Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Akalasia merupakan gangguan motilitas esofagus yang tidak diketahui


penyebabnya dan terjadi di segala usia dengan gejala terutama sulit menelan
makanan padat/cair dan adanya regurgitasi. Istilah akalasia berarti “gagal untuk
mengendur” dan merujuk pada ketidakmampuan dari lower esophageal sphincter
(cincin otot antara esophagus bagian bawah dan lambung) untuk membuka dan
membiarkan makanan lewat ke dalam lambung. Kegagalan relaksasi pada proses
menelan ini menyebabkan dilatasi bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak
peristaltik. Penderita akalasia merasa perlu mendorong atau memaksa turunnya
makanan dengan air atau minuman guna menyempurnakan proses menelan.
Gejala lain dapat berupa rasa penuh substernal dan umumnya terjadi regurgitasi.1-3
Akalasia mulai dikenal oleh Thomas Willis pada tahun 1672. Mula-mula
terdapat kasus yang diduga penyebabnya adalah sumbatan di esofagus distal,
sehingga dia melakukan dilatasi dengan tulang ikan paus dan mendorong
makanan masuk ke dalam lambung. Pada tahun 1908 Henry Plummer melakukan
dilatasi dengan kateter balon. Pada tahun 1913 Heller melakukan pembedahan
dengan cara kardiomiotomi di luar mukosa yang terus dianut sampai sekarang.
Namun, Penyebab dari achalasia ini masih belum diketahui dengan pasti. Teori-
teori atas penyebab akalasia pun mulai bermunculan seperti suatu proses yang
melibatkan infeksi, kelainan atau yang diwariskan (genetik), sistem imun yang
menyebabkan tubuh sendiri untuk merusak esophagus (penyakit autoimun), dan
proses penuaan (proses degeneratif).4-6
Akalasia merupakan kasus yang jarang. Insidensi akalasia sekitar 1-
10:100.000 penduduk dengan distribusi laki-laki perempuan sama, yaitu 1:1.
Tidak ada predileksi berdasarkan ras. Akalasia terjadi pada semua umur dengan
kejadian dari lahir sampai dekade 7-8 dan puncak kejadian pada umur 30-60
tahun. Di Amerika Serikat, ditemukan lebih kurang 10 kasus akalasia dalam
setahun. Walaupun penyakit ini jarang terjadi tapi kita harus bisa mengenali dan
mendiagnosis penyakit ini karena komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit ini
sangat mengancam nyawa seperti obstruksi saluran pernapasan sampai sudden
death. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui penegakan
diagnosis akalasia esofagus. Diagnosis akalasia esofagus ditegakkan berdasarkan
gejala klinis, gambaran radiologik, esofagoskopi dan pemeriksaan manometrik.7-10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI ESOFAGUS


2.1.1 Anatomi Esofagus
Esofagus manusia dewasa merupakan tabung muskuler panjang sekitar 23-
25 cm dan lebarnya sekitar 2 cm (pada keadaan yang paling lebar) yang dimulai
dari batas bawah kartilago krikoidea kira-kira setinggi vertebra servikal VI dan
terdiri atas bagian servikal, torakal, dan abdominal. Dinding esofagus terdiri dari
otot lurik di bagian atas, otot polos di bagian bawah, dan campuran keduanya
dibagian tengah. Lapisan otot (muskulus propria) terdiri dari lapisan internal
berupa serat sirkuler dan lapisan luar berupa serat longitudinal. Esofagus
kemudian akan berakhir di orifisium kardia gaster setinggi vertebra thoracal XI.
Terdapat empat penyempitan fisiologis pada esofagus yaitu, penyempitan sfingter
krikofaringeal, penyempitan pada persilangan aorta (arkus aorta), penyempitan
pada persilangan bronkus kiri, dan penyempitan diafragma (hiatus esofagus).2,4-
6,11,12

Gambar 1. Esofagus12

Berdasarkan letaknya, esofagus dibagi dalam bagian servikal, torakal, dan


abdominal (Gambar 1). Pada orang dewasa panjang esofagus servikal 5-6 cm,
mulai dari C6 sampai T1. Di dalam leher, esofagus terletak di depan kolumna
vertebralis. Di bagian posterior, perbatasan dengan hipofaring terdapat daerah
dengan resistensi lemah (locus minoris resistensiae), yang merupakan dinding
yang tidak tertutup oleh otot konstriktor faring inferior. Bagian anterior esofagus
berhubungan dengan trakea (dindingnya disebut tracheo-esophageal party wall),
di lateral dibatasi oleh glandula thyroidea, dan di kanan kirinya berjalan nervus
laringeus rekuren. 6,12,13
Panjang esofagus torakal 16 - 18 cm. Dinding anterior tetap melekat pada
dinding posterior trakea sampai setinggi T5. Di dalam rongga toraks, esofagus
disilang oleh arkus aorta setinggi T4 dan bronkus kiri setinggi T5. Pada akhirnya
esofagus torakal menembus diafragma di hiatus diafragmatika. Esofagus
abdominal terdiri atas bagian diafragma (pars diafragmatika) dengan panjang 1 –
1,5 cm dan bagian yang berada di dalam rongga abdomen sepanjang 2 – 3 cm. Di
dalam abdomen esofagus berjalan turun ke bawah sekitar setengah inci dan
kemudian masuk ke lambung. Esofagus berhubungan dengan lobus hepatikus
sinistra di anterior dan di posterior dengan krus sinistrum diaphragma. Batas distal
6,12,13
esofagus merupakan garis Z (Z line) dan disebut gastro-esophageal junction.
Dinding esofagus terdiri dari empat lapisan yaitu mukosa, submukosa,
muskularis, dan serosa. Mukosa esofagus tersusun oleh epitel skuamosa
berstratifikasi. Epitel ini mengalami peralihan menjadi epitel toraks selapis pada
perbatasan esofagus dan lambung (Z line). Mukosa esofagus dalam keadaan
normal bersifat alkali dan tidak tahan terhadap isi lambung yang asam. Lapisan
submukosa mengandung sel-sel sekretori yang memproduksi mukus yang
mempermudah jalannya bolus makanan. Lapisan muskularis terdiri dari otot polos
dan otot lurik. Di bagian proksimal 5% hingga 33% merupakan otot lurik, bagian
distal 50% sampai 60% adalah otot polos, dan bagian tengah 35% - 40%
merupakan campuran keduanya. Otot-otot ini tersusun secara sirkuler di lapisan
dalam dan secara longitudinal pada lapisan luarnya (Gambar 3). Tunika adventisia
terdiri atas jaringan ikat longgar yang menghubungkan esofagus dengan struktur
di sekitarnya. 6,12,13
Dinding esofagus terdiri dari 3 lapisan yaitu mukosa yang merupakan
lapisan paling dalam terdiri dari epitel skuamosa, submukosa yang terbuat dari
jaringan fibrosa elastis dan merupakan lapisan yang terkuat dari dinding esofagus,
dan otot-otot esofagus yang terdiri dari otot sirkuler bagian dalam dan
longitudinal bagian luar dimana 2/3 bagian atas dari esofagus merupakan otot
lurik dan 1/3 bagian bawahnya merupakan otot polos. 2,4-6,11,12
Pada bagian leher, esofagus menerima darah dari a. karotis interna dan
trunkus tyrocervical. Pada bagian mediastinum, esofagus disuplai oleh a. esofagus
dan cabang dari a. bronkial. Setelah masuk ke dalam hiatus esofagus, esofagus
menerima darah dari a. phrenicus inferior, dan bagian yang berdekatan dengan
gaster di suplai oleh a. gastrica sinistra. Darah dari kapiler-kapiler esofagus akan
berkumpul pada v. esofagus, v. thyroid inferior, v. azygos, dan v. gastrica. 2,4-6,11,12

