Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nyeri didefinisikan sebagai perasaan tidak nyaman yang disampaikan oleh neuron

sensorik menuju otak. Ketidaknyamanan menandakan adanya cedera (injury) aktual

ataupun potensial di tubuh. Akan tetapi, rasa nyeri bukan hanya sekedar sensasi ataupun

kesadaran fisik akan rasa sakit. Nyeri juga mencakup persepsi dan interpretasi yang

subjektif terhadap ketidaknyamanan. Persepsi nantinya dapat memberikan informasi

mengenai lokasi sakit, intensitas dan sifatnya (Kumar, K Hanoch & Elavarasi, P, 2016).

Menurut van Hecke et. al (2013), di wilayah Eropa nyeri kronik banyak diderita oleh

warga dewasa dengan jumlah sebanyak satu per lima.

Nyeri adalah suatu mekanisme proteksi dari tubuh apabila ada kerusakan jaringan

dan seseorang yang mengalami nyeri akan berusaha untuk mengobati rasa nyeri tersebut

(Guyton, 2011). Dilaporkan juga oleh Molton & Terrill (2014), jika rasa nyeri juga dapat

menyebabkan beberapa gangguan tidur pada seseorang serta apabila nyeri tersebut

diderita dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan depresi bagi penderitanya.

Oleh Guyton (2011), dijelaskan bahwa terdapat berbagai macam zat kimia yang

berperan dalam peningkatan rasa nyeri diantaranya prostaglandin, bradikinin, histamine

dan substansi P. Saat terjadi trauma pada membrane sel akan merangsang pembentukan

asam arakidonat lewat bantuan enzim phospholipase, dimana dari asam arakidonat akan

diproduksi prostaglandin dan tromboksan oleh enzim cyclooxygenase serta lipoxin dan
leukotriene oleh enzim lipooxygenase. Prostaglandin sendiri berperan besar dalam reaksi

nyeri dan demam oleh karena inflamasi (Aster, 2013).

NSAID banyak dimanfaatkan dalam pengobatan nyeri oleh karena

penghambatannya pada enzim cyclooxygenase (Aster, 2013). Dalam daun sambung

nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.) terkandung banyak macam zat diantaranya

alkaloid, saponin dan flavonoid yang berkhasiat sebagai antiinflamasi (Mahendra B,

2005).

Indonesia mempunyai 30.000 macam tanaman obat dan sesungguhnya nenek

moyang bangsa Indonesia pun telah memanfaatkan tumbuhan sebagai ramuan obat.

Sayangnya, baru 300 jenis saja yang sudah dijadikan sebagai ramuan tradisional

(Hariana, 2004). Salah satu bentuk ramuan tradisional yang sering digunakan

masyarakat luas adalah bentuk seduhan. Dijelaskan oleh Hembing (2005), daun

Sambung Nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.) dalam bentuk rebusan berkhasiat

sebagai analgetik. Lalu dijelaskan juga oleh Abbas (2004), bahwa ayahnya telah

menderita reumatik bertahun-tahun lamanya dan dapat sembuh setelah meminum

rebusan daun sambung nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.). Berdasarkan uraian

diatas, dalam upaya peningkatan pemanfaatan tanaman obat, perlu dilakukan penelitian

tentang efek analgetik pemberian infusum daun sambung nyawa (Gynura procumbens

(Lour.) Merr.) pada konsentrasi tertentu untuk mengetahui adanya hambatan respon

nyeri pada mencit yang diinduksi thermal melalui metode hotplate.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah pemberian infusum daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens (Lour.)

Merr.) dapat menghambat respon nyeri pada mencit yang diinduksi thermal?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh pemberian infusum daun Sambung Dewa (Gynura

procumbens (Lour.) Merr.) dalam menghambat respon nyeri pada mencit yang

diinduksi thermal.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui adanya efek hambatan respon nyeri konsentrasi 5%, 10%, 20%

infusum daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.) yang dapat

menurunkan jumlah liukan mencit yang diinduksi thermal.

2. Membandingkan effective dose pemberian infusum daun Sambung Nyawa

(Gynura procumbens (Lour.) Merr.) 5%, 10%, 20% dalam hambatan respon

nyeri.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens (Lourr.) Merr.)

