Anda di halaman 1dari 108

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan aktivitas yang sangat


penting dalam mewujudkan pembangunan. Dilihat dari berbagai perspektif,
kemajuan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari aktivitas tersebut. Di bidang
perekonomian, pembangunan sarana dan prasarana penunjang pertumbuhan
perekonomian terwujud melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa
pemerintah, di antaranya penyediaan fasilitas jalan, jembatan, infrastruktur
telekomunikasi, dan lain-lain. Di samping itu, jumlah dana yang disediakan oleh
pemerintah dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa merupakan jumlah yang
tidak dapat diabaikan dalam perhitungan-perhitungan angka pembangunan. Di
bidang sosial, pengadaan barang dan jasa pemerintah untuk peningkatan fasilitas
kesehatan, pendidikan, dan pengentasan kemiskinan juga membantu mengatasi
sebagian masalah sosial. Di samping itu, hubungan antara pengadaan barang dan
jasa pemerintah dan aspek politik pemerintah juga merupakan isu yang sangat
penting. Sering kali para politisi memanfaatkan anggaran yang dimiliki oleh
pemerintah untuk membantu mengatasi problem yang dihadapi oleh konstituen
mereka, di antaranya adalah ketersediaan sarana dan prasarana.

Namun demikian, di sisi yang lain, pengadaan barang dan jasa pemerintah
bisa dinilai sebagai masalah krusial, seperti ditemukannya kasus-kasus
penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa. Data yang dilansir oleh
berbagai media dan institusi pemberantas korupsi menunjukkan bahwa sekitar
20-30 persen dana APBN yang dialokasikan untuk pengadaan barang dan jasa di
instansi pemerintah tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik dari aspek
administratif maupun aspek substansinya. Demikian juga berdasarkan hasil
pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masih banyak terjadi pengadaan
barang dan jasa yang menyimpang dari ketentuan, baik yang bersifat


 
 

administratif maupun pidana (KKN). Tingginya kuantitas dan kualitas


penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan
isu yang sangat menarik untuk dicermati. Banyaknya pejabat-pejabat public yang
saat ini sedang melakukan proses peradilan korupsi mampu menyimpan memory
yang tidak mudah untuk dilupakan, terutama bagi para pejabat-pejabat publik
lainnya. Kekhawatiran pejabat pengadaan barang dan jasa pemerintah tersebut
ditengarai sebagai penyebab lambatnya penyerapan APBN dan APBD
pemerintah.

Salah satu amanat yang harus dilakukan oleh pemerintah menurut


Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah, dengan mendasarkan pada arus utama reformasi birokrasi di
lingkungan pemerintahan, adalah implementasi sistem pengadaan barang dan
jasa secara elektronis. Di antara beberapa tujuan dan manfaat terselenggaranya
aktivitas pengadaan barang dan jasa secara elektronis adalah diharapkan
kebocoran anggaran yang disebabkan oleh dis-integritas panitia dan pimpinan
projek (PPK) dapat dikurangi, atau bahkan dihilangkan. Hal ini dapat dijelaskan
dengan semakin berkurangnya pertemuan dan potensi deal yang dapat
dilaksanakan antara panitia pengadaan barang dan jasa dengan calon penyedia
barang dan jasa. Di samping itu, transaksi di bawah tangan dan pengadaan barang
dan jasa yang dilaksanakan sebelum proses pengadaan dilakukan dapat
dihilangkan. Ini merupakan mekanisme akuntabilitas dan transparansi yang
diwujudkan oleh sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronis.

Namun demikian, pemberantasan korupsi tentu saja tidak hanya dilakukan


dengan menginstal sistem komputer, melainkan juga harus dipersiapkan berbagai
hal yang dapat memastikan sistem tersebut berjalan dengan baik, termasuk di
antaranya adalah sistem pengelolaan sumber daya manusia, rerangka regulasi,
sistem cluster, dan penataan kelembagaan. Untuk mencapai perbaikan sistem
secara efektif, maka diperlukan pengembangan sistem integritas yang dapat
diinisiasi di seluruh daerah di Indonesia.


 
 

Sudah barang tentu, sistem integritas yang acceptable di semua level di Indonesia
dapat diwujudkan hanya jika sistem tersebut dibuat dengan melibatkan berbagai
stakeholder yang, baik secara langsung maupun tidak langsung, berhubungan
dengan sistem tersebut, dalam hal ini adalah sistem pengadaan barang dan jasa.
Sebagai salah satu penopang sistem integritas di dalam pengadaan barang dan
jasa, maka electronic procurement dapat digunakan sebagai salah satu basis
perbaikan sistem pengadaan barang dan jasa publik, dengan melibatkan LPSE,
ULP, Inspektorat, LSM, dan Penyedia Barang.

1.2 Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan masukan


mengenai kebutuhan-kebutuhan setiap stakeholder pengadaan barang dan jasa
publik, di antaranya adalah Lembaga Pengadaan Secara Elektronis (LPSE), Unit
Layanan Pengadaan (ULP), Inspektorat, Penyedia Barang/Jasa, dan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM). Alasan mengapa penelitian ini memilih
menggunakan pendekatan stakeholder adalah karena selama ini penguatan
kapasitas terkait dengan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dilakukan dengan
memfokuskan perhatian pada LPSE dan ULP. Di pihak lain, LPSE melakukan
penguatan kapasitas kepada calon penyedia barang dan jasa, namun terbatas pada
upaya untuk memampukan calon penyedia barang dan jasa tersebut untuk
menggunakan sistem pengadaan secara elektronis (SPSE LPSE).

Untuk mengimplementasikan pengadaan barang dan jasa publik, baik


secara manual maupun elektronis, perlu dipastikan bahwa telah terdapat
mekanisme check and balances. Selama ini, mekanisme ini menjadi salah satu
aspek penting di dalam Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP),
sebagaimana disajikan di dalam Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang
SPIP, di dalam salah satu komponen pengendalian internal, yaitu aktivitas
pengendalian. Mekanisme ini dapat dilakukan secara internal dan eksternal, baik
melalui kelembagaan formal maupun nonformal yang dilakukan secara langsung


 
 

oleh masyarakat. Di antara lembaga-lembaga tersebut, Inspektorat dan LSM


merupakan dua institusi yang dapat berperan penting dalam menjalankan fungsi
pengawasan.

Melalui penelitian ini, diharapkan kebutuhan-kebutuhan dari para


stakeholder dapat terpetakan secara lebih komprehensif, bukan hanya kebutuhan
untuk bisa, tetapi termasuk juga kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya dasar, di
antaranya adalah kebutuhan terhadap pemahaman sistem dan aturan pengadaan.
Di samping itu, selain mengidentifikasi kebutuhan stakeholder, penelitian ini juga
akan memetakan prioritas kebutuhan dari setiap stakeholder pada setiap wilayah.

Secara lebih spesifik, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendapatkan masukan dari seluruh stakeholder di wilayah Jogjakarta,


Surabaya, Makassar, Bandung, dan Medan mengenai kondisi yang ada
pada saat ini (existing condition).
2. Mendapatkan masukan dari seluruh stakeholder mengenai kebutuhan di
setiap wilayah.
3. Menyusun prioritas kebutuhan dari setiap stakeholder di setiap wilayah,
sehingga dapat disusun rencana-rencana strategis untuk meningkatkan
kapasitas stakeholder secara lebih tepat.
4. Mendapatkan masukan dari seluruh stakeholder sebagai bahan penyusunan
kurikulum pelatihan dan penyusunan modul pelatihan.

1.3 Output yang diharapkan

Hasil dari penelitian ini adalah teridentifikasinya kebutuhan stakeholder


yang perlu difasilitasi dalam bentuk pelatihan dan penyediaan bahan ajar untuk
mendukung terimplementasikannya sistem pengadaan barang dan jasa secara
akuntabel.

Penelitian ini juga akan memberikan output dalam bentuk prioritas kebutuhan
untuk setiap wilayah.


 
 

1.4 Pendekatan yang Digunakan

Untuk melakukan analisis terhadap hubungan antara pihak-pihak yang


terlibat di dalam suatu organisasi, terdapat dua pendekatan penting yang selama
ini menjadi acuan, yaitu pendekatan shareholders dan pendekatan stakeholders, di
mana pendekatan ini sebenarnya merupakan penyempurnaan dari pendekatan
shareholders, yang sering pula disebut agency approach/pendekatan agensi. Di
dalam pendekatan agensi tersebut, suatu analisis akan memfokuskan pembahasan
pada pola relasi antara pihak pemberi kuasa dengan pihak yang mendapatkan
amanah (Eisenhardt, 1989). Oleh karena itu, kontrak yang dibuat antara pemberi
kuasa dengan yang menerima amanah merupakan aspek penting. Menurut
pendekatan tersebut, supplier dan customer adalah hanya pihak yang berada di
luar organisasi yang mendapatkan tempat sebagai pihak yang ikut menentukan
kehidupan organisasi. Secara umum, hanya ada empat pihak yang terlibat di
dalam analisis ini, yaitu pemberi kuasa, penerima amanah, pelanggan, dan
penyedia. Oleh karena itu, analisis menggunakan pendekatan ini dinilai kurang
memberikan hasil yang komprehensif, karena seolah-olah dalam hubungan
pemberian amanah tersebut hanya ada dua pihak yang terlibat, dan permasalahan-
permasalahan yang muncul hanya akan melibatkan kedua belah pihak.

Alih-alih menggunakan pendekatan agensi, untuk mendapatkan hasil


secara lebih baik, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan
stakeholder, yaitu pendekatan yang secara relatif berusaha menggambarkan pola
hubungan antara pihak-pihak yang teridentifikasi memberikan kontribusi terhadap
suatu organisasi/aktivitas (Freeman, 1984; Phillips dan Freeman, 2003).

Menurut Donaldson (1995), pendekatan stakeholder merupakan gabungan


antara resource-based dan market-based view, sekaligus menambahkan aspek
sosial-politik ke dalam suatu organisasi. Sebagai alat yang cukup komprehensif
untuk menilai pola hubungan antarpemangku kepentingan, maka dua hal penting
perlu diperhatikan, yaitu identifikasi pihak-pihak yang dianggap memangku


 
 

kepentingan terhadap suatu organisasi (the normative theory of stakeholder


identification) dan menguji hal-hal yang mengisyaratkan pihak-pihak tersebut
benar-benar merupakan pemangku kepentingan (the descriptive theory of
stakeholder salience). Untuk mendapatkan hasil analisis secara lebih detail,
Mitchel dkk (1997) menjelaskan bahwa pemangku kepentingan dapat diderivasi
menjadi tiga atribut penting, yaitu power, legitimasi, dan urgensi. Dalam hal ini,
pemangku kepentingan dapat dipetakan menurut kemampuan mereka untuk
mendorongkan kepentingannya, perilaku pemangku kepentingan yang dapat
diterima secara sosial, dan sensitivitas waktu yang dimiliki oleh pemangku
kepentingan tersebut.

1.4 Stakeholder yang Terlibat

Pada umumnya, analisis yang dilakukan pada aktivitas pengadaan


barang/jasa hanya melibatkan dua pihak, yaitu pemerintah sebagai pengguna
barang dan penyedia barang/jasa. Sementara itu, analisis yang dilakukan di dalam
penelitian ini berusaha melibatkan berbagai pihak yang dianggap mampu untuk
meninggikan tingkat keberhasilan pengadaan barang dan jasa pemerintah/publik.
Berikut adalah pihak-pihak yang terlibat, di antaranya adalah:

1.4.1 Panitia Pengadaan

Panitia pengadaan, di dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010,


disebut sebagai Unit Layanan Pengadaan (ULP). ULP adalah unit yang bertugas
untuk membantu Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dan Pejabat
Pembuat Komitmen untuk menjalankan proses pengadaan barang secara lebih
teknis.

1.4.2 Lembaga Pengadaan Secara Elektronis (LPSE)

LPSE merupakan lembaga di dalam organisasi pemerintahan yang


bertugas menyediakan fasilitas dan infrastruktur pengadaan yang memungkinkan
pengadaan barang dan jasa dilakukan secara elektronis, termasuk menjalankan


 
 

fungsi verifikasi terhadap perusahaan-perusahaan yang mendaftar untuk


mengikuti pengadaan barang dan jasa secara elektronis. LPSE terpisah dari ULP
dengan pembagian kewenangan tertentu. Meskipun demikian, di beberapa daerah
dilakukan penggabungan antara LPSE dan ULP.

 
  PA/KPA/PPK  Monitoring
Inspektorat 
Vendor 

LSM
LPSE ULP

Masyarakat 

1.4.3 Penyedia Barang/Jasa (Vendor)

Penyedia barang/jasa adalah lembaga atau perorangan yang mendapatkan


kontrak dari pejabat pembuat komitmen untuk mensuplai barang/jasa kepada
pemerintah. Sebagai pihak penerima kontrak, maka peran penyedia barang/jasa
menjadi sangat penting untuk menunjang keberhasilan implementasi sistem
pengadaan barang/jasa yang transparan dan akuntabel. Untuk kepentingan riset
ini, maka penyedia yang dilibatkan adalah perusahaan atau asosiasi perusahaan
yang pernah terlibat dalam pengadaan barang/jasa.

1.4.4 Inspektorat

Inspektorat dilibatkan dalam fungsi monitoring terhadap pengadaan


barang dan jasa, baik secara administratif maupun secara substansi. Keberhasilan
fungsi ini akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan auditor, bukan hanya


 
 

kemampuan untuk mengaudit kelengkapan bukti-bukti dan dokumen pengadaan,


melainkan juga kemampuan untuk mengaudit efisiensi dan keefektifan sistem
pengadaan yang dijalankan. Di samping itu, auditor juga perlu memiliki
kemampuan untuk melakukan investigasi terhadap proses pengadaan yang
terindikasi terjadi kecurangan. Kemampuan ini sangat penting mengingat
pengadaan barang/jasa merupakan aktivitas yang sangat kritis, melibatkan nilai
anggaran yang besar, dan melibatkan berbagai pihak termasuk di luar organisasi
pemerintah.

1.4.5 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

Sebenarnya LSM, secara langsung, tidak memiliki keterlibatan dalam


pengadaan barang dan jasa publik. Di dalam penelitian ini, LSM dilibatkan untuk
kemudian diidentifikasi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh LSM untuk
melakukan monitoring secara independen terhadap proses pengadaan barang/jasa.
Meskipun fungsi monitoring yang dilakukan oleh LSM bersifat melengkapi fungsi
monitoring yang telah dilakukan oleh inspektorat, namun bisa memberikan
dampak yang lebih besar, mengingat kemampuan monitoring yang dilakukan oleh
LSM seringkali tidak terbatasi oleh rezim anggaran sebagaimana menjadi kendala
besar bagi inspektorat. Di samping itu, LSM mampu berkomunikasi secara
informal dan efektif dengan masyarakat sebagai pengguna akhir barang/jasa
publik.


 
BAB II
KAJIAN DAERAH

2.1 MEDAN

Transparansi dalam pengadaan barang dan/jasa publik merupakan


kebutuhan guna memperoleh barang dan/jasa publik yang berkualitas. Pemerintah
sebagai penyedia barang publik mempunyai peranan penting untuk menyediakan
barang dan/ jasa publik untuk masyarakat. Penyediaan barang dan/jasa publik
yang sebelumnya mengunakan sistem manual dengan mekanisme tender. Namun,
sistem manual memiliki beberapa kelemahan dalam proses pelaksanaan tender.
Kelemahan-kelemahan pengadaan barang dan/jasa secara manual mendorong
untuk melakukan perbaikan dengan penerapan e-procurement.
Penerapan e-procurement telah dilakukan oleh sebagian instansi, lembaga,
dan/pemerintah daerah di Indonesia dansalah satunya adalah Pemerintah Kota
Medan. Namun, sistem e-procurement yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota
Medan berbeda dengan LPSE. Perbedaantersebut karena sistem e-procurement
Pemerintah Kota Medan berediri sendiri dan tidak terkoneksi dengan LPSE.
Informasi pengadaan barang dan/jasa di lingkungan Pemkot Medan belum
banyak diketahui publik. Pemerintah kota Medan masih belum terbuka dalam
pengadaan barang dan jasa publik. Hal tersebut menunjukkan bahwa sosialisasi e-
procurement oleh Pemkot Medan belum optimal. Publik yang salah satunya
vendor cenderung banyak mengikuti pengadaan barang dan/jasa di LPSE
ProvinsiSumatera Utara.
Peraturan yang berkaitan dengan prucurement antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah masih ada yang bertentangan dengan penafsiran yang
berbeda-beda. Selain itu, pemahaman mengenai e-procurement oleh publik masih
rendah. Rendahnya pemahaman tersebut antara lain dikarenakan sosialisasi belum
optimal dan partisipasi masyarakat dalam fungsi pengawasan masih rendah.
Infrastruktur dalam sistem e-procurement di Medan masih perlu adanya
perbaikan dan penambahan guna meningkatkan kualitas e-procurement. Selain


 
infrastruktur, peningkatan kapasitas sumber daya manusia mempunyai peranan
penting dalam mendukung pelaksanan e-procurement. Peningkatan kapasitas ini
antara lain, pengelola sistem e-procurement, panitia pengadaan barang dan/jasa,
dan penyedia barang dan/jasa. Di sisi lain, masyarakat sebagai pengguna barang
dan/jasa ikut serta dalam proses pengawasan.
Beberapa kasus yang sering terjadi ketika masih menggunakan sistem
manual dengan tender adalah masih sering ditemukan pengaturan selama proses
pengadaan barang dan jasa antara panitia dan vendor. Masyarakat masih belum
banyak memperoleh akses informasi sistem E procurement dan kecenderungan
beberapa vendor tertentu yang memiliki akses pada procurement.Permasalahan
tersebut berdampak pada kualitas barang dan/jasa kurang baik sehingga
masyarakat sebagai pengguna merasa dirugikan. Ketidakterbukaan Pemerintah
Kota Medan dalam pengadaan barang dan jasa publik akan menghambat
pembangunan dan merugikan masyarakat.
Keberhasilan pelaksanaan e-procurement akan tercapai apabila itikad baik
dari masing-masing satakeholders. Independensi antar stakeholders menmpunyai
peranan penting guna menghilangkan KKN dalam pengadaan baang dan/jasa.
Selanjutnya, penguatan fungsi pengawasan dalam implementasi pelaksanaan
pengadaan barang.

2.2 BANDUNG
Jawa Barat merupakan salah satu wilayah yang maju dalam implementasi
e-procurement. Balai Lembaga Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Jawa Barat
bahkan memperoleh penghargaan LPSE terbaik se-Indonesia yang diberikan oleh
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) pada tahun
2010. LPSE Jawa Barat memperoleh penghargaan berkat kinerjanya yang mampu
memfasilitasi proses lelang dengan jumlah paket terbanyak, vendor terbanyak,
dam instansi pengguna terbanyak.
Saat ini di provinsi Bandung sudah terdapat LPSE Provinsi Jawa Barat
ditambah terdapat 4 LPSE di level kabupaten kota yang terdiri atas LPSE Kota
Bandung, LPSE Kota Depok, LPSE Kota Bogor, dan LPSE Kabupaten

10 
 
Majalengka. Dari keempat LPSE yang belum menggunakan Sistem Pengadaan
Secara Elektronik (SPSE) dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah (LKPP) tinggal Kabupaten Majalengka. Secara kelembagaan Jawa
Barat lebih maju dibandingkan daerah lain dalam penerapan e-procurement.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh CPPR MEP UGM bekerjasama
dengan Kemitraan Jakarta menunjukkan bahwa pemerintah Jawa Barat memiliki
komitmen yang sangat kuat untuk mengimplementasikan e-procurement dalam
proses pengadaan barang dan atau jasa. Hasil riset juga menunjukkan adanya
beberapa kendala atau hambatan serta dukungan dalam pengimplementasiannya.
Berikut ini secara rinsi akan dipaparkan hasil temuan tersebut.

2.3 YOGYAKARTA
Nilai tertinggi dalam Penilaian Anti Korupsi (PIAK) untuk tahun 2010
yang diperoleh kota Jogjakarta merupakan bukti keseriusan Pemerintah Daerah
(Pemda) dan semua stakeholder yang terlibat dalam pengawasan pengadaan
barang dan jasa publik. Hal ini sejalan dengan hasil pengamatan KPK bahwa
pengadaan barang dan jasa masih berpotensi di atas 50% dalam tindak korupsi di
Indonesia.
Komitmen Pemerintah Daerah serta semua stakeholder yang terlibat ini
telah diwujudkan dengan adanya sistem yang bagus dalam prose pengadaan
barang dan jasa publik. Website mandiri yang telah dibangun oleh LPSE Kota
Jogjakarta serta pemahaman yang mendalam semua stakeholder menjadi jaminan
atas prestasi di atas.
Di balik itu semua, masih terdapat perbedaan antara bentuk ideal
pengadaan barang dan jasa publik dengan praktik yang ada di lapangan dalam
beberapa aspek. Hal ini tampak dari hasil penelitian yang dilakukan oleh CPPR
UGM bekerja sama dengan Kemitraan Jakarta yang berusaha mengukur
pemahaman semua stakeholder yang terlibat dalam proses ini serta kemungkinan
pengembangan ke arah e-procurement yang menurut sebagian penelitian yang ada
lebih mampu memberikan prosess yang lebih bisa dipertanggungjawabkan.

11 
 
2.4 SURABAYA
Unit Pelayanan Lelang Kota Surabaya berdiri mulai tahun 2003, dalam
tiap proses pengadaan barang dan atau jasa saat itu masih menggunakan Keppres
80 tahun 2003. Pada pengadaan barang dan atau jasa secara manual terjadi
permasalahan yakni adanya arisan. Namun, sedikit demi sedikit dan bertahap kota
Surabaya mencoba beralih menggunakan pengadaan barang dan atau jasa secara
elektronik.
Pada awalnya, tahun 2003 dan 2004 sesuai dengan Keppres 80 pengadaan
barang dan atau jasa secara elektronik di kota Surabaya dibuat sendiri tanpa
konsultan. Kota Surabaya bekerjasama dengan teman – teman ITS (Institut
Teknologi Surabaya) untuk pembuatan program pengadaan barang dan atau jasa
elektronik. Maka, program yang dibuatpun sesuai dengan apa yang diinginkan.
Pengadaan barang dan atau jasa yang dilakukan secara elektronik di kota
Surabaya dimulai pada bulan Februari tahun 2008. Pada pengadaan barang dan
atau jasa secara elektronik awal ini, dilakukan dalam 1 (satu) tempat unit
pengadaan. Hingga pada tahun 2007 muncul edaran dari Bappenas bahwa panitia
lelang harus memiliki sertifikat keahlian lelang.
Proses pengadaan barang dan atau jasa secara elektronik telah memiliki
sistem yang baik namun personilnya tidak mendukung. Keberhasilan suatu sistem
juga tergantung oleh SDM pelaksananya. Lambat laun dengan adanya ULP maka
telah distandarkan proses – prose lelang dari dokumen lelang hingga evaluasinya.
Untuk kota Surabaya, keberadaan ULP berfungsi sebagai alat untuk melancarkan
dan memudahkan pengadaan barang dan atau jasa karena dapat memotong
birokrasi – birokrasi pengadaan yang rumit. Dalam pengadaan barang dan atau
jasa elektronik ini kontrol masyarakat berperan penting.
Proses pengadaan barang dan atau jasa secara elektronik di kota Surabaya
saat spesifikasi tidak boleh mengarah pada merk tertentu. Permasalahan yang
sering dijumpai adalah barang di pasaran dengan spek yang ditentukan panitia
tidak ada atau bisa jadi barang yang diadakan sudah tidak ditemui di pasaran.
Dalam pengadaan barang dan atau jasa secara elektronik ini penyedia
diharuskan untuk jeli melihat peluang dalam setiap lelang. Penyedia juga harus

12 
 
mampu menguasai internet ataupun pengadaan barang dan atau jasa secara
elektronik. Hasil dari FGD yang telah kami lakukan, kami mencoba menarik
kesimpulan bahwa perlu ada perbaikan SDM dalam panitia ULP maupun
penyedia. Dalam meningkatkan pengadaan barang dan atau jasa secara elektronik
di kota Surabaya, pemerintah kota Surabaya mengadakan pelatihan yang terkait
dengan pengadaan barang dan atau jasa secara elektronik dengan melibatkan
penuh asosiasi (Bina Program) di mana LPSE sebgai pengelola program untuk
pelatihan sistem pengadaan barang dan atau jasa secara elektronik. Pada tahun
2008, pengadaan barang dan atau jasa secara elektronik mengalami kenaikan
efisiensi.

2.5 MAKASSAR
Kota Makassar merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki komitmen
yang tinggi dalam penerapan e-procurement dalam proses pengadaan barang dan
atau jasa. Tujuannya tidak lain adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan
publik bagi masyarakat, karena dengan penyelenggaraan tata pemerintahan yang
transparan dan akuntabel dalam proses pengadaan barang dan atau jasa, produk
pengadaan yang diperoleh akan lebih berkualitas.
Bentuk komitmen lainnya adalah memperbaiki sarana dan prasarana yang
terkait dengan pengadaan barang dan jasa berbasis elektronik ini. Selain itu untuk
meningkatkan pengawasan dalam proses pengadaan barang dan atau jasa telah
dibentuk Tim Pemantau Independen yang bertujuan untuk mengawasi seluruh
rangkain proses pengadaan barang dan jasa di lingkup pemerintahan di Kota
Makassar. Diharapkan dengan sistem berbasis elektronik ini segala bentuk
kecurangan dalam proses pengadaan barang dan atau jasa seperti korupsi, kolusi
dan nepotisme dapat dikurangi atau diminimalisir.
Secara bertahap sarana dan prasarana yang berkaitan mulai dibangun dan
diadakan untuk menunjang pelaksanaan pengadaan barang dan atau jasa berbasis
elektronik ini. Selain Pemerintah Kota Makassar, dua lembagaPerguruan Tinggi
seperti Universitas Hassanudian dan Universitas Negeri Makassar UNEM) juga
telah menerapkan elektronik dalam proses pengadaan dan atau jasa. Khusus

13 
 
untuk UNEM sebagai mitra Pemerintah Kota, LKPP telah memfasilitasi
pengadaan server agar dapat dijadikan tempat pelatihan sekaligus juga
menginstall sistem aplikasi e-procurement dari LPSE nasional.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh CPPR MEP UGM bekerjasama
dengan Kemitraan Jakarta menunjukkan bahwa pemerintah Kota Makassar serta
dua lembaga Perguruan Tinggi (UNHAS dan UNEM) memiliki komitmen yang
sangat kuat untuk mengimplementasikan e-procurement dalam proses pengadaan
barang dan atau jasa. Hasil riset juga menunjukkan adanya beberapa kendala atau
hambatan serta dukungan dalam pengimplementasiannya. Berikut ini secara rinsi
akan dipaparkan hasil temuan tersebut.

14 
 
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Populasi dan sampel


Populasi adalah sejumlah orang, peristiwa, atau sesuatu yang menarik bagi
peneliti untuk diinvestigasi, sedangkan kelompok populasi adalah kumpulan
semua elemen dalam populasi di mana sampel diambil. Untuk kepentingan riset
kuantitatif, maka ukuran sampel yang lebih besar dari 30 dan lebih kecil dari 500
sudah mencukupi untuk suatu penelitian (Sekaran, 2006).
Penelitian ini mengambil wilayah di lima kota, yaitu Yogyakarta,
Bandung, Medan, Surabaya, dan Makassar. Subjek penelitian yang terlibat adalah
para pemangku kepentingan pengadaan barang dan jasa, yaitu ULP, LPSE,
Inspektorat, Penyedia Barang/Jasa, dan Lembaga Swadaya Masyarakat di setiap
wilayah penelitian. Untuk mencapai ukuran sampel yang cukup, maka jumlah
subjek penelitian yang menjadi responden pada penelitian ini adalah 50 (lima
puluh) orang untuk setiap pemangku kepentingan atau sebanyak 10 (sepuluh)
orang setiap pemangku kepentingan-kota.
Metode pengambilan sampel adalah nonprobability sampling dengan
alasan karena dapat memberikan sejumlah petunjuk penting pada informasi yang
bermanfaat dan berkaitan dengan populasi. Salah satu tipe nonprobability
sampling yang digunakan adalah purposive sampling yang memilih orang-orang
dengan kriteria yang telah ditetapkan berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki sampel
tersebut.

