PENDAHULUAN
1
BAB II
PRESENTASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
JenisKelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
nyeri kepala. Nyeri kepala dirasakan sejak bulan Januari 2018 (16 bulan
2
yang lalu). Nyeri kepala dirasakan seperti cekot-cekot di bagian sisi kiri
dan belakang kepala, tidak menjalar ke sisi kanan kepala dan hilang timbul
seperti ibuprofen. Dalam satu hari nyeri kepala dapat muncul tiga hingga
empat kali. Pasien menyampaikan bahwa nyeri kepala bisa kapan saja
muncul. Setelah nyeri kepala muncul, pasien merasa mengantuk dan nyeri
didiagnosis cephalgia chronic ec. susp vascular dd brain SOL tetapi tidak
membaik.
3
Kebiasaan gaya hidup :Pasien tidak merokok dan minum
alkohol.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Vital Sign
TD :120/70 mmHg,
Suhu : 36,40Celcius
secret -/-, perdarahan -/-, nafas cuping hidung -/-, nyeri tekan -/-
4
Leher :deformitas -, kaku kuduk -, pembesaran kelenjar
Thorax :
a. Pulmo :
b. Palpasi : nyeri tekan tidak ada, tidak ada masa, gerak dada
kanan dan kiri sama, daya kembang paru kanan dan kiri 3 cm,
batas bawah)
b. Cor :
5
b. Palpaasi : Tidak adanya pulsasi pada daerah aorta, pulmo,
Abdomen:
tidak ada, sikatrik tidak ada, tidak tampak adanya masa, tidak
tidak teraba, lien tidak teraba, nyeri ketok ginjal tidak ada.
6
Ekstremitas:
Ekstremitas Atas: tidak ada deformitas pada tangan, jari dan kuku,
warna tangan relatif lebih merah, tidak ada perubahan warna pada
kuku tangan, capillary refill time <2 detik, akral teraba hangat,
clubbing finger tidak ada, sianosis tidak ada, edema tidak ada,
Ekstremitas Bawah: tidak ada deformitas pada kaki, jari dan kuku,
warna kaki relatif lebih merah, tidak ada perubahan warna pada
kuku kaki, capillary refill time <2 detik, akral teraba hangat,
D. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
1. Kesadaran
2. Meningeal Sign
c. Brudzinski I : Negatif
d. Brudzinski II : Negatif
3. Saraf-saraf otak
4. Sistem motorik
7
a. Bentuk otot : normal pada ekstremitas atas dan bawah
5. Sistem Refleks
18.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
8
Hasil: Pulmo tak tampak kelainan dan besar cor normal.
Hasil:
media
sinistra.
9
3. Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap tanggal 6 Mei 2019
HEMATOLOGI
HITUNG JENIS
Eosinofil 2 2-4 %
Basofil 1 0-1 %
Batang 0 2-5 %
Segmen 64 51-67 %
Limfosit 25 20-35 %
Monosit 6 4-8 %
DIABETES
Sewaktu
PROFIL LIPID
10
LDL 149 <130 mg/dL
2019
FUNGSI GINJAL
E. DIAGNOSIS KERJA
progresif
F. PENATALAKSANAAN
11
3. Injeksi Dexametason 1 Ampul/6 jam
H. PERJALANAN PENYAKIT
Suhu : 36,40C
Kepala:
Thorax :
12
Simetris, sonor, vesikuler,
Abdomen:
Ekstremitas:
oedem (-)
Status neurologis
normal
Sistem motorik
c. Kekuatan otot :
(5/5/5 I 5/5//5)
13
Negatif
Sistem Refleks
a. Refleks Fisiologis:
dan bawah
dan bawah
ureum: 34
14
Sklera ikterik (-)
Thorax :
Simetris,sonor, vesikuler,
Abdomen:
Ekstremitas:
oedem (-)
(MMSE)
18.
15
Keadaan umum : baik A/12 jam
5. Donapezil 1x1 per
GCS: compos mentis E4V5M6
oral
VS :
6. Asam folat 3x1 per
TD : 110/80 mmHg oral
7. Paracetamol 3x1 per
Nadi : 80 x/menit
oral
Napas: 22x/menit
Suhu : 36,20C
Kepala:
Thorax :
Abdomen:
Ekstremitas:
oedem (-)
16
menit. 3. Injeksi Dexametason
1 Ampul/6 jam
Mual (-)
4. Injeksi Ranitidin 1
Keadaan umum : baik
A/12 jam
GCS: compos mentis E4V5M6 5. Donapezil 1x1 per
oral
VS :
6. Asam folat 3x1 per
TD : 120/80 mmHg oral
Nadi : 84 x/menit 7. Paracetamol 3x1 per
Suhu : 36,60C
Kepala:
Thorax :
Abdomen:
Ekstremitas:
oedem (-)
17
2019 Pasien tidak mengeluh nyeri kepala tpm
2. Injeksi Piracetam 3
Mual (-)
gram/8 jam
Keadaan umum : baik
3. Injeksi Dexametason
GCS: compos mentis E4V5M6 1 Ampul/6 jam
4. Injeksi Ranitidin 1
VS :
A/12 jam
TD : 120/80 mmHg 5. Donapezil 1x1 per
Nadi : 80 x/menit oral
6. Asam folat 3x1 per
Napas: 20x/menit
oral
0
Suhu : 36,6 C 7. Paracetamol 3x1 per
Kepala: oral
Thorax :
Abdomen:
Ekstremitas:
oedem (-)
18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A.2 Patofisiologi
Kranium merupakan kerangka baku yang berisi tiga komponen yaitu otak,
cairan serebrospinal (CSS) dan darah. Kranium mempunyai sebuah lubang keluar
utama yaitu foramen magnum dan memiliki tentorium yang memisahkan hemisfer
serebral dari serebelum. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang
menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal sebesar 50 – 200 mm H2O atau 4
– 15 mm Hg (Guyton and Hall, 2010). Ruang intrakranial adalah suatu ruangan
baku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan:
otak (1400 g), cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml).
Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama mengakibatkan
desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan
intracranial (Guyton and Hall, 2010).
19
seperti neoplasma, akan menyebabkan isi intrakranial normal akan menggeser
sebagai konsekuensi dari space occupying lesion (SOL) (Dogar, dkk, 2015)..
Neoplasma menyebabkan timbulnya gangguan neurologik progresif.
Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya disebabkan oleh dua faktor, yaitu
gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan intrakranial (Mardjono, dkk, 2007).
Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak
dan infiltrasi atau invasi langsung pada aprenkim otak dengan kerusakan jaringan
neural. Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor yang bertumbuh
menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada
umumnya bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara akut dan gangguan
serebrovaskular primer (Mardjono, dkk, 2007).
