Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH TENTANG JENIS KELAMIN DAN GENDER

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah swt karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis bisa menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul “Jenis Kelamin dan
Gender”. Makalah ini disusun sedemikian rupa sebagai tugas yang kelompok yang diberikan
oleh dosen pembimbing.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
membimbing penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisa makalah ini. Harapan
penulis sebagai penyusun makalah ini adalah semoga makalah ini dapat diterima dengan baik
oleh dosen pembimbing dan bermanfaat untuk semua pembaca.
Penulis menyadari bahwa penulisan dan penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik yang membangun dari para
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………...1
1.1. Latar Belakang…………………………………………………………...1
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………2
2.1. Perbedaan Jenis Kelamin dan Gender……………………………………2
2.2. Gender dan Sosialisasi…………………………………………………...3
2.3. Gender dan Stratifikasi…………………………………………………...5
2.4. Gender dan Kekuasaan…………………………………………………...7
2.5. Perbedaan gender dan lahirnya ketidakadilan……………………………8
2.6. Perspektif……………………………………………………………….10
BAB III PENUTUP…………………………………………………………….14
3.1. Kesimpulan……………………………………………………………..14
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………..……….15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Salah satu isu penting yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah
persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis
social, menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan social dan
juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan social.
Bahkan beberapa waktu terakhir ini, berbagai tulisan baik di media massa maupun
buku-buku, atau kegiatan-kegiatanseperti seminar, diskusi, dan sebagainya banyak membahas
tentang protes dan gugatan yang terkait dengan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum
perempuan. Ketidakadilan dan diskriminasi tersebut terjadi hampir di semua tingkatan dan
sektor, mulai dari tingkat internasional, negara, keagamaan, social (kemasyarakatan), budaya,
ekonomi, sampai pada tingkat rumah tangga.
Gender memasuki dua dasawarsa terakhir telah menjadi bahasa yang memasuki setiap
analisis sosial menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial
serta menjadi topik penting dalam setiap perbincangan mengenai pembangunan. Namun apa
sesungguhnya yang dimaksud dengan gender dan mengapa dikaitkan dengan usaha
emansipasi kaum perempuan? Untuk itu diperlukan penjelasan mengenai konsep gender.
Pemahaman dan pembeda antara konsep seks dan gender sangatlah diperlukan dalam
melakukan analisa untuk memahami persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum
perempuan. Hal ini karena ada kaitan erat antara perbedaan gender (gender differences) dan
ketidakadilan gender dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PERBEDAAN JENIS KELAMIN DAN GENDER
Istilah gender pada awalnya dikembangkan sebagai suatu analisis ilmu sosial oleh
Aan Oakley (1972), dan sejak saat itu menurutnya gender lantas dianggap sebagai alat
analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara
umum.
Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Konsep seks atau jenis kelamin
mengacu pada perbedaan biologis pada perempuan dan laki-laki; pada perbedaan antara
tubuh laki-laki dan perempuan. Dengan demikian manakala kita berbicara tentang perbedaan
jenis kelamin maka kita akan membahas perbedaan biologis yang umumnya dijumpai antara
kaum laki-laki dan perempuan, seperti perbedaan pada bentuk, tinggi serta berat badan, pada
struktur organ reproduksi dan fungsinya, pada suara, dan sebagainya.
Sedangkan gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan
perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender adalah konsep hubungan
sosial yang membedakan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan fungsi
dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya terdapat
perbedaan biologis dan kodrat, melainkan dibedakan menurut kedudukan, fungsi, dan
peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Mead mengemukakan bahwa dalam sejarah dan kebudayaan masyarakat Barat
dikenal perbedaan kepribadian antara laki-laki dan perempuan. Dalam klasifikasi tersebut
perempuan umumnya dikaitkan dengan cirri kepribadian tertentu seperti watak keibuan, tidak
agresif, berhati lembut, suka menolong, emosional, tergantung, memanjakan, peduli terhadap
keperluan orang lain dan mempunyai seksualitas feminism. Laki-laki, dipihak lain dikaitkan
dengan cirri kepribadian keras, agresif, menguasai dan seksualitas kuat.
Namun dalam penelitiannya selama beberapa tahun di kalangan suku Arapesh yang
tinggal dipegunungan, suku Mundugumor yang tinggal di tepi sungai, dan suku Tschambuli
yang tinggal di tepi danau, Mead menemukan bahwa klasifikasi tersebut tidak berlaku bagi
ketiga kelompok etnik tersebut. Menurut Mead, kepribadian kaum perempuan maupun kaum
laki-laki di kalangan suku Arapesh cenderung kearah sifat tolong menolong, tidak agresif dan
penuh perhatian terhadap kepentingan orang lain; disana tidak dijumpai seksualitas kuat
maupun dorongan kuat kearah kekuasaan. Pada suku Mundugumor, dipihak lain, baik laki-
laki maupun perempuan diharapkan bersifat agresif, perkasa dan keras disertai seksualitas
kuat sedangkan kepribadian yang mengarah ke sifat keibua

