Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Vitiligo adalah kelainan depigmentasi kulit didapat dengan karakteristik
bercak putih yang disebabkan oleh destruksi melanosit. Vitiligo bersifat kronik
dan mengganggu secara kosmetik sehingga pasien vitiligo memiliki kepercayaan
diri yang rendah dan mempengaruhi kualitas hidup pasien. Hingga saat ini, belum
diketahui penyebab vitiligo yang sesungguhnya.

Angka prevalensi vitiligo di seluruh dunia yaitu 0,5-1%. Penelitian


menemukan angka prevalensi di Cina yaitu 0,093%, di Denmark yaitu 0,38%.
Prevalensi tertinggi dijumpai di Gujarat yaitu 8,8%. Di Indonesia penelitian
mengenai penyakit ini masih sangat terbatas. Jusuf dan Meher menemukan bahwa
berdasarkan data rekam medis, pada tahun 2012 persentase kunjungan pasien
vitiligo yaitu 18,09%, tahun 2013 sebesar 9,21%, tahun 2014 sebesar 8,53%, dan
tahun 2015 sebesar 8,45% dari jumlah keseluruhan kunjungan pasien ke divisi
kosmetik Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H.
Adam Malik oleh pada tahun tersebut. Di RSUP Dr. M Djamil Padang insidensi
vitiligo pada tahun 2001-2006 sebesar 0,46%. Sebagian besar bersifat sporadis
namun sekitar 16-46% penderita memiliki riwayat keluarga dan pola
pewarisannya sesuai trait poligenik. Vitiligo bisa dijumpai pada semua usia.
Namun hampir separuh kasus vitiligo terjadi sebelum usia 20 tahun dan 70-80%
terjadi sebelum usia 30 tahun. Hal ini sesuai dengan yang ditemukan oleh Rizal
yaitu vitiligo paling banyak ditemukan pada kelompok usia 21-30 tahun. Baik
wanita maupun pria dapat terkena vitiligo.

Etiologi dari vitiligo masih belum diketahui pasti. Namun terdapat beberapa
hipotesis yang telah dikemukakan, yaitu: hipotesis genetik, autoimun, dan
biokimia. Hipotesis ini diduga secara sinergis menyebabkan terjadinya vitiligo.
Adanya kerentanan genetik yang dapat memicu suatu proses autoimun ditambah

1
dengan adanya peningkatan stres oksidatif dapat menyebabkan terjadinya
destruksi melanosit yang berakibat munculnya lesi depigmentasi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kata vitiligo berasal dari bahasa latin, vitellus, yang memiliki arti 'veal'
(pucat, merah jambu). Penyakit ini adalah penyakit yang depigmentasi terbatas
yang didapat, dan ditemukan pada semua ras (Hunter et al., 2002). Kata vitiligo
mungkin berasal dari bahasa Yunani, vitelius, yang berarti bercak putih pada
lembu (Habif, 2003).

Vitiligo adalah kehilangan pigmen yang didapatkan dan ditegakkan dengan


pemeriksaan histologi dimana didapati tidak adanya melanosit epidermal (Habif,
2003). Vitiligo adalah penyakit hipomelanosis idiopatik yang didapat dengan
adanya gejala klinis berupa makula putih yang dapat meluas dan dapat mengenai
seluruh bagian tubuh yang mengandung sel melanosit, misalnya rambut dan mata
(Soepardiman, 2011).

2.2 Etiologi dan Klasifikasi


Penyebab dari vitiligo belum diketahui dengan pasti dan terdapat berbagai
faktor pencetus yang sering dilaporkan sebagai penyebab vitiligo, misalnya krisis
ekonomi dan trauma fisis (Soepardiman, 2011).

Selain dilihat dari etiologinya, menurut Soepardiman dalam buku Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin (2011), vitiligo juga memiliki 2 bentuk yang
memiliki ciri khas masing-masing, yaitu:

1. Lokalisata, yang dapat dibagi lagi menjadi:

a. fokal: satu atau lebih makula pada satu area, namun tidak segmental,
b. segmental: satu atau lebih makula pada satu area dengan distribusi
sesuai
c. dermatom, misalnya pada satu tungkai,
d. mukosal: hanya terdapat pada membran mukosa.

