Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

“Chronic Kidney Disease (CKD) etc. Hipertensi dengan Hemodialisa”


Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners Departemen Medical di Ruang
Hemodialisa

RSU Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh :

Vindry Mercuryanita Dewi

180070300111002

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018
LAPORAN PENDAHULUAN CKD etc HIPERTENSI DENGAN HEMODIALISA

1. CKD (Chronic Kidney Disease)


1.1. Definisi
Chronic kindey disease atau disebut juga gagal ginjal kronis. Penyakit ginjal kronik
adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan
penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.
Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal
yang irreversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap,
berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).
1.2 Klasifikasi
Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui penghitungan
nilai Glumerular Filtration Rate (GFR) dengan melihat kadar kretatinin. Kreatinin
adalah produk sisa yang berasal dari aktivitas otot yang seharusnya disaring dari dalam
darah oleh ginjal yang sehat.

Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin Test) dapat
digunakan dengan rumus:

Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )


72 x creatinin serum
Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :
a. Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
Pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum merasakan gejala yang
mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya. Hal ini disebabkan ginjal tetap
berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi tidak lagi 100 persen,
sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium.
b. Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
Pada stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal tetap
dapat berfungsi dengan baik.
c. Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )
Pada tingkat ini akumulasi sisa – sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah
yang disebut uremia. Gejala- gejala juga terkadang mulai dirasakan seperti :
• Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
• Kelebihan cairan: Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan
sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat
mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
• Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya
kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan
menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampurdengan darah.
Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering
trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
• Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal beradandapat
dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti
polikistik dan infeksi.
• Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan
munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
d. Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)
Apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam waktu dekat
diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal / dialisis atau melakukan transplantasi.
Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau uremia biasanya
muncul pada stadium ini.
Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah:
 Fatique, Kelebihan cairan, perubahan pada urin, sakit pada ginjal, sulit tidur
 Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
 Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi
tidak terasa seperti biasanya.
 Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui
bau pernafasan yang tidak enak.
e. Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja secara
optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau
transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.
Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain :
• Kehilangan nafsu makan
• Nausea, sakit kepala, merasa lelah
• Tidak mampu berkonsentrasi.
• Gatal – gatal, kram otot, perubahan warna kulit
• Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
• Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.

1.3 ETIOLOGI
Salah satu penyebab dari penyakit chronic kidney desease (CKD) adalah tekanan
darah tinggi/hipertensi. Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten
dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya diatas 90 mmHg
(Smith Tom, 1995). Berikut adalah hal yang dapat meningkatkan resiko terjadinya
hipertensi adalah:
 Usia.
Hipertensi akan makin meningkat dengan meningkatnya usia hipertensi pada yang
berusia dari 35 tahun dengan jelas menaikkan insiden panykit arteri dan kematian
premature.
 Jenis Kelamin.
Berdasar jenis kelamin pria umumnya terjadi insiden yang lebih tinggi daripada
wanita. Namun pada usia pertengahan, insiden pada wanita mulai meningkat,
sehingga pada usia di atas 65 tahun, insiden pada wanita lebih tinggi.
 Ras.
Hipertensi pada yang berkulit hitam paling sedikit dua kalinya pada yang berkulit
putih.
 Pola Hidup.
Faktor seperti halnya pendidikan, penghasilan dan faktor pola hidup pasien telah
diteliti, tanpa hasil yang jelas. Penghasilan rendah, tingkat pendidikan rendah dan
kehidupan atau pekerjaan yang penuh stress agaknya berhubungan dengan insiden
hipertensi yang lebih tinggi. Obesitas juga dipandang sebagai faktor resiko utama.
Merokok dipandang sebagai faktor resiko tinggi bagi hipertensi dan penyakit arteri
koroner. Hiperkolesterolemia dan hiperglikemia adalah faktor – faktor utama untuk
perkembangan arterosklerosis yang berhubungan dengan hipertensi.
Selain itu, hal lain yang dapat menyebabkan chronic kidney desease (CKD)
adalah :
 Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis
 Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteria renalis
 Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik,
poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif
 Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik, asidosis
tubulus ginjal
 Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
 Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
 Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma,
fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur
uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
 Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis

Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry
(IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut
glomerulonefritis, diabetes melitus, hipertensi dan ginjal polikistik (Roesli, 2008).
a. Glomerulonefritis
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan
sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal
sendiri / infeksi sehingga terjadi peradangan sedangkan glomerulonefritis sekunder
apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus,
lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis
(Prodjosudjadi, 2006). Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan
dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau
keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis
(Sukandar, 2006).
b. Diabetes mellitus
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat
mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya
sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga
pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih
banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala
tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut
pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 2006).
c. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material
yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan
kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain
oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau
penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering
didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik
dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru
bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun.