n dan watak melindungi hampir tidak Nampak. Sedangkan pada suku etnik Tschambuli,
menurut temuan Mead dijumpai keadaan yang bertentangan dengan masyarakat Barat, karena
disana kaum perempuan justru bersifat menguasai sedangkan kaum laki-laki berkepribadian
emosional dan kurang bertanggung jawab. Dari temuannya dilapangan mengenai tidak
adanya hubungan antara kepribadian dengan jenis kelamin ini Mead menyimpulkan bahwa
kepribadian laki-laki dan perempuan tidak tergantung pada faktor jenis kelamin melainkan
dibentuk oleh faktor kebudayaan. Perbedaan kepribadian antar masyarakat maupun individu
menurut Mead merupakan hasil proses sosialisasi, terutama pola asuhan dini yang dituntun
oleh kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
Gender bersifat dinamis, dapat berbeda karena perbedaan adat istiadat, budaya,
agama, dan sistem nilai dari bangsa, masyarakat dan suku bangsa tertentu. Selain itu gender
dapat berubah karena perjalanan sejarah, perubahan politik, ekonomi, dan sosial budaya, atau
karena kemajuan pembangunan. Dengan demikian gender tidak bersifat universal atau tidak
berlaku secara umum, akan tetapi bersifat situasional masyarakatnya.
2.2. GENDER DAN SOSIALISASI
Sebagaimana dikemukakan oleh Kerstan (1995), gender tidak bersifat biologis
melainkan dikonstruksikan secara sosial. Gender tidak dibawa sejak lahir melainkan
dipelajari melalui sosialisasi. Oleh sebab itu menurutnya gender dapat berubah. Sebagaimana
halnya dalam sosialisasi pada umumnya, maka dalam sosialisasi gender agen penting yang
berperan pun terdiri atas keluarga, kelompok bermain, dan media massa.
1. Keluarga Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sebagaimana bentuk-bentuk sosialisasi yang lain, maka sosialisasi gender pun
berawal dari keluarga. Melalui proses pembelajaran gender (gender learning), seseorang
mempelajari peran gender (gender role) yang oleh masyarakat dianggap sesuai dengan jenis
kelaminnya.
Proses sosialisasi ke dalam peran perempuan dan laki-laki sudah dimulai semenjak
seorang bayi dilahirkan. Sejak lahir bayi perempuan sering sudah diberi busana yang jenis
dan warnanya berbeda dengan jenis dan warna busana yang dikenakan oleh bayi laki-laki.
Perlakuan yang diterima pun sering cenderung berbeda. Korner mengemukakan, misalnya
dalam berbagai masyarakat Barat bayi perempuan cenderung diangkat dan ditimang-timang
dengan lebih hati-hati dan lebih cepat ditolong dikala menangis daripada bayi laki-laki.
Dalam berkomunikasi lisan dengan seorang bayi bayi perempuan diperlakukan berbeda

