Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

Space occupying lesion (SOL) merupakan generalisasi masalah tentang


adanya lesi pada ruang intrakranial khususnya yang mengenai otak, dapat
disebabkan oleh hematoma, abses otak ataupun tumor otak (AANS, 2012).
Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan
tekanan dalam rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak,
darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu
yang menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal. Peningkatan volume salah
satu dari ketiga unsur utama mengakibatkan desakan ruang yang ditempati unsur
lainnya dan menaikkan tekanan intrakranial (Sjamsuhidajat, dkk, 2011).
Tumor otak merupakan penyebab sebagian besar dari space occupying
lesion. Di Amerika di dapat 35.000 kasus baru dari tumor otak setiap tahun,
sedangkan menurut Bertelone, tumor primer susunan saraf pusat dijumpai 10%
dari seluruh penyakit neurologi yang ditemukan di Rumah Sakit Umum (AANS,
2012).
Menurut penilitian yang dilakukan oleh Rumah Sakit Lahore, Pakistan,
periode September 1999 hingga April 2000, dalam 100 kasus space occupying
lesion intrakranial, 54 kasus terjadi pada pria dan 46 kasus pada wanita. Selain itu,
18 kasus ditemukan pada usia dibawah 12 tahun, sebanyak 28 kasus terjadi pada
rentan usia 20-29 tahun, 13 kasus pada usia 30-39 tahun, dan 14 kasus pada usia
40-49 tahun (AANS, 2012).
Di Indonesia data tentang tumor susunan saraf pusat belum banyak
dilaporkan. Insiden tumor otak pada anak-anak terbanyak pada dekade pertama,
sedangkan pada dewasa pada usia 30-70 dengan puncak usia 40-65 tahun
(Dewanto, dkk, 2009).

1
BAB II

PRESENTASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S

TTL/Usia : Bantul, 1 April 1964, umur 55 tahun

JenisKelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : PNS

Alamat : Tarungan Pundong Bantul

Status Perkawinan : Kawin

TanggalMasuk : 6 Mei 2019

TanggalKeluar : 11 Mei 2019

B. ANAMNESIS

Dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 7 Mei 2019.

1. Keluhan Utama

Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala.

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien seorang perempuan berusia 55 tahun rujukan dari RS

Elisabet datang ke poli saraf RSUD Panembahan Senopati dengan keluhan

nyeri kepala. Nyeri kepala dirasakan sejak bulan Januari 2018 (16 bulan

2
yang lalu). Nyeri kepala dirasakan seperti cekot-cekot di bagian sisi kiri

dan belakang kepala, tidak menjalar ke sisi kanan kepala dan hilang timbul

dimana kini nyeri kepala tidak membaik dengan pemberian analgetik

seperti ibuprofen. Dalam satu hari nyeri kepala dapat muncul tiga hingga

empat kali. Pasien menyampaikan bahwa nyeri kepala bisa kapan saja

muncul. Setelah nyeri kepala muncul, pasien merasa mengantuk dan nyeri

akan membaik apabila pasien tidur. Pasien juga menyampaikan bahwa

harus banyak membuat catatan untuk membantu mengingat. Pasien

mengatakan tidak pernah mual ataupun muntah ketika nyeri kepala

muncul. Pasien sudah memeriksakan nyeri kepalanya ke RS Elisabet dan

didiagnosis cephalgia chronic ec. susp vascular dd brain SOL tetapi tidak

membaik.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat penyakit magh dibenarkan

 Riwayat kejang disangkal.

 Riwayat mondok disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga

 Riwayat penyakit serupa disangkal

5. Riwayat Personal Sosial

 Pendidikan :Pendidikan terakhir S1

 Situasi pekerjaan :Pasien bekerja sebagai PNS

 Situasi rumah/keluarga :Pasien tinggal serumah dengan

suami dan anaknya, hubungan baik antar anggota keluarga.

3
 Kebiasaan gaya hidup :Pasien tidak merokok dan minum

alkohol.

Kesan :Sosial, ekonomi dan lingkungan baik.

C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum :Pasien tampak dalam keadaan baik.

GCS :Kesadaran penuh (Compos Mentis E4V5M6).

Vital Sign

 TD :120/70 mmHg,

 Frekuensi Nadi : 70x/menit

 Frekuensi Nafas : 20x/menit

 Suhu : 36,40Celcius

Kepala :simetris, normochepal, alopecia (-)

 Mata :konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, pupil

isokore, reflek cahaya +/+, strabismus -/-, exophtalmus -/-, tekanan

bola mata normal +/+, nyeri tekan -/-

 Hidung :deformitas -/-, tanda-tanda peradangan -/-, polip-/-,

secret -/-, perdarahan -/-, nafas cuping hidung -/-, nyeri tekan -/-

 Mulut :mukosa bibir kering -, lidah kotor -, lidah tremor-,

gusi berdarah -, karies gigi +

 Telinga : daun telinga simetris, deformitas -/-, tanda-tanda

peradangan -/-, nyeri tekan -/-

4
 Leher :deformitas -, kaku kuduk -, pembesaran kelenjar

tiroid -, tanda-tanda peradangan -, denyut karotis teraba, tekanan

vena jugularis normal.

Thorax :

a. Pulmo :

a. Inspeksi : bentuk dada kanan dan kiri simetris, bentuk dada

datar, gerak napas simetris 20 kali/menit, tipe abdominotorakal,

ketertinggalan gerak tidak ada, retraksi dinding dada tidak ada,

penggunaan otot bantu napas tidak ada, tanda-tanda peradangan

dan jejas tidak ada.

b. Palpasi : nyeri tekan tidak ada, tidak ada masa, gerak dada

kanan dan kiri sama, daya kembang paru kanan dan kiri 3 cm,

vokal fremitus paru kanan dan kiri sama dan normal.

c. Perkusi : sonor pada fossa supraklavicularis kanan kiri

(batas atas kanan kiri) hingga costa 6 linea mid clavicularis (

batas bawah)

d. Auskultasi : suara trachea bronchial di daerah trakea, suara

bronkovesikuler di costae 3-4 di atas sternum, suara dasar paru

vesikuler di kedua lapang paru, suara tambahan ronkhi dan

wheezing tidak ada.

b. Cor :

a. Inspeksi : bentuk precordial datar dan simetris pada kedua

sisi, nampak pulsasi pada ICS 5 linea midclavicularis sinistra.

5
b. Palpaasi : Tidak adanya pulsasi pada daerah aorta, pulmo,

dan trikuspidalis, teraba pulsasi kuat angkat di ICS 5 linea

midclavicularis sinistra selebar 2 cm dan tidak ada thrill, tidak

teraba pulsasi di daerah epigastrik.

c. Perkusi : suara redup ditemukan pada ICS 3 parasternal kiri

(batas atas), ICS 4 parasternal dextra (batas kanan), ICS 4 linea

midclavicula sinistra (batas kiri), ICS 5 linea midclavicula

sinistra (batas bawah).

d. Auskultasi : Suara jantung 1 dan suara jantung 2 reguler dan

tunggal, bising jantung tidak ada, irama gallop tidak ada.

Abdomen:

a. Inspeksi : simetris, datar, penegangan pada dinding abdomen

tidak ada, sikatrik tidak ada, tidak tampak adanya masa, tidak

tampak peristaltic dan denyut aorta, tidak tampak adanya

pembesaran organ abdomen, tidak tampak adanya hernia dan

tanda-tanda peradangan pada periumbilikus.

b. Auskultasi : Bunyi peristaltic usus (+) 10 kali/menit

c. Palpasi :Abdomen tidak tegang, tidak ada nyeri tekan, hepar

tidak teraba, lien tidak teraba, nyeri ketok ginjal tidak ada.

d. Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen.

6
Ekstremitas:

 Ekstremitas Atas: tidak ada deformitas pada tangan, jari dan kuku,

warna tangan relatif lebih merah, tidak ada perubahan warna pada

kuku tangan, capillary refill time <2 detik, akral teraba hangat,

clubbing finger tidak ada, sianosis tidak ada, edema tidak ada,

pembesaran nodus limfatikus aksila tidak ada.

 Ekstremitas Bawah: tidak ada deformitas pada kaki, jari dan kuku,

warna kaki relatif lebih merah, tidak ada perubahan warna pada

kuku kaki, capillary refill time <2 detik, akral teraba hangat,

sianosis tidak ada, edema tidak ada, pembesaran kelenjar limfe

femoralis tidak ada.

D. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

1. Kesadaran

Selama perawatan di bangsal Mawar 1 RSUD Panembahan Senopati,

pasien dalam keadaan compos mentis, E4V5M6.

2. Meningeal Sign

a. Kaku kuduk : Negatif

b. Kernig’s sign : Negatif

c. Brudzinski I : Negatif

d. Brudzinski II : Negatif

3. Saraf-saraf otak

a. Nervus I-XII : dalam batas normal

4. Sistem motorik

7
a. Bentuk otot : normal pada ekstremitas atas dan bawah

b. Tonus otot : normal pada ekstremitas atas dan bawah

c. Kekuatan otot : normal pada ekstremitas atas (5/5/5 I 5/5//5) dan

bawah (5/5/5 I 5/5//5)

d. Cara berdiri dan berjalan: dalam batas normal

e. Gerakan spontan abnormal : Negatif

5. Sistem Refleks

a. Refleks Fisiologis: normal pada ekstremitas atas dan bawah

b. Refleks patologis: tak tampak pada ekstremitas atas dan bawah

6. Hasil Mini Mental Status Examniation (MMSE)

Diperoleh hasil kemungkinan gangguan kognitif dengan jumlah skor

18.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan CR thorax PA Dewasa tanggal 6 Mei 2019

8
Hasil: Pulmo tak tampak kelainan dan besar cor normal.

2. Pemeriksaan MSCT Head/ Brain 3D tanggal 6 Mei 2019

Hasil:

 Tampak lesi isodens intracerebral di temporo parietal

sinistra dan occipital.

 Ventrikulus lateral kiri terdesak dengan deviasi struktur

media

 Ventrikulus lateralis kanan melebar

Kesan : Massa intracerebral di temporo, parietal dan occipital

sinistra.

9
3. Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap tanggal 6 Mei 2019

Pemeriksaaan Hasil Rujukan Satuan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 14,2 12,0-16,0 g/dL

Lekosit 9,51 4,00-11,00 10^3/uL

Eritrosit 4,74 4,00-5,00 10^6/uL

Trombosit 286 150-450 10^3/uL

Hematokrit 41,1 36,0-46,0 vol%

HITUNG JENIS

Eosinofil 2 2-4 %

Basofil 1 0-1 %

Batang 0 2-5 %

Segmen 64 51-67 %

Limfosit 25 20-35 %

Monosit 6 4-8 %

DIABETES

Glukosa Darah 97 80-200 mg/dl

Sewaktu

PROFIL LIPID

Kolesterol total 208 <200 mg/dL

HDL 51 >40 mg/dL

10
LDL 149 <130 mg/dL

Trigliserida 114 <150 mg/dL

4. Pemeriksaan Laboratorium Ureum dan Kreatinin tanggal 7 Mei

2019

Pemeriksaaan Hasil Rujukan Satuan

FUNGSI GINJAL

Ureum 34 17-43 mg/dl

Creatinin 0,64 0,90-1,30 mg/dl

E. DIAGNOSIS KERJA

Diagnosis kerja pada kasus pasien tersebut adalah cephalgia chronic

progressive et gangguan kongestif progresif ec SOL.