1.4 PATOFISIOLOGI (terlampir)


1.5 MANIFESTASI KLINIS
Karena pada gagal ginjal kronis setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia,
maka pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan
gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari
dan usia pasien.
a. Sistem integument
Gejala pada kulit sering menyebabkan gangguan fisik dan psikologis, seperti kulit
menjadi pucat dan adanya pigmentasi urokrom. Kulit yang kering dan bersisik terjadi
akibat atropinya kelenjar minyak, menyebabkan gangguan penguapan sehingga
terjadi penumpukan kristal urea di kulit. Akibatnya kulit menjadi terasa gatal
(pruritus). kuku dan rambut juga menjadi kering dan pecah-pecah sehingga mudah
rusak dan patah. Perubahan pada kuku tersebut merupakan ciri khas kehilangan
protein kronik.
b. Sistem kardiovaskuler
Hipertensi bisa terjadi akibat retensi cairan dan sodium. Hal tersebut terjadi akibat
gagal ginjal kronik menyebabkan aliran darah ke ginjal menurun, sehingga
mengaktivasi apparatus juxtaglomerular untuk memproduksi enzim rennin yang
menstimulasi angiotensin I dan II serta menyebabkan vasokonstriksi perifer.
Angiotensin II merangsang produksi aldosteron dan korteks adreanl, meningkatkan
reabsorbsi sodium dan ginjal sehingga akhirnya meningkatkan cairan intersitiil dan
sodium dalam ginjal sehingga akhirnya meningkatkan cairan intersitiil dan sodium
dalam darah. Manifestasi lain yang dapat ditemukan adalah gagal jantung kongestif
dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan pericardial oleh toksin uremik).
c. Sistem respirasi
Gejala yang sering dtemukan adalah edem apulmoner dan pneumonia yang sering
menyertai gagal jantung akibat retensi cairan yang berlebihan. Gejala lainnya adalah
pernafasan kussmaul dan nafas berbau uremik.
d. Sistem gastrointestinal
Gejala yang sering terjadi adalah anoreksia, mual, muntah, kelaianan periodontal dan
ulserasi pada saluran gastrointestinal. Perdarahan saluran cerna juga bisa terjadi dan
akan menjadi berbahaya pada pasien dengan kelainan pembekuan darah.
e. Sistem sirkulasi dan imun
Pasien gagal ginjal kronis sering mengalami anemia dengan kadar Hb <6 g/dL atau
hematokrit <25-30%. Bagi pasien yang menjalani hemodialisis, hematokrit berkisar
antara 39-45%. Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak
adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi (seperti zat besi, asam
folat dan vitamin B12) atau kehilangan nutrisi selama hemodialisa dan
kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama
dari saluran gastrointestinal. Selain sering mengalami anemia, pasien gagal ginjal
tahap akhir juga renan terhadap infeksi akibat adanya defisiensi immunoglobulin.
f. Sistem saraf
Retensi produk sampah dalam darah dan ketidakseimbangan elektrolit menurunkan
kemampuan neurotransmisi dalam berbagai oragan yang bisa berlanjut kepada
gangguan sistem saraf perifer yang menyebabkan burning pain, restless leg
syndrome, spasme otot dan kram.
g. Sistem reproduksi
Perubahan esterogen, progesteron dan testosteron menyebabkan tidak teraturnya atau
berhentinya menstruasi. Pada kaum pria bisa terjadi impotensi akibat perubahan
psikologis dan fisik yangmenyebabkan atropi organ reproduksi dan kehilangan hasrat
seksual.
h. Sistem muskuloskeletal
Kelainan yang terjadi berupa penyakit tulang uremik yang sering disebut
osteodistrofi renal, disebabkan karena perubahan kompleks kalsium, fosfat dan
keseimbangan parathormon.
i. Penglihatan
Pasien gagal ginjal kronik bisa mengalami iritasi mata atau sindrom mata merah
akibat terjadinya deposit kalsium dalam konjunctiva. Konjunctiva juga bisa
mengalami edema akibat rendahnya kadar albumin.
j. Gangguan tidur
Pasien gagal ginjal tahap akhir sering mengalami uremia akibat penimbunan sampah
metabolisme. Uremia mengakibatkan gangguan fungsi sistem saraf dan
menyebabkan restless leg syndrome. Restless leg syndrome merupakan salah satu
bentuk gangguan tidur dan penyebab insomnia pada pasien hemodialisis. Pasien
gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis sering mengalami gangguan tidur
berupa kesulitan memulai tidur, kesulitan mempertahankan tidur dan bangun terlalu
dini.
Pada gagal ginjal kronis akan terjadi rangkaian perubahan. Bila GFR
menurun 5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien akan
menderita sindrom uremik, yaitu suatu komplek gejala yang diakibatkan atau
berkaitan dengan retensi metabolit nitrogen akibat gagal ginjal. Manifestasi sindrom
uremik dapat dilihat pada Tabel 1.3.