3.2 Sumber Data


Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari
sumbernya, diamati dan dicatat langsung oleh obyeknya, untuk tujuan
spesifik studi. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah para para
stakeholder di lima wilayah penelitian, yang menjawab pertanyaan-

15 
 
pertanyaan yang diajukan melalui kuesioner, baik terbuka maupun
tertutup.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh melalui
media selain wawancara dan penyebaran kuesioner, di antaranya melalui
data yang disediakan oleh LPSE/LKPP.

3.3 Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data merupakan bagian integral dari desain
penelitian. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan
menyebarkan kuesioner. Terdapat dua kuesioner yang diberikan kepada setiap
responden, yaitu kuesioner yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan tertutup untuk
diisi secara langsung oleh responden dan kuesioner yang terdiri dari pertanyaan-
pertanyaan terbuka yang diisi oleh enumerator dengan melalui proses wawancara.

3.4 Definisi Operasional


Penelitian ini dilakukan untuk menguji tingkat kebutuhan dari setiap
pemangku kepentingan terhadap pemahaman dan pengetahuan tentang prosedur
dan sistem pengadaan barang dan jasa. Untuk menguji kebutuhan tersebut, maka
penelitian ini menentukan jenis-jenis kebutuhan dengan mendasarkan pada empat
pilar penelitian yang digunakan oleh OECD. Terdapat empat pilar yang digunakan
sebagai basis penilaian di dalam model OECD tersebut, yaitu:
• Pillar I Legislative and Regulatory Framework
• Pillar II Institutional Framework and Management Capacity
• Pillar III Procurement Operations and Market Practices
• Pillar IV Integrity and Transparency of Public Procurement Systems

Dari keempat pilar tersebut, maka peneliti telah melakukan identifikasi


terhadap variabel, indikator, subindikator, detail, dan alat verifikasi. Tabel di
bawah ini merupakan contoh dari salah satu pilar, yaitu procurement operations
and market practices.

16 
 
Variables INDIKATOR  SUB INDIKATOR Detail

Efficiency of  Efisiensi Pelaksana  Kesesuaian kompetensi dengan  Deskripsi pekerjaan


Procurement Pengadaan tanggung jawab yang diemban 
oleh pelaksana Profil Petugas Pengadaan
Mekanisme pendelegasian  Mekanisme penunjukan pejabat pengadaan
wewenang kepada orang yang  Penggabungan ULP menjadi satu entitas
Terdapat ketentuan terkait  Mekanisme penyimpanan dokumen
dengan dokumentasi Efektifitas Penyimpanan Dokumen
Peningkatan Kapasitas  Pelatihan dilakukan secara  Jumlah Pelatihan yang dilakukan
dilakukan secara  konsisten Jenis Pelatihan yang diadakan
konsisten Heterogenitas Peserta
Perencanaan  Procurement dilakukan in‐line  Perencanaan telah dilakukan dengan melibatkan 
Pengadaan dengan sistem perencanaan.  aspirasi masyarakat
Contoh: RKA SKPD, RPJM/P, dll Procurement telah direncanakan oleh setiap SKPD
Procurement memiliki mata anggaran yang jelas
Adanya procurement yang dianggarkan melalui 
ABT
Jumlah pengadaan yang dilakukan secara darurat
Pemecahan pengadaan Simplifikasi metoda pengadaan
Efisiensi Pengadaan Waktu penyelesaian pekerjaan Proses dilakukan sesuai dengan prosedur
Waktu pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan 
kontrak
Penghematan anggaran Selisih antara pagu dengan harga yang ditawarkan 
oleh penyedia
Procurement dilakukan secara kelompok untuk 
pengadaan yang sejenis
Dilakukan evaluasi terhadap harga pasar secara 
konsisten
Pengendalian  Keterlibatan Inspektorat dan  Pengawasan inspektorat dalam setiap tahap 
Pengadaan CSO pengadaan
Risk‐based Audit dengan mempertimbangkan isu‐
isu
Pemahaman Inspektorat dalam  Pembentukan tim khusus untuk pengadaan barang 
bidang pengadaan barang dan  dan jasa
jasa

Secara lebih detail, identifikasi terhadap variabel, indikator, subindikator,


detail, dan alat verifikasi kami sampaikan di dalam lampiran laporan ini.

3.5 Pengukuran Variabel


Dalam penelitian ini, pengukuran yang digunakan di dalam kuesioner
tertutup adalah skala Likert. Skala Likert didesain untuk menelaah seberapa kuat
subjek setuju atau tidak setuju dengan pernyataan dengan menggunakan skala 5.
Sementara itu, untuk mengukur variabel di dalam pertanyaan terbuka, maka
pertanyaan akan diawali dengan menggunakan jawaban binary ‘ya’ dan ‘tidak’dan
dilanjutkan dengan pertanyaan terbuka.

17 
 
3.6 Pengujian Data
3.6.1 Pengujian Validitas
Uji validitas dilakukan untuk memperoleh keyakinan bahwa instrumen
yang digunakan adalah tepat. Validitas mengukur kemampuan skala yang
digunakan dalam mengukur konsep yang dimaksud. Validitas sebagai alat ukur
diperoleh masing-masing butir (item) pertanyaan dengan skor total. Untuk
menguji validitas pada instrumen penelitian ini, kami menggunakan teknik
korelasi Pearson Product Moment. Valid tidaknya suatu instrumen dapat
diketahui dengan cara membandingkan indeks korelasi Pearson Product Moment
dengan taraf signifikansi 5% maka dinyatakan valid, demikian pula sebaliknya.
3.6.2 Pengujian Reliabilitas
Reliabilitas menunjukkan sejauh mana stabilitas atau konsistensi dari alat
pengukur yang digunakan, sehingga memberikan hasil yang relatif konsisten jika
pengukuran tersebut kembali diulangi. Instrumen yang reliabel berarti instrumen
tersebut bila digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama akan
menghasilkan data yang sama (Sekaran, 2006) Uji reliabilitas dapat diketahui
dengan menghitung cronbach’s alfa. Keandalan atau konsistensi suatu alat ukur
akan semakin baik jika semakin mendekati koefisien keandalan 1,0. Secara
umum, kriteria yang digunakan sebagai cut off bahwa suatu instrumen dapat
dinilai reliabel adalah apabila cronbach’s alpha lebih besar dari 0,6. Secara lebih
rinci, penilaian reliabilitas adalah sebagai berikut (Sekaran, 2006):
• Cronbach’s alpha kurang dari 0,6 : reliabilitas dianggap buruk
• Cronbach’s alpha 0,6-0,79 : reliabilitas diterima
• Cronbach’s alpha 0,8-1,0 : reliabilitas dianggap baik
3.6.3Pengujian Statistik
Untuk mencapai tujuan analisis, maka data yang diterima dari subjek
penelitian akan diuji menggunakan alat uji statistik. Alat uji statistik yang
digunakan di dalam penelitian ini adalah statistik deskriptif dan statistik
nonparametric-independent sample t-test, dalam hal ini adalah uji Kruskall-
Wallis.

18 
 
Statistik deskriptif digunakan untuk mendapatkan gambaran demografi responden
dan tingkat persebarannya, sekaligus untuk menilai tingkat persepsi responden
terhadap kebutuhan yang dinyatakan pada setiap item pertanyaan, di antaranya
adalah mean, median, dan deviasi standar. Pengujian terhadap persebaran
responden perlu dilakukan untuk memberikan judgement apakah hasil penelitian
tersebut dapat digeneralisasi ataukah tidak, karena salah satu manfaat dari
pengujian statistik melalui pendekatan kuantitatif adalah kemampuan generalisasi
terhadap hasil. Namun demikian, generalisasi hasil analisis tersebut dapat
terganggu apabila ternyata sampel yang dipilih tidak mencerminkan tingkat
persebaran yang baik.
Pada setiap item pertanyaan, persepsi kebutuhan setiap responden akan
dinilai mengenai seberapa tinggi kebutuhan responden terhadap suatu item, yang
dikelompokkan dalam variabel, dalam bentuk persentase. Semakin tinggi
persentase suatu variabel, maka semakin tinggi kebutuhan para responden
terhadap variabel tersebut. Lebih lanjut, dengan menilai tingkat persentase untuk
setiap item, maka dapat disimpulkan prioritas kebutuhan dari subjek penelitian
untuk setiap jenis pemangku kepentingan setiap kota.
Uji nonparametric- independent sample t-test yang dilakukan
menggunakan uji Kruskall-Wallis bermanfaat untuk menunjukkan apakah
perbedaan rata-rata respon pemangku kepentingan di setiap kota terhadap
variabel-variabel yang diajukan memiliki tingkat signifikansi yang tinggi, yang
akan dinilai menggunakan tingkat keyakinan 95%. Oleh karena itu, di dalam
pengujian Kruskall-Wallis, apabila tingkat sig.<0,05, maka dapat disimpulkan
bahwa memang terdapat perbedaan rata-rata dari setiap variabel yang dinilai oleh
setiap pemangku kepentingan antar wilayah penelitian. Oleh karena itu, pengujian
ini akan membantu menyimpulkan tingkat kebutuhan pemangku kepentingan
terhadap variabel tertentu untuk setiap wilayah, sehingga dapat digunakan untuk
mengambil keputusan intervensi pengetahuan dan pemahaman yang benar-benar
dibutuhkan di setiap wilayah.

19 
 
BAB IV

HASIL DAN ANALISIS

4.1 MEDAN

4.1.1 Deskriftif Statistik

1. INSPEKTORAT
NO INSTRUMENT MEAN
1 A. Sistem Audit dan Pengendalian
yang Efektif 4,17
2 B. Effisiensi Mekanisme Sanggahan
dan Banding 4,4
3 C. Degree of Accsess to Information 4,125
4 D. Kode Etik dan Ukuran Anti
Korupsi 4,361905
5 E. Partisipasi Masyarakat 4,371429

Tabel di atas menunjukkan bahwa inspektorat yang mempunyai


kewenangan terhadap pengawasan proses pengadaan barang dan/jasa mempunyai
peranan yang signifikan dalam pelaksanan e-procurement. Hal ini ditunjukan
dengan nilai rata – rata yang didapatkan yakni berkisar antara 4,1 hingga 4,4.
Peran Inspektorat dalam menunjang sistem audit dan pengendalian yang efektif,
mekanisme sanggahan dan banding yang efisien, aksesibilitas informasi yang
mencukupi, kode etik yang baik juga anti korupsi, serta partisipasi masyarakat
yang tinggi.

2. ULP
NO INSTRUMENT MEAN
1 A. Keefektifan Pengadaan 3,833333
2 B. Eksistensi Pengembangan 4,033333

20 
 
3 C. Sistem Audit dan Keefektifan
Kontrol 4,1125
4 D. Effisiensi Mekanisme Sanggahan
& Banding 3,64
5 E. Akses Informasi 4,114286
6 F. Kode Etik 4,15
7 G. Partisipasi Publik 4,3

Tabel di atas menunjukkan bahwa ULP untuk Kota Medan memiliki faktor
– faktor yang dapat menunjang keefektifan pengadaan, pengembangan yang selalu
ada, sistem audit dan kontrol yang efektif, mekanisme sanggahan dan banding
yang efisien, akses informasi yang mudah, kode etik yang baik, juga partisipasi
publik yang meningkat. Hal ini diindikasikan dengan nilai rata – rata yang
didapatkan yakni berkisar antara 3,8 hingga 4,3.

3. VENDOR
NO INSTRUMENT MEAN
1 A. Pemahaman Legal 5
2 B. Resolusi Konflik 2,9
3 C. Etika Pengadaan 3,46
4 D. Keterbukaan Informasi 4,033333
5 E. Kesempatan UMKM & Koperasi 3,375
6 F. Keterbukaan Proses Pengadaan 3,633333
7 G/I. Partisipasi 4,371429

Tabel di atas menunjukkan bahwa Vendor untuk Kota Medan memiliki


faktor – faktor yang dapat menunjang pemahaman legal yang baik, resolusi
konflik yang baik, etika pengadaan yang baik, informasi yang terbuka,
kesempatan UMKM dan koperasi semakin meningkat, proses pengadaan yang
terbuka, serta peningkatan partisipasi. Hal ini diindikasikan dengan nilai rata –
rata yang didapatkan yakni berkisar antara 3,3 hingga 5.

21 
 
4. LPSE
NO INSTRUMENT MEAN
1 A. Institusi Pengadaan Barang/Jasa 4,4875
2 B. Effisiensi & Effektifitas
Pengadaan Brg/JasaB. Effisiensi &
Effektifitas Pengadaan Brg/Jasa 4,06
3 C. Sistem Audit, Efektifitas
Pengendalian & Kode Etik 4,375
4 D. Peraturan Perundangan Formal 4,166667

Tabel di atas menunjukkan bahwa LPSE untuk Kota Medan memiliki


faktor – faktor yang dapat menunjang pengembangan institusi pengadaan,
peningkatan efisiensi dan efektifitas pengadaan barang dan atau jasa, Sistem audit
yang didukung pengendalian juga kode etik yang efektif, serta peraturan
perundangan formal yang mendukung. Hal ini diindikasikan dengan nilai rata –
rata yang didapatkan yakni berkisar antara 4,06 hingga 4,48.

5. LSM
NO INSTRUMENT MEAN
1 A. Pemahaman Mekanisme
Pengawasan e-procurement 4,28
2 B. Peraturan perundangan yang
melindungi LSM 3,866667
3 C. Strategi Pengawasan 4,2
4 D. Koordinasi LSM 4,1
5 E. Independensi LSM 4,388889
6 F. Partisipasi Masyarakat 4,445455

Tabel di atas menunjukkan bahwa LSM untuk kota Medan memiliki faktor
– faktor yang dapat menunjang pemahaman mekanisme pengawasan pengadaan

22 
 
barang dan atau jasa elektronik, peraturan perundangan yang melindungi LSM
telah memadai, strategi pengawasan yang baik, koordinasi LSM yang baik,
independensi LSM yang tinggi, juga peningkatan partisipasi masyarakat. Hal ini
diindikasikan dengan nilai rata – rata yang didapatkan yakni berkisar antara 3,39
hingga 4,33.
4.1.2 Demografi Responden

NO STAKEHOLDERS Jenis Kelamin


L P
1 INSPEKTORAT 7 3
2 ULP 8 2
3 VENDOR 9 1
4 LPSE 8 2
5 LSM 6 4
TOTAL 38 12

Tabel di atas dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin responden laki – laki
lebih dominan dibandingkan perempuan. Dengan jumlah 38 untuk laki – laki dan
12 untuk perempuan. Secara persentase maka laki – laki memiliki persentase 76
% dan perempuan 24 %.
4.1.3 Analisis dan Pembahasan

4.1.3.1 LPSE

Layanan pengadaan secara elektronik memfasilitasi ULP untuk


menyediakan informasi pengadaan barang dan/jasa kepada masyarakat dengan
memberikan fasilitas, antara lain informasi melalui porta web dan helpdesk LPSE.
Fasilitas tersebut untuk mengumumkan recana pengadaan barang dan/jasa. LPSE
melakukan pengolahan data statistik tentang pengadaan barang dan/jasa dengan
cara aplikasi SPSE dan dilakukan oleh server. Namun, beberapa masih dalam
trnasisi dari manual ke e-procurement.
LPSE melakukan perbaikan SPSE untuk meningkatkan pelayanan pengadaan
barang dan/jasa dengan cara selalu melakukan pengembangan aplikasi khususnya

23 
 
LPSE nasional/LKPP dan meningkatkan infrastruktur serta monitoring. LPSE
melakukan pelatihan penggunaan SPSE bagi ULP dengan bentuk simulasi
aplikasi secara teori dan prkatek langsung dengan peserta dan peserta 10/
kabupaten. Materi yang disampaikan dalam pelatihan tentang teknis pelaksanaan
untuk panitia/ULP,materi pemahaman mengenai cara penggunaan program
LPSE,materi perkembangan fasilitas dan filtur LPSE, menyamakan persepsi
mengenai kebijakan2 yang mendukung SPSE, dan proses menjalankan sistem e-
procurement. Pelatihan dilakukan sesuai dengan permintaan anggota ULP.
LPSE melakukan pelatihan penggunaan SPSE bagi penyedia barang
dan/jasa dengan cara workshop dalam kelas dan sosialiasi langsung. Materi yang
disampaikan dalam pelatihan tentang teknis pelaksanaan untuk penyedia,tentang
tata cara penggunaan SPSE, materi kebijakan, teori dan aplikasi LPSE. Jadwal
pelatihan sesuai dengan permintaan dan bisa saja setiap datang ke LPSE. LPSE
memberikan pemahaman tentang SPSE kepada masyarakat dengan bentuk
website yang bisa dikunjungi masyarakat, melalui media diumumkan baik online
maupun surat kabar,memberikan buku pentunjuk dan mengadakan sosialisasi.
LPSE melakukan pengendalian kualitas untuk menjamin keandalan sistem lelang
elektronik dengan cara selalu berkoordinasi dengan LPSE pusat mengenai
pembahuruan sistem dan cek layanan server dan data base.
LPSE melakukan proses evaluasi kinerja staf dengan cara laporan triwulan
mengenai nilai dari kinerja, mengevaluasi ketetapan waktu proses lelang dan
kebenaran data yang masuk dan rapat intensif dengan staf. Reward dan
punishment telah dilakukan dalam evaluasi staf dengan bentuk pemberian honor,
insentif, dan kesejahteraan. Namun, jika tidak ada reward dan punishment karena
LPSE masih ad hoc, tupoksi masih belum fokus dan aturan di pengelolaaan
keuangan pemerintah belum sama sistemnya dengan LPSE.
Dokumen lelang merupakan hal yang dirahasiakan oleh LPSE dengan cara server
pengendali tidak boleh dibuka oleh siapapun, dokumen hanya dapat didownload
oleh peserta lelang saja, yang harus terdaftar dan memiliki akses ke aplikasi.
LPSE pernah mengalami kehilangan data karena masih minimnya prasarana
infrastrukur. Namun, ada yang menyatakan tidak pernah kehilangan karena

24 
 
meningkatkan pengamanan (firewall) pada sistem, membatasi user yang
mengakses ke server, dan ada back up di data base. Mekanisme penghapusan
dokumen lelang pengadaan barang dan/jasa yang telah selesai prosesnya tidak
dilakukan dan kebijakan perlakuan dokumen lelang dengan menyimpan file
dokumen karena tetap diangap administrasi yang efektif yang dijaga
kerahasiaanya dan disimpan didalam databse sebagai arsip. LPSE pernah
mengalami kerusakan SPSE dengan bentuk kerusakan kerusakan pada server, low
memory/ HD kurang, dan kurangnya sumber daya. Proses perbaikan kerusakan
dengan cara reset ulang, menambah memory/HD dan upgrade program baru dari
pusat. Selain itu, LPSE memiliki tenaga ahli dalam penanganan kerusakan tetapi
masih terbatas atau kurang. LPSE melakukan penanggulangan untuk menjamin
keselamatan data lelang dari kerusakan sistem dengan mem-back up data dan
memperbaiki sistem.
LPSE diaudit untuk menjamin tranparansi dan akuntabilitas dengan

adanya fitur audit di aplikasi SPSE. Selain itu, bekerjasama dengan inspektorat

dalam pelaksanaan audit. Disisi lain LPSE tidak bertanggung jawab dalam proses

lelang. Hasil audit perlu ditindaklanjuti dengan melapor ke pihak yang

berwenang. LPSE memiliki SOP penggunaan SPSE sesuai aturan LKPP. Selain

itu, LPSE memiliki kode etik dengan bentuknya antara lain tidak berkepentingan

dalam kepanitian, dilarang menjadi anggota ULP, dan bertugas sesuai prosedur.

Prinsip-prinsip pengadaan barang dan/jasa publik antara lain efektif,

efesien,akuntabilitas, transparan, dapat dipertanggungjawabkan dan adil. Selain

itu prinsip yang tertuang dalam perpres 54 tahun 2010.

4.1.3.2. Vendor

Pemahaman perpers 54 tahun 2010 diperlukan untuk mengikuti prose


pengadaan barang dan/jasa untuk memudahkan dalam mengikuti proses
pengadaan barang dan/jasa. Pemahaman terhadap peratauran perpajakan

25 
 
diperlukan, antara lain karena pajak adalah kewajiban, untuk mengetahui besaran
pajak yang dibayarkan, dan bukti pajak sebagai prasyarat dalam proses tender.
Perusahaan yang gagal memenuhi kewajibannya perlu dikenakan sanksi agar
lebih profesional dan wajar dalam mengikuti penawaran dan lebih hati-hati dalam
membuat harga penawan dan waktu proses penyelesaiannya. Prosedur perusahaan
dikenakan sanksi mengacu pada kontrak yang telah disepakati. Bentuk sanksi
yang dilakukan antara lain, tegur lisan dan tertulis, di-black list, dan tidak
diperkenakan lagi mengikuti tender.
Perusahaan yang gagal memenuhi kewajiban dalam pengadaan barang
dan/jasa perlu melakukan negosiasi baru dengan alasan terjadi perubahan harga
yang drastis, bencana alam. Perusahaan dapat melakukan negosiasi apabila belum
jatuh tempo dan itikad baik dari perusahaan dengan melakukan permohonan
resmi. Perusahaan yang gagal memenuhi kewajibanya harus di-black list dengan
alasan untuk membuat efek jera dan sebagai bentuk tanggung jawab. Bentuk black
list antara lain tidak diperkenakan mengikuti tender ditempat itu selama jangka
waktu tertentu atau dipertimbangkan lagi dalam tender selanjutnya. Pencabutan
black list dilakukan untuk memberi perusahaan memperbaiki citrannya dan dapat
bertanggung jawab dengan syarat-syarat pemutihan antara lain membuktikan
perusahan tersebut sehat, memenuhi kewajiban pajaknya, dan membuat penyataan
tidak mengulangi lagi. Pemutihan otomatis untuk perusahaan yang di black list
akan menimbulkan banyak perusahaan tidak bertanggung jawab dan harus ada
mekanisme yang ketat dengan persyaratan tertentu.
E-procurement dapat mengurangi sangahan dan banding karena lebih
transparan tetapi masih ada kecurigaan dari peserta pengadaan terhadap proses e-
procurement. Pengumuman pengadaan barang dan/jasa dari suatu pemerintah
memalui media koran dan internet. Koran mudah dan cepat diakses dari pada
internet karena sudah menjadi konsumsi umum dan terjangkau. Internet sulit
diakses karena tidak semua bisa memakai internet dan belum terbiasa dengan
internet.
Pemahaman pakta integritas oleh pihak-pihak yang berkepentingan dlam
pengadaan barang dan/jasa dapat menjamin terlaksananya pengadaan yang adil

26 
 
dan merata karena sudah mengikat secara hukum dan ada aturan yang sudah
disepakati bersama. Namun, pakta intregitas hanya sebagai persyaratan saja atau
formalitas sehingga perlu surat perjanjian yang mengikat. Setiap pelanggaran
dalam pengadaan barang dan/jasa publik perlu dibuat laporan pelanggaran dengan
alasan supaya lebih transparan dan dapat diketahui masyarakat sebagai pengguna.
Pelaporan disampaikan secara tertulis kepada lembaga yang terkait dan hasilnya
dipublikasikan. Pakta intregitas dapat mengurangi konflik kepentingan diantara
penyelenggara pengadaan barang dan/jasa publik karena ada sanksi yang tegas
dalam pakta intregitas bagi pelanggarnya.
Pemerintah daerah perlu mengumumkan rencana pengadaan barang
dan/jasa publik tahunan agar pengusaha dan masyarakat mengetahui sehingga
penyedia dapat mempersiapkan segala sesuatunya untuk mengikuti pengadaan
barang dan/jasa publik. Perpres 54 tahun 2010 memungkinkan adanya potensi
pemecahan/pemaketan pengadaan barang dan/jasa karena emergensi dan
penunjukkan langsung lebih tinggi. Hal itu baik karena memungkinkan
pengusahan kecil bisa bersaing tetapi menjadi tidak baik karena aka terjadi
penyimpangan dan kualitas barang dan/jasa tidak baik. Perpres 54 tahun 2010
tidak memungkinkan adanya potensi pemecahan/pemaketan karena didalamnya
sudah diatur dengan jelas mengenai mekanisme pengadaannya.
Pagu anggaran yang disampaikan sesuai perhitungan harga pasar dan bisa
diterima secara rasional. Evaluasi terhadap harga pasar perlu dilakukan untuk
penyesuaian harga pasar yang berubah dan dilakukan sebelum pelaksanaan
penawaran tender dan bisa setiap tahun. Panitia yang melakukan evaluasi dengan
melibatkan vendor melalui asosiasinya. Perpres 54 tahun 2010 tidak memberikan
akses kepada vendor kecil dalam pengadaan barang dan/jasa karena keterbatasan
SDM dan persyaratannya memudahkan vendor yang besar. Informasi tentang
alasan gugurnya vendor yang tidak terpilih dalam proses pengumuman penentuan
pemenang pengadaan barang dan/jasa karena lebih jelas permasalahan bisa kalah,
mengetahui kekalahan atau kekurangangnya dan agar tidak timbul kecurigaan.
Kecakapan khusus dalam mengikuti procurement karena mengetahui
sistem komputer dan internet, perlu pengetahuan IT, dan untuk memahami

27 
 
penggunaan e-procurement. Pelatihan yang diperlukan adalah pelatihan teknologi
informasi. Surat dari vendor tentang kemampuan melaksanakan pekerjaan untuk
mengikuti proses pengadaan barang dan/jasa publik yang ditawarkan dengan
alasan untuk mengetahui keseriusan dan kemampuan vendor. Contoh surat
pernyataan yang diperlukan antara lain surat pernyataan kebenaran dokumen,
kesanggupan menyelesaikan pekerjaan, dan minat mengikuti perlelangan.
Peran asosiasi pengusaha dalam pengadaan barang dan/jasa antara lain
sumber informasi dan komunikasi, membina anggotanya dan berperan juga
sebagai pengawas terhadap anggotanya. Asosiasi pengusaha memberi kemudahan
bagi pengusaha baru untuk masuk dunia bisnis dan masuk dalam asosiasi
pengusaha agar minimbulkan persaingan yang sehat. Advokasi asosiasi untuk
menghadapi masalah-masalah yang dihadapi vendor terutama berkaitan dengan
pengadaan barang dan/jasa publik perlu dilakukan untuk melindungi anggotanya.
Bentuk advokasi dengan membantu anggota dalam melakukan sanggahan.
4.1.3.3 Inspektorat

Peraturan-peraturan tentang sistem pengendalian internal antara lain


permendagri no.13 dan PP no 60 tahun 2008 tentang sistem pengendalian internal
pemerintah. Ada hambatan dalam iplementasinya sehingga perlu dibuat petunjuk
teknis secara detail dan perlu dibuat peraturan gubernur (pergub) tentang sistem
pengendalian internal pemerintah. Komitmen pemimpin diperlukan untuk auditor
dapat melaksanakan tugas sesuai dengan prosedur dan merasa terlindungi dalam
mengambil suatu keputusan. Mekanisme audit internal yang memadai tidak dapat
mencegah tindakan korupsi dalam pengawasan pengadaan barang dan/jasa karena
audit internal bersifat pembinaan sehingga diperlukan audit sistem dan perlu audit
eksternal.
Sistem reward dan punishment yang jelas dapat meningkatkan kinerja
pengawasan dalam pengadaan barang dan jasa, bentuk reward berupa insentif dan
kenaikan pangkat yang memenuhi persyaratan. Selain itu, sanksi yang tegas sesuai
PP 30. Pengawasan internal perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya korupsi
antara lain minimal 2 kali setahun selain pengawasan langsung, atau 6-8 kali agar

