Anda di halaman 1dari 18

REFLEKSI KASUS

NEONATUS DENGAN ASFIKSIA BERAT


Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Di RSUD dr. R. Soedjati Purwodadi

Disusun oleh :

Mauris Milzam Ahmad


30101407237

Pembimbing:

dr. Agustinawati Ulfah, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RSUD DR. R. SOEDJATI PURWODADI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan klinik bagian ilmu kesehatan anak

Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung

Nama : Mauris Milzam Ahmad

Judul : Neonatus Dengan Asfiksia Berat

Bagian : Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas : Kedokteran Unissula

Pembimbing : dr. Agustinawati Ulfah, Sp.A

Purwodadi, September 2019


Pembimbing,

Dr. Agustinawati Ulfah, Sp.A


BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : By. S
Umur : 3 hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sugihan 1/6, Toroh
Agama : Islam
No. RM : 505982

II. ANAMNESIS (alloanamnesis dengan ibu penderita pada tanggal 4 September


2019)

Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien dibawa ke ruang Neoristi RSUD dr. R. Soedjati
Purwodadi dengan keluhan tidak langsung menangis sesaat setelah dilahirkan secara
spontan.

Riwayat kehamilan
Ini adalah kehamilan yang pertama, selama hamil ibu pasien mengaku menjalani
ANC di Puskesmas dan Posyandu lebih dari 4 kali, pada trimester pertama dan
trimester kedua kehamilan ibu pasien mengaku tidak ada masalah dalam
kehamilannya maupun kesehatannya secara umum dan hanya diberikan obat
penambah darah oleh petugas di Puskesmas/ Posyandu. Riwayat trauma selama hamil
(-). Riwayat perdarahan melalui jalan lahir (-). Riwayat mengkonsumsi obat-obatan
dan jamu selama kehamilan (-). Ibu pasien datang ke Poli Kandungan RSUD dr. R.
Soedjati pada tanggal 1 September 2019 dengan keluhan usia kehamilan sudah lewat
bulan perkiraan lahir namun belum merasakan kenceng-kenceng ataupun keluar air
ketuban sama sekali. Dokter spesialis kandungan RSUD dr. R. Soedjati mengatakan
bahwa Ibu pasien harus segera dirawat di RS untuk dilakukan “pacu” persalinan
karena usia kehamilan sudah lewat hari perkiraan lahir, serta jumlah air ketuban bayi
sedikit. Siang hari itu juga Ibu pasien dirawat di VK RSUD dr. R. Soedjati. Ibu pasien
mengaku mulai diberikan obat untuk “pacu” persalinan mulai pukul 16.30, setelah
diberikan obat tersebut Ibu pasien mengeluh sudah merasakan kenceng-kenceng pada
perutnya tapi masih jarang, dan belum ada pembukaan. Ibu pasien kemudian
mengatakan diberikan obat “pacu” persalinan lagi pukul 22.30 melalui infus, setelah
itu baru kenceng-kenceng dirasakan sering dan mulai ada pembukaan. Pada hari
Senin, 2 September 2019, Ibu pasien mengeluh kenceng-kenceng yang sangat sering,
pembukaan lengkap dan pimpin mengejan mulai pukul 06.00 dan akhirnya pasien
dilahirkan di ruang VK pada pukul 07.35, berat badan lahir = 2800 gram, pasien tidak
langsung menangis sesaat setelah dilahirkan (AS = 0-3), ketuban mekoneal (+
sedikit). Usia kehamilan 40 Minggu.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


 Riwayat penyakit jantung bawaan dalam keluarga (-)
 Riwayat penyakit asma (-)
 Riwayat penyakit DM (-)
 Riwayat hipertensi (-)
Riwayat Imunisasi :
 0 bulan = Hepatitis B, HBo
 1 bulan = BCG, polio I
 2 bulan = DPT + hepatitis B + HiB (Pentabio 1), polio II
 3 bulan = Pentabio 2, polio III
 4 bulan = Pentabio 3, polio IV
 9 bulan = campak (+)
Dari anamnesis yang dilakukan, ibu mengakui imunisasi anaknya lengkap sesuai
jadwal imunisasi
Kesan: Imunisasi dasar tepat waktu

