Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia adalah Negara besar yang berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa dengan wilayah yang
terdiri dari ribuan pulau dan kepulauan. Letaknya sangat strategis di antara benua Asia dan Australia
dengan iklim tropis memiliki dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Indonesia
kaya dengan sumber-sumber daya alam baik dalam bumi berupa hasil-hasil pertambangan, di atas
bumi tanam-tanaman sumber bahan makanan dan industri, dan dalam laut berupa bermacam-
macam biota laut.

Kondisi bangsa yang semakin terpuruk dalam berbagai dimensi kehidupan yang ditandai dengan
krisis ekonomi serta krisis multi dimensi membuat masyarakat Indonesia tidak sanggup
menangggung beban hidup yang semakin menghimpit. Berbagai persoalan hidup bermunculan
seperti kemiskinan, pengangguran, bencana alam, kriminalitas, harga bahan pokok semakin
melonjak, serta biaya pendidikan yang semakin tinggi. . Setelah merdeka, bebas dari penjajahan,
pembangunan Indonesia dimulai melalui tiga periode : 1956-1965 di bawah pemerintahan presiden
Soekarno, 1967-1997 di bawah pemerintahan orde baru Suharto, dan periode reformasi sekarang
yang belum jelas hasil-hasil pembangunannya.

Hal ini menggugah jiwa patriotis dari kalangan mahasiswa dan masyrakat.Dipelopori oleh mahasiswa
yang didukung oleh beberapa tokoh seperti Amin Rais, gerakan untuk menunutut perubahan yang
mendesak terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang tidak popular di mata masyarakat mulai
berkumandang di seluruh penjuru tanah air. Rezim Orde Baru yang memerintah lebih dari 30 tahun
(1965-19970 yang mustahil untuk dilengserkan berhasil dibuat tidak berdaya oleh suara lantang
rakyat dan mahasiswa. Karena suara rakyat yang tertindas adalah suara Tuhan, ini yang membuat
gerakan menuntut perubahan semakin kuat dari stiap bangsa Indonesia.

Alhasil, perjuangan untuk menuntut perubahan di negeri ini dapat diraih yang ditandai dengan
runtuhnya rezim orde baru walaupun harus mengorbankan jiwa dan raga. Dari sinilah muncul
berbagai ide untuk lebih memaksimalkan pembangunan bangsa yang adil dan merata.

Daerah-daerah mulai berani menuntut haknya, yakni otonomi daerah. Mereka melihat bahwa sitem
sentralistik yang yang selama ini dijalankan tidak berhasil membawa Indonesia kea rah yang lebih
baik. Pembangunan lebih banyak di pusat atau daerah tertentu sedangkan daerah penghasil devisa
besar justru terbelakang.

Berbagai desakan dilakukan oleh daerah termasuk mengancam keluar dari NKRI jika tuntutan
mereka tidak dipenuhi., Akhirnya UU otonomi daerah oleh pemerintah dan DPR disepakati untuk
disyahkan maka pada tahun 1999 yaituUU No 22/1999.Dengan diberlakukannya otonomi daerah,
maka wewenang untuk mengurus daerah sendiri mulai dirancang oleh masing-masing daerah.

Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, persoalan demi persoalan mulai muncul. Isu sumber
daya manusia yang sangat minim menjadi penyebab utama. Demikian halnya dengan persoalan
pendidikan yang mana turut menjadi wewenang daerah menjadi pro-kontra di masyarakat.Dalam
makalah ini kami akan membahas tentang pengertian otonomi, sentralisasi, dan
desentralisasi;otonomi pendidikan, sentralisasi pendidikan, dan desentralisasi pendidikan;
pembenahan pendidikan.

B. RUMUSAN MASALAH.

1.Konsep dasar sentralistik dan desentralistik Pendidikan.

2.Kekuatan , Kelemahan Sentralisasi dan desentralisasi pendidikan

BAB II

URAIAN MASALAH

A. Pradigma Pembangunan Pendidikan


Pendidikan mengambil peran penting dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa saat ini. Akan
tetapi berbagai upaya yang telah pemerintah lakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan belum
menunjukkan hasil yang memuasklan. Dari Laporan UNDP menunjukkan angka Human Development
Indeks (HDI) masyarakat Indonesia yang menjadi salah satu indikator mutu pendidikan di Indonesia
jauh tertinggal dari negara-negara lain di Asia. Kondisi rendahnya mutu pendidikan ini disebabkan
oleh kebijakan pembangunan di bidang pendidikan yang berorientasi pada input-output analisis
cenderung dilaksanakan secara birokratik-sentralistik.

Oleh karena itu paradigma pembangunan pendidikan perlu di ubah sebagaimana telah diamanatkan
Undang-undang yaitu perubahan paradikma sentralistik kearah desentralisasi dengan dengan basis
masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat merupakan salah satu solusi alternatif untuk
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Dengan pendidikan berbasis masyarakat diharapkan
mutu pendidikan memiliki relevansi langsung dengan kebutuhan masyarakat yang sebenarnya

Krisis ekonomi yang dimulai dengan krisis moneter 1997 tidak kunjung pulih, di mana negara-negara
Asia lainnya telah pulih hanya dalam 2-3 tahun.Dalam kondisi seperti ini, sektor pendidikan
mengalami tantangan-tantangan yang besar, ditambah lagi dengan adanya tuntutan-tuntutan dari
perubahan-perubahan lingkungan gelobal, bergesernya ekonomi industri ke ekonomi pengetahuan
(knowledge economy) , inovasi dan kemajuan teknologi yang mempengaruhi tuntutan pendidikan,
tuntutan kompetensi dalam dunia kerja yang berubah, berkembangnya otonomi daerah yang tidak
hanya sekedar aspek politik, tetapi harus mempunyai manfaat ekonomi dan pembangunan
umumnya; sumber-sumber daya alam yang makin terbatas, dan lain-lain.

B.Pradigma Pembangunan Pendidikan dari tingkat dasar,menengah sampai

Pendidikan Tinggi

Untuk itu diperlukan paradigma baru dalam bidang pendidikan dari tingkat dasar, menengah sampai
pendidikan tinggi. Paradigma baru tersebut mungkin menyangkut pemikiran tentang masalah-
masalah berikut ini:

Perkembangan pemikiran pendidikan di Indonesia semenjak kemerdekaan hingga saat ini


tampaknya belum menemukan konsep pendidikan yang dapat digunakan dalam jangka panjang.

Adanya otonomi daerah tidak boleh meninmbulkan frgamentasi kebijaksanaan pendidikan nasional,
walaupun hanya terbatas pda pendidikan tingkat dasar dan menengah.
Ada pendapat untuk mengatasi kemandekan pemikiran pendidikan, kita harus kembali pada
pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Muhammad Syafei. Pemikiran itu pada masa lalu
timbul dalam semangat politik non-cooperation terhadap penjajahan Belanda, dan untuk
menumbuhkan nasionalisme dalam perjuangan mencapai kemerdekaan. Sekarang baik lingkungan
nasional dan maupun lingkungan global sudah sangat berbeda. Indonesia sudah merdeka 62 tahun.