Bayi laki-laki misalnya diberi julukan maskulin seperti tampan dan gagah, sedangkan bayi
perempuan diberi julukan feminine seperti cantik atau manis.
Salah satu media yang digunakan orang tua untuk memperkuat identitas gender
adalah mainan yaitu dengan memberikan mainan berbeda untuk setiap jenis kelamin.
Meskipun sewaktu masih bayi seorang anak diberi mainan berupa boneka, namun boneka
yang diberikan kepada bayi laki-laki cenderung berbeda dengan boneka yang diberikan
kepada bayi perempuan. Dengan semakin meningkatnya usia anak, jenis mainan yang
diberikan pun semakin mengarah ke peranan gender. Anak perempuan diberi mainan yang
berbentuk peralatan rumah tangga seperti perlengkapan memasak, sedangkan anak laki-laki
diberi mainan yang berbentuk kendaraan bermotor, alat berat, alat pertukangan atau senjata.
2. Kelompok Bermain Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Kelompok bermain merupakan agen sosialisasi yang telah sejak dini membentuk
perilaku dan sikap kanak-kanak. Dibidang sosialisasi gender pun, kelompok bermain
menjalankan peran cukup besar.
Dikala berada dalam kelompok bermain laki-laki cenderung memainkan jenis
permainanan yang lebih menekankan pada segi persaingan, kekuatan fisik dan keberanian
sedangkan dalam kelompok bermain perempuan, anak perempuan cenderung memainkan
permainan yang lebih menekankan pada segi kerja sama. Setelah anak-anak berusia remaja
dan mulai belajar berbagai tehnik untuk menghadapi lawan jenis mereka. Remaja laki-laki
belajar dari teman-temannya bahwa laki-laki harus senantiasa berani dan agresif terhadap
perempuanserta mampu menerapkan berbagai cara untuk dapat “merebut” dan
“menaklukkan” mereka. Anak perempuan dipihak lain dididik oleh sesamanya bahwa
perempuan cenderung pasif, bertahan mampu mempertahankan kehormatannya seraya
mempertahankan haknya untuk memilih siapa diantara para pria yang mendekatinya pantas
mendapat perhatiannya.
Sebagai agen sosialisasi, kelompok bermain pun menerapkan kontrol sosial bagi
anggota yang tidak menaati peraturannya. Seorang anak laki-laki memilih untuk bermain
dengan mainan anak perempuan dan berkumpul dengan mereka, misalnya cenderung
dicap”sissy” atau “banci” dan menghadapi resiko dikucilkan. Hal serupa dihadapi anak
perempuan yang berorientasi pada permainan anak laki-laki dan bermain dengan mereka
yang dapat dicap sebagai “tomboy”.
3. Sekolah Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sekolah menerapkan pembelajaran gender melalui media utamanya, yaitu kurikulum
formal. Dalam mata pelajaran prakarya misalnya ada sekolah yang

memisahkan sisiwa dengan sisiwi agar masing-masing dapat diberi pelajaran berbeda.
Pembelajaran gender disekolah dapat pula berlangsung melalui buku teks yang
digunakan. Misalnya buku teks ilmu pengetahuan alam yang cenderung mengabaikan
kontribusi ilmuwan perempuan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan serta kesenian.
4. Media Massa Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sebagaimana halnya dengan buku cerita nutuk kanak-kanak dan remaja serta buku
pelajaran di sekolah, maka madia massa pun sangat berperan dalam sosialisasi gender, baik
melaui pemberitaannya, kisah fiksi yang dimuatnya, maupun melalui iklan yang dipasang
didalamnya. Media massa baik berupa media cetak maupun media elektronik sering memuat
iklan yang menunjang stereotip gender (gender-stereotyped advertising). Iklan yang
mempromosikan berbagai produk keperluan rumah tangga misalnya cenderung menampilkan
perempuan dalam peran sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai ibu, sedangkan iklan yang
mempromosikan produk mewah yang merupakan symbol status dan kesuksesan di bidang
pekerjaan cenderung menampilkan model laki-laki. Meskipun iklan yang menampilkan
perempuan di ranah publik berjumlah banyak, namun iklan demikian sering menekankan
pekerjaan yang cenderung diperankan oleh perempuan dan menempati posisi rendah dalam
organisasi, seperti misalnya peran sebagai resepsionis, pramugari, sekretaris atau kasirn dan
bukan pada jabatan berstatus tinggi seperti misalnya presiden direktur atau kapten
penerbangan.
Gerakan sosial kaum perempuan untuk memperjuangkan persamaan gender telah
membawa dampak pada dunia periklanan. Berbagai iklan dimedia massa kini sudah mulai
menampilkan kepekaan dengan jalan menghindari stereotip gender dan menonjolkan
persamaan peran gender. Meskipun demikian, gerakan tersebut hingga kini masih belum
mampu menanggulangi praktik pembuatan iklan yang mengandung stereotip gender.

2.3. GENDER DAN STRATIFIKASI


Adanya stratifikasi gender telah mendorong lahirnya gerakan sosial dikalangan kaum
perempuan, yang bertujuan membela dan memperluas hak-hak kaum perempuan. Gerakan ini
dinamakan feminism, yang menurut Giddens telah bermula di Prancis pada abad 18 dan
kemudian menyebar ke negara-negara lain di benua Eropa, Amerika, Afrika, dan Asia.
Dibidang politik gerakan ini terpusat pada perjuangan persamaan hak pilih dengan laki-laki
dan telah menghasilkan diberikannya persamaan hak pilih di banyak Negara.