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan Umum dilakukan pada tanggal 4 September 2019
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, tampak kuning, hipoaktif
Aktifitas : Kurang aktif
Refleks hisap : Lemah
Tangis : Merintih

Nadi : 142 x/menit, isi dan tegangan kurang


Pernapasan : 64 x/menit
Suhu badan : 37,1ºC
Berat badan : 2800 gram
Panjang badan : 49 cm
Lingkar kepala : 30 cm
Lingkar dada : 31 cm
Pemeriksaan Khusus
Kepala : caput (-), normocephali, flushing (-)
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Ubun-ubun : frontanella mayor dan minor belum menutup.
Muka : tidak ada kelainan bentuk, muka oval.
Mata : simetris. Sklera icterus (+/+). Konjungtiva anemis (-/-). Pupil
isokhor, reflek cahaya (+/+), cowong (-/-)
Hidung : NCH (+), sekret (-), epistaksis (-)
Mulut : Sianosis (-), lidah kering (-), mukosa pucat (-)
bibir kering (-)
Telinga : Simetris, normotia, discharge (-/-), bengkak (-/-),
fistula pre-auricula (-/-)

Leher : Tidak ada pembesaran KGB, trekea terdorong (-),


kaku kuduk (-)
Thoraks

Paru-paru

Inspeksi : bentuk simetris, pergerakan simetris,


retraksi otot-otot dinding dada (+)
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronchi (-), wheezing (-)

Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak tampak


Palpasi : iktus kordis teraba di sela iga IV, linea midclavicula sinistra,
tidak kuat angkat, tidak melebar
Auskultasi : HR= 146 x/menit, Suara jantung I dan II normal, irama
regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : datar, tidak ada gambaran usus maupun vena
Palpasi : supel, turgor cukup, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani seluruh kuadran, shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Tali pusat : Belum lepas, Radang (-), bau busuk (-)
Ekstremitas : Akral dingin (-/-), sianosis (-/-), CRT < 2 detik, oedem (-/-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Bilirubin (tanggal 5 September 2019)

Hasil Nilai Rujukan


Bilirubin Total 12,50 <6
Bilirubin Direk 0,40 0-0,2
Bilirubin Indirek 12,10 <0,25

V. DIAGNOSIS BANDING
o Asfiksia Berat
o Hyaline Membran Disease (HMD)

VI. DIAGNOSA KERJA


o BBLC
o Asfiksia berat
VII. INITIAL PLAN
 Assesment : Asfiksia Berat
 Ip Dx : BGA, X-Foto Thorax
 Ip Tx:
- Terapi Non-Medikamentosa
1. Rawat Incubator (Thermoregulasi)
2. O2 k/p
3. Infus D10% 7 tpm
4. Rawat tali pusat
- Terapi Medikamentosa :
1. Inj. Ampicillin 2x140 mg
2. Inj. Ca Glukonas 2x1,5 cc
3. Inj. HB0 (+)
 Ip Mx:
- Keadaan umum bayi ( tangisan, gerak reflek, tonus)
- Vital sign (HR, RR, Suhu, SpO2)
- Nutrisi
- Peningkatan BB
- Perawatan tali pusat

 Ip Ex:
 Mengedukasi Ibu mengenai pengertian asfiksia secara sederhana
 Memberi tahu ibu mengenai terapi yang dilakukan pentingnya dirawat di Peristi
 Memberi tahu komplikasi yang mungkin terjadi jika tidak ditangani dengan cepat
dan benar
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1. Asfiksia Neonatorum


A. Definisi
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir1.
Menurut American College of Obstetricans and Gynecologists (ACOG) dan
American Academy of Pediatrics (AAP), seorang neonatus disebut mengalami
asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut.
a. Nilai Apgar menit kelima 0-3.
b. Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0).
c. Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma).
d. Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan
kardiovaskular,gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal).
e. Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multi organ, kejang dan
ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang
mengalami episode hipoksia-iskemi yang signifikan saat lahir memiliki risiko
disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai pertimbangan
utama (Health Technology Assessment Indonesia Depkes RI, 2008).

