Pembimbing:
dr. Rose Grand Chen, Sp.A
Oleh:
Universitas : Tarumanagara
Tingkat : Program Studi Profesi Dokter (PSPD)
Mengetahui,
dr. Hendy Halim, M.Sc, Sp.A dr. Rose Grand Chen, Sp.A
BAB 1
PENDAHULUAN
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : An. DSH
Jenis Kelamin : Perempuan
TTL : 24 Nopember 2014
Usia : 4 tahun 4 bulan
Pendidikan : TK
Alamat : tomang
Tanggal dan Jam Pemeriksaan : 25 Maret 2019 jam 18.00
Pasien datang ke IGD dengan keluhan demam sejak 7 hari SMRS. Demam dirasakan
hilang timbul, sore – malam memberat. Demam tertinggi 38o C. sudah diberikan
Paracetamol ½ tab (250mg). Setelah diberikan obat demam menurun tetapi beberapa
jam kemudian demam naik kembali. Suhu tidak diukur. Semenjak sakit, ibu pasien
mengatakan nafsu makan pasien menjadi menurun. Ibu pasien mengatakan pasien
jarang jajan disekolah ataupun makan makanan sembarangan. Pasien selalu membawa
makanan dan minuman dari rumah. Setelah pulang sekolah biasanya pasien tidak
pernah jajan di sekitar sekolahan.
Ibu pasien mengatakan pasien batuk dan pilek sejak 1 hari SMRS. Batuk timbul dan
mengeluarkan dahak berwarna putih. Pilek yang dikeluhkan pasien memiliki sekret
encer dan bening. Sariawan juga timbul sejak 1 hari SMRS. Ibu pasien juga
mengatakan pasien mual (+) timbul bersamaan dengan demamnya dan dirasakan terus
– menerus. Muntah (-). BAK (+) dan BAB cair.
III. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah dirawat di RS sebelumnya pada bulan januari 2019 dengan diagnosa
demam tifoid. Pasien tidak mempunyai riwayat alergi obat maupun makanan.
V. Riwayat Perinatal
Pemeriksaan Sistem
Kepala: normocephali, tidak teraba massa, rambut berwarna hitam, rambut terdistribusi
merata, tidak mudah dicabut, kulit kepala tidak ada kelainan
Mata: bentuk simetris, pupil bulat isokor, 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+), konjungtiva
anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), mata cekung (-/-), edema palpebral (-/-), injeksi
konjungtiva (-/-)
Hidung: deviasi (-), sekret (+), konka hiperemis (+)
Telinga: dalam batas normal, sekret (-)
Mulut: sianosis (-), faring hiperemis (+), tonsil T1/T1, hiperemis (-), erosi mukosa
oral (-),stomatitis(+), coated tounge (+)
Leher: trakea di tengah, tidak teraba pembesaran KGB
Thorax:
Paru – paru
o Inspeksi : tampak simetris dalam keadaan statis maupun dinamis
o Palpasi : tidak teraba massa, krepitasi (-), nyeri (-)
o Perkusi : sonor (+)
o Auskultasi : vesikuler di seluruh lapang paru, rh (-/-), wh (-/-)
Jantung
o Inspeksi : pulsasi iktus kordis tidak tampak
o Palpasi : pulsasi iktus kordis teraba di ICS IV MCLS
o Perkusi : tidak dilakukan
o Auskultasi : BJ I – II reg, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
o Inspeksi : tempak datar, simetris, striae (-), sikatriks (-), massa (-), pelebaran
vena (-), jejas (-), shifting dullness (-)
o Auskultasi : bising usus (+) 6 x/menit, bruit (-)
o Perkusi : timpani pada seluruh abdomen
o Palpasi : supel, defans muscular (-), massa (-), hepar – lien dalam batas normal,
turgor baik
Ekstremitas dan tulang belakang: akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-), kofosis (-),
lordosis (-), skoliosis (-)
Kulit: dalam batas normal, turgor kulit kembali dangan cepat, sianosis (-), petekie (-),
jaundice (-)
Anus dan genitalia: anus normal, tidak ada kemerahan, genitalia tidak ada tanda – tanda
