PENDAHULUAN
Sebagian besar bayi baru lahir yang terlahir dari ibu yang bermasalah dalam arti
menderita suatu penyakit, tidak menunjukkan gejala sakit pada saat dilahirkan atau
beberapa waktu setelah lahir. Bukan berarti bayi baru lahir tersebut aman dari
gangguan akibat dari penyakit yang diderita ibu. Hal tersebut dapat menimbulkan
akibat yang merugikan bagi bayi baru lahir (BBL), dan dapat meningkatkan morbiditas
dan mortalitas bayi. Ibu bermasalah disini diartikan sebagai ibu yang menderita sakit,
sebelum, selama hamil, atau pada saat menghadapi proses persalinan.
Salah satu kelompok ibu yang bermasalah adalah ibu dengan HIV/AIDS
mengingat jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia meningkat sesuai dengan estimasi
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, setiap tahun terdapat 9000 ibu hamil HIV
positif yang melahirkan di Indonesia. Berarti jika tidak ada intervensi, diperkirakan
akan lahir sekitar 3000 bayi dengan HIV positif setiap tahunnya di Indonesia.
Upaya pemerintah untuk pencegahan transmisi HIV dari ibu beresiko ke anak yang
dilahirkan telah dilakukan diantaraya dalam strategi nasional 2007-2010 hal ini
menjadi prioritas utama, disamping upaya mensukseskan MDGs 2015. Upaya yang
telah dilakukan, diantaranya adalah asuhan persalinan normal, Safe Motherhood,
pelayanan obstetri neonatal esensial dasar dan komprehensif, awal sehat untuk hidup
sehat, manajemen terpadu balita sakit, dan manajemen bayi muda sakit karena kelainan
BBL sangat erat hubungannya dengan saat berada di dalam kandungan, maka
komunikasi yang erat diantara dokter anak, dokter obstetri dan dokter anestesi serta
bidan setempat sangatlah penting.
Bayi dari ibu hamil dengan HIV positif merupakan kondisi khusus, dimana sebisa
mungkin dilakukan pencegahan dan perawatan sejak dalam kandungan, saat
persalinan, hingga saat tumbuh kembang. Dalam laporan kasus ini, akan dibahas
mengenai manajemen bayi dengan HIV/AIDS yang lahir dari ibu HIV positif dengan
menitik beratkan pada pengendalian infeksi opurtunistik.
1
BAB II
ILUSTRASI KASUS
2.1 SKENARIO
Bayi Ny. G berusia 9 bulan dibawa ke RSUD Jakarta karena keluhan demam dan perut
semakin kembung sejak 3 hari SMRS, pasien juga batuk berdahak selama 2 bulan , muntah (+)1
kali, isi susu, darah tidak ada. Pasien mempunyai bercak dimulut ± 2 bulan, menurut
orangtua bercak putih tersebut akibat minum susu.BAK banyak, warna kuning jernih, tidak
menangis saat BAK. BAB 1x/hari, lunak, coklat, tidak ada darah atau lendir.
4 hari SMRS, pasien demam (suhu tidak diukur), demam tidak mendadak tinggi,tidak ada
kejang. Tidak menggigil. Perut pasien seperti kembung. Pasien selalu muntah setiap kali makan
dan minum. Pasien sebelumnya tidak habis dibawa berpergian keluar kota. Timbul
bintik-bintik merah, mimisan, gusi berdarah serta BAB hitam disangkal. DBD di lingkungan
sekitar (-).
1 bulan SMRS, pasien juga mengalami demam namun tidak mendadak tinggi, demam
hilang timbul. Demam tidak disertai kejang. Pasien saat itu juga batuk dan pilek. BAK banyak,
jernih, tidak nyeri. BAB 1x/hari, lunak, tidak ada darah atau lendir. Muntah tidak ada. Keluar
cairan dari telinga tidak ada.
Pasien belum pernah dirawat sebelumnya, namun menurut keluarga, pasien sering
sakit-sakitan sejak lahir, pasien sering demam dan batuk pilek. Pasien juga sering terbangun
saat malam hari dan rewel. Nafsu makan menurun, pasien hanya mau minum susu. Penurunan
berat badan tidak diketahui.
