Anda di halaman 1dari 25

PANDUAN

RESIKO PADA PASIEN BUNUH DIRI

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


RUMAH SAKIT UNIVERSITAS MATARAM
TAHUN 2019
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Bunuh diri di banyak negara merupakan tiga penyebab terbesar kematian
pada penduduk usia 15 - 35 tahun (WHO 2003). Berdasarkan catatan WHO
2003, setiap tahun terdapat 1 juta orang bunuh diri.
Di Indonesia data nasional mengenai bunuh diri belum terkumpul secara
resmi. Berikut ini laporan dari daerah yang dapat menggambarkan bahwa bunuh
diri merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian cukup serius.
Secara umum, data kasus bunuh diri di NTB memang tidak diketahui
persisnya. Sebab, memang ada yang tidak dilaporkan ke pihak kepolisian. Itu
sebabnya, Penelusuri data kasus bunuh diri di NTB ke Direktorat Reserse
Kriminal Umum Polda NTB serta Biro Ops Polda NTB, tak menemukan data
kasus bunuh diri.Terlepas dari itu, Kabid Humas Polda NTB AKBP Komang
Suartana mengatakan, setiap masyarakat yang menemukan peristiwa bunuh diri,
harus segera melaporkan ke petugas kepolisian. Tidak diperkenankan untuk
mendekati jenazah yang berpotensi menyebabkan rusaknya tempat kejadian
perkara.
Bunuh diri merupakan masalah yang kompleks karena tidak diakibatkan
oleh penyebab atau alasan tunggal. Tindakan tersebut adalah akibat dari
interaksi yang kompleks dari faktor biologik, genetik, psikologik, sosial, budaya
dan lingkungan. Sulit untuk menjelaskan mengenai penyebab beberapa orang
memutuskan untuk melakukan bunuh diri, sedangkan yang lain dalam kondisi
yang sama bahkan lebih buruk tetapi tidak melakukannya. Meskipun demikian,
tindakan bunuh diri (terdiri atas bunuh diri dan percobaan bunuh diri) pada
umumnya dapat dicegah.
Pada saat ini bunuh diri merupakan masalah kesehatan masyarakat di
banyak negara.Memberdayakan pelayanan kesehatan dasar
untuk mengidentifikasi, menilai, mengelola dan merujuk orang yang berisiko
tinggi untuk melakukan tindakan bunuh diri di masyarakat, merupakan langkah
penting dalam pencegahan bunuh diri. Karena pentingnya masalah pencegahan
bunuh diri tersebut, IASP (International Association for Suicide Prevention) dan
WHO (World Health Organization) telah mendeklarasikan di Stockholm pada
tanggal 10 September 2003 sebagai Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia(World
Suicide Prevention Day) yang selanjutnya akan diperingati pada tanggal tersebut
setiap tahun.

