Anda di halaman 1dari 14

Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik

SIMBOL SIMBOL LITURGI


GEREJA KATOLIK

1.1 WARNA LITURGI


Warna-warna Liturgi adalah salah satu bentuk simbol atau lambang yang digunakan di
dalam ibadah Kristen. Fungsi warna dalam liturgi adalah sebagai tanda peristiwa gerejawi. Warna ini
dapat digunakan pada aksesoris pakaian liturgi imam maupun paduan suara yang mengiringi, stola
ataupun taplak altar. Altar menjadi tempat untuk meletakkan bejana-bejana perjamuan. Tata warna
yang digunakan didasarkan pada Paus Pius V tahun 1570 dan ditetapkan dalam Ordo Missae oleh
Paus Pius VI pada tahun 1969. Lima warna dasar yang digunakan dalam tata warna liturgi, yaitu:
putih, merah, hijau, ungu dan hitam.
Arti warna

Warna Tata Waktu Liturgi Arti warna

Hijau adalah warna hidup baru, masa depan, harapan dan


keremajaan.
Hijau  Minggu biasa Warna hijau juga dihubungkan dengan keadilan dan perdamaian.
Sepanjang tahun liturgi warna ini digunakan sebagai simbol, kecuali
jika ada Hari Raya khusus.
Ungu melambangkan rasa sedih dan ketenangan.
Dalam liturgi warna ungu dipakai selama masa mawas diri yang
membutuhkan ketenangan. Masa mawas diri adalah
 Adven masa Advent (empat minggu menjelang Hari Raya Natal) dan
Ungu masa Prapaskah (empat puluh hari sebelum Hari Raya Paskah). Dalam
 Prapaskah satu minggu menjelang Paskah, warna ungu berhubungan erat dengan
sengsara dan wafat Yesus Kristus. Pakaian liturgi imam yang dipakai
pada Pekan Suci ini dihiasi dengan simbol-simbol seperti salib dan
mahkota duri.
Putih  Natal Putih melambangkan kesucian dan dipakai dalam
beberapa liturgi khusus.
 Kamis Putih

 Paskah

 Minggu

Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik Halaman 0


Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik

Trinitas

 Kristus Raja

 Baptisan dan
Peneguhan sidi

 Penahbisan

 Peneguhan

 Pernikahan

 Adven minggu
ketiga

 Minggu Palem Merah berarti cinta dan penderitaan. Warna ini biasa dipakai dalam
perayaan peringatan para martir dan pada perayaan Hari
Merah  Kenaikan Raya Pentakosta. Pada perayaan hari raya Pentakosta, biasanya
para imam akan memakai pakaian merah yang dihiasi dengan moitif
 Pentakosta lidah api atau burung merpati yang merupakan simbol dari Roh Kudus.

 Hari Raya Para


Martir

 Rabu Abu
Hitam melambangkan kedukaan. Biasanya dipakai dalam Hari
Hitam  Jumat Agung
Raya Rabu Abu, Jumat Agung dan liturgi khusus kedukaan.
 Kedukaan

1.2 PERALATAN MISA


Setiap kali kita ke gereja dan mengikuti misa, ada pemandangan rutin yang selalu kita lihat,
yaitu aktivitas Imam di altar yang dibantu oleh para misdinar. Dalam melakuakan aktivitasnnya
selama memimpin Ekaristi, begitu banyak peralatan dan perlengkapan yang dilibatkan (perlatan dan
perlengkapan misa).

Bagi kita yang pernah atau masih menjadi misdinar, peralatan misa ini tentunya sudah begitu
akrab dan paling tidak kita tahu nama-namanya. Namun tidak sedikit juga diantara kita yang tidak
tahu bahkan masih bingung dengan nama serta keguanaan dari peralatan tersebut. Untuk itu dalam
posting kali ini, saatnya kita berbagi soal peralatan misa satu persatu sekalian dengan gambar agar
lebih jelas.

Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik Halaman 1


Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik

PIALA (calix = cawan)Piala adalah cawan yang menjadi tempat anggur untuk dikonsekrasikan,
dimana sesudah konsekrasi menjadi tempat untuk Darah Mahasuci Kristus. Melihat fungsinya,
maka Piala harus dibuat dari logam mulia. Piala melambangkan cawan yang
dipergunakan Tuhan kita pada Perjamuan Malam Terakhir di mana Ia untuk
pertama kalinya mempersembahkan Darah-Nya.

