Anda di halaman 1dari 23

Referat

Gangguan Fugsi Kognitif Post Trauma Capitis

Disusun Oleh :
Muhammad Fawwazi Multazam 04084821921100

Pembimbing :
dr. Yusril, Sp.S.

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF (NEUROLOGI)


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2019

i
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
Gangguan Fugsi Kognitif Post Trauma Capitis

Disusun Oleh :
Muhammad Fawwazi Multazam 04084821921100

Pembimbing :
dr. Yusril, Sp.S.

Telah diterima sebagai salah satu syarat kepaniteraan klinik senior periode 20 Mei-
24 Juni 2019 di Bagian Ilmu Penyakit Saraf (Neurologi) Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya/RSUP Dr.Mohammad Hoesin Palembang.

Palembang, Juni 2019


Pembimbing

dr. Yusril, Sp.S.

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul “Gangguan Fungsi Kognitif Post Trauma Capitis”. Referat
ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian
Neurologi RSMH Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Yusril, Sp.S. selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan
referat ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya referat ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa
yang akan datang. Semoga referat ini dapat memberi manfaat bagi yang
membacanya.

Palembang, Juni 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................... 3
KESIMPULAN..................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 25

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Trauma kapitis merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak,
dewasa, dan usia produktif. Trauma kapitis dapat menyebabkan berbagai sekuele jangka
pendek maupun jangka panjang meliputi gangguan kognitif, behavioral dan keterbatasan fisik.
Trauma kapitis (Traumatic brain injury) didefinisikan sebagai perubahan fungsi otak,
atau patologis otak lainnya, yang disebabkan karena kekuatan mekanik eksternal.
Di Amerika Serikat trauma kapitis mengenai hampir 1,6 juta orang setiap tahunnya, dan
290.000 dari mereka membutuhkan rawat inap. Dari keseluruhannya, 50.000 orang meninggal
dan 125.000 orang mengalami kecacatan. Insiden puncak trauma kapitis adalah usia sangat
muda (0-4 tahun), dewasa muda (15-19 tahun), dan orang tua (>75 tahun), dan lebih banyak
terjadi pada pria daripada wanita.
Di Indonesia data epidemiologi secara nasional belum ada. Di ruang rawat neurologi
RSCM Jakarta, dari tahun ke tahun terdapat peningkatan.
Kebanyakan pasien yang mengalami trauma kapitis ringan atau sedang pulih setelah
beberapa minggu sampai dengan bulan tanpa terapi spesifik. Akan tetapi, sekelompok pasien
akan terus mengalami gejala kecacatan setelah periode ini, yang mengganggu pekerjaan atau
aktivitas sosial.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cedera Kepala


2.1.1 Definisi
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak,
robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan
neurologis.
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2006), cedera kepala merupakan
kerusakan yang disebabkan oleh serangan ataupun benturan fisik dari luar, yang dapat
mengubah kesadaran yang dapat menimbulkan kerusakan fungsi kognitif maupun fungsi fisik.
Cedera kepala merupakan suatu trauma atau ruda paksa yang mengenai struktur kepala yang
dapat menimbulkan gangguan fungsional jaringan otak atau menimbulkan kelainan struktural

2.1.2 Epidemiologi
Insidensi cedera kepala di seluruh dunia cenderung untuk terus meningkat. Kejadian ini
berhubungan dengan meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor yang terlihat jelas pada
negara-negara yang berpendapatan rendah dan menengah (Roozenbeek, Maas, dan Menon,
2013). Menurut WHO, kejadian cedera kepala akan melebihi kejadian berbagai penyakit
lainnya dalam menyebabkan kematian dan kecacatan pada tahun 2020. Beban akibat cedera
kepala ini terutama tampak jelas pada negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.
Sebab, di negara-negara ini terdapat banyak faktor risiko yang dapat mendorong terjadinya
cedera kepala. Hal ini semakin diperparah oleh ketidaksiapannya sistem kesehatan di negara-
negara tersebut (Hyder, dkk, 2007).
Di Indonesia, penelitian mengenai insidensi cedera kepala masih sangat minim sehingga angka
kejadian cedera kepala di Indonesia masih belum dapat ditentukan.Di RSUP Haji Adam Malik
Medan tercatat sekitar 1.627 kasus cedera kepala terjadi pada tahun 2010 (Indharty, 2012). Di
RSUD dr. Pirngadi Medan dijumpai 1.095 kasus cedera kepala pada tahun 2002 dengan jumlah
kematian 92 orang (Nasution, 2010).

