Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hak untuk hidup merupakan suatu hak asasi yang dimiliki oleh
setiap individu. Mengenai hak untuk hidup ini diperkenalkan oleh John
Locke (1632-1704) yang merumuskan hak-hak alamiah,seperti hak atas
hidup, kebebasan, dan milik (life, liberty, and property). Pemikiran
mengenai hak alamiah ini kemudian menjadi pendorong diakuinya hak
asasi manusia di dunia Internasional. Hal itu dapat dilihat dari lahirnya
Konvensi Internasional Universal Declaration of Human Right 1948, yang
mana dalam article 3 disebutkan: “every one has the right of life, liberty
and security of person”, artinya: setiap orang berhak atas kehidupan,
kebebasan dan keselamatan sebagai individu. Di Indonesia sendiri,
mengenai hak asasi manusia diatur dalam Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945,
dan hak atas hidup yang dianggap sebagai hak yang mendasar bagi
manusia, dimuat dalam Pasal 28A UUD NRI Tahun 1945.
Setiap individu adalah bagian dari masyarakat, dan sebaliknya
masyarakat terdiri dari individu-individu yang mempunyai hak asasi.
Pengakuan terhadap hak asasi manusia secara langsung mempengaruhi
cara pandang terhadap keabsahan pengurangan atau pembatasan hak asasi
manusia tersebut, khususnya hak untuk hidup. Hal ini terlihat dari
banyaknya pro dan kontra yang timbul dari berbagai lapisan masyarakat.
Perihal pidana mati menjadi salah satu topik yang masih saja menjadi
polemik di seluruh dunia. Beberapa negara telah menghapus pidana mati
(abolisionists), tetapi beberapa negara masih mempertahankannya
(retentionists).1 Sampai saat ini ada 68 negara yang masih menerapkan
hukuman mati, termasuk Indonesia, 88 negara yang telah menghapuskan
hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan
hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara

1
Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, YUSTISIA Edisi 84, FH UNS,
Surakarta, 2012, Hlm. 95.

1
melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan
total 129 negara yang melakukan penghapusan terhadap hukuman mati.2
Eksistensi pidana mati sebagai salah satu jenis pidana yang masih
diakui dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia, seringkali dihubungkan
dengan teori absolut dalam pemidanaan. Perbuatan pidana yang dilakukan
oleh Pelaku dipandang sangat jahat, mengganggu keamanan masyarakat,
mengancam keselamatan orang banyak, maupun lainnya yang dipandang
sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), atau kejahatan yang
dilakukan dengan cara yang sadis atau dipandang sangat buruk oleh hakim
maupun oleh masyarakat. Penjatuhan pidana mati ini dimaksudkan sebagai
pembalasan atas perbuatan jahat yang telah dilakukan oleh Pelaku. Di
masyarakat Indonesia sendiri, tidak ada yang melakukan penolakan
sebelum dan pasca pelaksanaan eksekusi mati yang dilakukan oleh
pemerintah. Selain itu dari faktor kesejarahan, hukuman mati telah eksis
atau diterapkan di bumi Nusantara sejak sebelum kemerdekaan Indonesia
untuk kasus kejahatan yang dapat merusak tatanan sosial dan
keseimbangan masyarakat.3
Ancaman pidana mati merupakan ranah Hukum Pidana Materiil,
sementara pelaksanaannya merupakan Hukum Pidana Formil, yang
keduanya termasuk dalam Sistem Hukum Pidana Objektif (ius poenali) di
Indonesia. Hukum Pidana Materiil di sini termasuk pula Hukum Pidana
Militer yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), yang mengatur
mengenai tindak pidana militer yang dalam penulisan ini akan difokuskan
pada tindak pidana militer yang diancam dengan pidana mati. Pemisahan
yang dilakukan atas Hukum Pidana Materiil yang berlaku bagi masyarakat
secara umum dengan yang berlaku secara khusus bagi militer atau yang
dipersamakan dengan hal itu, membawa Penulis untuk mencari tahu
mengenai eksistensi dan perbedaan pelaksanaan pidana mati yang
dijatuhkan atas tindak pidana militer di Indonesia.
2
Elmar I Lubis, Perkembangan Isu Hukuman Mati di Indonesia, Opinio Juris Volume 04, 2012,
Hlm.33
3
Hukum Pedia, Pro Kontra Pidana Mati di Indonesia, diakses pada tanggal 29 Maret 2016 Pukul
17.30 WIB [http://www.hukumpedia.com/keluarga/pro-kontra-pidana-mati-di-indonesia]

2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, Penulis mengurutkan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana eksistensi pidana mati dalam tindak pidana militer?
2. Bagaimana tata cara eksekusi pidana mati terhadap Terpidana mati
atas tindak pidana militer?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dalam penulisan mengenai pidana mati dalam tindak pidana militer
ini bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui eksistensi pidana mati dalam tindak pidana
militer.
2. Untuk mengetahui tata cara eksekusi pidana mati terhadap
Terpidana mati atas tindak pidana militer.

D. Manfaat Penulisan
a. Bagi Penulis
Karya tulis ini memiliki manfaat untuk penulis dalam hal
pemenuhan tugas yang diberikan oleh Dosen mata kuliah Hukum
Pelaksanaan Pidana, serta sebagai dokumen pribadi untuk
keperluan akademis ke depannya.

b. Bagi Pembaca
Karya tulis ini dapat pula memberi manfaat kepada pembaca untuk
menambah wawasan mengenai eksistensi dan tata cara eksekusi
pidana mati terhadap Terpidana mati atas tindak pidana militer.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Eksistensi Pidana Mati dalam Tindak Pidana Militer

3
Bertolak dari alur pemikiran mengenai dasar patut dipidananya
suatu perbuatan, maka tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan
yang melawan hukum, baik secara formal maupun secara material.
Mengenai batasan yuridis tentang tindak pidana itu sendiri tidak terdapat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Di dalam KUHP
hanya ada asas legalitas (Pasal 1) yang menjadi landasan yuridis untuk
menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana
(strafbaarfeit).4 Sehingga selalu diartikan bahwa “tindak pidana adalah
suatu perbuatan yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang”.5
Perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana dibedakan
antara lain tindak pidana umum (commune delicta) yang dapat dilakukan
oleh setiap orang, yang merupakan lawan dari tindak pidana khusus
(delicta propria) yang hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu saja, dan
dalam hal ini oleh seorang militer. Persona yang dimaksud sebagai
‘militer’ antara lain:
a. Militer, yang terdiri atas Militer Sukarela, Militer Wajib, Sukarelawan
lainnya, Militer Sukarela yang dilarang melakukan jabatan, diberhentikan
sementara dari jabatan atau dinyatakan non aktif dari jabatan.
b. Yang Dipersamakan dengan Militer, yakni seseorang yang dipersamakan
dengan militer (Militer Wajib di luar dinas, Militer Sukarela yang non aktif
dari dinas militer, Bekas Militer, Bekas Militer yang diberhentikan dengan
tidak hormat, Anggota Cadangan Nasional yang dipandang dalam dinas
militer, Seseorang yang menurut kenyataannya bekerja pada Angkatan
Perang, Bekas/Pensiunan Militer yang dipekerjakan (lagi) dalam dinas
militer, Komisaris Wajib Militer, Pensiunan Perwira Anggota Peradilan

4
Perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 KUHP yang mengandung asas Nullum delictum nulla
poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu). Ucapan
ini berasal dari Von Feurbach, sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas ini dimaksud
mengandung tiga pengertian yaitu:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan Undang-Undang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Lihat : Buku Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Barda Nawawi
Dan http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-tindak-pidana-dan-unsur.html diakses pada 27
Maret 2016 Pukul 17.00.
5
Ibid., Hlm. 84,86.

4
Militer, Seseorang yang berpangkat Tituler, dan Militer Asing) dan seorang
anggota dari suatu badan/organisasi yang dipersamakan dengan
(bagian/satuan dari) Angkatan Perang.6
Dalam Hukum Pidana Militer, tindak pidana militer diatur dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan dibedakan atas dua bagian, yaitu
Tindak Pidana Militer Murni (zuiver militaire delict) dan Tindak Pidana
Militer Campuran (gemengde militaire delict):7

1. Tindak Pidana Militer Murni


Tindak Pidana Militer Murni merupakan tindak pidana yang hanya
dilakukan oleh seorang militer, karena sifatnya khusus militer. Contoh dari
tindak pidana militer murni diatur dalam Bab II Pasal 73 KUHPM
mengenai kejahatan dalam melaksanakan kewajiban perang, tanpa
bermaksud untuk memberi bantuan kepada musuh atau merugikan negara
untuk kepentingan musuh; kejahatan desersi; dan meninggalkan pos
penjagaan sebagaimana diatur dalam Pasal 118 KUHPM.8

2. Tindak Pidana Militer Campuran


Tindak Pidana Militer Campuran adalah suatu perbuatan yang
terlarang dan sebenarnya sudah ada peraturannya, hanya peraturan itu
berada pada perundang-undangan yang lain. Sedangkan ancaman
hukumannya dirasakan terlalu ringan apabila perbuatan itu dilakukan oleh
seorang militer. Oleh karena itu perbuatan yang telah diatur perundang-
undangan lain yang jenisnya sama, diatur kembali dalam KUHPM disertai
ancaman hukuman yang lebih berat, disesuaikan dengan kekhasan militer.
Contohnya perkosaan yang dilakukan oleh seorang militer pada waktu
perang.9

6
SR Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Alumni AHAEM, Jakarta, 1985, Hlm.
28-42.
7
Moch. Faisal Salim, Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1996,
Hlm. 27
8
Ibid. Hlm. 28.
9
Ibid. Hlm. 29

5
Pidana mati merupakan salah satu jenis pidana pokok (strafsoort)
yang diatur dalam Pasal 10 KUHP dan merupakan pidana utama ke-1
dalam Pasal 6 KUHPM. Penempatan pidana mati pada urutan teratas
secara implisit mengindikasikan bahwa hukuman mati merupakan pidana
terberat, merupakan pidana puncak dari seluruh sanksi pidana. Jenis
pidana ini mengakhiri kehidupan seseorang secara hierarkis dan substantif.
Pidana mati ini dapat dilaksanakan apabila segala upaya hukum telah
selesai dilakukan, dan biasanya diakhiri dengan dikeluarkannya grasi.10
Kontroversi pidana mati di Indonesia menggunakan berbagai
pembenaran yang dihubungkan dengan teori-teori pemidanaan untuk
mendalilkan pro kontra penerapan pidana mati ini.11 Sesuai teori
pembalasan, pidana mati masih diharapkan masyarakat dan menjadi jalan
keluar agar tidak terjadi main hakim sendiri. Bilamana dihubungkan
dengan tujuan pemidanaan, pidana mati bersumber dari teori retributif
yang melegitimasi pembalasan dendam terhadap pelaku kejahatan. 12
Dalam teori retributif, setiap manusia bertanggungjawab atas perbuatannya
sendiri, sehingga seorang pelaku tindak pidana mutlak harus dipidana.13
Dalam sistem hukum pidana di Indonesia, pidana mati digunakan
sebagai ancaman atas tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 12 Drt Tahun 1951 tentang
Senjata Api, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan
Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan
Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana Kejahatan
Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan,
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-
10
PUSLITBANG Hukum dan Peradilan – Badan Litbang Diklat Kumdil, Penafsiran Hakim
Dalam Penerapan Pidana Mati di Indonesia (Asas, Nama, dan Praktek Penerapannya),
Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2014, Hlm. 37.
11
Ibid. Hlm. 57-58
12
Ibid. Hlm. 60, 68.
13
Tongat, Pidana Seumur Hidup dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia, UMM Press, Malang,
2004, Hlm. 70.

6
Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
Undang-Undang Nomor 31 PNPS 1964 tentang Ketentuan Pokok Tenaga
Atom, Penpres Nomor 5 Tahun 1959 tentang Wewenang Jaksa
Agung/Jaksa Tentara Agung dalam Hal Memperberat Ancaman Hukuman
terhadap Tindak Pidana yang Membahayakan Pelaksanaan Perlengkapan
Sandang Pangan, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer
(KUHPM).14
KUHPM diberlakukan bagi militer/tentara Indonesia.15 KUHPM
memuat peraturan-peraturan yang menyimpang dari ketentuan yang diatur
dalam Hukum Pidana Umum, dan ketentuan yang menyimpang tersebut
berlaku bagi golongan khusus (militer) atau orang-orang karena peraturan
perundang-undangan ditundukkan padanya.16 Militer sebagai subjek
hukum, secara bersamaan menjadi subjek tindak pidana dalam sistem
peradilan pidana. Sebagaimana telah disebutkan dalam Bab Tinjauan
Pustaka, tindak pidana yang dilakukan oleh subjek tindak pidana dapat
berupa tindak pidana umum (commune delicta) maupun tindak pidana
khusus (delicta propria) yang hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu
saja, dan dalam hal ini oleh seorang militer. Tindak pidana yang dilakukan
oleh militer tersebut dalam hal terjadi tindak pidana militer campuran,
maka secara bersamaan ia menjadi subjek tindak pidana umum dan tindak
pidana khusus (militer) tersebut. Mengenai ketentuan yang
diberlakukan terhadap militer, diatur dalam Pasal 63 KUHP yang
menentukan secara khusus bahwa ketentuan pidana yang diterapkan ialah
ketentuan pidana pokok yang lebih berat (ayat pertama), atau penerapan
ketentuan pidana yang khusus (ayat kedua).17

14
Portal Hukuman Mati Indonesia, Ketentuan dan Proses Pelaksanaan Hukuman Mati di
Indonesia, diakses pada tanggal 27 Maret 2016 Pukul 17.10 WIB
[http://hukumanmati.web.id/ketentuan-dan-pelaksanaan-hukuman-mati-di-indonesia/]
15
Lihat Pasal 46, Pasal 47 ayat (1), Pasal 49 ayat (2), Pasal 50, Pasal 68, dan Pasal 69 KUHPM.
16
Op. Cit. SR Sianturi. Hlm. 30.
17
Ibid., Hlm. 20 .

7
Ketentuan pidana yang khusus bagi militer diatur dalam Pasal 6
hingga Pasal 31 Bab II Buku I KUHPM. Berbeda dengan ketentuan
mengenai hukuman-hukuman dalam Pasal 10 KUHP, dalam KUHPM
terdapat perbedaan sebagai berikut:
1. Pada hukuman pokok dalam KUHP terdapat hukuman denda, sedangkan
dalam KUHPM tidak mengenal adanya pidana pokok denda terhadap
tindak pidana militer.
2. Pada Hukuman Tambahan, hukuman tambahan yang dijatuhkan khusus
sebegaimana tersebut dalam Pasal 6 KUHPM, merupakan ketentuan yang
khas militer (zijn van zuiver militair).
3. Hakim militer lebih bebas untuk mempertimbangkan dalam
menjatuhkan hukuman, tergantung kepentingan yang ditinjau dari sudut
militer.18
Pidana-pidana yang diatur dalam Pasal 6 KUHPM terbagi atas
Pidana Utama dan Pidana Tambahan. Perihal ‘hukuman tambahan tidak
dapat dijatuhkan tanpa hukuman pokok’ juga diterapkan sepenuhnya
dalam Hukum Pidana Militer. Adapun jenis pidana utama dalam KUHPM
antara lain pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana
tutupan. Sedangkan yang termasuk Pidana Tambahan ialah pemecatan dari
dinas militer dengan atau tanpa pencabutan haknya untuk memasuki
Angkatan Bersenjata, penurunan pangkat, dan pencabutan hak-hak yang
disebut pada Pasal 35 ayat (1) angka 1,2, dan 3 KUHP. Dalam penulisan
ini, yang menjadi fokus Penulis ialah pidana utama berupa pidana mati.
Banyak negara yang tidak lagi menerapkan pidana mati, namun di
Indonesia sendiri pidana mati tidak dihapuskan karena secara historis
ketentuan terkait pidana ini dibuat oleh pemerintah Kolonial Belanda, dan
Indonesia sebagai negara jajahannya dikhawatirkan akan mengganggu
kepentingan penjajah. Sehingga perlu diancam hukuman yang berat atas
pihak yang mengganggu kepentingan tersebut.19 Hingga saat ini, ketentuan

18
Op. Cit., Moch. Faisal Salim, Hlm. 60.
19
Ibid,. Hlm. 63.

8
mengenai pidana mati masih banyak menuai pro dan kontra dari berbagai
pihak dengan latar belakang akademis maupun ekspertisi yang berbeda.
Secara ideologis, Indonesia berdasar kepada Pancasila, sehingga
mengenai eksistensi pidana mati ini banyak argumentasi yang
mendasarkan pemikiran mereka pada Pancasila. Pasal 28A UUD NRI
Tahun 1945 secara eksplisit menyebutkan bahwa setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Menariknya hak yang mendasar ini disebutkan dalam Pasal 28I ayat (1)
sebagai salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Namun hal ini tidak dapat dimaknai sampai pada dua ketentuan tersebut
an sich, karena konsekuensinya ialah bahwa semua produk hukum yang
mengandung ancaman pasal-pasal hukuman mati haruslah dihapuskan.
Sehingga, hukuman mati yang lahir sebelum UUD NRI Tahun 1945 harus
secara tegas dicabut dan dinyatakan tidak berkekuatan hukum, tidak boleh
lagi ada produk perundangan yang mencantumkan hukuman mati. 20
Berbeda halnya jika ditinjau dari penafsiran sistematis, adanya pembatasan
hak asasi yang dinyatakan dalam Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945, bahwa
dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan seta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Hal mengenai konstitusionalitas pidana mati ini menurut
Mahkamah Konstitusi (MK) tidaklah bertentangan dengan UUD NRI
Tahun 1945 maupun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Menurut
MK, Pasal 28A dan Pasal 28I haruslah tunduk pada pembatasan hak yang
diatur Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945. Sampai saat ini dari aspek yuridis,
Indonesia merupakan negara retensionist berkaitan dengan pidana mati.
Namun demikian, untuk menjaga keseimbangan perasaan pihak pro

20
PUSLITBANG Hukum dan Peradilan – Badan Litbang Diklat Kumdil, Penafsiran Hakim
Dalam Penerapan Pidana Mati di Indonesia (Asas, Nama, dan Praktek Penerapannya),
Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2014, Hlm. 95-96.

9
maupun kontra terkait eksistensi pidana mati, maka ditinjau dari optik
interpretasi futuristis, dalam Pasal 66 RUU KUHP disebutkan bahwa
pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu
diancamkan secara alternatif.21 Sehingga dalam praktek, hakim harus
memberikan pertimbangan yang sungguh-sungguh apabila hendak
menjatuhkan pidana mati.22
Dalam lingkup Peradilan Militer di Indonesia, ancaman pidana
mati sebagai salah satu pidana utama dan merupakan pidana utama
terberat, masih diakui dalam KUHPM. Adapun tindak pidana militer yang
diancam dengan pidana mati ialah sebagai berikut:
Pengkhianatan Militer (Pasal 64), Pemberontakan Militer (Pasal
65), Pemata-mataan/Spionase (Pasal 67), Tawanan perang yang melarikn
diri (Pasal 68), Kejahatan-Kejahatan dalam Melaksanakan Kewajiban
Perang Tanpa Maksud untuk Memberi Bantuan kepada Musuh atau
Merugikan Negara Terhadap Musuh (Pasal 73hatan Ke -1,Ke-2, Ke-3 dan
Ke4), Menyerahkan diri Memperdayakan Masyarakat Militer (Pasal 74
Ke-1 dan Ke2), Menggagalkan suatu Operasi Militer (Pasal 76 ayat (1)),
Merusak Suatu Perjanjian (Pasal 82), Desersi Istimewa (Pasal 89 Ke-1 dan
Ke-2), Insubordinasi dan Muiterij dalam Keadaan Khusus (Pasal 109 Ke-
1dan Ke-2), Pengacauan Militer (Pasal 114 ayat (1)), Wajib Lapor tentang
Kejahatan Tertentu (Pasal 133 ayat (1) dan (2)), Menghasut Militer untuk
Melakukan Kejahatan (Pasal 135 ayat (1) ke1 dan ke2, ayat (2)),
Kejahatan Berat oleh Militer (Pasal 137 ayat (1) dan(2)), Melakukan
Kekerasan Terhadap Korban Perang (Pasal 138 ayat (1) dan (2)), dan
Perampokan yang dilakukan secara berserikat (Pasal 142 ayat (2)).
Berdasarkan pencarian data yang dilakukan oleh Penulis, diperoleh
beberapa data yang menunjukkan eksistensi pidana mati dalam Tindak
Pidana Militer. Persona yang merupakan militer dan dijatuhi pidana mati
oleh Hakim Militer antara lain sebagai berikut:

21
Ibid., Hlm. 106.
22
Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, YUSTISIA Edisi 84, FH UNS,
Surakarta, 2012, Hlm. 99.

10
1. Prada Mart Azzanul Ikhwan
Prada Mart Azzanul Ikhwan terbukti melakukan pembunuhan berencana
terhadap kekasihnya Shinta Mustika (18) yang tengah hamil 8 bulan dan
ibu kekasihnya, Opon (39), dalam waktu bersamaan. Atas perbuatan
sadisnya itu, Majelis hakim Pengadilan Militer II-09 Bandung akhirnya
menjatuhkan hukuman mati kepada oknum anggota TNI Prada Mart
Azzanul Ikhwan.23

2. SUUD Rusli dan Syam Ahmad


Kopral Dua (Kopda) Marinir SUUD Rusli bekerjasama dengan anggota
Marinir lainnya, Syam Ahmad (tertembak mati pada 17 Agustus 2007)
kasus pembunuhan Dirut PT Asaba, Budyharto Angsono.24

3. Kolonel Irfan Jumroni


Hakim Pengadilan Tinggi Militer III Surabaya menjatuhkan vonis
hukuman mati kepada Irfan, sekaligus mencabut dari jabatannya sebagai
anggota TNI AL. Ia dianggap terbukti telah melakukan pembunuhan
berencana terhadap dua orang korban. Masing-masing Achmad Taufik,
hakim Pengadilan Agama Sidoarjo, dan mantan istri Irfan, Eka Suhartini.25

Penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana militer, selain


berdasarkan pertimbangan hakim mengenai tindak pidana yang dilakukan,
biasanya selalu dihubungkan dengan penghianatan terhadap sapta marga
sebagai berikut:26

23
VOA Islam, Baru Kali Ini Oknum TNI Divonis Mati Dalam Pengadilan Militer, diakses pada
tanggal 28 Maret 2016 Pukul 18.00 WIB [http://www.voa-
islam.com/read/indonesiana/2013/04/25/24184/baru-kali-ini-oknum-tni-divonis-mati-dalam-
pengadilan-militer/]
24
Tribun Nasional, Grasi Ditolak Presiden, Boyamin Yakin Kliennya Punya Kedudukan Hukum di
MK, diakses pada tanggal 27 Maret 2016 pukul 18.00 WIB
[http://www.tribunnews.com/nasional/2015/10/22/grasi-ditolak-presiden-boyamin-yakin-kliennya-
punya-kedudukan-hukum-di-mk?page=2]
25
Tabloid Nova, Usai Pak Kolonel Divonis Mati, diakses pada tanggal 28 Maret 2016 pukul 18.15
WIB [http://nostalgia.tabloidnova.com/articles.asp?id=11087]
26
Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat, Sapta Marga, diakses pada tanggal 29 Maret pukul
18.30 WIB [http://www.tniad.mil.id/index.php/sample-page-2/kode-etik/sapta-marga/]

11
1. Kami Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
bersendikan Pancasila.

2. Kami Patriot Indonesia pendukung serta pembela Ideologi Negara


yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah.

3. Kami Ksatria Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha


Esa serta membela kejujuran kebenaran dan keadilan.

4. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia adalah Bhayangkari


Negara dan Bangsa Indonesia.

5. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia memegang teguh


disiplin, patuh, dan taat kepada pimpinan serta menjunjung tinggi
sikap dan kehormatan prajurit.

6. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia mengutamakan


Keperwiraan di dalam melaksanakan tugas serta senantiasa siap
sedia berbakti kepada Negara dan Bangsa.

7. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia setia dan menepati janji


serta sumpah prajurit.

B. Tata Cara Eksekusi Pidana Mati terhadap Terpidana Mati atas Tindak
Pidana Militer
Hukum acara yang berlaku dalam lingkup peradilan militer adalah
Hukum Acara Pidana Militer (HAPMIL). Dalam penerapannya, HAPMIL
dibagi atas tahap pemeriksaan permulaan dan penuntutan, pemeriksaan di
persidangan oleh Mahkamah, dan pelaksanaan putusan (eksekusi).

12
Ketentuan pelaksanaan putusan mahkamah diatur dalam Pasal 22 Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada
pengadilan ketentaraan sebagai pedoman. Dalam Pasal 270-276 diatur
bahwa terdapat lembaga Hakim Pengawas dan pengamat yang diterapkan
di lingkungan peradilan militer karena tugasnya secara melembaga sudah
ada pada fungsi Kepala Mahkamah Militer.27
Setelah selesai proses persidangan, hakim mengambil keputusan
yang diucapkan pada sidang yang terbuka untuk umum. Apabila keputusan
tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka keputusan tersebut
harus dilaksanakan, yang mana pelaksanaannya disebut juga eksekusi.28
Maksudnya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde) adalah suatu Putusan Pengadilan yang tidak lagi terbuka
kemungkinan untuk dibatalkan dengan upaya hukum verzet, banding atau
kasasi. Pengertian eksekusi juga dapat kita temukan dalam Pasal 270 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).29
Dalam lingkup Peradilan Militer, eksekusi putusan pengadilan
dilakukan oleh Oditur Militer (Ormil). Setelah Ormil menerima kutipan
putusan inkracht, maka ia membuat laporan kepada Perwira Penyerah
Perkara (PAPERA) maupun kepada Atasan yang berhak menghukum
(ANKUM), dengan melampirkan ikhtisar putusan. Selanjutnya Ormil yang
bersangkutan menyerahkan Terpidana kepada INREHAB/Lembaga
Pemasyarakatan atau tempat lain yang ditunjuk. Namun, dalam hal
pelaksanaan pidana bersyarat, Terpidana diserahkan kepada ANKUM-nya
untuk pengawasan. Dalam penyerahan Terpidana tersebut, Ormil membuat
berita acaranya.30

Putusan pengadilan oleh hakim pada pengadilan militer dikirimkan


oleh Panitera kepada Ormil untuk dilaksanakan. Dalam hal pidana yang
dijatuhkan adalah pidana mati, sedikit berbeda dengan penjatuhan pidana

27
Op. Cit. Moch. Faisal Salim, Hlm. 47.
28
Ibid.. Hlm. 208.
29
Pasal 270 KUHAP berbunyi : “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa/ormil yang untuk itu panitera mengirimkan salinan
surat putusan padanya.”
30
Ibid., Hlm. 209.

13
lainnya. Sekalipun putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap,
bahkan menerima pidana tersebut, namun belum dapat dieksekusi sebelum
turun keputusan Presiden mengenai pelaksanaannya. 31 Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah kesalahan yang mungkin terjadi, melalui
prosedur yang ketat masih dianggap perlu untuk menerima keputusan
Presiden. Presiden tidak boleh mencampuri urusan pengadilan, oleh karena
itu kesempatan Presiden untuk berperan adalah melalui upaya hukum yang
khas menjadi wewenang Presiden dalam bentuk pemberian grasi
32
(pengampunan). Namun, dalam hal keputusan Presiden tidak merubah
pidana mati yang telah dijatuhkan, maka pelaksanaannya dilakukan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Pnps 1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di
Lingkungan Peradilan Umum Dan Militer, yang ditetapkan menjadi
undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969. Untuk
yustisiabel peradilan sipil diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16,
dan untuk yustisiabel peradilan militer diatur dalam Pasal 17.

Beberapa ketentuan tentang cara pelaksanaan pidana mati untuk


yustisiabel peradilan militer adalah sebagai berikut:
1. Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri/Panglima
Angkatan yang bersangkutan di daerah mahkamah yang
menjatuhkan putusan tersebut, kecuali ditentukan lain.
2. Panglima/Komandan Daerah Militer bertanggungjawab mengenai
pelaksanaannya setelah mendengar saran dari Oditur Militer/Oditur
Militer Tinggi yang bersangkutan dan menentukan hari/tanggal
pelaksanaan tersebut.
3. Pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh satu regu militer.
4. Apabila terpidana sedang hamil, pelaksanaan pidana mati harus
ditunda sampai anak yang dikandungnya lahir.
5. Tiga kali 24 jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati,
ormil/ormilti yang bersangkutan harus memberitahukan tentang
31
Pasal 2 dan 3 UNDANG-UNDANG Grasi Nomor 3 Tahun 1950.
32
Op.Cit. Moch. Faisal Salim,. Hlm. 211.

14
pelaksanaan tersebut kepada terpidana dan apabila terpidana
mengemukakan sesuatu , maka pesan itu harus diterima oleh
ormil/ormilti yang bersangkutan.
6. Ormil/Ormilti yang bersangkutan dan Panglima Daerah atau yang
ditunjuknya harus menghadiri pelaksanaan tersebut, sedangkan
pembela terpidana atas permintaan sendiri dapat menghadirinya.
7. Pelaksanaan pidana mati tidak boleh dilakukan di muka umum.
8. Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarga/sahabat-
sahabat terpidana dan harus dicegah pelaksanaan penguburan yang
demonstratif. Dalam hal ini ada kekecualian, yaitu apabila
Ormil/Ormilti berpendapat bahwa penguburan itu harus
diselenggarakan oleh negara demi kepentingan umum/militer
dengan mengindahkan cara penguburan yang ditentukan oleh
agama/kepercayaan yang dianut oleh Terpidana.
9. Setelah selesai pelaksanaan pidana mati, Ormil/Ormilti harus
membuat berita acara pelaksanaan pidana mati, yang kemudian isi
berita acara tersebut harus disalinkan untuk putusan mahkamah
yang bersangkutan.33
10. Dalam pelaksanaannya, terpidana dapat menjalaninya secara
berdiri, duduk, atau berlutut. Jika dipandang perlu, Ormil/Ormilti
dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya
ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu.
11. Setelah terpidana siap untuk ditembak, Regu Penembak dengan
senjata sudah terisi menuju ke tempat yang ditentukan, dengan
Jarak antara titik di mana terpidana berada dan tempat Regu
Penembak tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang
dari 5 meter.
12. Apabila semua persiapan telah selesai, Jaksa Tinggi/Jaksa yang
bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, memerintahkan untuk
memulai pelaksanaan pidana mati. Dengan segera para pengiring
terpidana menjauhkan diri dari terpidana. Dengan menggunakan

33
Ibid., Hlm. 211-212.

15
pedang sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberi
perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan
pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik
pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke
bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.
13. Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan
tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka Komandan Regu segera
memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan
tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya
pada kepala terpidana tepat di atas telinganya. Untuk memperoleh
kepastian tentang matinya terpidana dapat diminta bantuan seorang
dokter.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian Penulis dalam Bab Pembahasan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pidana mati dalam tindak pidana militer di Indonesia masih diakui dan
diatur sebagai jenis pidana utama ke-1 dalam Pasal 6 KUHPM. Pidana
mati juga disebutkan sebagai ancaman pidana dalam tindak pidana

16
tertentu yang diatur dalam KUHPM, bahkan dalam beberapa kasus
yang ada, meskipun jarang, pidana mati dijatuhkan terhadap anggota
militer.
2. Tata cara pelaksanaan pidana mati dalam lingkup peradilan militer
tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan pidana mati dalam lingkup
peradilan umum yang dilaksanakan terhadap warga sipil.
Perbedaannya terletak pada eksekutornya. Dalam pelaksanaan pidana
mati atas tindak pidana militer, dilakukan oleh satu regu militer, serta
Panglima/Komandan Daerah Militer yang bertanggungjawab
mengenai pelaksanaannya setelah mendengar saran dari Oditur
Militer/Oditur Militer Tinggi yang bertindak sebagai eksekutor
putusan pengadilan yang bersangkutan.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, Penulis mengajukan saran berikut:
1. Sebaiknya mengenai penjatuhan pidana mati atas tindak pidana militer
di Indonesia, tetap memperhatikan pertimbangan yang ada dalam
penjatuhan pidana mati terhadap warga sipil, sehingga tidak terkesan
sebagai suatu pembalasan atas perbuatan pelaku yang merupakan
anggota militer (meskipun memang harus dipandang berbeda dari sisi
kepentingan dan kewibawaannya sebagai anggota militer), padahal
perbuatannya tidak serta merta berdampak terhadap masyarakat luas
sehingga ada urgensi untuk dijatuhi pidana mati terhadapnya.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Nawawi Arief, Barda. 2014. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana-


Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group.

17
PUSLITBANG Hukum dan Peradilan – Badan Litbang Diklat Kumdil. 2014.
Penafsiran Hakim Dalam Penerapan Pidana Mati di Indonesia (Asas,
Nama, dan Praktek Penerapannya). Jakarta: Mahkamah Agung RI.
Salim, Moch. Faisal. 1996. Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia. Bandung:
Mandar Maju.
Salim, Moch. Faisal. 2006. Hukum Pidana Militer di Indonesia. Bandung:
Mandar Maju.
Sianturi, SR. 1985. Hukum Pidana Militer di Indonesia. Jakarta: Alumni
AHAEM.
Tongat. 2004. Pidana Seumur Hidup dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia.
Malang: UMM Press.

Jurnal dan Majalah

Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. YUSTISIA Edisi 84.
2012. Surakarta: FH UNS.
Lubis, Elmar I. 2012. Perkembangan Isu Hukuman Mati di Indonesia. Opinio
Juris Volume 04.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Militer (KUHPM).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Nomor 2 Pnps 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum Dan
Militer, yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1969.

18
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada
Pengadilan Ketentaraan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1950 tentang Grasi.

Website

http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/04/25/24184/baru-kali-ini-oknum-tni-
divonis-mati-dalam-pengadilan-militer/

http://www.tribunnews.com/nasional/2015/10/22/grasi-ditolak-presiden-boyamin-yakin-
kliennya-punya-kedudukan-hukum-di-mk?page=2

http://nostalgia.tabloidnova.com/articles.asp?id=11087

http://www.tniad.mil.id/index.php/sample-page-2/kode-etik/sapta-marga/

http://hukumanmati.web.id/ketentuan-dan-pelaksanaan-hukuman-mati-di-indonesia/
http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-tindak-pidana-dan-unsur.html
http://www.hukumpedia.com/keluarga/pro-kontra-pidana-mati-di-indonesia

19

Anda mungkin juga menyukai