Piala melambangkan cawan Sengsara Kristus (“Ya Abba, ya Bapa, tidak ada
yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku,” Mrk 14:36); dan
yang terakhir, piala melambangkan Hati Yesus, dari mana mengalirlah Darah-
Nya demi penebusan kita.

PURIFIKATORIUM

berasal dari bahasa Latin “purificatorium”, yaitu sehelai kain lenan


berwarna putih berbentuk segi empat untuk membersihkan piala,
sibori dan patena. Sesudah dipergunakan, purifikatorium dilipat tiga
memanjang lalu diletakkan di atas piala.

PATENA

berasal dari bahasa Latin yang artinya“piring”. Patena, yang


sekarang berbentuk bundar,datar, dan dirancang untuk roti
pemimpin Perayaan Ekaristi, aslinya sungguh sebuah piring.
Dengan munculnya roti-roti kecil yang dibuat khusus untuk umat
yang biasanya disimpan dalam sibori, fungsi dari patena sebagai
piring menghilang. Maka bentuknya menjadi lebih kecil (Sejak
abad 11). Menurut PUMR 2000, "untuk konsekrasi
hosti, sebaiknya digunakan patena yang besar, di mana
ditampung hosti, baik untuk imamdan diakon, maupun untuk
para pelayan dan umat (No. 331). Patena, hendaknya dibuat serasi dengan pialanya, dari bahan
yang sama dengan piala, yaitu dari emas atau setidak-tidaknya disepuh emas. Patena diletakkan di
atas purifikatorium.

PALLA

berasal dari bahasa Latin palla corporalisyang berarti kain untukTubuh


Tuhan, adalah kain lenan putih yang keras dan kaku seperti papan,
berbentuk bujursangkar, dipergunakan untuk menutup piala.

Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik Halaman 2


Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik

Palla melambangkan batu makam yang digulingkan para prajurit Romawi untuk menutup pintu
masuk ke makam Yesus.Palla diletakkan di atas Patena.

CORPORALE

Sehelai kain lenan putih berbentuk bujur sangkar dengan


gambar salib kecil di tengahnya. Seringkali pinggiran
korporale dihiasi dengan renda.

Dalam perayaan Ekaristi, imam


membentangkan korporale di atas altar
sebagai alas untuk bejana-bejana suci roti
dan anggur. Setelah selesai
dipergunakan,korporale dilipat menjadi tiga
memanjang, lalu dilipat menjadi tiga lagi
dari samping dan ditempatkan di atas Palla.

Urutan aturan menyusun peralatan-peralatan tersebut di atas adalah sebagai berikut :

1. Piala
2. Purifikatorium+sendok kecil
3. Patena (dengan hosti besar diatasnya)
4. Pala
5. Corporal

SIBORI

berasal dari bahasa Latin “cyborium” yang berarti “piala dari


logam”,adalah bejana serupa piala, tetapi dengan tutup di
atasnya. Siboriadalah wadah untuk roti-roti kecil yang akan
dibagikan dalam Komunikepada umat beriman. Sibori dibuat dari
logam mulia, bagian dalamnyabiasa dibuat dari emas atau
disepuh emas.

Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik Halaman 3


Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik

PIKSIS

berasal dari bahasa Latin “pyx” yang berarti “kotak”, adalah


sebuahwadah kecil berbentuk bundar dengan engsel penutup,
serupa wadah jamkuno. Piksis biasanya dibuat dari emas. Piksis
dipergunakan untukmenyimpan Sakramen Mahakudus, yang
akan dihantarkan kepada mereka yangsakit, atau yang akan
ditahtakan dalam kebaktian kepada Sakramen Mahakudus.

MONSTRANS

berasal dari bahasa Latin “monstrans, monstrare” yang


berarti“mempertontonkan”, adalah bejana suci tempat Sakramen
Mahakudusditahtakan atau dibawa dalam prosesi.

AMPUL

adalah dua bejana yang dibuat dari kaca atau logam, bentuknya seperti
buyung kecil dengan tutup di atasnya. Ampul adalah bejana-bejana
darimana imam atau diakon menuangkan air dan anggur ke dalam piala.
Selaluada dua ampul di atas meja kredens dalam setiap Misa.