2
2.1.3 Perdarahan Intrakranial.
Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura mater. Perdarahan epidural
di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran
(biasanya somnolen) yang membaik setelah beberapa hari.

Gambar. Perdarahan epidural yang terjadi pada lobus frontalis kanan.

Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang biasanya
meliputi perdarahan vena.

Gambar 2.4. Perdarahan subdural dengan pergeseran garis sutura.


Perdarahan Subaraknoid
3
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga otak dan lapisan otak yaitu yang
dikenal sebagai ruang subaraknoid

Gambar. Perdarahan subaraknoid : A. darah mengisi sisterna suprasellar; B. darah mengisi


sisterna shylvii

Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak. Perdarahan
intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral.

Gambar. Perdarahan intraparenkim disertai dengan perdarahan intraventrikular.

4
Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak. Di mana terjadi
penumpukan darah pada sebelah otak yang sejajar dengan hentaman, ini dikenali sebagai
counter coup phenomenon.

2.1.4 Etiologi
Menurut Hyder, dkk (2007), penyebab cedera kepala yang paling sering dialami di
seluruh dunia adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Sekitar 60% dari kasus cedera kepala
merupakan akibat dari kelalaian dalam berlalu lintas, 20 sampai 30% kasus disebabkan oleh
jatuh, 10% disebabkan oleh kekerasan, dan sisanya disebabkan oleh perlukaan yang terjadi di
rumah maupun tempat kerja.
Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu :
1. Trauma Primer, terjadi akibat trauma pada kepala secara langsung maupun tidak langsung
(akselerasi dan deselerasi).
2. Trauma Sekunder, terjadi akibat trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi
intracranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.

2.1.5 Mekanisme
Berdasarkan Advenced Trauma Life Support (ATLS) tahun 2004, klasifikasi
berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi menjadi:
1) Cedera kepala tumpul, biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh
ataupun terkena pukulan benda tumpul.
2) Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan oleh luka tusukan, atau luka tembak.

2.1.6 Morfologi
Berdasarkan morfologinya, cedera kepala dapat dibagi menjadi:
1. Fraktur Kranium
Fraktur kranium diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya, dibedakan menjadi
fraktur calvaria dan fraktur basis cranii. Berdasarkan keadaan lukanya, dibedakan menjadi
fraktur terbuka yaitu fraktur dengan luka tampak telah menembus duramater, dan fraktur
tertutup yaitu fraktur dengan fragmen tengkorak yang masih intak.

2. Perdarahan Epidural
Hematom epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Biasanya terletak di
5
area temporal atau temporo parietal yang disebabkan oleh robeknya arteri meningea media
akibat fraktur tulang tengkorak.

3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Robeknya vena-
vena kecil di permukaan korteks cerebri merupakan penyebab dari perdarahan subdural.
Perdarahan ini biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak, dan kerusakan otak
lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan perdarahan
Epidural.

4. Contusio dan perdarahan intraserebral


Contusio atau luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana
pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak
rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi
apabila otak menekan tengkorak. Contusio cerebri sering terjadi di lobus frontal dan lobus
temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Contusio cerebri dapat
terjadi dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intraserebral yang
membutuhkan tindakan operasi.

5. Commotio cerebri
Commusio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan yang berlangsung
kurang dari 10 menit setelah trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak.
Pasien mungkin akan mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan pucat.

6. Fraktur basis cranii


Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan fraktur
pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang
menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari.
Dapat tampak amnesia retrogade dan amnesia pascatraumatik.

2.1.7 Klasifikasi
Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan
Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974.
GCS yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan
kelainan neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye
opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons).
6
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS yaitu:
1. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan berdasarkan
CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat di rumah sakit < 48
jam.
2. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada CT scan
otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial, dirawat di rumah sakit
setidaknya 48 jam.
3. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma, score GCS
< 9 (George, 2009).

2.1.8 Patogenesis
Mekanisme cedera kepala dapat berlangsung peristiwa coup dan contrecoup. Lesi
coup merupakan lesi yang diakibatkan adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah
disekitarnya. Lesi contrecoup merupakan lesi di daerah yang letaknya berlawanan dengan
lokasi benturan. Akselerasi - deselerasi terjadi akibat kepala bergerak dan berhenti
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak dan
otak menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dari benturan.
Mekanisme utama pada cedera kepala ringan adalah shear strain. Kekuatan
rotasional dapat timbul sekalipun pada kecelakaan yang dianggap tidak berarti dan tidak
perlu adanya cedera coup dan contrecoup yang jelas. Hal ini menimbulkan regangan
pada akson-akson dengan akibat gangguan konduksi dan hilangnya fungsi. Perubahan-
perubahan tersebut diatas dikenal sebagai Diffuse Axonal Injury.