2.1.2 Persarafan Esofagus


Esofagus diinervasi oleh persarafan simpatis dan parasimpatis (nervus
vagus) dari pleksus esofagus atau yang biasa disebut pleksus mienterik Auerbach
yang terletak di antara otot longitudinal dan otot sirkular sepanjang esofagus.
Esofagus mempunyai 3 bagian fungsional. Bagian paling atas adalah upper
esophageal sphincter (sfingter esofagus atas), suatu cincin otot yang membentuk
bagian atas esofagus dan memisahkan esofagus dengan tenggorokan. Sfingter ini
selalu menutup untuk mencegah makanan dari bagian utama esofagus masuk ke
dalam tenggorokan. Bagian utama dari esofagus disebut sebagai badan dari
esofagus, suatu saluran otot yang panjangnya kira-kira 20 cm. Bagian fungsional
yang ketiga dari esofagus yaitu lower esophageal sphincter (LES/ sfingter
esophagus bawah), suatu cincin otot yang terletak di pertemuan antara esofagus
dan lambung. Seperti halnya sfingter atas, sfingter bawah selalu menutup untuk
mencegah makanan dan asam lambung untuk kembali naik/regurgitasi ke dalam
badan esofagus. Sfingter bagian atas akan berelaksasi pada proses menelan agar
makanan dan saliva dapat masuk ke dalam bagian atas dari badan esofagus.
Kemudian, otot dari esofagus bagian atas yang terletak di bawah sfingter
berkontraksi, menekan makanan dan saliva lebih jauh ke dalam esofagus.
Kontraksi yang disebut gerakan peristaltik ini akan membawa makanan dan saliva
untuk turun ke dalam lambung. Pada saat gelombang peristaltik ini sampai pada
2
sfingter bawah, maka akan membuka dan makanan masuk ke dalam lambung.
,6,11,12,

LES merupakan zona tekanan tinggi yang terletak di bagian esofagus yang
menyatu dengan perut. Sfingter ini adalah spingter fungsional yang terdiri dari
komponen intrinsik dan ekstrinsik. Komponen ekstrinsik terdiri dari otot
diafragma yang berfungsi sebagai ajuvan spingter eksternal. Saraf motorik
esofagus didominasi saraf vagus. Otot polos esofagus distal dan LES dipersarafi
oleh preganglionik, serat kolinergik yang berasal dari inti motorik dorsal (Dorsal
Motoric Neuron/DMN) di batang otak dan berakhir di pleksus myenterikus
(Auerbach). Ganglia pleksus myenterikus terletak di antara lapisan otot
longitudinal dan sirkuler dan neuron postganglion menginervasi dinding esofagus
dan LES. Rangsangan neuron postganglion melepaskan asetilkolin sedangkan
neuron inhibisi postganglion melepaskan oksida nitrat (NO) dan polipeptida
vasoaktif intestinal (VIP). Dalam kondisi istirahat (diantara menelan) LES dalam
keadaan kontraksi tonik. Menelan berkaitan dengan aktivasi refleks telan paksa.
Setelah diaktifkan oleh refleks ini, pusat neuron telan mengirim debit bermotif
inhibisi dan eksitasi ke inti motor dari saraf kranial. Pertama jalur inhibisi neuron
diaktifkan dan mengakibatkan penghambatan semua kegiatan yang sedang
berlangsung di esofagus dan relaksasi LES. Peristaltik merupakan hasil dari
relaksasi terkoordinasi dan kontraksi yang dimediasi oleh neuron pleksus
myenterikus inhibisi dan eksitasi di sepanjang esophagus. 2,4,6,11,12
Esofagus berfungsi membawa makanan, cairan, sekret dari faring ke gaster
melalui suatu proses menelan, dimana akan terjadi pembentukan bolus makanan
dengan ukuran dan konsistensi yang lunak. Proses menelan terdiri dari tiga fase
yaitu fase oral, makanan dalam bentuk bolus akibat proses mekanik bergerak pada
dorsum lidah menuju orofaring, palatum mole dan bagian atas dinding posterior
faring terangkat. Fase menelan kedua adalah fase pharingeal dimana terjadi
refleks menelan (involuntary), faring dan laring bergerak ke atas oleh karena
kontraksi m. Stylopharyngeus, m. Salfingopharyng, m. Thyroid dan m.
Palatopharyng, aditus laring tertutup oleh epiglotis dan sfingter laring. Fase
menelan terakhir adalah fase esofageal dimana terjadi perpindahan bolus makanan
ke distal oleh karena relaksasi m. Krikofaring, di akhir fase sfingter esofagus
bawah terbuka dan tertutup kembali saat makanan sudah lewat. 2 ,6,11, 12