B. Etiologi Asfiksia Neonatorum


Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit - menit pertama
kelahiran dan kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila terdapat
gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin akan terjadi
asfiksia janin atau neonatus. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan,
persalinan atau segera setelah lahir (McGuire, 2007).

Towell (1966) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan


Pernafasan pada bayi, yang terdiri dari :
1. Faktor ibu
a. Hipoksia ibu
Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya. Hipoksia
ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau
anastesia dalam.
b. Gangguan aliran darah uterus
Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya
oksigen ke plasenta dan demikian pula ke janin. Hal ini sering ditemukan pada
keadaan :
a). Gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni atau tetani uterus
akibat penyakit atau obat.
b). Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan.
c). Hipertensi pada penyakit eklampsia dan lain-lain.

2. Faktor Plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta.
Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta,
misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta, dan lain-lain.

3. Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam
pembuluh darah umbulikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin.
Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada kelainan tali pusat menumbung,
tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat janin dan jalan lahir, dan lain-lain.

4. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa
hal, sebagai berikut.
a. Pemakaian obat anastesia/analgetika yang berlebihan pada ibu
secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernapasan janin.
b. Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan intrakranial.
c. Kelainan kongenital pada bayi misalnya hernia diafragmatika, atresi/stenosis
saluran pernapasan, hipoplasia paru, dan lain-lain.
(Abdoerrachman dkk, 1985)

C. Patofisiologi Asfiksia Neonatorum


1. Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan
untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru
janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah.
Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena
konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh
yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta.

Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber
utama oksigen. Pada saat bayi mengambil napas pertama, udara memasuki alveoli
paru dan cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru. Pada
napas kedua dan berikutnya, udara yang masuk alveoli bertambah banyak dan
cairan paru diabsorpsi sehingga kemudian seluruh alveoli berisi udara yang
mengandung oksigen. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen
mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli.

Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada
sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan
udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan
mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang.
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan
sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus
arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di
vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian
jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada
kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi
relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh
paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang
sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru akan
mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh.

Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan
paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas
yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan
pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru.
Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan
berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan (Health Technology Assessment
Indonesia Depkes RI, 2008).

2. Kesulitan yang dialami bayi selama masa transisi


Bayi dapat mengalami kesulitan sebelum lahir, selama persalinan atau setelah
lahir. Kesulitan yang terjadi dalam kandungan, baik sebelum atau selama
persalinan, biasanya akan menimbulkan gangguan pada aliran darah di plasenta
atau tali pusat. Tanda klinis awal dapat berupa deselerasi frekuensi jantung janin.
Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih banyak berkaitan dengan jalan
napas dan paru-paru, misalnya sulit menyingkirkan cairan atau benda asing
seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan menghambat udara masuk ke
dalam paru mengakibatkan hipoksia. Bradikardia akibat hipoksia dan iskemia
akan menghambat peningkatan tekanan darah (hipotensi sistemik). Selain itu
kekurangan oksigen atau kegagalan peningkatan tekanan udara di paru-paru akan
mengakibatkan arteriol di paru-paru tetap konstriksi sehingga terjadi penurunan
aliran darah ke paru-paru dan pasokan oksigen ke jaringan.

Aliran darah paru meningkat secara dramatis. Hal ini disebabkan ekspansi paru
yang membutuhkan tekanan puncak inspirasi dan tekanan akhir ekspirasi yang
lebih tinggi. Ekspansi paru dan peningkatan tekanan oksigen alveoli, keduanya,
menyebabkan penurunan resistensi vaskuler paru dan peningkatan aliran darah
paru setelah lahir. Aliran intrakardial dan ekstrakardial mulai beralih arah yang
kemudian diikuti penutupan duktus arteriosus. Kegagalan penurunan resistensi
vaskuler paru menyebabkan hipertensi pulmonal persisten (Persisten Pulmonary
Hypertension of the Neonate) pada bayi baru lahir, dengan aliran darah paru yang
inadekuat dan hipoksemia relatif. Ekspansi paru yang inadekuat menyebabkan
gagal napas (Dharmasetiawani, 2008).

3. Reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi


Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam paru-
parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan
insterstitial di paru sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol pulmonal dan
menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteriol
pulmonal akan tetap kontriksi, alveoli tetap terisi cairan dan pembuluh darah
arteri sistemik tidak mendapat oksigen.
Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada
organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung
dan otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen.
Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organ-
organ vital. Walaupun demikian, jika kekurangan oksigen berlangsung terus
maka terjadi kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah
jantung, penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh
organ akan berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan
oksigenasi jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang
irreversible, kerusakan organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi yang
membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda klinis seperti
tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot dan organ lain;
depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen; bradikardia (penurunan
frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot jantung atau sel otak;
tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan
darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama
proses persalinan; takipnu (pernapasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan
paru-paru; dan sianosis karena kekurangan oksigen di dalam darah (Health
Technology Assessment Indonesia Depkes RI, 2008).

D. Faktor Risiko Asfiksia Neonatorum


Beberapa faktor risiko yang berperan dalam menimbulkan asfiksia neonatorum
diuraikan sebagai berikut.
1. Faktor Risiko Ibu
a. Primigravida dan primiparitas
Gravida dan paritas turut menjadi faktor risiko terjadinya asfiksia neonatorum
karena persalinan yang lama biasanya terjadi pada wanita yang baru menjalani
kehamilan dan persalinan anak pertama.
b. Penyakit pada ibu
Penyakit pada ibu seperti Pregnancy Induced Hypertension/PIH yang apabila
telah timbul gejala kejang dan disusul dengan koma akan menyebabkan
gangguan aliran darah ke uterus sehingga berakibat terjadinya asfiksia berat.
2. Faktor Risiko Intrapartum
a. Kelainan tali pusat
Adanya lilitan pusat pada bayi dapat menyebabkan asfiksia, dimana saat mulai
timbul kontraksi dan kepala janin mulai turun, maka lilitan tali pusat menjadi
semakin erat akibat terkompresi sehingga dapat mengakibatkan hipoksia.
b. Partus lama
Kala II lama akan menyebabkan kompresi tali pusat dan kontraksi uterus yang
berlangsung lama sehingga transportasi oksigen ke janin berkurang.
c. Mekoneum dalam ketuban
Kondisi hipoksia pada janin akan menyebabkan reaksi pengurangan aliran
darah ke beberapa organ untuk mempertahankan aliran darah ke otak dan
jantung. Vasokontriksi pembuluh darah usus yang diikuti relaksasi sfingter ani
akan mengakibatkan pengeluaran mekonium dalam air ketuban sehingga
bercampurnya air ketuban dalam mekonium merupakan kondisi yang dapat
menunjukkan terjadinya gawat janin dan apabila teraspirasi oleh janin akan
menyebabkan asfiksia.
d. Induksi Oksitosin
Induksi oksitosin adalah pemberian oksitosin pada ibu yang bertujuan untuk
merangsang atau menginduksi terjadinya persalinan. Induksi oksitosin ini
dapat menyebabkan meningkatnya risiko kelahiran dengan seksio sesaria.
e. Plasenta Previa
Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen
bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian ataupun seluruh pembukaan
jalan lahir.
f. Seksio sesarea
Seksio sesarea adalah operasi untuk melahirkan atau mengeluarkan bayi dari
rahim ibu dengan cara membuat sayatan pada perut dan rahim ibu. Hal ini
dapat mengakibatkan asfiksia neonatorum karena tidak adanya kompresi bayi
seperti pada persalinan normal
3. Faktor Risiko Janin
a. Prematuritas
Preterm adalah kelahiran yang terjadi sebelum usia kehamilan mencapai 37
minggu. Prematuritas memiliki risiko yang lebih besar terhadap kematian
akibat asfiksia neomatorum. Bayi prematur mempunyai organ tubuh yang
belum berfungsi dengan baik termasuk pada organ paru-paru sehingga
mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
b. BBLR
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah neonatus dengan berat badan lahir
pada saat kelahiran kurang dari 2.500 gram (1500 gram sampai dengan 2.499
gram) tanpa memandang masa kehamilan. Pada bayi BBLR biasanya disertai
dengan prematuritas maupun dismaturitas termasuk organ-organ seperti sistem
respirasi. Bayi BBLR sering mengalami defisiensi surfaktan akibat paru yang
belum sempurna sehingga tegangan membran permukaan udara-air (darah)
menjadi tinggi dan risiko alveoli kolaps pada saat ekspirasi sangat besar yang
menyebabkan alveoli akan menguncup selama ekspirasi (atelektasis) dan paru
kolaps yang pada akhirnya akan menyebabkan asfiksia.
c. Keterlambatan pertumbuhan dalam rahim/IUGR
Janin tidak mendapat dukungan plasenta secara adekuat karena terjadi
insufisiensi uteroplasenta sehingga masukan nutrisi dan oksigenisasi menjadi
sangat terbatas. Pada saat persalinan terjadi pengurangan aliran oksigen ke
plasenta sebagai akibat kontraksi dinding uterus sehingga kekurangan oksigen
yang terjadi akan bertambah menjadi lebih berat.

