PENGERTIANNYA
Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa (Inggris:The Java War,
Belanda: De Java Oorlog adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830)
di Pulau Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Perang ini merupakan salah satu
pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di
Nusantara, melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock[7]
yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Akibat perang ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa, sementara korban tewas
di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi. Akhir perang
menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.[8]
Berkebalikan dari perang yang dipimpin oleh Raden Ronggo sekitar 15 tahun sebelumnya,
pasukan Jawa juga menempatkan masyarakat Tionghoa di tanah Jawa sebagai target
penyerangan. Namun, meskipun Pangeran Diponegoro secara tegas melarang pasukannya untuk
bersekutu dengan masyarakat Tionghoa, sebagian pasukan Jawa yang berada di pesisir utara
(sekitar Rembang dan Lasem) menerima bantuan dari penduduk Tionghoa setempat yang rata-
rata beragama Islam
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang
sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak
berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa.
Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai
pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh
pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke
wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di
hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara
peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan
menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai
kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama,
karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para
senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan.
Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan
senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka
terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak",
melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan
senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan
provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan
anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah
komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap
berjuang melawan Belanda.
Pertempuran di Pluntaran.
Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak
memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa,
7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa.[10] Setelah perang berakhir, jumlah penduduk
Yogyakarta menyusut separuhnya.
Karena bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, konon
keturunan Diponegoro tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton hingga Sri Sultan
Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro dengan mempertimbangkan
semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat
bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
Dibawah pimpinan pangeran Diponegoro terjadinya perlawanan rakyat pada 1825 hingga 1830
yaitu satu perlawanan kepada pemerintah kolonial Belanda. penyebab terjadinya perang
Diponegoro dapat disimpulkan ada dua alasan yaitu sebab umum dan juga sebab khusus.
Berikut ini sebab-sebab umum yang membuat terjadinya perlawanan Diponegoro antara lain
sebagai berikut :
1. Timbulnya rasa kekecewaan di kalangan para ulama, karena masuknya budaya barat yang
tidak sesuai dengan ajaran agama Islam
2. Wilayah kesultanan Mataram yang semakin sempit dan para raja sebagai pengusaha
Pribumi yang mulai kehilangan kedaulatan.
4. Sebagian dari bangsawan merasa kecewa karena Belanda tidak mau mengikuti adat
istiadat dari keraton.
5. Para bangsawan juga merasa kecewa karena Belanda telah menghapus sistem penyewaan
tanah oleh para bangsawan kepada petani yang mulai terjadi pada tahun 1824.
6. Kehidupan rakyat yang semakin menderita dan juga disuruh kerja paksa dan harus
membayar berbagai macam pajak.
Pajak tanah
Pajak ternak
Dan pemasangan Patok oleh Belanda untuk pembangunan jalan yang melintasi tanah dan juga
makam para leluhur pangeran Diponegoro di Tegalrejo, pemasangan ini terjadi tanpa izin dari
kerajaan sehingga ditentang oleh Pangeran Diponegoro.
Sebab khusus ialah provokasi yang dilakukan oleh pihak Belanda untuk merencanakan
pembuatan jalan menerobos tanah pangeran Diponegoro dan juga membongkar makam keramat.
Diponegoro tersingkir dari kekuasaan karena telah menolak untuk berkompromi dengan Belanda
dan lebih memilih untuk ke Tegalrejo dan memusatkan perhatian pada perkembangan
keagamaan. Hal ini membuat pangeran marah dan membangun pertahanan di Selarong dan
dukungan kepada Diponegoro datang dari mana-mana yang membuat pasukan Diponegoro
menjadi lebih kuat.