Tabel 1.3 Manifestasi Klinis Sindrom Uremik pada Gagal Ginjal Kronis

Manifestasi Klinis Sindrom Uremik pada Gagal Ginjal Kronis


Asidosis metabolik (HCO3- serum 18-20 mEq/L, azotemia
Biokimia
(penurunan GFR menyebabkan peningkatan BUN dan
kreatinin), retensi Na, hipermagnesia, hiperuresemia.

Saluran cerna Anoreksia, mual, muntah, napas bau amoniak, mulut kering,
perdarahan saluran cerna, diare stomatitis, parotis.

Perkemihan Poliuria, berlanjut menuju oliguri, lalu anuri, noktura, BJ urin


1.010, proteinuria.

Metabolisme Protein, sintesis abnormal hiperglikemia, kebutuhan insulin


menurun, lemak, peningkatan kadar trigliserid.

Sex Libido menghilang, amnore, impotensi dan sterilitas

Neuromuskuler Mudah lelah, otot mengecil dan lemah, SSP penurunan


ketajaman mental, konsentrasi buruk, kekacauan mental, koma,
otot berkedut, kejang.

Kardiovaskuler Hipertensi, retinopati dan ensefalopati hipertensif, beban


sirkulasi berlebih, edema, gagal jantung kongestif, dan
disritmia.
Gangguan Hiperfosfatemia, hipokalsemia, hiperparatiroidisme, deposit
kalsium garam kalsium pada sendi, pembuluh darah, jantung dan paru-
paru, konjungtivitis (uremia mata merah).

Kulit Pucat, pruritus, kristal uremia, kulit kering, dan memar

Hematologik Anemia, hemolisis, kecenderungan perdarahan, resiko infeksi.

Sumber: Hidayati, 2012

1.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Urine
- Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar (anuria)
- Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri, lemak,
partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan menunjukan adanya darah,
HB, mioglobin.
- Berat jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal
berat).
- Osmolalitas : Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio
urine/serum sering 1:1
- Klirens keratin : Mungkin agak menurun
- Natrium : Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium.
- Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
b. Darah
- BUN / Kreatin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin 16
mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)
- Hitung DL : Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya kurang dari 78 g/dL
- SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada azotemia.
- GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan
kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau hasil akhir
katabolisme protein. Bikarbonat menurun, PCO2 menurun .
- Natrium Serum : Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium” atas normal
(menunjukan status dilusi hipernatremia).
- Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan seluler
(asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir, perubahan
- EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.
- Magnesium/Fosfat : Meningkat
- Kalsium : Menurun
- Protein (khususnya Albumin) : Kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan
protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan
sintesis karena kurang asam amino esensial.
- Osmolalitas Serum : Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.
c. Sistouretrogram Berkemih : Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke dalam
ureter, terensi.
d. Ultrasono Ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi pada
saluran perkemihan bagian atas.
e. Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histoligis.
f. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar
batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif.
g. EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa

1.7 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada penyakit gagal ginjal kronis adalah untuk mempertahankan
fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin (Smeltzer & Barre, 2008). Penatalaksanaan
gagal ginjal kronis dapat digolongkan menjadi dua yaitu:
1. Terapi konservatif
Pengobatan konservatif bertujuan untuk memanfaatkan faal ginjal yang masih ada,
menghilangkan berbagai faktor pemberat, dan memperlambat progresivitas gagal ginjal
sedini mungkin. Selain itu, pengobatan konservatif bertujuan untuk menghilangkan gejala
yang mengganggu penderita, sehingga penderita dapat hidup secara normal. Yang
termasuk pengobatan konservatif gagal ginjal kronis adalah:
a. Pembatasan protein
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga mengurangi
asupan kalium dan fosfat serta mengurangi produksi ion hidrogen yang berasal dari
protein. Jumlah kebutuhan protein biasanya dilonggarkan sampai 60-80 g/hari, apabila
penderita mendapatkan pengobatan dialisis teratur.
b. Diet rendah kalium
Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Asupan kalium
dikurangi. Penggunaan makanan dan obat-obatan yang tinggi kaliumnya dapat
menyebabkan hiperkalemia. Diet yang dianjurkan adalah 40-80 mEg/hari.
c. Diet rendah natrium
Diet rendah natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g Na). Asupan
natrium yang terlalu longgar dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema
paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif.
d. Pengaturan cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi dengan
seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan
yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan harian. Aturan yang dipakai
untuk menentukan banyaknya asupan cairan adalah jumlah urin yang dikeluarkan selama
24 jam terakhir + 500 ml (IWL). Tanda seperti ini akan muncul bila kenaikan berat badan
pasien lebih dari 2 kg. Akumulasi cairan yang dapat ditoleransi adalah 1-2 kg selama
periode intradialitik.