Diagnosis klinis : cephalgia chronic progressive et gangguan kongestif

progresif

Diagnosis topis : hemisfer cerebri sinistra

Diagnosis etiologi : SOL ec tumor otak

F. PENATALAKSANAAN

 Terapi medikamentosa saat perawatan di bangsal :

1. Infus NaCl 0,9 % 10 tpm

2. Injeksi Piracetam 3 gram/8 jam

11
3. Injeksi Dexametason 1 Ampul/6 jam

4. Injeksi Ranitidin 1 A/12 jam

5. Donapezil 1x1 per oral

6. Asam folat 3x1 per oral

7. Paracetamol 3x1 per oral

H. PERJALANAN PENYAKIT

Tanggal Perjalanan Penyakit Rencana


Penatalaksanaan/Terapi
Selasa, 7 Mei S: 1. Infus NaCl 0,9 % 10
tpm
2019 Pasien mengeluh nyeri kepala 3 kali,
2. Injeksi Piracetam 3
cekot-cekot, durasi tiap serangan 30
gram/8 jam
menit. 3. Injeksi Dexametason
1 Ampul/6 jam
Pasien merasa mual, muntah (-)
4. Injeksi Ranitidin 1
Keadaan umum : baik
A/12 jam
GCS: compos mentis E4V5M6 5. Asam folat 3x1 per
oral
VS :
6. Paracetamol 3x1 per
 TD : 120/70 mmHg oral
 Nadi : 80 x/menit Planning: cek ureum dan

 Napas: 20x/menit creatinin

 Suhu : 36,40C

Kepala:

 Konjungtiva anemis (-)

 Sklera ikterik (-)

Thorax :

12
 Simetris, sonor, vesikuler,

wheezing (-), ronkhi (-), S1/S2

reguler, bising jantung (-)

Abdomen:

 Supel, nyeri tekan (-), bising

usus (+) normal

Ekstremitas:

 Akral hangat, CRT < 2 detik,

oedem (-)

Status neurologis

 Meningeal Sign : Negatif

 Nervus I-XII : dalam batas

normal

 Sistem motorik

a. Bentuk otot : normal pada

ekstremitas atas dan bawah

b. Tonus otot : normal pada

ekstremitas atas dan bawah

c. Kekuatan otot :

normal pada ekstremitas atas

(5/5/5 I 5/5//5) dan bawah

(5/5/5 I 5/5//5)

d. Cara berdiri dan berjalan:

dalam batas normal

e. Gerakan spontan abnormal :

13
Negatif

 Sistem Refleks

a. Refleks Fisiologis:

normal pada ekstremitas atas

dan bawah

b. Refleks patologis: tak

tampak pada ekstremitas atas

dan bawah

A: cephalgia chronic progressive et

gangguan kongestif progresif ec SOL.

Rabu, 8 Mei S: 1. Infus NaCl 0,9 % 10


tpm
2019 Pasien mengeluh nyeri kepala 2 kali,
2. Injeksi Piracetam 3
cekot-cekot, durasi tiap serangan 30
gram/8 jam
menit. 3. Injeksi Dexametason
1 Ampul/6 jam
Mual (-)
4. Injeksi Ranitidin 1
Keadaan umum : baik
A/12 jam
GCS: compos mentis E4V5M6 5. Donapezil 1x1 per
oral
VS :
6. Asam folat 3x1 per
 TD : 120/80 mmHg oral
 Nadi : 80 x/menit 7. Paracetamol 3x1 per

 Napas: 22x/menit oral

 Suhu : 36,00C Hasil Laboratorium

ureum: 34

Kepala: creatinin : 0,64

 Konjungtiva anemis (-)

14
 Sklera ikterik (-)

Thorax :

 Simetris,sonor, vesikuler,

wheezing (-), ronkhi (-), S1/S2

reguler, bisingjantung (-)

Abdomen:

 Supel, nyeri tekan (-), bising

usus (+) normal

Ekstremitas:

 Akral hangat, CRT < 2 detik,

oedem (-)

HasilMini Mental Status Examniation

(MMSE)

Diperoleh hasil kemungkinan

gangguan kognitif dengan jumlah skor

18.

A:cephalgia chronic progressive et

gangguan kongestif progresif ec SOL.

Kamis, 9 Mei S: 1. Infus NaCl 0,9 % 10


tpm
2019 Pasien mengeluh nyeri kepala 2 kali,
2. Injeksi Piracetam 3
cekot-cekot, durasi tiap serangan 15
gram/8 jam
menit. 3. Injeksi Dexametason
1 Ampul/6 jam
Mual (-)
4. Injeksi Ranitidin 1

15
Keadaan umum : baik A/12 jam
5. Donapezil 1x1 per
GCS: compos mentis E4V5M6
oral
VS :
6. Asam folat 3x1 per
 TD : 110/80 mmHg oral
7. Paracetamol 3x1 per
 Nadi : 80 x/menit
oral
 Napas: 22x/menit

 Suhu : 36,20C

Kepala:

• Konjungtiva anemis (-)

• Sklera ikterik (-)

Thorax :

• Simetris, sonor, vesikuler,

wheezing (-), ronkhi (-), S1/S2 reguler,

bising jantung (-)

Abdomen:

• Supel, nyeri tekan (-), bising

usus (+) normal

Ekstremitas:

• Akral hangat, CRT < 2 detik,

oedem (-)

A:cephalgia chronic progressive et

gangguan kongestif progresif ec SOL.

Jumat, 10 Mei S: 1. Infus NaCl 0,9 % 10


tpm
2019 Pasien mengeluh nyeri kepala 1 kali,
2. Injeksi Piracetam 3
cekot-cekot, durasi tiap serangan 15
gram/8 jam

16
menit. 3. Injeksi Dexametason
1 Ampul/6 jam
Mual (-)
4. Injeksi Ranitidin 1
Keadaan umum : baik
A/12 jam
GCS: compos mentis E4V5M6 5. Donapezil 1x1 per
oral
VS :
6. Asam folat 3x1 per
 TD : 120/80 mmHg oral
 Nadi : 84 x/menit 7. Paracetamol 3x1 per

 Napas: 22x/menit oral

 Suhu : 36,60C

Kepala:

• Konjungtiva anemis (-)

• Sklera ikterik (-)

Thorax :

• Simetris, sonor, vesikuler,

wheezing (-), ronkhi (-), S1/S2 reguler,

bising jantung (-)

Abdomen:

• Supel, nyeri tekan (-), bising

usus (+) normal

Ekstremitas:

• Akral hangat, CRT < 2 detik,

oedem (-)

A: cephalgia chronic progressive et

gangguan kongestif progresif ec SOL.

Sabtu, 11 Mei S: 1. Infus NaCl 0,9 % 10

17
2019 Pasien tidak mengeluh nyeri kepala tpm
2. Injeksi Piracetam 3
Mual (-)
gram/8 jam
Keadaan umum : baik
3. Injeksi Dexametason
GCS: compos mentis E4V5M6 1 Ampul/6 jam
4. Injeksi Ranitidin 1
VS :
A/12 jam
 TD : 120/80 mmHg 5. Donapezil 1x1 per
 Nadi : 80 x/menit oral
6. Asam folat 3x1 per
 Napas: 20x/menit
oral
 0
Suhu : 36,6 C 7. Paracetamol 3x1 per

Kepala: oral

• Konjungtiva anemis (-) Pasien di rujuk ke


• Sklera ikterik (-) RSUP Sardjito

Thorax :

• Simetris, sonor, vesikuler,

wheezing (-), ronkhi (-), S1/S2 reguler,

bising jantung (-)

Abdomen:

• Supel, nyeri tekan (-), bising

usus (+) normal

Ekstremitas:

• Akral hangat, CRT < 2 detik,

oedem (-)

A: cephalgia chronic progressive et

gangguan kongestif progresif ec SOL.

18
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Space Occupying Lesion Intrakranial


A.1 Definisi
Space occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang intrakranial)
didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau sekunder, serta
setiap inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak yang menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial dan menempati ruang di dalam otak. Space
occupying lesion intrakranial meliputi tumor, hematoma, dan abses (Dogar, dkk,
2015).

A.2 Patofisiologi
Kranium merupakan kerangka baku yang berisi tiga komponen yaitu otak,
cairan serebrospinal (CSS) dan darah. Kranium mempunyai sebuah lubang keluar
utama yaitu foramen magnum dan memiliki tentorium yang memisahkan hemisfer
serebral dari serebelum. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang
menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal sebesar 50 – 200 mm H2O atau 4
– 15 mm Hg (Guyton and Hall, 2010). Ruang intrakranial adalah suatu ruangan
baku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan:
otak (1400 g), cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml).
Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama mengakibatkan
desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan
intracranial (Guyton and Hall, 2010).

Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan


tekanan dalam rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak,
darah, dan cairan serebrospinal. Timbulnya massa yang baru di dalam kranium

19
seperti neoplasma, akan menyebabkan isi intrakranial normal akan menggeser
sebagai konsekuensi dari space occupying lesion (SOL) (Dogar, dkk, 2015)..
Neoplasma menyebabkan timbulnya gangguan neurologik progresif.
Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya disebabkan oleh dua faktor, yaitu
gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan intrakranial (Mardjono, dkk, 2007).
Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak
dan infiltrasi atau invasi langsung pada aprenkim otak dengan kerusakan jaringan
neural. Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor yang bertumbuh
menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada
umumnya bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara akut dan gangguan
serebrovaskular primer (Mardjono, dkk, 2007).