II. Tujuan

1. Tujuan Umum
Meningkatnya pemahaman dan kemampuan petugas kesehatan dalam
melakukan pencegahan bunuh diri pada pasien yang beresiko
2. Tujuan Khusus
a. Meningkatnya pemahaman petugas kesehatan terhadap faktor risiko
terjadinya tindakan bunuh diri.
b. Meningkatnya pemahaman dan kemampuan petugas kesehatan dalam
deteksi dini kecenderungan tindakan bunuh diri dan penatalaksanaannya.
BAB II
DEFINISI
1. Definisi Umum
Menurut WHO (tahun 2001) yang mengacu pada pendapat Emile
Durkheim (seorang sosiolog), membagi bunuh diri menjadi empat kategori
sosial yaitu bunuh diri egoistik, altruistik, anomik dan fatalistik.
Bunuh diri egoistik terjadi pada orang yang kurang kuat integrasinya
dalam suatu kelompok sosial. Misalnya orang yang hidup sendiri lebih rentan
untuk bunuh diri daripada yang hidup di tengah keluarga, dan pasangan yang
mempunyai anak merupakan proteksi yang kuat dibandingkan yang tidak
memiliki anak. Masyarakat di pedesaan lebih mempunyai integritas sosial
daripada di perkotaan.
Bunuh diri altruistik terjadi pada orang-orang yang mempunyai integritas
berlebihan terhadap kelompoknya, contohnya adalah tentara Jepang dalam
peperangan dan pelaku bom bunuh diri.
Bunuh diri anomik terjadi pada orang-orang yang tinggal di masyarakat
yang tidak mempunyai aturan dan norma dalam kehidupan sosialnya.
Bunuh diri fatalistik terjadi pada individu yang hidup di masyarakat yang
terlalu ketat peraturannya.
Dalam hal ini individu dipandang sebagai bagian di masyarakat dari sudut
integrasi atau disintegrasi yang akan membentuk dasar dari sistem kekuatan,
nilai-nilai, keyakinan dan moral dari budaya tersebut.
Perkembangan terakhir dari ilmu bunuh diri telah memberikan pandangan
baru berdasarkan interaksi dari faktor biologis (biokimia dan neuroendokrin),
psikologis (perasaan dan keadaan emosional) dan sosial dari seseorang.
Pandangan ini memberikan pengertian yang lebih baik tentang bunuh diri dan
penatalaksanaannya yang bersifat lebih komprehensif.
2. Definisi operasional
a. Petugas Kesehatan adalah dokter, perawat, bidan dan kader kesehatan
yang bekerja di pelayanan kesehatan seperti di Puskesmas, RSU, klinik
di perusahaan dan praktek dokter swasta.
b. Tindakan bunuh diri atau suicidal act adalah tindakan yang meliputi
bunuh diri dan percobaan bunuh diri.
c. Bunuh diri atau suicide atau committed suicide adalah tindakan
merusak diri sendiri atau menggunakan zat (obat atau racun) yang
mengakibatkan kematian.
 Bunuh diri mikro (microsuicide): kematian akibat perilaku
bunuh diri misalnya bunuh diri “pelan-pelan” atau yang terdapat
pada orang-orang yang dengan sengaja tidak mau berobat
meskipun menderita sakit, mogok makan, diet berlebihan dan
sebagainya.
 Bunuh diri terselubung (masked suicide): orang yang sengaja
melakukan tindakan yang mengakibatkan kematian dengan cara
terselubung, misalnya mendatangi tempat kerusuhan sehingga
terbunuh, olah raga yang berbahaya, overdosis pada pasien
ketergantungan zat dan sebagainya.
d. Percobaan bunuh diri atau attempted suicide adalah tindakan dengan
sengaja merusak diri sendiri atau menggunakan zat (obat atau racun)
dengan tujuan mengakhiri kehidupan yang tidak mengakibatkan
kematian, namun membutuhkan intervensi medik psikiatrik.
e. Risiko bunuh diri adalah suatu keadaan meningkatnya tendensi untuk
melakukan bunuh diri.
3. Pencegahan bunuh diri
Pencegahan bunuh diri meliputi pencegahan primer, sekunder
dan tersier:
a. Pencegahan primer adalah tindakan mencegah sebelum orang
mempunyai niat melakukan tindakan bunuh diri dengan memperhatikan
faktor-faktor risikonya.
b. Pencegahan sekunder adalah deteksi dini dan terapi yang tepat pada
orang yang telah melakukan percobaan bunuh diri.
c. Pencegahan tersier adalah tindakan untuk mencegah berulangnya
percobaan bunuh diri.
4. Perbedaan antara percobaan bunuh diri dan bunuh diri:
Percobaan bunuh diri Bunuh diri

Umumnya terjadi pada kelompok usia Dewasa dan usia lanjut


muda
Lebih umum terjadi pada wanita muda Lebih umum terjadi pada pria (Lebih
yang tak menikah banyak pada bujangan, bercerai atau
duda)
Bersifat ambivalen (mendua) Bersifat tegas
Menggunakan metode yang tidak Menggunakan metode yang lebih
mematikan mematikan
Berkaitan dengan perilaku menarik Berkaitan dengan keinginan yang kuat
perhatian untuk mati
Cara yang sering dipakai adalah dengan Cara yang sering dipakai adalah
meminum racun menggantung diri, minum racun keras
atau membakar diri
Stresor seringkali berupa konflik Stresor bervariasi meliputi sakit
interpersonal atau konflik dalam stadium terminal dan faktor
keluarga sosioekonomi

5. Landasan Hukum
a. Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
b. Undang-undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran.
c. Kepmenkes No 220/Menkes/SK/III/ 2002 tentang Pedoman Umum
Tim Pembina, Tim Pengarah, Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa
Masyarakat (TP-KJM)
BAB III
RUANG LINGKUP

Panduan pasien beresiko bunuh diri ini dapat digunakan di seluruh


ruangan rawat inap baik ruang rawat inap biasa maupun Intensive Care Unit
(ICU)terutama di ruang rawat inap.
BAB IV
TATA LAKSANA