20
otak didasari oleh hasil evaluasi morfologi makroskopis dan histologis
neoplasma, dikelompokkan atas kategori-kategori (Satyanegara, 2010):
a. Benigna (jinak)
Morfologi tumor tersebut menunjukkan batas yang jelas, tidak
infiltratif dan hanya mendesak organ-organ sekitar. Selain itu,
ditemukan adanya pembentukan kapsul serta tidak adanya metastasis
maupun rekurensi setelah dilakukan pengangkatan total. Secara
histologis, menunjukkan struktur sel yang reguler, pertumbuhan la,a
tanpa mitosis, densitas sel yang rendah dengan diferensiasi struktur
yang jelas parenkhim, stroma yang tersusun teratur tanpa adanya
formasi baru.
b. Maligna (ganas)
Tampilan mikroskopis yang infiltratif atau ekspansi destruktur tanpa
batas yang jelas, tumbuh cepat serta cenderung membentuk metastasis
dan rekurensi pasca pengangkatan total.
Klasifikasi tumor otak diawali oleh konsep Virchow berdasarkan
tampilan sitologinya dan dalam perkembangan selanjutnya dikemukakakn
berbagai variasi modifikasi peneliti-peneliti lain dari berbagai negara
Klasifikasi universal awal dipeloporo oleh Bailey dan Cushing (1926)
berdasarkan histogenesis sel tumor dan sel embrional yang dikaitkan
dengan diferensiasinya pada berbagai tingkatan dan diperankan oleh
faktor-faktor, seperti lokasi tumor, efek radiasi, usia penderita, dan
tindakan operasi yang dilakukan. Sedangkan pada klasifikasi Kernohan
(1949) didasari oleh sistem gradasi keganasan di atas dan
menghubungkannya dengan prognosis.
Cushing Kernohan
Astrositoma Astrositoma grade I dan II
Oligodendroglioma Oligodendroglioma grade I−IV
Ependioma Ependioma
Meduloblastoma Meduloblastoma
21
Glioblastoma multiforme Astrositoma grade III dan IV
Pinealoma (teratoma) Pinealoma
Ganglioneuroma (glioma) Neuroastrositoma grade I
Neuroblastoma Neuroastrositoma grade II−III
Papiloma pleksus khoroid Tumor campur
Tumor “unclassified”
Dikutip dari: Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, 2010
2. Hematom Intrakranial
a. Hematom Epidural
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama
arteri meningea media yang masuk dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dalam os
temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural.
Desakan dari hematom akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang
kepala sehingga hematom bertambah besar (Sjamsuhidajat, dkk, 2011).
Hematom yang meluas di daerah temporal menyebabkan tertekannya
lobus temporalis otek ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan
bagian medial lobus (unkis dan sebagian dari girus hipokampus)
mengalami herniasi di bawah tepi tentorium. Keadaan ini menyebabkan
timbulnya tanda-tanda neurologik (Buku Ajar Ilmu Bedah, 2004).
Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru
setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan
peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami sakit kepala,
mual, dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala neurologik
yang teroenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil ipsilateral melebar
(Buku Ajar Ilmu Bedah, 2004).
.
22
Gambar 2.11 Hematom Epidural
(Buku Ajar Ilmu Bedah, 2004)
Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom epidural, 4. Otak terdorong
kesisi lain
b. Hematom Subdural
Hematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan
robeknya vena di dalam ruang araknoid. Pembesaran hematom karena
robeknya vena memerlukan waktu yang lama. Oleh karena hematom
subdural sering disertai cedera otak berat lain, jika dibandingkan dengan
hematom epidural prognosisnya lebih jelek (Sjamsuhidajat, dkk, 2011).
Hematom subdural dibagi menjadi subdural akut bila gejala timbul
pada hari pertama sampai hari ketiga, subakut bila timbul antara hari
ketiga hingga minggu ketiga, dan kronik bila timbul sesudah minggu
ketiga (Sjamsuhidajat, dkk, 2011).
Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang
penting dan serius dalam 24 sampai 48 jam setelah cidera. Hematoma
sering berkaitan dengan trauma otak berat dan memiliki mortalitas yang
tinggi. Hematoma subdural akut terjadi pada pasien yang meminum obat
antikoagulan terus menerus yang tampaknya mengalami trauma kepala
minor. Cidera ini seringkali berkaitan dengan cidera deselarasi akibat
kecelakaan kendaraan bermotor. Defisit neurologik progresif disebabkan
oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak ke dalam
23
foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan henti nafas dan
hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah (Lo, dkk, 2015).
Hematom subdural subakut menyebabkan defisit neurologik
bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari dua minggu
setelah cidera. Riwayat klinis yang khas pada penderita hematom subdurak
subakut adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran,
selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang bertahap (Lo, dkk,
2015). Namun, setelah jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan
tanda-tanda status neurologis yang memburuk. Tingkat kesadaran menurun
secara bertahap dalam beberapa jam. Meningkatnya tekanan intrakranial
akibat timbunan hematom yang menyebabkan menjadi sulit dibangunkan
dan tidak merespon terhadap rangsangan vebral maupun nyeri.
Peningkatan tekanan intrakranial dan pergeseran isi kranial akibat
timbunan darah akan menyebabkan terjadinya herniasi unkus atau sentral
dan timbulnya tanda neurologik akibat kompresi batang otak (Lo, dkk,
2015).
Awitan gejala hematoma subdural kronik pada umumnya tertunda
beberapa minggu, bulan bahkan beberapa tahun setelah cidera awal. Pada
orang dewasa, gejala ini dapat dikelirukan dengan gejala awal demensia.
Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruang subdural
sehingga terjadi perdarahan lambat ke dalam ruang subdural. Dalam 7
sampai 10 hari setelah perdarahan, darah dikelilingi oleh membran fibrosa.
Terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma sehingga terbentuk
peredaan tekanan osmotik yang menyebabkan tertariknya cairan ke dalam
hematoma (Lo, dkk, 2015). Bertambahnya ukuran hematoma ini dapat
menyebabkan perdarahan lebih lanjut akibat robekan membran atau
pembuluh darah di sekelilinhnya sehingga meningkatkan ukuran dan
tekanan hematoma. Jika dibiarkan mengikuti perjalanan alamiahnya,
unsur-unsur kandungan hematom subdural akan mengalami perubahan-
perubahan yang khas. Hematoma subdural kronik memiliki gejala dan
tanda yang tidak spesifik, tidak terlokalisasi, dan dapat disebabkan oleh
24
banyak proses penyakit lain. Gejala dan tanda perubahan yang paling khas
adalah perubahan progresif dalam tingkat kesadaran termasuk apati,
latergi, berkurangnya perhatian dan menurunnya kemampuan untuk
mempergunakan kecakapan kognitif yang lebih tinggi (Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, 2005).
25
Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom subdural, 4. Otak terdorong
kesisi lain
c. Higroma Subdural
Higroma subdural adalah hematom subdural lama yang mungkin
disertai pengumpulan cairan serebrospinal di dalam ruang subdural.
Kelainan ini jarang ditemukan dan dapat terjadi karena robekan selaput
arakhnoid yang menyebabkan cairan serebrospinal keluar ke ruang
subdural. Gambaran klinis menunjukkan tanda kenaikan tekanan
intrakranial, sering tanpa tanda fokal (Sjamsuhidajat, dkk, 2011).
26
2. Muntah
Ditemukan pada peninggian tekanan intrakranial oleh
semua sebab dan merupakan tampilan yang terlambat dan
diagnosis biasanya dibuat sebelum gejala ini timbul. Muntah
akibat peninggian tekanan intrakranial biasanya timbul setelah
pasien bangun tidur. Meskipun sering dijelaskan sebagai muntah
projektil, maksudnya terjadi dengan kuat dan tanpa peringatan,
hal ini jarang menjadi gambaran yang khas (Maxine, dkk, 2009).
3. Papil edema
Papil oedema menunjukkan adanya oedema atau
pembengkakan diskus optikus yang disebabkan oleh peningkatan
tekanan intrakranial yang menetap selama lebih dari beberapa hari
atau minggu. Oedema ini berhubungan dengan obstruksi cairan
serebrospinal, dimana peningkatan tekanan intrakranial pada
selubung nervus optikus menghalangi drainase vena dan aliran
aksoplasmik pada neuron optikus dan menyebabkan pembengkakan
pada diskus optikus dan retina serta pendarahan diskus. Papila
oedema tahap lanjut dapat menyebabkan terjadinya atrofi sekunder
papil nervus optikus (Maxine, dkk, 2009).
4. Kejang
Kejang dapat timbul sebagai gejala dari tekanan
intrakranium yang melonjak secara cepat, terutama sebagai gejala
dari glioblastoma multiform. Kejang tonik biasanya timbul pada
tumor di fosa kranium posterior (Maxine, dkk, 2009).
5. Gangguan mental
Gangguan konsentrasi, cepat lupa, perubahan kepribadian,
perubahan mood dan berkurangnya inisiatif adalah gejala-gejala
umum pada penderita dengan tumor lobus frontal atau temporal.
27
Gejala ini bertambah buruk dan jika tidak ditangani dapat
menyebabkan terjadinya somnolen hingga koma.Tumor di sebagian
besar otak dapat mengakibatkan gangguan mental, misalnya
demensia, apatia, gangguan watak dan serta gangguan intelegensi
dan psikosis. Gangguan emosi juga akan terjadi terutama jika
tumor tersebut mendesak sistem limbik (khususnya amigdala dan
girus cinguli) karena sistem limbik merupakan pusat pengatur
emosi (Maxine, dkk, 2009).
28
frontal antara lain disartri, kelumpuhan kontralateral, dan afasia jika
hemisfer dominant dipengaruhi. Anosmia unilateral menunjukkan adanya
tumor bulbus olfaktorius (Cross, dkk, 2013).
29
yang menyebabkan terputusnya optic radiation sehingga dapat timbul
hemianopsia Daerah posterior dari lobus parietalis yang berdampingan
dengan lobus temporalis dan lobus oksipitalis merupakan daerah penting
bagi keutuhan fungsi luhur sehingga destruksi pada daerah tersebut akan
menyebabkan agnosia (hilangnya kemampuan untuk mengenali rangsang
sensorik) dan afasia sensorik, serta apraksia (kegagalan untuk melakukan
gerakan-gerakan yang bertujuan walaupun tidak ada gangguan sensorik
dan motorik). Tumor hemisfer dominan menyebabkan afasia, gangguan
sensoris dan berkurangnya konsentrasi yang merupakan gejala utama
tumor lobus parietal. Adapun gejala yang lain diantaranya disfungsi
traktus kortikospinal kontralateral, hemianopsia/ quadrianopsia inferior
homonim kontralateral dan simple motor atau kejang sensoris (Cross,
dkk, 2013).
30
7. Tumor pada Ventrikel Tiga dan Regio Pineal
Tumor di dalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga menghambat
ventrikel atau aquaduktus dan menyebabkan hidrosepalus. Perubahan
posisi dapat meningkatkan tekanan ventrikel sehingga terjadi sakit kepala
berat pada daerah frontal dan verteks, muntah dan kadang-kadang
pingsan. Hal ini juga menyebabkan gangguan ingatan, diabetes insipidus,
amenorea, galaktorea dan gangguan pengecapan dan pengaturan suhu
(Cross, dkk, 2013).
9. Tumor Serebellar
Muntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput merupakan
gejala yang sering ditemukan pada tumor serebellar. Pusing, vertigo dan
nistagmus mungkin menonjol (Cross, dkk, 2013).
Penegakan diagnosis pada SOL dapat diawali dari pemeriksaan tanda vital.
a. Denyut Nadi
Denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan TIK,
terutama pada anak-anak. Bradikardi merupakan mekanisme kompensasi
yang mungkin terjadi untuk mensuplai darah ke otak dan mekanisme ini
dikontrol oleh tekanan pada mekanisme refleks vagal yang terdapat di
medulla. Apabila tekanan ini tidak dihilangkan, maka denut nadi akan
menjadi lambat dan irregular dan akhirnya berhenti (Dewanto, dkk, 2009).
31
b. Pernapasan
Pada saat kesadaran menurun, korteks serebri akan lebih tertekan
daripada batang otak dan pada pasien dewasa, perubahan pernafasan ini
normalnya akan diikuti dengan penurunan level dari kesadaran.Perubahan
pada pola pernafasan adalah hasil dari tekanan langsung pada batang otak.
Pada bayi, pernafasan irregular dan meningkatnya serangan apneu sering
terjadiantara gejala-gejala awal dari peningkatan TIK yang cepat dan dapat
berkembang dengan cepat ke respiratory arrest (Dewanto, dkk, 2009).
c. Tekanan Darah
Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari
peningkatan TIK, terutama pada anak-anak. Dengan terjadinya
peningkatan TIK, tekanan darah akan meningkat sebagai mekanisme
kompensasi; Sebagai hasil dari respon Cushing, dengan meningkatnya
tekanan darah, akan terjadi penurunan dari denyut nadi disertai dengan
perubahan pada pola pernafasan. Apabila kondisi ini terus berlangsung,
maka tekanan darah akan mulai turun (Dewanto, dkk, 2009).
.
d. Suhu Tubuh
Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan TIK berlangsung,
suhu tubuh akan tetap stabil. Ketika mekanisme dekompensasi berubah,
peningktan suhu tubuh akan muncul akibta dari disfungsi dari hipotalamus
atau edema pada traktus yang menghubungkannya (Dewanto, dkk, 2009).
e. Reaksi Pupil
Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi
pupil yang lebih lambat dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi
yang menyebabkan penekanan pada nervus okulomotorius, seperti edema
otak atau lesi pada otak. Penekanan pada n. Oklulomotorius menyebabkan
penekanan ke bawah, menjepit n.Okkulomotorius di antara tentorium dan
herniasi dari lobus temporal yang mengakibatkan dilatasi pupil yang
32
permanen. N. okulomotorius (III) berfungsi untuk mengendalikan fungsi
pupil. Pupil harus diperiksa ukuran, bentuk dan kesimetrisannya dimana
ketika dibandingkan antara kiri dan kanan, kedua pupil harus memiliki
ukuran yang sama. Normalnya, konstriksi pupil akan terjadi dengan cepat
(Dewanto, dkk, 2009).
Pemeriksaan fisik neurologis dalam menegakan diagnosis (Dewanto, dkk,
2009).
a. Pemeriksaan mata yaitu ukuran pupil,bentuknya dan reaksinya
terhadap cahaya,pemeriksaan visus dan lapang pandang
penglihatan serta pemeriksaan gerakan bola mata
b. Pemeriksaan funduskopi untuk menentukan oedema pada papil
nervus optikus atau atrofi papil nervus optikus et causa papil
odema tahap lanjut.
c. Pemeriksaan motorik yaitu gerak, kekuatan, tanus, trofi, refleks
fisiologi, reflek patologis, dan klonus.
d. Pemeriksaan sensibilitas.
33
segar karena hipoksia, bekuan atau gangguan elektrolit. Pengobatan ditujukan
untuk mencegah peristiwa sekunder. TIK klinis dan pemantauan akan
membantu. Berikut merupakan tindakan yang dapat dilakukan (Harsono, dkk,
2015).
1. Penanganan Primer
Tindakan utama untuk peningkatan TIK adalah untuk mengamankan
ABCDE (primary survey) pada pasien. Banyak pasien dengan peningkatan
TIK memerlukan intubasi. Pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus
diintubasi untuk melindungi airway. Yang menjadi perhatian utama pada
pemasangan intubasi ini adalah intubasi ini mampu memberikan ventilasi
tekanan positif yang kemudian dapat meningkatkan tekanan vena sentral yang
kemudian akan menghasilkan inhibisi aliran balik vena sehingga akan
meningkatkan TIK (Harsono, dkk, 2015).
Hati-hati dalam memperhatikan gizi, elektrolit, fungsi kandung kemih
dan usus. Pengobatan yang tepat untuk infeksi berupa pemberian antibiotik
harus dilaksanakan dengan segera. Pemberian analgesia yang memadai harus
diberikan walaupun pasien dalam kondisi di bawah sadar (Harsono, dkk,
2015).
Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan. Elevasi pada kepala
dapat menurunkan TIK pada komdisi normal dan pada pasien dengan cedera
kepala melalui mekanisme penurunan tekanan hidrostatis CSF yang akan
menghasilkan aliran balik vena. Sudut yang dianjurkan dan umumnya
digunakan untuk elevasi pada kepala adalah 30o. Pasien harus diposisikan
dengan kepala menghadap lurus ke depan karena apabila kepala pasien
menghadap ke salah satu sisinya dan disertai dengan fleksi pada leher akan
meynebabkan penekanan pada vena jugularis interna dan memperlambat
aliran balik vena (Harsono, dkk, 2015).
Hipoksia sistemik, gangguan hemodinamik dan gangguan pada
autoregulasi yang kemudian disertai dengan kejang dapat membahayakan
kondisi pasien dengan peningkatan TIK. Sehingga banyak praktisi kesehatan
34
yang kemudian menggunakan terapi profilaksis fenitoin, terutama pada pasien
dengan cedera kepala, perdarahan subaraknoid, perdarahan intrakranial, dan
kondisi yang lainnya. Penggunaan fenitoin sebagai profilaksis pada pasein
dengan tumor otak dapat menghasilkan penurunan resiko untuk terjadinya
kejang, tapi dengan efek samping yang juga cukup besar (Harsono, dkk,
2015).
2. Penanganan Sekunder
Hiperventilasi digunakan pada pasien dengan skor GCS yang
lebih dari 5. Pembuluh darah otak merespon dengan cepat pada
perubahan PaCO2. PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan
vasokonstriksi, yang kemudian akan mengurangi komponen
darah dalam volume intrakranial, dimana peningkatan PaCO2
menyebabkan vasodilatasi. Hiperventilasi bertujuan menjaga
agar PaCO2 berada pada level 25 – 30 mm Hg sehingga CBF
akan turun dan volume darah otak berkurang dan dengan
demikian mengurangi TIK. Hiperventilasi yang
berkepanjangan harus dihindari dan menjadi tidak efektif
setelah sekitar 24 jam. Kecenderungannya adalah untuk
menjaga ventilasi normal dengan PaCO2 di kisaran 30 – 35
mmHg dan PaO2 dari 120-140 mmHg. Ketikaa ada
pemburukan klinis seperti dilatasi pupil atau tekanan nadi
melebar, hiperventilasi dapat dilakukan (sebaiknya dengan
Ambu bag) sampai TIK turun. Hyper barik O2, hipotermia
masih dalam tahap percobaan, terutama di Jepang. Mereka
pada dasarnya menyebabkan vasokonstriksi serebral dan
mengurangi volume darah otak dan TIK (Harsono, dkk, 2015).
35
benar: itu adalah diuretik osmotik yang paling umum
digunakan. Hal ini juga dapat bertindak sebagai scavenger
radikal bebas. Manitol tidak inert dan tidak berbahaya. Gliserol
dan urea merupak golongan yang jarang digunakan hari ini.
Beberapa teori telah dikemukakan mengenai mekanisme yang
mengurangi TIK (Harsono, dkk, 2015).
a. Dengan meningkatkan fleksibilitas eritrosit, yang
menurunkan viskositas darah dan menyebabkan
vasokonstriksi yang mengurangi volume darah otak dan
menurunkan TIK dan dapat mengurangi produksi CSF oleh
pleksus choroideus. Dalam dosis kecil dapat melindungi
otak dari iskemik karena fleksibilitas eritrosit meningkat.
b. Efek diuretik terutama di sekitar lesi, di mana integritas
sawar darah otak terganggu dan tidak ada pengaruh yang
signifikan pada otak normal. Lesi intraaxial merespon lebih
baik dari lesi ekstra aksial.
c. Teori lain adalah, manitol dengan menarik air di ependyma
dari ventrikel dengan cara analog dengan yang dihasilkan
oleh drainase ventrikel. Dosis tradisional adalah 1 gm/kg/24
jam 20% sampai 25% iv baik sebagai bolus atau lebih
umum secara bertahap. Tidak ada peran untuk dehidrasi.
Efek Manitol pada TIK maksimal adalah 1 / 2 jam setelah
infus dan berlangsung selama 3 atau 4 jam sebagai sebuah
aturan. Dosis yang benar adalah dosis terkecil yang akan
berpengaruh cukup terhadap TIK. Ketika dosis berulang
diperlukan, penggunaan garis dasar osmolalitas serum
meningkat secara bertahap dan saat ini melebihi 330 mosm
/ 1 terapi manitol harus dihentikan. Penggunaan lebih lanjut
tidak efektif dan cenderung menimbulkan gagal ginjal.
Diuretik seperti furosemid, baik sendiri atau bersama
dengan bantuan manitol untuk mempercepat ekskresi dan
36
mengurangi osmolalitas serum awal sebelum dosis
berikutnya. Beberapa mengklaim, bahwa furosemid manitol
dapat meningkatkan output. Beberapa memberikan
furosemid sebelum manitol, sehingga mengurangi overload
sirkulasi. Fenomena rebound adalah karena pembalikan
gradien osmoTIK sebagai akibat kebocoran progresif dari
agen osmotik melintasi penghalang darah otak rusak, atau
karena TIK yang meningkat kembali.
3. Barbiturat dapat menurunkan TIK ketika tindakan-tindakan lain gagal,
tetapi tidak memiliki nilai profilaksis. Mereka menghambat peroksidasi
lipid dimediasi radikal bebas dan menekan metabolisme serebral;
persyaratan metabolisme otak dan dengan demikian volume darah otak
yang berkurang mengakibatkan penurunan TIK. Fenobarbital yang
paling banyak digunakan. Dosis 10 mg / kg pemuatan lebih dari 30
menit dan 1-3mg/kg setiap jam secara luas digunakan. Fasilitas untuk
memantau dekat TIK dan ketidakstabilan hemodinamik harus
menemani setiap terapi obat tidur (Harsono, dkk, 2015).
4. Dosis tinggi terapi steroid sangat populer beberapa tahun yang lalu dan
masih digunakan oleh beberapa ahli. Ini mengembalikan integritas
dinding sel dan membantu dalam pemulihan dan mengurangi edema.
Barbiturat dan agen anestesi lain mengurangi tekanan CBF dan arteri
sehingga mengurangi TIK. Selain itu mengurangi metabolisme otak dan
permintaan energi yang memfasilitasi penyembuhan lebih baik
(Harsono, dkk, 2015).
5. Hipotermi dapat digunakan sebagai terapi adjuvant terhadap terapi yang
lain. Temperatur tubuh dibuat menjadi lebih rendah dari temperature
tubuh yang normal yaitu sekitar 32°C – 34 °C. Metode ini dapat
mungkin menurunkan TIK dengan menurunkan metabolisme dari otak.
Metode terapi hipotermia selama 48 jam atau kurang dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan TCB. Metode terapi ini selama 8
jam atau lebih dapat dipertimbangkan untuk terapi pada peningkatan
37
TIK. Penggunaan metode ini hanya direkomendasikan pada ahli yang
berpengalaman yang benar-benar mengerti perubahan fisiologi yang
berhubungan dengan hipotermia dan mampu merespon dengan cepat
perubahan tersebut. Komplikasi dari metode hipotermia ini meliputi
depresi jantung pada suhu di bawah 32°C. dan peningkatan insiden
komplikasi berupa infeksi seperti pneumonia telah dilaporkan pada
metode terapi ini (Harsono, dkk, 2015).
Penggunaan Koagulopati. Kerusakan parenkim otak yang berat
dapat terjadi karena adanya pelepasan thromboplastin pada jaringan
diamana hal ini akan mengaktivasi faktor instrinsik. Sindroma klinis
didiagnosa dengan adanya pemanjangan PT dan aktivasi sebagian dari
nilai APTT, penurunan level fibrinogen, peningkatan level fibrin, dan
penurunan jumlah platelet. APTT yang memanjang ditangani dengan
memberikan fresh frozen plasma. Kadar Fibrinogen di bawah 150
mg/dL memerlukan penanganan berupa pemberian krioprecipitate.
Pemberian platelet harus dilakukan untuk mengobati nyeri kepala pada
pasien dengan jumlah platelet yang kurang dari 100.000/ml bila waktu
perdarahan memanjang.
6. Intervensi bedah
Tekanan intrakranial (intracranial pressure, TIK) dapat diukur secara
kontinu dengan menggunakan transduser intrakranial. Kateter dapat
dimasukkan ke dlam entrikel lateral dan dapat digunakan untuk
mengeluarkan CSF dengan tujuan untuk mengurangi TIK. Drain tipe
ini dikenal dengan EVD (ekstraventicular drain). Pada situasi yang
jarang terjadi dimana CSf dalam jumlah sedikit dapat dikeluarkan
untuk mengurangi TIK, Drainase TIK melalui punksi lumbal dapat
digunakan sebagai suatu tindakan pengobatan (Harsono, dkk, 2015).
.
Kraniotomi adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk
mengeluarkan hematom di di dalam ruangan intrakranial dan untuk
38
mengurangi tekanan intrakranial dari bagian otak dengan cara
membuat suatu lubang pada tulang tengkorak kepala. Kranioektomi
adalah suatu tindakan radikal yang dilakukan sebagai penanganan
untuk peningkatan tekanan intrakranial, dimana dilakukan
pengangkatan bagian tertentu dari tulang tengkorak kepala dan
duramater dibebaskan agar otak dapat membesar tanpa adanya
herniasi. Bagian dari tulang tengkorak kepala yang diangkat ini
desebut dengan bone flap. Bone flap ini dapat disimpan pada perut
pasien dan dapat dipasang kembali ketika penyebab dari peningkatan
TIK tersebut telah disingkirkan. Material sintetik digunakan sebagai
pengganti dari bagian tulang tengkorak yang diangkat. Tindakan
pemasangan material sintetik ini dkenal dengan cranioplasty
(Sjamsuhidajat, dkk, 2011).
Kraniotomi adalah salah satu bentuk dari operasi pada otak.
Operasi ini paling banyak digunakan dalam operasi untuk mengangkat
tumor pada otak. Operasi ini juga sering digunakan untuk mengangkat
bekuan darah (hematom), untuk mengontrol perdarahan, aneurisma
otak, abses otak, memperbaiki malformasi arteri vena, mengurangi
tekanan intrakranial, atau biopsi (Sjamsuhidajat, dkk, 2011).
Sebelum melakukan tindakan kraniotomi, terlebih dahulu harus
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan penyebab dan
lokasi dari lesi di otak. Oleh karena itu dilakuakn neuroimaging.
Neuroimaging yang dapat dilakukan
CT scan
MRI
Arteriogram
Pasien yang akan dilakuakn tindakan kraniotomi dpat diberikan
pengobatan terlebih dahulu untuk mengurangi rasa cemas dan
mengurangi resiko terjadinya kejang, edema, dan infeksi setelah
operasi. Obata-obatan seperti heparin, aspirin dan golongan NSAID
memiliki hubungan dengan meningkatnya bekuan darah yang terjadi
39
pasca operasi. Obat-obatan ini harus disuntikkan 7 hari sebelum
operasi agar efeknya hilang sebelum operasi dilakukan.Sebagai
tambahan, dibutuhkan pemeriksaan laboratorium yang rutin atau yang
khusus sesuai dengan kebutuhan. Pasien tidak boleh makan dan minum
6-8 jam sebelum operasi dan kepala pasien harus dicukur sesaat
sebelum operasi dimulai (Sjamsuhidajat, dkk, 2011).
Ada dua metode yang umumnya digunakan untuk membuka
tengkorak. Insisi dibuat pada daerah leher di sekitar os. Occipital atau
insisi melengkung yang dibuat di bagian depan telinga yang
melengkung ke atas mata. Insisi dilakukan hingga sejauh membran
tipis yang membungkus tulang tengkorak kepala. Selama insisi
dilakukan, ahli bedah harus menutup pembuluh darah kecil sebanyak
mungkin. Hal ini dikarenakan scalp merupakan daerah yang kaya akan
suplai darah (Sjamsuhidajat, dkk, 2011).
Scalp ditarik ke belakang agar tulang dapat terlihat. Dengan
menggunakan bor kecepatan tinggi, dilakukan pengeboran mengikuti
pola lubang dan lakukan pemotongan mengikuti pola lubang yang
telah ada hingga bone flap dapat diangkat. Hal ini akan memberikan
akses ke dalam kraium dan memudahkan untuk melakukan operasi di
dalam otak. Setelah mengangkat lesi di dalam otak atau setelah
prosedur yang lainnya selesai, tulang dikembalikan ke posisi semula
dengan menggunakan kawat halus. Membran, otot, dan kulit dijahit
dalam posisinya. Apabila lesinya adalah suatu aneurisma, maka arteri
yang terlibat diklem. Apabila lesinya adalah tumor, sebanyak mungkin
bagian dari tumor ini diangkat. Untuk kelainan malformasi arteri vena,
kelainannya dipotong kemudian disambung kembali dengan pembuluh
darah yang normal (Sjamsuhidajat, dkk, 2011).
40
B. Cephalgia
B.1. Definisi Cephalgia
B.2 Etiologi
Cephalgia atau nyeri kepala suatu gejala yang menjadi awal dari
berbagaimacam penyakit. Cephalgia dapat disebabkan adanya kelainan organ-
organ dikepala,jaringan sistem persarafan dan pembuluh darah. Sakit kepala
kronik biasanyadisebabkan oleh migraine, ketegangan, atau depresi, namun dapat
juga terkait denganlesi intracranial, cedera kepala, dan spondilosis servikal,
penyakit gigi atau mata,disfungsi sendi temporomandibular, hipertensi, sinusitis,
trauma, perubahan lokasi(cuaca, tekanan) dan berbagai macam gangguan medis
umum lainnya (Longmore, dkk, 2014).
B.3 Epidemiologi
Faktor resiko terjadinya sakit kepala adalah gaya hidup, kondisi penyakit,
jenis kelamin, umur, pemberian histamin atau nitrogliserin sublingual dan faktor
genetik. Prevalensi sakit kepala di USA menunjukkan 1 dari 6 orang (16,54%)
atau 45 juta orang menderita sakit kepala kronik dan 20 juta dari 45 juta tersebut
merupakan wanita. 75 % dari jumlah di atas adalah tipe tension headache yang
berdampak pada menurunnya konsentrasi belajar dan bekerja sebanyak 62,7 %.
Menurut IHS, migren sering terjadi pada pria dengan usia 12 tahun sedangkan
pada wanita, migren seringterjadi pada usia lebih besar dari 12 tahun. IHS juga
41
mengemukakan cluster headache 80 ± 90 % terjadi pada pria dan prevalensi sakit
kepala akan meningkat setelah umur 15 tahun (Butt, dkk, 2005).
42
stimulus kimia karena padakeadaan iskemia terdapat penumpukan asam laktat,
bradikinin, dan enzimproteolitik (Longmore, dkk, 2014).
Semua jenis reseptor nyeri pada manusia merupakan free nerve
endings.Reseptor nyeri banyak tersebar pada lapisan superfisial kulit dan juga
pada jaringan internal tertentu, seperti periosteum, dinding arteri, permukaan
sendi, falks, dan tentorium. Kebanyakan jaringan internal lainnya hanya diinervasi
oleh free nerveendings yang letaknya berjauhan sehingga nyeri pada organ
internal umumnya timbul akibat penjumlahan perangsangan berbagai nerve
endings dan dirasakan sebagai slow-chronic-aching type pain. Nyeri dapat dibagi
atas dua yaitu nyeri akut (fast pain) dan nyeri kronik (slowpain). Nyeri akut,
merupakan nyeri yang dirasakan dalam waktu 0,1 detik setelah stimulus
diberikan. Nyeri ini disebabkan oleh adanya stimulus mekanik dan termal. Signal
nyeri ini ditransmisikan dari saraf perifer menuju korda spinalis melalui seratAδ
dengan kecepatan mencapai 6-30 m/detik. Neurotransmitter yang mungkin
digunakan adalah glutamat yang juga merupakan neurotransmitter eksitatorik
yang banyak digunakan pada CNS. Glutamat umumnya hanya memiliki durasi
kerja selama beberapa milidetik (Longmore, dkk, 2014).
Nyeri kronik, merupakan nyeri yang dirasakan dalam waktu lebih dari 1
detiksetelah stimulus diberikan. Nyeri ini dapat disebabkan oleh adanya stimulus
mekanik, kimia dan termal tetapi stimulus yang paling sering adalah stimulus
kimia. Signal nyeri ini ditransmisikan dari saraf perifer menuju korda spinalis
melalui serat C dengan kecepatan mencapai 0,5-2 m/detik. Neurotramitter yang
mungkin digunakan adalah substansi P (Longmore, dkk, 2014).
Meskipun semua reseptor nyeri adalah free nerve endings, jalur yang
ditempuh dapat dibagi menjadi dua pathway yaitu fast-sharp pain pathway
danslow- chronic pain pathway. Setelah mencapai korda spinalis melalui dorsal
spinalis, serat nyeri ini akan berakhir pada relay neuron pada kornu dorsalis dan
selanjutnya akan dibagi menjadi dua traktus yang selanjutnya akan menuju ke
otak. Traktus ituadalah neospinotalamikus untuk fast pain dan
paleospinotalamikus untuk slow pain (Longmore, dkk, 2014).
43
Traktus neospinotalamikus untuk fastpain, pada traktus ini, serat Aδ
yangmentransmisikan nyeri akibat stimulus mekanik maupun termal akan
berakhir padalamina I (lamina marginalis) dari kornu dorsalis dan mengeksitasi
second-orderneurons dari traktus spinotalamikus. Neuron ini memiliki serabut
saraf panjang yangmenyilang menuju otak melalui kolumn anterolateral. Serat
dari neospinotalamikusakan berakhir pada, area retikular dari batang otak
(sebagian kecil), nukleus thalamus bagian posterior (sebagian kecil), kompleks
ventrobasal (sebagian besar). Traktuslemniskus medial bagian kolumn dorsalis
untuk sensasi taktil juga berakhir padadaerah ventrobasal. Adanya sensori taktil
dan nyeri yang diterima akanmemungkinkan otak untuk menyadari lokasi tepat
dimana rangsangan tersebutdiberikan (Longmore, dkk, 2014).
Traktus paleospinotalamikus untuk slow pain, traktus ini
selainmentransmisikan sinyal dari serat C, traktus ini juga mentransmisikan
sedikit sinyaldari serat Aδ. traktus ini , saraf perifer akan hampir seluruhnya
berakhir pada laminaII dan III yang apabila keduanya digabungkan, sering disebut
dengan substansiagelatinosa. Kebanyakan sinyal kemudian akan melalui sebuah
atau beberapa neuronpendek yang menghubungkannya dengan area lamina V lalu
kemudian kebanyakanserabut saraf ini akan bergabung dengan serabut saraf dari
fast-sharp pain pathway.Setelah itu, neuron terakhir yang panjang akan
menghubungkan sinyal ini ke otakpada jaras antero lateral. Ujung dari traktus
paleospinotalamikus kebanyakan berakhirpada batang otak dan hanya
sepersepuluh ataupun seperempat sinyal yang akanlangsung diteruskan ke
talamus. Kebanyakan sinyal akan berakhir pada salah satu tigaarea yaitu nukleus
retikularis dari medulla, pons, dan mesensefalon, area tektum darimesensefalon,
regio abu-abu dari peraquaductus yang mengelilingi aquaductus Silvii (Longmore,
dkk, 2014).
Ketiga bagian ini penting untuk rasa tidak nyaman dari tipe nyeri. Dari
area batangotak ini, multipel serat pendek neuron akan meneruskan sinyal kearah
atas melaluiintralaminar dan nukleus ventrolateral dari talamus dan ke area
tertentu darihipotalamus dan bagian basal otak (Longmore, dkk, 2014).
44
B.5 Klasifikasi Cephalgia
Sakit kepala dapat diklasifikasikan menjadi sakit kepala primer, sakit
kepalasekunder, dan neuralgia kranial, nyeri fasial serta sakit kepala lainnya. Sakit
kepala primer dapat dibagi menjadi migraine, tension type headache, cluster head
ache dengan sefalgia trigeminal/autonomik, dan sakit kepala primer lainnya. Sakit
kepala sekunder dapat dibagi menjadi sakit kepala yang disebabkan oleh karena
trauma padakepala dan leher, sakit kepala akibat kelainan vaskular kranial dan
servikal, sakit kepala yang bukan disebabkan kelainan vaskular intrakranial, sakit
kepala akibat adanya zat atau withdrawal, sakit kepala akibat infeksi, sakit kepala
akibat gangguanhomeostasis, sakit kepala atau nyeri pada wajah akibat kelainan
kranium, leher, telinga, hidung, dinud, gigi, mulut atau struktur lain di kepala dan
wajah, sakit kepala akibat kelainan psikiatri (Harsono, dkk, 2015).
45
C. Gangguan Kognitif
C.1. Definisi
C.2. Epidemologi
C.3. Klasifikasi
Demensia terbagi atas 2 dimensi (Ropper, dkk, 2014) :
Menurut umur; terbagi atas:
Demensia senilis onset > 65 tahun
Demensia presenilis < 65 tahun
Menurut level kortikal:
Demensia kortikal
Demensia subkortikal
Klasifikasi lain yang berdasarkan korelasi gejala klinik dengan patologi-
anatomisnya (Ropper, dkk, 2014).
Anterior : Frontal premotor cortex
Perubahan behavior, kehilangan kontrol, anti sosial, reaksi lambat.
46
Posterior: lobus parietal dan temporal
Gangguan kognitif: memori dan bahasa, akan tetapi behaviour relatif baik.
Subkortikal: apatis, forgetful, lamban, adanya gangguan gerak.
Kortikal: gangguan fungsi luhur; afasia, agnosia, apraksia.
C.4. Pemeriksaan demensia.
Diagnosis klinis tetap merupakan pendekatan yang paling baik karena
sampai saat ini belum ada pemeriksaan elektrofisiologis, neuro imaging dan
wawancara biasanya pada penderita demensia sering menoleh yang disebut head
turning sign.
kondisi khusus penyebab demensia seperti riwayat stroke, TIA, trauma kapitis,
infeksi susunan saraf pusat, riwayat epilepsi dan operasi otak karena tumor atau
47
3. Riwayat neurobehavioral
atau tidaknya seseorang. Ini meliputi komponen memori. (memori jangka pendek
dan memori jangka panjang) orientasi ruang dan waktu, kesulitan bahasa, fungsi
membuat keputusan.
4. Riwayat psikiatrik
halusinasi, dan pikiran paranoid. Gangguan depresi juga dapat menurunkan fungsi
6. Riwayat keluarga
Pemeriksaan harus menggali kemungkinan insiden demensia di keluarga,
terutama hubungan keluarga langsung, atau penyakit neurologik, psikiatrik.
48
7. Pemeriksaan objektif
Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan fisik
umum, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan neuropsikologis, pemeriksaan status
fungsional dan pemeriksaan psikiatrik.
8. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium rutin
Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis
demensia ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia khususnya
pada demensia reversible, walaupun 50% penyandang demensia adalah demensia
Alzheimer dengan hasil laboratorium normal, pemeriksaan laboratorium rutin
sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain:
pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah, ureum,
fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam folat
Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan demensia walaupun
hasilnya masih dipertanyakan.
Pemeriksaan EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran spesifik dan
pada sebagian besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer stadium lanjut dapat
memberi gambaran perlambatan difus dan kompleks periodik.
49
Pemeriksaan genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid
polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. setiap
allel mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon 4
diantara penyandang demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe sporadik
menyebabkan pemakaian genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda semakin
meningkat.
9. Pemeriksaan neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status mental, aktivitas
sehari-hari / fungsional dan aspek kognitif lainnya. Pemeriksaan neuropsikologis
penting untuk sebagai penambahan pemeriksaan demensia, terutama pemeriksaan
untuk fungsi kognitif, minimal yang mencakup atensi, memori, bahasa, konstruksi
visuospatial, kalkulasi dan problem solving. Pemeriksaan neuropsikologi sangat
berguna terutama pada kasus yang sangat ringan untuk membedakan proses
ketuaan atau proses depresi. Sebaiknya syarat pemeriksaan neuropsikologis
memenuhi syarat sebagai berikut: mampu menyaring secara cepat suatu populasi
dan mampu mengukur progresifitas penyakit yang telah diindentifikaskan
demensia (Ropper, dkk, 2014).
Sebagai suatu esesmen awal pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE)
adalah test yang paling banyak dipakai. tetapi sensitif untuk mendeteksi gangguan
memori ringan (Ropper, dkk, 2014).
Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test yang paling sering
dipakai saat ini, penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi
gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognisi
dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27 dianggap abnormal dan
mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada penderita berpendidikan
tinggi (Ropper, dkk, 2014).
Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE paling
rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang rendah ini
mengidentifikasikan resiko untuk demensia. Pada penelitian Crum R.M 1993
50
didapatkan median skor MMSE adalah 29 untuk usia 18-24 tahun, median skor 25
untuk yang > 80 tahun, dan median skor 29 untuk yang lama pendidikannya >9
tahun, 26 untuk yang berpendidikan 5-8 tahun dan 22 untuk yang berpendidikan
0-4 tahun (Ropper, dkk, 2014).
Clinical Dementia Rating (CDR) merupakan suatu pemeriksaan umum
pada demensia dan sering digunakan dan ini juga merupakan suatu metode yang
dapat menilai derajat demensia ke dalam beberapa tingkatan. Penilaian fungsi
kognitif pada CDR berdasarkan 6 kategori antara lain gangguan memori,
orientasi, pengambilan keputusan, aktivitas sosial/masyarakat, pekerjaan rumah
dan hobi, perawatan diri. Nilai yang dapat pada pemeriksaan ini adalah
merupakan suatu derajat penilaian fungsi kognitif yaitu; Nilai 0, untuk orang
normal tanpa gangguan kognitif. Nilai 0,5, untuk Quenstionable dementia. Nilai
1, menggambarkan derajat demensia ringan, Nilai 2, menggambarkan suatu
derajat demensia sedang dan nilai 3, menggambarkan suatu derajat demensia yang
berat (Ropper, dkk, 2014).
51
BAB IV
PEMBAHASAN
fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis pasien didapatkan nyeri kepala,
terjadi secara kronik, progresif, berdenyut dan terjadi di kepala bagian kiri. Hal ini
sesuai dengan gejala nyeri kepala yang berhubungan dengan peningkatan TIK.
anamnesis diperoleh data bahwa pasien harus menulis catatan untuk membantu
agar tidak lupa. Hal ini sesuai dengan adanya kemungkinan tumor berdasarkan
lobus fokal, dalam hal ini dicurigai terjadi pada bagian temporal sinistra.
occipital sinistra. Hal tersebut sesuai dengan teori dimana lokasi tumor pada lobus
Gejala klinis fokal maupun umum dari adanya tumor, ditandai dengan
adanya peningkatan tekanan intrakranial, halini dapat berupa adanya nyeri kepala.
Gambaran CT-scan merupakan alat diagnostik yang penting dalam evaluasi pasien
52
yang diduga menderita tumor otak. Gambaran CT-scan pada tumor otak,
umumnya tampak sebagai lesi abnormal berupa massa yang mendorong struktur
otak sekitarnya. Biasanya tumor otak dikelilingi jaringan oedem yang terlihat jelas
karena densitasnya lebih rendah. Beberapa jenis tumor otak akan terlihat lebih
nyata bila pada waktu pemeriksaan CT-scan disertai dengan pemberian zat
kontras.
sehingga pilihan pada radioterapi dan kemoterapi, tetapi jika tumor metastase
Dosisinya dapat diberikan mulai dari 16 mg/hari, tetapi dosis ini dapat
ditambahkan maupun dikurangi untuk mencapai dosis yang dibutuhkan agar dapat
pada pasien ini adalah terapi suportif, yaitu infus NaCl 0,9% 10
jam, injeksi piracetam 3 gram/8 jam dan donapezil 1x1 peroral. Piracetam telah
53
deformabilitas sel darah merah dan menormalkan agregasi trombosit hiperaktif.
reversibel inhibitor dari enzim asetilkolinesterase. Aksi terapeutik obat ini terkait
dengan peningkatan fungsi kolinergik. Obat ini mengikat dan secara reversibel
defisiensi kolinergik bisa diatasi. FDA telah menyetujui bahwa donapezil dapat
diberikan pada pasien dengan demensia ringan hingga berat. Terapi pembedahan
dapat dilakukan untuk mengurangi tumor pokok, memberikan jalan untuk cairan
Prognosis untuk pasien ini baik. Karena pada pasien telah dilakukan
diagnosis dini dan penanganan yang tepat melalui rencana pembedahan. Dengan
penanganan yang baik maka persentase angka ketahahan hidup diharapkan dapat
60% danangka ketahanan hidup sepuluh tahun (tenyears survival) berkisar 30-
dengan terapi pembedahan yang optimal dan radiasi yaitu 32minggu. Beberapa
tumor otak yang seluruh tumornya telah dilakukan pengangkatan secara bersih
dan luas akan mempengaruhi (recurrens rates) atau angka residif kembali. Hasil
54
penelitian dari ‘The Mayo Clinic Amerika’ menunjukkan bahwa: 25% dari seluruh
penderita tumor otak yang telah dilakukan reseksi total, sepuluh tahun kemudian
tumornya residif kembali, sedangkan pada penderita yang hanya dilakukan reseksi
55
DAFTAR PUSTAKA
Butt ME, Khan SA, Chaudrhy NA, Qureshi GR. Intra-Cranial space occupying
Elsevier;2013.
Dogar T, Imran AA, Hasan M, Jaffar R, Bajwa R, Qureshi ID. Space occupying
Dorland WAN. Kamus Kedokteran Dorland Edisi ke-29. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC;2015.
Lo BM, Talavera F, Arnold JF, Brenner BE, Hooker EA, Huff JS. Brain
medicine. Edisi ke-9. United States: Oxford University Press; 2014. hlm.
460.
56
Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: PT dian rakyat; 2007.
hlm.242.
Maxine AP, Stephen JM, Michael WR. Current medical diagnosis and treatment.
Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi
Ropper AH, Brown RH, Adams RDI, Victor M. Adams and Victor's principles of
57