Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat
tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku, yang
disebabkan oleh golongan jamur dermatofita. Golongan jamur ini mempunyai
sifat mencerna keratin, yang terbagi dalam 3 genus yaitu : microsporum,
trichophyton, dan epidermophyton.1
Ada beberapa klasifikasi yang dibuat untuk membagi dermatofitosis,
namun pembagian yang lebih praktis dan dianut oleh para spesialis kulit adalah
yang berdasarkan lokasi, yaitu1 :
1. Tinea Kapitis : dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala
2. Tinea Barbae : dermatofitosis pada dagu dan jenggot
3. Tinea Kruris : dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar
anus, bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah
4. Tinea pedis et manum : dermatofitosis pada kaki dan tangan
5. Tinea unguium : dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki
6. Tinea Corporis : dermatofitosis pada bagian lain selain bentuk
diatas
Adapun selain bentuk diatas, ada beberapa tinea yang masih dikenal, yaitu tinea
imbrikata, tinea favosa, tinea fasialis, tinea sirsinata. Bentuk istilah tersebut dapat
dianggap sebagai sinonim tinea Corporis.1
Tinea Corporis adalah infeksi dermatofita superficial yang menyerang
kulit halus (glabrous skin), misalnya kulit kecuali pada kulit kepala, lipatan paha,
telapak tangan dan telapak kaki.2,3 Trichophyton rubrum adalah jenis dermatofita
tersering yang menyebabkan tinea Corporis. Penyakit ini umumnya ditemukan
pada daerah tropis bersuhu hangat dan lembab. Bisa mengenai semua umur, tapi
prevalensi cenderung tinggi pada remaja muda.2
Pada umumnya pasien mengeluhkan gatal dan timbul bercak kemerahan.
Namun pada beberapa kasus pasien bisa dengan tanpa keluhan. Gambaran klinis

1
berupa eritema berbatas tegas dengan konfigurasi anular atau polisiklik, serta
bagian tepi yang lebih aktif.3 Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis yang
cermat, pemeriksaan fisik melalui inspeksi, dan ditunjang dengan pemeriksaan
penunjang seperti KOH dan lampu wood. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan
dengan lampu woods yang bila disinari akan menampakkan flouresensi berwarna
kuning keemasan pada lesi yang bersisik tersebut. Pemeriksaan secara
mikroskopis dengan KOH 10-20% memperlihatkan hifa yang pendek-pendek dan
spora yang bergerombol seperti buah anggur. Pengobatan dapat dilakukan secara
topikal dan sistemik.1,2,3
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi berulang, yang dapat terjadi
bila pasien tidak menggunakan obat dengan baik dan tidak menjaga higienitas,
selain itu dapat pula terjadi dermatitis kontak sekunder. Prognosis umumnya baik,
dan pasien harus dibekali dengan pendidikan untuk mencegah terjadinya infeksi
berulang.

1.2 Tujuan
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk menambah pengetahuan
penyusun dan pembaca mengenai tinea Corporis dan sebagai salah satu syarat
agar bisa mengikuti ujian akhir di KSM Kulit dan Kelamin RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


 Nama penderita : Tn. A.S
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Tanggal lahir : 08/02/1951 (68 tahun)
 No. Rekam Medik : 32.12.86
 Pendidikan terakhir : SMP
 Pekerjaan : Petani
 Alamat : Jl. Baamang Hulu, Gg Nurul Falah

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada hari Rabu, 15 Mei 2019 pukul 09.30 WIB
dengan pasien sendiri (auto-anamnesis) di ruang Nusa Indah RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya.
Autoanamnesis (Tanggal 15 Mei 2019)
Keluhan Utama:
Terdapat bercak-bercak merah yang terasa gatal pada lengan kanan
Riwayat Perjalanan Penyakit :
Pasien mengeluhkan adanya bercak merah di daerah lengan kanannya
sejak ±1 tahun yang lalu . Bercak tersebut terasa sangat gatal sehingga pasien
sering menggaruknya. Gatal dirasakan semakin bertambah apabila pasien sedang
berkeringat. Pada awalnya bercak tersebut muncul di sekitar ketiak, namun
sekarang semakin melebar sampai ke lengan, pasien juga mengatakan bercak
muncul di perut. Selama gatal pasien mengobatinya dengan membeli salep di
pasaran (pasien lupa namanya), pasien mengatakan bercak sempat hilang tapi
kemudian gatal muncul lagi. Sebelumnya pasien tidak ada memeriksakan ke
pelayanan kesehatan.

