Anda di halaman 1dari 10

Terapi transfusi untuk anemia akut: pertimbangan praktis

Point-of-care Testing

Perangkat analisis point-of-care (POC) dapat mengukur berbagai parameter hematologis


secara cepat, sehingga meningkatkan ambang keamanan dan mengoptimalkan dukungan
terhadap transfusi. Dengan penggunaan alat uji POC hemostatik dan algoritma transfusi
yang terintegrasi, kebutuhan transfusi dan pendarahan masif setelah operasi jantung dapat
dikurangi. Selain mengurangi kebutuhan produk darah, penggunaan alat uji POC
mempengaruhi tingkat kebutuhan eksplorasi ulang, gagal ginjal akut, dan angka kejadian
tromboemboli setelah operasi jantung. Menariknya, metaanalisis dan systematic review dari
15 penelitian yang melibatkan lebih dari delapan ribu pasien yang menjalani operasi jantung
menunjukkan tidak adanya perbedaan dalam mortalitas, morbiditas, dan lamanya
perawatan intensif maupun perawatan total akibat penggunaan uji POC. Selain menurunkan
kebutuhan transfusi darah pada pasien dewasa yang menjalani operasi jantung, tidak ada
manfaat lain dari penggunaan alat uji POC. Meskipun metaanalisis menunjukkan bahwa alat
uji POC tidak menunjukkan luaran pasien yang lebih baik, penggunaan alat uji POC yang
mengurangi kebutuhan transfusi darah dan risiko yang menyertai transfusi, secara tidak
langsung mendatangkan manfaat bagi pasien.

Usia darah

Telah diketahui bahwa komponen proinflamatoris dalam produk darah dan kerusakan sel
darah meningkat seiring bertambahnya waktu penyimpanan. Secara teori, RBC segar dapat
memperbaiki hantaran oksigen tanpa risiko atau efek samping yang berarti. Penelitian
observasional retrospektif yang dilakukan menunjukkan bahwa transfusi RBC yang sudah
lama disimpan dapat meningkatkan angka mortalitas pasien yang menjalani operasi jantung.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa transfusi RBC yang sudah disimpan selama 2
minggu atau lebih meningkatkan risiko komplikasi pasca operasi dan mortalitas jangka
pendek dan jangka panjang. Dalam suatu meta analisis (Lelubre dkk.), didapati bahwa ada
beberapa confounding factor dan hubungan yang jelas tidak dapat diketahui. Tetapi, pada
pasien trauma yang mendapat transfusi masif, ada korelasi yang nyata antara usia produk
darah dan mortalitas dan morbiditas.

Dalam RCT multicenter, Lacroix dkk. tidak menemukan adanya perbedaan mortalitas dalam
90 hari pertama pada pasien yang mendapat transfusi RBC segar pada pasien kritis. Sebuah
penelitian dilakukan oleh Red Cell Storage Duration Study (RECESS) terhadap pasien yang
menjalani operasi jantung dan mendapat transfusi RBC yang disimpan di bawah 10 hari dan
di atas 21 hari. Penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan signifikan dalam
Multiple Organ Dysfunction Score. Tidak ada perbedaan luaran antara pasien operasi jantung
berdasarkan usia penyimpanan RBC yang akan ditransfusikan pada penelitian lain.
Metaanalisis dari 14 RCT dengan total 26.374 pasien menunjukkan tidak adanya perbedaan
mortalitas antara pasien yang mendapat transfusi darah yang segar dan transfusi darah yang
sudah disimpan dalam jangka waktu lama.

Sulit untuk menyimpulkan dampak dari penyimpanan RBC dalam jangka waktu lama dan
kaitannya dengan keamanan pasien. Bank darah cenderung menggunakan darah yang lama
terlebih dahulu, dan tidak ada bukti yang cukup untuk menolak kebiasaan ini.