Tabel 1. Peranan Otot dan Syaraf dalam Proses menelan14


Proses Otot Mekanisme Kerja Persyara
Menelan fan

Penahanan Bolus Orbicularis oris (superior dan Menutup bibir, terutama pada VII
dalam mulut inferior) bolus yang besar,
Incisivus labii (superior dan
inferior)

Businator, Risorius Mempertahankan bolus VII


diantara okusal gigi
Kontrol Bolus
Genioglossus, otot lidah Menekan lidah ke anterior XII
intrinsik

Maseter, ptrigoid medial Mengangkat mandibula V

Pterigoid lateral, Digastrik Menurunkan mandibula V


belly anterior

Geniohioid, Milohioid Menurunkan mandibula XII


Mastikasi
V

Levator Anguli Oris, Mengkoordinasikan VII


Depressor anguli oris, Levator pergerakan bibir dengan
labialis Superior, Depressor rahang serta lidah selama
labialis inferior, Zigomaticus, proses menelan.
Mentalis

Orbicularis oris(superior dan Menahan lidah selama proses VII


inferior) transport bolus

Buccinator Mengencangkan pipi selama VII


Propulasi Bolus
Oral proses transport bolus

Muskulus Lingual Intrinsik Menekan lidah untuk menahan XII


Genioglossus palatum

Muskulus levator veli palatini Mengangkat velum Pleksus


faringeal
Uvula

Tensor veli palatini Mengencangkan velum V


anterior dan membuka tuba
eustachius
Velophryngeal
Horizontal konstriktor Mengerakkan dinding faring Pleksus
superior palatofaringeus lateral, membentuk faringeal
Passavant’s pad pada dinding
posterior faring

Palatoglossus Menekan anterior velum Pleksus


faringeal

Milohioid Mengangkat hioid V

Elevasi Geniohioid Menarik hyoid ke anterior XII


Hyolaryngeal
Digastric Anterior Belly Mengangkat dan menarik V
hyoid ke anterior

Proteksi Laring Interarinetoid, krikoaritenoid Mengabduksi pita suara X


lateral, thiroaritenoid,
tirohioid, ariepiglotik

Elevasi dan Superior, medial dan inferior Kontraksi dan elevasi faring Pleksus
kontraksi faring konstriktor, stilofaringeus, faringeal
salingofaringeus

2.1.3 Fisiologi Menelan


2.1.3.1 Fase Antisipatori
Fase antisipatori dianggap sebagai fase menelan pertama yang
sesungguhnya karena informasi visual, stimulasi olfaktori, dan pengalaman akan
merangkai suatu persiapan menelan. Berbeda jenis makanan dan minuman,
berbeda pula persiapan menelannya, berdasarkan tampilan makanan (proses
visual), konsistensi (proses taktil), rasa (proses kimiawi), dan ukuran bolus
(proses proprioseptif). Pada fase ini juga makanan dan bukan makanan dibedakan
sehingga proses menelan akan dibatalkan jika informasi yang didapatkan
bukanlah makanan. Jika seseorang dipaksa makan atau minum yang tidak
diinginkan atau berbahaya, akan timbul gejala tersedak, batuk-batuk, dan disfagia.
Hal ini bukanlah respon yang dapat dikendalikan, lebih merupakan respon
terhadap stimulasi sensoris. Pada pasien demensia atau gangguan kognitif lainnya,
impuls sensoris visual, olfaktori, dan pegalaman dapat terganggu sehingga pasien
beresiko mengalami disfagia.13,15,16,17
2.1.3.2 Fase Persiapan Oral
Fase ini merupakan tahapan volunter dalam proses menelan dan bertujuan
mempersiapkan makanan untuk dapat ditelan. Fase ini melibatkan koordinasi
penutupan bibir untuk menjaga makanan di dalam mulut bagian anterior, tekanan
otot area bukal dan labial untuk menutup sulkus bagian lateral dan anterior,
gerakan rotasi rahang saat mengunyah, gerakan lateral lidah untuk mengarahkan
makanan ke gigi saat mastikasi, dan pergerakan palatum mole ke depan untuk
menutup rongga mulut bagian posterior dan memperluas nasofaring. Yang paling
penting pada tahap ini adalah gerakan lateral lidah. Meskipun pasien dapat
mengunyah tanpa gigi dan gerakan rahang terbatas, tekanan otot bukal yang
lemah, atau penutupan bibir yang tidak sempurna, pasien tidak dapat mengunyah
tanpa gerakan lidah yang normal. 14,18
Gabungan antara mastikasi dan produksi saliva dianggap sebagai tahap
pertama digesti. Saliva dari kelenjar submental, sublingual, dan parotis mengalir
masuk ke dalam rongga mulut, bercampur dengan bolus, dan memulai pemecahan
makanan. Otot mastikasi yaitu m. masseter, m. temporalis, m. pterigoid medial,
dan m. pterigoid lateral. Mandibula terangkat oleh m. masseter, m. temporalis, m.
pterigoid medial, sedangkan depresi mandibula oleh m. pterigoid lateral. Selama
mastikasi, m. orbikularis oris mempertahankan bibir tetap menutup sehingga
saliva, makanan, ataupun minuman tidak keluar dari mulut. Gerakan kompleks
lidah membantu membentuk bolus makanan di dalam mulut. Muskulus
palatoglosus menarik palatum mole ke bawah dan ke depan sehingga tetap
menempel pada posterior lidah. Akibatnya rongga mulut dan nasofaring terpisah
sehingga memungkinkan bolus tetap di dalam rongga mulut dan pernapasan
melalui hidung tetap terjadi. Pada akhir fase ini, menjaga bolus tetap kohesif di
antara dasar mulut dan palatum durum (Gambar 4) sebagai persiapan dimulainya
fase oral. 13,15,16,17