Riwayat diare lama, batuk lama disangkal. Sariawan di mulut disangkal. Riwayat
mimisan, gusi berdarah, BAB hitam disangkal. Benjolan di leher atau tubuh lainnya (-)
2.2 IDENTITAS
A. Pasien
Nama: An. JP
Umur: 9 bulan
Jenis kelamin: laki-laki
Alamat: Jakarta
Agama: Islam
Pendidikan: Belum Sekolah
2
B. Orang Tua Pasien
AYAH IBU
Penghasilan -
2.3 ANAMNESIS
Dilakukan alloanamnesis pada ibu pasien pada tanggal 21 april 2019 pada pukul 13.30
WIB, serta data sekunder data rekam medik.
A. Keluhan utama
Demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS)
Keluhan tambahan : Perut kembung
B. Riwayat Penyakit Sekarang
4 hari SMRS, pasien demam (suhu tidak diukur), demam tidak mendadak
tinggi,tidak ada kejang. Tidak menggigil. Perut pasien seperti kembung. Pasien
selalu muntah setiap kali makan dan minum. Pasien sebelumnya tidak habis
3
dibawa berpergian keluar kota. Timbul bintik-bintik merah, mimisan, gusi
berdarah serta BAB hitam disangkal. DBD di lingkungan sekitar (-).1 bulan
SMRS, pasien juga mengalami demam namun tidak mendadak tinggi, demam
hilang timbul. Demam tidak disertai kejang. Pasien saat itu juga batuk dan pilek.
BAK banyak, jernih, tidak nyeri. BAB 1x/hari, lunak, tidak ada darah atau
lendir. Muntah tidak ada. Keluar cairan dari telinga tidak ada.
Riwayat kontrol kehamilan & kesehatan ibu saat hamil teratur. Saat hamil
pasien, ibu kadang sakit-sakitan namun tidak berobat ke dokter. Pasien lahir
spontan (per vagina) ditolong oleh bidan di RS bersalin, cukup bulan, pasien
langsung menangis, dengan berat lahir 3,5 kg, panjang badan saat lahir lupa. Pasien
tidak biru,tidak kuning saat lahir.
E. Riwayat Imunisasi
Pasien tidak memperoleh imunisasi dasar yang lengkap
F. Riwayat Nutrisi
Sejak lahir pasien diberi ASI oleh ibunya hingga 2 minggu yang lalu ASI ibu tidak
keluar. Setelah itu pasien diberi minum susu formula (Bebelac) sehari 8 botol
4
(8x150cc), makanan padat sejak umur 6 bulan. Menurut ibu, berat badan pasien sempat
naik beberapa kilogram setelah tidak minum ASI.
Vital Sign
Status Gizi
5
2. Panjang badan : 62 cm
3. Lingkar kepala : 40 cm
Kepala/Leher
Thoraks
Inspeksi tampak simetris, ikut gerak napas, retraksi dinding dada tidak ada,
ictus cordis tidak terlihat, thrillt idak teraba. perkusi sonor pada kedua lapang
paru. Auskultasi suara napas vesikuler, tanpa ronchi dan wheezing. Bunyi
jantung I - II regular tanpa gallop dan murmur.
Abdomen
Inspeksi datar, tak tampak cembung. Auskultasi bisingusus tmeningkat.
Palpasi turgor kulit kembali lambat, hepar dan lien tidak teraba. Perkusi kembung
meteorismus dalam kondisi timpani.