A. PENYEBAB BUNUH DIRI


Sampai saat ini belum didapatkan penyebab yang pasti dari bunuh diri.
Bunuh diri merupakan interaksi yang kompleks dari faktor-faktor genetik,
organobiologik, psikologik, dan sosiokultural. Faktor-faktor itu dapat saling
menguatkan atau melemahkan terjadinya tindakan bunuh diri pada seorang
individu.
Pada abad ke dua puluh, bunuh diri dianggap disebabkan oleh
disintegrasi sistem sosial. Di daerah dengan masyarakat yang mencela perbuatan
bunuh diri, maka angka bunuh diri di tempat itu relatif rendah, sedangkan di
tempat yang menganggap perbuatan bunuh diri sebagai suatu hal yang berani,
maka angka bunuh diri di tempat tersebut jadi tinggi (misalnya di Jepang).
Individu merupakan makhluk yang unik. Perilaku individu untuk bunuh
diri ditentukan oleh kelemahan atau kekuatan jiwa individu tersebut dan situasi
kehidupan yang mereka alami. Beberapa faktor yang mempengaruhi bunuh diri
adalah:
a. Kurang tahan terhadap frustrasi
b. Cepat marah (hostilitas tinggi)
c. Sering mengalami konflik interpersonal dengan anggota keluarga
atau teman
d. Mengalami masalah kesehatan jiwa (depresi, skizofrenia, gangguan
afektif)
e. Penyalahgunaan alkohol atau NAPZA lainnya
f. Menderita penyakit kronis atau sakit terminal (misalnya penyakit
kanker, HIV/AIDS)
g. Faktor lingkungan lainnya
Beberapa orang akan bereaksi secara impulsif, sementara yang lainnya
melalui proses yang bertahap. Ide dan keinginan bunuh diri semakin lama
semakin besar yang mengakibatkan individu menjadi tak berdaya, putus asa dan
akhirnya sampai pada suatu keadaan merusak diri.
Dengan mengetahui seseorang yang akan berusaha atau kemungkinan
berpikir tentang bunuh diri, maka kita dapat membantu melakukan pencegahan
agar mereka tidak bunuh diri. Petugas kesehatan perlu mengetahui ciri atau
faktor risiko individu yang rentan untuk melakukan bunuh diri atau percobaan
bunuh diri. Riset menunjukkan bahwa dimungkinkan untuk mengidentifikasi
individu yang akan bunuh diri, jika petugas kesehatan peka terhadap kata-kata
atau perilaku dan tanda-tanda yang ditunjukan oleh calon pelaku bunuh diri.