Washed RBC

Diduga bahwa pencucian RBC mengurangi inflamasi dan cedera organ pada pasien yang
mendapat transfusi darah. Dalam penelitian multicenter terhadap pasien yang menjalani
operasi jantung, pencucian BRC tidak menunjukkan pengurangan kadar IL-8 plasma,
konsentrasi mikrovesikel RBC plasma, aktivasi platelet dan WBC, Hb bebas sel plasma,
aktivasi endotel, dan biomarker cedera organ.

Leukoreduction

WBC yang ditemukan dalam PRC dan konsentrat platelet diduga terlibat dalam berbagai
komplikasi imunologis dan infeksi dalam transfusi darah. Deplesi WBC harus dilakukan dalam
kondisi terkontrol dalam waktu 48 jam setelah darah diambil dari donor. Komponen darah
bebeas WBC harus mengandung < 5 x 106 WBC per unit RBC atau platelet dewasa dengan
minimum 85% recovery WBC dari 95% unit, mengacu pada standar American Association of
Blood Banks; tetapi, panduan dari Eropa mensyaratkan residu WBC < 106 per unit komponen
darah. Filtrasi sebelum penyimpanan memiliki keuntungan yang nyata, di mana kandungan
WBC < 106 per unit RBC mengurangi risiko reaksi febril pada pasien yang mendapat transfusi RBC
dalam jumlah banyak dan mengurangi transmisi CMV. Leukosit yang ditransfusikan menjadi agen
utama dari perubahan imunosupresif pada pasien.

Ada empat metode utama leukoreduksi, seperti pada tabel 5. dari semua metode, leukoreduksi
menggunakan leukofilter generasi ketiga dan komponen yang diperoleh melalui aferesis
memenuhi standar deplesi WBC (< 5 x 106 WBC per unit komponen darah). leukoreduksi sebelum
penyimpanan berhubungan dengan penurunan reaksi febril nonhemolitik pascatransfusi. Dalam
sebuah metaanalisis dari pasien yang menjalani operasi, leukoreduksi berhubungan dengan
pengurangan angka infeksi postoperatif secara signifikan, menurunkan waktu perawatan, dan
menurunkan mortalitas total dari pasien pascaoperasi.

Terapi alternatif terhadap transfusi darah

Operasi jantung selalu menjadi pengguna produk darah dalam jumlah besar. Penuaan populasi di
seluruh dunia diduga menurunkan ketersediaan darah global. Baru-baru ini, berbagai RS di Italia
mengharuskan penurunan jumlah operasi besar karena tidak tersedianya RBC di bank darah
mereka. Karena itu, menjadi rasional untuk mencari alternatif dari transfusi darah. Produk
alternatif yang tersedia saat ini sudah jauh lebih maju. Oxygen-carrying volume expanders
berupa Hb oxygen carriers (HBOC) atau perfluorocarbons (PFC) sangat membantu dalam situasi
di mana darah tidak tersedia atau reaksi yang berat sangat mungkin terjadi. Carrier berbasiss Hb
memanfaatkan RBC manusia yang kadaluarsa atau darah ternak atau dibuat melalui sel punca.
HBOC tidak bersifat antigenik dan tidak memerlukan tes kompatibilitas, dapat disimpan dalam
suhu ruangan selama satu sampai dua tahun, dan bebas dari risiko infeksi. Pengurangan reaksi
hiperinflamasi pasca cedera telah terbukti pada penggunaan HBOC dibandingkan dengan
penggunaan RBC pada resusitasi pasca trauma. Meskipun secara teori memiliki keunggulan,
oxygen carriers buatan memiliki efek samping yang serius. HBOC menimbulkan vasokonstriksi,
menyebabkan hipertensi sistemik dan pulmonal. Efek ini diduga terkait pemanfaatan NO oleh Hb
dan stimulasi alpha-adrenergic receptor. Gastrointestinal distress karena disregulasi otot polos
akibat pemanfaatan NO berlebih dan gejala serupa flu telah dilaporkan akibat efek pada
reticuloendothelial system (RES).