Gambar 2.1 Daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens (Lourr.) Merr.)

2.1.1 Klasifikasi

 Divisi : Spermatophyta

 Subdivisi : Angiospermae

 Kelas : Dicotyledoneae

 Ordo : Gynurales

 Famili : Asteraceae

 Genus : Gynura

 Spesies : Gynura procumbens (Lourr.) Merr.

2.1.2 Sinonim

Daun Sambung Nyawa dikenal sebagai Gynura procumbens (Lourr.) Merr., G.

sarmentosa BL., G. divaricata DC., G. pseudo-china DC., G. ovalis DC., Senecio


divarigata L. Sedangkan di Indonesia masyarakat luas biasa menyebut daun Dewa,

daun Sambung Nyawa atau daun Umbi Dewa. Memiliki nama simplisia Gynurae

segeti Radix. (Dhalimarta. S, 2005)

2.1.3 Morfologi dan Ekologi

Hampir sama dengan tanaman yang lain, daun Sambung Nyawa (Gynura

procumbens (Lour.) Merr.) membutuhkan iklim yang sesuai dan kandungan tanah

yang subur. Tanaman ini dapat tumbuh pada dataran rendah dengan iklim sedang

sampai basah (Pujiasmanto, 2010).

Dijelaskan oleh Winarto (2007), daun Sambung Nyawa mempunyai daun tunggal,

tebal, lunak , berair dan tersebar mengelilingi batangnya. Helaian daunnya berwarna

hijau muda yang memiliki panjang sekitar 6 cm dan lebar 3,5 cm serta dikedua

permukaan daun terdapat rambut halus dengan pertulangan menyirip.

2.1.4 Kandungan Kimia dan Khasiat

Berdasarkan penelitian Winarto (2007), menunjukkan bahwa dalam daun Sambung

Nyawa terdapat beberapa kandungan senyawa diantaranya, senyawa golongan

alkaloid, saponin (sejenis glikosida), minyak atsiri, flavonoid, tanin, alkohol, etanol,

asam fenolat, asam vanilat dan lain-lain. Daun Sambung Nyawa berkhasiat sebagai

antiinflamasi, analgetik, anti tumor, anti diare, antifungi dan antioksidan (Winarno,

2009).

2.2 Rasa Nyeri

The International Assosiation for Study of Pain mendefinisikan nyeri sebagai

perasaan tidak menyenangkan yang menandakan adanya cedera aktual ataupun

potensial (Taddio et. al, 2010). Nyeri berperan penting sebagai mekanisme
pertahanan diri apabila terdapat jaringan yang rusak dan menimbulkan reaksi untuk

dapat menghilangkan rasa nyeri tersebut.

Nyeri sendiri bersifat subyektif, dimana setiap individu akan menunjukan respon

atau ekspresi yang berbeda apabila terdapat stimulus yang melukai. Oleh karena itu

dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa nyeri merupakan pengalaman universal

yang menjadi pertanda adanya kerusakan dalam tubuh, dan dari definisi-definisi

diatas nyeri merupakan gabungan antara respon sensorik, afektif dan psikomotor,

sehingga korelasi nyeri dengan kerusakan jaringan tidaklah sama dan konsisten.

Laporan serta keluhan dari pasien berarti penting dalam penegakan diagnosis nyeri

(Srouji et. al, 2010)

2.2.2 Fisiologi Nyeri

Proses nyeri merupakan serangkaian proses neurofisologis kompleks yang terdiri

dari empat proses komponen yaitu, transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi,

dimana stumulus nyeri dari perifer akan dihantarkan sampai ke sistem saraf pusat

(Daniela et. al, 2010).

a. Proses Transduksi

Pada proses ini stimulus nyeri, seperti tekanan fisik, kimia, dan suhu diubah

menjadi aktivitas elektrik yang akan diterima oleh ujung saraf perifer (nerve

ending). Kerusakan jaringan atau cedera berperan dalam sintesis prostaglandin

dimana prostaglandin nantinya akan mensensitasi reseptor nyeri dan

menyebabkan sensasi nyeri oleh karena pengeluaran mediator nyeri, seperti

serotonin dan histamin (Daniela et. al, 2010; Breivik et. al, 2008).