1. Gender dan Pendidikan


Dalam berbagai masyarakat maupun dalam kalangan tertentu dalam masyarakat dapat
kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaan yang tidak mendukung dan
bahkan melarang keikutsertaan anak perempuan dalam pendidikan formal. Ada nilai yang
mengemukakan bahwa “perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya
akan ke dapur juga”, ada yang mengatakan bahwa perempuan harus menempuh pendidikan
yang oleh orang tuanya dianggap “sesuai dengan kodrat perempuan,” dan ada yang
berpandangan bahwa seorang gadis sebaiknya menikah diwaktu muda agar tidak menjadi
“perawan tua” . Atas dasar nilai dan aturan demikian ada masyarakat yang mengizinkan
perempuan bersekolah tetapi hanya sampai jenjang tertentu saja atau dalam jenis atau jalur
pendidikan tertentu saja.
Sejalan dengan ekspansi pendidikan yang melanda masyarakat dunia sejak awal abad
yang lalu, maka angka partisipasi perempuan dalam segala jenjang dan kesenjangan
kesempatan pendidikan antara laki-laki masih tetap menandai dunia pendidikan, dan
pendidikan bagi semua orang masih merupakan suatu harapan yang masih jauh dari
kenyataan di lapangan.
2. Gender dan Pekerjaan
Apabila orang membahas pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan, mungkin yang
dibayangkan hanyalah pekerjaan yang dijumpai di ranah publik: seperti pabrik dan kantor,
pekerjaan dalam perekonomian formal. Orang sering melupakan bahwa di rumahnyapun
perempuan sering melakukan berbagai kegiatan yang menghasilkan dana seperti melakukan
perdagangan eceran, memproduksi atau memproses hasil pertanian dan sebagainya.
Salah satu masalah yang dihadapi kaum perempuan diberbagai masyarakat adalah
adanya diskriminasi terhadap kaum perempuan (sex discrimination) dibidang pekerjaan.
Kasus ekstrem adalah aturan yang melarang perempuan untuk bekerja di ranah publik. Ada
juga masyarakat yang menerapkan berbagai macam diskriminasi di bidang pekerjaan seperti
dalam hal rekrutmen, pelatihan, magang, atau pemutusan hubungan kerja.
Suatu bentuk diskriminasi yang sering dialami pekerja perempuan ialah diskriminasi
terhadap orang hamil (pregnancy discrimination), diskriminasi terhadap orang hamil tersebut
dapat berbentuk penolakan untuk mempekerjakannya, pemutusan hubungan kerja, keharusan
cuti dan sanksi lain.
3. Gender dan Penghasilan
Dalam banyak masyarakat seorang pekerja, apapun jenis kelaminnya, menerima upah
yang sama untuk pekerjaan yang sama (equal pay for equal work).

Namun, diberbagai masyarakat lain pekerja laki-laki memperoleh upah lebih tinggi
daripada upah pekerja perempuan walaupun pekerjaan yang dilakukan sama. Gejala semacam
ini dinamakan diskriminasi upah berdasarkan jenis kelamin.
Macionis mencatat bahwa menurut data Departemen Tenaga Kerja AS. 80% dari
pekerjaan yang dinamakannya pekerjaan kerah merah jambu seperti pekerjaan sekretaris, juru
tik, dan stenograf dipegang oleh perempuan. Masalah yang dihadapi para pekerja perempuan
ini adalah bahwa upah yang mereka terima dinilai terlalu rendah, yang mengakibatkan
mereka sering terjerat yang oleh Moore dan Sinclair (1995) dinamakan perangkap
kemiskinan.