Gambar 1. Skema Proses Desak Ruang Yang Menimbulkan Kompresi


Pada Jaringan Otak dan Pergeseran Struktur Tengah (Satyanegara, 2010)

A.3 Macam-Macam Space Occupying Lesion


1. Tumor Otak
Tumor otak atau tumor intrakranial adalah neoplasma atau proses
desak ruang (space occupying lesion) yang timbul di dalam rongga
tengkorak baik di dalam kompartemen supertentorial maupun
infratentorial (Sjamsuhidajat, dkk, 2011).
Keganasan tumor otak yang memberikan implikasi pada
prognosanya didasari oleh morfologi sitologi tumor dan konsekuensi klinis
yang berkaitan dengan tingkah laku biologis. Sifat-sifat keganasan tumor

20
otak didasari oleh hasil evaluasi morfologi makroskopis dan histologis
neoplasma, dikelompokkan atas kategori-kategori (Satyanegara, 2010):
a. Benigna (jinak)
Morfologi tumor tersebut menunjukkan batas yang jelas, tidak
infiltratif dan hanya mendesak organ-organ sekitar. Selain itu,
ditemukan adanya pembentukan kapsul serta tidak adanya metastasis
maupun rekurensi setelah dilakukan pengangkatan total. Secara
histologis, menunjukkan struktur sel yang reguler, pertumbuhan la,a
tanpa mitosis, densitas sel yang rendah dengan diferensiasi struktur
yang jelas parenkhim, stroma yang tersusun teratur tanpa adanya
formasi baru.
b. Maligna (ganas)
Tampilan mikroskopis yang infiltratif atau ekspansi destruktur tanpa
batas yang jelas, tumbuh cepat serta cenderung membentuk metastasis
dan rekurensi pasca pengangkatan total.
Klasifikasi tumor otak diawali oleh konsep Virchow berdasarkan
tampilan sitologinya dan dalam perkembangan selanjutnya dikemukakakn
berbagai variasi modifikasi peneliti-peneliti lain dari berbagai negara
Klasifikasi universal awal dipeloporo oleh Bailey dan Cushing (1926)
berdasarkan histogenesis sel tumor dan sel embrional yang dikaitkan
dengan diferensiasinya pada berbagai tingkatan dan diperankan oleh
faktor-faktor, seperti lokasi tumor, efek radiasi, usia penderita, dan
tindakan operasi yang dilakukan. Sedangkan pada klasifikasi Kernohan
(1949) didasari oleh sistem gradasi keganasan di atas dan
menghubungkannya dengan prognosis.

Tabel 2.1 Klasifikasi Tumor Otak Oleh Chusing dan Kernohan

Cushing Kernohan
Astrositoma Astrositoma grade I dan II
Oligodendroglioma Oligodendroglioma grade I−IV
Ependioma Ependioma
Meduloblastoma Meduloblastoma

21
Glioblastoma multiforme Astrositoma grade III dan IV
Pinealoma (teratoma) Pinealoma
Ganglioneuroma (glioma) Neuroastrositoma grade I
Neuroblastoma Neuroastrositoma grade II−III
Papiloma pleksus khoroid Tumor campur
Tumor “unclassified”
Dikutip dari: Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, 2010

2. Hematom Intrakranial
a. Hematom Epidural
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama
arteri meningea media yang masuk dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dalam os
temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural.
Desakan dari hematom akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang
kepala sehingga hematom bertambah besar (Sjamsuhidajat, dkk, 2011).
Hematom yang meluas di daerah temporal menyebabkan tertekannya
lobus temporalis otek ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan
bagian medial lobus (unkis dan sebagian dari girus hipokampus)
mengalami herniasi di bawah tepi tentorium. Keadaan ini menyebabkan
timbulnya tanda-tanda neurologik (Buku Ajar Ilmu Bedah, 2004).
Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru
setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan
peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami sakit kepala,
mual, dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala neurologik
yang teroenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil ipsilateral melebar
(Buku Ajar Ilmu Bedah, 2004).
.

22
Gambar 2.11 Hematom Epidural
(Buku Ajar Ilmu Bedah, 2004)
Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom epidural, 4. Otak terdorong
kesisi lain

b. Hematom Subdural
Hematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan
robeknya vena di dalam ruang araknoid. Pembesaran hematom karena
robeknya vena memerlukan waktu yang lama. Oleh karena hematom
subdural sering disertai cedera otak berat lain, jika dibandingkan dengan
hematom epidural prognosisnya lebih jelek (Sjamsuhidajat, dkk, 2011).
Hematom subdural dibagi menjadi subdural akut bila gejala timbul
pada hari pertama sampai hari ketiga, subakut bila timbul antara hari
ketiga hingga minggu ketiga, dan kronik bila timbul sesudah minggu
ketiga (Sjamsuhidajat, dkk, 2011).
Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang
penting dan serius dalam 24 sampai 48 jam setelah cidera. Hematoma
sering berkaitan dengan trauma otak berat dan memiliki mortalitas yang
tinggi. Hematoma subdural akut terjadi pada pasien yang meminum obat
antikoagulan terus menerus yang tampaknya mengalami trauma kepala
minor. Cidera ini seringkali berkaitan dengan cidera deselarasi akibat
kecelakaan kendaraan bermotor. Defisit neurologik progresif disebabkan
oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak ke dalam

23
foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan henti nafas dan
hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah (Lo, dkk, 2015).
Hematom subdural subakut menyebabkan defisit neurologik
bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari dua minggu
setelah cidera. Riwayat klinis yang khas pada penderita hematom subdurak
subakut adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran,
selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang bertahap (Lo, dkk,
2015). Namun, setelah jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan
tanda-tanda status neurologis yang memburuk. Tingkat kesadaran menurun
secara bertahap dalam beberapa jam. Meningkatnya tekanan intrakranial
akibat timbunan hematom yang menyebabkan menjadi sulit dibangunkan
dan tidak merespon terhadap rangsangan vebral maupun nyeri.
Peningkatan tekanan intrakranial dan pergeseran isi kranial akibat
timbunan darah akan menyebabkan terjadinya herniasi unkus atau sentral
dan timbulnya tanda neurologik akibat kompresi batang otak (Lo, dkk,
2015).
Awitan gejala hematoma subdural kronik pada umumnya tertunda
beberapa minggu, bulan bahkan beberapa tahun setelah cidera awal. Pada
orang dewasa, gejala ini dapat dikelirukan dengan gejala awal demensia.
Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruang subdural
sehingga terjadi perdarahan lambat ke dalam ruang subdural. Dalam 7
sampai 10 hari setelah perdarahan, darah dikelilingi oleh membran fibrosa.
Terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma sehingga terbentuk
peredaan tekanan osmotik yang menyebabkan tertariknya cairan ke dalam
hematoma (Lo, dkk, 2015). Bertambahnya ukuran hematoma ini dapat
menyebabkan perdarahan lebih lanjut akibat robekan membran atau
pembuluh darah di sekelilinhnya sehingga meningkatkan ukuran dan
tekanan hematoma. Jika dibiarkan mengikuti perjalanan alamiahnya,
unsur-unsur kandungan hematom subdural akan mengalami perubahan-
perubahan yang khas. Hematoma subdural kronik memiliki gejala dan
tanda yang tidak spesifik, tidak terlokalisasi, dan dapat disebabkan oleh

24
banyak proses penyakit lain. Gejala dan tanda perubahan yang paling khas
adalah perubahan progresif dalam tingkat kesadaran termasuk apati,
latergi, berkurangnya perhatian dan menurunnya kemampuan untuk
mempergunakan kecakapan kognitif yang lebih tinggi (Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, 2005).

Gambar 2.12 Stadium Perjalanan Klinis Alami Hematom Subdural


Dikutip dari: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, 2005

Hematom subdural akut secara klinis sukar dibedakan dengan


hematom epidural yang berkembang lambat. Hematom subdural akut dan
kronik memberikan gambaran klinis suatu proses desak ruang (space
occupying lesion) yang progresif sehingga tidak jarang dianggap sebagai
neoplasma atau demensia (Sjamsuhidajat, dkk, 2011).

Gambar 2.13 Hematom Subdural


(Buku Ajar Ilmu Bedah, 2004)

25
Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom subdural, 4. Otak terdorong
kesisi lain

c. Higroma Subdural
Higroma subdural adalah hematom subdural lama yang mungkin
disertai pengumpulan cairan serebrospinal di dalam ruang subdural.
Kelainan ini jarang ditemukan dan dapat terjadi karena robekan selaput
arakhnoid yang menyebabkan cairan serebrospinal keluar ke ruang
subdural. Gambaran klinis menunjukkan tanda kenaikan tekanan
intrakranial, sering tanpa tanda fokal (Sjamsuhidajat, dkk, 2011).

A.4. Macam-Macam Keluhan dan Gejala yang Disebabkan oleh Space


Occupying Intracranial
a. Gejala Umum Space Occupying Lesion
Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial atau
akibat infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering adalah sakit
kepala, perubahan status mental, kejang, nyeri kepala hebat, papil edema,
mual dan muntah (Maxine, dkk, 2009).
1. Nyeri Kepala
Kebanyakan struktur dikepala tidak sensitif nyeri. Struktur
sensitif nyeri didalam kranium adalah arteria meningeal media
beserta cabangnya, arteri besar didasar otak, sinus venosus dan
bridging veins, serta dura didasar fossa kranial. Peninggian
tekanan intrakranial dan pergeseran otak yang terjadi
membendung dan menggeser pembuluh darah serebral atau sinus
venosus serta cabang utamanya dan memperberat nyeri lokal.
Nyeri yang lebih terlokalisir diakibatkan oleh peregangan atau
penggeseran duramater didaerah basal dan batang saraf sensori
kranial kelima, kesembilan dan kesepuluh. Nyeri kepala juga
dapat disebabkan oleh spasme otot-otot besar didasar tengkorak
(Maxine, dkk, 2009).

26
2. Muntah
Ditemukan pada peninggian tekanan intrakranial oleh
semua sebab dan merupakan tampilan yang terlambat dan
diagnosis biasanya dibuat sebelum gejala ini timbul. Muntah
akibat peninggian tekanan intrakranial biasanya timbul setelah
pasien bangun tidur. Meskipun sering dijelaskan sebagai muntah
projektil, maksudnya terjadi dengan kuat dan tanpa peringatan,
hal ini jarang menjadi gambaran yang khas (Maxine, dkk, 2009).

3. Papil edema
Papil oedema menunjukkan adanya oedema atau
pembengkakan diskus optikus yang disebabkan oleh peningkatan
tekanan intrakranial yang menetap selama lebih dari beberapa hari
atau minggu. Oedema ini berhubungan dengan obstruksi cairan
serebrospinal, dimana peningkatan tekanan intrakranial pada
selubung nervus optikus menghalangi drainase vena dan aliran
aksoplasmik pada neuron optikus dan menyebabkan pembengkakan
pada diskus optikus dan retina serta pendarahan diskus. Papila
oedema tahap lanjut dapat menyebabkan terjadinya atrofi sekunder
papil nervus optikus (Maxine, dkk, 2009).

4. Kejang
Kejang dapat timbul sebagai gejala dari tekanan
intrakranium yang melonjak secara cepat, terutama sebagai gejala
dari glioblastoma multiform. Kejang tonik biasanya timbul pada
tumor di fosa kranium posterior (Maxine, dkk, 2009).

5. Gangguan mental
Gangguan konsentrasi, cepat lupa, perubahan kepribadian,
perubahan mood dan berkurangnya inisiatif adalah gejala-gejala
umum pada penderita dengan tumor lobus frontal atau temporal.