b. Proses Transmisi
Proses ini merupakan lanjutan dari proses transduksi dimana impuls akan

disalurkan melalui serabut A-delta dan C menuju medulla spinalis, akan tetapi

sebelum diteruskan ke thalus impuls tadi akan dimodulasi terlebih dahulu oleh

traktus spinothalamikus dan beberapa oleh traktus spinoretikularis. Setelah

melalui thalamus, impuls akan dihantar menuju korteks serebri dan

dipersepsikan menjadi nyeri (Daniela et. al, 2010; Uman et. al, 2007).

c. Proses Modulasi

Pada proses ini terjadi perubahan transmisi nyeri pada SSP, dimana akan terjadi

interaksi antara analgesik endogen (enkefalin, endorphin, noradrenalin,

serotonin) yang dihasilkan tubuh dengan input nyeri yang masuk ke kornu

posterior medulla spinalis. Inilah penyebab subjektifitas dari perpsepsi nyeri

pada setiap individu (Daniela et. al, 2010; Breivik et. al, 2008; Uman et. al,

2007)

d. Proses Persepsi

Dari proses ini akan dihasilkan persepsi nyeri, yang sifatnya subjektif, yang

merupakan hasil akhir dari proses-proses sebelumnya (Daniela et. al, 2010)
Gambar : 2.2 Biosintesis Prostaglandin (Kalinski & Alerts, 2017)

Secara umum nyeri dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Nyeri Akut

Nyeri ini biasanya berlangsung beberapa detik sampai kurang dari setengah

tahun dan biasanya berkaitan dengan trauma fisik. Nyeri ini juga menunjukkan

bahwa cedera telah terjadi. Apabila tidak disertai kerusakan yang lama dan

penyakit sistemik, umumnya nyeri ini akan berangsur membaik seiring dengan

adanya penyembuhan. Kasus tersering yang sering dilaporkan adalah nyeri

pasca bedah (Meliala & Suryamiharja, 2007)

2. Nyeri Kronik

Nyeri ini biasanya menetep dalam kurun waktu yang lama, sifatnya konstan

atau intermitten. Nyeri kronik berlangsung enam bulan atau lebih dan sering

tidak dapat dihubungkan dengan penyebab atau cedera fisik (Petter & Perry,

2005).

2.2.3 Metode Stimulasi Rasa Nyeri


1. Stimulasi Mekanik

2. Stimulasi Panas (Thermal)

Metode ini memanfaatkan seperangkat alat berupa pelat panas dengan suhu yang

telah ditentukan. Respon yang diberikan berupa menjilat atau mengangkat

telapak kaki depan ataupun meloncat (Cannon, 2007).

3. Stimulasi Listrik

Metode ini dilakukan dengan meletakkan kepingan metal yang beraliran listrik

pada alas kandang, kemudian hewan coba diletakkan dalam kandang. Teriakan

mencicit hewan uji ditandai sebagai respon positif (Turner, 1965).

4. Stimulasi Kimia

Metode ini dilakukan dengan memberikan rasa nyeri yang ditimbulkan oleh zat

kimia yang disuntikkan intraperitoneal pada hewan uji. Beberapa zat yang sering

digunakan adalah asam asetat dan fenil p-benzokuinon (Vogel, 2002; Parmar &

Prakash, 2006).

2.3 NSAID (Non Steroidal Anti-Inflamatory Drugs)

Non Steroidal Anti-Inflamatory Drugs biasa juga disebut dengan analgesik non

narkotik, merupakan suatu sediaan obat yang dapat meredakan nyeri tanpa

menyebabkan adiksi (Wilmana & Gan, 2007). Obat golongan ini bekerja dalam

pencegahan produksi prostaglandin dengan meghambat enzim cyclooxygenase

(O’Neil C.K, 2008). Obat golongan ini dapat digunakan untuk pengobatan nyeri

mild sampai moderate (Baumann, 2005). NSAID dikelompokkan menjadi

NSAID non selektif (menghambat COX-1 dan COX-2) dan NSAID selektif

(menghambat COX-2 saja). Penghambatan COX-1 akan berefek pada toksisitas


Gastrointestinal Tract dan ginjal, sedangkan penghambatan COX-2 akan berefek

sebagai antiinflamasi ( O’Neil C.K, 2008).

