pada tahun 1965 untuk mengakhiri pemerintahan provinsi Papua dan Papua Barat yang
saat ini di Indonesia, yang sebelumnya dikenal sebagai Irian Jaya, dan untuk
memisahkan diri dari Indonesia.
Selama Perang Dunia II, Hindia Belanda (kelak menjadi Indonesia) dipandu
oleh Soekarno untuk menyuplai minyak demi upaya perang Jepang dan langsung
menyatakan merdeka dengan nama Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Nugini
Belanda (Nugini Barat) dan Australia yang menjalankan pemerintahan di
teritori Papua dan Nugini Britania menolak penjajahan Jepang dan menjadi sekutu
pasukan Amerika Serikat dan Australia sepanjang Perang Pasifik.
Walaupun Belanda menuntut agar rakyat Nugini Barat boleh menentukan nasib
sendiri sesuai piagam PBB dan Resolusi 1514 (XV) Majelis Umum PBB dengan nama
"Act of Free Choice", Perjanjian New York memberikan jeda tujuh tahun dan
menghapuskan wewenang PBB untuk mengawasi pelaksanaan Akta
tersebut. Kelompok separatis mengibarkan bendera Bintang Kejora Papua Barat pada
tanggal 1 Desember setiap tahunnya. Tanggal tersebut mereka anggap sebagai hari
kemerdekaan Papua. Kepolisian Indonesia berspekulasi bahwa orang-orang yang
melakukan tindakan seperti ini bisa dijerat dengan tuduhan pengkhianatan yang
hukumannya berupa kurungan penjara selama 7 sampai 20 tahun di Indonesia.
Pada bulan Oktober 1968, Nicolaas Jouwe, anggota Dewan dan Komite
Nasional Nugini yang dipilih Dewan pada tahun 1962, melobi PBB dan mengklaim
30.000 tentara Indonesia dan ribuan PNS Indonesia menindas penduduk Papua.
Menurut Duta Besar Amerika Serikat Francis Joseph Galbraith, Menteri Luar
Negeri Indonesia Adam Malik juga meyakini bahwa militer Indonesia adalah penyebab
munculnya masalah di teritori ini dan jumlah personilnya harus dikurangi sampai
separuhnya. Galbraith menjelaskan bahwa OPM "mewakili orang-orang sentimen yang
anti-Indonesia" dan "kemungkinan 85-90 persen [penduduk Papua] mendukung OPM
atau setidaknya sangat tidak menyukai orang Indonesia".
Latar belakang
Perjanjian New York dilatarbelakangi oleh usaha Indonesia untuk merebut
daerah Papua bagian barat dari tangan Belanda. Pada Konferensi Meja Bundar (KMB)
di Den Haag saat pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda disebutkan bahwa
masalah Papua bagian barat akan diselesaikan dalam tempo satu tahun sejak KMB.
Namun sampai tahun 1961, tak terselesaikan.
Amerika Serikat yang takut bila Uni Soviet makin kuat campur tangan dalam soal
Papua bagian barat, mendesak Belanda untuk mengadakan perundingan dengan
Indonesia. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Adam Malik dan Belanda oleh Dr. van
Roijen, sedang E. Bunker dari Amerika Serikat menjadi perantaranya.
Tanggal 15 Agustus 1962 diperoleh Perjanjian New York yang berisi penyerahan
Papua bagian barat dari Belanda melalui United Nations Temporary Executive Authority
(UNTEA). Tanggal 1 Mei 1963 Papua bagian barat kembali ke Indonesia. Kedudukan
Papua bagian barat menjadi lebih pasti setelah diadakan Penentuan Pendapat Rakyat
(PEPERA) tahun 1969, rakyat Papua bagian barat memilih tetap dalam lingkungan RI.
KMB
Tanggal penyerahan kedaulatan oleh Belanda ini juga merupakan tanggal yang
diakui oleh Belanda sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Barulah sekitar enam
puluh tahun kemudian, tepatnya pada 15 Agustus 2005, pemerintah Belanda secara
resmi mengakui bahwa kemerdeekaan de facto Indonesia bermula pada 17 Agustus
1945. Dalam sebuah konferensi di Jakarta, Perdana Menteri Belanda Ben Bot
mengungkapkan "penyesalan sedalam-dalamnya atas semua penderitaan" yang
dialami rakyat Indonesia selama empat tahun Revolusi Nasional, meski ia tidak secara
resmi menyampaikan permohonan maaf. Reaksi Indonesia kepada posisi Belanda
umumnya positif; menteri luar negeri Indonesia Hassan Wirayuda mengatakan bahwa,
setelah pengakuan ini, "akan lebih mudah untuk maju dan memperkuat hubungan
bilateral antara dua negara".
Ketegangan antara Indonesia dan Belanda terjadi pada fase infiltrasi. Oleh
sebab itu untuk mencegah meletusnya pertempuran, atas prakarsa seorang diplomat
Amerika Serikat bernama Ellsworth Bunker mengusulkan adanya penyelesaian damai.
Karena diusulkan oleh Bunker, maka disebut sebagai Rencana Bunker.
Sebagai tindak lanjut Rencana Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962 di New
York diselenggarakan perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang disebut
Persetujuan New York.