3
Pasien mengatakan selalu mandi dua kali sehari dengan sabun dan air. Pasien juga
mengatakan selalu mengganti pakaian setelah mandi, namun pasien jarang
mengganti pakaiannya ketika basah oleh keringat.

Riwayat Alergi :
Pasien mengatakan memiliki alergi dengan makanan laut, ayam ras dan telur
ayam ras.

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya
 Tidak ada riwayat diabetes.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti Pasien.

2.2 Pemeriksan Fisik (Tanggal 15 Mei 2019)


Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Kompos Mentis
Tanda Vital :
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Nadi : 118 x/m, kuat angkat , reguler
Pernafasan : 22 x/m
Suhu : 37 ‘C
Kepala :
Bentuk : Normochepali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Pupil
isokor kiri kanan
Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-)
Mulut : Bibir kering (-), dinding faring hiperemis (-)
Telinga : Normal, tanda radang (-)

4
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks :
Inspeksi : Bentuk normal, gerak nafas kedua dada Simetris,
lesi kulit (-)
Palpasi : Vokal fremitus (+/+) simetris
Perkusi : Sonor dikedua paru
Auskultasi :
- Jantung : BJ I-II tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
- Paru : SN vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar, tampak lesi kulit
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas Superior : akral hangat, oedem (-), sianosis (-)


Ekstermitas Inferior : akral hangat, oedem (-), sianosis (-)
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan secara langsung
Status Dermatologis
 Distribusi : Regional
 Ad Regio : Brahii dextra meluas hingga axillaris dextra, dan di regio
umbilica hingga hipogastric.
 Sifat lesi : Ukuran nummular hingga plakat, berbatas tegas
(sirkumskrip) dengan tepi polisiklik dengan tepi aktif tengah menyembuh
(central healing)
 Efloresensi : Makula hiperpigmentasi, eritema pada tepi lesi, terdapat
sedikit skuama

5
2.3 Usulan Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis tinea kruris dibutuhkan uji diagnostik untuk
mengisolasi dan mengidentifikasi jamur. Di anjurkan pemeriksaan langsung
sediaan basah dan biakan, bahan klinis berupa kerokan kulit dengan KOH maka
akan didapatkan hifa (dua garis lurus sejajar transparan, bercabang dua/dikotom
dan bersepta) dengan atau tanpa artrospora (deretan spora di ujung hifa) yang khas
pada infeksi dermatofita. Kultur jamur : untuk mengetahui jenis jamurnya Pada
pasien tidak dilakukan pemeriksaan penujang.

2.4 Diagnosis Banding


 Psoriasis
 Pityriasis Rosea

2.5 Diagnosis Kerja


 Tinea Corporis

2.6 Penatalaksanaan
Umum :
Edukasi :
1. Menyarankan kepada pasien untuk menggunakan obat secara teratur dan
tidak menghentikan pengobatan tanpa seizin dokter
2. Memeliharan dan menjaga kebersihan
3. Menggunakan pakaian yang menyerap keringat, tidak ketat, dan
menghindari kulit lembab
4. Tidak menggunakan pakaian atau handuk secara bergantian atau bersama-
sama dengan anggota keluarga lain.