B. FAKTOR RISIKO BUNUH DIRI


1. Dengan Risiko Tinggi
a. Kehilangan status pekerjaan dan mata pencaharian.
b. Kehilangan sumber pendapatan secara mendadak karena migrasi,
gagal panen, krisis moneter, kehilangan pekerjaan, bencana alam.
c. Kehilangan keyakinan diri dan harga diri.
d. Merasa bersalah, malu, tak berharga, tak berdaya, dan putus asa.
e. Mendengar suara-suara gaib dari Tuhan untuk bergabung menuju
surga.
f. Mengikuti kegiatan sekte keagamaan tertentu.
g. Menunjukkan penurunan minat dalam hobi, seks dan kegiatan lain
yang sebelumnya dia senangi.
h. Mempunyai riwayat usaha bunuh diri sebelumnya.
i. Sering mengeluh adanya rasa bosan, tak bertenaga, lemah, dan
tidak tahu harus berbuat apa.
j. Mengalami kehilangan anggota keluarga akibat kematian, tindak
kekerasan, berpisah, putus hubungan.
k. Pengangguran dan tidak mampu mencari pekerjaan khususnya
pada orang muda.
l. Menjadi korban kekerasan rumah tangga atau bentuk lainnya
khususnya pada perempuan.
m. Mempunyai konflik yang berkepanjangan dengan diri sendiri, atau
anggota keluarga.
n. Baru saja keluar dari RS khususnya mereka dengan gangguan jiwa
(depresi, skizofrenia) atau penyakit terminal lainnya (seperti
kanker, HIV/AIDS, TBC, dan cacat).
o. Tinggal sendirian di rumah dan menderita penyakit terminal tanpa
adanya dukungan keluarga ataupun dukungan ekonomi.
p. Mendapat tekanan dari keluarga untuk mencari nafkah atau
mencapai prestasi tinggi di sekolah.
q. Mendapat tekanan/bujukan dari organisasi/ kelompoknya.
Individu dengan risiko tinggi ini umumnya menunjukkan perilaku
tertentu. Perilaku tersebut adalah kurangnya minat dalam kehidupan dan adanya
kebimbangan terhadap hidup atau mati (bersifat ambivalen).
Sebagian besar individu yang mengalami gangguan jiwa seperti depresi,
skizofrenia, gangguan afektif, penyalahgunaan alkohol/NAPZA lainnya,
menunjukkan berbagai gejala yang spesifik yang dapat diidentifikasi terhadap
penyakitnya.
Terdapat gejala umum yang ditemukan pada orang yang cenderung
bunuh diri:
a. Merasa sedih
b. Sering menangis
c. Anxietas dan gelisah
d. Perubahan mood (senang berlebihan sampai sedih berlebihan)
e. Perokok dan peminum alkohol berat
f. Gangguan tidur yang menetap atau berulang
g. Mudah tersinggung, bingung
h. Menurunnya minat dalam kegiatan sehari-hari
i. Sulit mengambil keputusan
j. Perilaku menyakiti diri
k. Mengalami kesulitan hubungan dengan pasangan hidup atau anggota
keluarga lain
l. Menjadi ”sangat fanatik terhadap agama” atau jadi ”atheis”
m. Membagikan uang atau barangnya dengan cara yang khusus
2. Keluarga Dengan Risiko Tinggi
Terdapat pula sejumlah keluarga yang berisiko tinggi untuk
melakukan bunuh diri. Karena keluarga berada dalam keadaan krisis, maka
gejala yang terdapat pada salah seorang anggota keluarga tidak dapat
terlihat oleh anggota keluarga lainnya.
Keluarga tersebut mempunyai ciri:
a. Mempunyai anggota keluarga dengan gangguan jiwa, atau sakit
berat, penyakit stadium terminal atau mempunyai anak yang
cacat.
b. Sedang berkabung.
c. Hidup bersama dengan seseorang yang mengalami
ketergantungan alkohol atau kecanduan NAPZA.
d. Terdapat anggota keluarga yang pernah berusaha atau telah