2.1.9 Manifestasi Klinis


Menurut Reisner (2009), gejala klinis cedera kepala yang dapat membantu
mendiagnosis adalah battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas
os mastoid), hemotipanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga),
periorbital ekhimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung), rhinorrhoe (cairan
serebrospinal keluar dari hidung), otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga).
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala ringan adalah pasien tertidur
atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh, sakit kepala
yang menetap atau berkepanjangan, mual dan atau muntah, gangguan tidur dan nafsu
makan yang menurun, perubahan kepribadian diri, letargik. Tanda–tanda atau gejala
klinis untuk yang cedera kepala berat adalah perubahan ukuran pupil (anisocoria),

7
trias Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan) apabila
meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal
ekstremitas.

2.1.10 Pemeriksaan Fisik


Komponen utama pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala sebagai
berikut:
1. Bukti eksternal trauma: laserasi dan memar.
2. Tanda fraktur basis cranii: hematom periorbital bilateral, hematom pada mastoid
(tanda Battle), hematom subkonjungtiva (darah di bawah konjungtiva tanpa
adanya batas posterior, yang menunjukkan darah dari orbita yang mengalir ke
depan), keluarnya cairan serebrospinal dari hidung atau telinga (cairan jernih
tidak berwarna, positif mengandung glukosa), perdarahan dari telinga.
3. Tingkat kesadaran (GCS)
4. Pemeriksaan neurologis menyeluruh, terutama reflek pupil, untuk melihat tanda–
tanda ancaman herniasi tentorial.

2.1.11 Pemeriksaan Penunjang


Radiografi kranium: untuk mencari adanya fraktur, jika pasien mengalami
gangguan kesadaran sementara atau persisten setelah cedera, adanya tanda fisik
eksternal yang menunjukkan fraktur pada basis cranii fraktur fasialis, atau tanda
neurologis fokal lainnya. Fraktur kranium pada regio temporoparietal pada pasien
yang tidak sadar menunjukkan kemungkinan hematom ekstradural, yang disebabkan
oleh robekan arteri meningea media.
CT scan kranial: segera dilakukan jika terjadi penurunan tingkat kesadaran atau
jika terdapat fraktur kranium yang disertai kebingungan, kejang, atau tanda neurologis
fokal. CT scan dapat digunakan untuk melihat letak lesi, dan kemungkinan komplikasi
jangka pendek seperti hematom epidural dan hematom subdural.

2.1.12 Diagnosis
Diagnosis cedera kepala didapatkan dengan anamnesis yang rinci untuk
mengetahui adanya riwayat cedera kepala serta mekanisme cedera kepala, gejala
klinis dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis informasi penting yang harus
ditanyakan adalah mekanismenya. Pemeriksaan fisik meliputi tanda vital dan sistem
organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat penting untuk
menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis, selain pemeriksaan
8
GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi batang otak, saraf
kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan reflek.

2.1.13 Tatalaksana
Secara umum, pasien dengan cedera kepala harusnya dirawat di rumah sakit untuk
observasi. Pasien harus dirawat jika terdapat penurunan tingkat kesadaran, fraktur
kranium dan tanda neurologis fokal. Cedera kepala ringan dapat ditangani hanya dengan
observasi neurologis dan membersihkan atau menjahit luka / laserasi kulit kepala. Untuk
cedera kepala berat, tatalaksana spesialis bedah saraf sangat diperlukan setelah resusitasi
dilakukan.
Aspek spesifik terapi cedera kepala dibagi menjadi dua kategori:
1. Bedah
a. Intrakranial: evakuasi bedah saraf segera pada hematom yang mendesak
ruang.
b. Ekstrakranial: inspeksi untuk komponen fraktur kranium yang menekan pada
laserasi kulit kepala. Jika ada, maka hal ini membutuhkan terapi bedah segera
dengan debridement luka dan menaikkan fragmen tulang untuk mencegah
infeksi lanjut pada meningen dan otak.

2. Medikamentosa
a. Bolus manitol (20%, 100 ml) intravena jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial. Hal ini dibutuhkan pada tindakan darurat sebelum evakuasi
hematom intrakranial pada pasien dengan penurunan kesadaran.
b. Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis cranii.
c. Antikonvulsan untuk kejang.
d. Sedatif dan obat-obat narkotik dikontraindikasikan, karena dapat
memperburuk penurunan kesadaran.