radang
KGB: tidak teraba pembesaran KGB
Pemeriksaan neurologis:
Refleks fisiologis: biceps ++/++, triceps ++/++, patella ++/++, Achilles ++/++
Refleks patologis: Babinski -/-, chaddock -/-, schaeffe -/-, Gordon -/-
Meningeal sign: kaku kuduk (-), brudzinsky I – IV (-)
Normotoni, normotrofi
Kekuatan 5555/5555
N. cranialis dalam batas normal
V. Daftar Masalah/Diagnosa
Daftar Masalah:
Demam H-7
Batuk
Pilek
Sariawan
Mual
Diagnosis Kerja:
Demam tifoid
Rhinofaringitis
Stomatitis
VI. Pengkajian
A. Clinical Reasoning
Pasien perempuan 7 tahun datang ke IGD diantar orang tuanya dengan keluhan demam
sejak 7 hari SMRS, pasien dicurigai demam tifoid karena pada anamnesis didapatkan
demam dirasakan makin berat pada sore menjelang malam hari. Keluhan batuk dan pilek
juga dirasakan sejak 1 hari yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hidung secret (+) dan konka hiperemis, coated
tongue, faring hiperemis, stomatitis. Sehingga dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan
anti salmonella IgM. Hasil lab anti salmonella IgM positif dan leukopenia sehingga
pasien diberikan antibiotik meropenem 3x1 gram IV.
Melihat hasil pemeriksaan dapat ditegakkan diagnosis: Demam tifoid, Rhinofaringitis,
Stomatitis
B. Diagnosis Banding
Susp. infeksi virus dengue
ISPA
C. Rencana Diagnostik
Darah rutin
Tes Widal
Kultur darah
Feses lengkap dan Kultur feses
Urine lengkap
Elektrolit
Geebio 1x1
Paracetamol syr 120mg/5ml, 2 Cth, jika demam ≥38°C, dapat diulang setiap 4 jam
(10 – 15mg/kgBB/kali)
Microlax supp 1 (5ml)
Ambroxol ½ tab (1,5mg/KgBB/hari)
CTM 1tab (0,4mg/KgBB/hari) 3x1
Pseudoefedrin ¼ tab (0,25-1mg/KgBB/hari)
Kenalog 3x1
E. Rencana Terapi Non-Farmakologis
Kebutuhan cairan 1660 cc/24 jam
o Oral on demand
o IVFD KAEN3B 1640 cc/24 jam = 17 tpm makro (15 tetes/cc)
Kebutuhan kalori 1840 kkal/hari
Kebutuhan protein 23 gram/hari
o Diet nasi + lauk 3 x 1 porsi
o Selingan buah 2 x 1 porsi
F. Rencana Evaluasi
Cek Demam
Cek BAB FL
Cek SSP
Cek bising usus, dan apakah ada Defans muskular di perut
G. Edukasi
Menjelaskan mengenai penyakit demam tifoid
Menjelaskan kepada orang tua dan pasien untuk membiasakan mencuci tangan
sebelum dan sesudah makan, BAK dan BAB
Menjelaskan kepada orang tua untuk menjaga kebersihan makanan dan minuman
VII. Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
1. Demam Tifoid
1.1. Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi, penularan biasanya terjadi melalui konsumsi makanan atau minuman
yang terkontaminasi. Penyakit yang serupa, demam paratifoid secara klinis sama dengan
demam tifoid tetapi biasanya lebih ringan. Demam paratifoid disebabkan oleh Salmonella
enteriditis, terdapat 3 bioserotipe yaitu paratyphi A, paratyphi B (S. Schotsmuelleri) dan
paratyphi C (S. Hirschfeldii).1,2
1.2. Epidemiologi
Angka kejadian demam tifoid di Asia adalah 900/100.000/tahun dan umur penderita yang
terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3 – 19 tahun mencapai 91%.
Penularan terjadi melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal
dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama – sama dengan tinja. Dapat
juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia
kepada bayinya.1 Perbandingan antara Salmonella typhi dengan Salmonella paratyphi
adalah 10 : 1.3 Masa inkubasi antara 8 – 14 hari, tapi dapat berlangsung antara 3 hari
sampai 2 bulan.
1.3. Etiologi
Penyebab Salmonella typhi sama dengan salmonella yang lain adalah bakteri gram negatif,
mempunyai flagel, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagel antigen (H) yang
terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang teridiri dari polisakarida.1
1.4. Patogenesis
Pathogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme,
yaitu:
1. Penempelan dan invasi sel – sel M Payer’s patch
2. Bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Payer’s patch, nodus
limfatikus mesenterikus dan organ – organ ekstra intestinal sistem
retikuloendotelial
3. Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah
4. Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal
Setelah periode inkubasi, Salmonella typhi akan ke luar dari habitatnya dan
melalui duktis torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme
dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oleh Salmonella typhi
adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Payer’s patch dari ileum
terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau
penyebaran retrograde dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat menginvasi
ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja.
b. Peran Endotoksin
Peran endotoksin pada demam tifoid dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas,
terubuksi dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi
makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe
mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat – zat lain. Produk makrofag ini yang
dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vascular yang tidak stabil, demam, depresi
sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulas sistem imunologik.
1.8. Tatalaksana
Sebagian besar pasien dapat diobati dengan tirah baring, isolasi yang memadai,
pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan pada kasus
berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi
disamping observasi. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada
dasarnya petogenesis infeksi Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia.1
Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita demam
tifoid dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10
– 14 hari atau sampai 5 – 7 hari setelah demam turun, sedangkan pada kasus dengan
malnutrisi atau penyakit, pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari, 4 – 6 minggu
untuk osteomielitis akut, dan 4 minggu untuk meningitis. Salah satu kelemahan
kloramfenikol adalah tingginya angka relaps dan karier.1
Ampisilin memberikan respons yang kurang apabila dibandingkan dengan
kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian
secara intravena. Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali
pemberian per oral memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun
penurunan demam lebih lama. Pemberian sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson
100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5 – 7 hari
atau sefotaksim 150 – 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 – 4 dosis efektif pada isolat yang
rentan. Cefixime oral 10 – 15 mg/kgBB/hari selama 10 hari dapat diberikan sebagai
alternatif, terutama apabila jumlah leukosit <2000/µl atau dijumpai resistensi terhadap S.
typhi.1
Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, obtundasi, stupor, koma atau shock,
pemberian deksametason intravena (3 mg/kgBB diberikan dalam 30 menit untuk dosis
awal, dilanjutkan dengan 1 mg/kgBB tiap 6 jam sampai 48 jam) disamping antibiotik yang
memadai, dapat menurunkan angka mortalitas dari 35 – 55% menjadi 10%. Demam tifoid
dengan penyulit perdarahan usus kadang memerlukan transfusi darah.1
Kriteria keberhasilan terapi demam tifoid :
1. Penurunan suhu
2. Perbaikan kesadaran
3. Perbaikan nafsu makan
4. 2-3 hari bebas demam7
1.9. Komplikasi
Terjadi pada akhir minggu kedua atau awal minggu ketiga5 berupa:
Intraintestinal: perforasi usus (0,5 – 3%) atau perdarahan saluran cerna (1 – 10%) :
suhu menurun, nyeri abdomen, muntah, nyeri tekan pada palpasi, bising usus menurun
sampai menghilang, defance musculaire positif, dan pekak hati menghilang.1,2,5
Ekstraintestinal: tifoid ensefalopati, hepatitis tifosa, meningitis, pneumonia, syok
septik, pielonefritis, endokarditis, osteomyelitis.1,2,5
1.10. Prognosis
Prognosis tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya dan ada atau
tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka
mortalitas < 1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya > 10%, baisnaya karena
keterlambatan diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Relaps dapat timbul beberapa kali.1
1.11. Pencegahan
Untuk memperkecil kemungkinan tercemar S. typhi, maka harus diperhatikan kualitas
makanan dan minuman yang akan dikonsumsi. Salmonella typhi di dalam air akan mati
apabila dipanasi setinggi 57ºC untuk beberapa menit atau dengan proses
iodinasi/klorinasi. Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57ºC beberapa menit dan
secara merata juga dapat mematikan kuman.1 Mencuci tangan sebelum dan sesudah
makan. Vaksin direkomendarikan untuk mencegah demam tifoid tetapi tidak 100%
efektif.4
Demam tifoid dapat dicegah dengan vaksin. Saat ini dikenal 3 macam vaksin, yaitu
yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi.
Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B yang dimatikan
(TAB vaccine) telah digunakan puluhan tahun dengan cara pemberian suntikan subkutan;
namun vaksin ini hanya dapat memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek
samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman
Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan per oral tiga kali dengan
interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun dan diberikan pada
anak berumur diatas 2 tahun. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi
diberikan secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60 – 70% selama 3
tahun.1,3.l
2. Rhinofaringitis
2.1. Definisi
Rhinofaringitis adalah penyakit sistem respiratori atas akibat infeksi virus dengan gejala
dominan berupa rinorea dan obstruksi nasal, dengan atau tanpa demam, dan dapat disertai
gejala sistemik berupa fatigue dan mialgia. Rhinofaringitis juga sering disebut sebagai
common cold, rhinitis ataupun rinosinusitis.8
2.2. Etiologi
Virus tersering yang menyebabkan rhinofaringitis adalah rhinovirus dan yang jarang
adalah coronavirus. Virus lain yang dapat menyebabkan rhinofaringitis adalah virus RSV
(respiratory syncytial virus) dan yang lebih jarang adalah virus influenza, parainfluenza
dan adenovirus.8
2.3. Epidemiologi
Timbul sepanjang tahun dengan puncak insiden pada awal musim gugur sampai akhir
musim semi. Anak kecil rata – rata mengalami rhinofaringitis 6 – 7 kali dalam setahun
dan 10 -15% anak mengalami rhinofaringitis paling tidak 12 kali sepajang tahun.8
2.6. Terapi
Terapi yang diberikan biasanya berupa terapi simptomatis.8
2.7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan berupa otitis media dan timbul pada 5 – 20% anak
dengan rhinofaringitis.8
2.8. Pencegahan
Rhinofaringitis dapar dicegah dengan mencuci tangan dan menghindari kontak dengan
orang yang terinfeksi.8
3. Stomatitis
3.1 Definisi
Stomatitis atau sering dikenal sebagai sariawan merupakan suatu kelainan selaput lendir
mulut, yang ditandai adanya bercak luka berwarna putih pada dinding mulut, bibir atas,
dan lidah. Sariawan memang bukan penyakit yang serius atau bahkan mengancam jiwa,
tetapi kondisi ini sangat mengganggu. Walaupun ukurannya kecil dan letaknya
tersembunyi di rongga mulut, sariawan bisa menimbulkan rasa nyeri hebat, sehingga
membuat susah untuk makan dan berbicara.9
3.2 Etiologi
• Rokok
• Lipstik
• Infeksi jamur
3.3 Epidemiologi
Prevalensi stomatitis bervariasi tergantung pada daerah populasi yang diteliti. Dari
penelitian-penelitian epidemiologi menunjukkan pada umumnya, prevalensi stomatitis
berkisar 15-25% dari populasi.9
3.5 Tatalaksana
Vitamin C
Kortikosteroid topical
Oral Hygiene9
3.6 Komplikasi
Pola nutrisi : nafsu makan menjadi berkurang, pola makan menjadi tidak teratur
1. IDAI. 2008. Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi kedua. Jakarta: IDAI.
2. IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: IDAI.
3. WHO. Guidelines for the Management of Typhoid Fever. 2011.
4. Michael C, Judd, Mintz ED. Typhoid and Parathyphoid Fever. CDC. 2017. Available
from: https://wwwnc.cdc.gov/travel/yellowbook/2018/infectious-diseases-related-to-
travel/typhoid-paratyphoid-fever
5. Garna H, Nataprawira H. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak
ringkasan klinik. Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung 2014.
6. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson Ilmu Kesehatan Anak
Esensial. Edisi keenam. Saunders Elsevier. 2014
7. Permenkes. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta:IDAI
8. IDAI. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi 1. Jakarta: IDAI.
9. Muttaqin dan Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah. Salemba Medika : Jakarta