungai. Disamping
menerima input dari air hujan, sistem dari sungai ini menerima input dari bawah
tanah yang kemudian mengalir menuju sistem bawah permukaan, misalnya pada
kali suci atau kali munggi. Air hujan yang jatuh akan terbagi menjadi empat
bagian, yaitu sebagian meresap kedalam tanah, sebagian yang lain mengalami
evapotranspirasi, sebagian lagi menjadi air bawah tanah dan sebagian lain nya
masuk ke dalam rekahan. Air hujan yang meresap kedalam tanah masuk ke sistem
kolasi authigenic melaluli zona rekahan. Sistem cekungan dan sistem rekahan
tersebut akhirnya masuk kedalam luweng menuju sistem sungai bawah tanah yang
pada akhirnya dapat muncul kembali ke permukaan sebagai mata air dan
rembesan di sepanjang pantai.
Pada perbukitan karst, sistem drainasi permukaan sangat spesifik. Jarang
sekali atau sangat sedikit di jumpai sungai-sungai permukaan. Suatu sungai
permukaan dapat saja terjadi atau nampak di permukaan tanah, tetapi tiba-tiba
menghilang masuk kedalam luweng menuju sistem sungai bawah tanah, kemudian
muncul atau keluar kembali ke permukaan (resurgence), dan masuk lagi, demikian
seterusnya hingga jauh tak terhingga bermuara pada suatu pantai. Kondisi
authigenic sperti ini dapat dijumpai pada sistem kali suci, kali nggremeng, dan
sungai prambutan. Beberapa sungai permukaan pada perbukitan karst biasanya
masuk kedalam tanah (tenggelam) menjadi sink raiver, yang kemudian menjadi
sistem bawah tanah. Pola aliran ini disebut sebagai pola aliran basinal (brasinal
drainage), seperti yang terjadi sepanjang jalan menuju pantai krakal dan cockpit
mulo.
Bentuk badan air permukaan yang banyak dijumpai pada bentang lahan
perbukitan karst adalah telaga dolina (logva). Logva merupakan suatu dolinee atau
sinkhole yang memiliki ukuran yang lebih besar dan berisi air secara kontinu (von
bandat, 1962). Telaga karst ini terbentuk karena beberapa dolinee atau uvala
bergabung yang dasarnya tertutup oleh bahan kedap air akibat sedimentasi
material. Bahan ini dapat berupa tanah alvisol atau lempung hasil rombakan
lereng atau dari bahan abu vulkanik. Karena sifatnya yang kedap air
(impermeable), dasar dolinee karst yang berupa batu gamping dengan penuh
rekahan menajdi tertutup, dan air hujan yang jatuh diatas dapat terapung. Dolinee
yang luas dan dapat menampung air dinamakan danau dolinee (dolinee pond).
Telaga biasa nya di jumpai pada depresi lembah karst diantara kubah-kubah karst
biasanya dimanfaatkan oleh penduduk untyk kebutuhan domestik, terutama
mandi, mencuci, dan memandikan ternak.