Tabel 5. Tipe leukoreduksi

Proses Efektivitas Catatan

Menghilangkan buffy coat dari Sekitar 107 WBC per unit RBC Cukup untuk mencegah
RBC pada sumbernya sebagian besar reaksi transfusi
febril nonhemolitik

Filtrasi RBC dan platelet 106 sampai 105 WBC per unit Paling baik dilakukan dari
melalui leukocyte depletion RBC sumbernya
filter (LDF)
Mengurangi pelepasan sitokin
selama penyimpanan

RBC washing 107 WBC per unit RBC Lebih mahal dan kurang
efektif daripada LDF
Usia produk yang singkat

Umumnya tidak dianjurkan

Frozen RBC deglycerolization Serupa dengan LDF Sangat mahal, tidak


dianjurkan secara rutin

Hanya untuk pasien dengan


jenis darah yang langka atau
multi antibodi

Efek lain yang dilaporkan meliputi gangguan hematologis dan neurotoksisitas. HBOC yang
tersedia di pasaran adalah Hemopure (OPK Biotech, Cambridge, Massachusetts) dan PolyHeme
(Northfield Laboratories, Evanston, Illinois). Hemopure menggunakan Hb ternak yang
dipolimerisasi dan telah digunakan di Afrika Selatan pada pasien dewasa yang menjalani operasi
elektif. Sebuah RCT single-blind multicenter Fase III menunjukkan bahwa Hemopure mengurangi
kebutuhan transfusi alogenik pada hampir 60% pasien. PolyHeme dianggap paling menjanjikan
sebagai HBOC pada shock hemoragik. Meskipun demikian, setelah menjalani uji Fase III pra-RS di
20 trauma center level I di AS, produk ini tidak menunjukkan pengurangan mortalitas atau
kerugian yang signifikan dibandingkan produk darah. Produk ini ditoleransi dengan baik pada
pasien yang menjalani operasi elektif dengan kehilangan darah yang masif. Meskipun demikian,
profil keamanan HBOC pada trauma masih memerlukan penelitian lebih lanjut. PolyHeme sudah
tidak tersedia di pasaran.

PFC adalah senyawa karbon dan fluorin yang lembam, memiliki kekentalan yang rendah, dan
memiliki keterlarutan gas yang tinggi. PFC tidak mengikat oksigen tetapi berfungsi sebagai
pelarut oksigen. PFC memiliki molekul yang sangat kecil sehingga dapat masuk ke mikrosirkulasi.
PFC diambil oleh makrofag dan dipecah menjadi partikel yang lebih kecil. Pemberian PFC
mengganggu uji laboratorium, pulse oximetry, dan berinteraksi dengan berbagai obat. Karena
PFC melewati RES, pemberian PFC berlebih menghasilkan gejala serupa flu. Penggunaan PFC
dilaporkan menyebabkan perubahan fungsi imun, bronkospasme, pneumonitis, anemia, dan
leukositosis. Efek samping PFC yang serius adalah stroke dan trombositopenia. Uji Fase III dari
emulsi perflubron pada pasien jantung harus dihentikan karena efek samping yang serius,
termasuk angka kejadian stroke yang meningkat. Meskipun penelitian dalam darah buatan
belum menghasilkan produk yang tersedia di pasaran sampai saat ini, kemajuan yang pesat telah
ditunjukkan. Teknologi baru melalui sel punca yang diambil dari tali pusar dapat menghasilkan
produk pengganti darah di masa depan.
Mengurangi risiko: manajemen darah pasien

Anemia, dengan atau tanpa transfusi darah, menjadi faktor risiko luaran pasien yang buruk,
sehingga pilihan yang ada terbatas pada pasien anemia yang akan menjalani operasi jantung.
Saat ini, pilihan yang paling baik adalah peningkatan Hb pasien untuk mengatasi anemia,
meningkatkan produksi Hb melalui peningkatan eritropoiesis perioperatif, dan menggunakan
strategi untuk mengurangi perdarahan selama operasi. Setiap usaha yang dilakukan harus
bertujuan untuk mengurangi perdarahan pada pasien, dan segala upaya harus dilaukan untuk
mengurangi transfusi alogenik. Pasien yang berisiko mengalami perdarahan dalam jumlah besar
selama operasi harus mengikuti program PBM (patient blood management). Program ini
menurut The Society for the Adbancement of Patient Blood Management berarti menggunakan
pendekatan ilmiah yang efektif dan aman dalam teknik operasi dan medis untuk mencegah
anemia dan mengurangi perdarahan demi meningkatkan luaran pasien. Melalui pendekatan PBM,
beberapa hari atau beberapa minggu sebelum operasi, kebutuhan transfusi dapat diminimalisasi.
Pilar utama PBM adalah (1) mengenali dan mengobati anemia preoperatif; (2) mengurangi
kehilangan darah perioperatif, termasuk optimalisasi koagulasi; dan (3) menggunakan secara
optimal cadangan fisiologis pasien yang anemis, termasuk transfusi dalam jumlah minimum jika
memungkinkan. PBM utamanya berdasarkan pengambilan keputusan yang berpusat pada pasien
dengan tujuan untuk memperbaiki luaran pasien. Ada tiga fase utama PBM: preoperatif,
intraoperatif, dan postoperatif. Setiap fase dapat dibagi lebih lanjut ke dalam tiga bagian: (1)
mengoptimalkan eritropoiesis, (2) meminimalisasi kehilangan darah, dan (3) manajemen anemia.
Tabel 6 menunjukkan kerangka kerja PBM dan strategi konservasi darah untuk operasi jantung.

Strategi konserbasi darah dalam operasi jantung

Beberapa strategi konservasi darah sudah diusulkan untuk menurunkan kebutuhan transfusi
alogenik.

Pre-deposit autologous donation

Selain mendonorkan darah untuk kebutuhan orang lain, pendonor juga dapat menjadi penerima
produk darah dari dirinya di suatu waktu. Darah pasien diambil dan disimpan sebelum operasi.
Dengan usia simpan RBC yang mencapai 35 hari pada suhu 4oC (42 hari dengan kondisi optimal),
sebagian besar pasien dewasa yang sehat dapat menyediakan 3 unit RBC sebelum operasi elektif.
Pasien dapat mendapatkan asupan Fe dengan/tanpa EPO untuk mencegah anemia. Pre-deposit
autologous donation (PAD) harus dilakukan pada sarana di mana donasi yang ada diuji dan
diproses seperti donor konvensional.

Alasan terhadap keamanan dan efektivitas biaya PAD rutin telah dipertanyakan, dan prosedur ini
jarang dikerjakan saat ini. PAD mungkin tidak sesuai untuk sebagian besar operasi jantung karena
menjadi kontraindikasi pada pasien dengan angina, stenosis aorta, CVD, dan penyakit jantung
sianotik.

Beating heart surgery

Untuk CABG, beating heart surgery dianjurkan untuk mengurangi gangguan pembekuan darah
dan kebutuhan transfusi. Dalam systematic review dan metaanalisis yang membandingkan CABG
off-pump dan CABG konvensional, Bainbridge menemukan pengurangan kebutuhan transfusi
yang signifikan pada pasien off-pump CABG.

Hemodilusi normovolemik akut

Acute normovolemic hemodilution (ANH) adalah prosedur konservasi darah dan autotransfusi
yang diperkenalkan di medio 1970. ANH diduga mengurangi Ht pasien melalui pengambilan
darah sebelum perdarahan intraoperatif, sehingga mengurangi kehilangan RBC perioperatif.
Volume intravaskular harus dipertahankan melalui penggunaan kristaloid atau koloid. Tetapi,
harus diingat morbiditas pada penggunaan koloid atau kristaloid berlebih pada pasien yang
menjalani operasi jantung. ANH umumnya dilakukan setelah induksi anestesi. Efektivitas ANH
dalam mengurangi kebutuhan transfusi masih dipertanyakan, dan hasil penelitian yang ada tidak
menghasilkan kesimpulan yang nyata. Dua metaanalisis terbaru menunjukkan manfaat ANH
dalam pengurangan kebutuhan transfusi RBC alogenik, penurunan jumlah RBC pada pasien yang
mendapat transfusi, dan berkurangnya kehilangan darah perioperatif.

ANH dapat dimanfaatkan pada pasien yang tidak dapat mendapat transfusi atau PBM. ANH
dapat dipertimbangkan pada pasien Jehovah Witness yang menyetujui teknik ini, selama darah
yang dikeluarkan tetap terkait dengan darah dalam tubuh pasien. Selama ANH dikombinasikan
dengan penyelamatan darah intraoperatif, RBC yang diselamatkan dapat diberikan terlebih
dahulu, kemudian diikuti oleh ANH.

Tabel 6. PBM dalam operasi jantung

1. Pembentukan tim manajemen darah multidisiplin untuk membuat algoritma transfusi dan
protokol transfusi masif

2. Preoperatif

- Identifikasi pasien berisiko perdarahan dan/atau memerlukan transfusi

- Edukasi pasien mengenai pilihan dan strategi yang ada

- Terapi anemia preoperatif: Fe, folat, Vitamin B12, eritropoietin


- Hindari pengambilan sampel darah berlebih

- Menghentikan terapi antiplatelet dan antikoagulan pada waktu yang tepat

- Jika memerlukan reversal dari warfarin segera, PCC menjadi pilihan, tetapi transfusi plasma
dapat diberikan

- Jika memungkinkan, donor darah autologous dapat dilakukan

3. Intraoperatif

- TIm anestesi: ANH, terapi antifibrinolitik, agen farmakologis (desmopressin, rFVIIa), tes POC,
optimasi pemberian oksigen (curah jantung, ventilasi, oksigenasi), transfusi sesuai kebutuhan

- Tim bedah: OPCAB, bedah invasif minimal, hemostasis intraoperatif (kauterisasi), penyelamatan
darah intraoperatif

- Perfusi: minmalisasi hemodilusi selama cardiopulmonary bypass (mini sirkuit, retrograde


autopriming, microplegia, modified ultrafiltration)

4. Postoperatif

- Mengikuti protokol transfusi

- Pengambilan sampel darah minimal

- Transfusi 1 unit jika diperlukan, nilai kembali

- Gunakan produk darah lain (FFP, cryoprecipitate, platelet sesuai kebutuhan)

- Terapi farmakologi: desmopressin, rFVIIa

Retrograde priming dalam cardiopulmonary bypass circuit

Retrograde priming pada sirkuit CPB menggunakan darah pasien (sampai 1100 mL) dapat
digunakan sebagai metode intraoperatif tambahan untuk menyelamatkan darah pasien. Metode
ini digunakan untuk menggantikan kristaloid pada sirkuit CPB dan mengurangi hemodilusi
berlebih. Metode ini mengruangi kebutuhan transfusi, terutama pada pasien dengan volume
darah intravaskuler yang rendah.

Penyelamatan darah intraoperatif

Teknik ini adalah metode di mana darah yang hilang dari lapangan operasi digunakan kembali.
Darah diaspirasi dan mendapat perlakuan antikoagulan sebelum masuk ke dalam reservoir.
Heparin ditambahkan ke darah dengan jumlah 30.000U/L NaCl, tetapi larutan berbasis sitrat juga
telah digunakan. Darah yang diambil kemudian disentrifugasi, yang menghilangkan plasma,
platelet, cairan irigasi, dan kontaminan. Darah kemudian dicuci dengan NaCL untuk
menghilangkan debris yang tersisa. Ht dari RBC yang diselamatkan berkisar antara 55-80%,
bergantung metode yang digunakan.

Modalitas ini efektif untuk mengurangi kebutuhan darah pada pasien dewasa dengan tubuh yang
kecil dan terbukti sama efektifnya dengan aprotinin dalam mengurangi transfusi darah selama
operasi jantung. Penggunaan alat yang tidak tepat dapat meningkatkan kejadian hemolisis.
Meskipun penyelamatan darah intraoperatif tidak memperburuk koagulopati pada pasien
dengan risiko perdarahan yang rendah, sebuah penelitian menunjukkan bahwa teknik ini dapat
menghalangi koagulasi pada pasien operasi jantung dengan risiko perdarahan yang tinggi.

Antifibrinolitik

Berbagai bukti menunjukkan manfaat agen antifibrinolitik selama operasi jantung. Dari ketiga
agen antrifibrinolitik yang tersedia, aprotinin menjadi pilihan yang paling efektif dalam
mengurangi kehilangan darah. Tetapi, aprotinin ditarik dari pasaran karena meningkatnya
mortalitas, stroke, dan gagal ginjal. Hal ini diikuti dengan kontroversi di seluruh dunia dan
masuknya kembali aprotinin ke beberapa negara, meskipun penggunaannya dibatasi. Panduan
dari Society of Thoracic Surgeons menyarankan penggunaan agen antrifibrinolitik (hanya analog
lisin) sebagai metode mengurangi kehilangan darah perioperatif pada operasi jantung.

Desmopressin

Desmopressin (DDAVP) menyebabkan pelepasan FVIII dan faktor von Willebrand dari sel endotel
dan digunakan untuk terapi dan mencegah perdarahan pada pasien von Willebrand’s disease tipe
I yang ringan atau pada hemofilia A. obat ini dapat mengurangi perdarahan pada pasien dengan
uremia dan disfungsi platelet akibat gagal ginjal. Dosis standar yang digunakan adalah 0,3
mikrogram/kgBB IV atau SC. Waktu perdarahan memendek setelah 60 menit pemberian dan
efeknya bertahan sampai 24 jam. Pemberian DDAVP perioperatif pada pasien dewasa yang
menjalani operasi jantung yang memerlukan CPB dalam menunjukkan pengurangan yang kecil,
namun signifikan, terhadap perdarahan perioperatif. Tetapi, hasil penelitian yang ada inkonsisten
dan sulit diulang. Disfungsi platelet selama operasi jantung dapat disebabkan oleh terapi
antiplatelet, uremia, proses patologis seperti von Willebrand’s disease, stenosis aorta, dan
paparan dalam jangka waktu lama terhadap CPB. Ada beberapa kelompok pasien yang mungkin
mendapat manfaat dari DDAVP terhadap perdarahan postoperatif dan kebutuhan transfusi;
selain kelompok tersebut, tidak ada bukti yang mendukung penggunaan DDAVP secara rutin
pada operasi jantung. Studi RCT multicenter yang membandingkan DDAVP dan asam
traneksamat pada pasien dengan perdarahan pasca operasi jantung tidak menunjukkan hasil
yang memuaskan.

Recombinant activated FVII

Indikasi utama untuk penggunaan rFVIIa adalah profilaksis perioperatif dan terapi perdarahan
pada pasien hemofilia A atau B dengan inhibitor, di mana terapi pengganti dengan faktor yang
menunjukkan defisiensi tidak mungkin dilakukan atau tidak diindikasikan. Terapi ini juga
diindikasikan pada pasien dengan hemofilia yang didapat, defisiensi FVII kongenital, atau
glanzmann’s thrombasthenia yang dihubungkan dengan transfusi platelet yang refrakter. Pada
perdarahan yang refrakter dan tidak merespons terapi konvensional selama operasi jantung,
penggunaan off-label rFVIIa dapat menjadi penyelamat. Dalam sebuah systematic review
mengenai penggunaan rFVIIa off-label, Yank dkk. tidak menemukan penurunan mortalitas, tetapi
menemukan peningkatan risiko tromboemboli. Tetapi, kebutuhan transfusi RBC mungkin dapat
dikurangi.

Ringkasan mengenai manajemen darah pasien

Pendekatan yang komprehensif terhadap PBM menunjukkan perbaikan luaran. Moskowitz dkk.
membandingkan strategi konservasi darah melalui cohort. Angka mortalitas (0,8% berbanding
2,5%) dan komplikasi yang serius lebih rendah melalui konservasi darah. Luaran yang lebih baik
disebabkan oleh berbagai faktor, tidak saja karena berkurangnya kebutuhan transfusi. Blood
Office, Ontario Ministry of Health dan Long-term Care mendirikan program Ontario Transfussion
Coordinators pada 2002. kebutuhan transfusi berkurang secara signifikan sejalan dengan
program ini. Untuk CABG, pada 2002, 60,2% pasien mendapat transfusi. Pada 2011, angka ini
menurun hingga 25,2%. hal ini menunjukkan bahwa pendekatan multidisiplin dalam bidang
konservasi darah dapat dilakukan dan diimplementasikan dalam skala yang lebih luas. Gross dkk.
juga meneliti efek program PBM terhadap operasi jantung di lembaga mereka. Penurunan
kebutuhan terhadap darah dan produk darah yang signifikan tanpa peningkatan mortalitas dan
angka kejadian CVD telah dilaporkan. Gangguan ginjal, waktu perawatan di RS, dan biaya yang
dikeluarkan berkurang seiring implementasi PBM. Menggunakan PBM, saat ini telah
dimungkinkan untuk melakukan operasi jantung pada pasien Jehovah Witnesses dengan hasil
yang baik.

PBM harus dipandang sebagai standar dalam terapi pengobatan modern. Sayangnya, hanya
sedikit terjemahan mengenai panduan PBM yang tersedia dalam praktek klinis di seluruh dunia.
Tabel 1 menunjukkan beberapa penyebab oleh tidak diterapkannya program PBM. Tantangan
yang lebih besar datang dari perlunya pendidikan yang meluas bagi penyedia layanan kesehatan
untuk mengatasi kesenjangan dalam pelaksanaan transfusi darah. National Blood Authority of
Australia telah mengembangkan 6 modul panduan PBM, di mana modul 2 membahas PBM
perioperatif. Sumber referensi yang baik juga meliputi panduan manajemen darah perioperatif
dari American Society of Anesthesiologists.

Kesimpulan

Anemia diketahui sebagai faktor risiko terhadap luaran yang buruk pada pasien yang menjalani
operasi jantung.

Pasien harus mendapat terapi terhadap penyebab anemia sambil meningkatkan eritropoiesis
sebelum operasi. Anemia preoperatif yang tidak ditangani dianggap substandar secara klinis.
Anemia preoperatif harus dianggap sebagai kontraindikasi terhadap operasi elektif yang besar.
Banyak dokter mempercayai (dengan salah) bahwa transfusi darah alogenik adalah solusi dari
segala masalah anemia. Kebiasaan untuk memberikan transfusi darah tanpa pemilahan lebih
lanjut tidak didukung oleh bukti-bukti terbaru. Kombinasi anemia dan transfusi darah membawa
risiko yang lebih tinggi dibandingkan paparan terhadap anemia atau transfusi darah saja.

Anemia perioperatif yang cukup parah hingga menimbulkan hipoksia dan disfungsi organ harus
diterapi menggunakan transfusi darah. Keputusan untuk transfusi harus berdasarkan panduan
dan algoritma yang sesuai dengan konteks pasien yang diterapi. Panduan tatalaksana harus
dikembangkan secara khusus bagi pasien yang menjalani operasi jantung. Bukti-bukti yang ada
mendukung manfaat program PBM untuk terapi anemia, menghindari kebutuhan transfusi darah
alogenik, dan memperbaiki luaran pasien.

Anda mungkin juga menyukai