melakukan bunuh diri pada masa yang lalu.
e. Hubungan dalam keluarga yang retak atau keadaan emosi yang
terganggu.
f. Penghasilan sangat rendah, pengangguran (kehilangan pekerjaan
mendadak).
g. Hidup dalam lingkungan yang berbahaya (kriminal atau tidak
aman).
h. Baru saja pindah ke daerah perkotaan dan hidup dalam situasi
tanpa adanya dukungan sosial.
3. Masyarakat dengan Risiko Tinggi
Mungkin pula dapat diindentifikasi masyarakat atau lokasi atau
tempat spesifik yang didefinisikan sebagai area geografis dengan
kecenderungan bunuh diri yang tinggi.
Tempat tersebut adalah:
a. Kantong-kantong tertentu dalam area geografis dengan angka bunuh
diri yang tinggi.
b. Masyarakat ekonomi miskin (populasi di daerah kumuh dan migran).
c. Masyarakat yang sering mengalami bencana alam (banjir, badai,
gunung meletus dan tanah longsor).
d. Masyarakat petani yang mengalami gagal panen.
e. Daerah dengan masyarakat yang mengalami kekerasan politik dan
sosial.
f. Masyarakat dengan angka prostitusi, tindak kekerasan, penggunaan
alkohol dan penyalahgunaan NAPZA lainnya yang tinggi.
g. Tempat risiko tinggi tertentu seperti penjara, kantor polisi, tempat
terpencil, hotel dan bahkan rumah sakit.
Perilaku bunuh diri merupakan interaksi dari faktor risiko (yang
merupakan stresor) dan daya tahan individu tersebut.Daya tahan terdiri
atas:
a. Daya tahan biologis (termasuk kondisi neurotransmiter), misalnya
kecenderungan biologis untuk menderita depresi endogen.
b. Daya tahan psikologis meliputi:
 Kematangan kepribadian.
 Persepsi subjektif menghadapi stressor yang dialami (misalnya
mempersepsi kematian dari pasangan yang dicintainya sebagai
cobaan yang harus ia lewati atau sebaliknya sebagai
keruntuhan dunianya).
 Kemampuan adaptasi terhadap problem kehidupan atau
menghadapi stresor yang dialaminya.
 Fleksibilitas menghadapi permasalahan kehidupannya.
c. Daya tahan sosiokultural meliputi:
 Peran dalam keluarga dan masyarakat.
 Ikatan atau keakraban dalam keluarga dan masyarakat.
 Penghayatan dan ketakwaan terhadap agama.
 Karakteristik dan Kepribadian
Terdapat 3 gambaran utama kepribadian pelaku bunuh diri:
a. Ambivalensi
Keinginan untuk tetap hidup dan keinginan untuk mati
berkecamuk pada pelaku bunuh diri. Terdapat dorongan untuk lari
dari pedihnya kehidupan, sekaligus terdapat pula keinginan untuk
bertahan hidup. Banyak pelaku bunuh diri sesungguhnya tidak ingin
mati, hanya saja mereka tidak merasa bahagia dengan kehidupannya.
Bila diberikan dukungan dan keinginan untuk hidup ditingkatkan,
maka risiko bunuh diri akan berkurang.
b. Impulsivitas
Bunuh diri juga merupakan tindakan impulsif.
Sebagaimana juga impuls lain, impuls bunuh diri juga bersifat
sementara dan berlangsung hanya beberapa menit atau beberapa
jam. Biasanya dicetuskan oleh peristiwa sehari-hari yang negatif.
Dengan mengatasi keadaan krisisnya serta mengulur waktu, maka
petugas kesehatan dapat menolong mengurangi keinginan bunuh
diri.
c. Rigiditas
Pada saat melakukan tindakan bunuh diri, pikiran, perasaan dan
perilakunya terbatas. Mereka terus memikirkan bunuh diri saja dan
tidak dapat menemukan jalan ke luar lain dari masalahnya. Mereka
berpikir secara kaku.

