Stenosis Laring
Stenosis Laring
PENDAHULUAN
Gambar 1. Esofagus12
LES merupakan zona tekanan tinggi yang terletak di bagian esofagus yang
menyatu dengan perut. Sfingter ini adalah spingter fungsional yang terdiri dari
komponen intrinsik dan ekstrinsik. Komponen ekstrinsik terdiri dari otot
diafragma yang berfungsi sebagai ajuvan spingter eksternal. Saraf motorik
esofagus didominasi saraf vagus. Otot polos esofagus distal dan LES dipersarafi
oleh preganglionik, serat kolinergik yang berasal dari inti motorik dorsal (Dorsal
Motoric Neuron/DMN) di batang otak dan berakhir di pleksus myenterikus
(Auerbach). Ganglia pleksus myenterikus terletak di antara lapisan otot
longitudinal dan sirkuler dan neuron postganglion menginervasi dinding esofagus
dan LES. Rangsangan neuron postganglion melepaskan asetilkolin sedangkan
neuron inhibisi postganglion melepaskan oksida nitrat (NO) dan polipeptida
vasoaktif intestinal (VIP). Dalam kondisi istirahat (diantara menelan) LES dalam
keadaan kontraksi tonik. Menelan berkaitan dengan aktivasi refleks telan paksa.
Setelah diaktifkan oleh refleks ini, pusat neuron telan mengirim debit bermotif
inhibisi dan eksitasi ke inti motor dari saraf kranial. Pertama jalur inhibisi neuron
diaktifkan dan mengakibatkan penghambatan semua kegiatan yang sedang
berlangsung di esofagus dan relaksasi LES. Peristaltik merupakan hasil dari
relaksasi terkoordinasi dan kontraksi yang dimediasi oleh neuron pleksus
myenterikus inhibisi dan eksitasi di sepanjang esophagus. 2,4,6,11,12
Esofagus berfungsi membawa makanan, cairan, sekret dari faring ke gaster
melalui suatu proses menelan, dimana akan terjadi pembentukan bolus makanan
dengan ukuran dan konsistensi yang lunak. Proses menelan terdiri dari tiga fase
yaitu fase oral, makanan dalam bentuk bolus akibat proses mekanik bergerak pada
dorsum lidah menuju orofaring, palatum mole dan bagian atas dinding posterior
faring terangkat. Fase menelan kedua adalah fase pharingeal dimana terjadi
refleks menelan (involuntary), faring dan laring bergerak ke atas oleh karena
kontraksi m. Stylopharyngeus, m. Salfingopharyng, m. Thyroid dan m.
Palatopharyng, aditus laring tertutup oleh epiglotis dan sfingter laring. Fase
menelan terakhir adalah fase esofageal dimana terjadi perpindahan bolus makanan
ke distal oleh karena relaksasi m. Krikofaring, di akhir fase sfingter esofagus
bawah terbuka dan tertutup kembali saat makanan sudah lewat. 2 ,6,11, 12
Penahanan Bolus Orbicularis oris (superior dan Menutup bibir, terutama pada VII
dalam mulut inferior) bolus yang besar,
Incisivus labii (superior dan
inferior)
Elevasi dan Superior, medial dan inferior Kontraksi dan elevasi faring Pleksus
kontraksi faring konstriktor, stilofaringeus, faringeal
salingofaringeus
2.2.2 Kekerapan
Insidensi akalasia sekitar 1-10:100.000, dengan prevalensi 10 dalam
10.000 penduduk. Distribusi laki-laki perempuan sama besarnya, tanpa adanya
perbedaan ras. Akalasia terjadi pada semua umur dengan kejadian dari lahir
sampai dekade 7-8 dan puncak kejadian pada umur 30-60 tahun.7-10
Angka kejadian akalasia esophagus di Amerika Serikat dilaporkan 2000
kasus setiap harinya, dengan usia antara 25-60 tahun, dan jarang ditemukan pada
anak-anak. Divisi Gastroenterohepatologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia melaporkan sekitar 48 kasus selama 5 tahun (1984-1988) di RS Cipto
Mangunkusumo, dengan mayoritas kelompok umur yang sama.1
2.2.3 Etiologi
Etiologi dari akalasi tidak diketahui secara pasti. Namun, terdapat bukti
bahwa degenerasi plexus auebach menyebabkan kehilangan pengaturan
neurologis . Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui secara pasti.
