Oleh :
180070300111002
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
LAPORAN PENDAHULUAN CKD etc HIPERTENSI DENGAN HEMODIALISA
Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin Test) dapat
digunakan dengan rumus:
1.3 ETIOLOGI
Salah satu penyebab dari penyakit chronic kidney desease (CKD) adalah tekanan
darah tinggi/hipertensi. Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten
dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya diatas 90 mmHg
(Smith Tom, 1995). Berikut adalah hal yang dapat meningkatkan resiko terjadinya
hipertensi adalah:
Usia.
Hipertensi akan makin meningkat dengan meningkatnya usia hipertensi pada yang
berusia dari 35 tahun dengan jelas menaikkan insiden panykit arteri dan kematian
premature.
Jenis Kelamin.
Berdasar jenis kelamin pria umumnya terjadi insiden yang lebih tinggi daripada
wanita. Namun pada usia pertengahan, insiden pada wanita mulai meningkat,
sehingga pada usia di atas 65 tahun, insiden pada wanita lebih tinggi.
Ras.
Hipertensi pada yang berkulit hitam paling sedikit dua kalinya pada yang berkulit
putih.
Pola Hidup.
Faktor seperti halnya pendidikan, penghasilan dan faktor pola hidup pasien telah
diteliti, tanpa hasil yang jelas. Penghasilan rendah, tingkat pendidikan rendah dan
kehidupan atau pekerjaan yang penuh stress agaknya berhubungan dengan insiden
hipertensi yang lebih tinggi. Obesitas juga dipandang sebagai faktor resiko utama.
Merokok dipandang sebagai faktor resiko tinggi bagi hipertensi dan penyakit arteri
koroner. Hiperkolesterolemia dan hiperglikemia adalah faktor – faktor utama untuk
perkembangan arterosklerosis yang berhubungan dengan hipertensi.
Selain itu, hal lain yang dapat menyebabkan chronic kidney desease (CKD)
adalah :
Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis
Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteria renalis
Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik,
poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik, asidosis
tubulus ginjal
Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma,
fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur
uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry
(IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut
glomerulonefritis, diabetes melitus, hipertensi dan ginjal polikistik (Roesli, 2008).
a. Glomerulonefritis
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan
sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal
sendiri / infeksi sehingga terjadi peradangan sedangkan glomerulonefritis sekunder
apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus,
lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis
(Prodjosudjadi, 2006). Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan
dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau
keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis
(Sukandar, 2006).
b. Diabetes mellitus
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat
mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya
sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga
pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih
banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala
tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut
pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 2006).
c. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material
yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan
kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain
oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau
penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering
didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik
dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru
bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun.
Tabel 1.3 Manifestasi Klinis Sindrom Uremik pada Gagal Ginjal Kronis
Saluran cerna Anoreksia, mual, muntah, napas bau amoniak, mulut kering,
perdarahan saluran cerna, diare stomatitis, parotis.
1.7 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada penyakit gagal ginjal kronis adalah untuk mempertahankan
fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin (Smeltzer & Barre, 2008). Penatalaksanaan
gagal ginjal kronis dapat digolongkan menjadi dua yaitu:
1. Terapi konservatif
Pengobatan konservatif bertujuan untuk memanfaatkan faal ginjal yang masih ada,
menghilangkan berbagai faktor pemberat, dan memperlambat progresivitas gagal ginjal
sedini mungkin. Selain itu, pengobatan konservatif bertujuan untuk menghilangkan gejala
yang mengganggu penderita, sehingga penderita dapat hidup secara normal. Yang
termasuk pengobatan konservatif gagal ginjal kronis adalah:
a. Pembatasan protein
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga mengurangi
asupan kalium dan fosfat serta mengurangi produksi ion hidrogen yang berasal dari
protein. Jumlah kebutuhan protein biasanya dilonggarkan sampai 60-80 g/hari, apabila
penderita mendapatkan pengobatan dialisis teratur.
b. Diet rendah kalium
Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Asupan kalium
dikurangi. Penggunaan makanan dan obat-obatan yang tinggi kaliumnya dapat
menyebabkan hiperkalemia. Diet yang dianjurkan adalah 40-80 mEg/hari.
c. Diet rendah natrium
Diet rendah natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g Na). Asupan
natrium yang terlalu longgar dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema
paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif.
d. Pengaturan cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi dengan
seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan
yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan harian. Aturan yang dipakai
untuk menentukan banyaknya asupan cairan adalah jumlah urin yang dikeluarkan selama
24 jam terakhir + 500 ml (IWL). Tanda seperti ini akan muncul bila kenaikan berat badan
pasien lebih dari 2 kg. Akumulasi cairan yang dapat ditoleransi adalah 1-2 kg selama
periode intradialitik.
3. Hemodialisa
3.1. Definisi
Menurut Price dan Wilson (2005) dialisa adalah suatu proses dimana solute dan
air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair
menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua tehnik
utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu
difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan
konsentrasi atau tekanan tertentu.
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan sebagai
pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermeabel
(dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk memindahkan
sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana
tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan
perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan memperbesar jalan masuk pada
vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer yang dapat dipercaya dan efisien,
hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut
dan kronik di Amerika Serikat (Tisher & Wilcox, 1997).
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang
dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk
membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah
mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka dibuat
suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui
pembedahan (NKF, 2006).
3.2. Tujuan
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa:
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang
lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya
dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.
3.3. Indikasi
Price dan Wilson (2005) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas
berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus dimulai.
Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan penderita yang
terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai
apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati
perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat
dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml pada
wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh
dibiarkan terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-
hari tidak dilakukan lagi.
Penyakit dalam (medikal): Arf- pre renal/renal/post renal, apabila pengobatan
konvensional gagal mempertahankan rft normal. Crf, ketika pengobatan konvensional
tidak cukup, Indikator biokimiawi yang memerlukan tindakan hemodialisa:
o Peningkatan bun > 20-30 mg%/hari,
o Serum kreatinin > 2 mg%/hari,
o Hiperkalemia,
o Overload cairan yang parah,
o Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis
o Pada crf: Bun > 200 mg%, Creatinin > 8 mg%,
o Asidosis metabolik yang parah.
3.4. Kontraindikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom
otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa
adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit,
instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain
diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal,
sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).
3.5. Proses
Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan hemodialisa berfungsi
mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan aliran darah melewati
suatu membran semipermeabel, dan memantau fungsinya termasuk dialisat dan sirkuit
darah korporeal. Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi sistemik. Darah dan
dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk memperoleh efisiensi maksimal dari
pemindahan larutan. Komposisi dialisat, karakteristik dan ukuran membran dalam alat
dialisa, dan kecepatan aliran darah dan larutan mempengaruhi pemindahan larutan
(Tisher & Wilcox, 1997).
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu saringan
sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk menyaring dan
membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa metabolisme yang tidak
diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa diperlukan akses vaskuler
sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke dalam mesin hemodialisa (NKF,
2006).
Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran semipermeabel
yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian lain untuk dialisat. Darah
mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah darah ataupun dalam arah yang sama
dengan arah aliran darah. Dializer merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dializer
yang terdiri dari ribuan serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir
melalui bagian tengah tabung-tabung kecil ini, dan cairan dialisat membasahi bagian
luarnya. Dializer ini sangat kecil dan kompak karena memiliki permukaan yang luas
akibat adanya banyak tabung kapiler (Price & Wilson, 1995).
Menurut Corwin (2000) hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan di luar tubuh.
Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk ke
dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran semipermeabel
(dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan darah dan ruangan yang
lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan
pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa
shunt (AV-shunt).
Selanjutnya Price dan Wilson (1995) juga menyebutkan bahwa suatu sistem
dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk cairan dialisa. Darah
mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/blood line), melalui dializer
hollow fiber dan kembali ke pasien melalui jalur vena. Cairan dialisa membentuk saluran
kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian
dicampur dengan konsentrat dengan perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk
dialisat atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer, dimana
cairan akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase.
Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi sepanjang membran semipermeabel dari
hemodializer melalui proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik
antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat dicapai dengan
meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah dializer yaitu dengan
meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan menimbulkan efek vakum
dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur tekanan negatif. Perbedaaan tekanan
hidrostatik diantara membran dialisa juga meningkatkan kecepatan difusi solut. Sirkuit
darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan larutan garam atau NaCl 0,9 %, sebelum
dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien mungkin cukup untuk
mengalirkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau mungkin juga
memerlukan pompa darah untuk membantu aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200
sampai 400 ml/menit) merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-
menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan
darah. Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan
menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien. Untuk
menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern dilengkapi dengan monitor-
monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter (Price & Wilson, 1995).
Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan
kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4 – 5 jam dengan frekuensi 2 kali
seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10 – 15 jam/minggu dengan QB 200–300
mL/menit. Sedangkan menurut Corwin (2000) hemodialisa memerlukan waktu 3 – 5 jam
dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2 – 3 hari diantara hemodialisa,
keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi. Hemodialisa ikut berperan
menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah rusak dalam proses hemodialisa.
3.6. Komplikasi
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan
hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain:
Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa
sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi pada
ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.
Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya
dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan
tambahan berat cairan.
Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan kalsium,
magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh terhadap aritmia
pada pasien hemodialisa.
Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan dari
osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat dibandingkan dari
darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara kompartemen-
kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak
yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi pada
pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia berat.
Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor pada
pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai
dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa juga
merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang disebabkan
karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan sakit kepala.
Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.
Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak
adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.
N Indikator 1 2 3 4 5
o
1 Tekanan darah
2 Berat badan
3 Edema
4 Pusing
Keterangan :
1 : severe / gangguan parah
2 : moderate / gangguan berat
3 : subtantial / gangguan sedang
4 : mild / gangguan ringan
5 : no deviation / tidak ada gangguan
o NIC : Fluid Management
1. kaji intake dan output cairan,
2. timbang berat badan secara rutin
3. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
4. monitor hasil lab terkait retensi cairan
5. Kaji lokasi dan berat edema
6. Kolaborasi tindakan dialisis
7. monitor BB pasien setelah dialisis
2. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan suplai O2 dan kebutuhan
o Tujuan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x4 jam, diharapkan klien dapat
melakukan ADL dengan bantuan minimal
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Activity Tolerance
No Indikator 1 2 3 4 5
1 Jarak berjalan
kelelahan
2 kemampuan beraktivitas
sehari hari
3 nyeri otot
Keterangan :
1 : severe / gangguan parah
2 : moderate / gangguan berat
3 : subtantial / gangguan sedang
4 : mild / gangguan ringan
5 : no deviation / tidak ada gangguan
o NIC : Activity Therapy
1. kaji kemampuan pasien untuk beraktivitas sehari hari
2. dampingi pasien saat beraktivitas
3. dampingi pasien atau keluarga untuk mengidentifikasi defisit aktivitas
4. berikan reinforcement saat klien biasa beraktivitas mandiri
5. monitor status emosional, sosial dan spiritual sebagai respon aktivitas
6. kaji dampak nyeri terhadap aktivitas
7. ajarkan manajemen nyeri misal teknik distraksi, relaksasi
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane kapiler
alveolus dan edema paru.
o Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan pertukaran gas kembali
normal
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Respiratory Status : Gas Exchange
NO Indikator 1 2 3 4 5
1. PaO2
2. PaCO2
3. pH arteri
4. SaO2
5. Sesak saat istirahat
6. Sesak saat aktivitas ringan
Keterangan :
1. Gangguan parah/severe deviation
2. Gangguan berat/subtantial deviation
3. Gangguan sedang/moderate deviation
4. Gangguan ringan/mild deviation
5. Tidak ada gangguan/no deviation
o NIC : Respiratoty Monitoring
1. Kaji kedalaman, irama nafas
2. Monitor status oksigenasi, misalnya SpO2, PaO2, PaCO2, dll
3. Auskultasi bunyi nafas, catat crakles, mengi.
4. Anjurkan pasien untuk batuk efektif
5. Pertahankan duduk/ posisi semi fowler selama fase akut
6. Auskultasi bunyi nafas, catat penurunan dan atau bunyi tambahan.
4. Nyeri akut b.d agen cedera fisik (insersi akses vaskular)
o Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan nyeri dapat terkontrol
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Pain Level
NO Indikator 1 2 3 4 5
1. Melaporkan nyeri
2. Lama nyeri
3. Ekspresi wajah saat nyeri
4. Menangis
5. RR
6. TD
Keterangan :
1. Gangguan parah/severe deviation
2. Gangguan berat/subtantial deviation
3. Gangguan sedang/moderate deviation
4. Gangguan ringan/mild deviation
5. Tidak ada gangguan/no deviation
o NIC : Pain Management
1. Monitor dan kaji karakteristik dan lokasi nyeri.
2. Monitor tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi, kesadaran).
3. Anjurkan pada pasien agar segera melaporkan bila terjadi nyeri dada.
4. Ciptakan suasana lingkungan yang tenang dan nyaman.
5. Ajarkan dan anjurkan pada pasien untuk melakukan tehnik relaksasi.
6. Kolaborasi dalam:
7. Pemberian oksigen.
8. Obat-obatan (beta blocker, anti angina, analgesic)
No Indikator 1 2 3 4 5
1 Warna kulit sekitar insersi
2 Suhu disekitar insersi
3 Rembesan drainase di sekitar
4. insersi
Pergeseran kanula
Keterangan :
1 : severe / gangguan parah
2 : moderate / gangguan berat
3 : subtantial / gangguan sedang
4 : mild / gangguan ringan
5 : no deviation / tidak ada gangguan
o NIC : Infection Control
1. monitor TTV
2. hindari mengukur TD di lengan yang terdapat fistula
3. pakai teknik aseptik saat prosedur dialisa
4. ajarkan klien dan keluarga tanda gejala yang membutuhkan penanganan medis
5. kaji daerah sekitar insersi
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid 3.
Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (2005). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai
Penerbit FKUI