AINS

COX Non Selektif COX-2 Preferential COX-2 selektif

Generasi 1:
Aspirin Selekoksib
Nimesulid
Indometasin Rofekoksib
Meloksikam
Piroksikam Valdekoksib
Nabumeton
Ibuprofen Parekoksib
Diklofenak
Naproksen Eterikoksib
Etodolak
Asam Mefenamat Generasi 2:
Lumirakoksib

Gambar 2.2 Klasifikasi NSAID (Non Steroidal Anti-Inflamatory Drugs). (Sumber:


Wilmana & Gan, 2007)

2.3.1 Parasetamol

Asetaminophen merupakan analgetik yang merupakan derivat para amino fenol dan

juga merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang sama. Gugus

aminobenzen dalam asetaminophen yang dapat menimbulkan efek antipiretik.

Asetaminophen mempunyai efek sebagai analgetik dan antipiretik, akan tetapi efek

anti-inflamasinya sangat lemah. Di kalangan masyarakat Indonesia obat ini sering


juga disebut parasetamol. Efek analgetik yang ditimbulkan melalui penghambatan

sintesis prostaglandin, terutama di SSP. Parasetamol sendiri digunakan secara luas

dan dijual bebas dengan atau tanpa resep dokter di berbagai negara. Penggunaan

berlebih obat ini dapat menyebabkan kerusakan hati dan sering dikaitkan dengan

keracunan (Katzung, 2004).

Gambar 2.3 Rumus Struktur Kimia Parasetamol

2.3.1.1 Farmakodinamik

2.3.1.2 Farmakokinetik
2.4 Kerangka Teori

Infusum daun Sambung


Nyawa (Gynura procumbens
Thermal (Stimulasi (Lour.) Merr.)
panas)

Steroid Flavonoid

Kerusakan Endotel Asam


Arakidonat

COX

Prostaglandin

Inflamasi

Respon Nyeri

2.5 Kerangka Konsep

Infusum daun Sambung


Nyawa (Gynura procumbens Respon Nyeri
(Lour.) Merr.)
2.6 Hipotesis

Terdapat pengaruh penurunan respon nyeri pada pemberian infusum daun Sambung

Nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.) pada mencit yang diinduksi thermal.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan

menggunakan rancangan post test only control group design .

3.2 Variabel dan Definisi Operasional

3.2.1 Variabel

3.2.1.1 Variabel Bebas

Infusum daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.)

3.2.1.2 Variabel Terikat

Respon nyeri

3.2.2 Definisi Operasional

3.2.2.1 Infusum daun Sambung Nyawa

Infusum daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.)

merupakan sediaan berupa sari atau seduhan daun Sambung Nyawa

(Gynura procumbens (Lour.) Merr.) yang diambil dengan pelarut

aquadest kemudian dipanaskan.

3.2.2.2 Respon Nyeri

Respon nyeri adalah jumlah jilatan/angkatan pada kaki depan atau

jumlah loncatan pada mencit setelah dinduksi hotplate (thermal).

3.3 Subyek Uji


Subyek Uji yang digunakan adalah mencit BALB/c jantan, sehat (tidak cacat secara

fisik dan banyak gerak), berat 20-30 gram, umur 2-3 bulan.

3.4 Alat dan Bahan Penelitian

3.4.1 Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah hotplate, kandang mencit, kain

flanel, timbangan hewan, timbangan obat, jam/stopwatch, tabung, beaker glass,

kertas label, spidol, handscoon, sonde lambung dan disposable syringe 2 ml

ukuran 23 G.

3.4.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penilitian ini diantaranya, daun Sambung Nyawa

(Gynura procumbens (Lour.) Merr.) segar yang diperoleh dari Toko Tanaman

Kalisari, Kota Semarang, parasetamol, aquadest, pakan dan minum mencit.