Secara histologik ditemukan kelainan berupa degenerasi sel ganglion plexus
aurbach sepanjang esophagus pars torakal. Hal ini diduga sebagai penyebab
gangguan peristaltik esophagus.4,6,20,21
Menurut etiologinya, akalasia dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu: 4,6,20,21
1. Akalasia primer (yang paling sering ditemukan). Penyebab yang jelas
tidak diketahui. Diduga disebabkan oleh virus neurotropik dan faktor
keturunan.
2. Akalasia sekunder (jarang ditemukan). Kelainan ini dapat disebabkan oleh
infeksi, tumor intraluminer seperti tumor kardia atau pendorongan
ekstraluminer seperti pseudokista pankreas. Kemungkinan lain dapat
disebabkan oleh obat antikolinergik atau pascavagotomi.
Berdasarkan teori etiologi: 4,6,20,21
1. Teori Genetik
Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah
mendukung bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara
genetik. Kemungkinan ini berkisar antara 1 % sampai 2% dari populasi
penderita akalasia.
2. Teori Infeksi
Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria pertussis,
clostridia, tuberculosis dan syphilis), virus (herpes, varicella zooster, polio
dan measles). Zat-zat toksik (gas kombat), trauma esofagus dan iskemik
esofagus uterine pada saat perputaran saluran pencernaan intra uterine.
Bukti yang paling kuat mendukung faktor infeksi neurotropik sebagai
etiologi. Pertama, lokasi spesifik pada esofagus dan fakta bahwa esofagus
satu-satunya bagian saluran pencernaan dimana otot polos ditutupi oleh
epitel sel skuamosa yang memungkinkan infiltrasi faktor infeksi.
Kedua, banyak perubahan patologi yang terlihat pada akalasia dapat
menjelaskan faktor neurotropik virus yang berakibat lesi pada nukleus
dorsalis vagus pada batang otak dan ganglia mienterikus pada esophagus.
Ketiga, pemeriksaan serologis menunjukkan hubungan antara measles dan
varicella zoster pada pasien akalasia.
3. Teori Autoimun
Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari beberapa somber.
Pertama, respon inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus didominasi
oleh limfosit T yang diketahui berpefan dalam penyakit autoimun. Kedua,
prevalensi tertinggi dari antigen kelas II, yang diketahui berhubungan
dengan penyakit autoimun lainnya. Yang terakhir, beberapa kasus
akalasia ditemukan autoantibodi dari pleksus mienterikus.
4. Teori Degeneratif
Studi epidemiologi dari AS. menemukan bahwa akalasia berhubungan
dengan proses penuaan dengan status neurologi atau penyakit psikis,
seperti penyakit Parkinson dan depresi.
2.2.4 Patofisiologi
Selama 75 tahun terakhir, penelitian terhadap patologi akalasia
menunjukkan adanya penurunan neuron pleksus myenterikus. Hal ini sesuai
dengan penelitian oleh Goldblum pada 42 pasien akalasia yang menjalani
esofagektomi, 64% tidak didapatkan sel ganglion mienterikus dan 36 % terjadi
penurunan sel ganglion myenterikus di esofagus. Penelitian tersebut juga
menunjukkan adanya dominasi infiltrasi inflamasi sel T di pleksus mienterikus
dan fibrosis. Penelitian terbaru terhadap pasien akalasia yang diobati di stadium
awal menunjukkan adanya sel ganglion yang intak, namun dengan jumlah sel
berkurang. Pasien pada stadium awal tersebut memiliki lama gejala yang lebih
singkat dan tidak terjadi pelebaran diesofagusnya. Terdapat anggapan bahwa
peradangan di myenterikus merupakan fase awal akalasia sehingga menyebabkan
aganglionosis dan fibrosis.22,23
Beberapa hipotesis teori terjadinya akalasia antara lain:
2.2.4.1 Adanya kemampuan inervasi kolinergik
Penelitian in vitro oleh Trounce tahun 1957 menunjukkan kontraksi otot
lurik pada pasien akalasia merupakan kombinasi antara inhibitor
asetilkolinesterase, serine, agonis ganglionik dan nikotin. Aktivitas
asetilkolinesterase di sel ganglion LES pada pasien akalasia digambarkan oleh
Adams pada tahun 1961. Asetilkolinesterase inhibitor edrophonium klorida
kemudian terbukti secara signifikan meningkatkan tekanan LES pada pasien
dengan akalasia. Temuan ini menunjukkan bahwa setidaknya beberapa ujung
saraf kolinergik postganglionik tetap utuh. 22,23,24
Penelitian lain menunjukkan adanya efek agen antikolinergik atropin pada
pasien akalasia. Terjadi penurunan 30 % sampai 60 % tekanan LES pada pasien
dengan akalasia yang diberikan atropin. Penurunan serupa ditemukan pada
kelompok kontrol relawan sehat. Namun sisa tekanan setelah pemberian atropin
secara signifikan lebih tinggi pada pasien akalasia (17 mmHg) dibandingkan
dengan subyek normal (5 mmHg).22,23,24
2.2.5 Diagnosis
Diagnosis akalasia ditegakkan berdasarkan:
2.2.5.1 Gejala klinis
Pasien dengan akalasia, terlepas dari penyebabnya primer atau sekunder
mempunyai gejala klinis yang hampir sama. Gejalanya antara lain kelainan
menelan / disfagia progresif, odinofagia, regurgitasi, nyeri dada, dan penurunan
berat badan. Diagnosis akalasia harusnya dicurigai pada tiap pasien yang
mempunyai keluhan disfagia makanan padat dan cair disertai regurgitasi makanan
dan saliva. Terjadinya disfagia biasanya bertahap, awalnya digambarkan sebagai
"rasa penuh di dada" atau "sticking sensation" dan terjadi setiap hari atau setiap
kali makan. Awalnya, disfagia terutama pada makanan padat, namun seiring
waktu disfagia juga terjadi pada makanan cair 23,24
Regurgitasi menjadi masalah seiring dengan perkembangan penyakit,
terutama saat esofagus melebar. Regurgitasi, makanan yang tertahan dan
akumulasi air liur, kadang-kadang salah didiagnosis dengan dahak postnasal atau
bronkitis. Biasanya terjadi setelah makan pada malam hari dimana pasien sering
terbangun karena batuk dan tersedak. Pneumonia aspirasi merupakan masalah
yang jarang.
Nyeri dada terjadi pada beberapa pasien, terutama pada malam dan terlihat
pada pasien dengan penyakit yang masih ringan atau esofagus yang masih
melebar minimal. Mekanisme nyeri dada tidak diketahui. Heartburn atau rasa
seperti terbakar di dada merupakan keluhan yang sering terjadi di akalasia,
meskipun faktanya akalasia tidak berhubungan dengan peningkatan kejadian
refluks asam lambung. Pada pasien akalasia, keluhan ini biasanya dikarenakan
retensi asam lambung atau toksin yang diproduksi oleh laktat yang terfermentasi
oleh bakteri di esofagus. Kebanyakan pasien akalasia gejala penurunan berat
badan namun biasanya dalam jangka lama bulan sampai tahun. 23,24
2.2.5.2 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologi
Pada foto polos toraks pasien akalasia tidak menampakkan adanya
gelembung-gelembung udara pada bagian atas dari gaster, dapat juga
menunjukkan gambaran air fluid level pada sebelah posterior
mediastinum. Pemeriksaan barium esofagus pada penyakit chagas dan
akalasia primer hampir sama. Ciri yang membantu membedakan akalasia
primer dan penyakit chagas adalah adanya penyakit yang menyertai pada
akalsia primer misalnya megacolon dan kardiomegali yang tampak dengan
pemeriksaan fluoroskopi.10
Pemeriksaan esofagogram barium dengan pemeriksaan fluoroskopi
menunjukkan gambaran radiologi berupa gelombang peristaltik yang
normal hanya pada sepertiga bagian proksimal esofagus, sementara
tampak dilatasi pada duapertiga distal esofagus dengan gambaran
peristaltik yang abnormal atau hilang sama sekali serta gambaran
penyempitan di bagian distal esofagus menyerupai ekor tikus (mouse tail
appearance) atau menyerupai paruh burung (bird’s beak
apeearance).6,11.16,
Gambar 3. Pemeriksaan barium pada pasien akalasia menunjukkan penyempitan di distal
esofagus dan hanya sedikit kontras yang dapat lewat, dan memberikan gambaran paruh
burung.16
b. Esofagoskopi
Tampak pelebaran lumen esofagus dengan bagian distal yang
menyenpt, terdapat sisa makanan dan cairan di proksimal daerah
penyempitan. Mukosa esofagus tampak pucat, edema dan kadang terdapat
tanda esofagitis akibat retensi makanan. Sfingter bawah esofagus akan
terbuka dengan sedikit tekanan dan esofagoskop dapat dengan mudah
masuk ke lambung. Endoskopi pada pasien dengan akalasia bukan sebagai
alat diagnosis, namun untuk mengecualikan adanya entitas penyakit lain
dan mengetahui adanya komplikasi. Temuan endoskopi pada akalasia
primer adalah mukosa esofagus normal dengan tingkat resistensi tekanan
endoskopi saat melalui persimpangan esofagus dan gaster derajat ringan
sampai moderat.26-29
c. Pemeriksaan manometri
Fungsi pemeriksaan manometri adalah untuk menilai fungsi
motorik esofagus dengan melakukan pemeriksaan tekanan di dalam lumen
dan sfingter esofagus. Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan kelainan
motilitas secara kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan manometri
dilakukan dengan cara memasukkan pipa melalui mulut atau hidung. Pada
akalasia yang dinilai adalah fungsi motorik badan esofagus dan sfingter
bawah esofagus. Pada badan esofagus yang dinilai adalah tekanan pada
saat istirahat dan aktivitas peristaltiknya. Sfingter bawah esofagus dinilai
tekanan istirahat dan mekanisme relaksasinya. 26-29
Manometri esofagus merupakan standar emas untuk diagnosis
akalasia. Tiga ciri klasik akalasia pada pemeriksaan manometrik adalah:
aperistalsis di badan esofagus, peningkatan tekanan LES lebih besar dari
45 mmHg (normal 15-30 mmg Hg) dan gangguan relaksasi LES saat
menelan.4,5 Gambaran manometri yang khas adalah tekanan istirahat
badan esofagus meningkat, tidak terdapat gerakan peristaltik sepanjang
esofagus sebagai reaksi proses menelan. Tekanan sfingter esofagus bagian
bawah normal atau meninggi dan tidak terjadi relaksasi sfingter pada
waktu menelan. 26-29
Gambar 4. Manometri resolusi tinggi pada pasien normal (a) dan pada pasien dengan
akalasia (b). Gambar di atas merupakan representasi temporospasial dari data tekanan
yang direkam dalam 32 saluran tekanan di esofagus. Warna yang berbeda dikaitkan
dengan rentang dari tekanan seperti yang ditunjukkan pada skala. Saat istirahat sfingter
esofagus atas dan bawah diidentifikasi sebagai dua pita tekanan yang berbeda. Selama
proses menelan yang normal (a) sfingter esofagus bagian atas relaksasi dan membuka.
Hal ini diikuti oleh peristaltik esofagus pada saat LES relaksasi. Pada pasien dengan
akalasia (b) hanya ada sedikit kontraksi peristaltik di bawah sfingter esofagus bagian atas
(akalasia tidak memengaruhi peristaltik otot rangka) dan aperistalsis komplit di esofagus
distal. LES sering mengalami relaksasi yang buruk (mis., Tekanan residu LES> 8mmHg)
dan mungkin tekanan yang berlebih (mis. Tekanan istirahat LES> 45mmHg).20
2.2.6 Tatalaksana
Terapi pada akalasia bersifat paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus
tidak dapat dipulihkan kembali. Tidak ada pengobatan yang dapat mengembalikan
aktivitas otot dan persyarafan di esofagus pada kasus akalasia. Terapi akalasia
adalah mengurangi tingkat tekanan di LES. Tujuan terapi antara lain
menghilangkan gejala pasien, terutama disfagia dan regurgitasi, meningkatkan
pengosongan esofagus dengan memperbaiki relaksasi LES yang terganggu, dan
mencegah perkembangan megaesofagus. Terapi dapat dilakukan dengan memberi
diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi
esofagokardiotomi (operasi Heller). 26-29
2.2.6.1 Medikamentosa
Pemberian medikamentosa hanya dapat menghilangkan gejala untuk
waktu yang singkat dan hasilnya kurang memuaskan. Obat yang digunakan adalah
preparat nitrit, antikolinergik, dan penghambat adrenergik. Calcium channel
blockers (nifedipine 10-30 mg sublingual) dan nitrat (nitrogliserin 5 mg
sublingual atau 10 mg per oral) adalah dua obat yang paling umum digunakan
untuk mengurangi tekanan LES dan pengosongan esofagus.
Selain itu, dapat juga digunakan phosphodiesterase-5-inhibitor dan
sildenafil. Obat lain yang jarang digunakan meliputi antikolinergik (atropinus,
dicyclomine, cimetropium bromide), β adrenergik agonis (terbutalin), dan teofilin.
Namun demikian, hanya sekitar 10% pasien yang berhasil dengan terapi ini.
Terapi ini sebaiknya digunakan untuk pasien lanjut usia yang mempunyai
kontraindikasi terhadap pneumatic dilation atau tindakan pembedahan. 26-29
Gambar 6. Laparoskopik miotomi Heller dengan dor fundoplication (kiri) dan per-oral
endoscopic myotomi (kanan)27
c. Perforasi
Perforasi merupakan komplikasi tersering pada tindakan operasi
untuk kasus akalasia. Perforasi biasanya terjadi dekat
gastroesophageal junction. Hal ini dikarenakan mukosa di bagian ini
sangat tipis dan mudah robek, sehingga perforasi kecil dapat melebar
dan memanjang menjadi perforasi yang besar.
2.2.8 Prognosis
Tidak ada obat untuk menyembuhkan akalasia. Pengobatan bersifat
simptomatik, bertujuan untuk meningkatkan pengosongan esofagus dan
mengurangi gejala disfagia. Peristaltik esofagus tetap tidak ada, menelan tidak
benar-benar kembali normal, dan pasien hanya bisa menelan saat posisi
lurus/tegak. Prognosis akalasia bergantung pada durasi penyakit dan banyak
sedikitnya gangguan motilitas. Semakin singkat durasi penyakit dan semakin
sedikit gangguan motilitasnya, maka prognosis untuk kembali ke ukuran esofagus
yang normal setelah pembedahan (miotomi Heller) memberikan hasil yang sangat
baik. Apabila tersedia ahli bedah, pembedahan memberikan hasil yang lebih baik
dalam menghilangkan gejala pada sebagian besar pasien, dan memberikan hasil
yang lebih baik daripada tindakan pneumatic dilation. Obat-obatan dan toksin
botulinum sebaiknya digunakan hanya pada pasien yang tidak dapat menjalani
pneumatic dilation dan laparoskopik miotomi Heller. 26-30