28 
 
pembinaan dapat dilakukan. Setiap temuan audit perlu ditindaklanjuti sesuai hasil
temuan dan harus ada standar yang digunakan sehingga temuan berkualitas.
Mekanisme pengajuan dan sanggahan dan banding dalam pengadaan
barang dan/jasa telah dijelaskan dalam peraturan dan panitia pengadaan
bertanggung jawab menjawab setiap sanggahan yang disampaikan. Lemabaga-
lembaga yang dapat digunakan masyarakat untuk melaporkan berbagai indikasi
korupsi dalam pengadaan barang dan/jasa publik antara lain KPK, BPK, ICW,
inpektorat, kejaksaan dan Polri. Mekanisme pemutihan bagi perusahaan yang di
black list tidak perlu karena niat perusahaan sudah tidak baik tetapi jika perlu
dengan persyaratan yang ketat dengan membuat surat pernyataan tidak
mengulangi kesalahan dna mengganti perusahan. Kewenangan dalam proses
pemutihan adalah ULP dan lama black list untuk pemutihan secara otomatis adlah
5 tahun.
Lembaga-lembaga masyarakat diperlukan untuk memantau pengadaan
barang dan/jasa dan bentuk lembaga yang diperlukan antara lain LSM dan DPRD.
Cara yang diperlukan untuk mengoptimalkan lembaga-lembaga masyarakat guna
memantau pengadan barang dan/jasa publik yaitu merevitalisasi yang sudah ada
dan mengoptimalkan fungsi pengawasan masyarakat. Pengawasan diperlukan
pada saat perekrutan ULP agar tidak terjadinya keberpihakan pada kepentingan
tertentu dengan penyeleksian ULP.
Verifikasi perusahaan yang tidak memenuhi syarat yang diajukan ULP
perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya proses rekayasa data dengan
melibatkan panitia pengadaan. Standarisasi prosedur sanggahan dan banding
diperlukan untuk meningkatkan efesiensi dan efektifitas sanggahan dan banding
yang harus ditanggapi dengan cara menyampaikan kepada pihak yang
berkepentingan dan sesuai perpres 54 tahun 2010. Bentuk standarisasi berupa
peraturan gurbenur, peraturan daerah dan/ peraturan bupati/walikota. Regulasi
diperlukan untuk menjamin terciptanya akuntabilitas dna transparansi dalam
pengadaan barang dan/jasa karena dapat mendukung pertanggungjawaban dan
menjamin kepastian hukum. E-procurement mendukung penegakan kode etik
dalam pengadaan barang dan/jasa dengan bentuk dukungan mengunakan

29 
 
teknologi dan transakasi elektronik. Peraturan yang perlu diketahui terkait dengan
pengadaan barang dan/jasa publik yaitu perpres 54 tahun 2010, SK kepala LKPP
no 123 tentang ULP,LPSE dan attending. Pemahaman mekanisme pengadaan
barang dan/ jasa publik sesuai perpres 54 tahun 2010.
4.1.3.4 LSM

Pelatihan mengenai e-procurement lembaga pengawas (LSM) adalah


sistem e-procurement secara keseluruhan, tahapan e-procurement dari awal
sampai akhir, dasar payung hukum yang melindungi fungsi pengawasan,
mekanisme pengawasan yang diatur dalam undang-undang. Lembaga pengawasan
yang bersedia mengikuti pelatihan pengawasan e-procurement supaya mempunyai
dasar dan kemapuan/kapasitas dalam pengawasan e-procurement. Lembaga
pengawas menggunakan prosedur dalam pengawasansesuai dengan perundangan-
perundangan. Selain itu, lembaga pengawasan melakukan fungsi pada tahapan
pengumuman pemenang, sanggahan peserta lelang, penyerahan barang/atau jasa
publik.
Setiap melakukan pengawasan e-procurement,lembaga pengawas
mempunyai rencana yang telah direncanakan tetapi belum efektif dan rencana
tersebut belum terdokumentasi dengan baik. Selain itu ada lembaga pengawas
mempunyai rencana dalam melakukan pengawasan e-procurement. Komunikasi
yang efektif berjalan dengan beberapa pihak berikut :Obyek yang diawasi 10%
efektif dan 50% tidak efektif, Antar lembaga pengawas 10% efektif dan 50% tidak
efektif, Pemerintah 30% efektif 20% tidak efektif , dan Pihak berwajib 10%
efektif dan 40% tidak efektif belum pernah melaporkanKomunikasi antara
personel yang diterjunkan di lapangan dengan personel yang ada di lembaga
pengawasan belum efektif karena proses masih tertutup dan tidak tepat sasaran
dan perlu komunikasi antara pengawas dengan perusahaan. Penanggulangan
komunikasi yang belum efektif dengan selalu mengevaluasi kinerja personel yang
diterjunkan.
Dokumen yang menyajikan bahwa lembaga pengawas independen
terhadap obyek yang diawasi belum terdokumentasi karena belum direncanakan
dengan matang, legalitasnya lemah dan belum ada aturan yang mengikat. Pihak

30 
 
yang mengevaluasi lembaga pengawas adalahinspektorat dan BPKP tetapi belum
efektif. Selain itu adaauditor dan masyarakat cenderung hampir efektif. Cara yang
perlu dialakukan untuk mengoptimalkan lembaga masyarakat guna memantau
proses pengadaan barang dan/jasa. Dengan revitalisasi yang sudah ada karna kalu
membentuk yang baru, biaya akan banyak yang terpakai, Mengoptimalkan fungsi
pengawasan dan lainnya. pemahaman oleh lembaga-lembaga masyarakat tentang
proses pengadaan barang dan/ jasa melaui elektronik ini, peningkatan kapasitas
kepada lembaga-lembaga pengawasan terutama lembaga-lembaga
masyarakatanya danjuga lembaga pengawas lainnya, penguatan jaringan antar
lembaga yang melakukan pengawasan.mengoptimalakan kekuatan sipil melalui
peningkatan kapasitas dan membentuk lembaga pengawas yang terdiri dari
berbagai elemen masyarakat yang ada
4.1.3.5. ULP

Perpres no 54 tahun 2010 sudah memadai untuk mencakup pengadaan


barang/jasa publik. Petugas ULP perlu mengetahui prinsip-prinsip pengadaan
barang dan/jasa publik, perlu memahami peraturan yang terkait dengan pengadaan
barang dan/jasa, dan memahami mekanisme pengadaan barang dan/jasa publik.
Selain itu, perlu mengikuti aturan-aturan yang terkait pengadaan barang dan/jasa
publik.
ULP tidak mengetahui peraturan pengadaan barang dan/jasa publik selain
no. 54 tahun 2010 karena selama ini perpres 54 tahun 2010 yang digunakan dalam
pengadaan barang dan/jasa publik. Selanjutnya, ULP tidak memahami standar
peraturan pengadaan barang/atau jasa publik internasional. Peraturan perundangan
pengadaan barang dan/jasa publik tidak perlu mengakomodasi prinsip-prinsip
standar pengadaan barang dan/jasa secara internasional. Namun, dengan alasan
persaingan global dan meningkatkan kualitas hasil, panitia dapat lebih bijak dalm
melakukkan tugasnya apabila adanya penadaan berskala internasional,
kemungkinan di indonesia tidak tersedianya penyedia barng/jasa dan di dapat
hasil yang maksimal dalam lelang.
ULP mengetahui pakta integritas dan pernah menandatangani pakta
integritas. Adapun, Isi pakta integritas yang pernah ditandatangani responden

31 
 
antara lain komitmen melaksanakan pengadaan secara adil baik dan benar, tidak
akan melakukan KKN, akan melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila
mengetahui ada indikasi KKN dalam proses pengadaan. Responden mengetahui
konsekuensi ketika melanggar pakta integritas adalah dikenakan sanksi
moral,pidana, perdata,administrasi dan ganti rugi. Tidak ada evaluasi dari
pemerintah dan bentuk penyipangan yang terjadi adalah masih adanya KKN.
Kesesuaian kompetensi dengan tanggung jawab yang di emban ULP
memperlihatkan bahwa telah sesuai dengan tanggung jawabnya karena telah
memahami tupoksi dan telah bekerja sesuai TUPOKSI masing-masing. ULP telah
memiliki sertifikat pengadaan barang dan/ jasa yang berbeda-berbeda
tingkatannya, antara lain L4, L2 dan sertifikasi dasar. SDM ULP yang sudah
bersertifikasi mendukung efesiensi pengadaan barang dan/jasa masih rendah.
Pembinaan karir dalam rangka efesiensi dan efektifitas ULP tidak berhubungan
serta tidak sesuai karena keberadan ULP terhadap perubahan STOK tidak
berpengaruh. Terkait pengadaan barang dan/jasa perlu adanya program
pengembangan kapasitas staf tetapi program pengembangan kapasitas staf saat ini
belum memadai.
Dalam menentukan sistem swakelola pengadaan barang dan/jasa, ULP
tidak memiliki kewenangan. Indikator lama waktu tidak menjadi ukuran efesiensi
pengadaan barang dan/jasa. E-procurement mendorong efesiensi dan keterlibatan
pihak-pihak yang berkepentingan berpengaruh terhadap efesiensi pengadaan
barang dan/jasa. ULP pernah mendapatkan sanggahan tetapi Sanggahan yang
diterima responden rata-rata 1 kali sanggahan dan isi sanggahan berupa dituduh
tidak melakukkan evaluasi dengan benar, dan tidak melakukkan klarifikasi
terhadap metode pelaksanaan. Panitia menjawab sanggahan sesuai peraturan yang
berlaku dan data dokumen pengadaan yang ada. selain itu, responden tidak pernah
mendapatkan banding.

32 
 
4.2 BANDUNG
4.2.1 Demografi Responden
Penggambaran demografi responden merupakan hal penting dalam riset.
Gambaran latar belakang responden diharapkan dapat menunjukkan bahwa
responden dalam riset ini telah mewakili fenomena populasi dari kondisi
sesungguhnya yang diharapkan terwakili dalam riset ini. Jumlah responden dalam
need assestment ini berjumlah 50 responden, terbagi atas lima stakeholder yaitu:
Inspektorat, Vendor, LPSE, ULP dan LSM (setiap stakeholder diwakili oleh 10
responden). Informasi yang lebih lengkap mengenai karakteristik responden
dalam riset ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Responden:
- Inspektorat 10
- Vendor 10 20%
- LPSE 10 20%
- ULP 10 20%
- LSM 10 20%
20%
Jumlah Responden 50 100%
Bidang Tugas
- Inspektorat
a. Inspektorat 1 10%
b. Auditor 1 10%
c. Evaluasi dan Pelaporan 1 10%
d. Pengawasan 2 20%
e. Pelaksana 2 20%
f. Administrasi 1 10%
g. Perencanaan 1 10%
h. Lain-lain 1 10%
Jumlah 10 100%
- Vendor
a. CV Prima Jaya Abadi 1 10%
b. CV Suma Utama 1 10%
c. CV Surya Kencana 1 10%
d. PT Nusantara 1 10%
e. CV Kengangan 1 10%
f. CV Citra Agung 1 10%
g. CV Dewa Junti 1 10%
h. CV Waru Satangkal 1 10%
i. PT Lebak Krambi 1 10%
j. Pengusaha 1 10%
Jumlah 10 100%
- LPSE
a. Administrator 2 20%
b. LPSE-Helpdesk 4 40%
c. Verifikator 2 20%

33 
 
d. Kepala Balai LPSE 1 10%
e. Lain-lain 1 10%
Jumlah 10 100%
- ULP
a. Panitia Kota 10 100%
Jumlah 10 100%
- LSM
a. Lakpesem Garut 1 10%
b. Anggaran 1 10%
c. Sekretaris Jenderal 1 10%
d. Divisi Advokasi 1 10%
e. Pelayanan Publik 1 10%
f. Peneliti 2 20%
g. Staf 1 10%
h. Divisi Community Development 1 10%
i. Lain-lain 1 10%
Jumlah 10 100%
Demografi (total responden)
Jenis Kelamin
- Laki-laki 41 82%
- Perempuan 9 18%
Jumlah 50 100%

Dari gambaran demografi responden dapat dikatakan bahwa responden


dari setiap stakeholder terlihat beragam dari bidang tugas masing-masing, hal ini
sesuai dengan harapan peneliti bahwa ada keragaman responden sehingga dapat
mencirikan kondisi masing-masing stakeholder.
4.2.2 Kualitas Pengukuran
Suatu riset memiliki hasil yang dapat dipertanggungjawaban jika dalam
proses pengumpulan data dilakukan dengan benar serta instrumen yang digunakan
dalam riset benar-benar dapat mengukur apa yang seharusnya diukur.
Pengembangan instrumen yang digunakan dalam riset ini didasarkan pada 4 pilar
e-procurement dari OECD (lihat Bab III).
Validitas dan reliabilitas instrumen merupakan poin penting dalam suatu
riset. Instruemen yang valid dan reliable memberikan jaminan bahwa setiap
variabel yang diujikan telah meggunakan pengukuran yang tepat. Validitas
menunjukkan sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam
melakukan fungsi ukurnya atau dengan kata lain validitas menunjukkan seberapa
nyata suatu pengujian mengukur apa yang seharusnya diukur, sedangkan
reliabilitas merupakan suatu pengukur yang menunjukkan stabilitas dan

34 
 
konsistensi pengukurannya. Suatu pengukur dikatakan reliable jika dapat
dipercaya yaitu mengukur subjek yang sama diperoleh hasil yang tidak berbeda.
Berikut ini akan dipaparkan hasil pengujian setiap instrumen (alat ukur)
dari setiap stakeholder yang diteliti:
Nama Instrumen dari setiap Stakeholder Reliabilitas Validitas
Cronbach Component
Alpha Analysis
Inspektorat:
- Sistem Audit dan Pengendalian yang Efektif 0.934 0.966
- Effisiensi Mekanisme Sanggahan dan Banding 0.806 0.898
- Degree of Accsess to Information 0.918 0.958
- Kode Etik dan Ukuran Anti Korupsi 0.950 0.975
- Partisipasi Masyarakat 0.815 0.903
Vendor:
- Pemahaman Legal 0.743 -0.701
- Resolusi Konflik 0.883 0.873
- Etika Pengadaan 0.742 -0.360
- Keterbukaan Informasi 0.819 0.823
- Kesempatan UMKM & Koperasi 0.920 0.498
- Keterbukaan Proses Pengadaan 0.881 0.868
- Partisipasi 0.445 -0.144
Lanjutan tabel 2
ULP:
- Keefektifan Pengadaan 0.833 0.743
- Eksistensi Pengembangan 0.928 0.890
- Sistem Audit dan Keefektifan Kontrol 0.852 0.524
- Effisiensi Mekanisme Sanggahan & Banding 0.972 0.436
- Akses Informasi 0.905 0.296
- Kode Etik dan Ukuran anti korupsi 0.978 0.369
- Partisipasi Publik 0.839 0.831
LPSE:
- Institusi Pengadaan Barang/Jasa 0.832 -0.261
- Effisiensi & Effektifitas Pengadaan Brg/Jasa 0.814 -0.415
- Sistem Audit, Efektifitas Pengendalian & Kode Etik 0.924 0.961
- Peraturan Perundangan Formal 0.972 0.983
LSM:
- Pemahaman Mekanisme Pengawasan e-procurement 0.990 0.995
- Peraturan perundangan yang melindungi LSM 0.950 0.974
- Strategi Pengawasan 0.976 0.988
- Koordinasi LSM 0.978 0.989
- Independensi LSM 0.967 0.983
- Partisipasi Masyarakat 0.983 0.991
Sumber: Data dianalisis

Hasil pengujian item instrumen dari semua instrumen yang digunakan


untuk semua stakehoder menunjukkan bahwa semua instrumen adalah valid dan
reliable karena sebagian besar angka pengujian telah berada di atas nilai 0,60
kecuali instrumen Institusi Pengadaan Barang/Jasa dan Effisiensi &

35 
 
Effektifitas Pengadaan Brg/Jasa (LPSE) dan Pemahaman Legal, Etika
Pengadaan, dan Partisipasi (Vendor) yang memiliki angka negatif, namun
secara keseluruhan instrumen-instrumen yg digunakan untuk mengukur need
assesment LPSE dan Vendor adalah akurat sehingga tetap dapat digunakan dalam
proses analisis data berikutnya, namun untuk riset mendatang sebaiknya
instrumen ini diperbaiki sebelum digunakan.
4.2.3 Analisis Data dan Pembahasan
Analisis data akan dilakukan untuk masing-masing stakeholder, tujuannya
adalah untuk mendapatkan masukan yang lebih akurat berkaitan dengan
hambatan, kekuatan serta kebutuhan dari masing-masing stakeholder.

4.2.3.1. Inspektorat
Analisis data untuk inspektorat lebih dititkberatkan pada kesiapan
inspektorat dalam mengantisipasi pemeriksaan proses pengadaan barang dan atau
jasa setelah penerapan pengadaan barang dan atau jasa berbasis elektronik. Hasil
analisis akan memberi jawaban apakah Inspektorat telah memahami Perpres 54
tahun 2010 berkaitan dengan proses pemeriksaan pengadaan barang dan atau jasa
berbasis elektronik atau tidak Analisis data akan didasarkan pada instrumen-
instrumen yang digunakan dalam proses pengumpulan data yaitu:
- Sistem Audit dan Pengendalian yang Efektif (SAPE)
- Effisiensi Mekanisme Sanggahan dan Banding (EMSB)
- Degree of Accsess to Information (DAI)
- Kode Etik dan Ukuran Anti Korupsi (KEUAK)
- Partisipasi Masyarakat (PM).

Berikut ini adalah hasil statistik diskriptif yang menggambarkan kondisi


dan kesiapan Inspektorat dalam proses pemeriksaan pengadaan barang dan atau
jasa berbasis elektronik.
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
SAPE 10 1.5500 4.4000 3.7600 .81268
EMSB 10 1.6700 4.5000 3.5350 .75204
DAI 10 1.6700 4.4200 3.8100 .77343
KEUAK 10 1.4300 4.4300 3.7870 .85814
PM 10 1.8600 4.2900 3.6000 .69898
Valid N 10
(listwise)

36 
 
4.2.3.2. LPSE
Analisis data untuk Lembaga Pengadaan barang dan atau jasa Secara
Elektronik (LPSE) lebih dititkberatkan pada kesiapan lembaga ini siap ataukah
tidak dalam pengimplementasi pengadaan barang dan atau jasa berbasis
elektronik. Hasil analisis akan memberi jawaban apakah LPSE telah memahami
Perpres 54 tahun 2010 berkaitan dengan proses pengadaan barang dan atau jasa
berbasis elektronik atau tidak. Analisis data akan didasarkan pada instrumen-
instrumen yang digunakan dalam proses pengumpulan data yaitu:
- Institusi Pengadaan Barang dan atau Jasa (IPBJ)
- Effisiensi & Effektifitas Pengadaan Barang dan atauJasa (EEPBJ)
- Sistem Audit, Efektifitas Pengendalian & Kode Etik (SAEPKE)
- Peraturan Perundangan Formal (PPF).

Berikut ini adalah hasil statistik diskriptif yang menggambarkan kondisi


dan kesiapan LPSE dalam proses pengadaan barang dan atau jasa berbasis
elektronik.

Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
IPBJ 10 3.6300 5.0000 4.679000E0 .41664
EEPBJ 10 1.8000 4.6000 3.740000E0 .75454
SAEPKE 10 1.0000 5.0000 4.325000E0 1.20214
PPF 10 1.0000 5.0000 4.033000E0 1.13802
Valid N (listwise) 10

4.2.3.3. ULP
Analisis data akan didasarkan pada instrumen-instrumen yang digunakan
dalam proses pengumpulan data yaitu:
- Keefektifan Pengadaan (KP)
- Eksistensi Pengembangan (EP)
- Sistem Audit dan Keefektifan Kontrol (SAKK)
- Effisiensi Mekanisme Sanggahan & Banding (EMSB)
- Akses Informasi (AI)
- Kode Etik dan Ukuran anti korupsi (KEUAK)
- Partisipasi Publik (PP)

37 
 
Berikut ini adalah hasil statistik diskriptif yang menggambarkan kondisi
dan kesiapan ULP dalam proses pengadaan barang dan atau jasa berbasis
elektronik.

Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
KP 10 4.00 4.33 4.2640 0.13914
EP 10 4.00 4.33 4.2310 0.15941
SAKK 10 4.00 4.50 4.3280 0.13563
EMSB 10 3.90 4.10 4.0700 0.06749

AI 10 4.29 4.71 4.6400 0.13606


KEUAK 10 4.50 4.75 4.7250 0.07906
PP 10 3.67 3.83 3.7980 0.06746
Valid N (listwise) 10

4.2.3.4. Vendor
Analisis data akan didasarkan pada instrumen-instrumen yang digunakan dalam
proses pengumpulan data yaitu:
- Pemahaman Legal (PL)
- Resolusi Konflik (RK)
- Etika Pengadaan (EP)
- Keterbukaan Informasi (KI)
- Kesempatan UMKM & Koperasi (KUK)
- Keterbukaan Proses Pengadaan (KPP)
- Partisipasi (P)

Berikut ini adalah hasil statistik diskriptif yang menggambarkan kondisi dan
kesiapan vendor dalam proses pengadaan barang dan atau jasa berbasis
elektronik.

Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
PL 10 4.00 5.00 4.35 0.47434
RK 10 2.00 4.00 3.25 0.85797
EP 10 3.20 4.60 3.86 0.38930
KI 10 3.33 4.00 3.76 0.31764
KUK 10 2.75 4.75 3.40 0.60323
KPP 10 3.33 4.33 3.86 0.32250
P 10 2.14 5.00 3.84 0.78719
Valid N (listwise) 10

38 
 
4.2.3.5. LSM
Analisis data akan didasarkan pada instrumen-instrumen yang digunakan dalam
proses pengumpulan data yaitu:
- Pemahaman Mekanisme Pengawasan e-procurement (PMP)
- Peraturan perundangan yang melindungi LSM (PPML)
- Strategi Pengawasan (SP)
- Koordinasi LSM (KL)
- Independensi LSM (IL)
- Partisipasi Masyarakat (PM)

Berikut ini adalah hasil statistik diskriptif yang menggambarkan kondisi dan
kesiapan LSM dalam proses pengawasan pengadaan barang dan atau jasa berbasis
elektronik.

Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
PMP 10 1.10 5.00 3.9300 1.07295
PPML 10 1.00 4.33 3.2990 0.90482
SP 10 1.00 5.00 4.0140 1.12581
KL 10 1.00 5.00 4.1170 1.17614
IL 10 1.00 5.00 4.0230 1.12962
PM 10 1.00 5.00 4.0000 1.14758
Valid N (listwise) 10

4.3 YOGYAKARTA

4.3.1 Demografi Responden

Demografi responden merupakan hal penting dalam penelitian ini. Sebagai


penelitian yang berbentuk need assessment, variabilitas responden akan
berpengaruh signifikan dalam hasil yang akan muncul sebagai gambaran kondisi
populasi. Untuk itu, penelitian ini membatasi responden dengan jumlah 50
responden yang terbagi ke dalam lima sektor. Sektor yang diwakili oleh 10
responden untuk masing-masingnya ini adalah Inspektorat, Lembaga Pengadaan
Secara Elektronik (LPSE), Unit Layanan Pengadaan (ULP), Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), dan Vendor. Informasi yang lebih lengkap mengenai
karakteristik responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:

39 
 
Responden: Jumlah Persentase
- Inspektorat 10 20%
- Vendor 10 20%
- LPSE 10 20%
- ULP 10 20%
- LSM 10 20%
Jumlah Responden 50 100%
Bidang Tugas
- Inspektorat
- Auditor 6 60%
- Keuangan dan Aset Daerah 1 10%
- Bidang Pembangunan Fisik 1 10%
- Tidak Menjawab 2 20%
Jumlah 10 100%
- Vendor
- Marketing 4 40%
- Pimpinan 1 10%
- Kepala Cabang 3 30%
- Sales Representative 2 20%
Jumlah 10
- LPSE
- Tenaga Teknis 1 10%
- LPSE 5 50%
- Verikator 1 10%
- Admin 3 30%

Jumlah 10
- ULP
- ULP 5 50%
- Admin ULP 1 10%
- Sub Bag Administrsi 1 10%
- Staf Bagian Pengendalian Pembangunan 1 10%
- Tidak Menjawab 2 20%
Jumlah 10 100%
- LSM
- Perencanaan dan Pengeloaan Program 1 10%
- Kepala Kantor 1 10%
- Staf Program 1 10%
- Advokasi Anggaran Sensifitas 1 20%
- Pengorganisasian 1 10%
- Staf Administrasi 4 40%
- Tidak Menjawab 1 10%

Jumlah 10 100%
Demografi (total responden)
Jenis Kelamin
- Laki-laki 25 50%
- Perempuan 25 50%
Jumlah 50 100%

40 
 
Gambaran variabilitas responden untuk masing-masing stakeholder
diharapkan mampu menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya.
Variabilitas ini terlihat dari bidang tugas dan jenis kelamin untuk masing-masing
stakeholder.

4.3.2 Kualitas Pengukuran

Pertanggungjawaban riset ini didasarkan kepada proses pengumpulan data


dan penggunaan instrumen yang benar dalam mengukur variabel-variabel yang
ada. Penelitian ini didasarkan kepada empat pilar e-procurement yang sebelumnya
telah dikembangkan oleh OECD (lihat Bab III). Selanjutnya, untuk menjamin
validitas dan reliabilitas pengukuran setiap variabel dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan analisis cronbach’s alpha untuk menguji stabilitas dan konsistensi
pengukuran serta factor analysis untuk melihat ketepatan dan kecermatan alat
ukur yang digunakan.
Berikut ini dipaparkan hasil pengujian setiap instrumen (alat ukur) dari
setiap stakeholder yang diteliti:

Reliabilitas Validitas
Nama Instrumen untuk setiap Stakeholder Cronbach ComponenT
Alpha Analysis
Inspektorat:
- Sistem Audit dan Pengendalian yang Efektif 0,726 0,818
- Effisiensi Mekanisme Sanggahan dan Banding 0,695 0,928
- Degree of Accsess to Information 0,848 0,816
- Kode Etik dan Ukuran Anti Korupsi 0,831 0,811
- Partisipasi Masyarakat 0,917 0,639
Vendor:
- Pemahaman Legal - 0,926
- Resolusi Konflik 0,975 0,924
- Etika Pengadaan 0,720 0,940
- Keterbukaan Informasi 0,625 0,862
- Kesempatan UMKM & Koperasi -0,529 0,838
- Keterbukaan Proses Pengadaan -0,607 0,975
- Partisipasi 0,967 0,548
ULP:
- Keefektifan Pengadaan 0,837 0,729
- Eksistensi Pengembangan 0,913 0,850
- Sistem Audit dan Keefektifan Kontrol 0,987 0,896
- Effisiensi Mekanisme Sanggahan & Banding 0,968 0,897
- Akses Informasi 0,944 0,924
- Kode Etik dan Ukuran anti korupsi 0,952 0,994

41 
 
- Partisipasi Publik 0,949 0,958
LPSE:
- Institusi Pengadaan Barang/Jasa 0,338 0,652
- Effisiensi & Effektifitas Pengadaan Brg/Jasa 0,664 0,702
- Sistem Audit, Efektifitas Pengendalian & Kode Etik
- Peraturan Perundangan Formal 0,648 0,940
0,893 0,782
LSM:
- Pemahaman Mekanisme Pengawasan e-procurement
- Peraturan perundangan yang melindungi LSM 0,805 0,871
- Strategi Pengawasan 0,782 0,974
- Koordinasi LSM 0,664 0,944
- Independensi LSM 0,893 0,963
- Partisipasi Masyarakat 0,828 0,840
0,867 0,830

Hasil pengujian atas instrumen-instrumen untuk masing-masing


stakeholder menunjukkan bahwa semua instrumen adalah valid dan reliable
karena sebagian besar angka pengujian telah berada di atas nilai 0,60 kecuali
instrument kesempatan UMKM & koperasi dan keterbukaan proses pengadaan
untuk instrumen vendor serta institusi pengadaan barang dan jasa dalam
mengukur LPSE. Dengan hasil ini, penelitian lanjut mengenai e-procurement
harus melakukan penyesuaian terhadap instrumen-instrumen ini terlebih dahulu.
Namun, dengan nilai rata-rata yang bagus untuk semua instrumen, penelitian ini
tetap dapat diandalkan dan digunakan hasilnya.