C. IDENTIFIKASI PELAKU TINDAKAN BUNUH DIRI


Sebelum menerapkan tatalaksana pencegahan tindakan bunuh diri, ada
hal–hal yang perlu diperhatikan dan diketahui oleh petugas kesehatan dalam
mengidentifikasi pelaku tindakan bunuh diri yaitu:
1. Mengidentifikasi faktor risiko bunuh diri
Pada saat tenaga kesehatan menduga adanya kemungkinan
tindakan bunuh diri, faktor-faktor yang dinilai adalah:
a. Kondisi kejiwaan saat ini, pikiran tentang kematian dan bunuh
diri
b. Seberapa siap dan secepat apa akan melakukan rencana bunuh
diri
c. Dukungan orang-orang terdekat (keluarga, teman dan
sebagainya)
2. Menilai tingkat risiko
Menilai tingkat risiko merupakan hal penting untuk menentukan
langkah selanjutnya. Perlu digali dan dinilai apakah risiko bunuh diri
tinggi, sedang atau rendah.
3. Memahami karakteristik pelaku tindakan bunuh diri
a. Menghadapi sifat ambivalensi pelaku, petugas kesehatan berempati
terhadap perasaannya, dapat memberikan dukungan dan
mendampingi mereka melewati masa-masa sulit tersebut. Bila
dukungan diberikan dan keinginan untuk hidup ditingkatkan, risiko
tindakan bunuh diri akan berkurang.
b. Menghadapi sifat impulsivitas pelaku, petugas kesehatan dapat
membantu mengurangi keinginan bunuh diri dengan berusaha
mengatasi krisisnya dan mengulur-ulur waktu.
c. Menghadapi sifat rigiditas pelaku, petugas kesehatan hendaknya
dapat membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang
positif. Jangan memberi harapan palsu tapi doronglah mereka untuk
menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang konstruktif.
4. Memperhatikan Pernyataan Niat Pelaku Tindakan bunuh diri
Sebagian besar pelaku bunuh diri mengutarakan pikiran dan
niatnya untuk bunuh diri. Biasanya mereka memberikan tanda melalui
pernyataan–pernyataan yang menggambarkan rasa tidak berguna hidup di
dunia dan keinginan untuk mati. Semua pernyataan ini jangan dianggap
enteng dan perlu diperhatikan karena sebenarnya merupakan ekspresi dari
perasaan putus asa dan keinginan untuk ditolong.
D. TEKNIK WAWANCARA
Cara terbaik untuk mengetahui seseorang akan melakukan bunuh
diri adalah dengan bertanya langsung (autoanamnesis). Hal ini bertolak
belakang dengan apa yang dipercaya masyarakat selama ini, bahwa
membicarakan bunuh diri akan menginspirasi mereka untuk melakukan
tindakan bunuh diri. Pada kenyataannya mereka sangat senang dan lega
dapat membicarakan secara terbuka mengenai dirinya dan pertanyaan-
pertanyaan yang berkecamuk dalam diri mereka.
Tidaklah mudah untuk bertanya pada seseorang tentang ide bunuh
diri. Akan sangat membantu jika membicarakan masalah tersebut secara
bertahap.
1. Beberapa pertanyaan yang perlu ditelusuri
Apakah orang tersebut:
a. Merasa sedih
b. Merasa tidak ada orang yang peduli.
c. Merasa hidup tidak berharga.
d. Akan menyukai tindakan bunuh diri.
e. Telah bulat tekadnya untuk bunuh diri.
f. Sudah punya waktu yang tepat untuk melaksanakan niatnya.
g. Sudah mempunyai cara yang akan digunakan.
Untuk menelusuri hal tersebut di atas, dengan cara mengajukan
pertanyaan terbuka, agar mereka dapat bebas untuk memberikan
jawabannya. Misalnya: ”Bagaimana perasaan saudara” atau ”Apa yang
saudara rasakan”, atau ”Bisa saudara ceritakan kepada saya apa yang
saudara pikirkan”. Untuk memastikan keadaan, sekali-sekali dapat juga
diajukan pertanyaan tertutup.
2. Kapan saat bertanya yang tepat?
a. Pada saat seseorang telah memiliki perasaan bahwa dia dimengerti.
b. Pada saat seseorang merasa nyaman membicarakan perasaan-
perasaannya.
c. Pada saat seseorang tengah membicarakan perasaan negatif seperti
rasa sepi, tidak berdaya dan sebagainya.
3. Komunikasi petugas dengan pelaku tindakan bunuh diri
Hal–hal yang perlu diperhatikan dan diketahui oleh petugas
kesehatan dalam persiapan untuk berkomunikasi
a. Kontak pertama dengan pelaku tindakan bunuh diri sangat
menentukan berhasil atau tidaknya upaya mencegah tindakan bunuh
diri.
b. Tempat pertemuan (salah satu ruangan di Rumah Sakit) perlu bersifat
pribadi, tenang dan nyaman sehingga percakapan tentang hal-hal yang
pribadi dapat dilakukan, tanpa takut diketahui oleh orang lain.