E. Klasifikasi Asfiksia Neonatorum


Klasifikasi asfiksia neonatorum dibagi berdasarkan tingkat keparahan asfiksia
yang dinilai berdasarkan skor apgar. Nilai Apgar ditemukan pada tahun 1952
oleh seorang obstetrical anesthesiologist bernama dr. Virginia Apgar di Sloane
Hospital for Women, New York.
Skor apgar ini biasanya dinilai 1 menit setelah bayi lahir lengkap, yaitu pada
saat bayi telah diberi lingkungan yang baik serta telah dilakukan pengisapan
lendir dengan sempurna. Skor apgar 1 menit ini menunjukkan beratnya
asfiksia yang diderita dan baik sekali sebagai pedoman untuk menentukan cara
resusitasi. Skor apgar perlu pula dinilai setelah 5 menit bayi lahir, karena hal
ini mempunyai korelasi yang erat demgan morbiditas dan mortalitas neonatal
(Abdoerrachman dkk, 1985).
Skor Apgar
Tanda Nilai 0 Nilai 1 Nilai 2

Warna kulit Biru/pucat Tubuh kemerahan, Tubuh dan


ekstremitas biru ekstremitas
(Appearance) kemerahan

Frekuensi Tidak ada <100x/menit >100x/menit


jantung

(Pulse)

Refleks Tidak ada Gerakan sedikit Menangis

(Grimace)

Tonus otot Lumpuh Ekstremitas fleksi Gerakan aktif


sedikit
(Activity)

Usaha Tidak ada Lambat Menangis kuat


bernafas

(Respiration)

Berdasarkan standar penatalaksanaan ilmu kesehatan anak Rumah Sakit


Mohammad Hoesin (RSMH) Palembang, asfiksia neonatorum dapat dibagi
sebagai berikut:
1. Tidak asfiksia, yaitu skor Apgar menit pertama antara 8 - 10.
2. Asfiksia ringan, yaitu skor Apgar menit pertama antara 5 - 7.
3. Asfiksia sedang, yaitu skor Apgar menit pertama antara 3 - 4.
4. Asfiksia berat, yaitu skor Apgar menit pertama antara 0 - 2.
F. Diagnosis Asfiksia Neonatorum
1. Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko terjadinya asfiksia.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Bayi tidak bernafas atau menangis.
b. Denyut jantung kurang dari 100x/menit.
c. Tonus otot menurun.
d. Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur
mekonium atau sisa mekonium pada tubuh bayi.
e. BBLR.

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium beupa analisis gas darah tali pusat menunjukkan
hasil asidosis pada darah tali pusat:
a. PaO2 < 50 mm H2O
b. PaCO2 > 55 mm H2
c. pH < 7,30
Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan
penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi, berupa :
a. Darah perifer lengkap
b. Analisis gas darah sesudah lahir
c. Gula darah sewaktu
d. Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Kalium)
e. Ureum kreatinin
f. Laktat
g. Ronsen dada
h. Ronsen abdomen tiga posisi
i. Pemeriksaan USG kepala
j. Pemeriksaan EEG dan CT Scan kepala
(IDAI, 2004).

G. Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum


Tujuan utama mengatasi asfiksia ialah untuk mempertahankan kelangsungan
hidup bayi dan membatasi gejala sisa yang mungkin timbul di kemudian hari.
Tindakan yang dikerjakan pada bayi lazim disebut resusitasi bayi baru lahir.
Penilaian awal dilakukan pada setiap bayi baru lahir untuk menetukan apakah
tindakan resusitasi harus segera dimulai. Segera setelah lahir dilakukan
penilaian pada semua bayi dengan cara melihat :
1. Apakah bayi lahir cukup bulan ?
2. Apakah air ketuban jernih dan tidak bercampur mekonium ?
3. Apakah bayi bernapas adekuat atau menangis ?
4. Apakah tonus otot baik ?
Apabila semua jawaban diatas ‘Ya’, berarti bayi baik dan tidak memerlukan
tindakan resusitasi. Pada bayi ini segera dilakukan Asuhan Bayi Normal. Bila
salah satu atau lebih jawaban ‘tidak’, bayi memerlukan tindakan resusitasi
segera.
1). Langkah awal dalam stabilisasi
a. Memberikan kehangatan
Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam keadaan
telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi
seluruh tubuh.
b. Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya
Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi
menghidu agar posisi farings, larings dan trakea dalam satu garis lurus yang
akan mempermudah masuknya udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk
melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup atau untuk pemasangan pipa
endotrakeal.
c. Membersihkan jalan napas sesuai keperluan
Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan pneumonia
aspirasi. Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar
(bayi mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi jantung
kurang dari 100x/menit) segera dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul
pernapasan untuk mencegah sindrom aspirasi mekonium. Bila terdapat
mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak bugar, pembersihan
sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi tanpa mekoneum.
d. Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada posisi yang
benar
Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan mengeringkan
akan memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk memulai pernapasan.
Bila setelah posisi yang benar, penghisapan sekret dan pengeringan, bayi
belum bernapas adekuat, maka perangsangan taktil dapat dilakukan dengan
menepuk atau menyentil telapak kaki, atau dengan menggosok punggung,
tubuh dan ekstremitas bayi.

2). Ventilasi tekanan positif


Setelah dilakukan langkah awal resusitasi, ventilasi tekanan positif harus
dimulai bila bayi tetap apnea setelah stimulasi atau pernapasan tidak adekuat,
dan/atau frekuensi jantung memadai tetapi sianosis sentral, bayi diberi oksigen
aliran bebas. Bila setelah ini bayi tetap sianosis, dapat dicoba melakukan
ventilasi tekanan positif.

3). Pemberian Oksigen


Bila bayi masih terlihat sianosis sentral, maka diberikan tambahan oksigen.
Pemberian oksigen aliran bebas dapat dilakukan dengan menggunakan
sungkup oksigen, sungkup dengan balon tidak mengembang sendiri, T-piece
resuscitator dan selang/pipa oksigen.
Pemberian oksigen 100% tidak dianjurkan pada bayi kurang bulan karena
dapat merusak jaringan. Penghentian pemberian oksigen dilakukan secara
bertahap bila tidak terdapat sianosis sentral lagi yaitu bayi tetap merah atau
saturasi oksigen tetap baik walaupun konsentrasi oksigen sama dengan
konsentrasi oksigen ruangan. Bila bayi kembali sianosis, maka pemeberian
oksigen perlu dilanjutkan sampai sianosis sentral hilang. Kemudian
secepatnya dilakukan pemeriksaan gas darah arteri dan oksimetri untuk
menyesuaikan kadar oksigen mencapai normal.

4). Kompresi dada


Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelah
dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30 detik. Kompresi dada dilakukan
dengan menekan sternum menggunakan 1 jempol atau 2 jari tegak lurus di
linea parasentralis kiri sedalam 1/3 diameter anteroposterior rongga dada
dengan 3 kali penekanan dan 1 kali ventilasi dalam 2 detik (45 kali kompresi
dada dan 15 kali ventilasi selama 30 detik).

5). Terapi Medikamentosa


a. Epinefrin 1:10.000
Dosis : 0,1-0,3 ml/kg berat badan atau 0,01-0,03 mg/kg berat badan diberikan
secara cepat, dilarutkan dengan larutan NaCl 0,9% menjadi 1-2 ml bila secara
endotrakea.
b. Cairan penambah volume darah (plasma expander)
Dosis awal 10 ml/kg dengan kecepatan 5-10 menit secara intravena. Bila bayi
menunjukkan perbaikan yang minimal setelah pemberian dosis pertama, dapat
dberikan dosis tambahan lagi 10 ml/kg.
c. Nalokson
Dosis : 0,1 mg/kg diberikan secara intravena atau intramuskular.
d. Natrium Bikarbonat
Dosis : 1-2 mEq/kg diberikan secara intravena setelah ventilasi dan perfusi
adekuat dicapai, diberikan dalam kira-kira 2 menit yaitu 1 mEq/kg/menit
(Dharmasetiawani, 2008).
H. Prognosis Asfiksia Neonatorum
Apabila bayi yang mengalami asfiksia dapat bertahan hidup pada 24 jam
pertama maka prognosis kehidupannya biasanya akan baik. Namun, sekitar 1
juta bayi yang bertahan dari asfiksia neonatorum hidup dengan gangguan
perkembangan otak kronik, termasuk cerebral palsy, retardasi mental dan
kesulitan belajar.
I. Komplikasi Asfiksia Neonatorum
Komplikasi yang dapat terjadi pada bayi yang mengalami asfiksia neonatorum
adalah asidosis metabolik, hipoglikemia, enselofati hipoksia iskemik dan gagal
ginjal. Kompresi dada juga dapat menyebabkan trauma pada bayi. Organ vital
dibawah tulang iga adalah jantung, paru, dan sebagian hati. Tulang rusuk juga
rapuh dan mudah patah. Kompresi harus dilakukan dengan hati-hati supaya
tidak merusak organ dibawahnya (Health Technology Assessment Indonesia
Depkes RI, 2008).
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdoerrachman, dkk. 1985. Ilmu Kesehatan Anak : “Asfiksia Neonatorum”. Jilid 3.


Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
Indonesia, hal. 1072-1081.
2. Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH. 2010. Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan
Anak. RSMH, Palembang, Indonesia, hal. 1.
3. Dewi, Novita, dkk. Faktor Resiko Asfiksia Neonatorum pada Bayi Cukup Bulan.
Berkala Ilmu Kedokteran, Vol. 37, No. 3, 2005, hal. 143-149.
4. Health Technology Assesment Indonesia Depkes RI. 2008. Pencegahan dan
Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
5. IDAI. 2004. Asfiksia Neonatorum. Dalam : Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; hal. 272- 276.
6. Indahwati, Elvi. 2010. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Asfiksia
Neonatorum di Instalasi Rawat Inap Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit
Mohammad Hoesin Palembang periode 1 Januari - 31 Desember 2008. Skripsi,
Jurusan Kedokteran Unsri (tidak dipublikasikan).
7. Wiknjosastro, dkk. 2005. Ilmu Kebidanan : “Bayi dengan Berat Badan Lahir
Rendah”. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, Indonesia, hal. 771
- 784.

Anda mungkin juga menyukai