LAVABO

berasal dari bahasa Latin “lavare” yang berarti “membasuh”, adalah


bejana berbentuk seperti buyung kecil, atau dapat juga berupa
mangkuk,tempat menampung air bersih yang dipergunakan imam
untuk membasuh tangan sesudah persiapan persembahan. Sebuah
lap biasanya menyertai lavabo untuk dipergunakan mengeringkan
tangan imam.

TURIBULUM

(disebut juga Pedupaan/wiruk), berasal dari bahasa Latin “thuris” yang


berarti “dupa”, adalah bejana di mana dupa dibakar untuk pendupaan

Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik Halaman 4


Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik

liturgis. Turibulum terdiri dari suatu badan dari logam dengan tutupterpisah yang menudungi suatu
wadah untuk arang dan dupa; turibulumdibawa dan diayun-ayunkan dengan tiga rantai yang
dipasang padabadannya, sementara rantai keempat digunakan untuk menggerak-gerakkantutupnya.
Pada turibulum dipasang bara api, lalu di atasnya ditaburkanserbuk dupa sehingga asap dupa
membubung dan menyebarkan bau harum.Dupa adalah harum-haruman yang dibakar pada
kesempatan-kesempatanistimewa, seperti pada Misa yang meriah dan Pujian kepada Sakramen
Mahakudus.

NAVIKULA

(disebut juga Wadah Dupa) adalah bejana tempat


menyimpan serbuk dupa. Dupa adalah getah yang
harum dan rempah-rempah yang diambil daritanam-
tanaman, biasanya dibakar dengan campuran
tambahan gunamenjadikan asapnya lebih tebal dan
aromanya lebih harum. Asap dupa yangdibakar naik ke
atas melambangkan naiknya doa-doa umat beriman
kepadaTuhan. Ada pada kita catatan mengenai
penggunaan dupa bahkan sejak awalkisah Perjanjian
Lama. Secara simbolis dupa melambangkan semangat
umatKristiani yang berkobar-kobar, harum mewangi keutamaan-keutamaan dannaiknya doa-doa
dan perbuatan-perbuatan baik kepada Tuhan.

ASPERGILUM

berasal dari bahasa Latin “aspergere” yang berarti “mereciki”,


adalahsebatang tongkat pendek, di ujungnya terdapat sebuah bola logam
yangberlubang-lubang, dipergunakan untuk merecikkan air suci pada
orangatau benda dalam Asperges dan pemberkatan. Bejana Air Suci adalah
wadahyang dipergunakan untuk menampung air suci; ke dalamnya
aspergilumdicelupkan.

SACRAMENTARIUM

atau Buku Misa adalah buku pegangan imam pada waktu


memimpin perayaan Ekaristi, berisi doa-doa dan tata perayaan
Ekaristi.

Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik Halaman 5


Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik

1.3 Tata Gerak, Sikap Tubuh

Prostratio

Sebagai perayaan manusiawi, Perayaan Ekaristi juga memerlukan ekspresi diri manusiawi. Maka,
tata gerak atau sikap tubuh seluruh jemaat dan para pelayannya juga menjadi bagian penting
dalam simbolisasi kebersamaan dan kesatuan Gereja yang sedang berdoa.

Untuk Apa?

Tata gerak dan sikap tubuh imam, diakon, para pelayan, dan jemaat tentu punya maksud. Sikap
tubuh yang seragam menandakan kesatuan seluruh jemaat yang berhimpun untuk merayakan
Liturgi suci. Sebab sikap tubuh yang sama mencerminkan dan membangun sikap batin yang
sama pula. Maka, jika dilakukan dengan baik:

seluruh perayaan memancarkan keindahan dan sekaligus kesederhanaan yang anggun;


makna aneka bagian perayaan dipahami secara tepat dan penuh; dan
partisipasi seluruh jemaat ditingkatkan (PUMR 42).

Bolehkah Mengubah?