27
Gejala ini bertambah buruk dan jika tidak ditangani dapat
menyebabkan terjadinya somnolen hingga koma.Tumor di sebagian
besar otak dapat mengakibatkan gangguan mental, misalnya
demensia, apatia, gangguan watak dan serta gangguan intelegensi
dan psikosis. Gangguan emosi juga akan terjadi terutama jika
tumor tersebut mendesak sistem limbik (khususnya amigdala dan
girus cinguli) karena sistem limbik merupakan pusat pengatur
emosi (Maxine, dkk, 2009).

b. Gejala Lokal Space Occupying Lesion


Gejala lokal terjadi pada tumor yeng menyebabkan destruksi
parenkim, infark atau edema. Juga akibat pelepasan faktor-faktor ke
daerah sekitar tumor (contohnya : peroksidase, ion hydrogen, enzim
proteolitik dan sitokin), semuanya dapat menyebabkan disfungsi fokal
yang reversibel (Cross, dkk, 2013).
1. Tumor di lobus frontalis / kortikal
Sakit kepala akan muncul pada tahap awal, sedangkan muntah
dan papiludema akan timbul pada tahap lanjutan. Walaupun gangguan
mental dapat terjadi akibat tumor di bagian otak manapun, namun
terutama terjadi akibat tumor di bagian frontalis dan korpus kalosum.
Akan terjadi kemunduran intelegensi, ditandai dengan gejala
“Witzelsucht”, yaitu suka menceritakan lelucon-lelucon yang sering
diulang-ulang dan disajikan sebagai bahan tertawaan, yang bermutu
rendah (Cross, dkk, 2013).
Kejang adversif (kejang tonik fokal) merupakan simptom lain dari
tumor di bagian posterior lobus frontalis, di sekitar daerah premotorik.
Tumor di lobus frontalis juga dapat menyebabkan refleks memegang dan
anosmia (Cross, dkk, 2013).
Tumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum yang
diikuti paralisis post-iktal. Meningioma kompleks atau para sagital dan
glioma frontal khusus berkaitan dengan kejang. Tanda lokal tumor

28
frontal antara lain disartri, kelumpuhan kontralateral, dan afasia jika
hemisfer dominant dipengaruhi. Anosmia unilateral menunjukkan adanya
tumor bulbus olfaktorius (Cross, dkk, 2013).

2. Tumor di daerah presentralis


Tumor di daerah presentralis akan merangsang derah motorik
sehingga menimbulkan kejang pada sisi kontralateral sebagai gejala dini.
Bila tumor di daerah presentral sudah menimbulkan destruksi strukturil,
maka gejalanya berupa hemiparesis kontralateral. Jika tumor bertumbuh
di daerah falk serebri setinggi daerah presentralis, maka paparesis
inferior akan dijumpai (Cross, dkk, 2013).

3. Tumor di lobus temporalis


Bila lobus temporalis kanan yang diduduki, gejala klinis kurang
menonjol. Kecuali, bila daerah unkus terkena, akan timbul serangan
“uncinate fit” pada epilepsi. Kemudian akan terjadi gangguan pada
funsgi penciuman serta halusinasi auditorik dan afasia sensorik. Hal ini
logis bila dikaitkan dengan fungsi unkus sebagai pusat penciuman dan
lobus temporalis sebagai pusat pendengaran. Gejala tumor lobus
temporalis antara lain disfungsi traktus kortikospinal kontralateral, defisit
lapangan pandang homonim, perubahan kepribadian, disfungsi memori
dan kejang parsial kompleks (Cross, dkk, 2013). (Cross, dkk, 2013).

4. Tumor di lobus parietalis


Tumor pada lobus parietalis dapat merangsang daerah sensorik.
Jika tumor sudah menimbulkan destruksi strukturil, maka segala macam
perasa pada daerah tubuh kontralateral yang bersangkutan tidak dapat
dikenali dan dirasakan. Han ini akan menimbulkan astereognosia dan
ataksia sensorik. Bila bagian dalam parietalis yang terkena, maka akan
timbul gejala yang disebut “thalamic over-reaction”, yaitu reaksi yang
berlebihan terhadap rangsang protopatik. Selain itu, dapat terjadi lesi

29
yang menyebabkan terputusnya optic radiation sehingga dapat timbul
hemianopsia Daerah posterior dari lobus parietalis yang berdampingan
dengan lobus temporalis dan lobus oksipitalis merupakan daerah penting
bagi keutuhan fungsi luhur sehingga destruksi pada daerah tersebut akan
menyebabkan agnosia (hilangnya kemampuan untuk mengenali rangsang
sensorik) dan afasia sensorik, serta apraksia (kegagalan untuk melakukan
gerakan-gerakan yang bertujuan walaupun tidak ada gangguan sensorik
dan motorik). Tumor hemisfer dominan menyebabkan afasia, gangguan
sensoris dan berkurangnya konsentrasi yang merupakan gejala utama
tumor lobus parietal. Adapun gejala yang lain diantaranya disfungsi
traktus kortikospinal kontralateral, hemianopsia/ quadrianopsia inferior
homonim kontralateral dan simple motor atau kejang sensoris (Cross,
dkk, 2013).

5. Tumor pada lobus oksipitalis


Tumor pada lobus ini jarang ditemui. Bila ada, maka gejala yang
muncul biasanya adalah sakit kepala di daerah oksiput. Kemudian dapat
disusul dengan gangguan medan penglihatan (Cross, dkk, 2013).
Tumor lobus oksipital sering menyebabkan hemianopsia homonym
yang kongruen. Kejang fokal lobus oksipital sering ditandai dengan
persepsi kontralateral episodik terhadap cahaya senter, warna atau pada
bentuk geometri (Cross, dkk, 2013).
.
6. Tumor pada korpus kalosum
Sindroma pada korpus kalosum meliputi gangguan mental,
terutama menjadi cepat lupa sehingga melupakan sakit kepala yang baru
dialami dan mereda. Demensia uga akan sering timbul dosertai kejang
tergantung pada lokasi dan luar tumor yang menduduki korpus kalosum
(Cross, dkk, 2013).

30
7. Tumor pada Ventrikel Tiga dan Regio Pineal
Tumor di dalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga menghambat
ventrikel atau aquaduktus dan menyebabkan hidrosepalus. Perubahan
posisi dapat meningkatkan tekanan ventrikel sehingga terjadi sakit kepala
berat pada daerah frontal dan verteks, muntah dan kadang-kadang
pingsan. Hal ini juga menyebabkan gangguan ingatan, diabetes insipidus,
amenorea, galaktorea dan gangguan pengecapan dan pengaturan suhu
(Cross, dkk, 2013).

8. Tumor Batang Otak


Terutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek lapangan
pandang, nistagmus, ataksia dan kelemahan ekstremitas. Kompresi pada
ventrikel empat menyebabkan hidrosepalus obstruktif dan menimbulkan
gejala-gejala umum (Cross, dkk, 2013).

9. Tumor Serebellar
Muntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput merupakan
gejala yang sering ditemukan pada tumor serebellar. Pusing, vertigo dan
nistagmus mungkin menonjol (Cross, dkk, 2013).

A.4 Penegakan Diagnostik SOL Intrakranial

Penegakan diagnosis pada SOL dapat diawali dari pemeriksaan tanda vital.
a. Denyut Nadi
Denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan TIK,
terutama pada anak-anak. Bradikardi merupakan mekanisme kompensasi
yang mungkin terjadi untuk mensuplai darah ke otak dan mekanisme ini
dikontrol oleh tekanan pada mekanisme refleks vagal yang terdapat di
medulla. Apabila tekanan ini tidak dihilangkan, maka denut nadi akan
menjadi lambat dan irregular dan akhirnya berhenti (Dewanto, dkk, 2009).

31
b. Pernapasan
Pada saat kesadaran menurun, korteks serebri akan lebih tertekan
daripada batang otak dan pada pasien dewasa, perubahan pernafasan ini
normalnya akan diikuti dengan penurunan level dari kesadaran.Perubahan
pada pola pernafasan adalah hasil dari tekanan langsung pada batang otak.
Pada bayi, pernafasan irregular dan meningkatnya serangan apneu sering
terjadiantara gejala-gejala awal dari peningkatan TIK yang cepat dan dapat
berkembang dengan cepat ke respiratory arrest (Dewanto, dkk, 2009).

c. Tekanan Darah
Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari
peningkatan TIK, terutama pada anak-anak. Dengan terjadinya
peningkatan TIK, tekanan darah akan meningkat sebagai mekanisme
kompensasi; Sebagai hasil dari respon Cushing, dengan meningkatnya
tekanan darah, akan terjadi penurunan dari denyut nadi disertai dengan
perubahan pada pola pernafasan. Apabila kondisi ini terus berlangsung,
maka tekanan darah akan mulai turun (Dewanto, dkk, 2009).
.
d. Suhu Tubuh
Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan TIK berlangsung,
suhu tubuh akan tetap stabil. Ketika mekanisme dekompensasi berubah,
peningktan suhu tubuh akan muncul akibta dari disfungsi dari hipotalamus
atau edema pada traktus yang menghubungkannya (Dewanto, dkk, 2009).

e. Reaksi Pupil
Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi
pupil yang lebih lambat dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi
yang menyebabkan penekanan pada nervus okulomotorius, seperti edema
otak atau lesi pada otak. Penekanan pada n. Oklulomotorius menyebabkan
penekanan ke bawah, menjepit n.Okkulomotorius di antara tentorium dan
herniasi dari lobus temporal yang mengakibatkan dilatasi pupil yang

32
permanen. N. okulomotorius (III) berfungsi untuk mengendalikan fungsi
pupil. Pupil harus diperiksa ukuran, bentuk dan kesimetrisannya dimana
ketika dibandingkan antara kiri dan kanan, kedua pupil harus memiliki
ukuran yang sama. Normalnya, konstriksi pupil akan terjadi dengan cepat
(Dewanto, dkk, 2009).
Pemeriksaan fisik neurologis dalam menegakan diagnosis (Dewanto, dkk,
2009).
a. Pemeriksaan mata yaitu ukuran pupil,bentuknya dan reaksinya
terhadap cahaya,pemeriksaan visus dan lapang pandang
penglihatan serta pemeriksaan gerakan bola mata
b. Pemeriksaan funduskopi untuk menentukan oedema pada papil
nervus optikus atau atrofi papil nervus optikus et causa papil
odema tahap lanjut.
c. Pemeriksaan motorik yaitu gerak, kekuatan, tanus, trofi, refleks
fisiologi, reflek patologis, dan klonus.
d. Pemeriksaan sensibilitas.

Pemeriksaan Penunjang (Dewanto, dkk, 2009).