2.1.14 Komplikasi
Komplikasi akibat cedera kepala:
1. Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala berat dapat
mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia, hemiparesis, palsi saraf
cranial) maupun mental (gangguan kognitif, perubahan kepribadian). Sejumlah
kecil pasien akan tetap dalam status vegetatif.

9
2. Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan antara rongga subarachnoid dan
telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis cranii hanya kecil dan
tertutup jaringan otak maka hal ini tidak akan terjadi. Eksplorasi bedah diperlukan
bila terjadi kebocoran cairan serebrospinal persisten.

3. Epilepsi pascatrauma: terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal
(pada minggu pertama setelah cedera), amnesia pascatrauma yang lama, fraktur
depresi kranium dan hematom intrakranial.

4. Hematom subdural kronik.

5. Sindrom pasca concusio : nyeri kepala, vertigo dan gangguan konsentrasi dapat
menetap bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat cedera
vestibular (konkusi labirintin).

2.2. Fungsi Kognitif


Fungsi kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar, seperti
berpikir, mengingat, belajar dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif terdiri dari
kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, serta kemampuan
eksekutif seperti merencanakan, menilai, mengawasi dan melakukan evaluasi.
Domain fungsi kognitif terdiri dari atensi, bahasa, memori, visospasial dan fungsi
eksekutif.
a. Atensi
Atensi merupakan kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu
stimulus dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak dibutuhkan.
Atensi merupakan hubungan antara batang otak, aktivitas limbic dan korteks
sehingga seseorang mampu untuk focus pada stimulus spesifik dan mengabaikan
stimulus lain yang tidak relevan.
b. Bahasa
Fungsi bahasa meliputi 4 parameter yaitu:
- Kelancaran
- Pemahaman
- Pengulangan
- Penamaan

10
c. Memori
Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan penyediaan informasi,
penyimpanan serta proses mengingat. Fungsi memori dibagi dalam tiga tindakan
bergantung pada lamanya rentang waktu antara stimulus dengan recall, yaitu:
- Memori segera (immediate memory) yaitu rentang waktu antara stimulus dengan
recall hanya beberapa detik dan hanya dibutuhkan pemusatan perhatian untuk
mengingat.
- Memori baru (recent memory) yaitu rentang waktu lebih lama beberapa menit,
jam, bulan bahkan tahun.
- Memori lama (remote memory) yaitu rentang waktunya bertahun-tahun bahkan
sesusia hidup.
d. Visuospasial
Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan konstruksional seperti
menggambar atau meniru berbagai macam gambar (missal: lingkaran, kubus) dan
menyusun balok-balok.
e. Fungsi eksekutif
Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir dan
kemampuan pemecahan masalah. Fungsi ini berhubungan dengan korteks
prefrontal dorsolateral dan struktur subkortikal. Fungsi eksekutif terganggu bila
sirkuit frontal-subkortikal terputus. Ada 4 komponen dalam fungsi eksekutif yaitu
volition (kemauan), planning (perencanaan), purposive action (bertujuan),
effective performance (pelaksanaan yang efektif).

Tes Untuk Menilai Fungsi Kognitif


Penilaian fungsi kognitif umumnya digunakan dalam screening gangguan
fungsi kognitif, menilai derajat keparahan dari gangguan fungsi kognitif dan atau
memantau perjalanan penyakitnya.
Ada banyak instrumen yang dapat digunakan dalam menilai fungsi kognitif.
Instrumen-instrumen ini bervariasi dalam hal waktu pemeriksaan. Beberapa
diantaranya dapat dilakukan dalam waktu singkat (kurang dari 1 menit) dan yang
lain merupakan suatu penilaian neurofisiologi formal yang dapat memakan waktu
hingga beberapa jam.
Mild Cognitive Impairment (MCI) merupakan fenomena yang sering dijumpai dan
berbeda dengan demensia. Keluhan dari MCI yang utama adalah gangguan fungsi
memori.