3
2. Generalisata
Jarang penderita vitiligo lokalisata yang berubah menjadi generalisata.
Hampir 90% penderita secara generalisata dan biasanya simetris. Vitiligo
generalisata dapat dibagi lagi menjadi:
a. akrofasial: depigmentasi hanya terjadi di bagian distal ekstremitas dan
muka, yang merupakan stadium mula vitiligo generalisata,
b. vulgaris: makula tanpa pola tertentu di banyak tempat,
c. campuran: depigmentasi yang terjadi menyeluruh atau yang hampir
menyeluruh dan disebut vitiligo total (Halder dan Taliaferro, 2008).

Vitiligo merupakan kelainan piogenik yang multifaktoral dengan patogenesis


yang rumit. Walaupun beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan
hilangnya melanosit pada epidermal di vitiligo, penyebab utama vitiligo masih
belum diketahui. Perkembangan yang pesat telah terjadi pada 2 dekade yang lalu.
Teori yang berkaitan dengan vitiligo adalah autoimun, sitotoksik, oksidan-
antioksidan biokimia, neural, dan mekanisme virus yang merusak melanosit
epidermal. Banyak studi juga menyatakan bahwa peran genetik sangat signifikan
pada kasus vitiligo (Halder dan Taliaferro, 2008). Vitiligo dan beberapa penyakit
autoimun lainnya dilaporkan berhubungan dengan adanya infeksi dari Human
Immunodeficiency Virus (HIV) (Seyedalinahi et al.,2009).

Ada juga pengaruh genetik pada kejadian munculnya vitiligo yakni ditandai
dengan penetrasi yang tidak sempurna, berbagai tempat yang rentan, dan jenis
genetik yang beragam. Vitiligo yang diturunkan bisa melibatkan gen yang
berhubungan dengan biosintesis melanin, pengaruh oksidatif stress, dan regulasi
dari autoimun (Halder dan Taliaferro, 2008).

Hubungan yang paling sering antara vitiligo dengan penyakit autoimun


berdasarkan hasil pemeriksaan bahwa terdapat hubungan HLA dengan vitiligo.
Beberapa jenis HLA dengan vitiligo pada berbagai studi termasuk A2, DR4, DR7,
dan Cw6 (Halder dan Taliaferro, 2008).

4
Hubungan antara vitiligo dan penyakit autoimun dengan baik telah diketahui.
Tiroid disorder, Hashimoto tiroiditis dan penyakit Graves, sangat sering berkaitan
dengan vitiligo, bersamaan dengan penyakit endokrin lainnya seperti penyakit
Addison dan diabetes mellitus. Alopesia areata, anemia pernisiosa, sistemik lupus
eritematosus, inflammatory bowel disease, rematoid artritis, psoariasis dan
autoimmune polyglandular syndrome adalah kelainan lain yang berkaitan dengan
vitiligo, tetapi ada makna dari beberapa hubungan ini yang masih diperdebatkan.
Bukti yang paling meyakinkan pada patogenesis autoimun adalah demonstrasi
dari sirkulasi autoantibodi pada pasien vitiligo (Halder dan Taliaferro, 2008).

Sebagai tambahan pada keterlibatan mekanisme imun humoral di patogenesis


vitiligo, terdapat bukti yang kuat dimana terdapat indikasi proses imun selular.
Kerusakan pada melanosit bisa secara langsung dimediasi oleh autoreactive
cytologic T cells. Peningkatan jumlah sirkulasi limfosit sitotoksik CD8+ yang
reaktif pada melanA/Mart-1 (melanoma antigen yang dikenali oleh sel T ),
glikoprotein 100, dan tirosinase telah dilaporkan pada pasien dengan vitiligo.
Aktivasi Sel T CD8+ telah didemonstrasikan didalam pinggiran luka pada kulit
yang terkena vitiligo. Reseptor Melanocyte-spesific T-cell ditemukan di lapisan
melanoma dan pada pasien vitiligo memiliki struktural yang sama (Halder dan
Taliaferro, 2008).