2.4. GENDER DAN KEKUASAAN


1. Gender dan Politik
Hak perempuan untuk memilih dan dipilih. Kalau selama beberapa dasawarsa
ini telah kita saksikan keikutsertaan kaum perempuan di Negara kita dalam pemilihan umum
untuk memilih anggota DPR, maupun dalam pemilihan untuk memilih kepala desa, maka
tentu kita tidak membayangkan bahwa dimasa dulu kaum perempuan kita mempunyai hak
pilih.
Berkat perjuangan mereka semenjak pertengahan abad ke-19, maka sejak 1893
barulah kaum perempuan diberbagai negara Barat mulai meraih hak pilih. Data yang
disajikan Giddens misalnya menunjukkan bahwa antara tahun 1893 dan 1928 hak pilih diraih
kaum perempuan di 18 negara di Eropa, Amerika Utara serta di Australia dan Selandia Baru.
Mulai tahun 1929 hak pilih mulai diraih pula disejumlah negara dikawasan Asia, Afrika, Dan
Amerika Latin. Dari data tersebut nampak pula bahwa di sejumlah Negara Eropa seperti
Prancis, Yugoslavia, dan Yunani kaum perempuan baru mengenal hak pilih setelah
berakhirnya Perang Dunia II.
2. Gender dan Keluarga
Dalam banyak rumah tangga kita menemukan ketimpangan antara kekuasaan suami
dan istri. Hal itu tidak mengherankan, karena dalam berbagai masyarakat masih banyak
menganut pandangan lama bahwa tempat seorang perempuan adalah di ruman dan di
belakang suaminya.
Para ahli telah menggunakan berbagai indikator untuk mengukur pembagian kerja dan
kekuasaan suami istri dalam rumah tangga. Salah satu cara adalah merinci pekerjaan rumah
tangga apa saja dan dilakukan oleh siapa.

2.5. PERBEDAAN GENDER DAN LAHIRNYA KETIDAKADILAN


Sebenarnya perbedaan gender tidak akan menjadi masalah selama tidak memunculkan
ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan struktur dimana
kebanyakan perempuan menjadi korban sistem tersebut. Untuk memahami persoalan yang
muncul sebagai akibat adanya perbedaan dapat dilihat manifestasinya berikut ini
1. Gender dan Marginalisasi Perempuan
Bentuk ketidakadilan gender yang berupa proses marginalisasi perempuan adalah
suatu proses pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu dalam hal ini perempuan disebabkan
oleh perbedaan gender. Ada beberapa perbedaan jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta
mekanisme proses marginalisasi perempuan karena perbedaan gender.
Revolusi hijau misalnya, secara ekonomis telah menyingkirkan kaum perempuan dari
pekerjaannya dan kehilangan pekerjaan sehingga terjadilah proses pemiskinan terhadap
perempuan. Banyak kaum perempuan miskin di desa termarginalisasi, sehingga semakin
miskin dan tersingkir karena tidak memperoleh pekerjaan di sawah. Hal ini berarti bahwa
program revolusi hijau direncanakan tanpa mempertimbangkan aspek gender.
Marginalisasi kaum perempuan tidak hanya terjadi di tempat kerja, akan tetapi juga
terjadi disemua tingkat seperti dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur, dan bahkan
sampai tingkat negara.
2. Gender dan Subordinasi
Pandangan gender tidak saja berakibat terjadinya marginalisasi, akan tetapi juga
mengakibatkan terjadinya subordinasi terhadap perempuan. Adanya anggapan dalam
masyarakat bahwa perempuan itu emosional, irasional dalam berpikir, perempuan tidak bisa
tampil sebagai pemimpin, maka akibatnya perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak
penting dan tidak strategis.
Bentuk subordinasi akibat perbedaan gender ini bermacam-macam, berbeda menurut
tempat dan waktu. Pada masyarakat Jawa misalnya, dulu ada anggapan bahwa perempuan
tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya akan kedapur. Bahkan dalam keluarga yang
memiliki keuangan terbatas, maka pendidikan akan diprioritaskan pada anak laki-laki.
Contoh lain, bila seorang laki-laki akan mengambil kredit di lembaga perbankan, maka bisa
membuat keputusan sendiri, sebaliknya istri harus seizin suaminya. Praktik subordinasi itu
sebenarnya bermula dari kesadaran gender yang tidak adil.