Sebenarnya tidak secara mutlak dilarang untuk mengubah tata gerak dan sikap tubuh. Tapi,
pesan PUMR 42 sebaiknya diperhatikan dengan baik: “... ketentuan hukum liturgi dan tradisi
Ritus Romawi serta kesejahteraan rohani umat Allah harus lebih diutamakan daripada selera

Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik Halaman 6


Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik

pribadi dan pilihan yang serampangan.” Jadi, wewenang itu bukan diserahkan kepada “selera
pribadi”, seenak pelayan atau jemaat dan tanpa pemikiran-pertimbangan yang cukup matang.
Untuk itu, adanya penyerasian dengan keadaan jemaat perlu diputuskan oleh Konferensi Uskup,
dengan sepengetahuan Takhta Apostolik, Roma (PUMR 390). Hal itu sudah gamblang disebut
dalam PUMR 43 juga: “... sesuai dengan ketentuan hukum, Konferensi Uskup boleh
menyerasikan tata gerak dan sikap tubuh dalam Tata Perayaan Ekaristi dengan ciri khas dan
tradisi sehat bangsa setempat. Namun, hendaknya Konferensi Uskup menjamin bahwa
penyerasian itu selaras dengan makna dan ciri khas bagian perayaan Ekaristi yang
bersangkutan.”

Apakah Perlu Diubah?

Pertanyaan ini bisa dilontarkan ketika cita rasa budaya setempat (Gereja lokal) dirasa
berbenturan dengan praktek liturgi yang disarankan Takhta Apostolik (Roma) dalam Pedoman
Umum Misale Romawi. Maksudnya, jika jemaat merasa tidak cocok, kurang sreg, atau ada
perbedaan makna, maka kiranya tata gerak dan sikap tubuh yang ada dalam buku pedoman bisa
saja ditinjau kembali dan kemudian - jika dianggap perlu - diserasikan dengan cita rasa budaya
jemaat setempat. Tentu saja perubahan itu tidak dilaksanakan secara gegabah atau
serampangan. Maka, perlulah mengadakan semacam penelitian atau studi dialogis antara
budaya setempat dengan pemahaman teologis dan liturgisnya.

Bagaimana Supaya Kompak?

Ada beberapa cara. Sebaiknya sudah ada dulu petunjuk tata gerak untuk umat. Mungkin dalam
teks atau buku Misa (dalam rubrik) juga dicantumkan bagaimana tata geraknya. Jika umat sudah
mengenal dan terbiasa mungkin tidak perlu dikuatirkan. PUMR 43 juga menyebutkan: “Demi
keseragaman tata gerak dan sikap tubuh selama perayaan, umat hendaknya mengikuti petunjuk-
petunjuk yang diberikan oleh diakon, pelayan awam, atau imam, selaras dengan petunjuk buku-
buku liturgis.” Praktisnya:

[1] ada petugas yang “mengajak” umat untuk melakukan tata gerak tertentu selama perayaan
berlangsung;
[2] umat dapat diberi petunjuk sebelum perayaan mulai, khususnya untuk tata gerak yang baru
atau belum biasa dilakukan umat;
[3] jika ada buku Misa untuk umat, sebelum perayaan dimulai umat dipersilakan menyimak
setiap petunjuk yang tertulis dalam buku tersebut, khususnya yang berkaitan dengan tata gerak,
dan peran umat pada umumnya.

Berkumpul dan Maknanya

Berkat pembaptisan kita dijadikan satu keluarga dalam Gereja yang kudus. Orang Kristiani
adalah pribadi yang komuniter, selalu terpaut dalam kebersamaan. Kita tidak sendirian. Dalam
nama Bapa dan Putera, kita juga dipersatukan oleh Roh Kudus. Itu tampak ketika kita
berkumpul, khususnya dalam “tempat kudus.” Kita berkumpul sebagai orang-orang pilihan, yang

Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik Halaman 7


Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik

terpanggil, yang dicintai Allah. Liturgi mengundang kita untuk menemukan kembali panggilan
kita, yakni tumbuh dalam kesatuan, menjadi umat Allah, berkarya dengan dan bagi saudara-
saudari dalam perayaan yang dinamis. Maka, berkumpul adalah bagian dari tata gerak kolektif.
Agar pertemuan itu tidak kacau, tidak anarkis, tetap utuh, maka diperlukanlah keyakinan dan
sikap yang sama. Di sinilah letak pentingnya suatu pedoman atau aturan bersama. Kita
berkumpul untuk merayakan Ekaristi, suatu perayaan bersama yang bukan tanpa aturan. Selain
itu, berkumpul juga menjadi tanda kehadiran Kristus sendiri, “Sebab di mana dua atau tiga
orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20).