2.3 Epidemiologi
Vitiligo adalah penyakit depigmentasi paling sering dijumpai. Hampir
setengah dari kasus vitiligo muncul sebelum umur 20 tahun. Kedua jenis kelamin
sama-sama terkena vitiligo, dan tidak ada perbedaan yang nyata dalam angka
kejadian menurut jenis kulit dan ras. Nonsegmental (atau generalisasi) vitiligo dan
segmental vitiligo memiliki gejala klinis yang khusus dan riwayat alami.
Nonsegmental vitiligo adalah bentuk yang paling sering pada penyakit ini (tercatat
85-90% dari semua kasus vitiligo), tetapi pada segmental vitiligo, bisa memiliki
onset yang lebih cepat, tercatat 30% pada kasus anak-anak. Pada awal kejadian,
kedua jenis vitiligo baik nonsegmental vitiligo dan segmental vitiligo dapat

5
menunjukkan fokal vitiligo, yang mana ditunjukkan karakteristiknya oleh bagian
kecil area yang dipengaruhi (<15 cm2) (Taïeb dan Picardo, 2009).

Vitiligo ditemukan pada 0,1-2,9% populasi penduduk dunia, di usia


berapapun, tersering pada usia 10-40 tahun, dengan dominasi pada perempuan. Di
Amerika, sekitar 2 juta orang menderita vitiligo. Di Eropa Utara dialami 1 dari
200 orang. Di Eropa, sekitar 0,5% populasi menderita vitiligo. Di India, angkanya
mencapai 4%. Prevalensi vitiligo di China sekitar 0,19%. Sebagian besar kasus
terjadi sporadis, sekitar 10-38% penderita memiliki riwayat keluarga dan pola
pewarisannya konsisten dengan trait poligenik (Anurogo dan Ikrar, 2014).

Pada vitiligo yang berkaitan dengan pekerjaan, penyakit ini dimulai setelah
terpapar bahan kimia yang toksik terhadap melanosit. Setelah itu, penyakit ini
berkembang menjadi generalisasi vitiligo. Derivat fenolik/ katekol adalah bahan
kimia mayor yang berhubungan dengan vitiligo, dan dapat menimbulkan kejadian
ini. Berbagai jenis alergen yang menyebabkan allergic contact dermatitis (ACD)
memiliki kemungkinan menjadi faktor pemicu bagi vitiligo kontak atau vitiligo
yang berkaitan dengan pekerjaan. Bagaimanapun, kontak dengan bahan kimia dan
allergen telah dilaporkan karena telah memicu lesi vitiligo. Secara etiologi, telah
dilaporkan 864 kasus pada bahan kimia leukoderma di India. Pewarna rambut
(27,4%) adalah kasus tersering yang dilaporkan sebagai agen kausative, diikuti
oleh deodorant atau parfum (21,6%) dan deterjen atau pembersih (15,4%). Telah
dilaporkan bahwa diantara 29 pasien yang melaporkan faktor provokasi dari
bahan kimia, diduga terdapat vitiligo yang di induksi oleh bahan kimia seperti
captan, paratertiary butyl phenol (PTBP), dan diphencyprone telah terdeteksi pada
4 pasien. Bahan kimia yang paling berkontribusi adalah PTBP yang memberikan
50,7% dari agen kausatif. Bahan kimia yang paling sering terpapar pada
kehidupan sehari-hari pasien adalah produk pembersih (30,0%), diikuti oleh
produk kosmetik (17,0%), pewarna rambut (11,4%), dan nikel (11,2%).
Bagaimanapun, hanya 23 pasien (4,9%) mengatakan bahwa semua bahan bahan
kimia ini diduga menjadi pemicu kejadian vitiligo. Diantara 16 pasien yang
menjawab bahwa pewarna rambut memperburuk vitiligo yang telah dideritanya,

6
hanya 8 pasien yang melaporkan allergic contact dermatitis (ACD) pada pewarna
rambut. Oleh karena itu, allergic contact dermatitis (ACD) pada pewarna rambut
tidak dapat menjadi persyaratan untuk perkembangan vitiligo (Jeon et al., 2014).

Terdapat 30% penderita dari prevalensi di dunia mempunyai riwayat


keluarga. Perkembangan awal dari lesi, sekitar 25% penderita dijumpai pada usia
dibawah 10 tahun, 50% terjadi sebelum usia 23 tahun dan kurang dari 10% terjadi
pada usia lebih dari 42 tahun. Walaupun vitiligo relatif jarang dijumpai pada bayi
tetapi kongenital vitiligo pernah dilaporkan dan kadang kadang didiagnosa
sebagai piebaldism (Lubis, 2009).