3.5 Cara Kerja

3.5.1 Cara Pembuatan Infusum daun Sambung Nyawa

Menurut Farmakope Indonesia edisi IV tahun 2009, dijelaskan tahapan

pembuatan infusum daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.)

sebagai berikut:

Infusum dengan konsentrasi 5%, 10%, dan 20% dibuat dengan menimbang 5,

10, dan 20 gram daun Sambung Nyawa segar yang dihaluskan, masing-masing

ditambahkan aquadest 125 ml, lalu dipanaskan. Angkat dan dinginkan selama

15 menit ketika suhunya telah mencapai 90°C. Setelah itu disaring dengan

kertas flanel dan hasil saringan ditambahkan air sampai volume 100 ml.

3.5.2 Penentuan Dosis Parasetamol


Dalam penelitian ini digunakan parasetamol sebagai bahan pembanding. Dosis

yang digunakan adalah dosis 500 mg yang merupakan konversi dosis

paracetamol dari manusia dengan berat badan 70 kg ke berat badan mencit (20

g) dan hasilnya adalah 0,0026. Maka dosis untuk mencit didapatkan 6,06 mg/ 20

gr BB mencit dan untuk setiap gram mencit didapatkan 0,3 mg/ gr BB.

3.5.3 Prosedur Penelitian

Penelitian dilakukan selama 8 hari di laboratorium Farmakologi Fakultas

Kedokteran Unissula Semarang.

a) Dilakukan pemilihan mencit BALB/c jantan dengan umur 2-3 bulan,

berat 20-30 gram dan sehat. Kemudian diambil 30 ekor mencit yang

memenuhi kriteria inklusi secara acak dan dibagi menjadi 5 kelompok

dimana tiap-tiap kelompok terdiri dari 6 ekor mencit.

b) Mencit BALB/c diadaptasikan selama 1 minggu di Laboratorium

Biologi FK Unissula.

c) Penelitian ini menggunakan metode simple random sampling dimana

dilakukan pemilihan populasi mencit secara acak dan dimasukkan dalam

tiap-tiap kelompok tertentu.

3.5.4 Tahap Perlakuan

a) Kelompok 1: mencit diberi aquadest 0,01 ml/ gr BB (po), setelah 30

menit mencit diinduksi dengan hotplate 80°C.

b) Kelompok 2: mencit diberi infusum daun Sambung Nyawa (Gynura

procumbens (Lour.) Merr.) 5% (po) sebanyak 0,01 ml/ gr BB, setelah 30

menit mencit diinduksi dengan hotplate 80°C.


c) Kelompok 3: mencit diberi infusum daun Sambung Nyawa (Gynura

procumbens (Lour.) Merr.) 10% (po) sebanyak 0,01 ml/ gr BB, setelah

30 menit mencit diinduksi dengan hotplate 80°C.

d) Kelompok 4: mencit diberi infusum daun Sambung Nyawa (Gynura

procumbens (Lour.) Merr.) 20% (po) sebanyak 0,01 ml/ gr BB, setelah

30 menit mencit diinduksi dengan hotplate 80°C.

e) Kelompok 5: mencit diberi paracetamol (po) sebanyak 0,3 mg/ gr BB,

setelah 30 menit mencit diinduksi dengan hotplate 80°C.

Kemudian amati jumlah respon nyeri dengan adanya jilatan/angkatan pada

kaki depan atau loncatan pada mencit per 5, 10, 15, 20, 25 dan 30 menit.

3.5.5 Cara Pemberian Paracetamol

Parasetamol diambil menggunakan spuit 1 cc dengan dosis 0,3 ml/ gr BB, lalu

ganti ujung jarum dengan sonde, berikan secara per oral dan masukan secara

perlahan.

3.5.6 Cara Pemberian Infusum daun Sambung Nyawa

Infusum daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.) diambil

menggunakan spuit 2 cc dengan dosis 0,01 ml/ gr BB, lalu ganti ujung jarum

dengan sonde, berikan secara per oral dan masukan secara perlahan.