Ekstrimitas
Akral hangat, edema tidak ada
6
2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Jenis
24/09/16 27/09/16
Pemeriksaan
ALB 1,9
AST 33,4
ALT 26,7
UREUM 4
CREA 1,16
DDR neg
b. Foto Rontgen
7
c. Skoring TB
Kontak TB :2
Uji tuberculin :0
Status gizi : 2 (Berhman <75%)
Demam ≥2minggu: 1
Batuk ≥ 3 minggu : 1
Pembesaran KGB : 0
Pembengkakan tulang : 0
Foto thoraks : 1 (sugesif TB)
Jumlah :7
2.6 DIAGNOSIS
8
BAB III
HIPOTESA AKHIR
(DIAGNOSIS)
9
BAB IV
MEKANISME DIAGNOSA
10
BAB V
PEMBAHASAN
Kasus AIDS pada anak dilaporkan pertama kali oleh CDC Amerika
pada tahun 1982. Dari tahun 1990 terjadi peningkatan kasus 2786 menjadi 3598
pada Februari 1992, dan pada Desember 2003. Data UNAIDS memperkirakan
di seluruh dunia terdapat 2,5 juta infeksi HIV pada anak usia kurang dari 15
tahun.1 Dari data tersebut, UNAIDS juga memperkirakan bahwa pada tahun
2010 akan terjadi peningkatan kematian anak HIV di daerah prevalensi infeksi
infeksi HIV tinggi, seperti sub Sahara Afrika.
Dengan meningkatnya kasus HIV/AIDS dewasa di Indonesia, maka
anak Indonesia juga memiliki risiko tinggi untuk terinfeksi. Akan tetapi, sampai
saat ini kasus yang teridentifikasi secara pasti belum banyak, sehingga besaran
masalahnya belum dapat ditentukan. Beberapa keadaan yang menimbulkan
kecurigaan terhadap infeksi HIV pada anak adalah adanya infeksi rekuren atau
infeksi biasa yang tidak sembuh dengan pengobatan biasa, dan dapat disertai
dengan malnutrisi serta gagal tumbuh. Bahkan, seringkali tanda dan gejala
infeksi oportunistik merupakan presentasi pertama dari gejala klinis HIV. AIDS
Related Illnes (ARI) juga dapat dipakai sebagai indikator untuk memulai terapi
dengan Anti Retro Viral (ARV).
Empat populasi utama pada kelopok usia pediatrik yang terkena HIV :
11
lebih dari 85% kasus AIDS pada anak-anak yang berusia kurang
dari 13 tahun.
12
seksual, parenteral dan kongenital, perinatal. Resiko tercemar HIV pada
Transfusi darah adalah 1: 225.000 unit transfusi. Skrining saat ini condong
kurang dilakukan, padahal penderita baru walau mengalami viremia,
menunjukkan sero negatif untuk 2 sampai 4 bulan atau 5-15%.
Kelainan atau gejala yang muncul biasanya tampak pada umur 1 tahun
(23 %) sampai dengan 4 tahun (40 %). Beberapa gejala klinik yang muncul
seperti failure to thrive, infeksi saluran nafas berulang, PCP (Pneumocystis
carinii Pneumonia), sinusitis, sepsis, moniliasis berulang, hepatosplenomegali,
febris yang tidak diketahui penyebabnya, ensefalopati (50%-90%) gejala ini
terjadi sebelum obat anti Retrovirus dipergunakan. Bayi yang terinfeksi tidak
dapat dikenali secara klinis sampai terjadi penyakit berat atau sampai masalah
kronis seperti diare, gagal tumbuh, atau kandidiasis oral memberi kesan
imunodefisiensi yang mendasari. Kebanyakan anak dengan infeksi HIV
terdiagnosis antara umur 2 bulan dan 3 tahun.
Pada umumnya diagnosa infeksi HIV pada anak ditegakkan atas dasar :
1. Tergolong dalam kelompok resiko tinggi.
2. Adanya infeksi oportunistik dengan atau tanpa keganasan
3. Adanya tanda-tanda defisiensi imun, seperti menurunnya CD4
4. Tidak didapatkan adanya penyebab lain dari defisiensi imun.
5. Terbukti adanya HIV baik secara serologi maupun kultur.
Pembuktian adanya HIV dapat dengan mencari antibodinya (IgG, IgM
maupun IgA) yang dapat dikerjakan dengan metoda ELISA maupun Western
Blot. Dapat pula dengan menentukan Antigen p-24 dengan metoda ELISA,
13
ataupun DNA –virus dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Pemeriksaan
ini tentunya mempunyai arti diagnostik yang lebih tinggi.