4.3.3 Analisis Data dan Pembahasan

Analisis data penelitian ini dilakukan untuk masing-masing stakeholder


dengan tujuan untuk mendapatkan masukan yang lebih akurat berkaitan dengan
hambatan, kekuatan, serta kebutuhan dari masing-masing stakeholder.
4.3.3.1 Inspektorat
Analisis data untuk Inspektorat lebih dititkberatkan pada kesiapan
Inspektorat dalam mengantisipasi pemeriksaan proses pengadaan barang dan atau
jasa setelah penerapan pengadaan barang dan atau jasa berbasis elektronik. Hasil
analisis akan memberi jawaban apakah Inspektorat telah memahami Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 berkaitan dengan proses pemeriksaan
pengadaan barang dan atau jasa berbasis elektronik. Pemahaman ini akan

42 
 
memberikan gambaran untuk pengembangan pengadaan barang dan jasa berbasis
elektronik ke depan. Instrumen-instrumen yang digunakan dalam proses
pengumpulan data yaitu:
- Sistem Audit dan Pengendalian yang Efektif (SAPE)
- Effisiensi Mekanisme Sanggahan dan Banding (EMSB)
- Degree of Accsess to Information (DAI)
- Kode Etik dan Ukuran Anti Korupsi (KEUAK)
- Partisipasi Masyarakat (PM).
Instrumen-instrumen di atas digambarkan secara lebih spesifik dalam tabel
deskriptif di bawah, instrumen ini ditujukan untuk menggambarkan kondisi dan
kesiapan Inspektorat dalam proses pemeriksaan pengadaan barang dan atau jasa
berbasis elektronik.

Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std.
Deviation
SAPE 10 3,5000 4,3500 3,894444 0,2822282
EMSB 10 3,0000 4,3333 3,444433 0,4409475
DAI 10 3,3333 4,5833 3,814811 0,4098960
KEUAK 10 3,2857 4,8571 4,031733 0,5139764
PM 10 2,8571 5,0000 4,000000 0,7071144
Valid N (listwise) 10

Tabel di atas menunjukkan bahwa SAPE memegang peranan penting


dalam menunjang pekerjaan Inspektorat. Dengan nilai rata-rata maksimal 5,
SAPE yang berusaha melihat pemahaman dan pendapat responden Inspektorat
terhadap signifikansi audit dan peran e-procurement terhadap kerja mereka
menunjukkan nilai yang cukup tinggi. Ini berarti, e-procurement dapat menunjang
pekerjaan inspketorat menjadi sangat efektif. Instrumen-instrumen lain juga
menunjukkan hasil yang tidakjauh berbeda. Nilai rata-rata 4 menunjukkan bahwa
Inspektorat juga setuju dengan peran e-procurement dalam efisiensi sanggahan
dan banding, informasi yang lebih lengkap dan andal, dukungan terhadap
penegakan kode etik, serta memungkinkan masyarkat untuk berpartisipasi lebih
dalam mengawasi pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah.

43 
 
Pemaparan di atas diperkuat dengan hasil wawancara dengan 10
responden (100%) yang menyatakan bahwa sudah terdapat aturan-aturan yang
berkaitan pengendalian internal, namun masih terdapat hambatan dalam
implementasinya. Hal ini dapat dilihat dari hasil temuan berikut ini:

Peraturan : Semua (100%) responden menjawab bahwa sudah terdapat


berkaitan aturan yang berkaitan dengan pengendalian internal.
pengendalian Peratuean-peraturan yang dikemukakan responden adalah:
internal PP 60 tahun 2008, aturan internal, surat edaran kode etik
Inspektorat, dan PerWal.
Hambatan : - Masih dalam tahap pemetaan.
- Masih dipahami belum diimplementasikan.
dalam
- Masih sosialisasi/tahap awal.
penerapan
Jalan Keluar - Pemberian pemahaman tentang aturan yang berlaku.
Perlu dibuat - Juknis pelaksanaan tugas.
aturan
kelengkapan
Saran - Sosialisasi yang lebih diratakan di setiap jenjang di pemkot
mengenai tugas dan fungsi.
- Harus ada contoh pelaksanaan.
- Prosedur pemeriksaan spesifik yang lebih detail.
- Segera diimplemetasikan.
Sumber: Data diolah dari hasil wawancara

Pemahaman akan peraturan ini tidak menyeluruh di semua responden


dengan masih terdapatnya beberapa pertanyaan yang tidak bisa dijawab serta
tingkat variablitas jawaban terutama terkait dengan ketepatan dalam menjawan
nomor Peraturan Pemerintah yang berlaku.
Komitmen terhadap kinerja di institusi Inspektorat sendiri juga
mendukung pemahaman akan peraturan-peraturan di atas. Lebih lanjut, sebanyak
80% responden menyatakan kebutuhan terhadap sistem reward dan punishment
berupa apresiasi kerja, kesempatan melanjutkan pendidikan, dan beberapa sanksi

44 
 
yang harus diberikan diharapkan mampu mendukung komitmen di atas.
Sementara, 20% sisanya menyatakan sistem reward dan punishment tidak
dibutuhkan karena kinerja tergantung kepada komitmen dan integritas itu sendiri.
Hal ini didukung oleh pendapat responden akan telah diterapkannya sistem
pengawasan yang cukup sering dilakukan. Namun, fakta yang ditemukan
menunjukkan bahwa penerapannya rata-rata hanya dilakukan satu kali dalam
setahun.
Inspektorat Kota Jogjakarta telah memiliki pemahaman yang bagus
terhadapat mekanisme pengajuan sanggahan dan banding dalam pengadaan
barang dan jasa. Sebanyak 70% responden menyatakan bahwa mekanisme
tersebut telah diatur dalam perpres 54 Tahun 2010 dengan penanggung jawab
panitia. Keberadaan Perpres 54 tahun 2010 dalam memuat semua unsur
pengawasan pada tahap pembentukan ULP disetujui oleh 60% responden,
sementara sisanya menyatakan bahwa Perpres tersebut masih membutuhkan
unsur-unsur lain berupa PerWal untuk mendukung penerapan Perpres yang lebih
signifikan.
Pemahaman pegawai Inspektorat terkait mekanisme pemutihan bagi
perusahaan yang di blacklist diindikasikan dengan pengetahuan akan syarat-
syaratnya, pihak yang berwenang dalam proses pemutihan, dan durasi waktu
blacklist untuk menjadi putih secara otomatis. Sebagian besar responden
menyatakan bahwa mekanisme pemutihan bagi perusahaan yang di blacklist
diperlukan dengan kewenangan Pemda yang ditunjang dengan syarat-syarat
berupa perbaikan manajemen dan komitmen untuk tidak melakukan pelanggaran
lagi.
Ditinjau dari pendapat responden Inspektorat terkait dengan peran
lembaga masyarakat dalam memantau pengadaan barang dan/atau jasa, hanya
60% responden yang menyatakan setuju dengan peran tersebut sementara sisanya
tidak sepakat dengan alasan akan membuat masalah baru termasuk dengan
ketidaktahuan masyarakat secara lebih luas tentang pengadaan itu sendiri. Di lain
sisi, pegawai yang menyatakan persetujuan mereka bahwa bentuk lembaga
masyarakat yang diinginkan adalah LSM dengan bentuk pengawasan secara aktif

45 
 
termasuk ke media namun tetap didukung oleh sumber pendanaan mandiri. Hal ini
juga mencakup harapan responden Inspektorat terhadap peran lebih lembaga
masyarakat di bidang sosialisasi ke media tentang pelaksanaan pengadaan untuk
memberikan informasi kepada stakeholder lainnya.
Keberadaan e-procurement ditanggapi Inspektorat dengan persetujuan
100% responden akan manfaat berupa kompetisi yang lebih luas bagi calon
vendor barang dan/atau jasa dengan alasan bahwa e-procurement dapat
memberikan akses ke semua calon vendor dengan pelaksanaan yang lebih terbuka
dan kompetisi yang lebih luas. Namun, masih terdapat 30% responden yang
berpendapat bahwa belum terdapat pembagian kerja yang jelas antar lembaga
pengawas di tingkat kabupaten dan propinsi guna menunjang efektifitas dan
efisiensi pemeriksaan. Dari semua responden yang menyatakan ketidakberadaan
pembagian kerja yang jelas ini juga dapat ditarik pendapat bahwa mereka memang
tidak membutuhkan pembagian kerja yang jelas di level tersebut dan cukup
dioptimalkan pada rapat koordinasi pengawas. Lebih banyak dari responden yang
menyatakan ketidakberadaan ini, 70% responden menyatakan bahwa pembagian
kerja sudah ada berupa pembagian lahan dan wewenang kerja. Pembagian kerja
ini sudah berjalan dengan baik dengan konsistensi yang sudah cukup baku.
Lebih lanjut dengan adanya Perpres Nomor 54 Tahun 2010, semua
responden Inspektorat menilai bahwa dengan adanya Perpres tersebut masih
memungkinkan terjadinya rekayasa pemaketan pekerjaan. Hal ini dapat berupa
pemecahan paket pekerjaan dan pemisahan pekerjaan yang mengindikasikan
terjadinya korupsi pada pekerjaan tersebut. Untuk meminimalisir terjadinya
potensi-potensi di atas, 70% responden juga menilai bahwa pengawasan
diperlukan pada saat perekrutan ULP agar tidak memicu terjadinya keberpihakan
pada kepentingan tertentu dengan bentuk pengawasan internal. Namun, rata-rata
responsen tidak mengetahui tentang undang-undang yang mengatur perekrutan
tersebut. Bisa ditambahkan, bahwa 60% responden Inspektorat menyatakan
bahwa Undang-undang No. 17/2003 tentang Bapkerjakad sudah diterapkan secaca
baik, 10% menyatakan belum diterapkan dengan baik, dan sisanya menyatakan
ketidaktahuan mereka akan undang-undang ini.

46 
 
Standarisasi prosedur sanggahan dan banding dinilai perlu dibuat untuk
meningkatkan efisiensi dan efektifitas sanggahan dan banding yang harus
ditanggapi oleh 90% responden. Prosedur ini menurut responden dapat berupa
prosedur yang telah diatur pada Perpres 54 tahun 2010 atau Perwal dan juknis
yang spesifik dengan cukup melalui keputusan kepala daerah oleh sebagian besar.
Poin-poin di atas mendukung, asumsi bahwa regulasi diperlukan untuk
menjamin terciptanya akuntabilitas dan transparansi dalam pengadaan barang
dan/atau jasa berdasarkan tanggapan semua responden Inspektorat dengan tujuan
terciptanya pelaksanaan proses pengadaan yang sesuai dengan aturan. Lebih
lanjut, e-procurement yang relatif masih baru dinilai mampu mendukung
penegakan ode etik melalui pengurangan tatap muka yang dapat mengurangi
konflik serta lingkungan yang lebih kompetitif. Keberadaan e-procurement ini
sampai saat ini masih dinilai belum memberikan dampak yang signifikan bagi
perbaikan pengadaan barang dan/atau jasa karena masih memberikan dampak
yang sama dengan sebelumnya.
4.3.3.2 LPSE
Analisis data untuk Lembaga Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) lebih
dititkberatkan pada kesiapan lembaga ini dalam pengimplementasi pengadaan
barang dan atau jasa berbasis elektronik. Hasil analisis akan memberi jawaban
apakah LPSE telah memahami Perpres Nomor 54 Tahun 2010 berkaitan dengan
proses pengadaan barang dan atau jasa berbasis elektronik atau tidak. Analisis
data didasarkan pada instrumen-instrumen yang digunakan dalam proses
pengumpulan data yaitu:
- Institusi Pengadaan Barang dan atau Jasa (IPBJ)
- Effisiensi & Effektifitas Pengadaan Barang dan atauJasa (EEPBJ)
- Sistem Audit, Efektifitas Pengendalian & Kode Etik (SAEPKE)
- Peraturan Perundangan Formal (PPF).
Berikut ini adalah hasil statistik diskriptif yang menggambarkan kondisi
dan kesiapan LPSE dalam proses pengadaan barang dan atau jasa berbasis
elektronik.

47 
 
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std.
Deviation
IPBJ 10 4,50 5,00 4,7750 ,17480
EEPBJ 10 3,60 5,00 4,4000 ,41096
SAEPKE 10 4,00 4,75 4,6000 ,31623
PPF 10 4,00 5,00 4,1333 ,32203
Valid N (listwise) 10

Dari kuesioner tertutup yang digunakan dalam melihat pemahaman


responden LPSE terhadap kesiapan institusi ini dalam menghubungkan antara
Pemda dengan calon vendor, tabel di atas mengungkapkan bahwa responden
LPSE sudah sangat paham akan peran yang diemban oleh institusinya, termasuk
dukungan institusi ini terhadap efisiensi dan efektifitas pengadaan barang dan/atau
jasa.
Kuesioner tertutup ini juga didukung oleh wawancara langsung dengan
responden yang bersangkutan, dari hasil wawancara tersebut dapat dipahami
dalam mendukung proses pengadaan barang dan jasa secara elektronik, semua
responden dari LPSE sepakat bahwa pengelolaan sistem dan server merupakan
bentuk usaha dalam melakukan pengelolaan data statistik tentang pengadaan
barang dan/atau jasa publik yang yang juga diiringi dengan perbaikan sistem di
pusat dengan merujuk kepada Perpres Nomor 54 Tahun 2010 oleh LKPP dengan
masukan LPSE. LPSE juga mengadakan pelatihan penggunaan Sistem Pengadaan
Secara Elektronik (SPSE) bagi ULP. Menurut sebagian besar responden LPSE,
materi pelatihan yang diberikan hendaknya berupa aplikasi SPSE yang terdiri cara
membuat paket pengadaan serta sinkronisasi Perpres 54 tahun 2010 dengan e-
procurement dengan waktu di awal tahun lelang. Lebih lanjut responden LPSE
juga menyatakan bahwa LPSE juga menyatakan pelatihan bagi vendor barang
dan/atau jasa publik bagi 16 vendor sebanyak 10 kali dalam setahun dengan
materi aplikasi LPSE untuk durasi waktu waktu 1-2 hari. Di samping itu, untuk
pelatihan bagi masyarakat umum, sebagian besar responden LPSE berpendapat

48 
 
bahwa LPSE tidak melakukan pelatihan dan masih terpusat kepada sosialisasi
saja. Untuk menjamin keandalan sistem lelang elektronik, hampir semua
responden berpendapat bahwa pengendalian kualitas sistem diserahkan kepada
LKPP dan LPSE hanya melakukan pengawasan terhadap server-server yang ada.
Terkait kinerja staf, hanya 50% responden yang menyatakan bahwa LPSE
melakukan evaluasi triwalanan oleh sebagian, bulanan menurut yang lain, juga
dwimingguan berdasarkan pendapat sisanya. Sementara 50% sisanya menyatakan
tidak ada bentuk evaluasi karena evaluasi ada di level Dolbang. Dengan bentuk
evaluasi tersebut, pendapat responden LPSE juga bermacam-macam mengenai
sistem reward dan punishment atas evaluasi tersebut.
Sebanyak 80% responden LPSE berpendapat bahwa dokumen lelang
merupakan hal yang dirahasiakan oleh LPSE dengan server yang disimpan di
tempat aman dan hanya bisa diakses oleh pihak-pihak yang telah diberi hak akses.
Sementara sisanya berpendapat dokumen lelang bukan merupakan kewenangan
LPSE. Penjagaan dokumen lelang ini merupakan bentuk tanggung jawab LPSE
terhadap data yang dimiliki dengan tidak adanya kehilangan data menurut
responden. Penjagaan ini dilakukan dengan melakukan back up atas data yang
dimiliki. Dokumen lelang pengadaan barang dan/atau jasa publik yang telah
selesai diproses menurut sebagian responden dihapus setelah 5-10 tahun menurut
sebagian responden dan tidak dihapus menurut sebagian yang lain karena masih
dibutuhkan untuk mekanisme audit. Di samping itu, LPSE juga pernah mengalami
kerusakan SPSE berupa file yang tidak terbaca dan adanya bugs menurut +- 65%
responden. Kerusakan ini diperbaiki dengan melakukan penanganan awal oleh tim
teknologi informasi LPSE dan dilaporkan ke LKPP. Berbagai bentuk
pengendalian ini dipandang sebagai usaha LPSE dalam penanggulangan untuk
menjamin keselamatan data lelang dari kerusakan sistem oleh sebagian besar
responden.
Responden LPSE perlu untuk diaudit untuk menjamin transparansi dan
akuntabilitas menurut sebagian besar responden dengan mekanisme yang dimiliki
Inspektorat dengan hasil berupa laporan yang dapat dievaluasi. Sementara sisanya
menyatakan audit terhadap LPSE merupakan tanggung jawab dalbang. Hasil audit

49 
 
ini perlu untuk ditindaklanjuti melalui mekanisme Inspektorat atau audit menurut
pendapat lain.
Prosedur Operasi Standar penggunaan SPSE dimiliki oleh LPSE berupa
Standar Operasional Prosedur (SOP) menurut semua responden. Pelaksanaan SOP
ini sesuai dengan Peraturan Walikota (PerWal). SOP yang dimiliki oleh LPSE
juga dilengkapi dengan adanya kode etik berupa kode etik yang ada di ULP,
peraturan PNS, serta PerWal dengan pelaksanaan yang masih biasa saja menurut
sebagian responden namun sudah berjalan baik menurut sebagian yang lain.
Pemahaman responden LPSE terkait prinsip-prinsip pengadaan barang
dan/atau jasa ditunjukkan oleh semua responden. Dengan tingkat pemahaman
yang berbeda-beda yang ditunjukkan oleh jawaban atas prinsip-prinsip tersebut.
Begitu pula pemahaman akan peraturan perundangan yang terkait dengan
pengadaan barang dan/atau jasa. Responden menyatakan bahwa peraturan tersebut
terdiri Perpres 54 tahun 2010 UU ITE, Inpres pemberantasan korupsi, dan
PerWal. Pemahaman perundangan ini juga diikuti dengan pemahaman pengadaan
Barang dan/atau jasa publik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku.

4.3.3.2 ULP
Analisis data untuk Unit Layanan Pengadaan (ULP) difokuskan kepada
instrumen-instrumen berikut:
- Keefektifan pengadaan (KP)
- Eksistensi Pengembangan (EP)
- Sistem Audit dan Keefektifan Kontrol (SAKK)
- Effisiensi Mekanisme Sanggahan & Banding (EMSB)
- Akses Informasi (AI)
- Kode Etik (KE)
- Partisipasi Publik (PP)
Instrumen-instrumen di atas diuji digambarkan secara lebih spesifik
melalui statistik deskriptif berikut:
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std.

50 
 
Deviation
KP 10 1,67 5,00 3,4000 ,79814
EP 10 1,67 5,00 3,8333 ,83517
SAKK 10 1,00 4,50 3,6750 ,97930
EMSB 10 1,90 4,20 3,1800 ,60332
AI 10 2,14 4,57 3,6572 ,67409
KE 10 1,63 4,13 3,3625 ,71310
PP 10 1,83 4,50 3,5000 ,72437
Valid N (listwise) 10

ULP Kota Jogjakarta sebagai fasilitator pengadaan Pemda cenderung tidak


sebagus LPSE dalam indikator-indikator yang diukur di atas. Dengan rata-rata +-
3,5, kesiapan ULP Kota Jogjakarta untuk keefektifan pengadaan, keberadaan
pengembangan pengadaan, dan indikator-indikator lainnya di atas masih harus
menjadi perhatian Pemda untuk mendukung terciptnya sistem pengadaan yang
dapat memberikan nilai tambah ke semua pihak yang berhubungan.
Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kota Jogjakarta menganggap bahwa
Perpres Nomor 54 Tahun 2010 sudah memadai untuk mencakup pengadaan
barang dan/atau jasa publik. Pemahaman semua responden ULP ini sejalan
dengan pengetahuan mereka mengenai prinsip-prinsip pengadaan barang dan/atau
jasa publik, peraturan terkait dengan pengadaan tersebut, pemahaman akan
mekanisme pengadaan barang dan/atau jasa publik sesuai dengan peraturan yang
berlaku serta pemahaman akan keharusan untuk mengikuti aturan-aturn
pengadaan tersebut dalam pelaksanaannya. Akan tetapi, hanya 40% dari
responden yang mengetahui adanya peraturan-peraturan lain yang mengatur hal
tersebut. Lebih spesifik, hanya 20% responden yang menyatakan bahwa peraturan
perundangan harus mengakomodasi prinsip-prinsip standar pengadaan barang
dan/atau jasa secara internasional.
Instrumen penelitian ini juga menguji pengetahuan responden tentang
pakta integritas dengan hasil yang mengarah kepada pemahaman semua
responden akan pakta integritas. Namun, hanya 20% responden penelitian ini
yang pernah ikut untuk menandatanganinya. Hal ini sejalan dengan pemahaman
mereka akan konsekuensi yang akan didapat dengan penandatanganan pakta

51 
 
tersebut. Selanjutnya, mayoritas responden belum mengetahui adanya evaluasi
pemerintah atas pakta tersebut.
Penelitian ini juga mengungkap bahwa responden ULP sudah memahami
tupoksi dan bekerja sesuai dengan tupoksi masing-masing. Namun, hanya 40%
responden yang telah memiliki sertifikat pengadaan barang dan/atau jasa seperti
L2. Namun, semua responden sepakat bahwa sertifikasi dapat mendukung
terciptanya proses pengadaan barang dan/atau jasa menjadi lebih efisien. Hal ini
berbeda dengan apa yang mereka rasakan di lapangan bahwa semua responden
sepakat bahwa tidak ada program pengembangan kapasistas staf terkait pengadaan
barang dan/atau jasa publik padahal mereka memahami bahwa lama waktu
menjadi ukuran efisiensi pekerjaan mereka.
E-proqurement disepakati oleh semua responden dapat mendorong
efisiensi pengadaan barang dan/atau jasa publik. Hal ini didukung oleh pendapat
mereka yang menyatakan bahwa keterlibatan pihak-pihak lain berpengaruh
terhadap efisiensi tersebut. Dan sejauh ini, hanya sebagian kecil responden yang
pernah mendapatkan sanggahan dan tidak ada yang pernah mendapatkan banding.
4.3.3.4 LSM
Peran LSM di Kota Jogjakarta untuk pengadaan barang dan/atau jasa
pemerintah dilatarbelakangi oleh kebutuhan partisipasi masyarkat yang tinggi
terhadap proses yang ada. Tingginya partisipasi yang ditunjukkan dengan nilai
rata-rata 4,46 untuk saat ini telah didukung oleh pemahaman pengawasan e-
procurement dan strateginya, koordinasi antar LSM, dan independensi LSM yang
memiliki nilai-rata-rata 4 yang menunjukkan adanya kecenderungan yang bagus
akan peran yang akan dilakukan oleh LSM di Jogjakarta. Di lain sisi, LSM di
Jogjakarta masih merasa bahwa payung hukum yang melindungi LSM belum
mampu mengakomodasi pera-peran di atas secara maksimal. Tabel berikut,
merangkum analisis atas LSM yang terdiri dari instrumen-instrumen:
- Pemahaman Mekanisme Pengawasan E-procurement (PMPE)
- Peraturan perundangan yang melindungi LSM (PPML)
- Strategi Pengawasan (SP)
- Koordinasi LSM (KL)

52 
 
- Independensi LSM (IL)
- Partisipasi Masyarakat (PM)

Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std.
Deviation
PMPE 10 3,30 4,80 3,8900 ,45814
PPML 10 2,50 4,00 3,2834 ,45846
SP 10 3,57 4,71 3,9429 ,37010
KL 10 3,50 5,00 4,2667 ,49814
IL 10 3,56 4,89 4,1333 ,36212
PM 10 3,82 5,00 4,4636 ,39383
Valid N (listwise) 10

Pemahaman Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terkait Perpres Nomor


54 Tahun 2010 masih sangat terbatas kepada pemahaman secara garis besar
dengan persentase hanya 50%. Jawaban responden LSM atas pertanyaan cakupan
Perpres ini terbatas kepada proses pengadaan, vendor, proses tender, bidding,
bersih dari KKN, dan pengadaan yang bisa dilihat dari internet.
LSM sebagai lembaga pengawas secara umum menginginkan pelatihan
sistem kontrol e-proqurement, SOP, aspek hukum, aplikasi, stakeholder, serta
gambaran secara gamblang atas e-proqurement itu sendiri jika ditawarkan untuk
mengikuti pelatihan pengawasan e-proqurement. Bahkan, semua responden LSM
bersedia untuk mengikuti pelatihan ini.
LSM sebagai lembaga pengawas telah menggunakan prosedur dalam
melakukan pengawasan e-proqurement yang mencakup pemastian kelengkapan
dokumen, verifikasi, penentuan pelaksana, perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi. Lebih spesifik, lembaga pengawas melakukan fungsi-fungsi berikut
dalam menjalankan fungsinya:
1. Perencanaan
2. Prakualifikasi anggaran
3. Penyusunan dokumen lelang
4. Pengumuman lelang
5. Penyerahan dan pembukuan penawaran

53 
 
6. Evaluasi penawaran
7. Pengumuman pemenang
8. Sanggahan peserta lelang
9. Penandatangan kontrak
10. Penyerahan barang dan atau jasa publik
11. Evaluasi laporan.
Namun, rata-rata responden hanya fokus kepada perencanaan, evaluasi
penawaran, pengumuman pemenang, dan evaluasi laporan dari fungsi-fungsi di
atas.
Selanjutnya, sebanyak 70% LSM di Kota Jogjakarta sudah mempunyai
rencana yang berjalan efektif dan terdokumentasi dalam melakukan pengawasan
e-proqurement. Dokumentasi ini dapat berupa foto dan file-file yang minimal
berbentuk soft copy.
Komunikasi antara LSM dengan objek yang diawasi sudah berjalan efektif
dalam pandangan responden. Keefektifan komunikasi ini juga terjadi
antarlembaga pengawas, namun komunikasi ini tidak terjadi antara LSM yang
memiliki fokus yang berbeda. Komunikasi yang kurang berjalan tidak efektif
terjadi antara LSM dengan pemerintah bahkan sangat jarang terjadi dengan pihak
berwajib. Berhubungan dengan internal LSM sendiri, semua responden
berpendapat bahwa personel yang diterjunkan ke lapangan telah menjalin
komunikasi yang efektif dengan lembaga pengawasan.
Di balik fungsi-fungsi yang harus dijalankan, kebutuhan untuk tetap
independen terhadap objek pengawasan sudah dipenuhi oleh LSM dalam
pandangan hampir semua responden. Namun, beberapa responden masih
berpendapat bahwa independensi ini belum diwujudkan pada perjanjian antara
kedua belah pihak dalam bentuk komitmen bersama.
Dalam mengoptimalkan perannya, lembaga masyarakat diharapkan
menggunakan cara-cara berikut guna memantau proses pengadaan barang
dan/atau jasa:
1. Diberi akses utama, masalah transparansi dan akuntabilitas.
2. Mengoptimalkan fungsi pengawsan masyawarakat.

54 
 
3. Masyaraat harus paham pengadaan barang dari awal sampai akhir.
4. Ikut terlibat langsung dan paham.
5. Penguatan jaringan antara NGO, koordinasi rutin, dan perlu pelembagaan.
6. Peningkatan SDM.

4.3.3.5 Vendor
Pemahaman Vendor di Kota Jogjakarta terkait e-procurement cukup baik
yang ditunjukkan oleh komentar yang diberikan terhadap berbagai instrumen di
atas dengan nilai rata-rata +- 4. Pemahaman yang didukung oleh nilai maksimal
untuk pemahaman hukum tentang e-procurement yang diikuti oleh pendapat
bahwa e-procurement dapat menunjang etika pengadaan, keterbukaan informasi,
dan paningkatan partisipasi publik menunjukkan persetujuan terhadap penerapan
e-procurement di kota ini. Namun, sebagian besar vendor masih merasa bahwa e-
procurement belum mampu menjadi resolusi atas berbagai konflik pengadaan
barang dan/atau jasa yang selama ini terjadi dengan nilai sebesar 3,15.
Pengukuran yang merujuk kepada instrumen-instrumen di bawah
menggambarkan pendapat responden terhadap e-procurement.
- Pemahaman Legal (PL)
- Resolusi Konflik (RK)
- Etika Pengadaan (EP)
- Keterbukaan Informasi (KI)
- Kesempatan UMKM & Koperasi (KUK)
- Keterbukaan Proses Pengadaan (KPP)
- Partisipasi (P)

Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std.
Deviation
PL 10 5,00 5,00 5,0000 ,00000
RK 10 1,00 5,00 3,1500 1,00139
EP 10 3,20 5,00 4,1200 ,55136
KI 10 3,67 5,00 4,2667 ,34425
KUK 10 2,75 4,00 3,4500 ,30732

55 
 
KPP 10 3,00 4,33 3,6333 ,33147
P 10 3,00 5,00 4,0429 ,64960
Valid N (listwise) 10

Sebagai penyedia barang dan/atau jasa, vendor di Kota Jogjakarta setuju


dengan kebutuhan pemahaman akan Perpres Nomor 54 Tahun 2010 untuk
menunjang proses yang akan dilakukan dalam proses pengadaan. Pemahaman ini
juga didukung oleh pemahaman akan peraturan perpajakan.
Bagi perusahaan yang gagal memenuhi kewajibannya dalam proses
pegadaan barang dan/atau jasa, semua responden vendor juga sepakat atas
pemberian sanksi berupa teguran, tidak diizinkan untuk mengikuti lelang, bahsan
sampai kepada menjadikan hal ini sebagai kasus perdata/perdana agar tidak terjadi
lagi dan tidak berampak sistemik kepada proses yang lain. Menurut 40%
responden menyatakan bahwa perusahaan yang gagal memenuhi kewajiban dalam
pengadaan barang dan/atau jasa publik perlu mengadakan negosiasi baru dengan
panitia pengadaan karena menghindari blacklist dan pergantian. Bentuk negosiasi
yang ditawarkan berupa negosiasi kekeluargaan dulu yang diikuti dengan
perjanjian bermaterai. Menanggapi hal ini, sisa responden tidak sepakat dengan
negosiasi baru karena dinilai tidak fair dan mekanismenya telah diatur dalam
kontrak. Sementara, mengenai keperluan blacklist bagi perusahaan yang gagal
semua responden vendor menyatakan setuju karena dapat merugikan negara dan
memberikan efek jera. Blacklist ini dapat diterapkan dengan melarang vendor
melakukan pendaftaran selama satu sampai dua tahun. Lebih lanjut, sebanyak
80% vendor sepakat dengan tidak adanya mekanisme pencabutan blacklist untuk
memperbaiki citra perusahaan dengan alasan panitia harus fair dalam melakukan
proses pengadaan barang dan jasa. Hal ini sejalan dengan tidak diperlukannya
dilakukan pemutihan secara otomatis untuk perusahaan-perusahaan yang di
blacklist dengan tujuan untuk menimbulkan efek jera dan rasa tanggung jawab
oleh perusahaan.
Dari survey yang dilakukan terhadap vendor ini juga teridentifikasi bahwa
pengumuman barang dan/atau jasa dari suatu instansi pemerintah diketahui dari
koran, internet, dan LPSE. Di antara berbagai media ini, koran dan intenet dinilai

56 
 
sebagai media yang paling mudah diakses dan internet sebagai media yang paling
cepat untuk diakses.
Pakta integritas sudah dipahami oleh semua responden dengan pernyataan
bahwa pakta ini dapat menjamin terlaksananya pengadaan barang dan/atau jasa
yang adil dan beretika dan dapat mengurangi konflik kepentingan di antara
penyelenggara pengadaan barang dan/atau jasa publik. Hal ini juga dilanjutkan
dengan pendapat responden bahwa setiap pelanggaran dalam pengadaan barang
dan/atau jasa publik perlu dibuat laporan pelanggarannya dengan tujuan untuk
evaluasi dan pencegahan. Laporan yang telah dibuat, menurut responden
diserahkan kepada panitia, pengawas pengadaan, dan BPKP menurut sebagian
yang lain.
Responden juga berpendapat bahwa Pemda telah mengumumkan rencana
pengadaan barang dan/atau jasa publik setiap tahunnya. Pengumuman ini dinilai
sejalan dengan Perpres 54 tahun 2010 yang juga memberi akses kepada vendor
kecil untuk berpartisipasi dalam pengadaan barang dan/atau jasa publik dengan
indikator peningkatan jumlah vendor yang mengikutinya.
Perpres 54 Tahun 2010 dirasa sudah tidak menimbulkan potensi
pemecahan/pemaketan pengadaan barang dan/atau jasa lagi oleh sebagian besar
responden karena sudah ada Daftar Usulan Proyek (DUP) yang tidak boleh
dipecah. Selanjutnya, proses pengumuman penentuan pemenang pengadaan
barang dan/atau jasa publik dirasa memerlukan informasi tentang alasan gugurnya
vendor yang tidak terpilih. Alasan responden menyatakan hal ini dengan tujuan
untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan masing-masing dan terciptanya
keterbukaan informasi. Hal ini akan menunjang pendapat vendor bahwa
diperlukan kecakapan khusus dalam mengikuti yang hendakanya juga diiringi
dengan pelatihan khusus. Kecapakan ini oleh semua responden vendor juga harux
dibuktikan dengan surat pernyataan tentang kemampuan melaksanakan pekerjaan
untuk mengikuti proses pengadaan barang dan/atau jasa publik yang ditawarkan.
Untuk peran asosiasi pengusaha dalam pengadaan barang dan jasa,
responden menyatakan bahwa peran yang harus ditonjolkan adalah peran
pembinaan dan pemberian informasi kepada vendor serta berbagai pelatihan untuk

57 
 
mendukung kecakapan vendor yang juga terdiri dari vendor baru yang siap
berkompetisi dengan vendor lama. Advokasi vendor oleh asosiasi dinilai tidak
perlu oleh sebagian besar responden karena masing-masing vendor telah memiliki
kuasa hukum sendiri.

4.4 SURABAYA

4.4.1 Demografi Responden

Penggambaran demografi responden merupakan hal penting dalam riset.


Gambaran latar belakang responden diharapkan dapat menunjukkan bahwa
responden dalam riset ini telah mewakili fenomena populasi dari kondisi
sesungguhnya yang diharapkan terwakili dalam riset ini. Jumlah responden dalam
need assestment ini berjumlah 50 responden, terbagi atas lima stakeholder yaitu:
Inspektorat, Vendor, LPSE, ULP dan LSM (setiap stakeholder diwakili oleh 10
responden). Informasi yang lebih lengkap mengenai karakteristik responden
dalam riset ini dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:
Responden:
- Inspektorat 10 20%
- Vendor 10 20%
- LPSE 10 20%
- ULP 10 20%
- LSM 10 20%
Jumlah Responden 50 100%
Bidang Tugas
INSPEKTORAT
3 30%
- Inspektorat
7 70%
- Auditor
Jumlah 10 100%

VENDOR
10 100%
- Pengusaha
Jumlah 10
LPSE
4 40%
- LPSE
1 10%
- Helpdesk
3 30%
- Verifikator
2 20%
- Developer
Jumlah 10
ULP
2 20%
- Panitia lelang

58 
 
- Administrator 3 30%
- ULP 5 50%
Jumlah 10 100%
LSM
6 60%
- Lapesdam
4 40%
- LSM
Jumlah 10 100%
Demografi (total responden)
Jenis Kelamin
- Laki-laki 32 64%
- Perempuan 18 36%
Jumlah 50 100%

Dari gambaran demografi responden dapat dikatakan bahwa responden


dari setiap stakeholder terlihat beragam dari bidang tugas masing-masing, hal ini
sesuai dengan harapan peneliti bahwa ada keragaman responden sehingga dapat
mencirikan kondisi masing-masing stakeholder.

4.4.2. Kualitas Pengukuran


Suatu riset memiliki hasil yang dapat dipertanggungjawaban jika dalam
proses pengumpulan data dilakukan dengan benar serta instrumen yang digunakan
dalam riset benar-benar dapat mengukur apa yang seharusnya diukur.
Pengembangan instrumen yang digunakan dalam riset ini didasarkan pada 4 pilar
e-procurement dari OECD (lihat Bab III).
Validitas dan reliabilitas instrumen merupakan poin penting dalam suatu
riset. Instruemen yang valid dan reliable memberikan jaminan bahwa setiap
variabel yang diujikan telah meggunakan pengukuran yang tepat. Validitas
menunjukkan sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam
melakukan fungsi ukurnya atau dengan kata lain validitas menunjukkan seberapa
nyata suatu pengujian mengukur apa yang seharusnya diukur, sedangkan
reliabilitas merupakan suatu pengukur yang menunjukkan stabilitas dan
konsistensi pengukurannya. Suatu pengukur dikatakan reliable jika dapat
dipercaya yaitu mengukur subjek yang sama diperoleh hasil yang tidak berbeda.
Berikut ini akan dipaparkan hasil pengujian setiap instrumen (alat ukur)
dari setiap stakeholder yang diteliti:
Nama Instrumen dari setiap Stakeholder Reliabilitas Validitas

59 
 
Cronbach Component
Alpha Analysis
Inspektorat:
- Sistem Audit dan Pengendalian yang Efektif 0,999 0,796
- Effisiensi Mekanisme Sanggahan dan Banding 0,998 0,637
- Degree of Accsess to Information 0,654 0,714
- Kode Etik dan Ukuran Anti Korupsi 0,320 0,757
- Partisipasi Masyarakat 0,717 0,994
Vendor:
- Pemahaman Legal 0,000 0,567
- Resolusi Konflik 0,898 0,794
- Etika Pengadaan 0,779 0,950
- Keterbukaan Informasi 0,659 0,802
- Kesempatan UMKM & Koperasi 0,667 0,644
- Keterbukaan Proses Pengadaan 0,761 0,897
- Partisipasi 0,754 0,410

Lanjutan tabel 2
ULP:
- Keefektifan Pengadaan 0,270 0,797
- Eksistensi Pengembangan 0,912 0,780
- Sistem Audit dan Keefektifan Kontrol 0,939 0,780
- Effisiensi Mekanisme Sanggahan & Banding 0,825 0,792
- Akses Informasi 0,711 0,815
- Kode Etik dan Ukuran anti korupsi 0,829 0,881
- Partisipasi Publik 0,794 0,833

LPSE:
- Institusi Pengadaan Barang/Jasa 0,736 0,914
- Effisiensi & Effektifitas Pengadaan Brg/Jasa 0,229 0,806
- Sistem Audit, Efektifitas Pengendalian & Kode Etik 0,852 0,697
- Peraturan Perundangan Formal 0,893 0,920
LSM:
- Pemahaman Mekanisme Pengawasan e-procurement 0,940 0,875
- Peraturan perundangan yang melindungi LSM 0,901 0,711
- Strategi Pengawasan 0,705 0,608
- Koordinasi LSM 0,852 0,632
- Independensi LSM 0,648 0,845
- Partisipasi Masyarakat 0,799 0,761

Sumber: Data dianalisis

Hasil pengujian item instrumen dari semua instrumen yang digunakan


untuk semua stakehoder menunjukkan bahwa semua instrumen adalah valid dan
reliable karena sebagian besar angka pengujian telah berada di atas nilai 0,60
kecuali instrumen partisipasi dan pemahaman legal (Vendor) yang memiliki
angka di bawah 0,60, namun secara keseluruhan instrumen-instrumen yg
digunakan untuk mengukur need assesment Vendor adalah akurat sehingga tetap

60 
 
dapat digunakan dalam proses analisis data berikutnya, namun untuk riset
mendatang sebaiknya instrumen ini diperbaiki sebelum digunakan.

4.4.3 Analisis Data dan Pembahasan


Analisis data akan dilakukan untuk masing-masing stakeholder, tujuannya
adalah untuk mendapatkan masukan yang lebih akurat berkaitan dengan
hambatan, kekuatan serta kebutuhan dari masing-masing stakeholder.

4.4.3.1 Inspektorat

Tabel 4.4.1
Rata – rata Data Inspektorat Per Variabel

No Variabel Rata –
rata
1 Sistem Audit Dan Pengendalian Yang
3,89
Efektif
2 Effisiensi Mekanisme Sanggahan Dan
3,75
Banding
3 Degree Of Accsess To Information 3,88
4 Kode Etik Dan Ukuran Anti Korupsi 3,87
5 Partisipasi Masyarakat 4,21
Sumber : kuisioner diolah

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa responden inspektorat kota


Surabaya setuju faktor – faktor yang ada telah menunjang sistem audit dan
pengendalian yang efektif, mekanisme sanggahan dan banding yang efisien,
aksesibilitas informasi yang mencukupi, kode etik yang baik juga anti korupsi,
serta partisipasi masyarakat yang tinggi. Hal ini diindikasikan dengan nilai rata –
rata yang berkisar antara 3,75 hingga 4,21.
Berikut pembahasan untuk maisng - masing variabel Inspektorat.
a. Sistem audit dan pengendalian yang efektif
Peraturan – peraturan tentang sistem pengendalian internal sudah
ada di Inspektorat. Peraturan yang ada antara lain Mendiknas RI No 16
tahun 2009 tentang satuan intern di lingkungan Depdiknas, Perpres 54
tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah, dan Peraturan
pemerintah RI nomer 6 tahun 2006. Hambatannya antara lain belum ada

61 
 
dukungan dari institusi internal, implementasinya peraturan yang dibuat
sifatnya masih umum sedangkan keputusan Mentri Pendidikan tidak
semua dapat diimplementasikan. Solusi untuk adanya hambatan dengan
jalan memperbaiki kondisi internal karena tidak dipungkiri harus ada
dukungan peraturan/ petunjuk internal institusi. Masih perlu dibuatkan
kelengkapan aturan – aturan pengendalian internal untuk mengatasi
hambatan tersebut. Saran yang diberikan responden adalah perlu adanya
SOP untuk pengendalian internal.
Komitmen pimpinan dibutuhkan dalam mengatasi masalah
korupsi, komitmen dibutuhkan karena agar tercipta good governance salah
satunya dengan transparansi dan akuntabilitas. Mekanisme audit internal
yang memadai dapt mencegah korupsi dalam pengawasan pengadaan
barang dan atau jasa dengan jalan melakukan audit internal secara berkala
dan efektif. Sistem penghargaan dan sanksi yang jelas dapat meningkatkan
kinerja pengawasan dalam pengadaan barang dan atau jasa. Bentuk
sistemnya adanya insentif dalam bentuk tambahan honor untuk
penghargaan sedangkan untuk sanksi dalam bentuk teguran, surat
peringatan, denda,dll. Pengawasan internal perlu dilakukan sesering
mungkin untuk mencegah terjadinya tindakan korupsi dalam pengadaan
barang dan jasa. Pengawasan internal sebaiknya dilakukan 3-4 kali dalam
satu tahun.
Segala bentuk temuan audit perlu ditindaklanjuti. Bentuk tindak
lanjutnya dengan melakukan pemeriksaan lebih mendalam bisa berupa
audit investigasi, forensic, dan lain sebagainya. Penanganan setiap temuan
berbeda – beda antara lain dapat melibatkan pemeriksa eksternal dengan
pembentukan SOP terlebih dahulu. Hingga saat ini, belum ada standar
yang dapat digunakan.
b. Efisiensi mekanisme sanggahan dan banding
Keseluruhan responden menjawab ada mekanisme pengajuan
sanggahan dan banding. Caranya dengan melakukan pelaporan kepada
pejabat yang berwenang. Panitia pengadaan yang bertanggungjawab dalam

62 
 
menjawab setiap sanggahan yang disampaikan. Keseluruhan responden
mengatakan bahwa diperlukan suatu mekanisme yang baku berkaitan
dengan mekanisme sanggahan dan banding yang diajukan.
Mekanisme pemutihan bagi perusahaan yang pernah di blacklist
diperlukan salah satunya digunakan memperbaiki citra perusahaan yang di
blacklist. Syarat yang ditentukan agar perusahaan yang di blacklist dapat
diputihkan adalah sudah melewati masa sanksi, membuat surat pernyataan
untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, atau bisa membuktikan
bahwa perusahaan tersebut tidak salah. Proses pemutihan dilakukan oleh
pejabat pembuat komitmen, pimpinan, organisasi yang menaungi, dan
sebagainya. Minimal 1 (satu) tahun lama durasi waktu yang dibutuhkan
untuk perusahaan yang di blacklist menjadi putih. Menurut responden
standar prosedur sanggahan dan banding diperlukan untuk meningkatkan
efiesnsi dan efektifitas sanggahan dan banding yang harus ditanggapi.
Prosedur sanggahan dibuat sederhana. Penerapan e – procurement dapat
mengurangi jumlah sanggahan dan banding berkaitan dengan proses
pengadaan barang dan atau jasa karena dalam prosesnya dapat dilihat
secara transparan.
c. Akses informasi yang mencukupi
Akses informasi telah mencukupi dari isnpektorat.
d. Kode etik dan ukuran anti korupsi
Perpres No 54 tahun 2010 menurut responden belum memuat
semua unsur pengawasan pada tahap pembentukan ULP karena masih
perlu menambahkan pakta integritas untuk independensi panitia
pengadaan.
Pengadaan barang dan atau jasa secara elektronik memungkinkan
terjadinya kompetisi yang lebih luas bagi calon penyedia barang dan atau
jasa. Bentuk kompetisinya adalah adanya klasifikasi calon pemenang dan
jasa, paling tidak semua bisa memungkinkan untuk diseleksi. Sudah ada
pembagian kerja yang jelas antarlembaga pengawas dalam pengawasan
pengadaan barang dan atau jasa yang dapt menunjang efektifitas dan

63 
 
efisiensi pemeriksaan. Bentuk pembagian kerjanya masing – masing
lembaga memiliki bentuk yang berbeda dan selama ini telah berjalan
dengan baik juga terdapat konsistensi aturan di tingkat kabupaten dan
propinsi.
Sistem penghargaan dan sanksi diperlukan untuk meningkatkan
kinerja audit pengadaan barang dan atau jasa. Sistem penghargaan yang
diinginkan adalah sistem ini berlaku untuk semua yang berminat
meningkatjkan kualitas diri, tidak harus yang berprestasi. Bentuk
penghargaan yang diinginkan mendapatkan sertifikat pegawai teladan,
mendapatkan fasilitas kerja yang lebih baik, pelatihan yang lebih tinggi,
dan mendapatkan insentif yang cukup. Sedangkan untuk sanksi, sistem
sanksi yang diinginkan yaitu sanksi diberikan berdasarkan tingkat
kesalahannya. Bentuk sanksi tersebut antara lain teguran, mutasi,
pemotongan honor, penundaan kenaikan pangkat, dll.
Setelah berlakunya Perpres No 54 tahun 2010 , PP No 29/2000, PP
no 8/2006, dll masih dimungkinkan rekayasa pemaketan pekerjaan.
Menurut responden regulasi dibutuhkan untuk menjamin terciptanya
akuntabilitas dan transparansi dalam pengadaan barang dan atau jasa.
Regulasi dibutuhkan untuk persaingan yang sehat dalam proses pengadaan
dan tidak ada KKN. E – procurement mendukung penegakan kode etik
dalam pengadaan. Bentuj dukungannya dengan mengarahkan semua
proses lelang dengan E – procurement. Kode etik dibutuhkan dalam
pengadaan barang dan atau jasa. Bentuknya sepeti pembentukan dewan
pengawas independen, SOP yang lebih ideal, dan kegiatan yang lebih
transparan.
e. Partisipasi masyarakat
Sudah tersedia lembaga – lembaga yang dapat digunakan
masyarakat untuk melaporkan berbagai indikasi korupsi dalam pengadaan
barang dan atau jasa. Lembaga tersebut antara lain kepolisian, inspektorat,
Bawasda, dll. Mekanisme pelaporannya sesuai dengan prosedur pelaporan
yang berlaku di masing – masing lembaga. Ada jaminan hukum bagi

64 
 
anggota masyarakat yang melaporkan indikasi korupsi dalam pengadaan
barang dan atau jasa.
Pentingnya lembaga – lembaga masyarakat untuk memantau
pengadaan barang dan atau jasa. Bentuk lembaga yang dibutuhkan adalah
lemmbaga independen yang tidak melibatkan komponen – komponen
pemilik pekerjaan dan instansi pemerintah. Bentuk pengawasannya dengan
membuka proses seleksi agar lebih transparan. Sumber pendanaannya
dambil dari nilai tertentu dari komponen biaya lelang tanpa melalui panitia
dari pemilik pekerjaan. Bentuk pertanggungjawababbya harus ada lapoan
yang menyatakan bahwa lembaga tersebut mengawasi pengorbanan.
Cara yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan lembaga –
lembaga masayarakat guna memantau pengadaan barang dan atau jasa
yakni revitalisasi yang sudah ada, menjahit partisipasi, mengoptimalkan
fungsi penawaran, panitia lelalng dan PU tidak perlu terlibat dalam proses
administratif.

4.4.3.2. LPSE

Tabel 4.4.2

Rata – rata Data LPSE Per Variabel

No Variabel Rata –
rata
1 Institusi Pengadaan Barang/Jasa 4,42
2 Effisiensi & Effektifitas Pengadaan
Barang/Jasa 4,4
3 Sistem Audit, Efektifitas Pengendalian
& Kode Etik 4,47
4 Peraturan Perundangan Formal 4,87
Sumber : kuisioner diolah

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa responden LPSE untuk kota
Surabaya setuju faktor – faktor yang ada dapat menunjang pengembangan institusi
pengadaan, peningkatan efisiensi dan efektifitas pengadaan barang dan atau jasa,

65 
 
Sistem audit yang didukung pengendalian juga kode etik yang efektif, serta
peraturan perundangan formal yang mendukung. Hal ini diindikasikan dengan
nilai rata – rata yang berkisar antara 4,42 hingga 4,87.
Penjelasan untuk masing – masing variabel sebagai berikut.
a. Institusi pengadaan barang dan atau jasa
Responden yang setuju bahwa pelayanan pengadaan secara
elektronik memfasilitasi ULP untuk menyediakan informasi pengadaan
sebesar 100%. Bentuk fasilitasnya antara lain sistem aplikasi kepada
LPSE, berita dan artikel di website, prosedur LPSE, daftar pengadaan,
atribut pekerjaan, dll. Menurut data yang ada 100% responden setuju
bahwa LPSE melakukan pengelolaan data statistic tentang pengadaan
barang dan atau jasa publik. Selama ini sudah ada sistem pengelolaan data,
data yang ada direkap dan diolah dalam bentuk tabel atupun grafik serta
base disimpan di LPSE.
Menurut responden yang diwawancarai 100% mengatakan iya
bahwa LPSE telah melakukan perbaikan sistem pengadaan secara
elektronik untuk meningkatkan pelayanan pengadaan barang dan atau jasa.
Proses perbaikannya antara lain adalah melaporkan kerusakan sistem ke
LKPP dan LKPP yang memperbaiki sistem tersebut. LPSE melakukan
pelatihan penggunaan sistem pengadaan secara elektronik bagi ULP, yang
dibuktikan dengan 90% responden mengatakan iya. Bentuk pelatihan yang
pernah dilakukan adalah penerapan LPSE praktek maupun teori, workshop
yang dilakukan tim trainer LPSE, dan sosialiasi. Materi yang diberikan
antaralain cara mengakses LPSE dan sistem LPSE. Waktu pelatihan
biasanya saat per tahun sekali atau apabila ada perubahan aturan maupun
sistem.
Responden menyatakan iya 100%, LPSE melakukan pelatihan
penggunaan sistem pengadaan secara elektronik bagi penyedia barang dan
atau jasa. Bentuk pelatihan yang pernah dilakukan adalah sosialisasi,
workshop, pelatihan resmi, dan tutorial. Materi pelatihan yang pernah
diberikan adalah fungsi aplikasi LPSE dan bagaimana penggunaannya.

66 
 
Waktunya biasanya per tahun sekali atau apabila ada perubahan aturan
maupun sistem.
b. Efisiensi dan efektifitas pengadaan barang dan atau jasa
LPSE kurang memberikan pemahaman tentang sistem pengadaan
barang dan atau jasa secara elektronik kepada masyarakat umum dengan
40 % responden menjawab iya. Menurut responden menyatakan 100% iya
bahwa LPSE telah melakukan pengendalian kualitas untuk menjamin
keandalan sistem lelang.
c. Sistem audit, efektifitas pengendalian, dan Kode Etik
Menurut responden 60% menyatakan LPSE melakukan proses
evaluasi kinerja stafnya. Dengan adanya rapat tinjauan manajemen,
pimoinan selalu mengevaluasi kinerja secara informal, staf selalu
membuat laporan, juga rapat kordinasi. Sedangkan 40% menyatakan LPSE
tidak melakukan proses kinerja staf karena ada LPSE yang masih berjalan
1 tahun di kota Surabaya. Sistem reward dan punishment belum dilakukan
dalam evaluasi staf LPSE karena belum ada kebijakan pimpinan LPSE.
Dokumrn lelang merupakan hal yang dirahasiakan oleh LPSE yang
didukung dengan 70% responden menjawab ya. Hal ini dikarenakan
dokumen lelang hanya bisa dilihat oleh admin, LPSE, ULP, dan vendor.
Menurut responden 60% mengatakan LPSE pernah mengalami
kerusakan sistem namun LPSE telah memiliki tim teknis untuk perbaikan.
LPSE juga melakukan penanggulangan untuk menjamin keselamatan data
lelang dan tranaparansi juga akuntabilitas. Sebanyak 100 % responden
mengatakan bahwa hasil audit perlu ditindklanjuti. Hal ini untuk
meningkatkan perbaikan sistem, penanganan, dan prosedur. LPSE
memiliki SOP sistem pengadaan secara elektronik. Bentuk SOP sesuai
Perpres 54 tahun 2011 dan pelaksanaannya sesuai dengan prosedur yang
berlaku. Menurut 90% responden LPSE juga memiliki kode etik. Bentuk
kode etiknya antara lain menjaga keahasian selama proses lelang.
Pelaksanaan kode etik dilakukan berdasarkan aturan yang berlaku.
d. Peraturan perundangan formal

67 
 
Sebanyak 100% responden menyatakan memahami prinsip –
prinsip pengadaan barang dan atau jasa publik. Sedangkan yang
memahami peraturan perundangan yang terkait dengan pengadaan barang
dan atau jasa public hanya 90% responden. Responden yang memahami
pengadaan barang dan jasa publik sebesar 100%. Tingginya tingkat
pemahaman ini dikarenakan pegawai LPSE berusaha untuk mengup date
informasi dari pemerintah terkait pengadaan juga adanya kesadaran untuk
meningkatkan transparansi juga akuntabilitas dalam pengadaan.

4.4.3.3. ULP

Tabel 4.4.3

Rata – rata Data ULP Per Variabel

No Variabel Rata - rata


1 Keefektifan Pengadaan 4,33
2 Eksistensi Pengembangan 4,13
3 Sistem Audit Dan Keefektifan Kontrol 3,57
4 Effisiensi Mekanisme Sanggahan &
Banding 3,98
5 Akses Informasi 4,59
6 Kode Etik 4,54
7 Partisipasi Publik 4,28
Sumber : kuisioner diolah

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa responden ULP untuk kota
Surabaya setuju faktor – faktor yang da dapat menunjang keefektifan pengadaan,
pengembangan yang selalu ada, sistem audit dan kontrol yang efektif, mekanisme
sanggahan dan banding yang efisien, akses informasi yang mudah, ode etik yang
baik, juga partisipasi publik yang meningkat. Hal ini diindikasikan dengan nilai
rata – rata yang berkisar antara 3,57 hingga 4,59.

Penjelasan untuk masing – masing variabel sebagai berikut.


a. Keefektifan pengadaan

68 
 
Seluruh responden ULP atau sebesar 100% di kota Surabaya
menyatakan ada kesesuaian kompetensi dengan tanggungjawab yang
diemban, ULP memahami TUPOKSI, serta ULP telah bekerja dengan
TUPOKSI masing – masing. Ada 60% responden ULP menyatakan
telah memiliki sertifikasi pengadaan barang dan atau jasa publik
sedangkan 40% responden menyatakan belum memiliki sertifikat.
Sertifikat yang dimiliki adalah sertifikat L4. Responden ULP 90%
mengatakan bahwa SDM ULP yang sudah bersertifikasi pengadaan
barang dan atau jasa mendukung efisiensi pengadaan sedangkan 10%
berkata tidak.
b. Eksistensi pengembangan kapasitas institusi
Pembinaan karier yang ada di ULP selama ini adalah
diadakannya pelatihan terutama jika ada program baru, ada rapat rutin
pegawai ULP, serta ada penyesuaian tenaga ahli dengan pekerjaan
lelang. Perubahan SOTK berpengaruh terhadap keberadaan ULP, hal
ini didukung dengan 90% responden yang mengatakan berpengaruh.
Program pengembangan kapasitas staf terkait barang dan atau jasa
telah dilakukan di ULP kota Surabaya.
c. Sistem audit dan keefektifan Kontrol
Kewenangan swakelola dilakukan oleh pegawai ULP kota
Surabaya. Lama waktu menjadi salah satu ukuran efisiensi dalam
pengadaan barang dan atau jasa di ULP kota Surabaya dan pengadaan
barang jasa secara elektronik dan keterlibatan pihak – pihak yang
berkepentingan juga berpengaruh.
Selama ini, 60% mengatakan ada evaluasi dari pemerintah
terhadap pakta integritas yang telah ada. Responden mengatakan
bahwa ada laporan dari ULP untuk pemerintah apabila ada indikasi
penyalahgunaan pakta integritas. Durasi evaluasi dilakukan tiap bulan
dan evaluasi ini dilakukan oleh wakil ketua ULP ataupun ketua ULP
sendiri.
d. Efisiensi dari mekanismen sanggahan dan banding

69 
 
Sebanyak 70% responden menyatakan pernah mendapatkan
sanggahan dan 20% responden menyatakan pernah mendapatkan
sanggahan banding. Sanggahan yang didapat dalam sekali pengadaan
barang dan jasa rata – rata sebanyak 1 – 3 kali. Sanggahan yang sering
terjadi antara lain pemenang yang kalah tidak terima dengan keputusan
pemenang yang telah ditetapkan. Banding yang didapatkan dalam
setahun rata – rata 3 kali banding dengan isi banding rata – rata tidak
terima dengan jawaban dari sanggahan.
e. Akses informasi
Dari hasil kuesioner didapatkan 80% responden menyatakan
Perpres Nomor 54 tahun 2010 telah memadai untuk mencakup
pengadaan barang dan atau jasa publik, 100% mengetahui prinsip –
prinsip, memahami peraturan, memahami mekanisme dan mengikuti
aturan – aturan yang terkait pengadaan barang dan atau jasa publik.
Responden pun 100% menyatakan bahwa mereka mengetahui
peraturan pengadaan barang dan atau jasa publik selain Perpres Nomor
54 tahun 2010. Peraturan pengadaan nasional yang mereka ketahui
antara lain UU ITE No 11 tahun 2008, Perwali 63 tahun 2010,
Peraturan LKPP, Peraturan Disperindag, Perpenpu untuk pengadaan
barang konstruksi dan UU pidana terkait rekonsiliasi namun mereka
tidak mengetahui peraturan pengadaan barang dan atau jasa publik
Internasional dengan kata lain hasil yang didapat 100% responden
menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui pengadaan barang dan
atau jasa publik internasional.
Menurut responden 60% menyatakan bahwa peraturan
perundangan pengadaan barang dan atau jasa publik perlu
mengakomodasi prinsip – prinsip standar pengadaan barang dan atau
jasa publik internasional karena ke depan akan diperlukan bila
pengadaan barang dan atau jasa berasal dari luar negri atau kita ingin
mengikuti pengadaan barang dan atau jasa di lingkup internasional ,
dan hanya 40% responden yang menyatakan tidak perlu karena

70 
 
menganggap bahwa aturan yang telah berlaku secara nasional telah
mencukupi.
f. Kode Etik dan ukuran anti korupsi
Hampir seluruh pegawai ULP di kota Surabaya mengetahui
pakta integritas, sebanyak 100% mengatakan mengetahui namun hanya
50% yang pernah menandatangani pakta integritas selama pengadaan
barang dan atau jasa yang telah dilakukan. Isi pakta integritas yang
mereka tandatangi sebagian besar berisi tentang komitmen bersama
untuk tidak melakukan KKN dan apabila terbukti melakukan KKN
maka pihak yang bersangkutan siap menerima sanksi. Dari
keseluruhan responden, 90% mengatakan mengetahui konsekuensi
yang akan diterima dengan menandatangani pakta integritas tersebut.
Sanksi tersebut antara lain sanksi pidana, administrasi, penurunan
pangkat, dan lain – lain.
g. Partisipasi public
Partisipasi publik mengalami peningkata dari waktu ke waktu
ini didukung dengan adanya lembaga – lembaga pengawasaan,
keterbukaan ruang daerah untuk pemantauan publik, keterbukan akses
informasi daerah, lbih tersinkronya pola pikir antar lembaga – lembaga
pengawasan.

4.4.3.4. Vendor

Tabel 4.4.4

Rata – rata Data Vendor Per Variabel

No Variabel Rata –
rata
1 Pemahaman Legal 4,85
2 Resolusi Konflik 4,25
3 Etika Pengadaan 4,08
4 Keterbukaan Informasi 4,6
5 Kesempatan UMKM dan Koperasi 4
6 Keterbukaan Proses Pengadaan 4,5
7 Partisipasi 4,34

71 
 
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa responden Vendor untuk kota
Surabaya setuju faktor – faktor yang da dapat menunjang pemhaman legal yang
baik, resolusi konflik yang baik, etika pengadaan yang baik, informasi yang
terbuka, kesempatan UMKM dan koperasi semakin meningkat, proses pengadaan
yang terbuka, serta peningkatan partisipasi. Hal ini diindikasikan dengan nilai rata
– rata yang berkisar antara 4,00 hingga 4,85.
Penjelasa untuk masing – maisng variabel sebagai berikut.
a. Pemahaman Legal
Hasil wawancara menunjukkan 100% responden setuju bahwa
pemahaman terhadap Perpres No 54 tahun 2010 diperlukan untuk
mengikuti proses pengadaan barang dan atau jasa karena Perpres 54 tahun
2010 merupakan pedoman pengadaan barang dan atau jasa di Indonesia.
Menurut data yang ada, 100% responden setuju bahwa pemahaman
terhadap peraturan perpajakan diperlukan agar proses pengadaan barang
dan atau jasa memungkinkan perusahaan memiliki kewajiban pajaknya
karena pajak merupakan kewajiban WNI.
Sebanyak 50% responden setuju Perpres No 54 tahun 2010
memungkinkan adanya potensi pemecahan/pemaketan pengadaan barang
dan atau jasa. Pemaketan biasanya terjadi karena agar semakin efisien.
Sedangkan 50% responden mengatakan tidak setuju karena sudah diatur
melalui Perpres 54 tahun 2010 yang telah diatur jelas paket dan nilainya.
b. Resolusi Konflik
Sebanyak 100% responden mengatakan bahwa perusahaan gagal
memenuhi kewajibannya dalam proses pengadaan barang dan atau jasa
perlu dikenakan sanksi. Keberadaan sanksi digunakan agar vendor tidak
semena – mena dan mengikuti aturan yang berlaku. Bentuk sanksi yang
dikenakan adalah blacklist dan denda. Perusahaan yang gagal memenuhi
kewajiban dalam pengadaan barang dan atau jasa menurut 50% perlu
melakukan negosiasi baru dengan panitia pengadaan karena negosiai
dibutuhkan penyedia untuk mencari kejelasan spesifikasi yang diminta dan

72 
 
kenapa penyedia digugurkan dalam pengadaan. Sedangkan 50% responden
lainnya berpendapat negosiasi tidak perlu karena akan menimbulkan
KKN.
Perusahaan yang gagal memnuhi kewajibannya harus di blacklist
berdasarkan 70% responden dikarenakan karena tidak memenuhi
kewajibannya dan disinyalir ada kesengajaan dalam kesalahan.
Mekanisme pencabutan blacklist untuk memperbaiki citra perusahaan
disetujuian 80% responden agar image perusahaan menjadi baik dan dapat
bekerja kembali. Syarat – syarat pencabutan blacklist antaralain
perusahaan harus dapat membuktikan bahwa mereka tidak bersalah atau
habis masa blacklistnya.
c. Etika Pengadaan
Menurut data 50% mengatakan iya untuk pemahaman pakta
integritas oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengadaan barang
dan atau jasa dapat menjamin terlaksananya pengadaan barang dan atau
jasa yang adil dan beretika. Hal ini dikarenakan dalam pakta integritas
tercantum perjanjian untuk tidak KKN. Sebanyak 80% responden
mengatakan setiap pelanggaran dalam pengadaan barang dan jasa public
perlu dibuat laporan pelanggarannya karena agar masyarakat juga
mengetahui dan memenuhi asas transparansi. Bentuk pelaporannya
antaralain pelaporan dibuat tergantung pelanggarannya. Yang harus
melaporkan adalah semua yang mengetahui pelanggaran dan dilaporkan
kepada inspektorat. Menurut data, 60% responden mengatakan bahwa
pakta integritas dapat membantu mengurangi konflik kepentingan di antara
para penyelenggaraan pengadaan karena terikat dengan perjanjian yang
tertera pada pakta integritas.
Menurut data, 50% responden setuju bahwa pagu anggaran yang
disampaikan sesuai dengan perhitungan harga pasar karena masih harga
tersebut masih bisa diterima dan masih rasional. Sedangkan 50%
responden tidak setuju karena tidak ada patokan pagu anggaran biasanya
harga tahun sebelumnya akan dinaikkan berdasarkan laju inflasi yang

73 
 
diproyeksikan. Evaluasi tergadap harga pasar perlu dilakukan agar harga
yang ditetapkan sesuai. Evaluasi dilakukan setiap terjadi perubahan harga.
Yang berhak mengevaluasi adalah panitia dan penyedia juga bisa pihak –
pihak lain yang terkait dalam pengadaan. Evaluasi perlu melibatkan
penyedia. Penyedia biasanya diwakili oleh asosiasi.
d. Keterbukaan Informasi
Pengadaan barang dan atau jasa publik secara elektronik dapat
mengurangi sanggahan dan banding menurut keseluruhan responden. Hal
ini dikarenakan adanya keterbukaan informasi antar pihak-pihak yang
berkaitan dengan pengadaan.
Pengadaan barang dan atau jasa secara elektronik dapat
mengurangi sanggahan dan banding yang mengindikasikan bahwa tender
telah diatur diindikasikan dengan 70% responden menjawab tidak. Hal ini
dikarenakan adanya keterbukaan informasi antar pihak-pihak yang
berkaitan dengan pengadaan.
Vendor di kota Surabaya mengetahui ada pengumuman pengadaan
barang dan atau jasa dari suatu instansi pemerintah antara lain dengan
koran dan internet. Media yang paling mudah diakses menurut responden
adalah internet karena dapat diakses dengan mudah, kapanpun, dan di
manapun.
e. Kesempatan UMKM dan koperasi

Perpres 54 tahun 2010 menurut 100% responden telah memberikan


akses kepada penyedia kecil untuk berpartisipasi dalam pengadaan barang
dan atau jasa publik.
f. Keterbukaan proses pengadaan
Sebanyak 80% responden setuju bahwa Pemda perlu
mengumumkan rencana pengadaan barang dan atau jasa publik tahunan
untuk mewujudkan transparansi.
Sebanyak 100% responden setuju bahwa proses pengumuman
penentuan pemenang pengadaan barang dan atau jasa diperlukan informasi

74 
 
juga tentang alasan gugurnya vendor yang terpilih agar vendor tahu
kesalahannya dan dapat memperbaikinya.
Untuk mempermudah akses pengadaan barang dan atau jasa
berbasis teknologi diperlukan pelatihan khusus karena agar memiliki
kecakapan dalam melakukan pengadaan.
g. Partisipasi masyarakat
Semua pihak dapat melaporkan kepada inspektorat atas
pelanggaran yang diketahuinya.

4.4.3.5. LSM

Tabel 4.4.5

Rata – rata Data LSM Per Variabel

No Variabel Rata –
rata
1 Pemahaman Mekanisme Pengawasan
E-Procurement 3,39
2 Peraturan Perundangan Yang
Melindungi LSM 3,6
3 Strategi Pengawasan 4,07
4 Koordinasi LSM 4,02
5 Indepedensi LSM 4,24
6 Partisipasi Masyarakat 4,33
Sumber : kuisioner diolah

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa LSM untuk kota Surabaya
setuju faktor – faktor yang ada dapat menunjang pemahaman mekanisme
pengawasan pengadaan barang dan atau jasa elektronik, peraturan
perundangan yang melindungi LSM telah memadai, strategi pengawasan yang
baik, koordinasi LSM yang baik, independensi LSM yang tinggi, juga
peningkatan partisipasi masyarakat. Hal ini diindikasikan dengan nilai rata –
rata yang berkisar antara 3,39 hingga 4,33.
Penjelasan masing – masing variabel sebagai berikut.
a. Pemahaman mekanisme pengawasan E – Procurement

75 
 
Materi yang diharapkan apabila ada pelatihan mengenai
pengawasan pengadaan barang dan atau jasa secara elektronik
mekanisme e procurement dengan detail – detailnya. Lembaga
pengawas akan bersedia mengikuti pelatihan pengawasan e
procurement apabila ada. Lembaga pengawas 50% menggunakan
prosedur dalam melakukan pengawas e procurement sedangkan 50%
tidak menggunakan prosedur karena sifatnya pengawasan adalah suka
rela.
b. Peraturan perundangan yang melindungi LSM
Menurut 30% responden, Perpres No 54 tahun 2010 telah
menjelaskan unsur – unsur yang diawasi lembaga pengawas dalam
pengadaan barang dan atau jasa publik dan 70% mengatakan tidak.
Lembaga pengawas mengetahui unsur – unsur yang diawasi bersumber
dari teman praktisi, internet, mitra, organisasi, buku, dll.
c. Strategi pengawasan
Dari tahap pengawasan secara keseluruhan dilakukan oleh LSM
di kota Surabaya. Lembaga pengawas 70% respondennya mengatakan
mempunyai rencana setiap melakukan pengawasan e procurement.
Rencana pengawasan cukup efektif dan telah terdokumentasi dengan
baik.
d. Koordinasi LSM
Komunikasi LSM dengan obyek yang diawasi telah berjalan efektif
dengan 60% responden mengatakan berjalan efektif. Sedangkan 40%
mengatakan tidak, karena menurut mereka terlalu banyak yang diawasi
sehingga kurang efektif. Komunikasi LSM dengan antar lembaga
pengawas telah berjalan efektif dengan 80% responden mengatakan
berjalan efektif. Sedangkan 20% mengatakan tidak, karena pemerintah
cenderung tertutup dan belum ada lembaga di tingkat nasional yang
benar – benar menampung wadah e procurement. Komunikasi LSM
dengan pemerintah telah berjalan efektif dengan 70% responden
mengatakan berjalan efektif. Sedangkan 30% mengatakan tidak,

76 
 
karena menurut mereka sulit mengakses informasi. Komunikasi LSM
dengan pihak yang berwajib telah berjalan efektif dengan 70%
responden mengatakan berjalan efektif. Sedangkan 30% mengatakan
tidak, karena menurut mereka masih banyak temuan yang belum
dilaporkan ke pihak berwajib.
e. Independensi LSM
Sebanyak 60% responden menyatakan bahwa komunikasi telah
efektif antara personel di lapangan dengan personel di lembaga
pengawas. Sedangkan 40% mengatakan tidak karena masih banyak
kendala teknis. Sebanyak 60% responden menyatakan lembaga
pengawas telah independen. Sedangkan 40% mengatakan tidak karena
lembaga memiliki kepentingannya masing – masing. Ada 80%
responden yang menyatakan adanya pihak yang mengevaluasi kinerja
lembaga pengawas. Pihak – pihak tersebut antara lain pihak internal
lembaga, Pembina LSM, LSM LAKPESDAM, masyarakat, dll.
f. Partisipasi masyarakat
Cara efektif yang sebaiknya dilakukan untuk mengoptimalkan
lembaga – lembaga masyarakat guna memantau proses pengadaan
barang dan atau jasa menurut responden adalah revitalisasi yang sudah
ada, menjahit partisipasi kontrol, mengoptimalkan fungsi pengawasan
masyarakat, ruang partisipasi masyarakat sudah cukup dalam
melakukan evaluasi, adanya sistem yang terintegrasi, peningkatan
transparansi, dll.

4.5 MAKASSAR

4.5.1 Demografi Responden

Penggambaran demografi responden merupakan hal penting dalam riset.


Gambaran latar belakang responden diharapkan dapat menunjukkan bahwa
responden dalam riset ini telah mewakili fenomena populasi dari kondisi
sesungguhnya yang diharapkan terwakili dalam riset ini. Jumlah responden dalam

77 
 
need assestment ini berjumlah 50 responden, terbagi atas lima stakeholder yaitu:
Inspektorat, Vendor, LPSE, ULP dan LSM (setiap stakeholder diwakili oleh 10
responden). Informasi yang lebih lengkap mengenai karakteristik responden
dalam riset ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Responden:
- Inspektorat 10
- Vendor 10 20%
- LPSE 10 20%
- ULP 10 20%
- LSM 10 20%
20%
Jumlah Responden 50 100%
Bidang Tugas
- Inspektorat
i. Inspektorat 3 30%
j. Auditor 5 50%
k. Perencanaan Audit 1 10%
l. Pengawasan 1 10%
Jumlah 10 100%
- Vendor
k. Ardin 2 20%
l. Inkindo 1 10%
m. Akaindo 2 20%
n. Gapensi 1 10%
o. Pengusaha 4 40%
Jumlah 10
- LPSE
f. Staf sekertariat LPSE 3 30%
g. LPSE UNEM 2 20%
h. LPSE-Helpdesk 2 20%
i. Verifikator 1 10%
j. Verifikator (UNEM) 1 10%
k. LPSE UNHAS 1 10%
Jumlah 10
- ULP
b. Panitia Kota 2 20%
c. Panitia UNHAS 7 70%
d. ULP UNEM 1 10%
Jumlah 10 100%
- LSM
j. Yapedra 4 30%
k. LSM Adovakasi 1 10%
l. Perak Institute 1 10%
m. Implementasi Hasil Program 2 20%
n. Staf Administrasi 1 10%
o. Fasilitator 1 10%
Jumlah 10 100%
Demografi (total responden)
Jenis Kelamin
- Laki-laki 38 76%
- Perempuan 12 24%

78 
 
Jumlah 50 100%

Dari gambaran demografi responden dapat dikatakan bahwa responden


dari setiap stakeholder terlihat beragam dari bidang tugas masing-masing, hal ini
sesuai dengan harapan peneliti bahwa ada keragaman responden sehingga dapat
mencirikan kondisi masing-masing stakeholder.

4.5.2 Kualitas Pengukuran

Suatu riset memiliki hasil yang dapat dipertanggungjawaban jika dalam


proses pengumpulan data dilakukan dengan benar serta instrumen yang digunakan
dalam riset benar-benar dapat mengukur apa yang seharusnya diukur.
Pengembangan instrumen yang digunakan dalam riset ini didasarkan pada 4 pilar
e-procurement dari OECD (lihat Bab III).
Validitas dan reliabilitas instrumen merupakan poin penting dalam suatu
riset. Instruemen yang valid dan reliable memberikan jaminan bahwa setiap
variabel yang diujikan telah meggunakan pengukuran yang tepat. Validitas
menunjukkan sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam
melakukan fungsi ukurnya atau dengan kata lain validitas menunjukkan seberapa
nyata suatu pengujian mengukur apa yang seharusnya diukur, sedangkan
reliabilitas merupakan suatu pengukur yang menunjukkan stabilitas dan
konsistensi pengukurannya. Suatu pengukur dikatakan reliable jika dapat
dipercaya yaitu mengukur subjek yang sama diperoleh hasil yang tidak berbeda.
Berikut ini akan dipaparkan hasil pengujian setiap instrumen (alat ukur)
dari setiap stakeholder yang diteliti:
Nama Instrumen dari setiap Stakeholder Reliabilitas Validitas
Cronbach Component
Alpha Analysis
Inspektorat:
- Sistem Audit dan Pengendalian yang Efektif 0.890 0.764
- Effisiensi Mekanisme Sanggahan dan Banding 0.855 0.663
- Degree of Accsess to Information 0.926 0.898
- Kode Etik dan Ukuran Anti Korupsi 0.808 0.718
- Partisipasi Masyarakat 0.913 0.720
Vendor:
- Pemahaman Legal 0.828 0.942

79 
 
- Resolusi Konflik 0.834 0.910
- Etika Pengadaan 0.895 0.866
- Keterbukaan Informasi 0.609 0.868
- Kesempatan UMKM & Koperasi 0.923 0.919
- Keterbukaan Proses Pengadaan 0.692 0.969
- Partisipasi 0.915 0.837
Lanjutan tabel 2
ULP:
- Keefektifan Pengadaan -2.049 0.847
- Eksistensi Pengembangan 0.873 0.680
- Sistem Audit dan Keefektifan Kontrol 0.627 0.934
- Effisiensi Mekanisme Sanggahan & Banding 0.849 0.892
- Akses Informasi 0.845 0.720
- Kode Etik dan Ukuran anti korupsi 0.779 0.896
- Partisipasi Publik 0.600 0.755
LPSE:
- Institusi Pengadaan Barang/Jasa 0.760 0.643
- Effisiensi & Effektifitas Pengadaan Brg/Jasa 0.656 0.727
- Sistem Audit, Efektifitas Pengendalian & Kode Etik 0.808 0.738
- Peraturan Perundangan Formal 0.958 0.834
LSM:
- Pemahaman Mekanisme Pengawasan e-procurement 0.898 0.772
- Peraturan perundangan yang melindungi LSM 0.910 0.895
- Strategi Pengawasan 0.806 0.677
- Koordinasi LSM 0.747 0.628
- Independensi LSM 0.854 0.815
- Partisipasi Masyarakat 0.839 0.697
Sumber: Data dianalisis

Hasil pengujian item instrumen dari semua instrumen yang digunakan


untuk semua stakehoder menunjukkan bahwa semua instrumen adalah valid dan
reliable karena sebagian besar angka pengujian telah berada di atas nilai 0,60
kecuali instrumen Keefektifan pengadaan (ULP) yang memiliki angka negatif,
namun secara keseluruhan instrumen-instrumen yg digunakan untuk mengukur
need assesment ULP adalah akurat sehingga tetap dapat digunakan dalam proses
analisis data berikutnya, namun untuk riset mendatang sebaiknya instrumen ini
diperbaiki sebelum digunakan.

4.5.3 Analisis dan Pembahasan

4.5.3.1. Inspektorat
Analisis data untuk inspektorat lebih dititkberatkan pada kesiapan
inspektorat dalam mengantisipasi pemeriksaan proses pengadaan barang dan atau

80 
 
jasa setelah penerapan pengadaan barang dan atau jasa berbasis elektronik. Hasil
analisis akan memberi jawaban apakah Inspektorat telah memahami Perpres 54
tahun 2010 berkaitan dengan proses pemeriksaan pengadaan barang dan atau jasa
berbasis elektronik atau tidak Analisis data akan didasarkan pada instrumen-
instrumen yang digunakan dalam proses pengumpulan data yaitu:
- Sistem Audit dan Pengendalian yang Efektif (SAPE)
- Effisiensi Mekanisme Sanggahan dan Banding (EMSB)
- Degree of Accsess to Information (DAI)
- Kode Etik dan Ukuran Anti Korupsi (KEUAK)
- Partisipasi Masyarakat (PM).

Berikut ini adalah hasil statistik diskriptif yang menggambarkan kondisi


dan kesiapan Inspektorat dalam proses pemeriksaan pengadaan barang dan atau
jasa berbasis elektronik.
Tabel 4.5.1 Deskriftif Statistik Inspektorat

Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
SAPE 10 3.6000 4.8000 4.330000E0 .3987480
EMSB 10 3.5000 5.0000 4.233333E0 .4172218
DAI 10 3.3333 5.0000 4.383333E0 .4862302
KEUAK 10 3.4286 5.0000 4.300000E0 .4877175
PM 10 3.5714 5.0000 4.457143E0 .5504072
Valid N 10
(listwise)

Hasil di atas menunjukkan bahwa Sistem Audit dan Pengendalian yang


Efektif (SAPE) merupakan faktor penting dalam menunjang pekerjaan inspektorat
dalam proses pemeriksaan. Responden setuju bahwa sistem audit yang tepat dapat
berdampak pada efektifitas pemeriksaan, hal ini ditunjukkan melalui nilai rata-
rata 4,33 (setuju). Angka 4,33 di atas mengindikasikan semua responden setuju
bahwa kerangka hukum yang dapat menjadi acuan dalam proses audit pengadaan
atau jasa dapat membantu proses audit yang lebih efektif begitu juga dengan
ketersediaan regulasi yang berkaitan proses pengawasan internal dapat
meningkatkan kualitas pengawasan dalam proses pengadaan barang atau jasa.
Selain itu komitmen pimpinan dalam mengupayakan transparansi dalam proses
pemeriksaan audit untuk menghilangkan korupsi dalam proses pengadaan barang

81 
 
atau jasa juga sangat diperlukan terutama untuk menindaklanjuti temuan dalam
pemeriksaan serta ketersediaan pembagian kerja yang jelas antar lembaga
pengawas dalam proses pengawasan pengadaan barang dan atau jasa .
Pemaparan di atas diperkuat dengan hasil wawancara dari 10 responden
(100%) menyatakan bahwa sudah terdapat aturan-aturan yang berkaitan
pengendalian internal, namun masih terdapat hambatan dalam implementasinya.
Hal ini dapat dilihat dari hasil temuan berikut ini:
Peraturan : Semua (100%) responden menjawab bahwa sudah terdapat aturan
berkaitan yang berkaitan dengan pengendalian internal, seperti: PP 60 tahun
pengendalian 2008, Perwali mengenai SPI, Peraturan tentang Pemisahan Fungsi
internal dan Pembagian Kerja, . Peraturan tentang Inspektorat dan audit,
Kerpres 80 2003 dan Permendagri 17 2006 serta Perpres 54.
Hambatan : - Tahap sosialisasi blm bisa dipastikan waktunya
dalam - Bimbingan teknis masih diperlukan --> tahap sosialisasi
penerapan - Kebijakan dalam pelaksanaan
- kurangnya SDM yang menguasai pekerjaan
- Masalah indepedensi dan Komitmen Pimpinan
- Ketidaktahuan pelaksana pengadaan barang dan jasa dengan
peraturan baru.
- Masih kurang sosialisasi tentang peraturan yang baru (perpers 54
2010)
- penjabaran PP masih dalam penggodokan, penerapan uraian tugas
yg rinci masih dalam penggodokan
Jalan Keluar - Aturan hrs ditegakkan
- Bimbingan teknis kerjasama dgn BPK
- Memaksimalkan pegawai yang ada dengan pengetahuan yang
dimiliki
- Sosialisasi segera dilaksnakan
- Harus segera terbit aturannya/penjabaran dari peraturan terkait
(Perpers 54)
- Pengawasan eksternal --> independen
Perlu dibuat - Penjabaran PP 60 thn 2008 melalui Instruksi Presiden dan MOU
aturan BPKP sebagai Pembina
kelengkapan - Standar operasional prosedur
Saran - Tidak perlu buat aturan yang baru tapi tingkatkan sosialisasi
undang-undang yg sudah ada.
- SPI dilakukan dengan konsisten
- harus ada pemisahan fungsi yang jelas diantara lembaga
pengawas sehingga tidak ada tumpang tindih fungsi
Sumber: Data diolah dari hasil wawancara

Temuan lain mengungkapkan bahwa proses pengawasan internal sudah


sering dilakukan dan setiap temuan yang ditemukan pada saat pemeriksaan perlu

82 
 
untuk ditindak-lanjuti sebagai upaya untuk mencegah terjadinya tindakan korupsi
dalam proses pengadaan barang atau jasa.

No Pertanyaan Jawaban Jumlah %


1. Seberapa seringkah pengawasan internal sering 10 org 100%
perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya
tindakan korupsi dalam proses pengadaan
barang atau jasa
2. Berapa kali pengawasan internal harus 4 x setahun 9 org 90%
dilakukan dalam setahun? 3 x setahun 1 org 10%
3. apakah setiap temuan audit perlu Perlu 10 org 100%
ditindaklanjuti?

Hasil temuan mengenai Effisiensi Mekanisme Sanggahan dan Banding


(EMSB) menunjukkan bahwa sanggah dan banding merupakan salah satu cara
untuk memberi ruang bagi para vendor untuk mendapatkan transparansi dalam
proses penunjukkan pemenang lelang. Hal ini dapat dilihat dari pendapat
responden terhadappertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan Effisiensi
Mekanisme Sanggahan dan Banding (EMSB) mengindikasikan bahwa para
responden setuju (nilai rata-rata 4,23) bahwa regulasi dan standarisasi tentang
sanggahan dan banding diperlukan untuk mengatur pihak-pihak yang
bertanggungjawab atas sanggahan yang diajukan, hal ini ditujukan untuk
meningkatkan efisiensi dan efektifitas sanggahan dan banding yang harus
ditanggapi , selain itu pengawasan juga perlu dilakukan terhadap perusahaan -
perusahaan yang lolos seleksi pengadaan barang dan atau jasa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden (100%) menjawab
sudah ada aturan berkaitan dengan mekanisme sanggahan dan banding yang diatur
dalam Kerpres 80 dan Kemendagri 17 yaitu satu minggu setelah penetapan
pemenang, rekanan yang kalah berhak mengajukan banding. Hal di atas
menunjukkan bahwa responden telah memahami aturan-aturan yang ada berkaitan
dengan sanggahan dan banding, yang lebih penting adalah pengawasan perlu
dilakukan dalam proses sanggahan dan banding untuk memberi jaminan bahwa
proses penunjukkan pemenang maupun proses pengajuan dan pemberian jawaban

83 
 
atas sanggah dan banding benar-benar telah dilakukan dengan transparan dan
akuntabel.

No Pertanyaan Jawaban Jumlah %

1. Sudah adakah mekanisme pengajuan Ada 10 org 100%


sanggahan dan banding dalam proses
pengadaan barang atau jasa
2. Siapakah yang seharusnya Panitia/ULP 10 org 100%
bertanggungjawab dalam menjawab setiap
sanggahan yang disampaikan?
3. Apakah diperlukan suatu mekanisme yang Perlu 10 org 100%
baku berkaitan dengan mekanisme
sanggahan dan banding yang diajukan?

Dari temuan diatas menunjukkan bahwa masih diperlukan aturan yang


baku dalam proses pemeriksaan yang berkaitan dengan sanggahan dan banding,
karena belum ada aturan yang jelas berkenaan dengan hal tersebut.
Kemampuan akses informasi dalam proses pengadaan barang dan atau jasa
atau Degree of Accsess to Information (DAI) menunjukkan bahwa e-procurement
membuat pengawasan menjadi lebih mudah untuk mendeteksi penentuan jadwal
waktu yang tidak realistis pada saat rencana pengadaan barang atau jasa disusun.
Hasil temuan menunjukkan bahwa semua responden setuju (nilai rata-rata
4,38) bahwa penerapan e-procurement selain mempercepat akses informasi juga
mempermudah proses pemeriksaan dan pengawasan. Pengawasan dalam proses
pengadaan barang dan atau jasa sebaiknya tidak saja dilakukan oleh pemerintah
(Inspektorat, BPK, KPK) tetapi juga oleh masyarakat melalui lembaga-lembaga
independen (seperti LSM). Masyarakat harus diberi partisipasi yang cukup untuk
melakukan pengawasan mengingat sumber daya pemerintah yang ada terbatas.
Ruang partisipasi dapat diberikan dalam bentuk kotak pengaduan atau layanan
pengaduan, agar tidak timbul pengaduan yang fiktif dari masyakarat maka setiap
aduan harus disertai bukti yang dapat dipertanggungjawabkan agar dapat
ditindaklanjuti oleh lembaga pengawas pemerintah. Masyarakat atau lembaga
independen yang memberi laporan seharusnya mendapat jaminan keamanan
sehingga mereka tidak ragu memberi laporan yang sebenarnya.

84 
 
No Pertanyaan Jawaban Jumlah %

1. Apakah sudah tersedia Ada 10 org 100%


lembaga-lembaga yang dapat
digunakan masyarakat untuk
melaporkan berbagai indikasi
korupsi dalam proses
pengadaan barang atau jasa?
2 Lembaga apa saja yang telah LSM & Lembaga 10 org 100%
ada? Independen lainnya
3. Bagaimana prosedur dan - Website 10 org 100%
mekanisme pelaporannya? - Surat
- SMS
- Telpon
- Layanan pengaduan
4. Apakah perlu ada jaminan Perlu 10 org 100%
hukum bagi anggota
masyarakat yang melaporkan
indikasi korupsi dalam proses
pengadaan barang atau jasa?
5. Bagaimana cara yang perlu - Menjahit partisipasi 2 20%
dilakukan untuk - Mengoptimalkan fungsi 3 30%
mengoptimalkan lembaga- pengawasan masyarakat
lembaga masyarakat guna - Ruang partisipasi
memantau proses pengadaan masyarakat sudah cukup
barang dan atau jasa ? dalam melakukan 3 30%
kontrol/ monitoring
evaluasi.
- Pengawalan proses 2 20%
pengadaan

Temuan yang berkaitan dengan perlu atau tidaknya Kode Etik dan Ukuran
Anti Korupsi (KEUAK) juga menunjukkan bahwa semua responden (nilai rata-
rata 4,30) setuju bahwa perlu ada Kode Etik dan Ukuran Anti Korupsi yang
mengatur proses pengadaan barang dan atau jasa. Kode Etik dan Ukuran Anti
Korupsi diperlukan terutama untuk memverifikasi perusahaan-perusahaan yang
tidak memenuhi syarat yang diajukan ULP agar terhindar dari proses rekayasa
data perusahaan. Selain itu diperlukan juga sanksi yang jelas dan terstruktur bagi
individu atau perusahaan yang melakukan kejahatan dalam proses pengadaan
barang dan atau jasa terutama perusahaan yang melakukan rekayasa evaluasi
dokumen yang dilakukan pada dokumen lelang sehingga diperlukan regulasi yang

85 
 
mengatur etika dan ukuran anti korupsi untuk menjamin terciptanya
akuntantabilitas dan transparansi dalam proses pengadaan barang atau jasa.

No Pertanyaan Jawaban Jumlah %

1. Apakah kode etik dalam Perlu 10 org 100%


proses pengadaan barang dan
atau jasa diperlukan?
1. Apakah Peraturan Ya 10 org 100%
perundangan pengadaan
tentang barang dan atau jasa
(Perpres 54/ 2010, PP
29/2000, PP No 8/2006, dll.)
masih memungkinkan
terjadinya rekayasa pemaketan
pekerjaan

2 Bentuk rekayasa pemaketan - Negosiasi dengan 2 org 20%


yang bagaimana yang dapat vendor 2 org 20%
terjadi? - Komunikasi antara
panitia & vendor 2 org 20%
- Sifat pekerjaan yg sama
tapi dipecah untuk
menghindari lelang 2 org 20%
- Memenangkan pihak 2 org 20%
tertentu
- Memperpendek masa
penawaran & kurang
publikasikan
3. Apakah bentuk rekayasa Ya 10 org 100%
tersebut dapat
mengindikasikan terjadinya
korupsi?

Partisipasi Masyarakat (PM) merupakan komponen pentingnya dalam


proses pengadaan barang dan atau jasa, hal ini dapat dilihat beberapa pendapat
masyarakat yang setuju (nilai rata-rata 4,46) bahwa kontrol masyarakat terhadap
kebutuhan publik masih diperlukan untuk menghindari terjadinya perencanaan
pengadaan barang atau jasa yang diarahkan dan Pengawasan masyarakat
diperlukan untuk melaporkan berbagai tindakan korupsi dalam proses pengadaan
barang dan atau jasa. Namun disisi lain tersedianya lembaga-lembaga pengawasan
independen harus disertai dengan kerjasama yang baik diantara lembaga-lembaga

86 
 
tersebut agar tujuan pengawasan yaitu adanya tindak lanjuti dari setiap laporan
yang disampaikan dapat tercapai.

4.5.3.2. LPSE
Analisis data untuk Lembaga Pengadaan barang dan atau jasa Secara
Elektronik (LPSE) lebih dititkberatkan pada kesiapan lembaga ini siap ataukah
tidak dalam pengimplementasi pengadaan barang dan atau jasa berbasis
elektronik. Hasil analisis akan memberi jawaban apakah LPSE telah memahami
Perpres 54 tahun 2010 berkaitan dengan proses pengadaan barang dan atau jasa
berbasis elektronik atau tidak. Analisis data akan didasarkan pada instrumen-
instrumen yang digunakan dalam proses pengumpulan data yaitu:
- Institusi Pengadaan Barang dan atau Jasa (IPBJ)
- Effisiensi & Effektifitas Pengadaan Barang dan atauJasa (EEPBJ)
- Sistem Audit, Efektifitas Pengendalian & Kode Etik (SAEPKE)
- Peraturan Perundangan Formal (PPF).

Berikut ini adalah hasil statistik diskriptif yang menggambarkan kondisi


dan kesiapan LPSE dalam proses pengadaan barang dan atau jasa berbasis
elektronik.

Tabel 4.5.2 Deskriftif Statistik LPSE

Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
IPBJ 10 3.5000 4.8750 4.375000E0 .4409586
EEPBJ 10 2.0000 3.8000 2.980000E0 .5996295
SAEPKE 10 3.5000 5.0000 4.250000E0 .4714045
PPF 10 4.0000 5.0000 4.300000E0 .4830459
Valid N (listwise) 10

4.3.3. ULP
Analisis data untuk Unit Layanan Pengadaan (ULP) lebih dititkberatkan
pada kesiapan lembaga ini siap ataukah tidak mempersiapkan diri
mengimplementasikan proses pengadaan barang dan atau jasa berbasis elektronik.
Hasil analisis akan memberi jawaban apakah ULP telah memahami Perpres 54
tahun 2010 berkaitan dengan proses pengadaan barang dan atau jasa berbasis

87 
 
elektronik atau tidak. Selain itu analisis data juga diarahkan pada keefektifan
pengadaan dan kerjasama yang harmonis dengan Lembaga Pengadaan secara
elekstronik (LPSE) dalam menunjang terwujudnya proses pengadaan yang
transparansi dan akuntabel. Analisis data akan didasarkan pada instrumen-
instrumen yang digunakan dalam proses pengumpulan data yaitu:
- Keefektifan Pengadaan (KP)
- Eksistensi Pengembangan Kapasitas Institusi (EPKI)
- Sistem Audit dan Keefektifan Kontrol (SAKK)
- Efisiensi Dari Mekanisme Sanggahan dan Banding (EMSB)
- Akses Informasi (AI)
- Kode Etik dan Ukuran Anti Korupsi (KEUAK)
- Partisipasi Publik (PP)

Berikut ini adalah hasil analisis statistik diskriptif yang menggambarkan


kondisi dan kesiapan ULP dalam proses pengadaan barang dan atau jasa berbasis
elektronik.

Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
KP 10 4.0000 4.6667 4.233333E0 .2249826
EPKI 10 3.6667 5.0000 4.400000E0 .3784308
SAKK 10 3.7500 4.7500 4.350000E0 .3270236
EMSB 10 3.6000 5.0000 4.270000E0 .4831609
AI 10 4.0000 5.0000 4.385714E0 .3986938
KEUAK 10 3.7500 5.0000 4.350000E0 .4031129
PP 10 3.6667 5.0000 4.383333E0 .4306901
Valid N (listwise) 10

Hasil di atas menunjukkan bahwa Keefektifan Pengadaan (KP) merupakan


faktor penting dalam menunjang kelancaran pekerjaan di ULP sebagai bagian
yang bertanggung-jawab dalam membuat penawaran pengadaan barang dan atau
jasa. Responden setuju bahwa keberadaan LPSE mendorong keefektifan

88 
 
pengadaan barang dan atau jasa publik, begitu pula adanya pengumuman
pengadaan barang dan jasa berbasis teknologi informasi mendorong akses publik
yang lebih luas dan mendorong tingkat persaingan sehat diantara para vendor, hal
ini ditunjukkan melalui nilai rata-rata 4,23 (setuju).
Angka 4,23 di atas mengindikasikan semua responden setuju bahwa
pengadaan barang dan atau jasa publik berbasis teknologi internet berdampak
pada efektifitas dalam proses pengadaan barang dan atau jasa publik karena bisa
mendapatkan barang yang berkualitas dengan harga yang kompetititf, transparansi
dan bebas dari kolusi, korupsi dan nepitisme. Akses yang lebih luas memberi
peluang yang sama untuk semua vendor yang ada di seluruh Indonesia untuk ikut
serta berpartisipasi dalam proses pengadaan barang dan atau jasa.

No Pertanyaan Jawaban Jumlah %

1. Keberadaan LPSE mendorong keefektifan Setuju 6 org 60%


pengadaan barang dan atau jasa publik. Sangat setuju 4 org 40%
2. Keefektifan pengadaan barang dan atau Setuju 8 org 80%
jasa dipengaruhi oleh Tingkat Persaingan Sangat setuju 1 org 10%
Vendor. Cukup setuju 1 org 10%
3. Pengumuman pengadaan barang dan jasa Setuju 6 org 60%
yang terkait teknologi informasi Sangat setuju 4 org 40%
mendorong akses publik yang lebih luas.

Pelaksanaan proses pengadaan barang dan atau jasa publik harus sesuai
dengan standar kualitas control. Untuk menunjang tercapainya kualitas kontrol
diperlukan evaluasi kinerja staf pada saat proses pengadaan barang dan atau jasa
publik, dengan demikian pengembangan kapasitas staf menjadi prioritas pada saat
proses pengadaan barang dan atau jasa berbasis elektronik.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa seluruh responden setuju (nilai
rata-rata 4,40) bahwa Eksistensi Pengembangan Kapasitas Institusi (EPKI)
merupakan hal penting dalam menunjang proses pengadaan barang dan atau jasa,
hal ini dapat dilihat dari semua staf ULP sudah memiliki sertifikat (L2). Namun
sayangnya semua responden tidak memahami standar peraturan pengadaan barang
dan atau jasa publik internasional, tetapi semua responden setuju bahwa mereka
perlu memahami/mengetahui peraturan-peraturan internasional jika suatu saat

89 
 
pengadaan dan atau jasa publik melibatkan vendor dari luar negeri atau juga perlu
mendatangkan produk-produk dari luar negeri.

No Pertanyaan Jawaban Jumlah %

1. Apakah SDM yang sudah bersertifikasi ya 10 100%


pengadaan di ULP mendukung efisiensi
dan efektifitas pengadaan barang dan
atau jasa publik?
2. Apakah Bapak/ Ibu perlu mengetahui Ya 10 100%
prinsip – prinsip pengadaan barang dan
atau jasa publik?
3. Apakah Bapak/ Ibu perlu mengikuti Ya 10 100%
aturan – aturan yang terkait pengadaan
dalam pelaksanaan pengadaan Barang
dan atau Jasa publik?
4. Apakah Bapak/ Ibu memahami standar Tidak 10 100%
peraturan pengadaan Barang dan atau
Jasa publik internasional?
5. Apakah e-procurement mendorong Ya 10 100%
efisiensi dalam pengadaan barang dan - Menghemat
atau jasa publik? angaran
- Efisien & efektif

Selain memahami aturan-aturan yang terkait dengan proses pengadaan


barang dan atau jasa seharusnya staf ULP juga diharapkan memiliki kemampuan
dalam menggunakan teknologi informasi, mengingat proses pengadaan barang
dan atau jasa sesuai Perpres 54 tahun 2010 mengharuskan seluruh proses
pengadaan barang dan atau jasa menggunakan teknologi informasi. Hal ini
disebakan karena proses pengadaan barang dan atau jasa berbasis elektronik dapat
menghemat anggaran, selain itu juga lebih efektif karena proses lelang yang dapat
diakses oleh semua pihak yang berkepentingan.
Di sisi lain untuk menunjang kinerja staf ULP seharusnya sistem reward
dan sanksi perlu diperhatikan, karena dengan pemberian reward yang memadai
akan mengungkit kinerja staf ULP dan sebaliknya jika melakukan kesalahan harus
diberi sanksi sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan. Aturan mengenai
sistem reward maupun sanksi belum diatur secara jelas, walaupun dalam pakta
integritas diatur mengenai hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan misalnya
tidak boleh KKN, tidak boleh menjanjikan pekerjaan pada siapapun dan harus

90 
 
bekerja sesuai aturan yang berlaku. Namun hal-hal yang mengatur tentang reward
tidak diatur secara jelas dan sebaliknya hal-hal yang berkaitan dengan sanksi telah
diatur termasuk konsekuensi jika terbukti melakukan kesalahan, misalnya
dipenjara jika terbukti bersalah.

No Pertanyaan Jawaban Jumlah %

1. Apakah Bapak/Ibu mengetahui ya 10 100%


pakta integritas?
2. Apakah Bapak/Ibu pernah Ya 10 100%
menandatangani pakta
integritas?
3. Apa isi pakta integritas yang - Tidak boleh melakukan 10 100%
pernah Bapak/Ibu KKN dan ada sanksi jika
tandatangani? melanggar
Antara lain: - Tidak menjanjikan
pekerjaan kepada siapapun
- Bekerja sesuai aturan dan
ketetapan yg berlaku
4. Apakah Bapak/ Ibu Ya 10 100%
mengetahui konsekuensi dari Konsekuensinya adalah
menandatangani pakta penjara jika terbukti
integritas? melakukan kesalahan

Untuk menunjang Sistem Audit dan Keefektifan Kontrol (SAKK), semua


responden setuju (nilai rata-rata 4,35) bahwa harus ada regulasi yang jelas
berkaitan dengan sistem pemeriksaan yang berkeadilan, juga sangat diperlukan
ketepatan waktu informasi dalam proses pemeriksaan (audit) selain sistem
pengendalian internal yang akurat, teruji dan dapat dipercaya sehingga dapat
mengukur kinerja audit yang sebenarnya.

No Pertanyaan Jawaban Jumlah %

1. Regulasi internal audit ULP sesuai Setuju 4 org 40%


dengan peraturan – peraturan pemerintah Sangat setuju 5 org 50%
yang terkait dengan audit. Cukup setuju 1 org 10%
2. Sistem pengendalian internal dapat Setuju 4 org 40%
mengukur kinerja audit. Sangat setuju 5 org 50%
cukup setuju 1 org 10%
3. Kecukupan dan ketepatan informasi yang Setuju 5 org 50%
tersedia diperlukan untuk mendukung Sangat setuju 5 org 50%
kualitas audit.

91 
 
Sebagai lembaga yang menyiapkan dan menyelenggarakan pengadaan
barang dan jasa, tentunya ULP juga ikut bertanggungjawab pada saat ada vendor
yang tidak puas dengan pengumuman pemilihan vendor yang memenangkan suatu
produk tender tertentu. Hal ini dapat dilihat bahwa semua responden setuju (nilai
rata-rata 4,27) bahwa Efisiensi Dari Mekanisme Sanggahan dan Banding (EMSB)
hanya dapat tercapai jika informasi syarat - syarat pengadaan dan sistem
pengendalian tersedia untuk meningkatkan kepatuhan pelaksanaan pengadaan
barang dan atau jasa publik, begitu pula diperlukan ketepatan waktu informasi
untuk mendukung sistem review sanggahan dan banding.

No Pertanyaan Jawaban Jumlah %

1. Perlunya informasi syarat - syarat Setuju 3 org 40%


pengadaan dan sistem pengendalian untuk Sangat setuju 6org 50%
meningkatkan kepatuhan pelaksanaan Cukup setuju 1 org 10%
pengadaan barang dan atau jasa publik.
2. Ketepatan waktu informasi diperlukan untuk Setuju 4 org 40%
mendukung system review sanggahan dan Sangat setuju 6 org 60%
banding.
3. Apakah Bapak/Ibu pernah mendapatkan Tidak 8 org 80%
sanggahan atau banding? Ya 2 org 20%
Yang pernah mendapat sanggahan? Sanggahan 2 org
Yang pernah mendapatkan banding? Banding 1 org

Akses Informasi (AI) sangat diperlukan dalam proses pengadaan barang


dan atau jasa publik berbasis publik karena kelengkapan dan kecukupan informasi
membantu penyedia (vendor) dalam mengikuti proses lelang. Publikasi informasi
tentang tata cara mengikuti proses tender berbasis elektronik baik melalui media
cetak maupun media elektronik bertujuan untuk memudahkan akses pengadaan
barang dan atau jasa publik dengan lebih mudah dan murah.
Temuan riset mengungkapkan bahwa semua responden setuju (nilai rata-
rata 4,39) bahwa diperlukan standar kecukupan informasi dalam pelaksanaan
pengadaan barang dan atau jasa serta perlu disediakan payung hukum yang terkait
dengan publikasi informasi pengadaan publik tersebut karena ketersediaan payung
hukum dapat menjamin terlaksananya e-procurement yang transparan dan dapat
mempermudah vendor untuk mengakses informasi dan memasukkan dokumen

92 
 
penawaran sesuai waktu yang telah ditentukan, selain itu e-procurement juga
memungkinkan terjadinya kompetisi yang lebih luas bagi calon penyedia (vendor)
barang dan atau jasa publik. Beberapa pendapat terkait dengan hal tersebut dapat
dilihat berikut ini:

No Pertanyaan Jawaban Jumlah %

1. Perlunya publikasi informasi dengan media Setuju 5 org 50%


TI untuk memudahkan akses informasi Sangat setuju 5org 50%
pengadaan lebih mudah dan murah.
2. Perlunya standar kecukupan informasi dalam Setuju 6 org 60%
pelaksanaan pengadaan barang dan atau jasa. Sangat setuju 4 org 40%
3. Dukungan E – Procurement untuk Setuju 7 org 70%
mendukung pengawasan internal diperlukan Sangat setuju 2 org 20%
untuk mengidentifikasi jangka waktu Cukup setuju 1 org 10%
pengumuman yang terlalu singkat sehingga
memungkinkan semua perusahaan dapat
terlibat dalam proses pengadaan.
4. E - Procurement memungkinkan terjadinya Setuju 4 org 40%
kompetisi yang lebih luas bagi calon Sangat setuju 5 org 50 %
penyedia barang dan atau jasa. Cukup setuju 1 org 10%

Kode Etik dan Ukuran Anti Korupsi (KEUAK) mengindikasikan bahwa


harus ada kode etik yang mengatur proses pengadaan barang dan atau jasa untuk
mengatur lalu lintas pengadaan barang dan atau jasa. Semua responden setuju (
nilai rata-rata 4,35) bahwa kode etik dan ukuran anti korupsi diperlukan untuk
menjamin terciptanya akuntantabilitas, responsibilitas, sanksi bagi individu atau
perusahaan yang melakukan kejahatan atau ketidakpatuhan untuk menjamin tidak
terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pengadaan barang dan atau jasa.
E-procurement merupakan salah satu cara untuk mengurangi korupsi dalam
proses pengadaan barang dan jasa karena adanya transparansi, akuntabilitas dan
responsibilitas dalam pengadaan barang dan jasa.

93 
 
Salah satu cara untuk menghindari terjadinya korupsi dapat dilakukan melalui
Verifikasi perusahaan – perusahaan yang tidak memenuhi syarat yang diajukan
ULP, hal ini perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya proses rekayasa data
perusahaan sehingga perusahaan yang dipilih dalam proses lelang adalah yang
benar-benar memiliki kualifikasi yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Selain itu pemeriksaan secara random perlu juga dilakukan untuk memastikan
kualitas barang dan atau jasa secara keseluruhan dapat dipertanggungjawabkan.
Hasil temuan berikut ini memberi informasi bahwa responden setuju
bahwa perlu dibuatkan kode etik dan ukuran anti korupsi agar proses pengadaan
barang dan atau jasa betul-betul bebas KKN.

No Pertanyaan Jawaban Jumlah %

1. Perlunya kerangka hukum procurement dalam Setuju 4 org 40%


kode etik. Sangat setuju 4 org 40%
Cukup setuju 2 org 20%
2. Perlunya regulasi hukum Procurement dalam Setuju 6 org 60%
kode etik. Sangat setuju 3 org 30%
Cukup setuju 1 org 10%
3. Verifikasi perusahaan – perusahaan yang tidak Setuju 7 org 70%
memenuhi syarat yang diajukan ULP perlu Sangat setuju 3 org 30%
dilakukan untuk menghindari terjadinya proses
rekayasa data perusahaan.
4. E – Procurement mendukung penegakan kode Setuju 7 org 70%
etik dalam proses pengadaan barang dan atau Sangat setuju 3 org 30%
jasa publik.
5. Mekanisme pelaporan kejahatan, korupsi atau Setuju 7 org 70%
perilaku tidak etis mendukung antikorupsi Sangat setuju 3 org 30%
dalam pengadaan Barang dan atau Jasa publik.

Responden juga sependapat bahwa Partisipasi Publik (PP) merupakan


salah satu wadah untuk melakukan pemantauan dalam proses pengadaan barang
dan atau jasa. Pemantauan atau pengawasan yang dilakukan terhadap ULP
memungkinkan ULP menawarkan pengadaan yang betul-betuk dibutuhkan oleh
masyarakat. Pengadaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan
berdampak pada peningkatan pelayanan publik. Semua responden cukup setuju

94 
 
bahwa ( nilai rata-rata 3,38) pemerintah daerah perlu memberikan ruang bagi
pemantauan publik, sehingga kualitas pengadaan benar-benar dapat tercapai.
Sinergi di antara para lembaga pengawas independen ini sangat diperlukan
sehingga hasil pemantauan betul-betul merupakan temuan (disertai bukti-bukti
yang valid) bukan sekedar mengada-ada untuk memenuhi kehendak donatur
(penyandang dana) dari lembaga pemantau. Agar tercipta koordinasi yang baik di
antara para lembaga pengawas dengan pemerintah maka pemerintah perlu
memberikan kemudahan akses informasi berkaitan dengan pengadaan barang dan
atau jasa kepada pihak pemantau.
Ruang publik yang tersedia serta komunikasi yang baik diantara lembaga
pemantau dengan pemerintah akan menciptakan suasana harmonis yang saling
menunjang kerjasama diantara lembaga pemantau dengan pemerintah. Lembaga
pemantau tidak hanya melakukan pengawasan tetapi juga dapat memberikan
masukan tentang kebutuhan-kebutuhan masyarakat terkait dengan pengadaan
barang dan atau jasa sehingga pengadaan yang dilakukan benar-benar dapat
meningkatkan kualitas pelayanan publik.

4.3.4. Vendor
Analisis data untuk penyedia (vendor) lebih dititkberatkan pada kesiapan
vendor untuk melakukan proses pengadaan barang dan atau jasa berbasis
elektronik. Hasil analisis akan memberi jawaban apakah Vendor telah memahami
Perpres 54 tahun 2010 berkaitan dengan proses pengadaan barang dan atau jasa
berbasis elektronik atau tidak. Selain itu analisis data juga diarahkan pada
kebutuhan vendor menghadapi proses pengadaan barang dan atau jasa serta
kesempatan dan kelebihan dari sistem elektronik yang digunakan. Analisis data
akan didasarkan pada instrumen-instrumen yang digunakan dalam proses
pengumpulan data yaitu:
- Pemahaman Legal (PL)
- Resolusi Konflik (RK)
- Etika Pengadaan (EP)
- Keterbukaan informasi (KI)
- Kesempatan untuk UMKM dan koperasi (KUMKMK)

95 
 
- Keterbukaan proses pengadaan (KPP)
- Partisipasi Masyarakat (PM)

Berikut ini adalah hasil analisis statistik diskriptif yang menggambarkan


kondisi dan kesiapan LPSE dalam proses pengadaan barang dan atau jasa
berbasis elektronik.

Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
PL 10 3.5000 5.0000 4.400000E0 .5676462
RK 10 1.0000 5.0000 3.400000E0 1.2427568
EP 10 2.4000 5.0000 3.580000E0 .9307106
KI 10 2.3333 5.0000 3.933333E0 .8577893
KUMKMK 10 2.0000 5.0000 3.625000E0 1.1071109
KPP 10 2.6667 5.0000 3.900000E0 .8613801
PM 10 2.0000 5.0000 3.842857E0 .8970852
Valid N (listwise) 10

Hasil di atas menunjukkan bahwa pemahaman legal merupakan salah


syarat mutlak seorang vendor dapat berpartisipasi dalam proses pengadaan barang
dan atau jasa. Seorang vendor hanya dapat mengikuti tender berbasis elektronik
jika paham dengan benar aturan-aturan yang berlaku dalam proses pengadaan
seperti Perpres 54 tahun 2010 dan aturan-aturan perpajakan, karena dengan
memahami aturan-aturan terkait seorang vendor dapat mengikuti prosedur
pengadaan dan keluar sebagai pemenang.
Semua responden setuju bahwa Pemahaman terhadap perpres 54 dan
perpajakan diperlukan untuk mengikuti proses pengadaan barang dan atau jasa
(nilai rata-rata 4,40) karena dengan memahami Perpres 54 tahun 2010 vendor
dapat mengikuti segala prosedur yang wajib dipatuhi oleh vendor dalam
pengadaan barang dan jasa, selain itu vendor juga dapat mengetahui sanksi yang
akan diterima jika kewajibannya tidak dipenuhi.
Vendor juga harus mengetahui aturan-aturan perpajakan berkaitan dengan
kewajibannya sebagai wajib pajak karena perusahaan yang bisa mengikuti lelang
adalah perusahaan yang memiliki NPWP dan tidak memiliki catatan buruk dalam
perpajakan (penggelapan pajak, dll), selain itu mengetahui aturan perpajakan akan

96 
 
berdampak pada perusahaan yang dapat memenuhi kewajiban pajaknya dengan
benar. Berikut ini adalah jawaban responden terkait perlunya pemahaman legal
dalam proses pengadaan barang dan atau jasa
No Pertanyaan Jawaban Jumlah %

1. Perlu Pemahaman terhadap perpres Setuju 6 org 60%


54 diperlukan untuk mengikuti Sangat setuju 4 org 40%
proses pengadaan barang dan atau
jasa
2. Pemahaman terhadap peraturan Setuju 4 org 40%
perpajakan diperlukan agar proses Sangat setuju 5 org 50%
pengadaan barang dan atau jasa Cukup setuju 1 org 10%
memungkinkan perusahaan
memenuhi kewajiban pajaknya.
3. Mengapa Pemahaman terhadap Karena jika tdk paham, 10 org 70%
perpres 54 diperlukan untuk kita tdk dpt ikut serta 30%
mengikuti proses pengadaan barang dalam pelelangan, krn
dan atau jasa dlm perpres 54 sdh di
atur semua proses tender
4. Pemahaman terhadap peraturan dengan pahamnya 10 org 70%
perpajakan diperlukan agar proses peraturan perpajakan, 30%
pengadaan barang dan atau jasa perusahaan akan lbh
memungkinkan perusahaan mudah memenuhi
memenuhi kewajiban pajaknya. kewajiban, jika perlu
adakan sosialisasi
kerjasama dgn asosiasi2

Penyelesaian konflik diantara para vendor maupun antara vendor dengan


pihak penyelenggara pengadaan barang dan atau jasa dapat diatasi melalui
pengadaan barang dan atau jasa berbasis elektronik. Sistem pengadaan yang
membuka kompetisi yang sehat diantara para vendor karena memungkinkan
setiap vendor dapat menyediakan barang dan atau jasa yang berkualitas dengan
harga yang kompetitif. Selain itu e-procurement (pengadaan barang dan atau jasa
berbasis elektronik) juga dapat mengurangi sanggahan dan atau banding karena
vendor mendapatkan informasi yang memadai tentang mengapa perusahaannya
tidak dapat memenangkan pengadaan tertentu. Vendor memiliki tanggung jawab
yang tinggi terhadap pengadaan yang barang dan atau jasa ketika ditunjuk sebagai
penyedia karena kegagalan atau ketidakmampuan vendor pada saat tidak dapat
memenuhi kewajibannya akan dikenakan sanksi yang berat (seperti blacklist atau

97 
 
membayar ganti kerugian). Beberapa hal di atas merupakan respon dari para
responden yang terangkum seperti sebagai berikut:

No Pertanyaan Jawaban Jumlah %

1. Perlu Pemahaman terhadap Perlu 10 org 100%


perpres 54 diperlukan untuk
mengikuti proses pengadaan
barang dan atau jasa
2. Menurut Bpk/Ibu apakah Ya 10 org 100%
perusahaan gagal memenuhi
kewajibannya dalam proses
pengadaan barang dan atau jasa
perlu dikenakan sanksi
3. Mengapa harus dikenakan sanksi Supaya tdk melakukan 10 org 100%
kesalahan lagi dan ada
efek jera (blacklist)
4. Apakah perusahaan yang gagal - Ya 5 org 50%
memenuhi kewajiban dalam - Tidak 5 org 50%
proses pengadaan barang dan atau
jasa perlu melakukan negosiasi
baru dengan panitia pengadaan
5. Dalam kondisi bagaimanakah - Jika secara penuh tidak 10 org 100%
perusahaan dapat melakukan dapat melakukan
negosiasi? kewajibannya maka tdk
perlu dilakukan
negosiasi.
- Jika kegagalan sbg
akibat adanya post
major maka dpt
dilakukan negosiasi
ulang

Etika Pengadaan (EP) merupakan hal yang juga diperhatikan oleh para
vendor, dengan e-procurement perusahaan dapat terhindari dari terjadinya
penunjukan langsung pemenang dan adanya kemungkinan perusahaan fiktif
dengan demikian e-procurement mendukung penegakan kode etik dalam proses
pengadaan barang dan atau jasa. Responden setuju (nilai-rata-rata 3,6) bahwa
penegakan kode etik dalam pengadaan sangat penting dan perlu diperhatikan
untuk terciptanya pengadaan yang bebas kolusi, korupsi dan nepotisme karena e-
procurement membuka peluang yang sama kepada semua vendor untuk
berkompetisi mengikuti proses pengadaan barang dan atau jasa, dan sebaliknya
setiap kesalahan yang dilakukan oleh vendor akan dikenakan sanksi yang berat.

98 
 
No Pertanyaan Jawaban Jumlah %

1. Pemahaman pakta integritas merupakan upaya Setuju 4 org 40%


untuk menerapkan etika dalam proses Sangat 5 org 50%
pengadaan barang dan atau jasa setuju 1 org 10%
Cukup setuju
2. e-procurement memberi kemudahan setiap Setuju 3 org 30%
vendor untuk mengikuti tender Sangat 5 org 50%
setuju 2 org 20%
Cukup setuju
3. e-procurement mendukung penegakan kode etik Setuju 3 org 30%
dalam proses pengadaan barang dan atau jasa. Sangat 2 org 20%
setuju 5 org 50%
Cukup setuju
4. e-procurement dapat menghindari terjadinya Setuju 3 org 30%
penunjukan langsung pemenang dan adanya Sangat 3 org 30%
kemungkinan perusahaan fiktif setuju 4 org 40%
Cukup setuju
5 Menurut Bpk/Ibu apakah pemahaman pakta
integritas oleh pihak-pihak yang berkepentingan Ya 10 org 100%
dalam proses pengadaan barang dan atau jasa
dapat menjamin terlaksananya proses pengadaan
barang dan atau jasa yang fair dan beretika?

Peran informasi menjadi sangat penting dalam proses pengadaan barang


berbasis elektronik, kemudahan mengakses informasi mutlak diperlukan, namun
tidak semua responden setuju bahwa internet merupakan media yang paling
mudah untuk diakses. semua responden (100%) menjawab media informasi yang
paling mudah diakses adalah koran yaitu koran tempo dan sindu. Walaupun
terdapat 4 orang yang menjawab internet juga sebagai salah media informasi yang
mudah diakses tapi pilihan internet bukan pada pilihan pertama melainkan pilihan
kedua setelah koran sebagai media yang mudah diakses dan selebihnya
menyatakan bahwa internet merupakan media informasi yang sulit untuk diakses
dengan alasan karena pemahaman dan pengetahuan teknologi informasi mereka
yang sangat terbatas.
Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa implementasi e-procurement
tidak hanya dipersiapkan oleh penyelenggara (LPSE dan ULP) tetapi juga harus
melibatkan lembaga penyedia atau vendor. Vendor harus diminta untuk
mempersiapkan diri terutama kemampuan mereka untuk menggunakan teknologi

99 
 
informasi serta kemampuan mereka untuk menggunakan website LPSE untuk
mengikuti proses pengadaan barang dan atau jasa berbasis elektronik. Vendor
seharusnya diberikan pelatihan maupun sosialisasi tentang proses pengadaan
barang dan jasa berbasis elektronik, sehingga mereka tdk terkendala dengan
pengetahuan yang terbatas mengenai teknologi informasi. Berikut ini merupakan
paparan responden tentang pendapat mereka mengenai kemudahan dan
keterbukaan informasi dalam proses pengadaan barang dan atau jasa berbasis
elektronik.

No Pertanyaan Jawaban Jumlah %

1. Bagaimana Bpk/Ibu mengetahui bahwa Koran 10 org 100%


ada pengumuman pengadaan barang dan Internat 4 org 40%
atau jasa dari suatu instansi pemerintah
(pilihan bisa lebih dari 1)
2. Menurut Bpk/Ibu dari berbagai media Koran (tempo dan 10 org 100%
pengumuman pengadaan barang dan atau sindu), karena
jasa di atas, manakah yang paling mudah mudah di dapat
untuk diakses
3. Menurut Bpk/Ibu dari berbagai media Internet, karena 8 org 80%
pengumuman pengadaan barang dan atau tidak tahu
jasa di atas, manakah yang paling sulit menggunakannya
untuk diakses
4. Dukungan teknologi informasi untuk Setuju 3 org 30%
mendukung pengawasan internal Sangat setuju 3 org 30%
diperlukan untuk mengidentifikasi jangka Cukup setuju 4 org 40%
waktu pengumuman yang terlalu singkat
sehingga memungkinkan semua
perusahaan dapat terlibat dalam proses
pengadaan.
5. Menurut Bpk/Ibu untuk mempermudah Ya 10 org 100%
akses pengadaan barang dan atau jasa
berbasis teknologi informasi diperlukan
pelatihan khusus?

Perpres 54 tahun 2010 juga mengatur tentang pengadaan barang dan atau
jasa bagi perusahaan kecil dan menengah, hal ini dimaksudkan untuk memberi
ruang yang sama bagi para vendor UKM untuk ikut berpartisipasi dalam proses
pengadaan barang dan atau jasa. Dengan keikutsertaan vendor UKM diharapkan
peluang usaha mereka tetap terjaga kelangsungannya dan mereka telah diberi
ruang yang sama dengan perusahaan besar dalam proses pengadaan barang dan

100 
 
atau jasa. Responden setuju (nilai rata-rata 3,63) bahwa e-procurement memberi
kesempatan untuk UMKM dan koperasi mengikuti proses pengadaan barang dan
atau jasa serta Perpres 54 tahun 2010 memberi kejelasan tentang kesesuaian
kualifikasi dengan pekerjaan yang ditawarkan.

No Pertanyaan Jawaban Jumlah %

1. Setuju 4 org 40%


e-procurement memberi kesempatan untuk Sangat 2 org 20%
UMKM dan koperasi mengikuti proses setuju 4 org 40%
pengadaan barang dan atau jasa Cukup setuju
2. Setuju 4 org 40%
Perpres 54/2010 memberi kejelasan tentang Sangat 3 org 30%
kesesuaian kualifikasi dengan pekerjaan yang setuju 3 org 30%
ditawarkan Cukup setuju
3. Setuju 4 org 40%
Perpres 54/2010 memungkinkan semua Sangat 1 org 10%
perusahaan bersaing untuk mengikuti proses setuju 5 org 50%
pengadaan barang dan atau jasa Cukup setuju
4. Menurut Bpk/ibu apakah Perpres 54/2011 Ya 10 org 100%
memberi akses kepada vendor kecil untuk
berpartisipasi dalam proses pengadaan barang
dan atau jasa?

e-procurement menjamin adanya keterbukan proses pengadaan barang


dan atau jasa karena dengan e-procurement semua informasi berkaitan dengan
proses pengadaan barang dan atau jasa harus disampaikan secara transparan dan
dapat diakses oleh siapa saja yang berkepentingan dalam proses pengadaan barang
dan atau jasa. Dengan adanya keterbukaan dalam proses pengadaan barang dan
atau jasa dengan sendirinya mengurangi adanya sanggahan maupun banding
karena adanya ketidakpuasan vendor atau penyedia pada saat proses lelang
berlangsung.
Responden cukup setuju (nilai rata-rata 3,40) bahwa keterbukaan
informasi dalam proses pengadaan barang dan atau jasa memungkinkan terjadinya
transparansi dalam proses pengadaan barang dan atau jasa selama masing-masing
pihak (penyelenggara dan penyedia sama-sama memegang kode etik dan aturan-
aturan yang berlaku) .

101 
 
No Pertanyaan Jawaban Jumlah %

1. e-procurement memungkinkan adanya Setuju 3 org 50%


keterbukaan dalam proses pengadaan Sangat setuju 5 org 30%
barang dan atau jasa Pengumuman Cukup setuju 2 org 20%
2. e-procurement dapat mengurangi Setuju 1 org 10%
sanggahan dan banding dalam proses Sangat setuju 5 org 50%
pengadaan barang atau jasa Cukup setuju 4 org 40%
3. Menurut Bpk/Ibu perlukan Pemda Ya 10 org 100%
mengumumkan rencana pengadaan (transparansi)
tahunan ?
4. Menurut Bpk/Ibu apakah pagu Ya 6 org 50%
anggaran yang disampaikan sesuai Tidak (sebaiknya juga 4 org 50%
dengan perhitungan pasar? mempertimbangkan
tingkat inflasi)
5. Menurut Bpk/Ibu apakah evaluasi Ya 10 org 100%
terhadap harga pasar perlu dilakukan? Agar bidding rate lbh
rasional

Partisipasi masyakarat sebagai pemantau atau pengawas dalam proses


pengadaan barang dan atau jasa memberi dampak positif terhadap penyedia,
karena penyedia atau vendor akan bersungguh-sungguh menjalankan
kewajibannya dan memberikan produk yang telah disepakati dalam proses
pelelangan. Responden setuju (nilai rata-rata 3,8) bahwa kontrol masyarakat atau
lembaga-lembaga indenden terhadap kebutuhan publik masih diperlukan untuk
menghindari terjadinya perencanaan pengadaan barang atau jasa yang diarahkan
terhadap pihak-pihak tertentu.
Pengawasan masyarakat atau lembaga independen diperlukan untuk
melaporkan berbagai tindakan korupsi dalam proses pengadaan barang dan atau
jasa sehingga mempermudah pihak pemeriksa (inspektorat) proses tersebut.
laporan masyarakat yang disertai bukti yang valid harus ditindaklanjuti agar
transparansi dan akuntabilitas proses pengadaan barang dan atau jasa tetap bisa
dicapai.

No Pertanyaan Jawaban Jumlah %

1. Perlu dibuat Lembaga-lembaga masyarakat Sangat setuju 1 org 10%


untuk memantau proses pengadaan barang dan Setuju 4 org 40%
atau jasa Cukup setuju 5 org 50%
2. Kontrol masyarakat terhadap kebutuhan publik Sangat setuju 3 org 30%
masih diperlukan untuk menghindari terjadinya Setuju 5 org 50%

102 
 
perencanaan pengadaan barang atau jasa yang Cukup setuju 2 org 20%
diarahkan pada pihak tertentu
3. Koordinasi antar lembaga pemantauan Sangat setuju 3 org 30%
diperlukan agar tercipta suatu mekanisme Setuju 6 org 50%
pemantauan yang efektif dan handal Cukup setuju 1 org 20%
4. Pengaduan masyarakat berkaitan dengan Sangat setuju 5 org 50%
pengadaan barang dan jasa perlu untuk Setuju 3 org 30%
ditindaklanjuti dengan proses pemeriksaan Cukup setuju 2 org 20%

4.3.5. LSM
Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) atau lembaga independen lainnya
merupakan wadah yang penting dalam proses pengawasan pengadaan dan atau
jasa. Analisis data untuk LSM lebih dititkberatkan pada kesiapan LSM untuk
melakukan proses pengadaan barang dan atau jasa berbasis elektronik. Hasil
analisis akan memberi jawaban apakah LSM telah memahami Perpres 54 tahun
2010 berkaitan dengan proses pengadaan barang dan atau jasa berbasis elektronik
atau tidak. Selain itu analisis data ini juga diarahkan pada indepedensi LSM pada
saat melakukan pengawasan terhadap proses pengadaan barang dan atau jasa
publik. Analisis data akan didasarkan pada instrumen-instrumen yang digunakan
dalam proses pengumpulan data yaitu:

- Pemahaman Mekanisme Pengawasan e-procurement (PMPE)


- Peraturan perundangan yang melindungi LSM (PPLSM)
- Strategi Pengawasan (SP)
- Koordinasi LSM (KLSM)
- Independensi LSM (ILSM)
- Partisipasi Masyarakat (PM)

Berikut ini adalah hasil analisis statistik diskriptif yang menggambarkan


kondisi dan kesiapan LSM sebagai lembaga yang diharapkan dapat melakukan
pengawasan dalam proses pengadaan barang dan atau jasa publik.

Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

103 
 
PMPE 10 3.2000 5.0000 4.260000E0 .6095536
PPLSM 10 2.6667 5.0000 3.650000E0 .8219595
SP 10 3.5714 4.8571 4.300000E0 .4439056
KLSM 10 3.5000 5.0000 4.340000E0 .4742245
ILSM 10 3.7778 5.0000 4.566667E0 .4237464
PM 10 3.7273 5.0000 4.509091E0 .3641411
Valid N (listwise) 10

Hasil riset di atas memberi gambaran bahwa Pemahaman Mekanisme


Pengawasan e-procurement sangat penting dalam pengawasan, LSM seharusnya
memahami aturan-aturan yang berkaitan dengan pengadaan barang dan atau jasa
sebelum melakukan pemantauan, namun sebagian besar responden (80%)
menjawab belum mengetahui dengan rinci Perpres 54 tahun 2010 berkenaan
dengan proses pengadaan barang dan atau jasa berbasis elektronik. Hal ini
tentunya memberi ruang kebutuhan sosialisasi Perpres 54 tahu 2010 kepada LSM,
karena dengan memahami aturan-aturan tersebut, LSM dapat melakukan
pengawasan dengan benar.

No Pertanyaan Jawaban Jumlah %

1. LSM seharusnya paham mengenai Perpres 54 Sangat setuju 5 org 50%


Tahun 2010 tentang e-procurement Setuju 3 org 30%
Cukup setuju 2 org 20%
2. Pelatihan mengenai pengawasan e-procurement Sangat setuju 4 org 40%
diperlukan untuk menambah wawasan seputar Setuju 6 org 60%
pengawasan e-procurement
3. LSM seharusnya mengetahui mekanisme Sangat setuju 6 org 60%
pengawasan e-procurement Setuju 4 org 40%
4. Pengaduan masyarakat berkaitan dengan Sangat setuju 5 org 50%
pengadaan barang dan jasa perlu untuk Setuju 3 org 30%
ditindaklanjuti dengan proses pemeriksaan Cukup setuju 2 org 20%

Sebagai lembaga pengawas independen seharusnya LSM memiliki aturan


atau peraturan perundangan yang melindungi LSM pada saat melakukan aktivitas
pengawasan. Adanya perlindungan dan jaminan hukum membuat LSM dapat
melakukan pengawasan atau pemantauan tanpa rasa takut, begitu pula setiap
dengan temuan yang diperoleh pada saat temuan dapat ditindaklanjuti sehingga
manfaat dari LSM sebagai pengawas benar dapat dicapai.

104 
 
LSM harus memiliki Strategi Pengawasan, karena dengan memiliki
strategi pengawasan yang tepat maka data atau bukti-bukti temuan dapat
diklarifikasi dengan pihak penyelenggara maupun pihak penyedia sehingga dapat
ditemukan bukti apakah proses pengadaan barang dan atau jasa publik telah sesuai
denganprosedur yang berlaku atau kah tidak.
Banyaknya lembaga pemantau seharusnya membuat ada koordinasi antar
lembaga independen tersebut. Koordinasi diantara LSM akan meningkatkan
sinergi dari lembaga indepedenden itu sendiri. LSM atau lembaga independen
juga harus menjaga ndependensi LSM sehingga temuan yang dilaporkan murni
adalah temuan lapangan bukan karena pesanan pihak donatur atau pihak tertentu.
No Pertanyaan Jawaban Jumlah %

1. Komunikasi yang baik dibutuhkan antara LSM Sangat setuju 5 org 50%
dan pihak-pihak yang terlibat dalam e- Setuju 4 org 40%
procurement Cukup setuju 1 org 10%
2. Komunikasi yang baik dibutuhkan antar LSM Sangat setuju 5 org 50%
satu dan yang lain Setuju 5 org 60%
3. Komunikasi yang baik dibutuhkan antara LSM Sangat setuju 3 org 30%
antara Lembaga Pengawasan dengan pemerintah Setuju 5 org 50%
Cukup setuju 2 org 20%
4. LSM bersedia menjelaskan mengenai proses Sangat setuju 6 org 60%
pengawasan yang dijalankannya disertai laporan Setuju 4 org 40%
pengawsannya

LSM sebagai lembaga yang mewakili masyarakat dalam proses


pengawasan pengadaan dan atau jasa seharusnya melibatkan masyarakat luas
dalam proses pengawasan mengingat sumbser daya LSM yang terbatas.
Partisipasi Masyarakat dapat berupa masukan atas kebutuhan pengadaan publik
atau sebaliknya melaporkan pengadaan-pengadaan yang tidak sesuai kebutuhan
publik, sehingga pengadaan barang dan atau jasa yang diadakan benar-benar
merupakan kebutuhan masyarakat bukan hanya sekedar pengadaan yang tidak
mendatangkan manfaat bagi rakyat. Untuk lebih meningkatkan partisipasi
masyarakat seharusnya Lembaga Pengawas perlu mengedukasi masyarakat untuk
memahami peraturan yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa sehingga
pengawasan yang dilakukan masyarakat sesuai dengan aturan yang berlaku.

105 
 
106 
 
 

BAB V
PENUTUP

Proses pengadaan barang dan atau jasa yang diatur dalam Perpres 54 tahun
2010 memungkinkan pengadaan dilakukan secara transparan, akuntabel dan
responsibilitas. Kemudahan akses informasi yang diberikan melalui aturan
tersebut ternyata dalam implementasinya menemui beberapa kendala seperti
sosialisasi Perpres 54 tahun 2010 yang masih belum maksimal, kemampuan akses
informasi melalui internet masih terkendala jaringan yang kadang agak lambat,
selain itu pengetahuan vendor maupun penyelengara pengadaan barang dan atau
jasa tentang teknologi informasi yang masih kurang, sehingga diperlukan
pelatihan sesuai yang dibutuhkan dari masing-masing stakeholder agar
implementasi Perpers 54 tahun 2010 bisa lebih maksimal.
Pada dasarnya semua stakeholder tidak berkeberatan dengan
implementasi Perpres 54 tahun 2010 karena dengan aturan-aturan terkait berbasis
elektronik, para penyelenggara dapat terhindar dari tuntutan hukum selama
aturan-aturan tersebut diterapkan dengan benar. Selain itu dengan penerapan e-
procurement sistem pengadaan lebih efektif dan efisien karena dapat menghemat
waktu tender dan mengurangi tatap muka sehingga unsur korupsi, kolusi dan
nepotisme dapat diminimalkan. Manfaat yang lain adalah pengadaan barang dan
atau jasa akan mendapatkan produk atau jasa yang berkualitas karena kompetisi
yang sehat diantara para vendor akan menghasilkan penghematan anggaran.
Transparansi dalam proses pengadaan juga membuat para vendor mempersiapkan
diri sebaik-baiknya karena semua vendor atau penyedia memiliki kapasitas yang
sama untuk megikuti proses pengadaan barang dan atau jasa. Transparansi juga
akan mengurangi sanggahan dan atau banding karena ketidakpuasan vendor yang
tidak menang pada saat mengikuti proses tender/lelang.
Proses pengawasan baik dari lembaga formal seperti Inspektorat
maupun yang independen deperti LSM juga sangat proses pengadaan barang dan
atau jasa dapat bersih dari KKN. Dengan demikian keterlibatan lembaga-lembaga
independen seharusnya dijadikan wadah untuk mendapatkan temuan-temuan yang

107 
 
 

terkait pengadaan yang jika disertai bukti-bukti yang akurat perlu ditindaklanjuti
sehingga proses pengadaan barang dan atau jasa betul-betul bisa mendapatkan
hasil yang berkualitas dan dengan harga yang bersaing.

108 
 

Anda mungkin juga menyukai