c. Petugas kesehatan sebaiknya menyediakan waktu yang cukup dan siap
untuk menghadapi gejolak emosi yang mungkin diperlihatkan oleh
pelaku tindakan bunuh diri.
d. Petugas kesehatan harus bisa menjadi pendengar yang baik, bisa
merasakan apa yang sedang mereka alami tanpa ada upaya
merendahkan apalagi memojokkan (berempati).
e. Berikan dukungan emosional, biasanya mereka akan bersikap lebih
terbuka sehingga keinginan bunuh diri dapat diperkecil.
f. Kemampuan komunikasi yang baik dari seorang petugas kesehatan
akan sangat membantu, karena pada saat seseorang merasa tidak
mempunyai harapan lagi, kehadiran orang lain sebagai tempat berbagi,
akan meringankan penderitaannya.
4. Cara melakukan komunikasi yang baik
a. Bersikap empatik (kemampuan untuk merasakan dan memahami
perasaan orang lain tanpa menjadi terlarut),ctenang dan mendengar
dengan penuh perhatian.
b. Hargai pendapatnya dan nilai–nilai yang dianutnya.
c. Berbicara dengan tulus dan beri kesan semua yang dilakukan karena
didasari oleh perasaan ingin membantu.
d. Perlihatkan sikap penuh perhatian dan penuh kehangatan.
e. Pesan–pesan non verbal melalui gerak tubuh, hendaknya
mencerminkan penghargaan dan penerimaan, bukan penolakan.
f. Cara bicara yang tenang, penuh perhatian, tidak menilai dan menerima
apa yang dikatakan merupakan hal–hal yang dibutuhkan untuk
terjadinya komunikasi yang baik.
g. Dengarkan keluhannya, perlihatkan bahwa kita memahami apa yang
sedang dihadapinya dengan tetap bersikap tenang.
h. Berikan dukungan, perhatian dan jaga kerahasiaan.
i. Tanyakan percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan sebelumnya.
j. Tanyakan rencana bunuh diri yang ingin dilakukan.
k. Ulur waktu dan buatlah perjanjian kesepakatan (misalnya menelpon
petugas bila akan melakukan bunuh diri), membuka pikiran orang
yang mempunyai rencana untuk bunuh diri bahwa masih ada jalan
keluar lain selain bunuh diri.
l. Telusuri dukungan sosial lain yang mungkin dimilikinya.
m. Bila memungkinkan, jauhkan pelaku dari sarana atau alat yang dapat
dipakai untuk melakukan tindakan bunuh diri.
n. Lakukan sesuatu (misalnya beritahu orang lain dalam hal ini keluarga
atau orang terdekat berdasarkan kesepakatan dengan pasien) dan
berilah pertolongan yang sesuai keadaan pelaku.
5. Cara–cara yang harus dihindari oleh petugas kesehatan dalam
berkomunikasi
a. Sering memotong pembicaraan.
b. Mengabaikan percobaan bunuh diri.
c. Menantang si pelaku untuk melanjutkan niatnya bunuh diri.
d. Membuat persoalan menjadi lebih rumit.
e. Memberikan keyakinan yang salah.
f. Mengatakan bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja.
g. Memperlihatkan rasa terkejut, malu atau panik dan bersikap
emosional.
h. Memperlihatkan kesan sibuk dan tidak ingin diganggu.
i. Menghakimi, menyalahkan, melecehkan dan memojokkan sehingga
menambah rasa bersalah.
j. Terlalu dominan atau otoriter.
k. Memberikan jawaban–jawaban yang tidak jelas.
l. Pertanyaan yang bersifat interogatif.
m. Terlalu banyak bertanya.
n. Meninggalkan pelaku tindakan bunuh diri seorang diri tanpa
pengawasan.
E. RENCANA TINDAK LANJUT TERHADAP PASIEN DENGAN RISIKO
BUNUH DIRI
1. Penilaian dan penatalaksanaan
Setelah tenaga kesehatan mengidentifikasi orang dengan
kecenderungan bunuh diri, maka perlu dilakukan penilaian:
a. Tingkat risiko terjadinya bunuh diri:
1) Risiko tingkat rendah
Orang yang telah mempunyai pikiran bunuh diri,
mengatakan ”Saya tidak sanggup lagi”, ”Lebih baik saya
mati”, tetapi belum memiliki rencana apapun.
Cara penanganan
a. Memahami pikiran dan perasaan orang yang akan
bunuh diri serta menawarkan dukungan emosional.
Semakin terbuka orang membicarakan tentang
kehilangan, keterasingan dan perasaan tidak berharga,
semakin sedikit gangguan emosi yang terjadi. Ketika
gangguan emosi tersebut sudah kembali normal,
mereka akan lebih mawas diri (reflective). Proses
mawas diri ini amat penting artinya.
b. Pembicaraan difokuskan pada kelebihan atau
kemampuan mereka untuk menyelesaikan masalah
terdahulu tanpa adanya keinginan untuk bunuh diri.
c. Merujuk orang tersebut ke psikiater, psikolog klinis
atau dokter.
d. Menjalani konseling secara teratur