Makna Berdiri

Sikap tubuh ini mengungkapkan kegembiraan jemaat. Gembira atas kebersamaan dan
persaudaraan di dalam Kristus. Berdiri menyatakan keyakinan dan perasaan yang utuh, jiwa yang
siaga di hadapan Allah, siap bertemu dan berdialog dengan yang Ilahi. Kita berdiri karena kita
berada di hadapan yang menentukan dan menguasai hidup kita, yang memberi kekuatan dan
menjaga kita. Berdiri untuk menyatakan bahwa Dia adalah satu-satunya Allah Tuhan kita. Kita
berdiri untuk menghorrnati Allah Yang Mahatinggi (bdk. Kej 18:8). Jemaat yang berdiri
menunjukkan rasa syukurnya dan keakrabannya dengan Allah. Jemaat yang berdiri juga
mengungkapkan persaudaraan yang hidup, yang dipersatukan bagi dan oleh Allah. Maka,
sangatlah tepat bila kita berdiri khususnya pada saat menyatakan iman (Syahadat) dan Doa
Syukur Agung. Kita mengakui secara terbuka bahwa wafat dan kebangkitan Kristus (Misteri
Paskah) adalah dasar kehidupan kita. Inilah dasar kegembiraan kita. Kegembiraan Paskah
mengantar perjalanan kita menuju Allah. Kita seolah berdiri bersama Yesus Kristus berada di
Yerusalem surgawi. Kita berpartisipasi, terlibat penuh dalam kemenangan Paskah yang
dibawakan oleh Kristus. Maka dari itu, di beberapa gereja ada juga yang memberlakukan
“berdiri” selama Masa Paskah, tidak ada berlutut, bahkan juga duduk.

Kapan Berdiri?

PUMR 43 menunjukkan saat-saat jemaat berdiri, yakni:

[a] dari awal nyanyian pembuka, atau selama perarakan masuk menuju altar sampai dengan Doa
Pembuka selesai;
[b] pada waktu melagukan Bait Pengantar Injil (dengan atau tanpa “alleluya”);
[c] pada waktu Injil dimaklumkan;
[d] selama Syahadat (Credo);
[e] selama Doa Umat;
[f] dari ajakan “Berdoalah, Saudara...” sebelum Doa Persiapan Persembahan hingga akhir
Perayaan Ekaristi, kecuali pada saat-saat tertentu yang ditentukan tersendiri.

Untuk Imam Selebran saat-saat berdirinya hampir sama dengan jemaat. Ada beberapa
perbedaan, misalnya, pada saat menyampaikan Homili, ia dapat berdiri atau duduk di kursi
imam; pada saat Doa Syukur Agung ia harus tetap berdiri memimpin, sementara jemaat dapat
berdiri atau berlutut.

Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik Halaman 8


Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik

Saat dan Makna Duduk

Masih kita kutip dari PUMR 43. Jemaat hendaknya duduk:

[a] selama bacaan-bacaan sebelum Injil dan selama Mazmur Tanggapan;


[b] selama Homili;
[c] selama persiapan persembahan;
[d] selama saat hening sesudah komuni.

Khusus untuk yang berkaitan dengan Liturgi Sabda, sikap ini ada dasar biblisnya. Misalnya, saat
Yesus mengajar, orang-orang mendengarkan Dia dengan duduk memperhatikan (Mat 5:1). Atau,
saat Maria yang sedang duduk mendengarkan Yesus, sementara Marta sibuk melayani para
tamunya. Yesus berkata, “Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil
daripadanya” (Lk 10:39).

Maknanya sesungguhnya luas. Sikap duduk bisa menggambarkan saat orang mengharapkan
sesuatu; ia sedang mendengarkan atau mencerna suatu pesan. Keadaan batin tertentu juga bisa
digambarkan dengan duduk. Orang seolah mendambakan untuk menemukan makna hidupnya
yang sejati. Pada saat kita duduk kita pun berharap agar Allah berbicara atau menyatakan Diri-
Nya kepada kita. Ini adalah saat epiklesis juga. Dengan duduk pun kita menyambut Sabda Allah
dengan hati terbuka. Kita berharap agar Sabda Allah sungguh menyirami dan menyegarkan hati
kita. Allah sendiri ingin agar kita dapat menjadi subur dan berbuah berkat sabda-Nya. Maka,
duduk juga berarti kesediaan untuk saling mendengarkan, saling berbagi pengalaman, saling
mempersatukan diri. Duduk menerbitkan rasa damai, aman, percaya, karena kita memang
sedang bersatu dengan Allah. Ini menggambarkan dimensi eskatologis, saat istirahat nanti,
setelah perjalanan panjang dan perjuangan hidup di dunia: “Barangsiapa menang, ia akan Ku-
dudukkan bersama-sama dengan Aku di atas takhta-Ku, sebagaimana Aku pun telah menang
dan duduk bersama-sama dengan Bapa-Ku di atas takhta-Nya” (Why 3:21).Setiap kali duduk,
jiwa kita memasuki kedamaian yang membantu kita untuk menerima sabda ilahi dan mencicipi
komunikasi dengan Allah nanti.