B. Sungai Bawah Tanah


Sungai bawah tanah merupakan suatu karakteristik khas topografi karst.
Sungai bawah tanah mempunyai sistem aliran seperti yang terjadi pada sungai
permukaan. Sungai bawah tanah yang banyak terdapat pada bentang lahan
perbukitan karst gunung kidul mengalir melalui jalur-jalur goa pelarutan batu
gamping. Sungai-sungai bawah tanah ini merupakan potensi sumber daya air yang
besar. Beberapa diantara nya belum dapat dimanfaatkan karena sulitnya
menjangkau air dalam luweng-luweng yang dalam dan terjal. Namun, beberapa
diantara nya seperti di goa bribin sudah dapat dimanfaatkan dengan cara
membendung dan memompa air ke atas melalui pipa-pipa di dalam goa.
Sistem sungai bawah tanah hampir mirip dengan sistem aliran permukaan
atau biasa disebut dengan aliran sungai. Sistem sungai bawah tanah yang paling
lengkap (walaupun belum 100%) adalah sistem bawah tanah yang bermuara di
baron, dan sistem lainnya adalah sistem ngobaran. Sistem baron masih dapat
dipilah-pilah menjadi beberapa subsistem yang lebih kecil, diantaranya subsistem
bribin. Ada empat pintu masuk sungai bawah tanah perennial, yaitu kali teguan,
kali suci, kali serpeng, dan kali petoeng. Sungai-sungai bawah tanah secara
langsung maupun tidak mempengaruhi sistem aliran bawah tanah baron. Kali suci
misalnya, masuk melalui goa suci, kemudian bergabung dari aliran bribin sampai
ke baro; demikian juga kali teguan bermuara di pantai baron meskipun jalur
sungai bawah tanah nya belum diketahui. Subsistem bribin, menurut MacDonald
dan Partnerst 1984, berawal dari goa gilap, desa tambak romo, kecamatan
ponjong. Airnya berasal dari aquifer basin wonosari yang mengalir ke selatan.
Goa gilap sepanjang 1090 meter dengan kedalaman 71 meter mempunyai debit
sungai sebesar 20L/S kearah selatan menuju gua jomblang. Goa jomblang yang
terletak didusun karang asam, kecamatan ponjong merupakan penghubung antara
gua gilab dan gua gibrin yang kemudian arah aliran secara umum membelok
sedikit kearah barat.
Aliran air sungai bawah tanah sebelum masuk ke gua bribin dibuat
bendungan dengan volume sekitar 15000 m3 oleh P2AT D.I.Yogyakarta. aliran air
masuk melalui luweng jurang zero yang memiliki jurang panjang 587 meter dan
kedalaman 64 meter. Digua sodong, desa dada payu, kecamatan semanu, juga
terdapat aliran dengan aliran sekitar 8 l/s dan dalam bentuk suwmp dengan
volumw sekitar 700 m3, mengalir bergabung dengan sistem aliran bribin
meskipun dengan kualitas air yang buruk untuk keperluan rumah tangga. Sungai
bawah tanah bribin, berbelok ke utara menuju gua gremeng yang sebelum nya
aliran ini juga masuk melalui luweng sindong. Gua ngremeng di desa ngeposari,
kecamatan semanu, menyuplai air kedalam sistem bribing sebesar 75 l/s dalam
bentuk aliran permukaan dengan kualitas air yang baik. Aliran ini selanjutnya
bergabung dengan subsistem kali suci.
Kali suci dalam gua suci memiliki debit sekitar 60 l/s dan anak sungai nya
dengan debit sebesar 10 l/s digunakan sebagai keperluan rumah tangga. Dari gua
suci, aliran mengalir ke gua mBuri omah dengan debit 390l/s dengan luweng
grubug dengan debit 680 l/s. Di dua tempat ini aliran air tidak bisa di manfaatkan.
Dari luweng grubug alirannya bergabung dengan sistem bribing yang kemudian
bersama-sama bermuara di baron. Selain itu, diperkirakan ada aliran sungai bawah
tanah lain yang bermuara di baron, yaitu sungai bawah tanah dari luweng
buhputih, hanya saja aliran nya tidak terkait dengan dua sistem itu. Aliran di
luweng buhputih ini debitnya berkisar 25 l/s dan digunakan sebagai cadangan air
dengan kualitas yang baik. Sistem luweng buhputih ini mengalir di sebelah selatan
bribin atau kira-kira dibagian tengah perbukitan karst gunung sewu dan bermuara
di baron.
Terdapat dua subsistem kecil yang diketahui bermuara di baron, yaitu
sungai bawah tanah di gua nyingrong-gua mulo yang bersebelahan dan kali
teguan melalui luweng banteng di gua semurup. Di gua nyingrong debit aliran
kecil pada musim kemarau dan pada jaak 100 meter dari pintu gua kondisinya
kering, sedangkan pada musim hujan terisi oleh aliran langsung dari gua mulo.
Antara gua mulo dan gua nyingrong dipisahkan oleh suatu bentukan karst window
yang cukup besar. Kai teguan mengalir malalui luweng banteng di gua semurup
dengan debit 200 l/s dan dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga tetapi
kualitasnya buruk. Aliran air berasal dari aquifer wonosari, sama halnya dengan
aliran air di gua suci, gua serpeng, dan gua gilap. Aliran air dari gua serpeng
belum diketahui arah alirannya, demikian pula pada sistem luweng seropan-
luweng bedesan di desa pacarejo, kecamatan semanu. Pada luweng seropan debit
airnya 170 l/s dan meningkat di luweng bedesang menjadi 200 l/s yang terletak
disebelah selatan luweng seropan. Diperkirakan sistem ini juga bergabung dengan
sistem bribing dan baron, tetapi belum dapat dipastikan debit aliran sungai bawah
tanah. Selain yang dijelaskan sebelumnya, pada bentang lahan perbukitan karst
kabupaten gunung kidul, diperkirakan masih ada sistem sungai bawah tanah yang
lain yang belum terdeteksi. Sistem ngobaran sampai saat ini belum.
DARI HALAMAN 132-145

Anda mungkin juga menyukai