11
1. Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah tes yang paling sering dipakai
saat ini. Penilaian dengan nilai maksimal 30, cukup baik dalam mendeteksi
gangguan kognitif, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognitif
dalam kurun waktu tertentu. Skor MMSE normal 24 – 30. Bila skor kurang dari 24
mengindikasikan gangguan fungsi kognitif. Pemeriksaan Mini Mental State
Examination (MMSE) ini awalnya dikembangkan untuk screening demensia,
namun sekarang digunakan secara luas untuk pengukuran fungsi kogntif secara
umum.
2. Mini-Cog merupakan suatu cara dalam screening untuk ada atau tidaknya suatu
gangguan kognitif pada orang dewasa. Mini-Cog dilakukan dengan cara meminta
pasien untuk mengulang 3 kata yang berbeda dan tidak berhubungan satu sama lain
seperti “kapten”, “kebun” dan “gambar”. Perintah dapat diulang 3 kali. Selanjutnya
dilakukan pemeriksaan CDT dimana pasien diminta untuk menggambar jam mulai
dari lingkaran, angka dan jarum jam yang menunjukkan waktu tertentu (11:10).
Penilaian CDT adalah 2 untuk gambar yang utuh dan benar dan 0 untuk gambar
yang tidak lengkap atau salah atau pada pasien yang menolak untuk menggambar.
Kemudian minta pasien untuk mengulangi kata-kata yang sudah disebutkan
sebelumnya. Skor 1 untuk setiap kata yang dapat diulang pasien. Skor untuk
penilaian hasilnya adalah sebagai berikut:
- Mampu mengulang 3 kata dengan benar dikatakan negative screen for cognitive
impairment.
- Mampu mengulang 1-2 kata dengan benar dan CDT yang normal (2) dikatakan
negative screen for cognitive impairment.
- Mampu mengulang 1-2 kata dengan benar CDT yang abnormal (0) dikatakan
positive screen for cognitive impairment.
- Sama sekali tidak mampu mengulang kata dikatakan positive screen for cognitive
impairment.

2.2 Gangguan Kognitif Post Trauma Capitis

Gangguan kognitif merupakan sekuele yang sering setelah terjadinya trauma


kapitis, yang dapat berakibat pada kesulitan atensi, memori episodik, fungsi eksekutif,
working memori, kecepatan mengolah informasi, fungsi bahasa, dan visuospasial.
Prevalensi gangguan kognisi setelah cedera kepala adalah 25-70%. Segera setelah
cedera kepala, dapat terjadi penurunan kesadaran diikuti berbagai derajat gangguan
kognisi seperti konfusi, disorientasi, amnesia anterograde dan retrograde. Delirium

12
pasca trauma ini dapat berlangsung dari beberapa hari sampai satu bulan. Sekitar 6-12
bulan, fungsi kognisi kembali pulih , diikuti fase plateau 12-24 bulan pasca trauma.
Pada beberapa kasus defisit kognisi yang permanen dapat terjadi, meliputi gangguan
atensi, konsentrasi, memori, bahasa, fungsi eksekutif, dan berkurangnya kecepatan
memproses informasi.
Penelitian jangka panjang menunjukkan bahwa pada sebagian pasien, fungsi
kognisi terus memburuk atau membaik pada tahun-tahun berikutnya setelah trauma.
Karena mekanisme akselerasi deselerasi yang sering merusak daerah ventral dn lateral
dari lobus frontal dan temporal, sekuele yang paling sering terjadi adalah defisit atensi
dan memori, kesulitan belajar informasi baru, memecahkan masalah, dan perencanaan.
Memori jangka panjang pada umumnya tetap baik, tetapi beberapa pasien tetap
mengalami kesulitan belajar hal baru dan menyimpan informasi baru. Working memory
seringkali terganggu termasuk pada tahap encoding, penyimpangan, dan retrieval.
Banyak pasien mengalami sindrom amnesia, lebih sering terjadi pada mereka yang
mengalami periode hipoksia dan anoksia. Fungsi eksekutif juga dapat terganggu, dan
berhubungan dengan kerusakan lobus frontal. Pada kasus dengan cedera frontal yang
berat, pasien dapat menjadi malas, tidak ada inisiatif (cedera frontal medial atau lateral),
atau menunjukkan ketidaksesuaian perilaku dan impulsif.
Masalah belajar dan memori adalah masalah tersering pada pasien dengan
cedera kepala (56,5%). Masalah yang lebih jarang adalah kesulitan orientasi, persepsi
visual, praksis, dan bahasa (16,5%). Lambat memproses informasi didapatkan pada
34,1% pasien trauma kapitis.Gangguan kognitif pasca trauma kepala terjadi berbeda-
beda pada masing-masing pasien. Mayoritas pasien dengan trauma kepala ringan
mengalami pemulihan tanpa komplikasi, dan dapat kembali ke aktivitas normal.
Sebaliknya, mayoritas pasien dengan trauma kapitis sedang dan berat mengalami
sekuele dan keterbatasan. Keluaran klinik tergantung dari derajat kerusakan otak,
ukuran dari lesi, durasi hilangnya kesadaran, dan amnesia pasca trauma. Keparahan
cedera otak biasanya berhubungan dengan berkembangnya gangguan kognitif.

