Ruang Publik (Pablic Space) adalah tahap drama kehidupan sosial
masyarakat. Jalanan, halaman & kota memberikan bentuk peningkatan dan penurunan perubahan manusia. Ruang yang dinamis ini merupakan sesuatu yang penting untuk tempat bermukim yang lebih baik, kehidupan rutin rumah dan kerja,menyediakan jaringan pergerakan, simpul komunikasi dan dan kawasan umum untuk bermain dan bersantai (Environmental & Behaviour series, 1992:3)
Secara Umum Ruang Publik (public space) dapat diartikan sebagai
tempat para warga melakukan kontask sosial, pada lingkungan masyarakat tradisional selalu tersedia dalam berbagai aras, mulai dari pekarangan komunal, lapangan desa, lapangan dilingkungan rukun tetangga sampai alun-alun kota.
Lebih ringkasnya lagi Ruang Publik (public space) itu dapat di
artikan sebagai tempat terjadinya interaksi social seperti bercangkrama, ngobrol, bermain, refreshing ataupun melakukan aktivitas lainnya.
Ruang public (public space) tidak lepas kaitannya dengan Ruang
terbuka hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH) di perkotaan. Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut sedangkan Ruang Terbuka Non Hijau adalah ruang yang secara fisik bukan berbentuk bangunan gedung dan tidak dominan ditumbuhi tanaman ataupun permukaan berpori, dapat berupa perkerasan, badan air ataupun kondisi tertentu lainnya (misalnya badan lumpur, pasir, gurun, cadas, kapur, dan lain sebagainya). Berbicara mengenai Open space jika kita melakukan perbandingan antara ruang public yang ada di Indonesia dengan ruang public yang ada di luar dalam hal ini Hongkong dan China (Guangzhu dan Shenzen) yang bisa saya katakana yaitu “bak langit dan bumi”. Bukannya berlebihan atau terlalu merendahkan namun hal ini memang kenyataan.
Sedikit berbicara mengenai Kota Shenzhen, di benak kita yang
sudah tertanam lama tentang kota dan kehidupan masyarakat China, sirna sudah semuanya. Image yang sudah terpatri adalah China yang identik dengan, sepeda, pakaian seragam warna hijau, dan topi bambu, tapi itu pemmandangan jaman dulu/ jadul, kini sudah sangat susah mendapatkan gambaran demikian. Kini kota kota besar di China seperti Shenzhen sudah penuh diisi oleh gedung-gedung pencakar langit dengan kehidupan serba modern yang dapat disejajarkan dengan kota-kota dunia lainnya seperti; Tokyo, London, New York, Merlbourbone, dan lainnya.
Kota Shenzhen sebagai wilayah perbatasan antara China dengan
Hong Kong dibangun dalam rangka menyaingi kemajuan ekonomi Hong Kong yang pada waktu itu masih bagian protektorat Inggris Raya dan telah terlebih dahulu maju. Shenzhen haruslah memiliki daya sain yang lebih baik dibanding Hong Kong dan hal itu dilaksanakan baik oleh pemerintahan lokal Kota Shenzhen maupun oleh pemerintah pusat di Beijing. Pemerintah selain menyediakan infrastruktur yang sangat mumpuni karena terencana secara integral dengan baik, juga memberikan kemudahan dalam bidang moneter, kepabeanan, dan perpajakan. Pemerintah China menerapkan ‘no limit currency’, pengurangan pajak, dan bahkan mengeluarkan kebijakan yang membolehkan investor untuk membawa 100% keuntungannya ke negara asalnya. Kebijakan itu tentu sangat menarik bagi para investor, khususnya para pengusaha dari Hong Kong. Pada tahun 1990-an, Salim Group dari Indonesia tercatat sebagai salah satu investor dalam industri pertelevisian. Saat ini kurang lebih ada sekitar 8000-an pabrik di Kota Shenzhen dengan basis industri IT, perhiasan, teh beserta derivatnya, dan lainnya. Infrastruktur dalam bidang energi dan transportasi di Shenzhen sudah sangat maju. Shenzhen yang telah mencanangkan sebagai ‘Green City’, benar-benar dengan komitmen penuh seluruh ‘stekaholders’ ikut menjalankannya. Energi yang dikembangkan secara besar-besaran adalah energi ramah lingkungan, sehingga sumber energi yang berasal dari matahari (LTS, Listrik Tenaga Surya), angin, mikro hidro dan lainnya banyak dikembangkan. Ada satu ruas jalan dengan panjang 4 km-an yaitu Jalan Shen Nan di pusat Kota Shenzhen yang dipenuhi oleh gedung gedung bertingkat, dimana hampir seluruh kebutuhan energinya disuplay oleh tenaga matahari. Taksi dan bus-bus umum juga banyak yang menggunakan energi listrik. Taksi yang menggunakan daya listrik ini dengan ciri warna biru dan bertuliskan ‘e-taxi’. Listrik untuk memutar mesin kendaran tersebut apabila di charger selama satu jam, itu dapat digunakan untuk berjalan sejauh 300 km. Kendaran umum di kota Shenzhen hanya berumur 3 tahun sedangkan kendaraan pribadi dapat berusia maximal 8 tahun. Motor atau kendaraan roda 2, oleh pemerintah dengan tegas telah melarangnya untuk wara-wiri di jalan raya sejak 1996. Pelarangan itu dengan alasan kuat karena berkaitan dengan polusi yang dihasilkannya, mengakibatkan banyak kecelakaan, dan banyak digunakan untuk tindak kejahatan. Saat ini motor listrik yang masih boleh dijalankan, itupun di ruas jalan raya secara terbatas. Walaupun jalan raya di Kota Shenzhen lebar-lebar atau setidaknya ada 4 lajur, dan tidak ada yang mengalami kemacetan sama sekali, namun masyarakatnya lebih dari 80% menggunakan fasilitas transportasi umum, utamanya subway/metro, bus umum, dan taxi, untuk menunjang aktivitas hariannya. Transportasi umum terutama subway, banyak digunakan masyarakan, karena faktor; kenyamanan, keamanan, tepat waktu, efisien, dan murah. Untuk diketahui harga BBM di Shenzhen pada Maret 2012 ini adalah 10,5 RMB atau setara Rp 16 250,-. Pemerintah Kota Shenzhen dengan upaya diversifikasi energi dari energi fosil ke sumber energi alternatif lainnya, setidaknya dapat menghemat 30 juta RMB/tahun. RMB=Yuan, 1 RMB= Rp 1500). Jalan-jalan di Kota Shenzhen sangat nyaman selain tidak ada sampah seperti yang saya ceritakan tadi, juga pedestrian-nya lebar-lebar sekali, sangat memanjakan para pejalan kaki. Ada satu hal lagi yang menjadikan kunjungan ke Shenzhen begitu nyaman, adalah tidak ditemuinya pedagang kaki lima, pengamen, peminta-minta, dan penyandang masalah sosial lainnya. Jangankan pengamen dan lainnya, melihat orang yang nongkrong-nongkrong yang tidak jelas keperluannya, itu tidak ada sama sekali. Orang- orang tidak beredar di jalanan tetapi mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Masyarakat masing-masing mendapat jaminan asuransi kesehatan, pendidikan, dan perumahan. Bahkan kaum difabel dapat tunjangan 1500 RMB/bulan atau setara Rp 2.250.000,- per bulan. Usia pensiun untuk laki-laki 65 tahun dan untuk perempuan 60 tahun. Kota Shenzhen adalah contoh perencanaan kota yang ideal. Dari penduduknya pada tahun 1979 hanya 30 rb jiwa dan sekarang tahun 2012 sudah mencapai 12 juta jiwa. Dengan income per capita 13.581 $US, pertumbuhan ekonominya yang sangat fantastis yaitu 25,8% pada tahun 2011, sementara China secara keseluruhan adalah 9,8%. Kota Shenzhen adalah salah satu dari 4 kota lainnya seperti Beijing, Guangzho, dan Shanghai. China sendiri kini adalah kampium ekonomi dunia dengan menjadi no 2 di dunia setelah Amerika Serikat dan mengalahkan Jepang serta negara- negara Eropa. Sedangkan bila kita berbica mengenai Indonesia yang bisa saya katakana adalah masalah, masalah dan masalah lagi. Tidak berlebihan bila saya katan seperti itu. Saat ini keberadaan ruang terbuka hijau di Indonesia semakin menyempitnya ruang tersebut. Penurunan luas areal ruang disebabkan karena alih fungsi peruntukan lainnya, misalnya : taman dan jalur hijau terkena pelebaran jalan. Akibatnya lebar jalur hijau semakin menyempit dan tidak lagi berfungsi sebagai jalur hijau kecuali pembatas jalur lalu lintas yang hanya di tanami sedikit tumbuhan. Panjang jalan di Jakarta dari tahun ke tahun terus mengalami perubahan, apabila pada tahun 1991/1992 berkisar 358.080,21 km, maka pada tahun 1999/2000 telah mencapai 501.901,67 km (Jakarta dalam Angka, 2000).
Selain perubahan fungsi peruntukan ruang terbuka hijau, ternyata
juga terdapat perubahan jenis tumbuhan yang ditanam, yakni dari pohon lindung menjadi tanaman rendah sehingga mengurangi manfaatnya sebagai penyerap polutan udara sekaligus melindungi pemakai jalan raya. Tanaman rendah memiliki kepekatan rentan lebih tinggi pada kondisi lingkungan yang ekstrim.
Perubahan luas areal ruang terbuka hijau tersebut terjadi pada
milik pemerintah maupun swasta. Selain berbentuk taman dan jalur hijau, ruang terbuka hijau di Indonesia juga berbentuk kawasan lindung dan hutan kota. Kawasan lindung merupakan kawasan yang berfungsi untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup, baik mencakup sumber daya alam maupun sumber daya buatan. Jenis kawasan lindung, meliputi : hutan wisata, hutan lindung, suaka margasatwa, cagar alam, kebun bibit, serta taman nasional laut. Masalah lain dalam pengelolaan ruang terbuka hijau adalah kurangnya keserasian dalam penataan ruang tersebut sehingga mengurangi kesan keindahannya, misalnya : pemasangan papan reklame di tempat itu yang tidak proporsional. Jenis tumbuhan yang ditanam di tempat tersebut biasanya juga kurang sesuai dengan kondisi lahan, sehingga banyak tumbuhan yang mati. Masalah waktu tanam yang tepat serta pemeliharaan tanaman juga harus diperhatikan dengan baik. Disisi lain keikutsertaan masyarakat dalam memelihara ruang tersebut masih rendah, bahkan mereka sering menyerobot lokasi tersebut untuk kepentingan lain, misalnya dipergunakan sebagai tempat pedagang kaki lima akibatnya banyak tanaman yang mati dan lingkungan di sekitarnyapun menjadi kotor oleh sampah. Menurut Ramto (1979) penyerobotan tanah di sempadan sungai/saluran drainage atau ruang terbuka hijau, sebagian besar dilakukan oleh anggota masyarakat berpenghasilan rendah dan tidak tetap. Sughandy (1989) menyatakan bahwa perubahan fungsi ruang terbuka hijau juga disebabkan oleh lemahnya pengawasan dan penertiban yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah daerah.
Selain beberapa masalah di atas beberapa issue dari ketersediaan
dan kelestarian RTH yang ada di Indonesia saat ini adalah
(1) Dampak negatif dari suboptimalisasi RTH dimana RTH kota
tersebut tidak memenuhi persyaratan jumlah dan kualitas (RTH tidak tersedia, RTH tidak fungsional, fragmentasi lahan yang menurunkan kapasitas lahan dan selan-jutnya menurunkan kapasitas lingkungan, alih guna dan fungsi lahan) terjadi terutama dalam bentuk/kejadian:
Menurunkan kenyamanan kota: penurunan kapasitas dan daya
dukung wilayah (pencemaran meningkat, ketersediaan air tanah menurun, suhu kota meningkat, dll) Menurunkan keamanan kota Menurunkan keindahan alami kota (natural amenities) dan artifak alami sejarah yang bernilai kultural tinggi Menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat (menurunnya kesehatan masyarakat secara fisik dn psikis)
(2) Lemahnya lembaga pengelola RTH
Belum terdapatnya aturan hukum dan perundangan yang tepat
Belum optimalnya penegakan aturan main pengelolaan RTH Belum jelasnya bentuk kelembagaan pengelola RTH Belum terdapatnya tata kerja pengelolaan RTH yang jelas
(3) Lemahnya peran stake holders
Lemahnya persepsi masyarakat
Lemahnya pengertian masyarakat dan pemerintah
(4) Keterbatasan lahan kota untuk peruntukan RTH
Belum optimalnya pemanfaatan lahan terbuka yang ada di kota
untuk RTH fungsional
Dari sedikit gambaran di atas jadi tidaklah berlebihan bila
Indonesia saat ini saya katakana masih sangat tertinggal dari Negara – Negara Asia lainnya bukan hanya di bidang ekonomi saja tapi dalam hal menyediakan kenyamanan penduduknya masih sangat perlu di tingkatkan.