 Elektroensefalografi (EEG)
 Foto polos kepala
 Arteriografi
 Computerized Tomografi (CT Scan)
 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

A.5 Penatalaksanaan Keluhan dan Gejala Disebabkan Space Occupying Lesion


Penanganan yang terbaik untuk peningkatan TIK adalah pengangkatan
dari lesi penyebabnya seperti tumor, hidrosefalus, dan hematoma.
Peningkatan TIK pasca operasi jarang terjadi hari-hari ini dengan
meningkatnya penggunaan mikroskop dan teknik khusus untuk menghindari
pengangkatan otak. Peningkatan TIK adalah sebuah fenomena sementara
yang berlangsung untuk waktu yang singkat kecuali ada cedera sekunder

33
segar karena hipoksia, bekuan atau gangguan elektrolit. Pengobatan ditujukan
untuk mencegah peristiwa sekunder. TIK klinis dan pemantauan akan
membantu. Berikut merupakan tindakan yang dapat dilakukan (Harsono, dkk,
2015).

1. Penanganan Primer
Tindakan utama untuk peningkatan TIK adalah untuk mengamankan
ABCDE (primary survey) pada pasien. Banyak pasien dengan peningkatan
TIK memerlukan intubasi. Pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus
diintubasi untuk melindungi airway. Yang menjadi perhatian utama pada
pemasangan intubasi ini adalah intubasi ini mampu memberikan ventilasi
tekanan positif yang kemudian dapat meningkatkan tekanan vena sentral yang
kemudian akan menghasilkan inhibisi aliran balik vena sehingga akan
meningkatkan TIK (Harsono, dkk, 2015).
Hati-hati dalam memperhatikan gizi, elektrolit, fungsi kandung kemih
dan usus. Pengobatan yang tepat untuk infeksi berupa pemberian antibiotik
harus dilaksanakan dengan segera. Pemberian analgesia yang memadai harus
diberikan walaupun pasien dalam kondisi di bawah sadar (Harsono, dkk,
2015).
Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan. Elevasi pada kepala
dapat menurunkan TIK pada komdisi normal dan pada pasien dengan cedera
kepala melalui mekanisme penurunan tekanan hidrostatis CSF yang akan
menghasilkan aliran balik vena. Sudut yang dianjurkan dan umumnya
digunakan untuk elevasi pada kepala adalah 30o. Pasien harus diposisikan
dengan kepala menghadap lurus ke depan karena apabila kepala pasien
menghadap ke salah satu sisinya dan disertai dengan fleksi pada leher akan
meynebabkan penekanan pada vena jugularis interna dan memperlambat
aliran balik vena (Harsono, dkk, 2015).
Hipoksia sistemik, gangguan hemodinamik dan gangguan pada
autoregulasi yang kemudian disertai dengan kejang dapat membahayakan
kondisi pasien dengan peningkatan TIK. Sehingga banyak praktisi kesehatan

34
yang kemudian menggunakan terapi profilaksis fenitoin, terutama pada pasien
dengan cedera kepala, perdarahan subaraknoid, perdarahan intrakranial, dan
kondisi yang lainnya. Penggunaan fenitoin sebagai profilaksis pada pasein
dengan tumor otak dapat menghasilkan penurunan resiko untuk terjadinya
kejang, tapi dengan efek samping yang juga cukup besar (Harsono, dkk,
2015).
2. Penanganan Sekunder
 Hiperventilasi digunakan pada pasien dengan skor GCS yang
lebih dari 5. Pembuluh darah otak merespon dengan cepat pada
perubahan PaCO2. PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan
vasokonstriksi, yang kemudian akan mengurangi komponen
darah dalam volume intrakranial, dimana peningkatan PaCO2
menyebabkan vasodilatasi. Hiperventilasi bertujuan menjaga
agar PaCO2 berada pada level 25 – 30 mm Hg sehingga CBF
akan turun dan volume darah otak berkurang dan dengan
demikian mengurangi TIK. Hiperventilasi yang
berkepanjangan harus dihindari dan menjadi tidak efektif
setelah sekitar 24 jam. Kecenderungannya adalah untuk
menjaga ventilasi normal dengan PaCO2 di kisaran 30 – 35
mmHg dan PaO2 dari 120-140 mmHg. Ketikaa ada
pemburukan klinis seperti dilatasi pupil atau tekanan nadi
melebar, hiperventilasi dapat dilakukan (sebaiknya dengan
Ambu bag) sampai TIK turun. Hyper barik O2, hipotermia
masih dalam tahap percobaan, terutama di Jepang. Mereka
pada dasarnya menyebabkan vasokonstriksi serebral dan
mengurangi volume darah otak dan TIK (Harsono, dkk, 2015).

 Osmotherapi berguna dalam tahap edema sitotoksik, ketika


permeabilitas kapiler yang masih baik, dengan meningkatkan
osmolalitas serum. Manitol masih merupakan obat yang baik
untuk mengurangi TIK, tetapi hanya jika digunakan dengan

35
benar: itu adalah diuretik osmotik yang paling umum
digunakan. Hal ini juga dapat bertindak sebagai scavenger
radikal bebas. Manitol tidak inert dan tidak berbahaya. Gliserol
dan urea merupak golongan yang jarang digunakan hari ini.
Beberapa teori telah dikemukakan mengenai mekanisme yang
mengurangi TIK (Harsono, dkk, 2015).
a. Dengan meningkatkan fleksibilitas eritrosit, yang
menurunkan viskositas darah dan menyebabkan
vasokonstriksi yang mengurangi volume darah otak dan
menurunkan TIK dan dapat mengurangi produksi CSF oleh
pleksus choroideus. Dalam dosis kecil dapat melindungi
otak dari iskemik karena fleksibilitas eritrosit meningkat.
b. Efek diuretik terutama di sekitar lesi, di mana integritas
sawar darah otak terganggu dan tidak ada pengaruh yang
signifikan pada otak normal. Lesi intraaxial merespon lebih
baik dari lesi ekstra aksial.
c. Teori lain adalah, manitol dengan menarik air di ependyma
dari ventrikel dengan cara analog dengan yang dihasilkan
oleh drainase ventrikel. Dosis tradisional adalah 1 gm/kg/24
jam 20% sampai 25% iv baik sebagai bolus atau lebih
umum secara bertahap. Tidak ada peran untuk dehidrasi.
Efek Manitol pada TIK maksimal adalah 1 / 2 jam setelah
infus dan berlangsung selama 3 atau 4 jam sebagai sebuah
aturan. Dosis yang benar adalah dosis terkecil yang akan
berpengaruh cukup terhadap TIK. Ketika dosis berulang
diperlukan, penggunaan garis dasar osmolalitas serum
meningkat secara bertahap dan saat ini melebihi 330 mosm
/ 1 terapi manitol harus dihentikan. Penggunaan lebih lanjut
tidak efektif dan cenderung menimbulkan gagal ginjal.
Diuretik seperti furosemid, baik sendiri atau bersama
dengan bantuan manitol untuk mempercepat ekskresi dan

36
mengurangi osmolalitas serum awal sebelum dosis
berikutnya. Beberapa mengklaim, bahwa furosemid manitol
dapat meningkatkan output. Beberapa memberikan
furosemid sebelum manitol, sehingga mengurangi overload
sirkulasi. Fenomena rebound adalah karena pembalikan
gradien osmoTIK sebagai akibat kebocoran progresif dari
agen osmotik melintasi penghalang darah otak rusak, atau
karena TIK yang meningkat kembali.
3. Barbiturat dapat menurunkan TIK ketika tindakan-tindakan lain gagal,
tetapi tidak memiliki nilai profilaksis. Mereka menghambat peroksidasi
lipid dimediasi radikal bebas dan menekan metabolisme serebral;
persyaratan metabolisme otak dan dengan demikian volume darah otak
yang berkurang mengakibatkan penurunan TIK. Fenobarbital yang
paling banyak digunakan. Dosis 10 mg / kg pemuatan lebih dari 30
menit dan 1-3mg/kg setiap jam secara luas digunakan. Fasilitas untuk
memantau dekat TIK dan ketidakstabilan hemodinamik harus
menemani setiap terapi obat tidur (Harsono, dkk, 2015).
4. Dosis tinggi terapi steroid sangat populer beberapa tahun yang lalu dan
masih digunakan oleh beberapa ahli. Ini mengembalikan integritas
dinding sel dan membantu dalam pemulihan dan mengurangi edema.
Barbiturat dan agen anestesi lain mengurangi tekanan CBF dan arteri
sehingga mengurangi TIK. Selain itu mengurangi metabolisme otak dan
permintaan energi yang memfasilitasi penyembuhan lebih baik
(Harsono, dkk, 2015).
5. Hipotermi dapat digunakan sebagai terapi adjuvant terhadap terapi yang
lain. Temperatur tubuh dibuat menjadi lebih rendah dari temperature
tubuh yang normal yaitu sekitar 32°C – 34 °C. Metode ini dapat
mungkin menurunkan TIK dengan menurunkan metabolisme dari otak.
Metode terapi hipotermia selama 48 jam atau kurang dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan TCB. Metode terapi ini selama 8
jam atau lebih dapat dipertimbangkan untuk terapi pada peningkatan

37
TIK. Penggunaan metode ini hanya direkomendasikan pada ahli yang
berpengalaman yang benar-benar mengerti perubahan fisiologi yang
berhubungan dengan hipotermia dan mampu merespon dengan cepat
perubahan tersebut. Komplikasi dari metode hipotermia ini meliputi
depresi jantung pada suhu di bawah 32°C. dan peningkatan insiden
komplikasi berupa infeksi seperti pneumonia telah dilaporkan pada
metode terapi ini (Harsono, dkk, 2015).
Penggunaan Koagulopati. Kerusakan parenkim otak yang berat
dapat terjadi karena adanya pelepasan thromboplastin pada jaringan
diamana hal ini akan mengaktivasi faktor instrinsik. Sindroma klinis
didiagnosa dengan adanya pemanjangan PT dan aktivasi sebagian dari
nilai APTT, penurunan level fibrinogen, peningkatan level fibrin, dan
penurunan jumlah platelet. APTT yang memanjang ditangani dengan
memberikan fresh frozen plasma. Kadar Fibrinogen di bawah 150
mg/dL memerlukan penanganan berupa pemberian krioprecipitate.
Pemberian platelet harus dilakukan untuk mengobati nyeri kepala pada
pasien dengan jumlah platelet yang kurang dari 100.000/ml bila waktu
perdarahan memanjang.