Khusus
Topikal : Mikonazole nitrat 2% 1-2x sehari selama 2-4 minggu

6
2.7 Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Tinea corporis adalah Infeksi jamur pada kulit halus (glabrous skin) di
daerah wajah, leher, badan, lengan, tungkai dan pantat (glutea) yang disebabkan
jamur dermatofita spesies Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. 1,3

Gambar 1. Tinea Corporis


3.2 Etiologi
Tinea corporis disebabkan oleh jamur golongan Dermatofita yang
mempunyai sifat mencernakan keratin. Dematofita yang dapat menyebabkan
infeksi pada kulit kepala dan rambut adalah genus Tricophyton, Microsporum dan
Epidermophyton. Jamur penyebab tinea corporis ini ada yang bersifat antropofilik,
geofilik, dan zoofilik.1,5
Jamur yang bersifat antropofilik atau hanya mentransmisikan penyakit antar
manusia antara lain adalah Tricophyton violaceum yang banyak ditemukan pada
orang Afrika, Tricophyton schoenleinii, Tricophyton rubrum, Tricophyton
megninii, Trichophyton soudanense, Tricophyton yaoundei, Microsporum
audouinii, dan Microsporum ferrugineum.5

8
Jamur geofilik merupakan jamur yang hidup di tanah dan dapat
menyebabkan radang yang moderat pada manusia. Golongan jamur ini antara lain
adalah Microsporum gypseum dan Microsporum fulvum.5,6
Jamur zoofilik merupakan jamur yang hidup pada hewan, namun dapat
mentransmisikan penyakit pada manusia. Jamur zoofilik penyebab tinea corporis
salah satunya Microsporum canis yang berasal dari kucing, 5

Gambar 2. Jamur Microsporum7

Gambar 3. Jamur Trichophyton7

9
Gambar 4. Jamur Epidermophyton7

3.3 Cara penularan


Penularan infeksi jamur dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung. Penularan langsung melalui epitel kulit dan rambut yang mengandung
jamur baik dari manusia, binatang, atau tanah. Penularan tak langsung dapat
melalui tanaman, kayu, pakaian, dan barang-barang lain yang dihinggapi jamur,
atau dapat juga melalui debu dan air.6
Ada beberapa faktor yang dapat mempermudah penularan infeksi jamur :
1. Faktor virulensi dari jamur
Virulensi jamur tergantung dari sifatnya apakah antropofilik, zoofilik, atau
geofilik. Jamur antropofilik menyebabkan perjalanan penyakit yang kronik
dan residif karena reaksi penolakan tubuh yang sangat ringan. Sementara
jamur geofilik menyebabkan gejala akut ringan sampai sedang dan mudah
sembuh.6
2. Keutuhan kulit
Kulit yang intak tanpa adanya lesi lebih sulit untuk terinfeksi jamur.6
3. Faktor suhu dan kelembapan
Kondisi tubuh yang banyak berkeringat menyebabkan lingkungan menjadi
lembap sehingga mempermudah tumbuhnya jamur.6
4. Faktor sosial ekonomi

10
Infeksi jamur secara umum lebih banyak menyerang masyarakat golongan
sosial ekonomi menengah ke bawah karena rendahnya kesadaran dan
kurangnya kemampuan untuk memelihara kebersihan diri dan lingkungan.6
5. Faktor umur dan jenis kelamin
Tinea capitis sering terjadi pada anak-anak dan lebih banyak ditemukan
pada anak laki-laki dibandingkan perempuan.6,8

3.4 Patofisiologi
Dermatofita biasanya berada di daerah yang tidak hidup, seperti lapisan kulit,
rambut, dan kuku, menyukai daerah yang hangat, lembab membantu proliferasi
jamur. Jamur memyebabkan keratinisasi dan enzimnya bisa masuk lebih dalam dari
stratum corneum, biasanya infeksi terbatas pada epidermis. Mereka biasanya tidak
masuk lebih dalam, hal ini tergantung dari mekanisme pertahan non-spesifik itu
dapat termasuk aktivasi serum inhibitor, komplemen, dan PMN.
Masa inkubasi 1-3 minggu, dermatofita menyebar secara sentrifugal. Dalam
merespon infeksi, aktivasi kulit dengan meningkatkan proliferasi sel epidermis. Ini
menjadi pertahan terhadap infeksi kulit.
Tricophyton rubrum adalah dermatofita umum karena ada dinding sel
sehingga resisten terhadap eradikasi. Barrier proteksi ini mengandung mannan,
yang menghambat imunitas sel mediated, menghambat proliferasi keratinosit, dan
menyebabkan organism ini tahan terhadap pertahanan kulit normal. 4

3.5 Gejala klinik


Keluhan gatal terutama bila berkeringat. Oleh karena gatal dan digaruk, lesi
semakin meluas, terutama di daerah kulit yang lembab.
kelainan yang terlihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas
tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di
tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang-kadang terihat erosi dan
krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah
satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi
dengan pinggir polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Khas dari

11
infeksi ini ada central healing (dibagian tepi meradang dan bagian tengah
tenang).1,3

Gambar 5. Lesi Tinea Corporis


3.6 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan langsung dengan KOH 10-20%.
Bahan-bahan kerokan kulit diambil dengan cara mengerok bagian kulit yang
mengalami lesi. Sebelumnya kulit dibersihkan, lalu dikerok dengan skalpel
steril dan jatuhannya ditampung dalam lempeng-lempeng steril pula atau
ditempel pada selotip. Sebagian dari bahan tersebut diperiksa langsung dengan
KOH 10% yang diberi tinta Parker biru hitam atau biru laktofenol, dipanaskan
sebentar, ditutup dengan gelas penutup dan diperiksa di bawah mikroskop.
Bila penyebabnya memang jamur, maka kelihatan garis yang memiliki indeks
bias lain dari sekitarnya dan jarak-jarak tertentu dipisahkan oleh sekat-sekat
yang dikenal dengan hifa.

b. Pemeriksaan dengan sinar wood


Dapat memberikan perubahan warna pada seluruh daerah lesi sehingga batas
lesi lebih mudah dilihat. Daerah yang terkena infeksi akan memperlihatkan
fluoresensi warna kuning keemasan sampai orange. Pemeriksaan ini

12
memungkinkan untuk melihat dengan lebih jelas perubaha pigmentasi yang
menyertai kelainan ini.

c. Pemeriksaan Biakan.
Pemeriksaan dengan biakan jamur tidak terlalu bernilai secara diagnostik
karena memerlukan waktu yang lama. Pemeriksaan ini mengunakan media
biakan agar malt atau saboraud’s agar. Koloni yang tumbuh berbentuk soliter,
sedikit meninggi, bulat mengkilap dan lama kelamaan akan kering dan
dibawah mikroskop terlihat yeast cell bentuk oval dengan hifa pendek.

3.7 Diagnosis
Diagnosis tinea capitis ditegakkan berdasarkan gejala yang dikeluhkan
pasien, tanda-tanda infeksi jamur yang ditemukan, ditambah dengan pemeriksaan
penunjang untuk memastikan diagnosis. Gejala yang sering dikeluhkan pasien
adalah rasa gatal

3.8 Diagnosis banding


1. Psoriasis
Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang meninggi dengan
skuama di atasnya. Eritema sirkumskrip dan merata, tetapi pada stadium
penyembuhan sering eritema yang di tengah menghilang dan hanya terdapat di
pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika, serta
transparan. Besar kelainan bervariasi: lentikuler, nummular atau plakat, dapat
berkonfluensi.
Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan kobner
(isomorfik). Kedua fenomena yang disebut lebih dulu dianggap khas.
Fenomena tetesan lilin adalah skuama yang berubah warnanya menjadi
putih pada goresan seperti lilin digores, disebabkan oleh berubahnya indeks bias.
Pada fenomena Auspitz tampak serum atau darah berbintik-bintik yang
disebabkan oleh papilomatosis. Trauma pada kulit penderita psoriasis, misalnya

13
garukan, dapat menyebabkan kelainan yang sama dengan kelainan psoriasis dan
disebut fenomena kobner yang timbul kira-kira setelah 3 minggu.1,9

Gambar 6. Psoriasis
2. Pityriasis rosea
Sebagian penderita mengeluh gatal ringan. Penyakit dimulai dengan lesi
pertama (herald patch), umumnya di badan, solitarm berbentuk oval dan anular.
Ruam terdiri atas eritema dan skuama halus di pinggir..
Lesi berikutnya timbul 4-10 hari setelah lesi pertama, member gambaran
yang khas, sama dengan lesi pertama hanya lebih kecil, susunannya sejajar dengan
kosta, sehingga menyerupai pohon cemara terbalik. Lesi tersebut timbul serentak
atau dalam beberapa hari.1,7

Gambar 7. Pityriasis Rosea

14
3.9 Penatalaksanaan.1,2,10
Pada tinea Corporis dengan lesi terbatas, cukup diberikan obat topical.
Lama pengobatan bervariasi antara 1 sampai dengan 4 minggu tergantung jenis
obat. Obat oral atau kombinasi obat oral dan topikal diperlukan untuk lesi yang
luas. Pada keadaan inflamasi menonjol dan rasa gatal berat, kombinasi
antimikotik dengan kortikosteroid jangka pendek akan mempercepat perbaikan
klinis dan mengurangi keluhan pasien4.
1. Pengobatan Topikal
Pengobatan topikal merupakan pilihan utama. Efektivitas obat topikal
dipengaruhi oleh mekanisme kerja obat tersebut. Pilihan obat diantaranya
adalah2,3,4 :
 Kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoate (6-12%) dalam bentuk
salep (salep whitfield)
 Kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum dalam bentuk salep (salep 2-
4)
 Derivat azol : mikonazol 2%, klotrimasol 1%, dan yang terbaru sertaconazole
nitrate
 Derivat alilamin : Naftifine, terbinafine
 Kortikosteroid potensi rendah sampai sedang, namun penggunaannya tidak
boleh dalam jangka waktu yang panjang
2. Pengobatan sistemik
Pengobatan sistemik diberikan pada kasus tinea Corporis dengan infeksi kulit
yang luas, pasien imunocopromise, pasien resisten dengan pengobatan
topical, dan komorbid dengan tinea kapitis atau tinea unguium. Pilihan obat
diantaranya adalah2,3,4 :
 Griseofulvin 0,5-1 gr untuk dewasa, sedangkan untuk anak-anak 0,25-0,5 gr
atau 10-25 mg/KgBB sehari dalam dosis tunggal atau terbagi. Sediaan
mikrosize 500 mg. Lama pemberian sampai gejala klinis membaik, dan
umumnya 3-4 minggu

15
 Derivat azol : ketokonazol 200 mg per hari selama 3-4 minggu, namun
merupakan kontraindikasi pada pasien dengan kelainan hati. Itrakonazol 100
mg per hari selama 2 minggu atau 200 mg per hari selama 1 minggu.
 Derivat Alilamin : terbinafin 250 mg per hari selam 2 minggu

3.10 Prognosis dan Komplikasi


Untuk tinea Corporis dengan lesi yang terlokalisir, prognosisnya umumnya
baik, dengan angka kesembuhan mencapai 70-100% setelah pengobatan dengan
golongan azol atau alinamin topikal. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah
infeksi berulang, apabila pengobatan tidak berhasil menghilangkan organism
secara menyeluruh, seperti misalnya pada pasien yang menghentikan penggunaan
pengobatan topical terlalu cepat ataupun pada jamur tersebut resisten terhadap
pengobatan anti jamur yang diberikan.

16
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Tn. AS pria berusia 68 tahun di Ruangan Nusa Indah RSUD dr.
Doris Sylvanus konsultasi dengan keluhan terdapat bercak-bercak merah yang
terasa gatal pada lengan kanan. Pasien mengeluhkan adanya bercak merah di
daerah lengan kanannya sejak ±1 tahun yang lalu. Bercak tersebut terasa sangat
gatal sehingga pasien sering menggaruknya. Gatal dirasakan semakin bertambah
apabila pasien sedang berkeringat. Pada awalnya bercak tersebut muncul di sekitar
ketiak, namun sekarang semakin melebar sampai ke lengan, pasien juga
mengatakan bercak muncul di perut. Selama gatal pasien mengobatinya dengan
membeli salep di pasaran (pasien lupa namanya), pasien mengatakan bercak
sempat hilang tapi kemudian gatal muncul lagi. Sebelumnya pasien tidak ada
memeriksakan ke pelayanan kesehatan. Pasien mengatakan selalu mandi dua kali
sehari dengan sabun dan air. Pasien juga mengatakan selalu mengganti pakaian
setelah mandi, namun pasien jarang mengganti pakaiannya ketika basah oleh
keringat.
Berdasarkan anamnesis terdapat bercak merah pada lengan kanan sampai
ketiak yang terasa gatal, gatal dirasakan semakin bertambah apabila pasien
berkeringat. Sesuai dengan gejala klinis pada tinea Corporis dimana secara
subyektif, penderita dengan Tinea Corporis mengeluh rasa gatal dan kemerahan di
regio brahialis atau pada kulit halus (glabrous skin) di daerah wajah, leher, badan,
lengan, tungkai dan pantat (glutea). Rasa gatal akan semakin meningkat jika
banyak berkeringat dan lembab pada daerah tersebut. Selain itu dugaan kuat
mengarah pada diagnosis Tinea Corporis dibuktikan pada pemeriksaan
dermatologis ditemukan lesi distribusi regional pada lengan kanan berbentuk
Ukuran nummular hingga plakat, berbatas tegas (sirkumskrip) dengan tepi
polisiklik dengan tepi aktif tengah menyembuh (central healing) disertai skuama
selapis dengan tepi yang sedikit meninggi. Pada pasien terjadi makula
hiperpigmentasi dikarenakan infeksi kronis selama ±1 tahun. Pada pemeriksaan
lesi pada pasien terdapat lesi khas pada infeksi tinea Corporis. Untuk menegakkan

17
diagnosis tinea Corporis dibutuhkan pemeriksaan penunjang yaitu uji diagnostik
untuk mengisolasi dan mengidentifikasi jamur. Pemeriksaan yang di anjurkan
adalah pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan, bahan klinis berupa
kerokan kulit dengan KOH maka akan didapatkan hifa (dua garis lurus sejajar
transparan, bercabang dua/dikotom dan bersepta) dengan atau tanpa artrospora
(deretan spora di ujung hifa) yang khas pada infeksi dermatofita. Pada pasien
tidak dilakukan pemeriksaan penujang dikarenakan pasien menolak untuk
dilakukan pemeriksaan.
Diagnosis banding dari Tinea Corporis adalah Psoriasis dan Pityriasis
rosea. Dimana pada psoriasis terdapat perbedaan, perbedaannya ialah pada
psoriasis terdapat kelainan kulit yang terdiri atas bercak-bercak eritema yang
meninggi dengan skuama di atasnya. Eritema sirkumskrip dan merata, tetapi pada
stadium penyembuhan sering eritema yang di tengah menghilang dan hanya
terdapat di pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika,
serta transparan. Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan
kobner (isomorfik). Fenomena tetesan lilin adalah skuama yang berubah
warnanya menjadi putih pada goresan seperti lilin digores, disebabkan oleh
berubahnya indeks bias. Pada fenomena Auspitz tampak serum atau darah
berbintik-bintik yang disebabkan oleh papilomatosis. Sedangkan pada Pityriasis,
yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada tubuh dan bagian
proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea Corporis tanpa herald
patch yang dapat membedakan penyakit ini dengan tinea corporis. Pemeriksaan
laboratoriumlah yang dapat memastikan diagnosisnya.
Penatalaksanaan pasien ini adalah dengan pemberian obat topikal, karena
lesinya yang kecil dan tidak luas. Sehingga pengobatan sistemik belum
diperlukan. Pilihan yang diberikan adalah mikonazole nitrat 2%. Dimana
mikonazole merupakan derivat azol yang bersifat fungistatik yang dipergunakan
untuk pengobatan dermatofitosis. Selain itu juga diberikan KIE kepada pasien,
yaitu :
1. Menyarankan kepada pasien untuk menggunakan obat secara teratur dan tidak
menghentikan pengobatan tanpa seizin dokter

18
2. Memeliharan dan menjaga kebersihan
3. Menggunakan pakaian yang menyerap keringat, tidak ketat, dan menghindari
kulit lembab
4. Tidak menggunakan pakaian atau handuk secara bergantian atau bersama-
sama dengan anggota keluarga lain.

Prognosis pada pasien ini ad bonam. Hal ini dikarenakan bila pengobatan
antifungi dipakai secara teratur dan edukasi dilaksanakan dengan betul oleh
pasien, hasilnya akan baik.

19
BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan kasus Tinea Corporis pada pria usia 86 tahun ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan dermatologis yang ditemukan pada
pasien. Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan adanya bercak merah di
daerah lengan kanannya sejak ±1 tahun yang lalu. Bercak tersebut terasa sangat
gatal sehingga pasien sering menggaruknya. Gatal dirasakan semakin bertambah
apabila pasien sedang berkeringat. Pada awalnya bercak tersebut muncul di sekitar
ketiak, namun sekarang semakin melebar sampai ke lengan, pasien juga
mengatakan bercak muncul di perut. Selama gatal pasien mengobatinya dengan
membeli salep di pasaran. Pasien mengatakan bercak sempat hilang tapi kemudian
gatal muncul lagi. Sebelumnya pasien tidak ada memeriksakan ke pelayanan
kesehatan. Pasien jarang mengganti pakaiannya ketika basah oleh keringat.
Pada pemeriksaan dermatologis ditemukan lesi distribusi regional pada
lengan kanan berbentuk Ukuran nummular hingga plakat, berbatas tegas
(sirkumskrip) dengan tepi polisiklik dengan tepi aktif tengah menyembuh (central
healing) disertai skuama selapis dengan tepi yang sedikit meninggi.
Penatalaksanaan pasien ini adalah dengan pemberian obat topikal dan
pemberian KIE, karena lesinya yang kecil dan tidak luas. Sehingga pengobatan
sistemik belum diperlukan. Pilihan yang diberikan adalah mikonazole nitrat 2%.
Dimana mikonazole merupakan derivat azol yang bersifat fungistatik yang
dipergunakan untuk pengobatan dermatofitosis. Pemberian KIE sangat penting
dalam kasus ini, hal ini disebabkan karena penyakit ini memerlukan waktu yang
cukup lama untuk sembuh dan angka kekambuhannya cukup tinggi dan sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor predisposisi dan kesabaran serta ketaatan pasien
untuk berobat.
Prognosis pada pasien ini ad bonam. Hal ini dikarenakan bila pengobatan
antifungi dipakai secara teratur dan edukasi dilaksanakan dengan betul oleh
pasien, hasilnya akan baik.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keenam, Cetakan Ketiga. Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta; 2013. Hal.92-106.

2. Verma S, Heffernan MP. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis,


Onychomycosis, Tinea Nigra, Piedra. In: Wolff K, et al. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. Seventh Edition. McGraw-Hill : New
York; 2008.p.1807-1822

3. Ermawati Y. Penggunaan Ketokonazol pada Pasien Tinea Corporis. Fakultas


kedokteran Universitas Lampung. Medula Unila.2013;1(3):82-91

4. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S.


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keenam, Cetakan Kedua. Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta; 2011.hal.129-
153

5. Cohen DE, Jacob SE. Allergic Contact Dermatitis. In: Wolff K, et al.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Seventh Edition. McGraw-
Hill : New York; 2008. p.135-145

6. Djuanda A. Dermatosis Eritroskuamosa. Dalam: Djuanda A, Hamzah M,


Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keenam, Cetakan Kedua.
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta; 2011.
Hal.189-203.

7. Blauvelt A. Pityriasis Rosea. In: Wolff K, et al. Fitzpatrick’s Dermatology in


General Medicine. Seventh Edition. McGraw-Hill : New York. 2008. p.366-
368.

8. Murtiastutik D, dkk. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kedua.


Dep./SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Unair/RSUD Dr.Soetomo:
Surabaya; 2009.

21
9. Gudjonsson JE, Elder JT. Chapter 18: Psoriasis. In: Wolff K, et al.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Seventh Edition. McGraw-
Hill : New York. 2008. p.169-193.

10. Menkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :


302/Menkes/SK/III/2008 Tentang Harga Obat Generik. Menkes RI. 2008.

22

Anda mungkin juga menyukai