2. Terapi penggantian ginjal atau Renal Replacement Teraphy (RRT)


Terapi penggantian ginjal dilakukan pada seseorang yang mengidap penyakit gagal ginjal
kronik atau ginjal tahap akhir, yang bertujuan untuk menghindari komplikasi dan
memperpanjang umur pasien. Terapi pengganti ginjal dibagi menjadi dua, antara lain
dialisis dan transplantasi ginjal (Shahgholian et.al, 2008).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia,
dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang
belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis,
yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi
absolut, yaitu perikarditis,ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan
cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan
Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif,
yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat
(Sukandar, 2006).
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di
pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak
dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit
sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila
dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien
GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati
diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien
sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang
jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
c. Transplantasi ginjal
Penatalaksanaan transplantasi atau cangkok ginjal sebenarnya adalah suatu terapi
definitif yang paling tepat dan ideal untuk penatalaksanaan suatu keadaan gagal ginjal yang
sangat berat. Prinsip dari pelaksanaan terapi cangkok ginjal ini adalah pencangkokan ginjal
sehat ke dalam tubuh pasien. Permasalahan yang paling sering dihadapi dalam cangkok
ginjal adalah adanya reaksi penolakan dari tubuh pasien sebagai resepien terhadap ginjal
baru yang dicangkokkan ke dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya harus
dipilih ginjal yang paling cocok sehingga memberikan reaksi penolakan yang paling
minimal. Setelah pelaksanaan transplantasipun, resepien juga masih harus minum obat
imunosupresan seumur hidupnya untuk menekan reaksi penolakan oleh tubuhnya terhadap
ginjal baru dalam tubuhnya (Aziz, 2008).
2. Hubungan Hipertensi sebagai Penyebab CKD
2.1. Definisi Hipertensi
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah presisten dimana tekanan
sistoliknya diatas 140 mmHg dan diastoliknya dia atas 90 mmHg. Pada populasi lansia
hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90
mmHg (Smeltzer, 2002).
Hipertensi dikategorikan ringan apabila tekanan diastoliknya antara 95-104
mmHg, hipertensi sedang jika tekanan diastoliknya 105-114 mmHg, dan hipertensi berat
apabila tekanan diatoliknya lebih dari 115 mmHg. Pembagian ini berdasarkan
peningkatan tekanan diastolik karena dianggap lebih serius dari peningkatan sistolik
(Smith Tom, 1995)

2.2. Etilogi dan Faktor Resiko Hipertensi


Berikut adalah hal yang dapat meningkatkan resiko terjadinya hipertensi adalah:
 Usia.
Hipertensi akan makin meningkat dengan meningkatnya usia hipertensi pada yang
berusia dari 35 tahun dengan jelas menaikkan insiden panykit arteri & kematian dini.
 Jenis Kelamin.
Berdasar jenis kelamin pria umumnya terjadi insiden yang lebih tinggi daripada
wanita. Namun pada usia pertengahan, insiden pada wanita mulai meningkat,
sehingga pada usia di atas 65 tahun, insiden pada wanita lebih tinggi.
 Pola Hidup.
Faktor seperti halnya pendidikan, penghasilan dan faktor pola hidup pasien telah
diteliti, tanpa hasil yang jelas. Penghasilan rendah, tingkat pendidikan rendah dan
kehidupan atau pekerjaan yang penuh stress agaknya berhubungan dengan insiden
hipertensi yang lebih tinggi. Obesitas juga dipandang sebagai faktor resiko utama.
Merokok dipandang sebagai faktor resiko tinggi bagi hipertensi dan penyakit arteri
koroner. Hiperkolesterolemia dan hiperglikemia adalah faktor – faktor utama untuk
perkembangan arterosklerosis yang berhubungan dengan hipertensi.
2.3. Hipertensi sebagai Penyebab CKD
Hipertensi dapat menyebabkan penyakit ginjal. Hipertensi dalam jangka waktu yang
lama dapat mengganggu ginjal. Beratnya pengaruh hipertensi terhadap ginjal tergantung dari
tingginya tekanan darah dan lamanya menderita hipertensi. Makin tinggi tekanan darah
dalam waktu lama makin berat komplikasi yang mungkin ditimbulkan. Hipertensi merupakan
penyebab gagal ginjal kronik kedua terbesar setelah diabetes militus. Adanya peningkatan
tekanan darah yang berkepanjangan nantinya akan merusak pembuluh darah pada daerah di
sebagian besar tubuh. Ginjal memiliki jutaan pembuluh darah kecil dan nefron yang memiliki
fungsi untuk menyaring adanya produksi darah. Ketika pembuluh darah pada ginjal rusak
dapat menyebabkan aliran darah akan menghentikan pembuangan limbah serta cairan ekstra
dari tubuh.
Hubungan antara CKD dan hipertensi dapat dijelaskan oleh beberapa faktor. CKD
dapat menyebabkan retensi garam dan volume overload berikutnya. Hal ini mungkin atau
tidak disertai dengan pembengkakan (edema) bersama dengan peningkatan tekanan darah.
Selain itu, gagal ginjal muncul untuk memicu peningkatan aktivitas dari sistem saraf
simpatik, menyebabkan sesuatu seperti gelombang adrenalin.
Mekanisme hormonal juga memainkan peran penting dalam hubungan antara CKD
dan hipertensi, terutama melalui sistem renin-angiotensin. Hormon ini bisa dilepaskan
sebagai respons terhadap kerusakan kronis dan jaringan parut pada ginjal, dan dapat
memberikan kontribusi untuk hipertensi pasien dengan merangsang baik retensi garam, serta
penyempitan pembuluh darah. Hormon lain yang dapat meningkatkan tekanan darah dan
telah meningkatkan jumlah dengan CKD memajukan adalah hormon paratiroid (PTH). PTH
ini menimbulkan kalsium dalam darah, yang juga dapat menyebabkan penyempitan
pembuluh darah, mengakibatkan hipertensi.
Sebuah kondisi yang dapat menyebabkan CKD dan hipertensi arteri stenosis ginjal
(penyempitan pembuluh darah yang mendukung ginjal). Ketika penyempitan menjadi cukup
parah, kurangnya aliran darah dapat menyebabkan hilangnya fungsi ginjal. Jika suplai darah
ke kedua ginjal dipengaruhi, atau aliran darah ke ginjal berfungsi tunggal, seperti setelah
penghapusan ginjal akibat kanker, terganggu, pasien akan mengembangkan CKD. Penurunan
aliran darah memicu sistem renin angiotensin, menyebabkan hipertensi
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan struktur pada
arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi dinding pembuluh darah.
Organ sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal, dan mata. Pada ginjal, arteriosklerosis
akibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis. Gangguan ini merupakan akibat
langsung iskemia karena penyempitan lumen pembuluh darah intrarenal. Penyumbatan arteri
dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh
nefron rusak. Terjadilah gagal ginjal kronik.
Gagal ginjal kronik sendiri sering menimbulkan hipertensi. Sekitar 90% hipertensi
bergantung pada volume dan berkaitan dengan retensi air dan natrium, sementara < 10%
bergantung pada renin. Tekanan darah adalah hasil perkalian dari curah jantung dengan
tahanan perifer. Pada gagal ginjal, volum cairan tubuh meningkat sehingga meningkatkan
curah jantung. Keadaan ini meningkatkan tekanan darah. Selain itu, kerusakan nefron akan
memacu sekresi renin yang akan mempengaruhi tahanan perifer sehingga semakin
meningkat.
Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut maupun
penyakit ginjal kronik, baik pada kelainan glumerolus maupun pada kelainan vaskular.
Hipertensi pada penyakit ginjal dapat dikelompokkan dalam :
 Penyakit glumerolus akut
Hipertensi terjadi karena adanya retensi natrium yang menyebabkan hipervolemik.
Retensi natrium terjadi karena adanya peningkatan reabsorbsi natrium di duktus
koligentes. Peningkatan ini dimungkankan abibat adanya retensi relatif terhadap
Hormon Natriuretik Peptida dan peningkatan aktivitas pompa Na – K – ATPase di
duktus koligentes.
 Penyakit vaskuler
Keadaan ini terjadi iskemi kemudian merangsang sistem renin angiotensin aldosteron.
 Gagal ginjal kronik
Hipertensi yang terjadi karena adanya retensi natrium, peningkatan system.
 Renin Angiotensinogen Aldosteron
Akibat iskemi relatif karena kerusakan regional, aktifitas saraf simpatik meningkat
akibat kerusakan ginjal, hiperparatiroidit sekunder, dan pemberian eritropoetin.
 Penyakit glumerolus kronik Sistem
Renin-Angiotensinogen-Aldoteron (RAA) merupakan satu system hormonal
enzimatik yang bersifat multikompleks dan berperan dalm naiknya tekanan darah,
pangaturan keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit.
Dengan terjadinya kegagalan ginjal berpengaruh terhadap nefron-nefron. Sebagian nefron
(termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron
utuh). Nefron-nefron yang utuh akan mengalami hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi
yang meningkat dan disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya
saring.
Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–
nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa
direabsorpsi sehingga berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya
karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak maka oliguri timbul disertai retensi
produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan
muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% -
90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian, nilai kreatinin clearance turun sampai 15
ml/menit atau lebih rendah dari itu (Barbara C Long, 1996).
Dengan menurunnya fungsi renal, maka produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah, sehingga Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala
akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth,
2001).

3. Hemodialisa
3.1. Definisi
Menurut Price dan Wilson (2005) dialisa adalah suatu proses dimana solute dan
air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair
menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua tehnik
utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu
difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan
konsentrasi atau tekanan tertentu.
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan sebagai
pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermeabel
(dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk memindahkan
sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana
tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan
perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan memperbesar jalan masuk pada
vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer yang dapat dipercaya dan efisien,
hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut
dan kronik di Amerika Serikat (Tisher & Wilcox, 1997).
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang
dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk
membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah
mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka dibuat
suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui
pembedahan (NKF, 2006).

3.2. Tujuan
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa:
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang
lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya
dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.

3.3. Indikasi
Price dan Wilson (2005) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas
berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus dimulai.
Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan penderita yang
terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai
apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati
perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat
dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml pada
wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh
dibiarkan terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-
hari tidak dilakukan lagi.
Penyakit dalam (medikal): Arf- pre renal/renal/post renal, apabila pengobatan
konvensional gagal mempertahankan rft normal. Crf, ketika pengobatan konvensional
tidak cukup, Indikator biokimiawi yang memerlukan tindakan hemodialisa:
o Peningkatan bun > 20-30 mg%/hari,
o Serum kreatinin > 2 mg%/hari,
o Hiperkalemia,
o Overload cairan yang parah,
o Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis
o Pada crf: Bun > 200 mg%, Creatinin > 8 mg%,
o Asidosis metabolik yang parah.
3.4. Kontraindikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom
otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa
adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit,
instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain
diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal,
sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).

3.5. Proses
Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan hemodialisa berfungsi
mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan aliran darah melewati
suatu membran semipermeabel, dan memantau fungsinya termasuk dialisat dan sirkuit
darah korporeal. Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi sistemik. Darah dan
dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk memperoleh efisiensi maksimal dari
pemindahan larutan. Komposisi dialisat, karakteristik dan ukuran membran dalam alat
dialisa, dan kecepatan aliran darah dan larutan mempengaruhi pemindahan larutan
(Tisher & Wilcox, 1997).
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu saringan
sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk menyaring dan
membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa metabolisme yang tidak
diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa diperlukan akses vaskuler
sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke dalam mesin hemodialisa (NKF,
2006).
Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran semipermeabel
yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian lain untuk dialisat. Darah
mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah darah ataupun dalam arah yang sama
dengan arah aliran darah. Dializer merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dializer
yang terdiri dari ribuan serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir
melalui bagian tengah tabung-tabung kecil ini, dan cairan dialisat membasahi bagian
luarnya. Dializer ini sangat kecil dan kompak karena memiliki permukaan yang luas
akibat adanya banyak tabung kapiler (Price & Wilson, 1995).
Menurut Corwin (2000) hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan di luar tubuh.
Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk ke
dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran semipermeabel
(dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan darah dan ruangan yang
lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan
pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa
shunt (AV-shunt).
Selanjutnya Price dan Wilson (1995) juga menyebutkan bahwa suatu sistem
dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk cairan dialisa. Darah
mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/blood line), melalui dializer
hollow fiber dan kembali ke pasien melalui jalur vena. Cairan dialisa membentuk saluran
kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian
dicampur dengan konsentrat dengan perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk
dialisat atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer, dimana
cairan akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase.
Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi sepanjang membran semipermeabel dari
hemodializer melalui proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik
antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat dicapai dengan
meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah dializer yaitu dengan
meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan menimbulkan efek vakum
dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur tekanan negatif. Perbedaaan tekanan
hidrostatik diantara membran dialisa juga meningkatkan kecepatan difusi solut. Sirkuit
darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan larutan garam atau NaCl 0,9 %, sebelum
dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien mungkin cukup untuk
mengalirkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau mungkin juga
memerlukan pompa darah untuk membantu aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200
sampai 400 ml/menit) merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-
menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan
darah. Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan
menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien. Untuk
menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern dilengkapi dengan monitor-
monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter (Price & Wilson, 1995).
Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan
kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4 – 5 jam dengan frekuensi 2 kali
seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10 – 15 jam/minggu dengan QB 200–300
mL/menit. Sedangkan menurut Corwin (2000) hemodialisa memerlukan waktu 3 – 5 jam
dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2 – 3 hari diantara hemodialisa,
keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi. Hemodialisa ikut berperan
menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah rusak dalam proses hemodialisa.

3.6. Komplikasi
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan
hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain:
 Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa
sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi pada
ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.
 Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya
dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan
tambahan berat cairan.
 Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan kalsium,
magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh terhadap aritmia
pada pasien hemodialisa.
 Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan dari
osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat dibandingkan dari
darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara kompartemen-
kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak
yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi pada
pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia berat.
 Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor pada
pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
 Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai
dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa juga
merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
 Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang disebabkan
karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan sakit kepala.
 Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.
Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak
adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.

3.7. Penatalaksaan Pasien dengan Hemodialisa Jangka Panjang


 Diet dan asupancairan.
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisis mengingat
adanya efek uremia. Apabila ginajal yang rusak tidak mampu mengekresikan produk
akhir metabolisme, subtansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum
pasien dan bekerja sebagai racun atau toksin yang di kenal dengan gejala uremik.
 Pertimbangan medikasi.
Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang
memerlukan obat-obatan harus di pantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar
obat-oabatan dalam darah dan jaringan dapat di pertahankan tanpa menimbulkan
akumulasi toksik.
4. Konsep Asuhan Keperawatan Pasien CKD et causa Hipertensi dan Hemodialisa
4.1. Pengkajian
1) Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda, dapat
terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
2) Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan (anoreksi), mual,
muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada kulit.
3) Riwayat penyakit
a) Sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan kardiogenik.
b) Dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasia,
prostatektomi.
c) Keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).
4) Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat dan dalam
(Kussmaul), dyspnea.
5) Pemeriksaan Fisik :
a) Pernafasan (B 1 : Breathing)
Gejala: Nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk dengan/tanpa
sputum, kental dan banyak.
b) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala: Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi nyeri dada atau angina dan
sesak nafas, gangguan irama jantung, edema.
c) Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai koma.
d) Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder)
Gejala: Penurunan frekuensi urine (Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari),
oliguria, anuria (gagal tahap lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi.
e) Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)
Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis erosiva dan
Diare
f) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala: Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk saat
malam hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
Tanda: Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada kulit,
fraktur tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan lunak, sendi
keterbatasan gerak sendi.
6) Pola aktivitas sehari-hari
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi & tatalaksana hidup
sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal kronik
sehingga menimbulkan persepsi negatif terhadap dirinya dan kecenderungan
untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan & perawatan yang lama, oleh karena
itu perlu adanya penjelasan yang benar & mudah dimengerti pasien.
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Anoreksia, mual, muntah & rasa pahit pada rongga mulut, intake minum yang
kurang & mudah lelah. Keadaan tersebut mengakibatkan terjadinya gangguan
nutrisi & metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan klien.
Peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan berat badan (malnutrisi)
anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut (amonia), Penggunaan
diuretic, Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan
memori, penurunan tingkat kesadaran, kejang, rambut tipis, kuku rapuh.
c) Pola Eliminasi
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat,
tidak dapat kencing. Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi, Perubahan warna urine, (pekat,
merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.
d) Pola tidur dan Istirahat
Gelisah, cemas, gangguan tidur.
e) Pola Aktivitas dan latihan
Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan klien tidak mampu
melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, Kelemahan otot, kehilangan
tonus, penurunan rentang gerak.
f) Pola hubungan dan peran
Kesulitan menentukan kondisi (tidak mampu bekerja, mempertahankan fungsi
peran).
g) Pola sensori dan kognitif
Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati / mati rasa
pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu melihat
dan mendengar dengan baik/tidak, klien mengalami disorientasi/ tidak.
h) Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya
perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan
gangguan peran pada keluarga (self esteem).
i) Pola seksual dan reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi
sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas maupun
ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. Penurunan
libido, amenorea, infertilitas.
j) Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor stress,
perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah,
kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan klien tidak
mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif. Faktor
stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan. Menolak,
ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta gagal
ginjal kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan ibadah maupun
mempengaruhi pola ibadah klien

4.2. Diagnosa Keperawatan


 Pre Hemodialisa
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
b. Nyeri akut b.d agen cedera biologis (Hipertensi) ditandai dengan nyeri kepala
c. Ketidak efektifan perfusi ginjal b.d penyakit ginjal (CKD)
d. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran alrveolar kapiler (edema
paru)
e. Pola nafas tidak efektif b.d hiperventilasi (peningkatan usaha nafas)
f. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan suplai O2 dan kebutuhan
g. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urine, diet cairan berlebih,
retensi cairan & natrium.
h. Mual berhubungan dengan gangguan biokimia (uremia)
i. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang/lebih dari kebutuhan tubuh b.d prognosis
penyakit dan gangguan metabolik serta kadar asam basa dalam tubuh.
j. Gangguan pola seksual berhubungan dengan penurunan hormone seksual
k. Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan gangguan filtrasi ginjal
l. Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional, perubahan status kesehatan
m. Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan tingginya kadar urochrome,
toksik uremik
 Intra Hemodialisa
a. Nyeri akut b.d aktivasi receptor nyeri di area insersi saat dan setelah pemasangan
AV shunt
b. Resiko syok hipovolemik b.d proses hemodialisa yang mengerluarkan cairan
dari dalam tubuh
c. Resiko perdarahan b.d berhubungan dengan penggunaan heparin
d. Resiko cedera b.d akses vaskuler & komplikasi sekunder terhadap penusukan &
pemeliharaan akses vaskuler.
e. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan atau
penurunan kadar elektrolit tubuh
f. Resiko syok berhubungan dengan penarikan cairan (UF goal)
g. Mual berhubungan dengan proses hemodialisa
 Post Hemodialisa
a. Resiko infeksi berhubungan dengan area insersi AV Shunt
b. Resiko perdarahan berhubungan dengan pemberian heparin
c. Mual berhubungan dengan proses post hemodialisa
4.3. Rencana Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet cairan
berlebih, retensi cairan & natrium
o Tujuan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x4 jam, volume cairan seimbang
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Fluid overload severity