Konsep dan pelaksanaan pendidikan di Eropah didasarka pada pada Link & Match antara University
dan Industry modern, antara dunia pendidikan dengan dunia kerja; di Cina adalah belajar selama
hidup atau LLL ( Life Long Learning) dan tepat waktu atau Just in Time Learning (JiTL), di Jepang
kreativitas dan praktik dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Di Indonesia konsep dan
pelaksanaannya bagaimana? Kalau kita mau mencontoh, yang mana yang lebih cocok dan mungkin
bagi Indonesia.

Dalam kurikulum pendidikan kita mana yng lebih baik: menggunakan kurukulum leading atau
following. Dan dalam kurikulum, apakah strateginya banyak tapi dapat sedikit, atau sedikit tapi
dapat banyak? Jangan dibebani murid-murid sekolah dengan terlalu banyak pelajaran, dan adanya
anggapan bahwa beberapa mata pelajaran yang overlaping antara sekolah dasar, menengah
pertama dan menengah lanjutan.

Antara pendidikan dan kebudayaan sesungguhnya tidak dapat dipisahkan tidak hanya dalam konsep
tetapi dalam kelembagaan, karena budaya itu adalah values bukan hanya artifact.

Pendidikan adalah human investment antar generasi, karena itu perlu strategi jangka panjang, yang
seharusnya tidak terbatas pada periode-periode satu pemerintahan, apalagi terbatas hanya pada
periode seorang menteri.

BAB III

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR SENTRALISASI PENDIDIKAN

Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu
instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut UU.
Menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah
kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi. Sentralisasi banyak
digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. Kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana
sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di
pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama
Dalam era reformasi deawasa ini, diberlakukan kebijakan otonomi yang seluas-luasnya dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah merupakan distribusi kekuasaan secara
vertikal. Distribusi kekuasan itu dari pemerintah pusat ke daerah, termasuk kekuasaan dalam bidang
pendidikan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan tampak masih menghadapi
berbagai masalah. Masalah itu diantaranya tampak pada kebijakan pendidikan yang tidak sejalan
dengan prinsip otonomi daerah dan masalah kurang adanya koordinasi dan sinkronisasi. Kondisi
yang demikian dapat menghadirkan beberapa hal, seperti : kesulitan pemerintah pusat untuk
mengendalikan pendidikan di daerah; daerah tidak dapat mengembangkan pendidikan yang sesuai
dengan potensinya. Apabila hal ini dibiarkan berbagai akibat yang tidak diinginkan bisa muncul.
Misalnya, kembali pada kebijakan pendidikan yang sentralistis, tetapi sangat dimungkinkan juga
daerah membuat kebijakan pendidikan yang dianggapnya paling tepat meskipun sebenarnya
bersebrangan dengan kebijakan pusat.

Kalau hal ini terjadi maka konflik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sulit dihindari.
Dalam sejarah konflik kepentingan pusat dan daerah memicu terjadinya upaya – upaya pemisahan
diri yang tentunya mengancam disintegrasibangsa.

Dengan perkataan lain apabila kebijakan pendidikan dalam konteks otonomi daerah tidak dilakukan
upaya sinkronisasi dan koordinasi dengan baik, tidak mustahil otonomi tersebut dapat mengarah
pada disintegrasi bangsa. Dalam kondisi demikian diperlukan cara bagaimana agar kebijakan
pendidikan di daerah dengan pusat ada sinkronisasi dan koordinasi. Juga perlu diusahakan secara
sistematis untuk membina generasi muda untuk tetap memiliki komitmen yang kuat dibawah
naungan NKRI. Masalah sinkronisasi dan koordinasi kebiajakan pendidikan dan upaya membina
generasi muda yang berorientasi memperkuat integrasi bangsa menjadi fokus dalam makalah

B. KEKUATAN DAN KELEMAHAN SENTRALISASI PENDIDIKAN

Indonesia sebagai negara berkembang dengan berbagai kesamaan ciri sosial budayanya, juga
mengikuti sistem sentralistik yang telah lama dikembangkan pada negara berkembang.
Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia serba seragam, seba keputusan dari atas,
seperti kurikulum yang seragam tanpa melihat tingkat relevansinya bai kehidupan anak dan
lingkungannya.

Konsekuensinya,posisi dan peran siswa cenderung dijadikan sebagai objek agar yang memiliki
peluang untuk mengembangkan kreatifitas dan minatnya sesuai dengan talenta yang dimilikinya.
Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena yang memperhatikan
seperti :
1. Totaliterisme penyelenggaraan pendidikan

2. Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan, evaluasi, hingga model
pengembangan sekolah dan pembelajaran.

3. Keseragaman pola pembudayaan masyarakat

4. Melemahnya kebudayaan daerah

5. Kualitas manusia yang robotic, tanpa inisiatif dan kreatifitas.

Dengan demikian, sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik, makaupaya mewujudkan


pendidikan yang dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu
memecahkan masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan
impati, memeliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat menjadi
sangat sulit untuk di wujudkan.

C. KONSEP DASAR DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Desentralisasi di Indonesia sudah ada cukup lama, dimulai sejak tahun 1973, yaitu sejak
diterbitkannya UU no. 5 tahun 1973 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonomi dan
pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pusat dan daerah. Dan terdapat
pula pada PP No. 45 tahun 1992 dan dikuatkan lagi melalui PP No. 8 tahun 1995.Menurut UU No.22,
desentralisasi dikonsepsikan sebagai penyerahan wewenang yang disertai tanggung jawab
pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom.

Beberapa alasan yang mendasari perlunya desentralisasi :

1. Mendorong terjadinya partisipasi dari bawah secara lebih luas.

2. Mengakomodasi terwujudnya prinsip demokrasi.


3. Mengurangi biaya akibat alur birokrasi yang panjang sehinmgga dapat meningkatkan efisiensi.

4. Memberi peluang untuk memanfaatkan potensi daerah secara optimal.

5. Mengakomodasi kepentingan poloitik.

6. Mendorong peningkatan kualitas produk yang lebih kompetitif.

Desentralisasi Community Based Education mengisyaratkan terjadinya perubahan kewenangan


dalam pemerintah antara lain :

a. Perubahan berkaitan dengan urusan yang tidak diatur oleh pemerintah pusat, secara otomatis
menjadi tangung jawab pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan pendidikan.

b. Perubahan berkenaan dengan desentralisasi pengelolaan pendidikan.dalam hal ini pelempahan


wewenang dalam pengelolaan pendidikandan pemerintah pusat kedaerah otonom, yang
menempatkan kabupaten / kota sebagai sentra desentralisasi.

Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada
orang-orang pada level bawah ( daerah ). Pada sistem pendidikan yang terbaru tidak lagi
menerapkan sistem pendidikan sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah atau otda yang
memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang tadinya
diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat. Kelebihan sistem ini adalah sebagian keputusan dan
kebijakan yang ada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat.
Namun kekurangan dari sistem ini adalah pada daerah khusus, euforia yang berlebihan dimana
wewenang itu hanya menguntungkan pihak tertentu atau golongan serta dipergunakan untuk
mengeruk keuntungan para oknum atau pribadi.