Duduk di Mana?

Pengertian “duduk” pada umumnya mengandaikan adanya kursi, bangku, atau tempat duduk
apa pun. Maka kondisi tempat duduk sebaiknya juga mendukung maksud sikap duduk kita. Bisa
duduk dengan enak, tidak gerah, tidak terusik apa pun, memang ideal, sehingga umat dapat
mengikuti dan mengambil bagian dalam perayaan dengan baik.

Bagaimana Berlutut dan Maknanya

Cara wajar untuk berlutut adalah dilakukan dengan menekuk lutut kanan sampai menyentuh
lantai. Ini adalah tanda sembah sujud (PUMR 274), untuk menghormati. Tentu saja hal itu bukan

Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik Halaman 9


Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik

sekedar tindakan ritual. Ada makna yang mendalam. Berlutut mengungkapkan pengakuan iman
kita akan Misteri Paskah, sekaligus menandakan kerinduan kita untuk hadir dalam misteri wafat
dan kebangkitan Kristus, Tuhan kita. Gerak berlutut merupakan bentuk perendahan diri karena
hadir di hadapan Tuhan. Seperti kata Paulus:“supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala
yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah
mengaku: `Yesus Kristus adalah Tuhan,' bagi kemuliaan Allah Bapa!” (Fil 2:10-11). Kita pun
melakukannya untuk meniru kesengsaraan Kristus ketika disalib, supaya boleh mengalami
anugerah kebangkitan-Nya. Sikap ini mengajar kita untuk hidup sehari-hari seperti yang
dilakukan Kristus. Kita diantar untuk bersatu dalam persembahan diri dan korban-Nya yang suci.

Imam Berlutut Tiga Kali, Jemaat Hanya Satu Kali?

Dalam suatu Misa Imam mempunyai kesempatan berlutut tiga kali (PUMR 274), yakni pada
waktu setelah mengangkat Tubuh / Darah Kristus (Doa Syukur Agung), dan sebelum menyambut
Tubuh Darah Kristus (Ritus Komuni). Sementara PUMR 43 menegaskan: “Umat berlutut pada
saat konsekrasi, kecuali kalau ada masalah kesehatan atau tempat ibadat tidak mengizinkan,
entah karena banyaknya umat yang hadir, entah karena sebab-sebab lain. Mereka yang tidak
berlutut pada saat konsekrasi hendaknya membungkuk khidmad pada saat imam berlutut
sesudah konsekrasi. ...Kalau umat sudah terbiasa berlutut sejak sesudah Kudus sampai dengan
akhir Doa Syukur Agung, kebiasaan ini seyogyanya dipertahankan.”

Jelas sekali bahwa hanya ada satu kesempatan untuk berlutut, yakni pada saat konsekrasi atau
selama Doa Syukur. Sudah jamak terjadi bahwa di banyak gereja di Indonesia, jemaat berlutut
beberapa kali. Misalnya, saat Ritus Tobat, Doa Pembuka, Doa Umat, Doa Persiapan
Persembahan, Doa Syukur Agung, dsb. Mungkin itu karena pertimbangan budaya, atau sekedar
salah kaprah, kebiasaan yang kurang tepat tapi seolah sudah dianggap benar.

Perlu ditambahkan, jemaat di sini berlututnya dengan cara menekuk ke dua lutut di atas lantai
atau tempat lutut khusus. Jadi, memang ada dua macam cara berlutut. Berlutut sejenak (dengan
satu lutut di lantai) atau berlutut lama (dengan dua lutut di lantai). Keduanya juga bisa dilakukan
oleh baik Imam maupun jemaat, misalnya saat menyanyikan Litani Para Kudus.