Gambar 2. Fase persiapan oral tampak depan dan samping 14


2.1.3.3. Fase Oral
Fase oral juga merupakan proses mekanik, bersifat volunter, dan bertujuan
memindahkan makanan dari rongga mulut menuju faring sehingga fase faringeal
akan dimulai. Gerakan lidah juga merupakan elemen penting pada fase ini. Begitu
bolus makanan telah siap dalam bentuk yang kohesif, bolus dipindahkan ke
posterior rongga mulut oleh gerakan lidah. Kemudian sisi lateral lidah menekan
pilar anterior dan fase oral berakhir. Pada orang sehat, fase oral berlangsung
selama 1 – 1,5 detik dan biasanya meningkat seiring bertambahnya usia dan
viskositas bolus. 13,15,16,17

Gambar 3. Fase Orofaringeal pada Proses Menelan13


2.1.3.4 Fase Faringeal
Fase faringeal dimulai dengan elevasi palatum mole untuk menutup
nasofaring. Elevasi palatum mole dan kontraksi m. palatofaringeal disertai
gerakan dinding faring posterior ke arah depan menyebabkan penutupan
velofaringeal. Penutupan ini juga dibantu oleh adenoid dan uvula. Pasien dengan
inkompetensi velofaringeal akan menglami regurgitasi nasal saat menelan. Elevasi
ini hanya terjadi sepersekian detik dan bersamaan itu lidah bagian posterior
menurun memungkinkan bolus memasuki orofaring. 15,16,17
Dasar lidah retraksi dan memulai gerakan propulsif primer. Bolus akan
diarahkan ke lateral hipofaring oleh epiglotis dan laring akan mengalami elevasi
mengarah ke superior dan anterior. Aktivasi m. tirohioid dan otot suprahioid (m.
milohioid, m. digastrikus anterior dan posterior, m. stilohioid, m. geniohioid)
menyebabkan os hioid bergeser ke superior dan anterior mendekati mandibula.
Elevasi laring diikuti aduksi plika vokalis dan ventrikularis akan menarik
kartilago aritenoid ke depan. Kombinasi dari retraksi dasar lidah, elevasi laring,
dan kontraksi otot ariepiglotis menyebabkan menempelnya epiglotis ke aritenoid
dan mencegah makanan memasuki trakea. Pernapasan secara serentak dihambat
untuk mencegah aspirasi. 15,16,17
Kontraksi otot konstriktor faring mendorong bolus melewati epiglotis
menuju ke faring bagian bawah dan memasuki esofagus. Otot krikofaringeus
bekerja berlawanan dengan otot konstriktor faring. Jika konstriktor relaksasi, m.
krikofaringeus kontraksi untuk mencegah udara memasuki esofagus bersamaan
dengan inspirasi dan mencegah refluks dari esofagus. Oleh karena itu, di saat m.
konstriktor faring kontraksi, m. krikofaringeus akan relaksasi sehingga bolus
makanan dapat memasuki esophagus. Keseluruhan fase faringeal terjadi selama
1,5 detik. 15,16,17

Gambar 4. Gambar skematik perjalanan bolus menuju esofagus13


2.1.3.5 Fase Esofageal
Fase esofageal dimulai saat otot krikofaringeus berelaksasi sejenak dan
memungkinkan bolus memasuki esofagus. Setelah relaksasi singkat ini, gerakan
peristaltik primer yang dimulai dari faring diteruskan ke otot krikofaring sehingga
otot ini berkontraksi (Gambar 6D). Gerakan peristaltik terus berjalan sepanjang
esofagus, mendorong bolus menuju sfingter esofagus bagian distal. Bolus ini
menyebabkan otot sfingter distal berelaksasi dan memungkinkan bolus masuk ke
dalam lambung. Gerakan peristaltik primer bergerak dengan kecepatan 2 – 4 cm/
detik sehingga makanan yang tertelan mencapai lambung dalam waktu 5 – 15
detik. Mulai setinggi arkus aorta, timbul gerakan peristaltik sekunder jika gerakan
primer gagal mengosongkan esofagus. Gerakan ini timbul dikarenakan adanya
sisa partikel makanan. 15,16,17

2.2 Akalasia Esofagus


2.2.1 Definisi
Akalasia esophagus yang dikenal juga dengan nama kardiospasme,
megaesofagus, atau dilatasi esophagus idiopatik merupakan suatu gangguan
neuromuskular. Akalasia ditandai dengan tidak adanya gerakan peristaltik
esofagus dan tidak adanya relaksasi dari LES. Gejala klinis biasanya berupa
disfagia yang memberat secara perlahan biasanya diikuti dengan penurunan berat
badan. Akalasia juga digolongkan sebagai suatu konsisi prekanker.2,3,19