6. Intervensi bedah
Tekanan intrakranial (intracranial pressure, TIK) dapat diukur secara
kontinu dengan menggunakan transduser intrakranial. Kateter dapat
dimasukkan ke dlam entrikel lateral dan dapat digunakan untuk
mengeluarkan CSF dengan tujuan untuk mengurangi TIK. Drain tipe
ini dikenal dengan EVD (ekstraventicular drain). Pada situasi yang
jarang terjadi dimana CSf dalam jumlah sedikit dapat dikeluarkan
untuk mengurangi TIK, Drainase TIK melalui punksi lumbal dapat
digunakan sebagai suatu tindakan pengobatan (Harsono, dkk, 2015).
.
Kraniotomi adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk
mengeluarkan hematom di di dalam ruangan intrakranial dan untuk

38
mengurangi tekanan intrakranial dari bagian otak dengan cara
membuat suatu lubang pada tulang tengkorak kepala. Kranioektomi
adalah suatu tindakan radikal yang dilakukan sebagai penanganan
untuk peningkatan tekanan intrakranial, dimana dilakukan
pengangkatan bagian tertentu dari tulang tengkorak kepala dan
duramater dibebaskan agar otak dapat membesar tanpa adanya
herniasi. Bagian dari tulang tengkorak kepala yang diangkat ini
desebut dengan bone flap. Bone flap ini dapat disimpan pada perut
pasien dan dapat dipasang kembali ketika penyebab dari peningkatan
TIK tersebut telah disingkirkan. Material sintetik digunakan sebagai
pengganti dari bagian tulang tengkorak yang diangkat. Tindakan
pemasangan material sintetik ini dkenal dengan cranioplasty
(Sjamsuhidajat, dkk, 2011).
Kraniotomi adalah salah satu bentuk dari operasi pada otak.
Operasi ini paling banyak digunakan dalam operasi untuk mengangkat
tumor pada otak. Operasi ini juga sering digunakan untuk mengangkat
bekuan darah (hematom), untuk mengontrol perdarahan, aneurisma
otak, abses otak, memperbaiki malformasi arteri vena, mengurangi
tekanan intrakranial, atau biopsi (Sjamsuhidajat, dkk, 2011).
Sebelum melakukan tindakan kraniotomi, terlebih dahulu harus
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan penyebab dan
lokasi dari lesi di otak. Oleh karena itu dilakuakn neuroimaging.
Neuroimaging yang dapat dilakukan
 CT scan
 MRI
 Arteriogram
Pasien yang akan dilakuakn tindakan kraniotomi dpat diberikan
pengobatan terlebih dahulu untuk mengurangi rasa cemas dan
mengurangi resiko terjadinya kejang, edema, dan infeksi setelah
operasi. Obata-obatan seperti heparin, aspirin dan golongan NSAID
memiliki hubungan dengan meningkatnya bekuan darah yang terjadi

39
pasca operasi. Obat-obatan ini harus disuntikkan 7 hari sebelum
operasi agar efeknya hilang sebelum operasi dilakukan.Sebagai
tambahan, dibutuhkan pemeriksaan laboratorium yang rutin atau yang
khusus sesuai dengan kebutuhan. Pasien tidak boleh makan dan minum
6-8 jam sebelum operasi dan kepala pasien harus dicukur sesaat
sebelum operasi dimulai (Sjamsuhidajat, dkk, 2011).
Ada dua metode yang umumnya digunakan untuk membuka
tengkorak. Insisi dibuat pada daerah leher di sekitar os. Occipital atau
insisi melengkung yang dibuat di bagian depan telinga yang
melengkung ke atas mata. Insisi dilakukan hingga sejauh membran
tipis yang membungkus tulang tengkorak kepala. Selama insisi
dilakukan, ahli bedah harus menutup pembuluh darah kecil sebanyak
mungkin. Hal ini dikarenakan scalp merupakan daerah yang kaya akan
suplai darah (Sjamsuhidajat, dkk, 2011).
Scalp ditarik ke belakang agar tulang dapat terlihat. Dengan
menggunakan bor kecepatan tinggi, dilakukan pengeboran mengikuti
pola lubang dan lakukan pemotongan mengikuti pola lubang yang
telah ada hingga bone flap dapat diangkat. Hal ini akan memberikan
akses ke dalam kraium dan memudahkan untuk melakukan operasi di
dalam otak. Setelah mengangkat lesi di dalam otak atau setelah
prosedur yang lainnya selesai, tulang dikembalikan ke posisi semula
dengan menggunakan kawat halus. Membran, otot, dan kulit dijahit
dalam posisinya. Apabila lesinya adalah suatu aneurisma, maka arteri
yang terlibat diklem. Apabila lesinya adalah tumor, sebanyak mungkin
bagian dari tumor ini diangkat. Untuk kelainan malformasi arteri vena,
kelainannya dipotong kemudian disambung kembali dengan pembuluh
darah yang normal (Sjamsuhidajat, dkk, 2011).

40
B. Cephalgia
B.1. Definisi Cephalgia

Cephalgia merupakan nyeri dikepala. Cepha berarti kepala dan


ischialgiaartinya nyeri. Cephalgia atau nyeri kepala termasuk keluhan yang umum
dan dapat terjadi akibat banyak sebab. Cephalgia adalah rasa sakit atau tidak
nyaman antaraorbita dengan kepala yang berasal dari struktur sensitif terhadap
rasa sakit (Dorland, 2015). Cephalgia kronis didefinisikan sebagai nyeri kepala
yang terjadi berulang kali atau terus- menerus untuk jangka waktu yang lama.
Cephalgia dapat menurunkan kualitas hidup seseorang (Longmore, dkk, 2014).

B.2 Etiologi
Cephalgia atau nyeri kepala suatu gejala yang menjadi awal dari
berbagaimacam penyakit. Cephalgia dapat disebabkan adanya kelainan organ-
organ dikepala,jaringan sistem persarafan dan pembuluh darah. Sakit kepala
kronik biasanyadisebabkan oleh migraine, ketegangan, atau depresi, namun dapat
juga terkait denganlesi intracranial, cedera kepala, dan spondilosis servikal,
penyakit gigi atau mata,disfungsi sendi temporomandibular, hipertensi, sinusitis,
trauma, perubahan lokasi(cuaca, tekanan) dan berbagai macam gangguan medis
umum lainnya (Longmore, dkk, 2014).

B.3 Epidemiologi
Faktor resiko terjadinya sakit kepala adalah gaya hidup, kondisi penyakit,
jenis kelamin, umur, pemberian histamin atau nitrogliserin sublingual dan faktor
genetik. Prevalensi sakit kepala di USA menunjukkan 1 dari 6 orang (16,54%)
atau 45 juta orang menderita sakit kepala kronik dan 20 juta dari 45 juta tersebut
merupakan wanita. 75 % dari jumlah di atas adalah tipe tension headache yang
berdampak pada menurunnya konsentrasi belajar dan bekerja sebanyak 62,7 %.
Menurut IHS, migren sering terjadi pada pria dengan usia 12 tahun sedangkan
pada wanita, migren seringterjadi pada usia lebih besar dari 12 tahun. IHS juga

41
mengemukakan cluster headache 80 ± 90 % terjadi pada pria dan prevalensi sakit
kepala akan meningkat setelah umur 15 tahun (Butt, dkk, 2005).

B.4 Fisiologi Cephalgia


Nyeri (sakit) merupakan mekanisme protektif yang dapat terjadi setiap saat
bila ada jaringan manapun yang mengalami kerusakan, dan melalui nyeri
inilah,seorang individu akan bereaksi dengan cara menjauhi stimulus nyeri
tersebut (Longmore, dkk, 2014).
Rasa nyeri dimulai dengan adanya perangsangan pada reseptor nyeri
olehstimulus nyeri. Stimulus nyeri dapat dibagi tiga yaitu mekanik, termal, dan
kimia. Mekanik, spasme otot merupakan penyebab nyeri yang umum karena
dapatmengakibatkan terhentinya aliran darah ke jaringan (iskemia jaringan),
meningkatkanmetabolisme di jaringan dan juga perangsangan langsung ke
reseptor nyeri sensitive mekanik (Longmore, dkk, 2014).
Termal, rasa nyeri yang ditimbulkan oleh suhu yang tinggi tidak
berkorelasidengan jumlah kerusakan yang telah terjadi melainkan berkorelasi
dengan kecepatankerusakan jaringan yang timbul. Hal ini juga berlaku untuk
penyebab nyeri lainnyayang bukan termal seperti infeksi, iskemia jaringan, memar
jaringan, dll. Pada suhu 450C, jaringan–jaringan dalam tubuh akan mengalami
kerusakan yang didapati padasebagian besar populasi (Longmore, dkk, 2014).
Kimia, ada beberapa zat kimia yang dapat merangsang nyeri
sepertibradikinin, serotonin, histamin, ion kalium, asam, asetilkolin, dan enzim
proteolitik.Dua zat lainnya yang diidentifikasi adalah prostaglandin dan substansi
P yang bekerjadengan meningkatkan sensitivitas dari free nerve endings.
Prostaglandin dan substansiP tidak langsung merangsang nyeri tersebut. Dari
berbagai zat yang telahdikemukakan, bradikinin telah dikenal sebagai penyebab
utama yang menimbulkannyeri yang hebat dibandingkan dengan zat lain. Kadar
ion kalium yang meningkatdan enzim proteolitik lokal yang meningkat sebanding
dengan intensitas nyeri yangdirasakan karena kedua zat ini dapat mengakibatkan
membran plasma lebihpermeabel terhadap ion. Iskemia jaringan juga termasuk

42
stimulus kimia karena padakeadaan iskemia terdapat penumpukan asam laktat,
bradikinin, dan enzimproteolitik (Longmore, dkk, 2014).
Semua jenis reseptor nyeri pada manusia merupakan free nerve
endings.Reseptor nyeri banyak tersebar pada lapisan superfisial kulit dan juga
pada jaringan internal tertentu, seperti periosteum, dinding arteri, permukaan
sendi, falks, dan tentorium. Kebanyakan jaringan internal lainnya hanya diinervasi
oleh free nerveendings yang letaknya berjauhan sehingga nyeri pada organ
internal umumnya timbul akibat penjumlahan perangsangan berbagai nerve
endings dan dirasakan sebagai slow-chronic-aching type pain. Nyeri dapat dibagi
atas dua yaitu nyeri akut (fast pain) dan nyeri kronik (slowpain). Nyeri akut,
merupakan nyeri yang dirasakan dalam waktu 0,1 detik setelah stimulus
diberikan. Nyeri ini disebabkan oleh adanya stimulus mekanik dan termal. Signal
nyeri ini ditransmisikan dari saraf perifer menuju korda spinalis melalui seratAδ
dengan kecepatan mencapai 6-30 m/detik. Neurotransmitter yang mungkin
digunakan adalah glutamat yang juga merupakan neurotransmitter eksitatorik
yang banyak digunakan pada CNS. Glutamat umumnya hanya memiliki durasi
kerja selama beberapa milidetik (Longmore, dkk, 2014).
Nyeri kronik, merupakan nyeri yang dirasakan dalam waktu lebih dari 1
detiksetelah stimulus diberikan. Nyeri ini dapat disebabkan oleh adanya stimulus
mekanik, kimia dan termal tetapi stimulus yang paling sering adalah stimulus
kimia. Signal nyeri ini ditransmisikan dari saraf perifer menuju korda spinalis
melalui serat C dengan kecepatan mencapai 0,5-2 m/detik. Neurotramitter yang
mungkin digunakan adalah substansi P (Longmore, dkk, 2014).
Meskipun semua reseptor nyeri adalah free nerve endings, jalur yang
ditempuh dapat dibagi menjadi dua pathway yaitu fast-sharp pain pathway
danslow- chronic pain pathway. Setelah mencapai korda spinalis melalui dorsal
spinalis, serat nyeri ini akan berakhir pada relay neuron pada kornu dorsalis dan
selanjutnya akan dibagi menjadi dua traktus yang selanjutnya akan menuju ke
otak. Traktus ituadalah neospinotalamikus untuk fast pain dan
paleospinotalamikus untuk slow pain (Longmore, dkk, 2014).

43
Traktus neospinotalamikus untuk fastpain, pada traktus ini, serat Aδ
yangmentransmisikan nyeri akibat stimulus mekanik maupun termal akan
berakhir padalamina I (lamina marginalis) dari kornu dorsalis dan mengeksitasi
second-orderneurons dari traktus spinotalamikus. Neuron ini memiliki serabut
saraf panjang yangmenyilang menuju otak melalui kolumn anterolateral. Serat
dari neospinotalamikusakan berakhir pada, area retikular dari batang otak
(sebagian kecil), nukleus thalamus bagian posterior (sebagian kecil), kompleks
ventrobasal (sebagian besar). Traktuslemniskus medial bagian kolumn dorsalis
untuk sensasi taktil juga berakhir padadaerah ventrobasal. Adanya sensori taktil
dan nyeri yang diterima akanmemungkinkan otak untuk menyadari lokasi tepat
dimana rangsangan tersebutdiberikan (Longmore, dkk, 2014).
Traktus paleospinotalamikus untuk slow pain, traktus ini
selainmentransmisikan sinyal dari serat C, traktus ini juga mentransmisikan
sedikit sinyaldari serat Aδ. traktus ini , saraf perifer akan hampir seluruhnya
berakhir pada laminaII dan III yang apabila keduanya digabungkan, sering disebut
dengan substansiagelatinosa. Kebanyakan sinyal kemudian akan melalui sebuah
atau beberapa neuronpendek yang menghubungkannya dengan area lamina V lalu
kemudian kebanyakanserabut saraf ini akan bergabung dengan serabut saraf dari
fast-sharp pain pathway.Setelah itu, neuron terakhir yang panjang akan
menghubungkan sinyal ini ke otakpada jaras antero lateral. Ujung dari traktus
paleospinotalamikus kebanyakan berakhirpada batang otak dan hanya
sepersepuluh ataupun seperempat sinyal yang akanlangsung diteruskan ke
talamus. Kebanyakan sinyal akan berakhir pada salah satu tigaarea yaitu nukleus
retikularis dari medulla, pons, dan mesensefalon, area tektum darimesensefalon,
regio abu-abu dari peraquaductus yang mengelilingi aquaductus Silvii (Longmore,
dkk, 2014).
Ketiga bagian ini penting untuk rasa tidak nyaman dari tipe nyeri. Dari
area batangotak ini, multipel serat pendek neuron akan meneruskan sinyal kearah
atas melaluiintralaminar dan nukleus ventrolateral dari talamus dan ke area
tertentu darihipotalamus dan bagian basal otak (Longmore, dkk, 2014).

44
B.5 Klasifikasi Cephalgia
Sakit kepala dapat diklasifikasikan menjadi sakit kepala primer, sakit
kepalasekunder, dan neuralgia kranial, nyeri fasial serta sakit kepala lainnya. Sakit
kepala primer dapat dibagi menjadi migraine, tension type headache, cluster head
ache dengan sefalgia trigeminal/autonomik, dan sakit kepala primer lainnya. Sakit
kepala sekunder dapat dibagi menjadi sakit kepala yang disebabkan oleh karena
trauma padakepala dan leher, sakit kepala akibat kelainan vaskular kranial dan
servikal, sakit kepala yang bukan disebabkan kelainan vaskular intrakranial, sakit
kepala akibat adanya zat atau withdrawal, sakit kepala akibat infeksi, sakit kepala
akibat gangguanhomeostasis, sakit kepala atau nyeri pada wajah akibat kelainan
kranium, leher, telinga, hidung, dinud, gigi, mulut atau struktur lain di kepala dan
wajah, sakit kepala akibat kelainan psikiatri (Harsono, dkk, 2015).

B.6 Patofisiologi Cephalgia


Beberapa mekanisme umum yang tampaknya bertanggung jawab
memicunyeri kepala yaitu peregangan atau pergeseran pembuluh darah,
intrakranium atau ekstrakranium, traksi pembuluh darah, kontraksi otot kepala dan
leher (kerja berlebihan otot), peregangan periosteum (nyeri lokal), degenerasi
spina servikalis atas disertai kompresi pada akar nervus servikalis (misalnya,
arteritis vertebra servikalis), defisiensi enkefalin (peptida otak mirip- opiat, bahan
aktif pada endorfin) (Harsono, dkk, 2015).

45
C. Gangguan Kognitif
C.1. Definisi

Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual


progresif yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga
mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari
(Dorland, 2015).

C.2. Epidemologi

Pada umumnya 40% penderita demensia berada di atas 65 tahun dengan


angka insidens 187/100.000/tahunnya. Untuk demensia tidak ada perbedaan
antara pria dan wanita sedangkan untuk demensia Alzheimer lebih banyak wanita
dengan rasio 1,6. Insiden demensia Alzheimer sangatlah berkaitan dengan umur,
5% dari populasi berusia di atas 65 tahun di Amerika dan Eropa merupakan
penderita Alzheimer, dan ini sesuai dengan makin banyak populasi orang tua di
Amerika Serikat dan Eropa, maka makin tua populasinya makin banyak kasus
Alzheimer Disease, dimana pada populasi umur 80 tahun didapati 50% penderita
Alzheimer Disease (Ropper, dkk, 2014).

C.3. Klasifikasi
Demensia terbagi atas 2 dimensi (Ropper, dkk, 2014) :
Menurut umur; terbagi atas:
 Demensia senilis onset > 65 tahun
 Demensia presenilis < 65 tahun
Menurut level kortikal:
 Demensia kortikal
 Demensia subkortikal
Klasifikasi lain yang berdasarkan korelasi gejala klinik dengan patologi-
anatomisnya (Ropper, dkk, 2014).
 Anterior : Frontal premotor cortex
Perubahan behavior, kehilangan kontrol, anti sosial, reaksi lambat.

46
 Posterior: lobus parietal dan temporal
Gangguan kognitif: memori dan bahasa, akan tetapi behaviour relatif baik.
 Subkortikal: apatis, forgetful, lamban, adanya gangguan gerak.
 Kortikal: gangguan fungsi luhur; afasia, agnosia, apraksia.
C.4. Pemeriksaan demensia.
Diagnosis klinis tetap merupakan pendekatan yang paling baik karena

sampai saat ini belum ada pemeriksaan elektrofisiologis, neuro imaging dan

pemeriksaan lain untuk menegakkan demensia secara pasti. Beberapa langkah

praktis yang dapat dilakukan antara lain (Ropper, dkk, 2014).:

1. Riwayat medik umum

Perlu ditanyakan apakah penyandang mengalami gangguan medik yang

dapat menyebabkan demensia seperti hipotiroidism, neoplasma, infeksi kronik.

Penyakit jantung koroner, gangguan katup jantung, hipertensi, hiperlipidemia,

diabetes dan arteriosklerosis perifer mengarah ke demensia vaskular. Pada saat

wawancara biasanya pada penderita demensia sering menoleh yang disebut head

turning sign.

2. Riwayat neurologi umum

Tujuan anamnesis riwayat neurologi adalah untuk mengetahui kondisi-

kondisi khusus penyebab demensia seperti riwayat stroke, TIA, trauma kapitis,

infeksi susunan saraf pusat, riwayat epilepsi dan operasi otak karena tumor atau

hidrosefalus. Gejala penyerta demensia seperti gangguan motorik, sensorik,

gangguan berjalan, nyeri kepala saat awitan demesia lebih mengindikasikan

kelainan struktural dari pada sebab degeneratif.

47
3. Riwayat neurobehavioral

Anamnesa kelainan neurobehavioral penting untuk diagnosis demensia

atau tidaknya seseorang. Ini meliputi komponen memori. (memori jangka pendek

dan memori jangka panjang) orientasi ruang dan waktu, kesulitan bahasa, fungsi

eksekutif, kemampuan mengenal wajah orang, bepergian, mengurus uang dan

membuat keputusan.

4. Riwayat psikiatrik

Riwayat psikiatrik berguna untuk menentukan apakah penyandang pernah

mengalami gangguan psikiatrik sebelumnya. Perlu ditekankan ada tidaknya

riwayat depresi, psikosis, perubahan kepribadian, tingkah laku agresif, delusi,

halusinasi, dan pikiran paranoid. Gangguan depresi juga dapat menurunkan fungsi

kognitif, hal ini disebut pseudodemensia.

5. Riwayat keracunan, nutrisi dan obat-obatan


Intoksikasi aluminium telah lama dikaitkan dengan ensefalopati toksik dan
gangguan kognitif walaupun laporan yang ada masih inkonsisten. Defisiensi
nutrisi, alkoholism kronik perlu menjadi pertimbangan walau tidak spesifik untuk
demensia Alzheimer. Perlu diketahui bahwa anti depresan golongan trisiklik dan
anti kolinergik dapat menurunkan fungsi kognitif.

6. Riwayat keluarga
Pemeriksaan harus menggali kemungkinan insiden demensia di keluarga,
terutama hubungan keluarga langsung, atau penyakit neurologik, psikiatrik.

48
7. Pemeriksaan objektif
Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan fisik
umum, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan neuropsikologis, pemeriksaan status
fungsional dan pemeriksaan psikiatrik.

8. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan laboratorium rutin
Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis
demensia ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia khususnya
pada demensia reversible, walaupun 50% penyandang demensia adalah demensia
Alzheimer dengan hasil laboratorium normal, pemeriksaan laboratorium rutin
sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain:
pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah, ureum,
fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam folat

 Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan demensia walaupun
hasilnya masih dipertanyakan.

 Pemeriksaan EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran spesifik dan
pada sebagian besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer stadium lanjut dapat
memberi gambaran perlambatan difus dan kompleks periodik.

 Pemeriksaan cairan otak


Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan demensia akut,
penyandang dengan imunosupresan, dijumpai rangsangan meningen dan panas,
demensia presentasi atipikal, hidrosefalus normotensif, tes sifilis (+), penyengatan
meningeal pada CT scan.

49
 Pemeriksaan genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid
polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. setiap
allel mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon 4
diantara penyandang demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe sporadik
menyebabkan pemakaian genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda semakin
meningkat.

9. Pemeriksaan neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status mental, aktivitas
sehari-hari / fungsional dan aspek kognitif lainnya. Pemeriksaan neuropsikologis
penting untuk sebagai penambahan pemeriksaan demensia, terutama pemeriksaan
untuk fungsi kognitif, minimal yang mencakup atensi, memori, bahasa, konstruksi
visuospatial, kalkulasi dan problem solving. Pemeriksaan neuropsikologi sangat
berguna terutama pada kasus yang sangat ringan untuk membedakan proses
ketuaan atau proses depresi. Sebaiknya syarat pemeriksaan neuropsikologis
memenuhi syarat sebagai berikut: mampu menyaring secara cepat suatu populasi
dan mampu mengukur progresifitas penyakit yang telah diindentifikaskan
demensia (Ropper, dkk, 2014).
Sebagai suatu esesmen awal pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE)
adalah test yang paling banyak dipakai. tetapi sensitif untuk mendeteksi gangguan
memori ringan (Ropper, dkk, 2014).
Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test yang paling sering
dipakai saat ini, penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi
gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognisi
dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27 dianggap abnormal dan
mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada penderita berpendidikan
tinggi (Ropper, dkk, 2014).
Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE paling
rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang rendah ini
mengidentifikasikan resiko untuk demensia. Pada penelitian Crum R.M 1993

50
didapatkan median skor MMSE adalah 29 untuk usia 18-24 tahun, median skor 25
untuk yang > 80 tahun, dan median skor 29 untuk yang lama pendidikannya >9
tahun, 26 untuk yang berpendidikan 5-8 tahun dan 22 untuk yang berpendidikan
0-4 tahun (Ropper, dkk, 2014).
Clinical Dementia Rating (CDR) merupakan suatu pemeriksaan umum
pada demensia dan sering digunakan dan ini juga merupakan suatu metode yang
dapat menilai derajat demensia ke dalam beberapa tingkatan. Penilaian fungsi
kognitif pada CDR berdasarkan 6 kategori antara lain gangguan memori,
orientasi, pengambilan keputusan, aktivitas sosial/masyarakat, pekerjaan rumah
dan hobi, perawatan diri. Nilai yang dapat pada pemeriksaan ini adalah
merupakan suatu derajat penilaian fungsi kognitif yaitu; Nilai 0, untuk orang
normal tanpa gangguan kognitif. Nilai 0,5, untuk Quenstionable dementia. Nilai
1, menggambarkan derajat demensia ringan, Nilai 2, menggambarkan suatu
derajat demensia sedang dan nilai 3, menggambarkan suatu derajat demensia yang
berat (Ropper, dkk, 2014).

51
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada pasien ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis pasien didapatkan nyeri kepala,

terjadi secara kronik, progresif, berdenyut dan terjadi di kepala bagian kiri. Hal ini

sesuai dengan gejala nyeri kepala yang berhubungan dengan peningkatan TIK.

PCO2 serebral meningkat sehingga mengakibatkan peningkatan Cerebral Blood

Flow (CBF) dan dengan demikian mempertinggi tekanan intrakranial. Dari

anamnesis diperoleh data bahwa pasien harus menulis catatan untuk membantu

agar tidak lupa. Hal ini sesuai dengan adanya kemungkinan tumor berdasarkan

lobus fokal, dalam hal ini dicurigai terjadi pada bagian temporal sinistra.

Dari pemeriksaan fisik, tidak ditemukan penurunan kekuatan otot baik

pada ekstremitas atas maupun ekstremitaas atas. Namun pada pemeriksaan

MMSE ditemukan kemungkinan gangguan kognitif. Dari pemeriksaan penunjang

berupa CT-scan didapatkan gambaran massa intracerebral di temporo, parietal dan

occipital sinistra. Hal tersebut sesuai dengan teori dimana lokasi tumor pada lobus

temporalis menyebabkan timbulnya gangguan kognitif dan nyeri kepala sebelah

kiri. Lesi pada lobus temporalis dapat mengakibatkan perubahan kepribadian:

antisosial, kehilangan inisiatif, penurunan tingkat intelektual seperti demensia.

Gejala klinis fokal maupun umum dari adanya tumor, ditandai dengan

adanya peningkatan tekanan intrakranial, halini dapat berupa adanya nyeri kepala.

Gambaran CT-scan merupakan alat diagnostik yang penting dalam evaluasi pasien

52
yang diduga menderita tumor otak. Gambaran CT-scan pada tumor otak,

umumnya tampak sebagai lesi abnormal berupa massa yang mendorong struktur

otak sekitarnya. Biasanya tumor otak dikelilingi jaringan oedem yang terlihat jelas

karena densitasnya lebih rendah. Beberapa jenis tumor otak akan terlihat lebih

nyata bila pada waktu pemeriksaan CT-scan disertai dengan pemberian zat

kontras.

Penatalaksanaan SOL tergantung pada penyebab lesi. Untuk tumor primer,

jika memungkinkan dilakukan eksisi sempurna, namun umumnya sulit dilakukan

sehingga pilihan pada radioterapi dan kemoterapi, tetapi jika tumor metastase

pengobatan paliatif yang dianjurkan. Penatalaksanaan untuk pasien ini adalah

pengobatan medikamentosa dan pembedahan. Pengobatan medikamentosa

diberikan deksametason yang dapat menurunkan oedem serebral. Kortikosteroid

untuk mengurangi oedema peritumoral dan mengurangi tekanan intracranial.

Efeknya mengurangi sakit kepala dengan cepat. Dexamethasone adalah

corticosteroid yang dipilih karena aktivitas mineralocorticoid yang minimal.

Dosisinya dapat diberikan mulai dari 16 mg/hari, tetapi dosis ini dapat

ditambahkan maupun dikurangi untuk mencapai dosis yang dibutuhkan agar dapat

mengontrol gejala neurologik. Penatalaksanaan sementara yang dapat dilakukan

pada pasien ini adalah terapi suportif, yaitu infus NaCl 0,9% 10

tetes/menit(makro), ranitidin ampul 1 gram/12 jam, dexamethasone 1 ampul/6

jam, injeksi piracetam 3 gram/8 jam dan donapezil 1x1 peroral. Piracetam telah

terbukti mengubah sifat fisik membrane plasma dengan meningkatkan

fluiditasnya dan dengan melindungi sel terhadap hipoksia. Ini meningkatkan

53
deformabilitas sel darah merah dan menormalkan agregasi trombosit hiperaktif.

Pemberian piracetam dapat meingkatkan memori dan metabolisme otak sehingga

dapat diberikan pada pasien dengan demensia. Sedangkan donapezil adalah

reversibel inhibitor dari enzim asetilkolinesterase. Aksi terapeutik obat ini terkait

dengan peningkatan fungsi kolinergik. Obat ini mengikat dan secara reversibel

menginaktivasi kolinesterase, sehingga menghambat hidrolisis asetilkolin. Hal ini

menyebabkan peningkatan konsentrasi asetilkolin pada sinaps kolinergik sehingga

defisiensi kolinergik bisa diatasi. FDA telah menyetujui bahwa donapezil dapat

diberikan pada pasien dengan demensia ringan hingga berat. Terapi pembedahan

dapat dilakukan untuk mengurangi tumor pokok, memberikan jalan untuk cairan

serebrospinal (CSF) mengalir dan mencapai potensial penyembuhan.

Prognosis untuk pasien ini baik. Karena pada pasien telah dilakukan

diagnosis dini dan penanganan yang tepat melalui rencana pembedahan. Dengan

penanganan yang baik maka persentase angka ketahahan hidup diharapkan dapat

meningkat. Angka ketahana nhidup lima tahun (fiveyears survival) berkisar50-

60% danangka ketahanan hidup sepuluh tahun (tenyears survival) berkisar 30-

40%. Prognosis tergantung pada tipe tumor.Untuk glioblastoma multiforme yang

cepat membesar “rata-rata survival time” tanpa pengobatan adalah 12 minggu;

dengan terapi pembedahan yang optimal dan radiasi yaitu 32minggu. Beberapa

astrositoma yang tumbuh mungkin menyebabkan gejala-gejala minimal atau

hanya serangan kejang-kejang selama 20 tahun atau lebih. Prognosa penderita

tumor otak yang seluruh tumornya telah dilakukan pengangkatan secara bersih

dan luas akan mempengaruhi (recurrens rates) atau angka residif kembali. Hasil

54
penelitian dari ‘The Mayo Clinic Amerika’ menunjukkan bahwa: 25% dari seluruh

penderita tumor otak yang telah dilakukan reseksi total, sepuluh tahun kemudian

tumornya residif kembali, sedangkan pada penderita yang hanya dilakukan reseksi

subtotal, 61% yang residif kembali.

55
DAFTAR PUSTAKA

American Association of Neurological Surgeons (AANS). Brain Tumors. Rolling

meadows: AANS; 2012.

Butt ME, Khan SA, Chaudrhy NA, Qureshi GR. Intra-Cranial space occupying

lesions : A morphological analysis. Biomedica. 2005; 21:31-5.

Cross SS. Underwood’s pathology: A clinical approach. Edisi ke-6. China:

Elsevier;2013.

Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis: Diagnosis dan

tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2009.

Dogar T, Imran AA, Hasan M, Jaffar R, Bajwa R, Qureshi ID. Space occupying

lesions of central nervous system: A radiological and histopathological

correlation. Biomedica. 2015; 31(1): 15

Dorland WAN. Kamus Kedokteran Dorland Edisi ke-29. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC;2015.

Harsono. Buku ajar neurologi klinis. Djogjakarta: Perimpunan ddokter spesialis

saraf Indonesia dengan Gadjah mada university press; 2015.

Lo BM, Talavera F, Arnold JF, Brenner BE, Hooker EA, Huff JS. Brain

Neoplasms [Internet]. New York: Medsape; 2015

Longmore M, Wilkinson IB, Baldwin A,Wallin E. Oxford handbook of clinical

medicine. Edisi ke-9. United States: Oxford University Press; 2014. hlm.

460.

56
Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: PT dian rakyat; 2007.

hlm.242.

Maxine AP, Stephen JM, Michael WR. Current medical diagnosis and treatment.

McGrawHill; 2013. hlm. 979.

Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi

ke-6. Jakarta: EGC;2005.

Ropper AH, Brown RH, Adams RDI, Victor M. Adams and Victor's principles of

neurology. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2014.

Satyanegara. Ilmu bedah saraf satyanegara. Edisi ke-5. Jakarta: PT Gramedia;

2014. hlm. 265.

Sjamsuhidajat R, Jong WD.Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC; 2011.

57

Anda mungkin juga menyukai