Post Traumatic Amnesia


Post Traumatic Amnesia adalah suatu gangguan pada memori episodic yang
digambarkan sebagai ketidakmampuan pasien untuk menyimpan informasi kejadian
yang terjadi dalam konteks temporospasial yang spesifik. Memori dan new learning
melibatkan korteks serebral, proyeksi subkortikal, hipokampus, dan diensefalon,
terutama bagian medial dari dorsomedial dan adjacent midline nuclei of thalamus.
Sebagai tambahan, lesi pada lobus frontalis juga dapat menyebabkan perubahan pada
13
behavior. Amnesia retrograde adalah hilangnya kemampuan secara total atau parsial
untuk mengingat kejadian yang telah terjadi dalam jangka waktu sesaat sebelum trauma
kapitis. Amnesia anterograde adalah suatu defisit dalam membentuk memori baru
setelah kecelakaan, yang menyebabkan penurunan atensi dan persepsi yang tidak
akurat. Memori anterograde merupakan fungsi terakhir yang paling sering kembali
setelah sembuh dari hilangnya kesadaran.

Neurobehavioral Rating Scale


Neurobehavioral Rating Scale pada awalnya dikembangkan untuk memeriksa
perubahan behavior akibat trauma. Berdasarkan suatu wawancara yang berstruktur
yang menitikberatkan pada laporan pasien sendiri mengenai gejala, self appraisal,
planning, dan beberapa aspek tertentu dari fungsi kognitif, meliputi orientasi, memori,
reasoning, dan atensi.

Skala Fungsi Kognitif The Rancho Los Amigos


Skala ini digunakan secara luas untuk menilai fungsi kognisi pada pasien pasca
cedera kepala untuk menilai kemungkinan rehabilitasi manajemennya.
I. Tidak berespon
Tidak ada respon terhadap suara, cahaya, sentuhan, atau gerakan
II. Respon Umum
- Mulai merespon suara, cahaya, sentuhan, atau gerakan
- Respon lambat, inkonsisten, atau terlambat
- Respon sama untuk setiap yang didengar, dilihat, atau dirasakan. Respon dapat
berupa mengunyah, berkeringat, bernafas lebih cepat, merintih, bergerak, atau
meningkatnya tekanan darah
III. Respon terlokalisasi
- Bangun on dan off sepanjang hari
- Lebih banyak gerakan daripada sebelumnya
- Bereaksi lebih spesifik terhadap apa yang dilihat, didengar, atau dirasakan.
Sebagai contoh, pasien dapat mengarah ke arah suara, menghindari nyeri, dan
berusaha melihat gerakan orang dalam ruangan
- Bereaksi lambat dan inkonsisten
- Mulai mengenal keluarga dan teman
- Mengikuti perintah sederhana seperti “Lihat saya” atau “goyangkan tangan
saya”