WHO telah menetapkan kriteria diagnosa AIDS pada anak. Seorang anak (<12
tahun) dianggap menderita AIDS bila :
1. Lebih dari 18 bulan, menunjukkan tes HIV positif, dan
sekurang-kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dengan 2 gejala
minor. Gejala-gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan-keadaan
lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.
2. Kurang dari 18 bulan, ditemukan 2 gejala mayor dan 2 gejala minor
dengan ibu yang HIV positif. Gejala-gejala ini bukan disebabkan
oleh keadaan-keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi
HIV.
Tabel 1. Definisi Klinis HIV pada anak di bawah 12 tahun (menurut
WHO).
Gejala Mayor :
a) Penurunan berat badan atau kegagalan pertumbuhan.
b) Diare kronik (lebih dari 1 bulan)
c) Demam yang berkepanjangan (lebih dari 1 bulan)
d) Infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang parah dan menetap
Gejala Minor :
a) Limfadenopati yang menyeluruh atau hepatosplenomegali
b) Kandidiasis mulut dan faring
c) Infeksi ringan yang berulang (otitis media, faringitis)
d) Batuk kronik (lebih dari 1 bulan)
e) Dermatitis yang menyelurh
f) Ensefalitis
14
2. VIRUS : HIV PCR DNA dari darah perifer pada waktu lahir, dan
umur 3-4 bulan. Bila umur 4 bulan hasil negatif bayi bebas HIV, bila
HIV PCV RNA positif BIHA positif terkena HIV. Pengujian
virologi pada awal kelahiran dapat dipertimbangkan untuk bayi yang
baru lahir beresiko tinggi infeksi HIV, contohnya seperti bayi yang
lahir dari ibu yang terinfeksi HIV yang tidak menerima perawatan
prenatal, ART prenatal, atau yang memiliki viral load HIV> 1.000
copies / mL mendekati ke waktu kelahiran. Sebanyak 30% -40%
dari bayi yang terinfeksi HIV dapat diidentifikasi dari usia 48 jam.
Sampel darah dari tali pusar tidak boleh digunakan untuk evaluasi
diagnostik karena kontaminasi dengan darah ibu. Definisi yang pasti
telah diusulkan untuk membedakan didapatkannya infeksi HIV
selama periode intrauterin atau dari periode intrapartum. Bayi yang
memiliki tes virologi positif pada atau sebelum usia 48 jam dianggap
memiliki infeksi awal (yaitu, intrauterin), sedangkan bayi yang
memiliki tes virologi negatif selama minggu pertama kehidupan dan
tes positif berikutnya dianggap memiliki infeksi setelahnya (yaitu,
intrapartum).
3. CD4 count rendah (normal 2500-3500/ml pada anak, Dewasa
700-1000/ml).
4. P24 Antigen test sudah kurang dipakai untuk diagnostik, karena
dipandang kurang sensitif terutama untuk bayi. Knuchel dkk
membandingkan sensitivitas tes tersebut antara DBS ( dried blood
spot ) dan plasma. Mereka menemukan bahwa tes tersebut
mempunyai spesifisitas 100% dan tidak ada perbedaan hasil secara
kuantitatif antara DBS dan plasma. Mereka juga membandingkan
hasil tes antigen p24 dengan viral load HIV dan menemukan
korelasi yang positif, tetapi koefisien korelasi tersebut rendah (r =
0,67). Sensitivitas tes HIV p24 dibandingkan dengan tes viral load
HIV adalah kurang lebih 90%. Hal ini berarti bahwa tes untuk
menskrining bayi yang terpajan HIV akan menghasilkan hampir
10% bayi yang salah didiagnosis sebagai tidak terinfeksi.
Penggunaan PCR HIV DNA-RNA memiliki sensitiitas 100% pada
plasma.
15
Jika pada tes konfirmasi antibodi HIV positif, maka pemeriksaan HIV
PCR DNA pada bayi harus dilakukan. Jika HIV PCR DNA pada bayi positif,
profilaksis ARV harus dihentikan dan bayi segera dirujuk ke spesialis HIV
pediatrik untuk konfirmasi diagnosis dan pengobatan infeksi HIV dengan terapi
kombinasi standar antiretroviral. Bayi yang terinfeksi HIV juga harus menerima
kemoprofilaksis terhadap PCP dengan trimetoprim-sulfametoksazol (TMP) oral
dimulai pada usia 4-6 minggu.
16
5. Pemantauan ketat tumbuh-kembang bayi dan balita dari ibu dengan
HIV positif, dan
6. Adanya dukungan yang tulus dan perhatian yang berkesinambungan
kepada ibu, bayi, dan keluarganya.
Dari paparan PMTCT diatas, cara kelahiran yang direkomendasikan
untuk meminimalkan paparan janin dan bayi terhadap cairan tubuh ibu adalah
seksio sesaria (SC) berencana sebelum saat persalinan tiba. Pada saat persalinan
pervaginam, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Bayi mungkin juga
terinfeksi karena menelan darah atau lendir jalan lahir tersebut (secara tidak
sengaja pada saat resusitasi). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa SC akan
menurunkan resiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 50-66%. Apabila SC
tidak bisa dilaksanakan, maka dianjurkan untuk tidak melakukan tindakan
invasif yang memungkinkan perlukaan pada bayi (forceps, vacuum ekstraksi)
dan perlukaan pada ibu (episiotomi). Pasien lahir secara pervaginam sehingga
kemungkinan terinfeksi HIV saat persalinan sangat dimungkinkan.
Pasien diberi ASI selama 9 bulan, seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya, penularan HIV-1 dapat terjadi dari konsumsi susu ASI dari
perempuan yang terinfeksi HIV. Di Amerika dan Kanada, dimana susu formula
bayi aman dan tersedia, seorang yang ibu terinfeksi harus disarankan untuk
tidak menyusui bahkan jika dia menerima ART (terapi anti Retrovirus).
Menghindari secara total untuk menyusui (dan susu sumbangan) oleh
perempuan yang terinfeksi HIV tetap menjadi satu-satunya mekanisme dimana
pencegahan penularan HIV melalui ASI dapat dipastikan.
Salah satu rekomendasi Konsesus Genewa pada Oktober 2006 adalah
“Ibu terinfeksi HIV dianjurkan menyusui eksklusif selama 3 bulan atau lebih
pendek kecuali jika pengganti ASI memenuhi AFASS sebelumnya, Bila
pengganti ASI mencapai AFASS, dianjurkan untuk tidak memberikan ASI”
yang mana hal ini menjadi Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dan
ibu ke bayi.
AFASS merupakan kepanjangan dari:
A : ACCEPTABLE : mudah diterima
A : AFFORDABLE : terjangkau
17
S : SUSTAINABLE : berkelanjutan
Mudah diterima berarti, tidak ada hambatan sosial budaya bagi ibu untuk
memberikan susu formula pada bayinya. Mudah dilakukan Ibu dan keluarga,
mereka mempunyai cukup waktu, pengetahuan, dan ketrampilan yang memadai
untuk menyiapkan dan memberikan susu formula kepada bayi. Harganya
terjangkau Ibu dan keluarga sehingga mereka mampu membeli susu formula.
Susu formula harus diberikan setiap hari dan malam selama usia bayi dan
diberikan dalam bentuk segar, serta suplai dan distribusi susu formula dijamin
keberadaannya artinya keberadaan susu formula tersebut berkelanjutan. Juga
tidak kalah penting Susu formula harus disimpan secara benar, higienis dan
kadar nutrisi cukup, disuapkan dengan tangan dan peralatan bersih, serta tidak
berdampak peningkatan penggunaan susu formula pada masyarakat (SPILL
OVER) yang berarti Save atau Aman.
Ibu dengan HIV positif dihadapkan pada dua pilihan sulit, menyusui
dengan belum mengerti tehnik menyusuinya sehingga ternjadi MTCT
(mother-to-child transmission), tidak menyusui dan tidak AFASS sehingga bayi
menjadi kurang gizi, diare, atau pneumonia. Konseling pemberian makan bayi
pada ibu HIV dapat membantu ibu HIV menentukan pilihan yang terbaik untuk
bayinya.
18
IgM yang rendah
Mixed breastfeeding
ASI eksklusif
Non-Nucleoside-Reserve
19
Transcriptase Inhibitor (NNRTI) Nevirapin
Pada pemberian pengobatan dengan antiretroviral sebagai indikator
pemakaian/ kemajuan sering dipakai perhitungan jumlah CD4 serta menghitung
beban viral (viral load).
20
Sesuai rekomendasi WHO dan CDC, sebelum pasien diijinkan KRS
sebaiknya dilakukan :
1. Pemeriksaan laboratorium darah tepi lengkap (Hb, leukosit, trombosit,
hitung jenis leukosit)
2. Imunisasi rutin kecuali BCG, bila terdapat tanda klinis defisiensi imun
berat tidak diberikan vaksin polio hidup.
21
BAB VI
KESIMPULAN
Saat ini pasien telah terinfeksi HIV/AIDS dengan stadium klinis 3 (Gejala
Berat) dengan gejala malnutrisi sedang yang tidak bisa dijelaskan, panas badan
persisten, kandidiasis oral persisten, infeksi paru yang terkait dengan infeksi HIV
kronis, serta anemia yang tidak dapat dijelaskan. Terapi yang telah diberikan adalah
terapi untuk mengatasi infeksi opurtinistik dengan ampisilin, cotrimoxazole, nistatin
oral drop, asam folat serta nebulisasi dengan combivent UDV dan melanjutkan ART.
Setelah dirawat 6 hari, klinis pasien mulai membaik.
Pada ibu HIV atau daerah dimana prevalensi HIV tinggi, maka proses kelahiran
disarankan dengan operasi sesar, dengan tujuan membiarkan lapisan amnion tetap intak
selama mungkin agar penularan HIV perinatal terhindar. Tidak ada tanda-tanda
spesifik HIV yang dapat ditemukan pada saat lahir. Bila terinfeksi pada saat
peripartum,tanda klinis dapat ditemukan pada umur 2-6 minggu setelah lahir. Tetapi tes
antibodi baru dapat dideteksi pada umur 18 bulan atau HIV PCR DNA sejak umur 1
hari sampai 6 bulan untuk menentukan status HIV bayi.
Ibu dengan HIV positif dihadapkan pada dua pilihan sulit, menyusui dengan
belum mengerti teknik menyusuinya sehingga ternjadi MTCT (mother-to-child
transmission), tidak menyusui dan tidak AFASS sehingga bayi menjadi kurang gizi,
diare, atau pneumonia. Konseling pemberian makan bayi pada ibu HIV dapat
membantu ibu HIV menentukan pilihan yang terbaik untuk bayinya
Manajemennya meliputi perawatan bayi seperti bayi yang lain, dengan
perhatian pada pencegahan infeksi dan cara pemberian minum; bayi tetap diberi
imunisasi rutin, kecuali terdapat tanda klinis defisiensi imun yang berat, jangan diberi
vaksin hidup. Pada waktu pulang diberikan Antiretrovirus profilaksis (tergantung
status pemberian antiretrovirus ibu), dan dilakukan pemeriksaan darah PCR
DNA/RNA pada umur 1, 2, 4, 6 dan 18 bulan. Bila pemeriksaan PCR DNA/RNA HIV
positif dua kali berturut selang satu bulan mulai diberikan pengobatan Anti Retrovirus
22
Daftar Pustaka
Bennett NJ. 2019. HIV Infection and AIDS Differential Diagnoses. Dikutip dari
https://emedicine.medscape.com/article/211316-differential pada tanggal 12 April
2019 pukul 21.51
Depkes RI. 2008. Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Anti Retroviral pada
Anak di Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Gita, Awal, Ali. 2013. Pendekatan Diagnostik dan Penatalaksanaan Pada Pasien
HIV-AIDS Secara Umum. Lampung : Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung, Bagian Penyakit Dalam.
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/download/848/pdf.
Diakses pada 13 Mei 2019.
23