2) Risiko tingkat menengah


Orang yang mempunyai rencana dan keinginan
bunuh diri, tetapi rencana tersebut tidak akan dilakukan
dalam waktu dekat.
Cara penanganan
a. Menawarkan dukungan emosional, memahami pikiran
dan perasaan orang yang akan bunuh diri. Fokuskan
pada kelebihan mereka, kemudian dilanjutkan dengan
langkan-langkah di bawah ini:
b. Bila pasien dalam keadaan ambivalen, maka tenaga
kesehatan perlu menggarap hal tersebut sehingga secara
bertahap keinginan untuk hidup akan semakin kuat.
c. Menggali cara penyelesaian masalah: petugas
kesehatan harus berusaha menggali untuk mencari
beberapa cara penyelesaian masalah, sehingga pasien
dapat mempertimbangkan salah satu cara yang
dianggap cocok untuk dirinya.
d. Membuat perjanjian. Membantu (kalau perlu
dibujuk)orang tersebut untuk bertekat tidak akan
melakukan bunuh diri:
e. dalam jangka waktu tertentu
f. tanpa menghubungi tenaga kesehatan
g. Merujuk secepatnya ke psikiater, dokter, psikolog
klinis atau konselor.
h. Menghubungi keluarga, kerabat atau teman untuk
meminta dukungan mereka.
3) Risiko tingkat tinggi
Orang ini memiliki rencana dan metode yang jelas,
dan akan melakukannya dalam waktu dekat.
Cara penanganan
a. Mendampingi orang tersebut dan tidak boleh
meninggalkannya sendirian.
b. Berbicara dengan lemah lembut kepadanya agar ia
mau membicarakan masalahnya.
c. Menyingkirkan semua benda yang membahayakan
seperti obat-obatan, racun, benda tajam, pistol.
d. Membuat perjanjian seperti di atas.
e. Menghubungi psikiater, psikolog klinis atau dokter
secepatnya dan membawa pasien ke rumah sakit
untuk dirawat (jika dibutuhkan perawatan yang lebih
intensif).
f. Memberitahu pihak keluarga, kerabat atau teman dan
minta dukungan mereka.
b. Cara memberi tahu keluarga
1. Meminta persetujuan pasien dengan tindakan bunuh diri
untuk mengetahui orang-orang terdekat yang dapat
dihubungi. Setelah mendapatkan alamatnya segera
menghubungi mereka.
2. Sekalipun pasien tidak mengizinkan, cobalah untuk mencari
orang yang bersimpati pada penderitaan dan mau
menolongnya. Segera hubungi mereka, katakan sebelumnya
dan jelaskan bahwa kadang-kadang lebih mudah untuk
berbicara dengan orang lain dibandingkan dengan anggota
keluarga. Dengan demikian pasien tidak akan merasa
diabaikan atau sakit hati bila sikap keluarga tidak sesuai
dengan yang diharapkan.
3. Bicaralah pada keluarga secara baik-baik tanpa menuduh atau
membuat mereka merasa bersalah.
4. Buatlah daftar mengenai hal-hal yang bisa dilakukan oleh
keluarga untuk meringankan beban pelaku bunuh diri.
5. Tetap memperhatikan kebutuhan keluarga.
6. Seperti halnya pelaku tindakan bunuh diri, keluarga maupun
orang-orang yang dekat dengan mereka juga membutuhkan
bantuan karena mereka juga mengalami perasaan kehilangan,
terpukul, bersalah, malu atau marah. Petugas kesehatan
sebaiknya memperlakukan mereka dengan baik, berusaha
memberikan dukungan, dan turut merasakan perasaan
kehilangan atau rasa malu.
7. Perlu diberikan penjelasan bahwa keluarga perlu bekerja
sama dalam menangani anggota keluarga mereka karena
kemungkinan tindakan bunuh diri yang gagal dapat terulang
lagi pada masa yang akan datang.
8. Tekankan bahwa keluarga merupakan sumber dukungan
terbesar, oleh sebab itu sikap-sikap positif dari keluarga
seperti kasih sayang, perhatian, dan sikap yang tidak
memojokkan amat dibutuhkan untuk membantu proses
pemulihan pelaku tindakan bunuh diri.
Penilaian pada pasien beresiko bunuh diri dilakukan dengan
cara skrining pasien beresiko bunuh diri pada assessmen awal gawat
darurat yang ditunjukkan pada elemen gangguan perilaku. Pada
pengkajian rawat inap keperawatan juga dilakukan penilaian tentang
status emosional pasien yang beresiko bunuh diri.
c. Penempatan pasien yang beresiko bunuh diri
1. Pasien di tempatkan di tempat ruangan tersendiri, tidak dicampur
dengan pasien yang lain.
2. Pasien di tempatkan di ruangan lantai 1, untuk mencegah
terjadinya keinginan bunuh diri dengan cara melompat dari
tempat tinggi.
3. Dalam ruangan pasien tidak dianjurkan didapatkan benda-benda
tajam atau benda yang berpotensi membahayakan pasien maupun
orang lain.
4. Dalam ruangan tidak dianjurkan didapatkan tali temali baik kain
maupun tali yang dapat membahayakan pasien maupun orang
lain.
5. Jika terdapat kamar mandi dalam ruangan pasien, tidak dianjurkan
pintu kamar mandi dapat dikunci baik dari dalam maupun dari
luar.
6. Tidak dianjurkan meninggalkan pasien sendiri tanpa pengawasan,
baik dari petugas maupun dari pihak keluarga pasien.
BAB V
DOKUMENTASI
1. Skrining pasien di Assessmen Gawat Darurat yang dilakukan oleh dokter
jaga IGD
2. Penilaian saat pasien rawat inap terdapat dalam Pengkajian Rawat Inap
yang dilakukan oleh perawat
BAB VI
PENUTUP
Pedoman Pencegahan Bunuh Diri diperuntukkan bagi petugas
kesehatan yang berada di IGD karena mereka merupakan petugas yang berada
di garda terdepan dalam menangani kasus bunuh diri. Dengan adanya pedoman
ini diharapkan agar
para petugas tersebut dapat melakukan prevensi dan mencegah
terulang kembalinya tindakan bubuh diri, dan bilamana mereka menemui kasus
yang mengarah pada tindakan bunuh diri maka dapat merujuk pasien untuk
mendapatkan bantuan secara profesional (Psikiater/Psikolog). Dan semua
aktivitas pelayanan didokumentasikan dalam rekam medis
DAFTAR PUSTAKA

1. Allebeck P, Allgulander C. Psychiatric diagnoses aspredictors of suicide; a


comparison of diagnoses atconscription in Psychiatric care in a cohort of
50,465young men. Br. J.Psychiatry 1990;157:339-344
2. Mann JJ. Psychobiologic predictors of suicide. J ClinPsychiatry 1987;48
(Suppl 12) : 39-43
3. Media Indonesia Online: Edisi Kesehatan, 7 Februari2005. Angka Bunuh
Diri di Jakarta 5,8 %
4. Tempo Interaktif, Jumat 13 Februari 2005: KasusBunuh Diri di Gunung
Kidul 95 % dengan CaraGantung Diri.
5. US Department of Health & Human Services:Pragmatic Considerations of
Culture in PreventingSuicide, September 9-10, 2004. Philadelphia PA
6. WHO. Suicide Prevention : Emerging from Darkness.2001.
7. WHO.World Helath Prevention Day- 10 Sep: SuicideHuge but
preventable public health problem.

Anda mungkin juga menyukai