3. Gender dan Stereotip


Stereotip adalah pelabelan terhadap pihak tertentu yan selalu berakibat merugikan
pihak lain dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu stereotip yang dikenalkan dalam
bahasan ini adalh stereotip yang bersumber pada pandangan gender. Karena itu banyak
bentuk ketidakadilan terhadap jenis kelamin yang kebanyakan adalah perempuan yang
bersumber pada stereotip yang melekat padanya. Sebagai contoh adanya anggapan bahwa
perempuan yang bersolek atau memakai rok mini akan memancing perhatian lawan jenis,
sehingga bisa terjadi pelecehan seksual dan perkosaan, maka perempuan tersebut yang
disalahkan. Contoh lain adalah adanya anggapan bahwa tugas perempuan adalah melayani
suami dirumah, karena itu pendidikan dianggap tidak terlalu penting bagi perempuan.
Stereotip semacam itu juga terjadi pada pekerjaan perempuan, seperti adanya anggapan
bahwa perempuan bukanlah pencari nafkah utama keluarga,maka perempuan yang bekerja
acap kali dianggap sebagai “sambilan” atau “membantu suami”. Bahkan banyak jenis
pekerjaan perempuan yang dianggap tidak bermoral, misalnya pekerjaan sebagai “pelayan” di
tempat-tempat minum, “tukang pijat”,atau pekerjaan lainnya yang terkait dengan industri
peerhotelan dan turisme, serta pekerjaan yang dilakukan pada waktu malam hari.
4. Gender dan Kekerasan
Kekerasan (violence) adalh suatu serangan baik terhadap fisik maupun integrasi
mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap manusia terjadi karena berbagai macam
sumber, salah satunya adalah kekerasan yang bersumber pada anggapan gender. Kekerasan
semacam ini disebutgender-related violence, yang pada dasarnya terjadi karena adanya
ketidaksetaraan kekuatan atau kekuasaan dalam masyarakat. Banyak macam kejahatan yang
bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender, antara lain:
1. Perkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam perkawinan. Perkosaan terjadi
jika seseorang memaksa untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa ada kerelaan dari yang
bersangkutan. Meskipun ketidakrelaan ini acapkali tidak terekspresikan karena berbagai
faktor, seperti ketakutan, malu, keterpaksaan ekonomi, sosial, bahkan tak jarang karena
adanya ancaman tertentu
2. Tindakan pemukuan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga. Termasuk
kekerasan dalam rumah tangga ini adalah kekerasan dan penyiksaan terhadap anak.
3. Prostitusi atau pelacuran. Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang
diselenggarakan karena suatu mekanisme ekonomi yang merugikan perempuan. Masyarakat
dan negara acapkali mamandang pekerja seksual selalu menggunakan standar ganda, artinya
disatu sisi,

4. pemerintah melarang dan menangkapi pekerja seksual, namun dari sisi lain negara juga
menarik pajak dari pekerja seksual. Selain itu pekerja seksual dianggap rendah oleh
masyarakat, tapi kenyataan menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan pekerja seksual
selalu ramai dikunjungi orang.
5. Kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk pornografi. Jenis kekerasan ini termasuk
kekerasan nonfisik, yakni pelecehan terhadap kaum perempuan di mana tubuh perempuan
dijadikan objek demi keuntungan seseorang. Hal ini bisa disebut pornografi.
6. Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana. Keluarga
berencana dibanya masyarakat menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan. Karena untuk
memenuhi target untuk mengontrol pertumbuhan penduduk, perempuan acapkali dijadikan
korban demi suksesnya program tersebut, meskipun kita tau bahwa persoalannya tidak saja
pada perempuan saja tetapi juga pada kaum laki-laki. Namun seringkali perempuan yang
dipaksa melakukan sterilisasi, meskipun sering membahayakan perempuan baik secara fisik
maupun kejiwaan.
7. Kekerasan terselubung. Ada beberapa bentuk yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan
terselubung, misalnya memegang atau menyentuh perempuan dalam berbagai cara atau
kesempatan tanpa kerelaannya. Jenis kekerasan terselubung ini dapat terjadi di tempat kerja,
tempat umum seperti di dalam bus dan sebagainya.
8. Kekerasan terhadap perempuan yang paling umum dan sering terjadi dan sering dilakukan
dalam masyarakat adalah berupa pelecehan seksual. Jenis kekerasan semacam ini banyak
terjadi. Pelecehan ini terjadi dalam bentuk lelucon jorok dihadapan kaum perempuan,
meyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor, mengintrogasi seseorang
tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya, meminta imbalan seksual dalam rangka janji
untuk mendapatkan kerja atau promosi di tempat kerja, atau menyentuh/menyenggol bagian
tubuh tanpa serela atau tanpa seizing yang bersangkutan.

2.6. PERSPEKTIF
Ada pendapat berbeda-beda dalam merespon ketidakadilan gender yang terjadi
dalam masyarakat, karena perbedaan pandangan, perspektif atau paradigma yang dianutnya.
Dalam studi tentang gender, terdapat dua toeri besar dalam ilmu sosial yang melahirkan
aliran feminism, yakni aliran fungsionalisme dan aliran konflik.
1. Paradigma Fungsionalisme dan Feminisme

Aliran fungsionalisme dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parsons.