Pada banyak penelitian, vitiligo lebih banyak dijumpai pada wanita (dewasa)
dibandingkan pada laki-laki (dewasa) yaitu 2-3 :1. Sedangkan penelitian vitiligo
pada anak-anak, dijumpai perbandingan yang hampir sama pada kedua jenis
kelamin. Kemungkinan ini disebabkan wanita (dewasa) lebih memberikan
perhatian terhadap penyakit nya dibandingkan laki-laki (dewasa), sehingga lebih
banyak mendapat pengobatan (Lubis, 2009).

2.4 Patogenesis
Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
(2011), ada beberapa patogenesis terbentuknya vitiligo, yakni sebagai berikut:

1. Hipotesis autoimun
Ditandai adanya hubungan antara vitiligo dengan tiroiditis hashimoto,
anemia pernisiosa, dan hipoparatiroid melanosit dijumpai pada serum 80%
penderita.

2. Hipotesis neurohumoral
Karena melanosit terbentuk dari neuralcrest, maka diduga faktor neural
berpengaruh. Tirosin adalah substrat untuk pembentukan melanin dan katekol.
Kemungkinan adanya produk yang terbentuk selama sintesis katekol yang
mempunyai efek merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat
dan pembuluh darah terhadap respons transmitter saraf, misalnya asetilkolin.

7
3. Autotoksik
Sel melanosit membentuk melanin melalui oksidasi tirosin ke DOPA dan
DOPA ke dopakinon. Dopakinon akan dioksidasi menjadi berbagai indol dan
radikal bebas. Melanosit pada lesi vitiligo dirusak oleh penumpukan prekursor
melanin. Secara in vitro dibuktikan tirosin, DOPA, dan dopakrom merupakan
sitotoksik terhadap melanosit.

4. Pajananan terhadap bahan kimia


Depigmentasi kulit dapat terjadi terhadap pajanan mono benzil eter
hidrokinon dalam sarung tangan atau deterjen yang mengandung fenol. Mono
benzil eter hidrokinon mempunyai mekanisme yang sama dengan hidrokinon
yakni sebagai precursor dalam proses melanogenesis, namun penggunaan yang
berlebihan dari mono benzil eter hidrokinon ini dapat mengakibatkan zat ini
dimetabolisme menjadi radikal bebas yang aktif yang dapat menghancurkan
melanosit itu sendiri (Katsambas dan Stratigos, 2001).

2.5 Gejala Klinis


Pasien dengan vitiligo akan menunjukkan satu sampai beberapa macula
amelanotik yang berwarna seperti kapur atau putih susu. Lesi vitiligo biasanya
dapat ditentukan batasnya dengan baik, tetapi garis tepinya dapat dijumpai
“scalloped”. Makula vitiligo dapat dievaluasi dengan pemeriksaan lampu wood.
Perbesaran lesi secara sentrifugal pada kadar yang tidak dapat diprediksi dan
dapat timbul di semua sisi tubuh, termasuk mukosa membran. Walaupun
demikian, lesi inisial lebih sering timbul pada tangan, lengan bawah, kaki , dan
wajah. Ketika vitiligo timbul pada wajah, vitiligo sering melibatkan penyebaran di
daerah perioral dan periokular (Halder dan Taliaferro, 2008).

2.6 Diagnosis Banding


Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
2011) sebagai diagnosis banding vitiligo ialah piebaldisme, sindrom wardenburg,
dan sindrom woolf. Vitiligo segmental harus dibedakan dengan nevus

8
depigmentosis. Lesi tunggal atau sedikit harus dibedakan dengan tinea versikolor,
pitiriasis alba, hipomelanosis gutata, dan hipopigmentasi pasca-inflamasi.

Lepra, tinea versikolor, tubero sklerosis, nevus anemikus, atau


depigmentasi juga menjadi pertimbangan untuk menegakkan penyakit vitiligo
(Barankin dan Freiman, 2006).

Vitiligo sering berhubungan dengan penyakit autoimun. Prevalensi yang


paling berhubungan dengan endorinopati adalah disfungsi tiroid, baik hipertiroid
(Grave diseases) atau hipotiroid (Hashimoto tiroiditis) yang biasanya didahului
dengan onset disfungsi tiroid. Penyakit addison, anemia pernisiosa, alopesia
areata, dan diabetes melitus juga sering terjadi peningkatan pada pasien dengan
vitiligo. Pasien dengan autoimun poliendokrinopati kandidiasis-ektodermal
distropi telah meningkatkan prevalensi vitiligo. Mutasi dari autoimmune regulator
(AIRE) telah ditemukan pada sindrom ini. Pasien harus dianamnesis tentang
gejala gejala kelainan ini (Halder dan Taliaferro, 2008).

Vitiligo bisa mempengaruhi aktivitas melanosit di seluruh tubuh, termasuk


sel pigmen pada rambut, bagian dalam telinga, dan retina. Poliosis (leukotrichia)
terjadi pada banyak pasien. Gangguan pada auditori dan visual terjadi pada
beberapa pasien. Aseptik meningitis bisa menjadi hasil dari kerusakan
leptomeningeal melanosit (Halder dan Taliaferro, 2008).

Beragam diagnosis banding untuk vitiligo antara lain: depigmentasi


diinduksi obat atau topikal, depigmentasi pasca-inflamasi (misalnya: skleroderma,
psoriasis, atopic eczema), depigmentasi pasca-trauma, halo naevus, idiopathic
guttate hypomelanosis, progressive macular hypomelanosis, lepra, lichen
sclerosus (untuk vitiligo genital), melanoma-associated leucoderma, melasma,
mycosis fungoides-associated depigmentation, naevus anaemicus, naevus
hipopigmentasi, naevus of Ito, piebaldism, pityriasis alba, pityriasis versicolor,
tuberous sclerosis. Penyakit/gangguan tersering yang dikira/mirip vitiligo adalah:
tinea (pityriasis) versicolor, piebaldism, dan guttate hypomelanosis (Anurogo dan
Ikrar, 2014).

9
2.7. Diagnosis
Lampu wood dapat menegaskan wilayah vitiligo dan membantu mencari
perluasannya. Biopsi kulit tidak biasa di lakukan. Dipertimbangkan pemeriksaan
TSH dan kadar glukosa darah puasa (Barankin dan Freiman, 2006).

Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


(2011) terdapat beberapa cara untuk mendiagnosis vitiligo, yaitu:
1. Evaluasi klinis
Diagnosis vitiligo didasarkan atas anamnesis dan gambaran klinis. Pada
anamnesis ditanyakan:
a. awitan penyakit
b. riwayat keluarga tentang timbulnya lesi dan uban yang timbul dini
c. riwayat penyakit kelainan tiroid, alopesia areata, diabetes melitus, dan
anemia pernisiosa.
d. kemungkinan faktor pencetus, misalnya stres, emosi, terbakar surya,
dan pajanan bahan kimiawi.
e. riwayat inflamasi, iritasi, atau ruam kulit sebelum bercak putih.

2. Pemeriksaan histopatologi
Dengan pewarnaaan Hematoksilin Eosin (HE) tampaknya normal kecuali
tidak ditemukan melanosit, kadang-kadang ditemukan limfosit pada tepi makula.
Reaksi DOPA untuk melanosit negatif pada daerah apigmentasi, tetapi meningkat
pada tepi yang berpigmentasi.

3. Pemeriksaan biokimia
Pemeriksaan histokimia pada kulit yang diinkubasi dengan DOPA
menunjukkan tidak adanya tirosinase. Kadar tirosin plasma dan kulit normal.

Diagnosis pada vitiligo ditegakkan dengan pemeriksaan fisik.


Bagaimanapun, adanya pertimbangan bahwa terdapat hubungan vitiligo dengan
penyakit autoimun lainnya, beberapa pemeriksaan laboratorium membantu
menegakkan diagnosis, termasuk kadar TSH (thyroid stimulating hormone),

10
antibodi antinuklear, dan pemeriksaan darah lengkap. Para klinisi juga harus
melakukan investigasi dari serum antitiroglobulin dan antitiroid peroksida
antibodi, khususnya ketika pasien mempunyai tanda dan gejala dari penyakit

tiroid. Antitiroid peroksida antibodi, menjadi tanda yang sensitif dan spesifik dari
kelainan autoimun tiroid. Berdasarkan definisi, penyakit vitiligo adalah penyakit
dimana kurangnya melanosit pada lesi kulit. Demikian juga dengan permukaan
dermal, perivaskular dan limfositik perifolikular infiltrat primer dapat juga
diamati pada batas lesi vitiligo dan lesi awal, yang terdiri dari mediasi sel imun
yang melakukan proses kerusakan melanosit pada vitiligo (Halder dan Taliaferro,
2008).

2.8 Penatalaksanaan
Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
(2011), pengobatan vitiligo kurang memuaskan. Dianjurkan pada penderita untuk
menggunakan penutup muka agar bagian yang terkena vitiligo tidak tampak.
Pengobatan sistemik adalah dengan trimetilpsoralen atau metoksi-psoralen dengan
gabungan sinar matahari atau sumber sinar yang mengandung ultraviolet
gelombang panjang (ultraviolet A). Dosis psoralen adalah 0.6 mg/kg berat badan
dan 2 jam sebelum penyinaran selama 6 bulan sampai setahun. Pengobatan
dengan psoralen secara topikal yang dioleskan lima menit sebelum penyinaran
sering menimbulkan dermatitis kontak iritan. Pada beberapa penderita
kortikosteroid potensi tinggi, misalnya betametason valerat 0.1% atau klobetasol
propionat 0.05% efektif menimbulkan pigmen (Soepardiman, 2011).

Pada usia dibawah 18 tahun hanya diobati secara topikal saja dengan salep
metoksalen 1% yang diencerkan 1:10 dengan spiritus dilutus. Cairan tersebut
dioleskan pada lesi. Setelah didiamkan 15 menit lalu dijemur selama 10 menit.
Pada usia di atas 18 tahun, jika kelainan kulitnya generalisata, pengobatannya
digabung dengan kapsul metoksalen (10 mg). Obat tersebut dimakan 2 kapsul (20
mg) 2 jam sebelum dijemur, seminggu 3 kali. Bila lesi lokalisata, hanya diberikan

11
pengobatan topikal. Jika setelah 6 bulan tidak ada perbaikan pengobatan
dihentikan dan dianggap gagal (Soepardiman, 2011).

MBEH (monobenzylether of hydroquinon) 20% dapat dipakai untuk


mengobati vitiligo yang lebih luas dari 50% permukaan kulit dan tidak berhasil
dengan pengobatan psoralen. Bila tidak ada dermatitis kontak pengobatan
dilanjutkan sampai 4 minggu untuk daerah yang normal (Soepardiman, 2011).

Tabel Penanganan pada vitiligo


Tipe Vitiligo Penanganan
Segmental dan nonsegmental/ Lini pertama : hindari faktor pemicu
Terbatas (melibatkan <2-3%
atau pencetus, terapi lokal (
permukaan tubuh)
kortikosteroid topikal, inhibitor
calcineurin)
Lini kedua : terapi localized narrow-
band UVB, terutama lampu
monokromatis excimer atau laser
Lini ketiga : pertimbangkan teknik
pembedahan jika repigmentasi secara
kosmetik di daerah yang terlihat kurang
memuaskan
Nonsegmental (melibatkan Lini pertama : stabilkan dengan terapi
>3% permukaan tubuh)
narrow-band UVB minimal 3 bulan,
durasi optimal setidaknya 9 bulan jika
ada respon ; kombinasikan dengan
terapi topikal, termasuk penguatan
(reinforcement) dengan terapi UVB
pada target
Lini kedua : pertimbangkan
kortikosteroid sistemik atau agen
imunosupresif bila terdapat *extension
under narrowband UVB therapy*,

12
namun data pendukung pendekatan ini
terbatas
Lini ketiga : pertimbangkan
pembedahan di daerah yang
menunjukkan respons minimal 1 tahun,
terutama di daerah bernilai kosmetik
tinggi (misalnya: wajah); fenomena
Koebner’s dapat merusak kelangsungan
hidup cangkok kulit (graft survival);
kontraindikasi relatif di daerah seperti
punggung tangan
Lini keempat : pertimbangkan
depigmentasi (monobenzyl ether of
hydroquinone atau hanya mequinol atau
berhubungan dengan Q-switched ruby
laser) jika lebih dari 50% area yang
dirawat atau diterapi tidak berespons
atau jika area terlihat amat jelas, seperti
di wajah atau tangan
Sumber : Anurogo dan Ikrar, 2014
Depigmentasi dapat terjadi setelah 2-3 bulan dan sempurna setelah 1
tahun. Kemungkinan akan timbul kembali pigmentasi yang normal pada daerah
yang terpajan sinar matahari dan pada penderita berkulit gelap sehingga harus
dicegah dengan tabir surya (Soepardiman, 2011).

Cara lain ialah tindakan pembedahan dengan tandur kulit, baik pada
seluruh epidermis dan dermis, maupun hanya kultur sel melanosit. Daerah ujung
jari, bibir, siku, dan lutut umumnya memberikan hasil pengobatan yang buruk
(Soepardiman, 2011).

13
2.9 Prognosis
Perjalanan penyakit vitiligo dapat bervariasi dan tidak dapat di prediksi.
Repigmentasi spontan yang secara kosmetik memuaskan pasien jarang terjadi.
Bintik repigmentasi pada bercak menandakan bahwa melanosit yang berasal dari
lapisan akar terluar pada folikel rambut memproduksi melanin. Penting untuk
menentukan apakah vitiligonya stabil atau progresif, yang kedepannya
menentukan pemilihan terapi (Sterry et al., 2006).

Klinis dari sub-tipe vitiligo belum dapat memprediksi bagian anatomi


yang terkena di masa depan atau aktivitas dari penyakit ini (Halder dan Taliaferro,
2008).

14
BAB III
KESIMPULAN

Vitiligo telah dikenal dari zaman dahulu kala. Tulisan pertama tentang
vitiligo berasal dari periode Aushooryan (2200 sebelum masehi) dalam bahasa
Iran klasik. Pada tahun 1550 sebelum masehi Ebers Papyrus menjabarkan dua
jenis penyakit yang mempengaruhi warna kulit. Satu penyakit disertai dengan
tumor, kemungkinan adalah kusta dan satu lagi hanya mengalami perubahan
warna yang diduga vitiligo. Vitiligo berasal dari Bahasa latin vitium yang berarti
cacat. Kata vitiligo pertama kali dijumpai pada buku De-Mediccina karya dokter
Roma Celsus.
Vitiligo merupakan kelainan didapat dengan gambaran bercak
depigmentasi asimtomatik pada kulit, membran mukosa atau rambut yang
melibatkan faktor genetik dan non genetik dengan karakteristik berupa destruksi
melanosit epidermis yang dimediasi oleh proses autoimun progresif.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Amyloidosis, dalam : http://dermnetnz.org/systemic/amyloidosis.html


2. Kheneizan S. Lichen Amyloidosis. dalam :
http://emedicine.medscape.com/article/1102672-overview
3. Ardt, K.A. Lichen Amyloidosis; dalam Fitzpatrick, T.B.; Eisen A.Z.;
Wolff, K.; Freedberg, I.M. dan Austen, K.F.,: Dermatology in General
Medicine, 3rd ed., New york : Mc Graw Hill. 1987 : p.967-973
4. Sezer et al. Succesful Treatment of Lichen Amyloidosis With
Cyrosurgery. Dalam Gulhane Typ Dergisi 2006; 48: 112-4
5. Siregar, R.S. Amiloidosis Kutis. Saripati Penyakit Kulit. EGC. Jakarta.
2002 : 218-220.
6. Jingan et al. Lichen Amyloidosis In An Unusual Location. Singapore Med
J 2007; 48(6): e165-e167
7. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S (ed). Dermatitis: Liken Simpleks Kronis.
Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. (3),
2003: 135-136.
8. Harahap M. Kelainan Kulit Oleh Gangguan Metabolisme Amiloidosis
Lokal. Ilmu Penyakit Kulit Hipokrates. Jakarta 1998 : 255-256
9. Fitzpatrick TB, Johnson RA. Wolff K, Polano MK, Suumons D. Color
Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology: Common and Serious
Disease. Section 15: Skin Signs of Immune, Autoimmune, and Rheumatic
Diseases-systemic Amyloidosis. New York: McGraw-Hill. Ed 3. Page
310-313

16

Anda mungkin juga menyukai