Ada Juga Makna Tersendiri untuk Berlutut Lama

Biasanya orang berlutut lama untuk berdoa secara pribadi. Ada banyak motivasi atau alasan
mengapa orang berlutut. Berlutut bisa menandakan kegagalan, kekalahan. Kita pasrah dan
mengakui kelemahan kita di hadapan Allah. Sikap tubuh ini menunjukkan semangat kerendahan
diri yang menguasai hati dan jiwa kita. Di hadapan Allah, Sang Sumber Hidup, kita tidak ada apa-
apanya. Saat itu pula, dengan sikap tubuh berlutut kita mengungkapkan isi batin kita dan
menyembah Allah. Kita juga ingin menyelaraskan diri dengan Kristus, PutraNya. Berlutut
semacam ini juga mengungkapkan keyakinan kita bahwa Allah yang telah memulai itu akan juga
menggenapi semua karya-Nya di dalam diri kita. Secara lebih dramatis lagi, bentuk kepasrahan

Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik Halaman 10


Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik

diri ini diungkapkan dalam tata gerak “tiarap” atau “merebahkan diri” untuk mereka yang akan
ditahbiskan.

Kapan Lagi Harus Berlutut?

Saat kita masuk ke gedung gereja, setelah membuat Tanda Salib dengan air suci, sebelum
duduk, biasanya kita berlutut. Mengapa? Sebenarnya kita hendak menghormati Sakramen
Mahakudus, terutama jika di dalamnya terdapat Sakramen Mahakudus. Jika tidak ada
tabernakel (tempat Sakramen Mahakudus yang menjadi simbol kehadiran Kristus yang abadi),
dapat diartikan kita menghormati gereja sebagai tempat yang kudus. Sikap ini memang belum
termasuk tata gerak dalam Perayaan Ekaristi. Namun, pada prinsipnya setiap kita mendekati
atau melewati Sakramen Mahakudus, kita diharapkan memberi penghormatan dengan cara
berlutut; kecuali pada saat dalam perarakan.

Berlutut Diganti Menundukkan Kepala

Untuk kesempatan tertentu, berlutut (juga membungkuk) bisa diganti dengan menundukkan
kepala. Misalnya, ketika para pelayan misa (putera altar, lektor, diakon) sedang membawa salib,
lilin, dupa, atau Kitab Injil harus menghormati Sakramen Mahakudus atau altar. Menurut PUMR
275a “menundukkan kepala” dilakukan juga ketika mengucapkan nama Tritunggal Mahakudus,
nama Yesus, nama Santa Perawan Maria, dan nama para orang kudus yang diperingati dalam
Misa yang bersangkutan. Mengapa perlu diganti? Alasannya praktis saja dan mungkin juga
estetis serta teologis. Pembawa benda-benda itu biasanya akan kerepotan jika harus berlutut
sementara masih membawa sesuatu. Lagi pula, bisa tampak tidak indah dan kurang menarik jika
salib yang mestinya tetap tegak ternyata jadi miring lantaran pemegangnya sedang berlutut atau
membungkuk. Atau, lelehan lilinnya jatuh ke lantai atau ke tangan putera altar yang
memegangnya karena dia harus berlutut. Khusus untuk benda-benda simbolis yang berkaitan
dengan diri Kristus seperti Kitab Injil dan Salib, kita diminta tetap menunjukkan nilai
kehormatannya. Maka, benda-benda simbol Kristus itu harus tetap tampak anggun, tidak tampil
naik-turun, miring ke kiri-ke kanan, karena si pemegang harus berlutut dan berdiri segala.

Tanda Penghormatan Lain: Membungkuk

Masih ada satu lagi sikap tubuh lambang penghormatan kita. PUMR 275b menjelaskan:
“Membungkukkan badan atau membungkuk khidmad dilakukan waktu [1] menghormati altar;
[2] sebelum memaklumkan Injil, waktu mengucapkan doa Sucikanlah hati dan budiku, ya Allah
yang mahakuasa....; [3] dalam syahadat, waktu mengucapkan kata-kata .. . Ia dikandung dari
Roh Kudus... dan Ia menjadi manusia;[4] dalam persiapan persembahan, waktu mengucapkan
doa Dengan rendah hati dan tulus;[5] dalam Kanon Romawi (DSA I) pada kata-kata Allah yang
Mahakuasa, utuslah malaikat-Mu.... Membungkuk juga dilakukan oleh diakon waktu minta
berkat kepada imam sebelum mewartakan Injil. Kecuali itu, imam juga membungkuk sedikit
waktu mengucapkan kata-kata Tuhan pada saat konsekrasi: Terimalah....” Begitulah tata caranya.

Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik Halaman 11


Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik

Satu Lagi: Mencium

Masih ada satu lagi bentuk penghormatan. Ini sesuai dengan tradisi liturgi. Altar dan Kitab Injil
dihormati oleh Imam dan Diakon dengan mencium atau mengecupnya. Akan tetapi, kalau
mencium tidak sesuai dengan tradisi atau kekhasan daerah setempat, Konferensi Uskup
berwenang menggantinya dengan cara penghormatan yang lain, dengan persetujuan Takhta
Apostolik (PUMR 273). Misalnya, dengan cara menempelkan kepala atau kening pada benda-
benda tersebut, atau meletakkan telapak tangan pada benda yang dihormati itu.

Beberapa Tata Gerak Imam Lainnya

Imam Selebran masih mempunyai beberapa tata gerak simbolis lainnya. Kita lihat secara singkat
saja, dengan menyebut cara dan maknanya:

[1] merentangkan tangan, dilakukan ketika Imam membawakan doa-doa presidensiil. Tata gerak
ini meniru Kristus yang terentang tangan-Nya di kayu salib, atau Musa yang sedang berdoa agar
Allah melindungi bangsa Israel dari kejaran tentara Mesir;

[2] menumpangkan tangan di atas objek (bahan persembahan) atau subjek (orang, umat)
sebagai lambang turunnya Roh Kudus (epiklesis), yang menghasilkan rahmat
pengudusan (“...utuslah Roh Kudus-Mu...”);

[3] mengangkat bahan persembahan (roti / sibori dan anggur / piala) untuk dihunjukkan kepada
Allah atau ditunjukkan kepada jemaat (dalam Doa Syukur Agung dan Ritus Komuni: “Inilah
Tubuh-Ku / Darah-Ku”; “Inilah Anak Domba Allah”);

[4] membuka tangan dan mengatupkannya kembali sebagai tanda ajakan (“Marilah
berdoa”) kepada jemaat. Tata gerak ini juga dilakukan oleh Diakon sebelum membawakan
Injil (“Tuhan sertamu....”).

Jangan kaget kalau ternyata ada beberapa Imam yang tidak mempraktekkan ragam tata gerak di
atas. Alasannya mungkin beraneka: karena tidak tahu, lupa, tidak mampu karena sakit, cuma
malas, berpendirian lain, atau.... Sebaiknya tanyakan saja langsung kepada yang bersangkutan.

Perarakan Juga Bagian dari Tata Gerak

Sering kali terlupakan bahwa perarakan juga merupakan tata gerak. Dari istilah ini kita tentu
langsung bisa membayangkan bahwa pelakunya lebih dari satu orang. Juga, ada beberapa

Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik Halaman 12


Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik

perlengkapan pendukung perarakan. Maka, istilah tata gerak mencakup juga segala jenis
perarakan, seperti:

[1] tindakan dan perarakan imam bersama diakon dan para pelayan menuju altar;
[2] perarakan diakon yang membawa Kitab Injil menuju mimbar sebelum pemakluman Injil;
[3] perarakan umat beriman yang mengantar bahan persembahan dan maju untuk menyambut
komuni.

Perarakan menandakan suasana kemeriahan. Maka, hendaknya tata gerak ini dilaksanakan
dengan anggun, sesuai dengan kaidah masing-masing, dan diiringi dengan nyanyian yang serasi
(PUMR 44). Bahkan kalau dirasa perlu bisa juga dengan tarian atau ekspresi budaya lainnya.

Sumber – sumber :
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Warna-warna_liturgi
2. http://belajarliturgi.blogspot.com/2011/03/mengenal-peralatan-misa.html
3. Sumber: “Simbol-Simbol Sekitar Perayaan Ekaristi: Tata Gerak, Sikap Tubuh”;
Pamflet Liturgi M3 Mengalami, Merawat, Menarikan Liturgi; diterbitkan oleh
ILSKI (Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia); Jalan Nias 2, Bandung 40117;
phone: 022 4207943 / 4217962 (ext 113)

Simbol – simbol Liturgi gereja Katolik Halaman 13

Anda mungkin juga menyukai