Penganut aliran ini berpendapat bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri atas
bagian dan saling berkaitan dan masing-masing bagian selalu berusaha untuk mencapai
keseimbangan dan keharmonisan, sehingga dapat menjelaskan posisi kaum perempuan.
Menurut teori struktural fungsional konsep gender dibentuk menurut pembagian peran dan
fungsi masing-masing laki-laki dan perempuan agar tercipta keharmonisan antara laki-laki
dan perempuan.
Pengaruh fungsionalisme dapat ditemui dalam pemikiran feminisme liberal. Sebelum
menjelaskan tentang feminisme liberal, apa sebenarnya yang disebut dengan feminisme ?
Pada umumnya orang berprasangka bahwa feminisme adalah gerakan pemberontakan
terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata sosial yang ada, seperti institusi rumah
tangga, perkawinan maupun usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari kodrat.
Karena adanya prasangka tersebut, maka feminisme tidak mendapat tempat pada kaum
perempuan, bahkan ditolak oleh masyarakat. Sedangkan menurut kaum feminisme,
feminisme seperti halnya aliran pemikiran dan gerakan yang lain, bukan merupakan suatu
pemikiran dan gerakan yang berdiri sendiri, akan tetapi meliputi berbagai ideologi,
paradigma, serta teori yang dipakainya. Meskipun gerakan feminisme berasal dari analisis
dan ideologi yang berbeda tetapi mempunyai kesamaan tujuan, yaitu kepedulian
memperjuangkan nasib perempuan.
Asumsi dasar feminisme liberal adalah bahwa kebebasan dan kesamaan berasal dari
rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Dalam memperjuangkan persoalan
masyarakat, menurut kerangka kerja feminisme liberal tertuju pada “kesempatan yang sama
dan hak yang sama” bagi setiap individu, termasuk didalamnya kaum perempuan.
Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ini penting, sehingga tidak
perlu pembedaan kesempatan. Oleh karena itu, ketika ditanyakan mengapa kaum perempuan
dalm keadaan terbelakang atau tertinggal? Menurut feminisme liberal hal itu disebabkan oleh
kesalahan “mereka sendiri”. Artinya jika sistem sudah memberikan kesempatan yang sama
pada laki-laki dan perempuan, tetapi ternyata kaum perempuan tersebut kalah bersaing, maka
kaum perempuan sendiri yang perlu disalahkan. Aliran ini kemudian mengusulkan bahwa
untuk memecahkan masalah kaum perempuan cara yang harus dilakukan adalah menyiapkan
kaum perempuan agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas.
2. Paradigma Konflik dan Feminisme
Teori konflik lahir sebagai reaksi terhadap teori struktural fungsional. Teori ini
percaya bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan dan kekuasaan yang
merupakan sentral dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan laki-laki dan perempuan.

Bagi penganut aliran konflik, gagasan dan nilai-nilai selalu dipergunakan sebagai alat
untuk menguasai kekuasaan, tidak terkecuali hubungan laki-laki dan perempuan. Atas dasar
asumsi itu, maka perubahan akan terjadi melalui konflik, yang berakibat akan mengubah
posisi dan hubungan. Aliran feminisme yang dikategorikan dalam teori konflik, adalah:
Kelompok pertama, aliran feminisme radikal. Aliran ini justru muncul sebagai
kultur sexismatau diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pornografi.
Para penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan
personal dan politik, unsur-unsur seksual atau biologis, sehingga dalam melakukan analisis
tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh patriarkinya. Dengan demikian
“kaum laki-laki” secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan. Menurut
penganut aliran feminisme radikal, patriarki adalah sumber ideologi penindasan dimana laki-
laki memiliki kekuasaan superior.
Akan tetapi aliran feminisme Marxis, menganggap bahwa analisis yang dilakukan
feminis radikal disebut sebagai ahistoris, karena menganggap patriarki sebagai hal yang
universal dan merupakan akar dari segala penindasan.
Kelompok penganut teori konflik yang kedua adalah feminisme marxis. Kelompok ini
menolak keyakinan kaum feminisme radikal. Bagi mereka penindasan perempuan adalah
bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Karl Mark sendiri tidak banyak
menjelaskan dalam teorinya tentang posisi kaum perempuan dalam perubahan sosial.
Menurut Mark, hubungan antara suami dan istri serupa dengan hubungan antara proletar dan
borjuis, serta tingkat kemajuan masyarakat dapat diukur dari status perempuannya.
Pada zaman kapitalisme, penindasan perempuan oleh berbagai cara dan alasan karena
menguntungkan. Pertama, eksploitasi pulang kerumah, yakni suatu proses yang dilakukan
untuk membuat laki-laki yang dieksploitasi di pabrik bekerja lebih produktif. Kedua, kaum
perempuan dianggapa bermanfaat bagi sistem kapitalisme reproduksi buruh murah. Ketiga,
masuknya perempuan sebagai buruh juga dianggap menguntungkan sistem kapitalisme
karena umumnya upah buruh perempuan sering kali rendah daripada upah buruh laki-laki.
Aliran ini tidak menganggap patriarki sebagai permasalahan, akan tetapi justru sistem
kapitlisme yang menjadi penyebabnya.
Aliran konflik yang ketiga adalah feminisme sosialis. Feminisme sosialis mulai
dikenal tahun 1970-an. Mitchel dalam bukunya woman estate telah meletakkan dasar-dasar
feminisme sosialis. Menurutnya politik penindasan sebagai suatu konsekuensi baik
penindasan kelas maupun penindasan patriarkis.