14
- Mulai berespon secara inkonsisten terhadap pertanyaan sederhana dengan
gerakan kepala “ya” atau “tidak”
IV. Confused-agitated
- Tampak bingung dan ketakutan
- Tidak mengerti apa yang dirasakan atau yang terjadi di sekitarnya
- Reaksi berlebihan terhadap yang dilihat, didengar, atau yang dirasakan,
berteriak menggunakan bahasa kasar
- Perlu diikat agar tidak melukai diri
- Menjadi sangat fokus pada kebutuhan dasarnya seperti makan, nyeri, kembali
ke tempat tidur, ke kamar mandi, atau pulang
- Dapat tidak mengerti bahwa orang-orang mencoba membantunya
- Tidak menaruh perhatian atau hanya dapat berkonsenterasi beberapa detik
- Kesulitan mengikuti perintah
- Kadang-kadang mengenali keluarga atau teman
- Dengan bantuan dapat melakukan aktivitas rutin sederhana seperti makan,
berpakaian, atau bicara
V. Confused-inappropriate, non-agitated
- Dapat menaruh perhatian beberapa menit
- Bingung dan sulit mengerti hal-hal di sekitar
- Tidak tahu tanggal, sedang dimana atau mengapa ada di rumah sakit
- Tidak mampu memulai atau menyelesaikan aktivitas harian, seperti menyikat
gigi
- Kelelahan bila ada terlalu banyak orang, memori buruk, mengingat kejadian
lampau dari sebelum kecelakaan lebih baik daripada informasi yang didapatkan
sejak cedera.
- Berusaha mengisi kekosongan memori dengan konfabulasi
- Tidak memiliki ide atau aktivitas (perseverasi)
- Fokus pada kebutuhan dasarnya seperti makan, nyeri, kembali ke tempat tidur,
ke kamar mandi, atau pulang
VI. Confused-appropriate
- Bingung karena masalah memori dan berpikir, mengingat poin utama dari
percakapan tetapi lupa detailnya. Contohnya ingat ada yang mengunjungi tadi
pagi tetapi lupa bicara tentang apa.
- Mengikuti jadwal dengan bantuan, tetapi menjadi bingung dengan perubahan
rutinitas
- Mengetahui bulan dan tahun, kecuali bila ada gangguan memori yang berat
15
- Dapat menaruh perhatian sampai 30 menit, tetapi sulit konsentrasi bila ribut atau
aktivitasnya memerlukan beberapa langkah
- Tahu kapan harus menggunakan kamar mandi
- Melakukan atau berkata sesuatu terlalu cepat, tanpa berpikir lebih dahulu
- Mengetahui mengapa mereka dirawat karena cedera, tetapi tidak mengerti
semua problem yang dimiliki
- Lebih waspada terhadap masalah fisik daripada masalah berpikir
- Menghubungkan masalah mereka dengan keberadaan mereka di rumah sakit
dan berpikir mereka akan membaik segera pulang ke rumah.
VII. Automatic-appropriate
- Mengikuti jadwal
- Dapat melakukan perawatan diri rutin tanpa bantuan, jika mampu secara fisik,
seperti berpakaian atau makan sendiri
- Bermasalah pada situasi baru atau menjadi frustrasi atau bertindak tanpa
berpikir dulu
- Bermasalah dalam perencanaan, memulai, dan mengikuti aktivitas
- Sulit menaruh perhatian pada keadaan yang penuh tekanan, seperti perkumpulan
keluarga, bekerja, sekolah, atau olahraga.
- Tidak menyadari bagaimana masalah berpikir dan memorinya dapat
mempengaruhi rencana dan tujuan masa depannya, sehingga mereka berharap
untuk kembali ke gaya hidup atau pekerjaan mereka sebelumnya
- Tetap memerlukan supervisi karena berkurangnya kewaspadaan dan judgement.
- Berpikir lambat pada keadaan penuh tekanan
- Tidak fleksibel atau kaku, dan keras kepala
VIII. Purposeful-appropriate
- Menyadari bahwa mereka memiliki masalah dengan berpikir dan memori
- Lebih fleksibel dan tidak kaku dalam pemikirannya
- Dapat dievaluasi untuk berkendaraan atau pelatihan kerja
- Dapat belajar hal baru tetapi lebih lambat
- Judgement buruk pada situasi baru dan mungkin membutuhkan bantuan
- Memerlukan bimbingan dalam mengambil keputusan
- Kesulitan berpikir yang mungkin tidak terlihat bila orang-orang tidak
mengetahui pasien tersebut sebelum cedera (Freire, 2011)

16
Prognosis
Memprediksi outcome jangka panjang segera saat pasien tiba di ruang gawat
darurat dapa dilakukan dengan menggunakan imaging atau tanpa imaging yaitu secara
klinis, untuk kepentingan komunikasi bagi dokter dan paramedis professional yang
menangani. Penilaian awal yang akurat diperlukan untuk menilai outcome. Umur, post
traumatic amnesia dan skor respon neurologi terburuk yang diperoleh segera setelah
trauma merupakan predictor terbaik dari kapasitas kognitif pasien sampai 24 jam
setelah trauma. Posttraumatic amnesia dipertimbangkan sebagai suatu marker yang
sensitive untuk tingkat keparahan trauma kapitis dan sebagai suatu predictor outcome
yang berguna. Salah satu metodologi untuk menilai posttraumatic amnesia adalah Test
Orientasi dan Amnesia Galveston. Kemampuan hidup sehari-hari yang dinilai dengan
instrument seperti Glasgow Outcome Scale (GOS) telah menunjukkan korelasi yang
baik dengan lamanya amnesia.

Terapi
Pertama dilakukan penilaian seberapa parah pasien terganggu kognitifnya
dengan melakukan anamnesis pada pasien dan keluarga, serta dilakukan pemeriksaan
neuropsikiatri. Dari hasil pemeriksaan tersebut ditentukan apakah pasien memerlukan
rehabilitasi.10
Gangguan kognitif dimanajemen melalui pendekatan multidisiplin yang
berfokus pada neurorehabilitasi. Defisit kognitif tertentu dapat membaik dengan terapi
okupasional, fisioterapi, terapi wicara, latihan vocal, rehabilitasi kognisi dan
farmakologis. Tujuan program rehabilitasi kognitif adalah untuk memulihkan
kemampuan individu untuk memproses, menginterpretasi, dan merespon input dari
lingkungan dengan baik.
Trauma kapitis berhubungan dengan berkurangnya aktivitas dopamine dan
keadaan hipokolinergik. Obat-obatan yang meningkatkan dopamine telah dilaporkan
memiliki efek positif pada berbagai domain fungsi kognitif. Metilfenidat meningkatkan
kecepatan proses kognitif dan mempertahankan atensi.

17
BAB III

KESIMPULAN

Disfungsi kandung kemih neurogenik dapat berhasil diobati untuk mencapai


tujuan dari kontinensi urin, pencegahan kerusakan ginjal akibat tekanan detrusor
kronis tinggi, dan meminimalkan risiko infeksi saluran kemih atau overdistension
kandung kemih. Program pelatihan multidisiplin kandung kemih komprehensif
yang terbaik dapat mencapai tujuan-tujuan ini dengan memanfaatkan pendidikan
pasien, instruksi dalam penggunaan / perawatan kateter, obat-obatan, dan / atau
prosedur bedah kandung kemih atau uretra. Pekerjaan eksperimental dalam
rerouting saraf lumbar ke sakral dan dalam pengobatan regeneratif termasuk
penggunaan sel punca untuk mengurangi atau membalikkan kerusakan medula
spinalis yang menghasilkan disfungsi neurogenik kandung kemih masih dalam
masa pertumbuhan, dan penelitian lebih lanjut akan diperlukan untuk melihat
apakah hasil yang menjanjikan dari beberapa studi percontohan kecil dikonfirmasi
dalam studi yang lebih besar, terkontrol dengan tindak lanjut jangka panjang.16

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Asrini S. Peranan Post Traumatic Amnesia (PTA) dan Parameter


Laboratorium sebagai Prediktor Terhadap outcome Pada Penderita Trauma
Kapitis Akut Ringan-Sedang. 2008. P.19-41.
2. Bazarian JJ, Zhong J, Blyth B. Diffusion tensor imaging detects clinically
important axonal damage after mild traumatic brain injury: a pilot study. J
Neurotrauma 2007 24:1447-1459.
3. Dikmen SS., et al. Cognitive Outcome Following Traumatic Brain Injury.
Journal of Head Trauma and Rehabilitation. 2009. 24(6). P. 430-8.
4. Freire FR, et al. Cognitive Rehabilitation Following Traumatic Brain Injury.
Dement Neuropshycology Journal. 2011. 5(1): 17-25.
5. Vaishnavi S, Rao V, Fann JR. Neuropsychiatric problems after traumatic
brain injury: unraveling the silent epidemic. Psychosomatics. 2009 May-
Jun;50(3):198-205.
6. Konrad C, Geburek AJ, Rist F, Blumenroth H, Fischer B, Husstedt I, Arolt
V, Schiffbauer H, Lohmann H. Long-term cognitive and emotional
consequences of mild traumatic brain injury. Psychol Med. 2010 Sep 22:1-
15.
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2006.
Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal.
Jakarta.
8. Gavett BE, Stern RA, Cantu RC, Nowinski CJ, McKee AC. Mild traumatic
brain injury: a risk factor for neurodegeneration. Alzheimers Res Ther. 2010
Jun 25;2(3):18.
9. Hahnel S, Stppich C, Weber I. Prevalence of cerebral micro-haemorrhages
in amateur boxers as detected by 3T MR imaging. 2008 Am J Neuroradiol
29:388-91.
10. Holmqvist KL., et al. Occupational Therapy Practice for Clients with
Cognitive Impairments following Acquired Brain Injury- Occupational
Therapists’ perspective. Orebro University. 2012. P.11-40.
11. Neurobehavioral Guidelines Working Group, Warden DL,cet al Guidelines
for the pharmacologic treatment of neurobehavioral sequelae of traumatic
brain injury. J Neurotrauma. 2006 Oct;23(10):1468-501.

19

Anda mungkin juga menyukai