3.5.7 Cara Pemberian Rangsang Nyeri

Rangsang nyeri didapatkan dengan cara menempelkan kaki mencit pada

hotplate 80°C. Gejala berupa jilatan/angkatan pada kaki atau loncatan pada pada

mencit.

3.5.8 Cara Penghitungan Geliat


Penghitungan jumlah geliat dimulai setelah mencit diinduksi pada hotplate

80°C. Jumlah geliat dihitung selama 30 menit setelah induksi dan dicatat per 5,

10, 15, 20, 25 dan 30 menit.

3.6 Alur Penelitian

Mencit jantan, N=30, usia 2-3 bulan

Adaptasi makanan standard mencit selama 7 hari

Randomisasi mencit pada 5 kelompok

Pada hari ke 8 dimulai penelitian

Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4


Kelompok 1 N=6 N=6 N=6 Kelompok 2
N=6 Pemberian Pemberian Pemberian N=6
Pemberian infusum infusum infusum Pemberian
aquadest daun daun daun paracetamol
0,001 ml/ gr sambung sambung sambung 0,3 mg/ gr
BB mencit nyawa 5% nyawa 10% nyawa 20% BB mencit
0,001 ml/ gr 0,001 ml/ gr 0,001 ml/ gr
BB mencit BB mencit BB mencit

Di tunggu setelah 30 menit

Induksi hotplate 80°C

Amati jumlah geliat mencit selama 30 menit dengan


interval per 5 menit
3.7 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi dan Laboratorium Biologi

Fakultas Kedokteran Unissula tahun 2017.

3.8 Analisis Hasil


DAFTAR PUSTAKA

Breivik, H., Borchgrevink, P.C., Allen, S.M., Rosseland, L., Romundstad, L., Hals,

E.K.B., et al. (2008). Assessment of pain. British Journal of Anaesthesia 101(1), 17–

24.

Baumann, T. J. (2005). Pain Management. Pharmacotheraphy A Pathophysiologic

Approach. New York: The McGraw-Hill Companies, 1093.

Dalimarta S. 2005. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid ke-1. Trubus Agriwidya.

Jakarta.

Daniela, M., Clarisa, N., Virgil, V., Elisabeta, V., & Schneider, F. (2010). Physiology of

pain – general mechanisms and individual differences. Jurnal Medical Aradean, 8(4),

19-23.

Hartsell C, Ospina M. How prevalent is chronic pain? Pain: Clinical Updates. 2003; 11:

1-4.

International Association for the Study of Pain (IASP) (2010). What causes cancer pain.

O’Neil, C. K. (2008). Pain Management. Pharmacotherapy Principle & Practice. New

York: The McGraw-Hill companies, 487 & 494.

Parmar, N.S. & Prakash, S. (2006). Screening Methods in Pharmacology. Oxford: Apha

Science International, 47, 225 & 226.

Srouji, R,. Ratnapalan, S., & Schneeweiss, S. (2010). Pain in children: assessment and

nonpharmacological management. International Journal of Pediatrics, 474(11), 838-


842.

Taddio, A., Appleton, M., Bortolussi, R., Chambers, C., Dubey, V., Halperin, S., et al.

(2010). Reducing the pain of childhood vaccination: an evidence-based clinical

practice guideline. CMAJ, 182(8), 843-855.

Uman, L.S., Chambers, C.T., McGrath, P.J., & Kisely, S. (2007). Psychological

interventions for needle-related procedural pain and distress in children and

adolescents. Cochrane Database of Systematic Reviews, 4, 2.

Winarno, M.Wien., S. Yesi dan H. Soedarso., 2009. Efek Daun Dewa terhadap

Peningkatan Trombosit Tikus Putih yang Diinduksi Hidroksi Urea. Jur. Kefarmasian

Indo. Vol.1.2. 2009: 59 – 63.

Winarto, W.P dan Sidik.2007. Tanaman Obat Indonesia Untuk Pengobatan Herbal. Jilid

1.Karyasari Herba Media. Jakarta.

Wilmana, P. F & Gan, S. (2007). Analgesik – Antipiretik Analgesik Anti-Inflamasi

Nonsteroid dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. Farmakologi dan Terapi, Ed. 5.

Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 230, 231 &

233.

Anda mungkin juga menyukai