Penganut aliran ini menerima dan menggunakan prinsip dasar marxisme dan
memperluasnya dengan bidang yang selama ini diabaikan oleh teori marxis. Menurut banyak
kalangan terutama pengikut gerakan perempuan aliran ini dianggap lebih memiliki harapan,
karena analisis yang ditawarkan lebih dapat diterapkan. Bagi feminisme sosialis, penindasan
perempuan terjadi dikelas manapun, bahkan revolusi sosialis juga tidak serta merta
menaikkan posisi perempuan. Asumsi yang digunakan oleh feminis sosialis adalah bahwa
hidup dalam masyarakat yang kapitalis bukan satu-satunya penyebab keterbelakangan
perempuan. Feminis sosialis menolak visi marxis yang meletakkan eksploitasi ekonomi
sebagai dasar penindasan gender. Sebaliknya feminisme tanpa kesadaran kelas juga
menimbulkan masalah. Oleh karena itu analisis patriarki perlu dikawinkan dengan analisis
kelas.
Lebih lanjut, teori kapitalis patriarki, yang pertama kali diungkapkan oleh Zillah
Eisenstein memulai teorinya dengan tesis perempuan sebagai suatu kelas yang diterapkan,
dengan menguraikan apa yang disebut oleh Marx sebagai keterasingan, untuk melihat nasib
kaum perempuan. Dalam analisanya Eisenstein melihat bahwa patriarki sudah muncul sejak
sebelum kapitalisme dan tetap ada pada era pascakapitalisme.

BAB III
PENUTUP
a. KESIMPULAN
Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Konsep seks atau jenis kelamin
mengacu pada perbedaan biologis pada perempuan dan laki-laki; pada perbedaan antara
tubuh laki-laki dan perempuan. Sedangkan gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender adalah
konsep hubungan sosial yang membedakan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan.
Mead mengemukakan bahwa dalam sejarah dan kebudayaan masyarakat Barat
dikenal perbedaan kepribadian antara laki-laki dan perempuan. Dalam klasifikasi tersebut
perempuan umumnya dikaitkan dengan cirri kepribadian tertentu seperti watak keibuan, tidak
agresif, berhati lembut, suka menolong, emosional, tergantung, memanjakan, peduli terhadap
keperluan orang lain dan mempunyai seksualitas feminism. Laki-laki, dipihak lain dikaitkan
dengan cirri kepribadian keras, agresif, menguasai dan seksualitas kuat.
Gender bersifat dinamis, dapat berbeda karena perbedaan adat istiadat, budaya,
agama, dan sistem nilai dari bangsa, masyarakat dan suku bangsa tertentu. Selain itu gender
dapat berubah karena perjalanan sejarah, perubahan politik, ekonomi, dan sosial budaya, atau
karena kemajuan pembangunan. Dengan demikian gender tidak bersifat universal atau tidak
berlaku secara umum, akan tetapi bersifat situasional masyarakatnya.
DAFTAR PUSTAKA
J.Dwi Narwoko dan Bagong suyanto. 2004. Sosiologi: teks pengantar dan terapan edisi ke-3.
Jakarta: Kencana

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar sosiologi (edisi revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai