PENDAHULUAN
1
lingkungan yang buruk dapat menyebabkan banjir yang bias meningkatkna risiko terjadinya
penyakit leptospirosisi ( Prihantoro, 2017).
2
BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
2.1 Skenario
3
c. Kecamatan B termasuk daerah yang sering dilanda luapan air sungai yang mengalir
membelah wilayah tersebut sehingga menggenangi pemukiman.
f. Area yang tidak terkena luapan banjir sungai juga terkena luapan air selokan pada
waktu musim hujan karena penataan pembuangan air limbah yang belum baik.
g. Masih banyak tempat penyimpanan sampah yang tidak tertutup dan tidak terawat.
bahkan masih banyak keluarga yang belum memiliki bak sampah
k. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani yang bekerja tanpa alat pelindung
diri dalam kontak dengan air.
2.3 Analisis
2.3.1 Gambaran Umum Penyakit Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang menginfeksi manusia dan hewan
yang diakibatkan oleh bakteri Leptospira sp. Penyakit ini dikenal juga dengan nama
swineherd’s, demam pesawah (rice-field fever), demam pematang tebu, demam
lumpur, jaundis berdarah, penyakit stuttgant, atau demam canicola. Ada juga yang
menyebut demam Icterohemorrhage sehingga biasa juga disebut penyakit kuning
non-virus ( Prihantoro,2017).
2.3.2 Etiologi Leptospirosis
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang berbentuk spiral,
tipis, lentur dengan panjang 10-20 urn dan tebal 0,1 urn serta memiliki dua lapis
membran. Kedua ujungnya mempunyai kait berupa flagelum periplasmik. Bergerak
aktif maju mundur dengan gerakan memutar sepanjang sumbunya. Bentuk dan
4
gerakannya dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap atau mikroskop fase
kontras. Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di dalam air tawar
selama kurang lebih satu bulan, tetapi di dalam air laut, air selokan dan air kemih
yang tidak diencerkan akan cepat mati
Bakteri ini termasuk dalam ordo Spirochaetales, famili Leptospiracea genus
Leptospira Leptospira. Bakteri ini termasuk dalam ordo Spirochaetales, famili
Leptospiraceae, genus Leptospira . Leptospira dapat tumbuh di dalam media dasar
yang diperkaya dengan vitamin, asam lemak rantai panjang sebagai sumber karbon
dan garam amonium; tumbuh optimal pada suhu 28-30°C dalam kondisi obligat
aerob.
2.3.3 Patofisiologi Leptospirosis
a. Pre Patogenesis
Infeksi oleh Leptospira umumnya didapat karena kontak kulit atau
selaput lendir (mucous membrane) misalnya, konjuktiva (mata) karena
kecipratan selaput lendir vagina atau lecet-lecet kulit dengan urin atau cemaran
oleh keluaran urogenitalis lainnya atau mengkonsumsi makanan atau minuman
yang tercemar oleh bakteri tersebut. Apabila hewan korban terinfeksi bakteri
Leptospira ini, maka segeralah mikroorganisme ini merasuk ke dalam jaringan
tubuh penderita.
b. Patogenesis
Masuknya kuman Leptospirosis pada tubuh hospes melalui selaput
lendir, luka-luka lecet maupun melalui kulit menjadi lebih lunak karena terkena
air yang masuk ke peredaran darah. Kemudian, kuman akan dibawa ke berbagai
bagian tubuh dan memperbanyak diri terutama di dalam hati, ginjal, kelenjar
mamae dan selaput otak. Kuman tersebut dapat ditemukan di dalam atau di luar
sel-sel jaringan yang terkena. Pada beberapa tingkatan penyakit dapat ditemukan
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 156 fase leptospiremia, yang biasanya
terjadi pada minggu pertama setelah infeksi. Masa inkubasi leptospirosis adalah
7-12 hari dengan rata-rata 10 hari.
c. Pasca Patogenesis
Pada proses infeksi yang berkepanjangan reaksi imunologik yang timbul
dapat memperburuk keadaan hingga kerusakan jaringan makin parah. Leptospira
hidup dengan baik didalam tubulus kontortus ginjal. Kemungkinan kuman
tersebut akan dibebaskan melalui air kemih untuk jangka waktu yang lama.
5
Kematian terjadi karena septimia, anemia hemolitika, kerusakan hati karena
terjadinya uremia. keparahan penderita bervariasi tergantung pada umur serta
servoar leptospira penyebab infeksi.
6
cairan abortus. Umumnya penularan lewat mulut dan tenggorokan sedikit ditemulan
karena bakteri tidak tahan terhadap lingkungan asam. Penularan dari manusia ke
manusia seperti ini jarang terjadi.
2. Penularan Tidak Langsung
Penularan tidak langsung terjadi yaitu melalui media misalnya melalui kontak
hewan atau manusia dengan barang-barang yang telah tercemar urin penderita,
misalnya alas kandang hewan, tanah, makanan, minuman dan jaringan tubuh.
2.3.5 Tanda dan Gejala Leptospirosis
Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2-26 hari, Infeksi Leptospirosis
mempunyai menefestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa gejala, sehingga
sering terjadi kesalahan diagnose. Infeksi L. interrogans dapat berupa infeksi subklinis
yang dilandai dengan flu ringan sampai berat. Hampir 15-40 persen penderita terpapar
infeksi tidak bergejala tetapi uji serologis positif. Sekitar 90 persen penderita jaundis
ringan, sedangkan 5-10 persen jaundis berat yang sering dikenal sebagai penyakit
Well imun. Pada periode peralihan fase selama 1-3 hari kondisi penderita membaik.
Selain itu ada Sindrom Weil yang merupakan bentuk infeksi Leptospirosis yang berat.
Perkembangan Leptospirosis dalam tubuh manusia melalui 3 fase (Samikno,2019) :
a. Fase Septimatik
Fase Septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospirosis, bakteri
dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan
tubuh. Pada stadium ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7
hari, ditandai dengan demam, kedinginan, dan kelemahan otot. Gejala lain
adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, nyeri kepala, takut
cahaya, gangguan mental, radang selaput otak (meningitis), serta pembesaran
limpa dan hati
b. Fase Imun
Fase Imun sering disebut juga dengan fase kedua/leptospirurik, karena
sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin
tidak dapat didapatkan lagi dari darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini
terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi. Gejala
tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak, hati, mata atau
ginjal. Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi,
kecemasan, dan sakit kepala. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan jaundis,
7
pembesaran hati (hepatomegali), dan tanda koagulopati, gangguan paru-paru
berupa batuk, batuk darah, dan sulit bernafas. Gangguan hematologi berupa
pendarahan dan pembesaran limpa (splenomegali). Kelainan jantung ditandai
gagal jantung atau perikarditis. Meningitis aspetik merupakan manefestasi
klinis paling penting pada fase imun leptospirosis dapat diisolasi dari darah
selama 24-48 jam setelah timbul jaundis. Pada 30 persen pasien terjadi diare
atau kesulitan buang air besar (kontipasi), muntah, lemah, dan kadang-kadang
penurunan nafsu makan. Kadang-kadang terjadi pendarahan di bawah kelopak
mata dan gangguan ginjal pada 50 persen pasien, dan gangguan paru-paru pada
20-70 persen pasien. Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi.
Sebanyak 83 persen penderita infeksi L. icterohaemorrhagiae mengalami
ikterus, dan 30 persen pada L. pamona. Infeksi L. grippotyphosa umumnya
menyebabkan gangguan sistem pencernaan. Sedangkan L. pamona atau L.
canicula sering menyebabkan radang selaput otak (meningitis).
c. Sindrom Weil
Sindrom Weil adalah bentuk Leptospirosis berat ditandai disfungsi ginjal,
nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan pendarahan. Kondisi ini terjadi pada
akhir fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburuk setiap
waktu. Kriteria penyakit Weil tidak dapat didefenisikan dengan baik.
Manefestasi paru meliputi batuk, kesulitan bernafas, nyeri dada, batuk darah,
dan gagal napas. Disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya jaundis 4-9 hari
setelah gejala awal penderita dengan jaundis berat lebih mudah terkena gagal
ginjal, perdarahan dan kolap kardiovaskular. Kasus berat dengan gangguan hati
dan ginjal mengakibatkan kematian sebesar 20-40 persen yang akan meningkat
pada lanjut usia.
2.3.6 Trias Epidemiologi
A. Host ( penjamu )
Komponen host yang berkaitan dengan angka kejadian leptospirosis diantaranya
adalah :
a. Jenis Kelamin
Samikno et.al (2019) menyebutkan bahwa meskipun laki-laki dan
perempuan sama - sama memeliki risiko yang sama untuk terinfeksi
leptospirosis, akan tetapi laki – laki memiliki resiko yang lebih besar untuk
8
terinfeksi Leptospirosis. Hal ini mungkin diakibatkan karena laki – laki
memiliki pekerjaan yang lebih terpapar oleh hewan yang terinfeksi dan
lingkungan yang terkontaminasi . pada saat banjir laki-laki biasanya turun
langsung membersihkan lingkungan sehingga kemungkinan terpapar kotoran
dari reservoir bakteri Leptospira yaitu Rodent ( tikus).
b. Pekerjaan
Salah satu faktor risiko Leptospirosis adalah berasal dari pekerjaan.
Kelompok pekerja yang bekerja sebagai dokter hewan, peternak, petani padi
dan tebu, nelayan, dan pekerjaan lain yang sering kontak langsung dengan
hewan merupaka kelompok berisiko terhadap kejadian Leptospirosis
Hal ini terikat dengan penularan langsung, dimana pekerja tersebut
memiliki kemungkinan besar bersentuhan dengan cairan tubuh atau urin dari
hewan yang terinfeksi bakteri Leptospira. Seperti yang sudah dijelaskan di
dalam skenario bahwa sebagian besar penduduk di wilayah puskesmas B
bekerja sebagai petani atau buruh tani, yang memiliki resiko besar terpapar
bakteri Laptespira.
c. Riwayat Luka
Depkes RI (2017) menyebutkan bahwa salah satu cara bakteri
Leptospira masuk ke tubuh manusia adalah melalui kulit yang lecet atau luka.
Hal ini sesuai dengan WHO (2014) yang menyebutkan bahwa bakteri
Leptospira masuk kedalam tubuh manusia dapat melalui luka atau lecet pada
kulit, melalui selaput lender mulut, hidung dan mata, cairan ketuban, Vagina,
jaringan tanah , vegetasi dan air yang terkontaminasi dengan urin hewan yang
terinfeksi.
Warga di wilayah puskesmas B sebagian besar merupakan buruh tani
namun terkait dengan penggunaan alat pelindung diri masih sangat minim,
sehingga sangat mudah terpapar bakteri Leptospira saat terdapat luka dibagian
tubuh yang kontak langsung dengan air atau tanah yang terkontaminasi bakteri
Leptospira.
9
d. Personal Hygine
Samikno et.al (2019) menyebutkan bahwa bagian penting dalam paya
pencegahan dan penanggulangan penyakit menular adalah memutuskan rantai
penularan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghentikan kontak agen
penyebab penyakit dengan penjamu. Faktor pencegahan penularan
menitikberatkan pada penanggulangan risiko penyakit seperti lingkungan dan
perilaku. Lingkungan yang tidak hygine dan perilaku indvidu yang tidak hygine
dapat mempermudah penularan penyakit.
Seseorang yang tidak melakukan upaya pencegahan maka akan
mengakibatkan kemungkinan masuknya bakteri Leptospirosa ke dalam tubuh
akan semakin besar. Bakteri Leptospirosa masuk ke dalam tubuh melalui pori –
pori tubuh terutama kulit kaki dan tangan, melalui selaput lender, tubuh yang
lecet, dan melalui makanan yang terkontaminasi.
Seperti yang sudah dijelaskan di dalam skenario bahwa penduduk di
wilaya puskesma B masih mengabaikan pentingnya personal hygine, seperti
kebiasaan mandi dan cuci di sungai yang mungkin saja sudah terkontaminasa
oleh bakteri Leptospira.
B. Agent ( Faktor Penyebab )
Agent dari penyakit Leptospirosis adalah bakteri Leptospira yang berbentuk
spiral, tipis, lentur dengan Panjang 10-20nm dan tebal 0,1 nm serta memiliki dua
lapisan membrane. Kedua ujungnya memiliki kait berupa flagellum periplasmic.
Bergerak aktif maju mundur dengan gerakan memutar sepanjang sumbunya.
Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di dalam air tawar selam kurang
lebih satu bulan, tetapi di dalam air laut akan cepat mati.
C. Environment ( Lingkungan)
Berdasarkan aspek lingkungan, insiden leptospirosis lebih banyak terjadi pada
negara beriklim tropis dan subtropis dengan curah hujan yang tinggi. Kondisi
lingkungan pada daerah tersebut sangat optimal bagi pertumbuhan Leptospira.
Lingkungan kumuh dengan sanitasi buruk terkait erat dengan kejadian
leptospirosis, yang mana disebabkan karena peningkatan tikus sehingga
memperbesar kemungkinan kontak antara manusia dengan hewan terinfeksi.
Manusia dapat terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah atau lumpur
yang terkontaminasi oleh urine hewan yang terinfeksi.
10
2.3.7 Pencegahan dan Penatalaksanaan Leptospirosis
Manusia rawan oleh infeksi semua serovor Leptospira sehingga manusia harus
mewaspadai cemaran urin dari semua hewan. Perilaku hidup sehat dan bersih
merupakan cara utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya. Manusia
yang memelihara hewan kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri dengan
antiseptik setelah kontak dengan hewan kesayangan, kandang, maupun lingkungan
dimana hewan berada persen, sedangkan angka kesakitannya (morbiditas) mencapai
lebih dari 75 persen (Heriyanto,2013). Membersihkan tempat-tempat yang menjadi
habitat atau sarang tikus dan meniadakan akses tikus ke lingkungan manusia juga
dapat dilakukan dalam upaya pengendalian leptospirosis.
Pencegahan melalui jalur penularan dapat dilakukan dengan mengurangi kontak
dengan sumber infeksi seperti air tercemar Leptospira, satwa liar dan hewan yang
terinfeksi atau hewan karier. Untuk kelompok individu beresiko tinggi dianjurkan
untuk memakai pakaian pelindung seperti sepatu bot, pakaian kerja/praktek dan
sarung tangan, untuk menghindari kemungkinan kontak dengan percikan urin, darah,
atau jaringan fetus waktu menolong kelahiran hewan. Pada manusia, pengobatan
terhadap penderita leptospirosis dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik
bersamaan dengan pengobatan simtomatik dan terapi suportif. Selain itu diperlukan
adanya pendekatan kepada masyarakat dan kelompok beresiko tinggi terinfeksi
Leptospira untuk meningkatkan pemahaman mengenai leptospirosis agar dapat
melakukan tindakan pencegahan penularannya .
Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami penyakit
ini. Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan Leptospirosis. Selain
itu, para peternak babi dihimbau untuk mengandangkan ternaknya jauh dari sumber
air persen, sedangkan angka kesakitannya (morbiditas) mencapai lebih dari 75 persen
(Heriyanto,2013). Feses ternak perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga
tidak mencemari lingkungan terutama sumber air.
Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik daksisiklin,
ampisilin, atau amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat yang dapat diobati
dengan penisililin G, ampisillin, amoksillin dan eritomisin persen, sedangkan angka
kesakitannya (morbiditas) mencapai lebih dari 75 persen (Heriyanto,2013).
11
2.3.8 Tabel Scoring untuk menentukan Prioritas Masalah
MASALAH
PARAMETER Peningkatan Sanitasi Tingkat
prevelensi Lingkungan Pendidikan
Leptospirosis yang Rendah
1. Prevalence 2 2 2
2. Severity 3 4 2
3. Rate % increase 3 3 3
4. Degree of unmeet need 4 4 2
5. Social benefit 5 4 3
6. Public concern 5 4 3
7. Technical feasibility study 4 4 3
8. Resources availability 4 4 3
JUMLAH 30 29 21
RERATA 3.75 3.62 2.62
Dari hasil scoring diatas, didapatkan urutan prioritas masalah sebagai berikut :
12
13
2.5 Pembahasan
1. Masukan
a) Dana
sekolah menengah atas. Dan sebagian besar penduduknya bekerja sebagai buruh tani.
b) Tenaga
c) Fasilitas
Kurangnya fasilitas kebersihan seperti bak sampah. Dan juga sebagian besar penduduk
Solusi: mengadakan program arisan APD dan program kreatifitas ibu-ibu PKK.
2. Proses
A) Metode
penyakit Leptospirosis
1) Personal hygiene : Dapat kita ketahui dari kebiasaan mandi dan cuci yang masih
mengalirkanya ke selokan.
14
2) Penyakit Leptospirosis : masih kurangnya pemahaman masyarakat di wilayah
tersebut bahwa penyakit Leptospirosis adalah penyakit menular dari air maupun
makanan yang sudah terkontaminasi oleh urin maupun feses dari bintang
reservoir.
B) Manajemen
3. Lingkungan
Kinerja puskesmas yang kurang baik terhadap kinerja para petugas kesehatan sehingga
informasi mengenai leptospirosis tidak dapat tersampaikan dengan baik oleh penduduk
wilayah puskesmas B
Solusi: Dapat diadakan program lintas sektoral.
12
15
BAB III
PENYUSUNAN PROGRAM
16
BAB IV
PENYUSUNAN PROGRAM PRIORITAS
𝑀𝑥𝐼𝑥𝑉
No. Masalah M I V C P=
𝐶
1. HASABTIF 4 3 3 4 9
Pos Informasi
2. 3 3 2 3 6
Leptospirosis
3. Arisan APD 4 3 4 4 12
Dari tabel tersebut dapat dilihat, nilai P paling tinggi adalah Arisan APD. Yang mana menurut
kami dengan melakukan Arisan APD dapat menanggulangi angka kejadia Leptospirosis di
Wilayah puskesmas B.
17
18
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia
maupun hewan yang disebabkan kuman leptospira pathogen dan digolongkan
sebagai zoonisis yaitu penyakit hewan yang bias menjangkiti manusia. Hewan
yang paling banyak mengandung bakteri Leptospira ini ( reservoir ) adalah
hewan pengerat dan tikus. Penyakit leptospirosis banyak terdapat di Indonesia
terutama pada musim penghujan.
Pengobatan dengan antibiotic merupakan pilihan terbaik pada fase awal
ataupun fase lanjutan. Selain pengobatan antibiotic, pencegahan untuk
mengontrol angka kejadian Leptospirosis sangatlah penting. Kebersihan
lingkungan dan personal hygine adalah factor yang sangat penting dalam
penularan penyakit Leptospirosis. Maka dari itu kegiatan pengembangan
masyarakat sangat dibutuhkan untuk mengontrol angka kejadian
Leptospirosis.
5.2 Saran
Pada orang berisiko tinggi terutama yang sering berpergian ke daerah
berawa -rawa dianjurkan untuk menggunakan alat pelindung diri terutama
sepatu, untuk menghindari kontak langsung dengan air yang mungkin
sudah terkontaminasi oleh hewan pembawa bakteri Leptospira.
19
Daftar Pustaka
Fahrudin, M. (2015). Analisis Pola Persebaran Penyakit Leptospirosis di Kecamatan Bantul,
Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Heriyanto, B., Handayani, F. D., Trapsilowati, W., Pujiati, A., & Nugroho, A. (2013). Studi
Pencegahan Penularan Leptospirosis di Daerah Persawahan di Kabupaten Bantul,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Vektoral, V(1).
Kesehatan, K., Indonesia, R., & Kasus, D. Leptospirosis: kenali dan waspadai (2017). Retrieved
from http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=15022400002
Pusat Data Kemenkes RI. (2017). Profil Kesehatan Tahun 2017. Kementerian Kesehatan RI.
Sametkto, M., Hadisaputro, S., Adi, MS., Suhartono., & Widjanarko, B. (2019). Factor – Factor
Yang Berpengaruh terhadap Kejadian Leptospirosis ( Studi kasus Kontrol di Kabupaten
Pati ). Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas. 4(1). 27-34.
WHO. (2014). Leptospirosis. Geneva : Worl Health Organization. Retrieved from
https://www.who.int/zoonoses/diseases/Leptospirosissurveillance.pdf
20