Hal ini terjadi karena sulit dikontrol oleh pemerinah pusat.Desentralisasi pendidikan suatu keharusan
Rontoknya nilai-nilai otokrasi Orde Baru telah melahirkan suatu visi yang baru mengenai kehidupan
masyrakat yang lebih sejahtera ialah pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, hak politik, dan
hak asasi masyarakat (civil rights). Kita ingin membangun suatu masyarakat baru yaitu masyarakat
demokrasi yang mengakui akan kebebasan individu yang bertanggungjawab. Pada masa orde baru
hak-hak tersebut dirampas oleh pemerintah.

Keadaan ini telah melahirkan suatu pemerintah yang tersebut dan otoriter sehingga tidak mengakui
akan hak-hak daerah. Kekayaan nasional, kekayaan daerah telah dieksploitasi untuk kepentingan
segelintir elite politik. Kejadian yang terjadi berpuluh tahun telah melahirkan suatu rasa curiga dan
sikap tidak percaya kepada pemerintah. Lahirlah gerakan separtisme yang ingin memisahkan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, desentralisasi atau otonomi daerah
merupakan salah satu tuntutan era reformasi. Termasuk di dalam tuntutan otonomi daerah ialah
desentralisasi pendidikan nasional.Ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi
pendidikan yaitu pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan sosial capital, dan
peningkatan daya saing bangsa ( H.A.R Tialar, 2002).

1. Masyarakat Demokrasi

Masyarakat demokrasi atau dalam khasanah bahasa kita namakan masyarakat madani (civil society)
adalah suatu masyarakat yang antara lain mengakui hak-hak asasi manusia. Masyarakat madani
adalah suatu masyarakat yang terbuka dimana setiap anggotanya merupakan pribadi yang bebas
dan mempunyai tanggung jawab untuk membangun masyarakatnya sendiri. Pemerintah dalam
masyrakat madani adalah pemerintahan yang dipilih oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat
sendiri. Masyarakat demokrasi memerlukan suatu pemerintah yang bersih (good and clean
governance).

2. Pengembangan “Social Capital”

Para ahli ekonomi seperti Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998, menekankan kepada
nilai-nilai demokrasi sebagai bentuk social capital yang menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi dan
kehidupan yang lebih manusiawi. Demokrasi sebagai social capital hanya bias diraih dan
dikembangkan melalui proses pendidikan yang menghormati nilai-nilai demokrasi tersebut. Suatu
proses belajar yang tidak menghargai akan kebebassan berpikir kritis tidak mungkin menghidupkan
nilai-nilai demokrasi sebagai social capital suatu bangsa.

Sistem pendidikan yang sentralistik yang mematikan kemampuan berinovasi tentunya tidak sesuai
dengan pengembangan suatu masyarakat demokrasi terbuka. Oleh sebab itu, desntralisasi
pendidikan berarti lebih mendekatkan proses pendidikan kepada rakyat sebagai pemilik pendidikan
itu sendiri. Rakyat harus berpartisipasi di dalam pembentukan social capital tersebut. Ikut sertanya
rakyat di dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat demokrasi berarti pula rakyat
ikut membina lahirnya social capital dari suatu bangsa.
3. pengembangan Daya saing

Di dalam suatu masyarakat demokratis setiap anggotanya dituntut partisipasi yang optimal dalam
pengembangan kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Di dalam kehidupan bersama tersebut
diperlukan kemampuan daya saing yang tinggi di dalam kerja sama. Di dalam suatu masyarakat yang
otoriter dan statis, daya saing tidak mempunyai tempat. Oleh sebab itu, masyarakat akan sangat
lamban perkembangannya. Masyarakat bergerak dengan komando dan oleh sebab itu sikap masa
bodoh dan menunggu merupakan ciri dari masyarakat otoriter.

Daya saing di dalam masyarakat bukanlah kemampuan untuk saling membunuh dan saling
menyingkirkan satu dengan yang lain tetapi di dalam rangka kerjasama yang semakin lama semakin
meningkat mutunya. Dunia terbuka, dunia yang telah menjadi suatu kampung global (global village)
menuntut kemampuan daya saing dari setiap individu, setiap masyarakat, bahkan setiap bangsa.
Eksistensi suatu masyarakat dan bangsa hanya dapat terjamin apabila dia terus-menerus
memperbaiki diri dan menibkatkan kemampuanya. Ada empat faktor yang menentukan tingkat daya
saing seseorang atau suatu masysrakat. Faktor-fator tersebut adalah intelegensi, informasi, ide baru,
dan inovasi.

B.KEKUATAN DAN KELEMAHAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Dari beberapapengalaman di negara lain,kegagalan disentralisasi di akibatkan oleh beberapa hal :

1. Masa transisi dari sistem sentralisasi ke desintralisasi ke memungkinkan terjadinya perubahan


secara gradual dan tidak memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesa-gesa.

2. Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan daerah.

3. Kemampuan keuangan daerah yang terbatas.

4. Sumber daya manusia yang belum memadai.

5. Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai.


6. Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum matang.

7. Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk kehiulangan otoritasnya.

Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan disentralisasi yang tidak matang juga melahirkan berbagai
persoalan baru, diantaranya :

1. Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antara daerah,antar sekolah antar individu


warga masyarakat.

2. Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua) menjadikan jumlah
anggaran belanja sekolah akan menurundari waktu sebelumnya,sehingga akan menurunkan motivasi
dan kreatifitas tenaga kependidikan di sekolahuntuk melakukan pembaruan.

3. Biaya administrasi di sekolah meningkat karena prioritas anggarandi alokasikan untuk menutup
biaya administrasi, dan sisanya baru didistribusikan ke sekolah.

4. Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan pendidikan, secara kumulatif


berpotendsi akan menurunkan pendidikan.

5. Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu memahamisepenuhnya permasalahandan


pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya akan menurunkan mutu pendidikan.

6. Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam di karenakan perbedaan potensi daerah yang
berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan mutu pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial.

7. Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan pendidikan dari pusat ke daerah.

Untuk mengantisipasi munculnya permasalahan tersebut di atas, disentralisasi pendidikan dalam


pelaksanaannya harus bersikap hati-hati. Ketepatan strategi yang ditempuh sangat menentukan
tingkat efektifitas implementasi disentralisasi. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk
tersebut ada beberapa hal yang perlu di perhatikan :
1. Adanya jaminan dan keyakinan bahwa pendidikan akan tetap berfungsi sebagai wahana
pemersatu bangsa.

2. Masa transisi benar-benar di gunakan untuk menyiapkan berbagai halyang dilakukan secara
garnual dan di jadwalkan setepat mungkin.

3. Adanya kometmen dari pemerintah daerah terhadappendidikan, terutama dalam pendanaan


pendidikan.

4. Adanya kesiapan sumber daya manusia dan sistem manajemen yang tepat yang telah
dipersiapkan dengan matang oleh daerah.

5. Pemahaman pemerintah daerah maupunDPRD terhadap keunikan dan keberagaman sistem


pengelolaan pendidikan, dimana sistem pengelolaan pendidikan tidak sama dengan pengelolaan
pendidikan daerah lainnya.

6. Adanya kesadaran dari semua pihak (pemerintah, DPRD, masyarakat) bahwa pengelolaan tenaga
kependidikan di sekolah, terutama guru tidak sama dengan pengelolaan aparat birokrat lainnya.

7. Adanya keiapan psikologis dari pemerintah pusat dari propinsi untuk melepas kewenangannya
pada pemerintah kabupaten / kota.

Selain dampak negatif tentu saja disentralisasi pendidikan juga telah membuktikan keberhasilan
antara lain :

1. Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan demokratisasi dalam pengelolaan


pendidikan.

2. Mampu membangun partisifasi masyarakat sehingga melahirkan pendidikan yang relevan, karena
pendidikan benar0benar dari oleh dan untuk masyarakat.
3. Mampu menyelenggarakan pendidikan secara menfasilitasi proses belajar mengajar yang
kondusif, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas belajar siswa.

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pengelolaan pendidikan yang baik akan menghasilkan Indonesia yang baru.Desentralisasi pendidikan
merupakan suatu keharusan jika kita ingin cepat mengejar ketertinggalan dari bangsa lain. Melalui
pendidkan yang demokratis akan melahirkan masyarakat yang kritis dan bertanggung jawab.
Masyarakat yang demokratis akan mampu menciptakan masyarakat madani yaitu masyarakat yang
berbudaya tinggi yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang mana sangat menghargai hak-hak
asasi manusia.

Desntralisasi pendidikan perlu dijaga dari kemungkinan –kemungkinan terjadi hal-hal negatif seperti
desentralisasi kebablasan, misalnya penyerahan tanggung jawab pendidikan kepada daerah for the
sake of autonomy. Apabila penyerahan wewenang tersebut hanyalah sekadar memindahkan
birokrasi pendidikan dan sentralisasi pendidikan di tingkat daerah, maka desnralisasi tersebut akan
mempunyai nasib yang sama sebagaimana yang kita kenal pada masa orde baru.

B. SARAN – SARAN

Kebijakan pendidikan seharusnya bersifat akomodatif terhadap aspirasi rakyatnya sebagai


konsekuensi Indonesia menganut sistem politik demokrasi. Dengan diberlakukan otonomi daerah
yang termasuk di dalamnya otonomi bidang pendidikan, maka kebijakan pendidikan yang
demokratis telah mendapat wadah pengejawantahannya secara jelas.

Untuk itu dalam konteks kepentingan upaya mewujudkan integrasi bangsa perlu kebijakan
pendidikan diorientasikan pada peningkatan mutu SDM dan pemerataannya di daerah.

Lakasanakan amandemen UUD 1945 pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan pengelolaan
anggaran minimal 20 % dari APBN.

Persiapkan pelaksanaan otonomi pendidikan yang aplikasinya di mulai dengan upaya-upaya


penguatan manajemen sekolah

Ide dasar desentralisasi pendidikan di era otonomi daerah adalah pengembangan pendidikan
berbasis masyarakat (school based managemen / community)

Berkaitan dengan otonomi pendidikan yang perlu juga di perhatikan adalah mewujudkan organisasi
pendidikan di seluruh kabupaten yang lebih demokratis, transparan, efisien melalui pendekatan
manajemen berbasis sekolah dengan pembentukan Majelis Sekolah.

Dalam konteks desentralisasi, pembelajaran yang berlangsung di lembaga pendidikan hendaknya


sudah menjadikan pemerintah pada posisi ”Fasilitator” dan “bukan pengendali”.

Realitas birokrasi pendidikan yang terjadi saat ini dalamperfektif manajemen tidaklah
menguntungkan.

Pada tingkat praktis-pragmatis, sekolah yang menentukan bagaimana tujuan umum tersebut dicapai
dengan keterlibatan penuh semua elemen sekolah
Daftar pustaka

Analisis, Tahun XXIX/2000, No 1. ”Otonomi daerah, penyelesaian atau masalah?

”Program Pembanguna Nasional (Propenas) 2000-2004”. Republik Indonesia, 2000

Andrias Harefa, Menjadi manusia pembelajar, kompas media Indonesia Jakarta, 2001

Bobbi DePorter dkk, Quantum Learning, penerbit kaifa, Bandung, 2001

H A R. Tilaar, Paradigma baru pendidikan nasional, Rineka Cipta, Jakarta 2000.

H A R. Tialar, Membenahi pendidikan nasional, Rineka cipta, Jakarta, 2002

Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada Semiloka Nasional
Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997

Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.Pembangunan

Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur

Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila, Jakarta:Depdikbud

Ki Fudyatanta, filsafat pendidikan barat dan filsafat pendidikan pancasila, Amus jogjakarta,2006

Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP IKIP Bandung

Sumarno Sudarsono, The willingness to change,Jakrta,2006

RakaJoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan Kemungkinan


Pendekatan, Jakarta, Depdikbud
PROBLEMATIKA SENTRALISASI DAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Makalah Kelompok

Dipresentasikan dalam Forum Seminar Kelas Mata Kuliah

Isu-Isu Pendidikan Kontemporer Konsentrasi PK PAI

Semester III Tahun Akademik 2013/2014

Oleh:

1. Suparman Toaha : 80100212143

2. Suriati Dullah : 80100212144

3. Suryanagara : 80100212145

4. Sarief Taki : 80100212146

5. Wardana Razak: : 80100212147

6. Zulkarnain Mansyur : 80100212148

Dosen Pemandu

Prof. Dr. H. Bahaking Rama, MS.

Dr. H. Syahruddin Usman, M.Pd.

PROGRAM PASCASARJANA

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2013

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Reformasi pendidikan melalui pelaksanaan desentralisasi pendidikan dalam rangka otonomi daerah
yang telah berjalan beberapa waktu ini telah menentukan sosok dan kinerja sistem pendidikan
nasional di masa akan datang. Tujuan utama reformasi pendidikan adalah membangun suatu sistem
pendidikan nasional yang lebih baik, lebih mantap, dan lebih maju dengan mengoptimalkan serta
member-dayakan potensi daerah dan faksi-faksi masyarakat lokal. Sebab pendidikan merupakan
struktur pokok yang memberikan fasilitas bagi warga masyarakat untuk bisa menentukan barang dan
jasa yang diperlukan.[1] Bahkan secara makro, pendidikan merupakan jantung sekaligus tulang
punggung masa depan bangsa dan negara.[2]

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa keberhasilan suatu bangsa sangat
ditentukan keberhasilan dalam memperbaiki dan memperbarui sektor pendidikan. Dengan begitu,
pendidikan tersebut dilakukan manusia dalam rangka memperbaiki dan meningkakan taraf
hidupnya melalui proses pendidikan.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, melalui proses pendidikan diharapkan manusia menjadi
cerdas atau memiliki kemampuan yang biasa dikenal dengan istilah skill dalam menjalani
kehidupannya.[3] Fakta tersebut kemudian berkembang dalam masyarakat sekarang yang akhirnya
menuntut pendidikan untuk terus melakukan pembenahan. Melalui pembenahan tersebut akan
terwujud tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan.

Dalam era otonomi pendidikan dan paradimgma baru pendidikan mengantarkan lembaga
pendidikan pada arah baru dengan perubahan pada fenomena penataan kembali sistem pendidikan
nasional yang sentralistik menuju pada suatu sistem yang memberikan kesempatan luas kepada
inisiatif masyarakat setempat bahkan pengelolaan pendidikan yang semula berpusat pada
pemerintahan pusat mulai dari yang bersifat mikro, messo, maupu makro beralih pada pengelolaan
pendidikan pada pola manajemen lembaga pendidikan dimana lembaga pendidikan tersebut berada
yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah.[4]

Dalam era reformasi dewasa ini, diberlakukan kebijakan otonomi daerah yang seluas-luasnya dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah merupakan distribusi
kekuasaan secara vertikal. Distribusi kekuasan itu dari pemerintah pusat ke daerah, termasuk
kekuasaan dalam bidang pendidikan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan
tampak masih menghadapi berbagai masalah. Masalah itu di antaranya tampak pada kebijakan
pendidikan yang tidak sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan masalah kurangnya koordinasi
dan sinkronisasi. Kondisi yang demikian dapat menghadirkan beberapa hal, seperti: kesulitan
pemerintah pusat untuk mengendalikan pendidikan di daerah; daerah tidak dapat mengembangkan
pendidikan yang sesuai dengan potensinya. Apabila hal ini dibiarkan berbagai akibat yang tidak
diinginkan bisa muncul. Misalnya, kembali pada kebijakan pendidikan yang sentralistis, tetapi sangat
dimungkinkan juga daerah membuat kebijakan pendidikan yang dianggapnya paling tepat meskipun
sebenarnya berseberangan dengan kebijakan pusat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka yang menjadi pokok permasalahan untuk dijadikan
kajian utama dalam makalah ini adalah bagaimana problematikan sentralisasi dan desentralisasi
pendidikan? Untuk mengkaji pokok permasalahan tersebut maka penulis merinci ke dalam beberapa
submasalah yaitu:
1. Bagaimana konsep dasar tentang sentralisasi dan desentralisasi pendidikan?

2. Bagaimana dampak sentralisasi dan desentralisasi pendidikan ?

II. PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar tentang Sentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan

1. Pengertian Sentralisasi pendidikan

Sebelum penulis membahas lebih jauh tentang sentralisasi pendidikan maka perlu terlebih dahulu
dipahami pengertian sentralisasi itu sendiri. Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada
pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-
kebijakan yang telah digariskan menurut Undang-Undang. Menurut ekonomi manajemen
sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang berada
di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi.

Selanjutnya pengertian tentang istilah pendidikan. Hampir setiap manusia pernah mengalami
pendidikan, tetapi tidak setiap orang mengerti makna pendidikan, pendidik, dan mendidik. Untuk
memahami pendidikan, ada dua istilah yang dapat mengarahkan pada pemahaman hakikat
pendidikan, yakni kata paedagogie dan paedagogiek. Paedagogie bermakna pendidikan, sedangkan
paedagogiek berarti ilmu pendidikan.[5]

Secara estimologik, perkataan paedagogie berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogia yang berarti
pergaulan dengan anak. Paidagogos adalah hamba atau orang yang pekerjaannya menmgantar dan
mengambil budak-budak pulang pergi atau antar jemput sekolah. Perkataan “paida” merujuk kepada
kanak-kanak yang menjadikan sebab mengapa sebagian orang cenderung mmembedakan antara
pedagogi (mengajar kanak-kanak) dan andragogi (mengajar orang dewasa)[6]

Pendidikan bukan hanya kegiatan mentransfer ilmu, teori dan fakta-fakta akademik semata; atau
bukan sekedar urusan ujian, penetapan kriteria kelulusan serta pencetakan ijazah semata.
Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses pembebasan peserta didik dari ketidaktahuan,
ketidakberdayaan, ketidakbenaran, ketidakjujuran, dan dari buruknya akhlak, hati, dan keimanan.

Oleh karena itu, pendidikan tidak boleh menjadikan manusia asing terhadap dirinya dan asing
terhadap hati nuraninya. Pendidikan tidak boleh melahirkan sikap, pemikiran, dan perilaku semu.
Pendidikan tidak boleh menjadikan manusia berada di luar dirinya.[7]

Pendidikan yang sifatnya sentralisasi akan mendekatkan peserta didik asing bagi dirinya dan hati
nuraninya. Hal tersebut disebabkan karena peranan guru yang seharusnya dilaksanakannya tetapi
diambil alih oleh pusat. Misalnya mengenai penentuan kurikulum sendiri di daerah masing-masing,
tetapi dalam sentralisasi dialihkan semuanya ke pusat untuk mengaturnya. Inilah yang menyebabkan
keasingan peserta didik terhadap dirinya.

Oleh karena itu, maka perlu diwujudkannya desentralisasi pendidikan sehingga kewenangan pusat
bisa didelegasikan kepada daerah untuk mengurusnya sendiri sesui dengan kondisinya. Hanya saja
tidak berarti bahwa pemberian kewenangan itu adalah kemenangan bagi daerah untuk mandiri
secara total tanpa memperhatikan instruksi yang bersifat koordinatif dari pusat.

Dengan perkataan lain apabila kebijakan pendidikan dalam konteks otonomi daerah tidak dilakukan
upaya sinkronisasi dan koordinasi dengan baik, tidak mustahil otonomi tersebut dapat mengarah
pada disintegrasi bangsa. Dalam kondisi demikian diperlukan cara bagaimana agar kebijakan
pendidikan di daerah dengan pusat ada sinkronisasi dan koordinasi. Juga perlu diusahakan secara
sistematis untuk membina generasi muda untuk tetap memiliki komitmen yang kuat dibawah
naungan NKRI.

2. Pengertian desentralisasi pendidikan

Desentralisasi di Indonesia sudah ada cukup lama, dimulai sejak tahun 1973, yaitu sejak
diterbitkannya UU Nomor 5 Tahun 1973 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonomi dan
pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pusat dan daerah. Dan terdapat
pula pada PP No. 45 tahun 1992 dan dikuatkan lagi melalui PP Nomor 8 Tahun 1995. Menurut UU
Nomor 22, desentralisasi dikonsepsikan sebagai penyerahan wewenang yang disertai tanggung
jawab pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom. Adapun pengertian desentralisasi
pendidikan ialah suatu pelimpahan kewenangan kepada lembaga pendidikan dalam me-manage
seluruh komponen pendidikannya sendiri.[8]

Beberapa alasan yang mendasari perlunya desentralisasi :

1. Mendorong terjadinya partisipasi dari bawah secara lebih luas. Mengako-modasi terwujudnya
prinsip demokrasi.

2. Mengurangi biaya akibat alur birokrasi yang panjang sehinmgga dapat meningkatkan efisiensi.

3. Memberi peluang untuk memanfaatkan potensi daerah secara optimal.

4. Mengakomodasi kepentingan poloitik.

5. Mendorong peningkatan kualitas produk yang lebih kompetitif.


Desentralisasi Community Based Education mengisyaratkan terjadinya perubahan kewenangan
dalam pemerintah antara lain:

1. Perubahan berkaitan dengan urusan yang tidak diatur oleh pemerintah pusat, secara otomatis
menjadi tangung jawab pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan pendidikan.

2. Perubahan berkenaan dengan desentralisasi pengelolaan pendidikan.dalam hal ini pelempahan


wewenang dalam pengelolaan pendidikandan pemerintah pusat kedaerah otonom, yang
menempatkan kabupaten / kota sebagai sentra desentralisasi.

Desentralisasi merupakan kebijakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk melaksanakan


dan mengurusi keperluan dirinya sendiri. Desentralisasi pendidikan di Indonesia setelah otonomi
daerah memberi peluang untuk lebih cepat mengambil keputusan, meningkatkan partisipasi
pelaksanaan pendidikan dan mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya pendidikan untuk
memberdayakan masyarakat. Hal ini merupakan alasan krusial desentralisasi yang diprediksi
memberikan manfaat bagi pengembangan sekolah.[9]

Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada
orang-orang pada level bawah ( daerah ). Pada sistem pendidikan yang terbaru tidak lagi
menerapkan sistem pendidikan sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah atau otoda yang
memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang tadinya
diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat. Kelebihan sistem ini adalah sebagian keputusan dan
kebijakan yang ada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat.
Namun kekurangan dari sistem ini adalah pada daerah khusus, euforia yang berlebihan dimana
wewenang itu hanya menguntungkan pihak tertentu atau golongan serta dipergunakan untuk
mengeruk keuntungan para oknum atau pribadi.

Hal ini terjadi karena sulit dikontrol oleh pemerinah pusat. Desentralisasi pendidikan suatu
keharusan rontoknya nilai-nilai otokrasi Orde Baru telah melahirkan suatu visi yang baru mengenai
kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera ialah pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, hak
politik, dan hak asasi masyarakat (civil rights). Kita ingin membangun suatu masyarakat baru yaitu
masyarakat demokrasi yang mengakui akan kebebasan individu yang bertanggung jawab. Pada masa
orde baru hak-hak tersebut dirampas oleh pemerintah.

Keadaan ini telah melahirkan suatu pemerintah yang tersebut dan otoriter sehingga tidak mengakui
akan hak-hak daerah. Kekayaan nasional, kekayaan daerah telah dieksploitasi untuk kepentingan
segelintir elite politik. Kejadian yang terjadi berpuluh tahun telah melahirkan suatu rasa curiga dan
sikap tidak percaya kepada pemerintah. Lahirlah gerakan separatisme yang ingin memisahkan diri
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, desentralisasi atau otonomi daerah
merupakan salah satu tuntutan era reformasi. Termasuk di dalam tuntutan otonomi daerah ialah
desentralisasi pendidikan nasional. Ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi
pendidikan yaitu pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan sosial capital, dan
peningkatan daya saing bangsa.

Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan yang menjadikan
sekolah sebagai proses pengambilan keputusan dan merupakan salah satu upaya untuk
memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia termasuk profesionalitas guru yang
belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak baik secara regional maupun secara internasional.[10]
Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap
sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan
pendidikan di tanah air kita. Hal ini beralasan, karena sistem birokrasi selalu menempatkan
“kekuasaan” sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses pengambilan keputusan. Sekolah-
sekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi sejak kekuasaan tingkat pusat hingga
daerah bahkan terkesan semakin buruk dalam era reformasi saat ini. Ironisnya, kepala sekolah dan
guru-guru sebagai pihak yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang
“dikendalikan”. Merekalah seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam
mengatasi berbagai persoalan sehari-hari yang menghadang upaya peningkatan mutu pendidikan.
Namun, mereka ada dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam
bentuk juklak dan juknis yang “pasti” tidak sesuai dengan kenyataan obyektif di masing-masing
sekolah.

Disamping itu pula, kekuasaan birokrasi juga yang menjadi faktor sebab dari menurunnya semangat
partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dulu, sekolah sepenuhnya
dimiliki oleh masyarakat, dan merekalah yang membangun dan memelihara sekolah, mengadakan
sarana pendidikan, serta iuran untuk mengadakan biaya operasional sekolah. Jika sekolah telah
mereka bangun, masyarakat hanya meminta guru-guru kepada pemerintah untuk diangkat pada
sekolah mereka itu. Pada waktu itu, kita sebenarnya telah mencapai pembangunan pendidikan yang
berkelanjutan (sustainable development), karena sekolah adalah sepenuhnya milik masyarakat yang
senantiasa bertanggungjawab dalam pemeliharan serta operasional pendidikan sehari-hari. Pada
waktu itu, Pemerintah berfungsi sebagai penyeimbang, melalui pemberian subsidi bantuan bagi
sekolah-sekolah pada masyarakat yang benar-benar kurang mampu.[11]

Pemerintah telah mengambil alih “kepemilikan” sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi
milik pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratik bahkan sentralistik. Sejak itu, secara
perlahan “rasa memiliki” dari masyarakat terhadap sekolah menjadi pudar bahkan akhirnya
menghilang. Peran masyarakat yang sebelumnya “bertanggungjawab”, mulai berubah menjadi
hanya “berpartisipasi” terhadap pendidikan, selanjutnya, masyarakat bahkan menjadi “asing”
terhadap sekolah. Semua sumberdaya pendidikan ditanggung oleh pemerintah, dan seolah tidak ada
alasan bagi masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi apalagi bertanggungjawab terhadap
penyelengaraan pendidikan di sekolah.

Berdasarkan pengalaman empiris tersebut, maka kemandirian setiap satuan pendidikan sudah
menjadi satu keharusan dan merupakan salah satu sasaran dari kebijakan desentralisasi pendidikan
saat ini. Sekolah-sekolah sudah seharusnya menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya,
meskipun pergeseran menuju sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang sehingga
memerlukan berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan panjang ini tidak
selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan onak dan duri. Orang bisa saja
mengatakan bahwa paradigma baru untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang demokratis
dan partisipatif, tidak dapat dilaksanakan di dalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis.
Namun, pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi
demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan transparans.
Selanjutnya desentralisasi pendidikan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah maupun
sekolah untuk mengambil keputusan terbaik tentang penyelenggaraan pendidikan di daerah atau
sekolah yang bersangkutan berdasarkan potensi daerah dan stakeholders sekolah. Olah karenanya,
desentralisasi pendidikan disamping diakui sebagai kebijakan politis yang berkaitan dengan
pendidikan, juga merupakan kebijakan yang berkait dengan banyak hal. Paqueo dan Lammaert
menunjukkan alasan-alasan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan yang sangat cocok untuk
kondisi Indonesia, yaitu; (1) kemampuan daerah dalam membiaya pendidikan, (2) peningkatan
efektivitas dan efesiensi penyelenggaraan pendidikan dari masing-masing daerah, (3) redistribusi
kekuatan politik, (4) peningkatan kualitas pendidikan, (5) peningkatan inovasi dalam rangka
pemuasan harapan seluruh warga negara.[12]

Sesuai dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi di bidang pendidikan, pengelolaan pendidikan
di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keinginan dan tujuan bangsa Indonesia dalam
penyelenggaran pendidikan itu sendiri. Sebagai contoh dalam pendidikan dasar, propenas
menyebutkan kegiatan pokok dalam upaya memperbaiki manajemen pendidikan dasar di Indonesia
adalah:

1. Melaksanakan desentralisasi bidang pendidikan secara bertahap, bijaksana dan profesional,


termasuk peningkatan peranan stakeholders sekolah;

2. Mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan secara desentralisasi untuk meningkatkan


efesiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan
masyarakat setempat;

3. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, seperti diversifikasi


penggunaan sumber daya dan dana;

4. Mengembangkan sistem insentif yang mendorong terjadinya kompetensi yang sehat baik antara
lembaga dan personil sekolah untuk pencapaian tujuan pendidikan

5. Memberdayakan personil dan lembaga, antara lain melalui pelatihan yang dilaksanakan oleh
lembaga profesional.

6. Meninjau kembali semua produk hukum di bidang pendidikan yang tidak sesuai lagi dengan arah
dan tuntutan pembangunan pendidikan; dan

7. Merintis pembentukan badan akreditasi dan sertifikasi mengajar di daerah untuk meningkatkan
kualitas tenaga kependidikan secara independen.[13]

Atas dasar amanat seperti yang dirumuskan dalam propenas di atas, maka sangat jelas bahwa tekad
bangsa Indonesia untuk mewujudkan sistem pendidikan secara desentralistik terkesan sangat kuat.
Dengan sistem ini pendidikan dapat dilaksanakan lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
masyarakat, di mana proses pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang paling
dekat dengan proses pembelajaran (kepala sekolah, guru, dan orang tua peserta didik). Adanya
otonomisasi daerah yang sekaligus disertai dengan otonomi penyelenggaraan pendidikan atau
desentralisasi pendidikan, hendaknya dapat mencapai sasaran utama progam restrukturisasi sistem
dan manajemen pendidikan di Indonesia. Restrukturisasi dimaksud antara lain mencakup hal-hal
sebagai berikut:
1. Struktur organisasi pendidikan hendaknya terbuka dan dinamis, mencerminkan desentralisasi
dan pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

2. Sarana pendidikan dan fasilitas pembelajaran dibakukan berdasarkan prinsip edukatif sehingga
lembaga pendidikan merupakan tempat yang menyenangkan untuk belajar, berprestasi, berkreasi,
berkomunikasi, berolah raga serta menjalankan syariat agama.

3. Tenaga kependidikan, terutama tenaga pengajar harus benar-benar profesional dan diikat oleh
sistem kontrak kinerja.

4. Struktur kurikulum pendidikan hendaknya mengacu pada penerapan sistem pembelajaran


tuntas, tidak terikat pada penyelesaian target kurikulum secara seragam per catur wulan dan tahun
pelajaran.

5. Proses pembelajaran tuntas diterapkan dengan berbagai modus pendekatan pembelajaran,


peserta didik aktif sesuai dengan tingkat kesulitan konsep-konsep dasar yang dipelajari.

6. Sistem penilaian hasil belajar secara berkelanjutan perlu diterapkan di setiap lembaga
pendidikan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pembelajaran tuntas.

7. Dilakukan supervisi dan akreditasi. Supervisi dan pembinaan administrasi akdemik dilakukan
oleh unsur manajemen tingkat pusat dan provinsi yang bertujuan untuk mengendalikan mutu
(quality control). Sedangkan akreditasi dilakukan untuk menjamin mutu quality assurance)
pelayanan kelembagaan.

8. Pendidikan berbasis masyarakat seperti pondok pesantren, kursus-kursus keterampilan,


pemagangan di tempat kerja dalam rangka pendidikan sistem ganda harus menjadi bagian dari
sistem pendidikan nasional.

9. Formula pembiayaan pendidikan atau unit cost dan subsidi pendidikan harus didasarkan pada
bobot beban penyelenggaraan pendidikan yang memperhatikan jumlah peserta didik, kesulitan
komunikasi, tingkat kesejahteraan masyarakat dan tingkat partisipasi pendidikan serta kontribusi
masyarakat terhadap pendidikan pada setiap sekolah.[14]

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa desentrali-sasi pendidikan pada
hakekatnya berkorelasi positif terhadap peningkatan mutu lulusan lembaga pendidikan dan efesiensi
pengelolaan pendidikan. Apabila sekolah dapat dikelola dengan optimal oleh personalia yang
profesional, pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak-pihak yang lebih dekat dan tahu tentang
kebutuhan dan potensi sekolah, maka mutu pendidikan akan semakin menunjukan pada tingkat
maksimal sesuai yang diharapkan.

B. Dampak Sentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan

1. Dampak negatif sentralisasi pendidikan

Indonesia sebagai negara berkembang dengan berbagai kesamaan ciri sosial budayanya, juga
mengikuti sistem sentralistik yang telah lama dikembangkan pada negara berkembang.
Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia serba seragam, serba keputusan dari atas,
seperti kurikulum yang seragam tanpa melihat tingkat relevansinya baik kehidupan anak dan
lingkungannya.

Konsekuensinya, posisi dan peran peserta didik cenderung dijadikan sebagai objek agar yang
memiliki peluang untuk mengembangkan kreativitas dan minatnya sesuai dengan talenta yang
dimilikinya. Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena yang
memprihatinkan seperti :

1. Totaliterisme penyelenggaraan pendidikan.

2. Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan, evaluasi, hingga model
pengembangan sekolah dan pembelajaran.

3. Keseragaman pola pembudayaan masyarakat.

4. Melemahnya kebudayaan daerah.

5. Kualitas manusia yang robotik, tanpa inisiatif dan kreativitas.

Dengan demikian, sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik, maka upaya mewujudkan
pendidikan yang dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu
memecahkan masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan
impati, memeliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat menjadi
sangat sulit untuk diwujudkan.

2. Dampak Positif Desentralisasi Pendidikan

Dari beberapa pengalaman di negara lain, kegagalan desentralisasi diakibatkan oleh beberapa hal :

1. Masa transisi dari sistem sentralisasi ke desintralisasi ke memungkinkan terjadinya perubahan


secara gradual dan tidak memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesa-gesa.

2. Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan daerah.

3. Kemampuan keuangan daerah yang terbatas.

4. Sumber daya manusia yang belum memadai.

5. Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai.

6. Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum matang.

7. Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk kehiulangan otoritasnya.

Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan desentralisasi yang tidak matang juga melahirkan berbagai
persoalan baru, diantaranya :

1. Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antara daerah, antar sekolah, antar individu
warga masyarakat.
2. Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua) menjadikan jumlah
anggaran belanja sekolah akan menurun dari waktu sebelumnya, sehingga akan menurunkan
motivasi dan kreativitas tenaga kependidikan di sekolah untuk melakukan pembaruan.

3. Biaya administrasi di sekolah meningkat karena prioritas anggaran di alokasikan untuk menutup
biaya administrasi, dan sisanya baru di distribusikan ke sekolah.

4. Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan pendidikan, secara kumulatif


berpotensi akan menurunkan pendidikan.

5. Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu memahami sepenuhnya permasalahan dan
pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya akan menurunkan mutu pendidikan.

6. Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam di karenakan perbedaan potensi daerah yang
berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan mutu pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial.

7. Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan pendidikan dari pusat ke daerah.

Untuk mengantisipasi munculnya permasalahan tersebut di atas, disentrali-sasi pendidikan dalam


pelaksanaannya harus bersikap hati-hati. Ketepatan strategi yang ditempuh sangat menentukan
tingkat efektivitas implementasi disentralisasi. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk
tersebut ada beberapa hal yang perlu di perhatikan :

1. Adanya jaminan dan keyakinan bahwa pendidikan akan tetap berfungsi sebagai wahana
pemersatu bangsa.

2. Masa transisi benar-benar di gunakan untuk menyiapkan berbagai halyang dilakukan secara
garnual dan di jadwalkan setepat mungkin.

3. Adanya kometmen dari pemerintah daerah terhadappendidikan, terutama dalam pendanaan


pendidikan.

4. Adanya kesiapan sumber daya manusia dan sistem manajemen yang tepat yang telah
dipersiapkan dengan matang oleh daerah.

5. Pemahaman pemerintah daerah maupun DPRD terhadap keunikan dan keberagaman sistem
pengelolaan pendidikan, dimana sistem pengelolaan pendidikan tidak sama dengan pengelolaan
pendidikan daerah lainnya.

6. Adanya kesadaran dari semua pihak (pemerintah, DPRD, masyarakat) bahwa pengelolaan
tenaga kependidikan di sekolah, terutama guru tidak sama dengan pengelolaan aparat birokrat
lainnya.

7. Adanya keiapan psikologis dari pemerintah pusat dari propinsi untuk melepas kewenangannya
pada pemerintah kabupaten / kota.

Selain dampak negatif tentu saja disentralisasi pendidikan juga telah membuktikan keberhasilan
antara lain :
1. Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan demokratisasi dalam pengelolaan
pendidikan.

2. Mampu membangun partisifasi masyarakat sehingga melahirkan pendidikan yang relevan,


karena pendidikan benar-benar dari oleh dan untuk masyarakat.

3. Mampu menyelenggarakan pendidikan secara menfasilitasi proses belajar mengajar yang


kondusif, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas belajar peserta didik.

III. P E N U T U P

A. Kesimpulan

1. Konsep dasar sentralisasi dan desentralisasi adalah Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat
pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menu--rut Undang-Udang. Menurut ekonomi manajemen
sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang berada
di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum
otonomi daerah. Kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan
pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu
untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama.

2. Sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik, maka upaya mewujudkan pendidikan yang dapat
melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan masalah secara
mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati, memeliki
keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat menjadi sangat sulit untuk
diwujudkan.

B. Implikasi

Pendidikan yang bermutu sebagai harapan bangsa Indonesia tidak mungkin akan tercapai secara
maksimal jika sistem sentralisasi tidak berubah menjadi desentralisasi. Desentralisasi yang
dimaksudkan adalah pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah sesuai porsinya. Kemudian
pelimpahan itu tidak lagi dicampuri oleh pihak pusat dengan berbagai dalih yang berujung pada
politisasi pendidikan. Sebab politisasi pendidikan inilah yang akan membawa pada kehancuran
pendidikan bangsa Indonesia. Tetapi tidak berarti pendidikan tidak boleh disentuh politik, namun
sentuhan itu seharusnya untuk memajukan pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Farodis, Zian. Panduan Manajemen Pendidikan. Yogyakarta: Diva Press, 2011.

Hadiyanto. Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta,
2004
http://www.tutorialto.com/pendidikan/864-jumlah-penduduk-indonesia-2012.html. diakses tanggal
30 April 2013.

Ilyasin, Mukhamad dan Nanik Nurhayati. Manajemen Pendidikan. Cet. 1; Yogya-karta: Aditya Media
Publishing, 2012.

Komite Reformasi Pendidikan. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Nasional. Jakarta:


Balitbang Depdiknas, 2001.

Makawimbang, Jerry H.. Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2011.

Mulyasa, Dedy. Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing. Bandung: Remaja Rosda-karya, 2011

Musa, I.. Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jurnal Pendi-di-kan Volume 2
No. 2 September 2001.

Paqueo, V. dan J. Lammert. Decentralization in Education. New York: Education Reform dan
Management Thematic Goup, 2000.

Purwanto, M. Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Cet. I; Bandung: Remaja Rosda Karya,
2010.

Sukarjo M.. Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Suryadi, Ace. Mewujudkan Sekolah-sekolah yang Mandiri dan Otonom, disampai-kan pada
Sosialisasi Pemberdayaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah Juni 2003.

Syafaruddin. Efektivitas Kebijakan Pendidikan. Cet. 1; Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

Zambroni. Dinamika Peningkatan Mutu. Yogyakarta: Gavin Kalam Utama, 2011.

Desentralisasi merupakan kebijakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk melaksanakan


dan mengurusi keperluan dirinya sendiri. Desentralisasi pendidikan di Indonesia setelah otonomi
daerah mmemberi peluang untuk lebih cepat mengambil keputusan, meningkatkan partisipasi
pelaksanaan pendidikan dan mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya pendidikan untuk
memberdayakan masyarakat. Hal ini merupakan alasan krusial desentralisasi yang diprediksi
memberikan manfaat bagi pengembangan sekolah.

Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan desentralisasi yang tidak matang juga melahirkan berbagai
persoalan baru, diantaranya :

1. Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antara daerah, antar sekolah, antar individu
warga masyarakat.

2. Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua) menjadikan jumlah
anggaran belanja sekolah akan menurundari waktu sebelumnya,sehingga akan menurunkan motivasi
dan kreatifitas tenaga kependidikan di sekolahuntuk melakukan pembaruan.

3. Biaya administrasi di sekolah meningkat karena prioritas anggarandi alokasikan untuk menutup
biaya administrasi, dan sisanya baru didistribusikan ke sekolah.

4. Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan pendidikan, secara kumulatif


berpotendsi akan menurunkan pendidikan.

5. Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu memahamisepenuhnya permasalahandan


pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya akan menurunkan mutu pendidikan.

6. Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam di karenakan perbedaan potensi daerah yang
berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan mutu pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial.

7. Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan pendidikan dari pusat ke daerah.

Anda mungkin juga menyukai