2.2.2 Kekerapan
Insidensi akalasia sekitar 1-10:100.000, dengan prevalensi 10 dalam
10.000 penduduk. Distribusi laki-laki perempuan sama besarnya, tanpa adanya
perbedaan ras. Akalasia terjadi pada semua umur dengan kejadian dari lahir
sampai dekade 7-8 dan puncak kejadian pada umur 30-60 tahun.7-10
Angka kejadian akalasia esophagus di Amerika Serikat dilaporkan 2000
kasus setiap harinya, dengan usia antara 25-60 tahun, dan jarang ditemukan pada
anak-anak. Divisi Gastroenterohepatologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia melaporkan sekitar 48 kasus selama 5 tahun (1984-1988) di RS Cipto
Mangunkusumo, dengan mayoritas kelompok umur yang sama.1
2.2.3 Etiologi
Etiologi dari akalasi tidak diketahui secara pasti. Namun, terdapat bukti
bahwa degenerasi plexus auebach menyebabkan kehilangan pengaturan
neurologis . Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui secara pasti.
Secara histologik ditemukan kelainan berupa degenerasi sel ganglion plexus
aurbach sepanjang esophagus pars torakal. Hal ini diduga sebagai penyebab
gangguan peristaltik esophagus.4,6,20,21
Menurut etiologinya, akalasia dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu: 4,6,20,21
1. Akalasia primer (yang paling sering ditemukan). Penyebab yang jelas
tidak diketahui. Diduga disebabkan oleh virus neurotropik dan faktor
keturunan.
2. Akalasia sekunder (jarang ditemukan). Kelainan ini dapat disebabkan oleh
infeksi, tumor intraluminer seperti tumor kardia atau pendorongan
ekstraluminer seperti pseudokista pankreas. Kemungkinan lain dapat
disebabkan oleh obat antikolinergik atau pascavagotomi.
Berdasarkan teori etiologi: 4,6,20,21
1. Teori Genetik
Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah
mendukung bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara
genetik. Kemungkinan ini berkisar antara 1 % sampai 2% dari populasi
penderita akalasia.
2. Teori Infeksi
Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria pertussis,
clostridia, tuberculosis dan syphilis), virus (herpes, varicella zooster, polio
dan measles). Zat-zat toksik (gas kombat), trauma esofagus dan iskemik
esofagus uterine pada saat perputaran saluran pencernaan intra uterine.
Bukti yang paling kuat mendukung faktor infeksi neurotropik sebagai
etiologi. Pertama, lokasi spesifik pada esofagus dan fakta bahwa esofagus
satu-satunya bagian saluran pencernaan dimana otot polos ditutupi oleh
epitel sel skuamosa yang memungkinkan infiltrasi faktor infeksi.
Kedua, banyak perubahan patologi yang terlihat pada akalasia dapat
menjelaskan faktor neurotropik virus yang berakibat lesi pada nukleus
dorsalis vagus pada batang otak dan ganglia mienterikus pada esophagus.
Ketiga, pemeriksaan serologis menunjukkan hubungan antara measles dan
varicella zoster pada pasien akalasia.
3. Teori Autoimun
Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari beberapa somber.
Pertama, respon inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus didominasi
oleh limfosit T yang diketahui berpefan dalam penyakit autoimun. Kedua,
prevalensi tertinggi dari antigen kelas II, yang diketahui berhubungan
dengan penyakit autoimun lainnya. Yang terakhir, beberapa kasus
akalasia ditemukan autoantibodi dari pleksus mienterikus.
4. Teori Degeneratif
Studi epidemiologi dari AS. menemukan bahwa akalasia berhubungan
dengan proses penuaan dengan status neurologi atau penyakit psikis,
seperti penyakit Parkinson dan depresi.

2.2.4 Patofisiologi
Selama 75 tahun terakhir, penelitian terhadap patologi akalasia
menunjukkan adanya penurunan neuron pleksus myenterikus. Hal ini sesuai
dengan penelitian oleh Goldblum pada 42 pasien akalasia yang menjalani
esofagektomi, 64% tidak didapatkan sel ganglion mienterikus dan 36 % terjadi
penurunan sel ganglion myenterikus di esofagus. Penelitian tersebut juga
menunjukkan adanya dominasi infiltrasi inflamasi sel T di pleksus mienterikus
dan fibrosis. Penelitian terbaru terhadap pasien akalasia yang diobati di stadium
awal menunjukkan adanya sel ganglion yang intak, namun dengan jumlah sel
berkurang. Pasien pada stadium awal tersebut memiliki lama gejala yang lebih
singkat dan tidak terjadi pelebaran diesofagusnya. Terdapat anggapan bahwa
peradangan di myenterikus merupakan fase awal akalasia sehingga menyebabkan
aganglionosis dan fibrosis.22,23
Beberapa hipotesis teori terjadinya akalasia antara lain:
2.2.4.1 Adanya kemampuan inervasi kolinergik
Penelitian in vitro oleh Trounce tahun 1957 menunjukkan kontraksi otot
lurik pada pasien akalasia merupakan kombinasi antara inhibitor
asetilkolinesterase, serine, agonis ganglionik dan nikotin. Aktivitas
asetilkolinesterase di sel ganglion LES pada pasien akalasia digambarkan oleh
Adams pada tahun 1961. Asetilkolinesterase inhibitor edrophonium klorida
kemudian terbukti secara signifikan meningkatkan tekanan LES pada pasien
dengan akalasia. Temuan ini menunjukkan bahwa setidaknya beberapa ujung
saraf kolinergik postganglionik tetap utuh. 22,23,24
Penelitian lain menunjukkan adanya efek agen antikolinergik atropin pada
pasien akalasia. Terjadi penurunan 30 % sampai 60 % tekanan LES pada pasien
dengan akalasia yang diberikan atropin. Penurunan serupa ditemukan pada
kelompok kontrol relawan sehat. Namun sisa tekanan setelah pemberian atropin
secara signifikan lebih tinggi pada pasien akalasia (17 mmHg) dibandingkan
dengan subyek normal (5 mmHg).22,23,24

2.2.4.2 Hilangnya inervasi inhibitor (penghambat)


Pada akalasia terjadi hilangnya neuron di persarafan kolinergik esofagus
saat eksitasi dan neuron tersebut selektif pada neuron penghambat. Pada pasien
akalasia, cholecystokinin menginduksi kontraksi LES dan sebaliknya
menginduksi relaksasi LES pada subyek sehat, sehingga membuktikan adanya
gangguan saraf penghambat postganglionik.22
Bukti yang mendukung konsep hilangnya neuron inhibitor berasal dari
penelitian secara imunohistokimia dan fisiologis. Penelitian awal menyatakan
adanya defek adrenergik saraf inhibitor esofagus pada pasien akalasia. Vasoaktif
Intestinal Polipeptida (VIP) juga dianggap sebagai inhibitor neurotransmitter
esofagus, dan penurunan neuron yang mengandung VIP terdapat pada pasien
akalasia. 22,23,24
Penelitian lain menunjukkan tidak adanya nitric oxide synthase pada
neuron di spesimen LES pada pasien akalasia. Penelitian tersebut menunjukkan
inhibitor nitrat oksida sintase meningkatkan fase istirahat LES dan hampir
meniadakan relaksasi LES. Di esofagus inhibitor nitrat oksida sintase
menyebabkan kontraksi di badan esofagus secara simultan. Sehingga terdapat
pendapat akalasia merupakan gabungan dari hilangnya inhibitor selektif dan
adanya fungsi saraf kolinergik enteric.22,23,24
Penelitian patologis dari spesimen hasil reseksi esofagus pasien akalasia
stadium akhir menunjukkan adanya aganglionosis merupakan hasil akhir dari
inflamasi myentericus pada sebagian besar pasien akalasia. Hal ini mendukung
bahwa akalasia disebabkan oleh karena adanya eksitasi saraf kolinergik dan tidaka
adanya inhibitor nitrat oksida. Dalam keadaan seperti itu, obstruksi fungsional
gastroesophageal junction disebabkan oleh sisa miogenik LES. Tidak adanya
aktivitas peristaltik esofagus merupakan hasil dari tidak adanya persarafan neural
enterik.22,24,25

2.2.5 Diagnosis
Diagnosis akalasia ditegakkan berdasarkan:
2.2.5.1 Gejala klinis
Pasien dengan akalasia, terlepas dari penyebabnya primer atau sekunder
mempunyai gejala klinis yang hampir sama. Gejalanya antara lain kelainan
menelan / disfagia progresif, odinofagia, regurgitasi, nyeri dada, dan penurunan
berat badan. Diagnosis akalasia harusnya dicurigai pada tiap pasien yang
mempunyai keluhan disfagia makanan padat dan cair disertai regurgitasi makanan
dan saliva. Terjadinya disfagia biasanya bertahap, awalnya digambarkan sebagai
"rasa penuh di dada" atau "sticking sensation" dan terjadi setiap hari atau setiap
kali makan. Awalnya, disfagia terutama pada makanan padat, namun seiring
waktu disfagia juga terjadi pada makanan cair 23,24
Regurgitasi menjadi masalah seiring dengan perkembangan penyakit,
terutama saat esofagus melebar. Regurgitasi, makanan yang tertahan dan
akumulasi air liur, kadang-kadang salah didiagnosis dengan dahak postnasal atau
bronkitis. Biasanya terjadi setelah makan pada malam hari dimana pasien sering
terbangun karena batuk dan tersedak. Pneumonia aspirasi merupakan masalah
yang jarang.
Nyeri dada terjadi pada beberapa pasien, terutama pada malam dan terlihat
pada pasien dengan penyakit yang masih ringan atau esofagus yang masih
melebar minimal. Mekanisme nyeri dada tidak diketahui. Heartburn atau rasa
seperti terbakar di dada merupakan keluhan yang sering terjadi di akalasia,
meskipun faktanya akalasia tidak berhubungan dengan peningkatan kejadian
refluks asam lambung. Pada pasien akalasia, keluhan ini biasanya dikarenakan
retensi asam lambung atau toksin yang diproduksi oleh laktat yang terfermentasi
oleh bakteri di esofagus. Kebanyakan pasien akalasia gejala penurunan berat
badan namun biasanya dalam jangka lama bulan sampai tahun. 23,24
2.2.5.2 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologi
Pada foto polos toraks pasien akalasia tidak menampakkan adanya
gelembung-gelembung udara pada bagian atas dari gaster, dapat juga
menunjukkan gambaran air fluid level pada sebelah posterior
mediastinum. Pemeriksaan barium esofagus pada penyakit chagas dan
akalasia primer hampir sama. Ciri yang membantu membedakan akalasia
primer dan penyakit chagas adalah adanya penyakit yang menyertai pada
akalsia primer misalnya megacolon dan kardiomegali yang tampak dengan
pemeriksaan fluoroskopi.10
Pemeriksaan esofagogram barium dengan pemeriksaan fluoroskopi
menunjukkan gambaran radiologi berupa gelombang peristaltik yang
normal hanya pada sepertiga bagian proksimal esofagus, sementara
tampak dilatasi pada duapertiga distal esofagus dengan gambaran
peristaltik yang abnormal atau hilang sama sekali serta gambaran
penyempitan di bagian distal esofagus menyerupai ekor tikus (mouse tail
appearance) atau menyerupai paruh burung (bird’s beak
apeearance).6,11.16,
Gambar 3. Pemeriksaan barium pada pasien akalasia menunjukkan penyempitan di distal
esofagus dan hanya sedikit kontras yang dapat lewat, dan memberikan gambaran paruh
burung.16
b. Esofagoskopi
Tampak pelebaran lumen esofagus dengan bagian distal yang
menyenpt, terdapat sisa makanan dan cairan di proksimal daerah
penyempitan. Mukosa esofagus tampak pucat, edema dan kadang terdapat
tanda esofagitis akibat retensi makanan. Sfingter bawah esofagus akan
terbuka dengan sedikit tekanan dan esofagoskop dapat dengan mudah
masuk ke lambung. Endoskopi pada pasien dengan akalasia bukan sebagai
alat diagnosis, namun untuk mengecualikan adanya entitas penyakit lain
dan mengetahui adanya komplikasi. Temuan endoskopi pada akalasia
primer adalah mukosa esofagus normal dengan tingkat resistensi tekanan
endoskopi saat melalui persimpangan esofagus dan gaster derajat ringan
sampai moderat.26-29
c. Pemeriksaan manometri
Fungsi pemeriksaan manometri adalah untuk menilai fungsi
motorik esofagus dengan melakukan pemeriksaan tekanan di dalam lumen
dan sfingter esofagus. Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan kelainan
motilitas secara kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan manometri
dilakukan dengan cara memasukkan pipa melalui mulut atau hidung. Pada
akalasia yang dinilai adalah fungsi motorik badan esofagus dan sfingter
bawah esofagus. Pada badan esofagus yang dinilai adalah tekanan pada
saat istirahat dan aktivitas peristaltiknya. Sfingter bawah esofagus dinilai
tekanan istirahat dan mekanisme relaksasinya. 26-29
Manometri esofagus merupakan standar emas untuk diagnosis
akalasia. Tiga ciri klasik akalasia pada pemeriksaan manometrik adalah:
aperistalsis di badan esofagus, peningkatan tekanan LES lebih besar dari
45 mmHg (normal 15-30 mmg Hg) dan gangguan relaksasi LES saat
menelan.4,5 Gambaran manometri yang khas adalah tekanan istirahat
badan esofagus meningkat, tidak terdapat gerakan peristaltik sepanjang
esofagus sebagai reaksi proses menelan. Tekanan sfingter esofagus bagian
bawah normal atau meninggi dan tidak terjadi relaksasi sfingter pada
waktu menelan. 26-29

Gambar 4. Manometri resolusi tinggi pada pasien normal (a) dan pada pasien dengan
akalasia (b). Gambar di atas merupakan representasi temporospasial dari data tekanan
yang direkam dalam 32 saluran tekanan di esofagus. Warna yang berbeda dikaitkan
dengan rentang dari tekanan seperti yang ditunjukkan pada skala. Saat istirahat sfingter
esofagus atas dan bawah diidentifikasi sebagai dua pita tekanan yang berbeda. Selama
proses menelan yang normal (a) sfingter esofagus bagian atas relaksasi dan membuka.
Hal ini diikuti oleh peristaltik esofagus pada saat LES relaksasi. Pada pasien dengan
akalasia (b) hanya ada sedikit kontraksi peristaltik di bawah sfingter esofagus bagian atas
(akalasia tidak memengaruhi peristaltik otot rangka) dan aperistalsis komplit di esofagus
distal. LES sering mengalami relaksasi yang buruk (mis., Tekanan residu LES> 8mmHg)
dan mungkin tekanan yang berlebih (mis. Tekanan istirahat LES> 45mmHg).20

2.2.6 Tatalaksana
Terapi pada akalasia bersifat paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus
tidak dapat dipulihkan kembali. Tidak ada pengobatan yang dapat mengembalikan
aktivitas otot dan persyarafan di esofagus pada kasus akalasia. Terapi akalasia
adalah mengurangi tingkat tekanan di LES. Tujuan terapi antara lain
menghilangkan gejala pasien, terutama disfagia dan regurgitasi, meningkatkan
pengosongan esofagus dengan memperbaiki relaksasi LES yang terganggu, dan
mencegah perkembangan megaesofagus. Terapi dapat dilakukan dengan memberi
diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi
esofagokardiotomi (operasi Heller). 26-29
2.2.6.1 Medikamentosa
Pemberian medikamentosa hanya dapat menghilangkan gejala untuk
waktu yang singkat dan hasilnya kurang memuaskan. Obat yang digunakan adalah
preparat nitrit, antikolinergik, dan penghambat adrenergik. Calcium channel
blockers (nifedipine 10-30 mg sublingual) dan nitrat (nitrogliserin 5 mg
sublingual atau 10 mg per oral) adalah dua obat yang paling umum digunakan
untuk mengurangi tekanan LES dan pengosongan esofagus.
Selain itu, dapat juga digunakan phosphodiesterase-5-inhibitor dan
sildenafil. Obat lain yang jarang digunakan meliputi antikolinergik (atropinus,
dicyclomine, cimetropium bromide), β adrenergik agonis (terbutalin), dan teofilin.
Namun demikian, hanya sekitar 10% pasien yang berhasil dengan terapi ini.
Terapi ini sebaiknya digunakan untuk pasien lanjut usia yang mempunyai
kontraindikasi terhadap pneumatic dilation atau tindakan pembedahan. 26-29

2.2.6.2 Injeksi Botulinum Toxin (Botox)


Botox adalah inhibitor presinaptik poten asetilkolin dari ujung saraf yang
dapat digunakan untuk menghambat pelepasan asetilkolin pada LES dengan
memblokir stimulasi kolinergik LES, yang kemudian akan mengganggu
komponen neurogenik sfingter sehingga menyebabkan terjadinya pengosongan
esofagus. Dengan menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi memakai jarum
skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding esophagus dengan sudut
kemiringan 45°, jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas
squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat di atas
batas proksimal dari LES dan toksin tersebut diinjeksi secara caudal ke dalam
sfingter. 26-29
Dosis efektif yang digunakan yaitu 80-100 unit/mL yang dibagi dalam 20-
25 unit/mL untuk diinjeksikan pada setiap kuadran dari LES. Perawatan berulang
pada 6 – interval 24 bulan. Efek samping terapi ini sering menyebabkan reaksi
inflamasi pada gastroesophageal junction, yang dapat membuat miotomi menjadi
lebih sulit. Terapi ini sebaiknya diaplikasikan pada pasien lanjut usia, yang
mempunyai kontraindikasi terhadap pneumatic dilation atau tindakan
pembedahan. 26-29
2.2.6.3 Pneumatic Dilatasion (PD)
Pneumatic dilatation (PD) merupakan pilihan non bedah yang paling
efektif.12 Suatu balon dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction yang
bertujuan untuk merupturkan serat otot dan membuat mukosa menjadi intak.
Persentase keberhasilan awal adalah antara 70% dan 80%, namun akan turun
menjadi 50% pada 10 tahun kemudian, walaupun setelah beberapa kali dilakukan
dilatasi. Rasio terjadinya perforasi sekitar 5%. Jika terjadi perforasi, pasien segera
dibawa ke ruang operasi untuk penutupan perforasi dan miotomi yang dilakukan
dengan cara thorakotomi kiri. Insidens dari refluks gastroesophageal yang
abnormal adalah sekitar 25%. Pasien yang gagal dalam penanganan pneumatic
dilation biasanya diterapi dengan miotomi Heller. 26-29

Gambar 5. Teknik pneumatic dilatation pada akalasia27

2.2.6.4 Terapi Bedah


Laparoskopik miotomi Heller dan partial fundoplication adalah suatu
prosedur pilihan untuk akalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu pemisahan
serat otot (miotomi) dari sfingter esofagus bawah (5cm) dan bagian proksimal
lambung (2cm), yang diikuti oleh partial fundoplication untuk mencegah refluks.
Pasien dirawat di rumah sakit selama 24-48 jam, dan kembali beraktivitas setelah
±2 minggu. Secara efektif, terapi pembedahan ini berhasil mengurangi gejala
sekitar 85-95%, dan insidens refluks postoperatif adalah antara 10% dan 15%.
Oleh karena keberhasilan sangat baik, perawatan rumah sakit yang tidak lama, dan
waktu pemulihan yang cepat, maka terapi ini dianggap sebagai terapi utama dalam
penanganan akalasoa esofagus. Pasien yang gagal dalam menjalani terapi ini,
mungkin akan membutuhkan tindakan dilatasi, operasi kedua, atau pengangkatan
esofagus (esofagektomi). 26-29

Gambar 6. Laparoskopik miotomi Heller dengan dor fundoplication (kiri) dan per-oral
endoscopic myotomi (kanan)27

2.2.7 Komplikasi Operasi


Tindakan operasi memiliki beberapa komplikasi yang dapat terjadi setelah
tindakan miotomi terbuka, antara lain:
a. Disfagia berulang dan menetap
Disfagia yang berulang dan menetap setelah prosedur miotomi
dapat terjadi akibat miotomi yang insufisien atau lokasi miotomi yang
kurang tepat. Miotomi yang insufisien adalah salah satu komplikasi
yang paling penting dan dapat dicegah dari operasi akalasia, yang
mana dapat menyebabkan pengosongan esofagus yang buruk dan
disfagia berulang. Hal ini dikarenakan dengan miotomi yang tidak
lengkap pun pasien mengalami perbaikan gejala pada disfagia mereka,
karena pada saat sebagian besar pasien mengalami miotomi, gejalanya
parah, sehingga tidak diketahui apakah miotomi insufisien atau tidak,
Jadi, meski lazim dilakukan, menilai kemanjuran miotomi hanya atas
dasar kelegaan gejala tidak memiliki sensitivitas. Sehingga dibutuhkan
pemeriksaan barium berkala guba memberikan informasi kuantitatif
tentang kecukupan pengosongan esofagus.
Penyebab potensial lain dari disfagia berulang adalah miotomi
yang cukup panjang tetapi gagal untuk memisahkan tepi otot secara
memadai untuk mencegah perkembangan cincin berulang atau jaringan
parut yang menyebabkan gangguan pengosongan esofagus dan
mendorong perlunya intervensi lebih lanjut. Penjahitan fundoplikasi
posterior atau Toupet ke tepi miotomi dapat membantu mengalihkan
lapisan otot dan memiliki keuntungan teoritis dalam mencegah jenis
kekambuhan ini.
Fundoflikasi yang berlebihan juga dapat menyebabkan disfagia
yang berulang, karena upaya untuk meminimalkan refluks pasca
operasi, beberapa ahli bedah telah menambahkan fundoplikasi 360
atau Nissen ke miotomi untuk pasien yang mengalami akalasia. Tindak
lanjut jangka panjang telah menunjukkan bahwa ada pengurangan
gejala awal tetapi terjadi peningkatan progresif dalam hal retensi
esofagus dan kambuhnya gejala disfagia dan regurgitasi. Dengan
demikian, fundoplikasi lengkap atau Nissen tidak sesuai pada pasien
yang mengalami akalasia dan sedang menjalani miotomi.
b. Refluks gastroesofageal
Refluks gastroesofageal dapat menjadi masalah yang signifikan
pada pasien yang mengalami akalasia karena aperistaltik esofagus
tidak dapat membersihkan material yang direfluks dengan semestinya,
dan perkembangan striktur yang diinduksi refluks setelah miotomi
merupakan masalah hebat yang sering mengharuskan esofagektomi
untuk menghilangkan gejala. Meskipun miotomi Heller tradisional
tidak memasukkan prosedur antirefluks, sebagian besar ahli bedah
telah mengadopsi fundoplikasi parsial di samping miotomi sebagai
prosedur bedah standar untuk akalasia. Penambahan prosedur
antirefluks telah terbukti mengurangi paparan asam esofagus.

c. Perforasi
Perforasi merupakan komplikasi tersering pada tindakan operasi
untuk kasus akalasia. Perforasi biasanya terjadi dekat
gastroesophageal junction. Hal ini dikarenakan mukosa di bagian ini
sangat tipis dan mudah robek, sehingga perforasi kecil dapat melebar
dan memanjang menjadi perforasi yang besar.

d. Kebocoran post operasi


Kebocoran biasanya terjadi pada lokasi miotomi yang patut
dicurigai pada pasien yang mengalami keluhan demam, nyeri dada,
atau tanda-tanda sepsis post operasi. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan
dengan kontras atau endoskopi. Kebocoran yang kecil dapat diatasi
dengan antibiotik intravena dan intake tidak melalui oral, namun
kebocoran yang besar membutuhkan drainane dengan CT scan sebagai
pemandu, atau membutuhkan operasi ulang.

2.2.8 Prognosis
Tidak ada obat untuk menyembuhkan akalasia. Pengobatan bersifat
simptomatik, bertujuan untuk meningkatkan pengosongan esofagus dan
mengurangi gejala disfagia. Peristaltik esofagus tetap tidak ada, menelan tidak
benar-benar kembali normal, dan pasien hanya bisa menelan saat posisi
lurus/tegak. Prognosis akalasia bergantung pada durasi penyakit dan banyak
sedikitnya gangguan motilitas. Semakin singkat durasi penyakit dan semakin
sedikit gangguan motilitasnya, maka prognosis untuk kembali ke ukuran esofagus
yang normal setelah pembedahan (miotomi Heller) memberikan hasil yang sangat
baik. Apabila tersedia ahli bedah, pembedahan memberikan hasil yang lebih baik
dalam menghilangkan gejala pada sebagian besar pasien, dan memberikan hasil
yang lebih baik daripada tindakan pneumatic dilation. Obat-obatan dan toksin
botulinum sebaiknya digunakan hanya pada pasien yang tidak dapat menjalani
pneumatic dilation dan laparoskopik miotomi Heller. 26-30

Anda mungkin juga menyukai