N Indikator 1 2 3 4 5
o
1 Tekanan darah
2 Berat badan
3 Edema
4 Pusing
Keterangan :
1 : severe / gangguan parah
2 : moderate / gangguan berat
3 : subtantial / gangguan sedang
4 : mild / gangguan ringan
5 : no deviation / tidak ada gangguan
o NIC : Fluid Management
1. kaji intake dan output cairan,
2. timbang berat badan secara rutin
3. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
4. monitor hasil lab terkait retensi cairan
5. Kaji lokasi dan berat edema
6. Kolaborasi tindakan dialisis
7. monitor BB pasien setelah dialisis
2. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan suplai O2 dan kebutuhan
o Tujuan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x4 jam, diharapkan klien dapat
melakukan ADL dengan bantuan minimal
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Activity Tolerance

No Indikator 1 2 3 4 5
1 Jarak berjalan
kelelahan
2 kemampuan beraktivitas
sehari hari
3 nyeri otot
Keterangan :
1 : severe / gangguan parah
2 : moderate / gangguan berat
3 : subtantial / gangguan sedang
4 : mild / gangguan ringan
5 : no deviation / tidak ada gangguan
o NIC : Activity Therapy
1. kaji kemampuan pasien untuk beraktivitas sehari hari
2. dampingi pasien saat beraktivitas
3. dampingi pasien atau keluarga untuk mengidentifikasi defisit aktivitas
4. berikan reinforcement saat klien biasa beraktivitas mandiri
5. monitor status emosional, sosial dan spiritual sebagai respon aktivitas
6. kaji dampak nyeri terhadap aktivitas
7. ajarkan manajemen nyeri misal teknik distraksi, relaksasi
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane kapiler
alveolus dan edema paru.
o Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan pertukaran gas kembali
normal
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Respiratory Status : Gas Exchange
NO Indikator 1 2 3 4 5
1. PaO2
2. PaCO2
3. pH arteri
4. SaO2
5. Sesak saat istirahat
6. Sesak saat aktivitas ringan
Keterangan :
1. Gangguan parah/severe deviation
2. Gangguan berat/subtantial deviation
3. Gangguan sedang/moderate deviation
4. Gangguan ringan/mild deviation
5. Tidak ada gangguan/no deviation
o NIC : Respiratoty Monitoring
1. Kaji kedalaman, irama nafas
2. Monitor status oksigenasi, misalnya SpO2, PaO2, PaCO2, dll
3. Auskultasi bunyi nafas, catat crakles, mengi.
4. Anjurkan pasien untuk batuk efektif
5. Pertahankan duduk/ posisi semi fowler selama fase akut
6. Auskultasi bunyi nafas, catat penurunan dan atau bunyi tambahan.
4. Nyeri akut b.d agen cedera fisik (insersi akses vaskular)
o Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan nyeri dapat terkontrol
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Pain Level
NO Indikator 1 2 3 4 5
1. Melaporkan nyeri
2. Lama nyeri
3. Ekspresi wajah saat nyeri
4. Menangis
5. RR
6. TD
Keterangan :
1. Gangguan parah/severe deviation
2. Gangguan berat/subtantial deviation
3. Gangguan sedang/moderate deviation
4. Gangguan ringan/mild deviation
5. Tidak ada gangguan/no deviation
o NIC : Pain Management
1. Monitor dan kaji karakteristik dan lokasi nyeri.
2. Monitor tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi, kesadaran).
3. Anjurkan pada pasien agar segera melaporkan bila terjadi nyeri dada.
4. Ciptakan suasana lingkungan yang tenang dan nyaman.
5. Ajarkan dan anjurkan pada pasien untuk melakukan tehnik relaksasi.
6. Kolaborasi dalam:
7. Pemberian oksigen.
8. Obat-obatan (beta blocker, anti angina, analgesic)

5. Resiko infeksi berhubungan dengan area insersi AV Shunt


o Tujuan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x4 jam, resiko infeksi dapat
diminimalkan
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Infection Severity

No Indikator 1 2 3 4 5
1 Warna kulit sekitar insersi
2 Suhu disekitar insersi
3 Rembesan drainase di sekitar
4. insersi
Pergeseran kanula
Keterangan :
1 : severe / gangguan parah
2 : moderate / gangguan berat
3 : subtantial / gangguan sedang
4 : mild / gangguan ringan
5 : no deviation / tidak ada gangguan
o NIC : Infection Control
1. monitor TTV
2. hindari mengukur TD di lengan yang terdapat fistula
3. pakai teknik aseptik saat prosedur dialisa
4. ajarkan klien dan keluarga tanda gejala yang membutuhkan penanganan medis
5. kaji daerah sekitar insersi
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC

Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk


Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC

Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid 3.
Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan

Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (2005). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai
Penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai