Pada masa kehamilan ada beberapa perubahan pada hampir semua sistem organ pada maternal. Perubahan ini diawali dengan adanya sekresi hormon dari korpus luteum dan plasenta. Efek mekanis pada pembesaran uterus dan kompresi dari struktur sekitar uterus memegang peranan penting pada trimester kedua dan ketiga. Perubahan fisiologis seperti ini memiliki implikasi yang relevan bagi dokter anestesi untuk memberikan perawatan bagi pasien hamil. Perubahan yang relevan meliputi perubahan fungsi hematologi, kardiovaskular, ventilasi, metabolik, dan gastrointestinal (Santos,et.al., 2006). 2.1.1 Perubahan Metabolik Sebagai akibat dari peningkatan sekresi dari berbagai macam hormon selama masa kehamilan , termasuk tiroksin, adrenokortikal dan hormon seks, maka laju metabolisme basal pada wanita hamil meningkat sekitar 15 % selama mendekati masa akhir dari kehamilan. Sebagai hasil dari peningkatan laju metabolisme basal tersebut, maka wanita hamil sering mengalami sensasi rasa panas yang berlebihan. Selain itu,karena adanya beban tambahan, maka pengeluaran energi untuk aktivitas otot lebih besar daripada normal (Guyton, 2006). 2.1.2 Perubahan Kardiovaskular Sistem kardiovaskular beradaptasi selama masa kehamilan terhadapa beberapa perubahan yang terjadi. Meskipun perubahan sistem kardiovaskular terlihat pada awal trimester pertama, perubahan pada sistem kardiovaskular berlanjut ke trimester kedua dan ketiga, ketika cardiac output meningkat kurang lebih sebanyak 40 % daripada pada wanita yang tidak hamil. Cardiac output meningkat dari minggu kelima kehamilan dan mencapai tingkat maksimum sekitar minggu ke-32 kehamilan, setelah itu hanya mengalami sedikit peningkatan sampai masa persalinan, kelahiran,
Universitas Sumatera Utara
dan masa post partum. Sekitar 50% peningkatan dari cardiac output telah terjadi pada masa minggu kedelapan kehamilan. Meskipun, peningkatan dari cardiac output dikarenakan adanya peningkatan dari volume sekuncup dan denyut jantung, faktor paling penting adalah volume sekuncup, dimana meningkat sebanyak 20% sampai 50% lebih banyak daripada pada wanita tidak hamil. Perubahan denyut jantung sangat sulit untuk dihitung, tetapi diperkirakan ada peningkatan sekitar 20% yang terlihat pada minggu keempat kehamilan. Meskipun, angka normal dalam denyut jantung tidak berubah dalam masa kehamilan, adanya terlihat penurunan komponen simpatis (Birnbach,et.al., 2009). Pada trimester kedua, kompresi aortocava oleh pembesaran uterus menjadi penting secara progresif, mencapai titik maksimum pada minggu ke- 36 dan 38, setelah itu dapat menurunkan perpindahan posisi kepala fetal menuju pelvis. Penelitian mengenai cardiac output, diukur ketika pasien berada pada posisi supine selama minggu terakhir kehamilan, menunjukkan bahwa ada penurunan dibandingkan pada wanita yang tidak hamil, penurunan ini tidak diobservasi ketika pasien berada dalam posisi lateral decubitus. Sindrom hipotensi supine, yang terjadi pada 10 % wanita hamil dikarenakan adanya oklusi pada vena yang mengakibatkan terjadinya takikardi maternal, hipotensi arterial, penurunan kesadaran, dan pucat. Kompresi pada aorta yang dibawah dari posisi ini mengakibatkan penurunan perfusi uteroplasental dan mengakibatkan terjadinya asfiksia pada fetus. Oleh karena itu, perpindahan posisi uterus dan perpindahan posisi pelvis ke arah lateral harus dilakukan secara rutin selama trimester kedua dan ketiga dari kehamilan (Santos, et. al., 2006). Naiknya posisi diafragma mengakibatkan perpindahan posisi jantung dalam dada, sehingga terlihat adanya pembesaran jantung pada gambaran radiologis dan deviasi aksis kiri dan perubahan gelombang T pada elektrokardiogram (EKG). Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan adanya murmur sistrolik dan suara jantung satu yang terbagi-bagi. Suara jantung tiga juga dapat terdengar. Beberapa pasien juga terlihat mengalami efusi
Universitas Sumatera Utara
perikardial kecil dan asimptomatik (Morgan, 2006). 2.1.3 Perubahan Hematologi. Volume darah maternal mulai meningkat pada awal masa kehamilan sebagai akibat dari perubahan osmoregulasi dan sistem renin- angiotensin, menyebabkan terjadinya retensi sodium dan peningkatan dari total body water menjadi 8,5 L. Pada masanya, volume darah meningkat sampai 45 % dimana volume sel darah merah hanya meningkat sampai 30%. Perbedaan peningkatan ini dapat menyebabkan terjadinya ”anemia fisiologis” dalam kehamilan dengan hemoglobin rata rata 11.6 g/dl dan hematokrit 35.5%. Bagaimanapun, transpor oksigen tidak terganggu oleh anemia relatif ini, karena tubuh sang ibu memberikan kompensasi dengan cara meningkatkan curah jantung, peningkatan PaO2, dan pergeseran ke kanan dari kurva disosiasi oxyhemoglobin (Birnbach,et.al., 2009). Kehamilan sering diasosiasikan dengan keadaan hiperkoagulasi yang memberikan keuntungan dalam membatasi terjadinya kehilangan darah saat proses persalinan. Konsentrasi fibrinogen dan faktor VII,VIII, IX,X,XII, hanya faktor XI yang mungkin mengalami penurunan. Fibrinolisis secara cepat dapat diobservasi kemudian pada trimester ketiga. Sebagai efek dari anemia dilusi, leukositosis dan penurunan dari jumlah platelet sebanyak 10 % mungkin saja terjadi selama trimester ketiga. Karena kebutuhan fetus, anemia defisiensi folat dan zat besi mungkin saja terjadi jika suplementasi dari zat gizi ini tidak terpenuhi. Imunitas sel ditandai mengalami penurunan dan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi viral (Morgan, 2006). 2.1.4 Perubahan Sistem Respirasi Adaptasi respirasi selama kehamilan dirancang untuk mengoptimalkan oksigenasi ibu dan janin, serta memfasilitasi perpindahan produk sisa CO2 dari janin ke ibu (Norwitz,et.al., 2008). Konsumsi oksigen dan ventilasi semenit meningkat secara progresif selam masa kehamilan. Volume tidal dan dalam angka yang lebih kecil, laju pernafasan meningkat. Pada aterm konsumsi oksigen akan
Universitas Sumatera Utara
meningkat sekitar 20-50% dan ventilasi semenit meningkat hingga 50%. PaCO2 menurun sekitar 28-32mm Hg. Alkalosis respiratorik dihindari melalui mekanisme kompensasi yaitu penurunan konsentrasi plasma bikarbonat. Hiperventilasi juga dapat meningkatkan PaO2 secara perlahan. Peningkatan dari 2,3-difosfogliserat mengurangi efek hiperventilasi dalam afinitas hemoglobin dengan oksigen. Tekanan parsial oksigen dimana hemoglobin mencapai setengah saturasi ketika berikatan dengan oksigen meningkat dari 27 ke 30 mm Hg. hubungan antara masa akhir kehamilan dengan peningkatan curah jantung memicu perfusi jaringan (Morgan, 2006). Posisi dari diafragma terdorong ke atas akibat dari pembesaran uterus dan umumnya diikuti pembesaran dari diameter anteroposterior dan transversal dari cavum thorax. Mulai bulan ke lima, expiratory reserve volume, residuak volume,dan functional residual capacity menurun, mendekati akhir masa kehamilan menurun sebanyak 20 % dibandingkan pada wanita yang tidak hamil. Secara umum, ditemukan peningkatan dari inspiratory reserve volume sehingga kapasitas paru total tidak mengalami perubahan. Pada sebagian ibu hamil, penurunan functional residual capacity tidak menyebabkan masalah, tetapi bagi mereka yang mengalami perubahan pada closing volume lebih awal sebagai akibat dari merokok, obesitas, atau skoliosis dapat mengalami hambatan jalan nafas awal dengan kehamilan lanjut yang menyebabkan hipoksemia. Manuver tredelenburg dan posisi supin juga dapat mengurangi hubungan abnormal antara closing volume dan functional residual capacity. Volume residual dan functional residual capacity kembali normal setelah proses persalinan (Santos,et.al., 2006). 2.1.5 Perubahan Sistem Renal Vasodilatasi renal mengakibatkan peningkatan aliran darah renal pada awal masa kehamilan tetapi autoregulasi tetap terjaga. Ginjal umumnya membesar. Peningkatan dari renin dan aldosterone mengakibatkan terjadinya retensi sodium. Aliran plasma renal dan laju
Universitas Sumatera Utara
filtrasi glomerulus meningkat sebanyak 50% selama trimester pertama dan laju filtrasi glomerulus menurun menuju ke batas normal pada trimester ketiga. Serum kreatinin dan Blood Urea Nitrogen (BUN) mungkin menurun menjadi 0.5-0.6 mg/dL dan 8-9mg/dL. Penurunan threshold dari tubulus renal untuk glukosa dan asam amino umum dan sering mengakibatkan glukosuria ringan(1-10g/dL) atau proteinuria (<300 mg/dL). Osmolalitas plasma menurun sekitar 8-10 mOsm/kg (Morgan, 2006). 2.1.6 Perubahan pada Sistem Gastrointestinal Fungsi gastrointestinal dalam masa kehamilan dan selama persalinan menjadi topik yang kontroversial. Namun, dapat dipastikan bahwa traktus gastrointestinal mengalami perubahan anatomis dan fisiologis yang meningkatkan resiko terjadinya aspirasi yang berhubungan dengan anestesi general (Birnbach, et.al., 2009). Refluks gastroesofagus dan esofagitis adalah umum selama masa kehamilan. Disposisi dari abdomen ke arah atas dan anterior memicu ketidakmampuan dari sfingter gastroesofagus. Peningkatan kadar progestron menurunkan tonus dari sfingter gastroesofagus, dimana sekresi gastrin dari plasenta menyebabkan hipersekresi asam lambung. Faktor tersebut menempatkan wanita yang akan melahirkan pada resiko tinggi terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal. Tekanan intragaster tetap tidak mengalami perubahan. Banyak pendapat yang menyatakan mengenai pengosongan lambung. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pengosongan lambung normal bertahan sampai masa persalinan. Di samping itu,hampir semua ibu hamil memiliki pH lambung di bawah 2.5 dan lebih dari 60% dari mereka memiliki volume lambung lebih dari 25mL. kedua faktor tersbut telah dihubungkan memiliki resiko terhadap terjadinya aspirasi pneumonitis berat. Opioid dan antikolinergik menurunkan tekanan sfingter esofagus bawah, dapat memfasilitasi terjadinya refluks gastroesofagus dan penundaan pengosongan lambung. Efek fisiologis ini bersamaan dengan ingesti makanan terakhir sebelum
Universitas Sumatera Utara
proses persalinan dan penundaan pengosongan lambung mengakibatkan nyeri persalinan dan merupakan faktor predisposisi pada ibu hamil akan terjadinya muntah dan mual (Morgan, 2006). 2.1.7 Perubahan Sistem Saraf Pusat dan Perifer Konsentrasi alveolar minimum menurun secara progresif selama masa kehamilan. Pada masa aterm menurun sekitar 40% untuk semua anestesi general. Namun, konsentrasi alveolar minimum kembali normal pada hari ketiga pasca kelahiran. Perubahan kadar hormon maternal dan opioid endogen telah dibuktikan. Progestron yang memiliki efek sedasi ketika diberikan dalam dosis farmakologis, meningkat sekitar 20 kali lebih tinggi daripada normal pada masa aterm dan kemungkinan berefek kecil dalam observasi. Peningkatan secara signifikan kadar endorfin juga memegang peranan penting dalam masa persalinan dan kelahiran (Morgan, 2006). Wanita hamil menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap kedua jenis anestesi baik regional maupun general. Dari awal periode pemasukan anestesi secara neuraxial, wanita hamil membutuhkan lebih sedikit anestesi lokal daripada wanita yang tidak hamil untuk mencapai level dermatom sensorik yang diberikan (Birnbach, 2009). Minimum local analgesic concentration (MLAC) digunakan dalam anestesi obstetrik untuk membandingkan potensi relatif dari anestesi lokal dan MLAC didefinisikan sebagai median dari konsentrasi analgesik efektif dalam 20 ml volume untuk analgesi epidural dalam periode awal persalinan. Obstruksi dari vena cava inferior karena pembesaran uterus mengakibatkan distensi dari vena pleksus epidural dan meningkatkan volume darah epidural. Yang mendekati masa akhir kehamilan menghasilkan tiga efek mayor : (1) penurunan volume cairan serebrospinal, (2) penurunan volume potensial dari ruang epidural, (3) peningkatan tekanan ruang epidural. Dua efek awal memicu penyebaran sefalad dari cairan anestesi lokal selama anestesi spinal dan epidural, dimana efek yang terakhir mungkin menjadi predisposisi dalam insidensi
Universitas Sumatera Utara
lebih tinggi dari punksi dural dengan anestesi epidural (Morgan, 2006). 2.1.8 Perubahan Sistem Muskoloskeletal Kenaikan kadar relaksin selama masa kehamilan membantu persiapan kelahiran dengan melemaskan serviks, menghambat kontraksi uterus, dan relaksasi dari simfisis pubis dan sendi pelvik. Relaksasi ligamen menyebabkan peningkatan risiko terjadinya cedera punggung. Kemudian dapat berkontribusi dalam insidensi nyeri punggung dalam kehamilan (Morgan, 2006). 2.1.9 Sirkulasi Uteroplasental Sirkulasi uteroplasental normal sangat dibutuhkan dalam perkembangan dan perawatan untuk fetus yang sehat. Insufiensi sirkulasi uteroplasental dapat menjadi penyebab utama dalam retardasi pertumbuhan fetal intrauterin dan ketika menjadi parah dapat mengakibatkan kematian fetus. Integrasi dari sirkulasi bergantung pada aliran darah uterus yang adekuat dan fungsi normal plasenta (Morgan, 2006). Aliran darah uterin meningkat secara progresif selama kehamilan dan mencapai nilai rata rata antara 500ml sampai 700ml di masa aterm. Aliran darah melalui pembuluh darah uterus sangat tinggi dan memiliki resistensi rendah. Perubahan dalam resistensi terjadi setelah 20 minggu masa gestasi. Aliran darah uterus kurang memiliki mekanisme autoregulasi (pembuluh darah dilatasi maksimal selama masa kehamilan) dan aliran arteri uterin sangat bergantung pada tekanan darah maternal dan curah jantung. Hasilnya, faktor yang mempengaruhi perubahan aliran darah melalui uterus dapat memberikan efek berbahaya pada suplai darah fetus. Maka uterine blood flow dirumuskan sebagai berikut: UBF= UAP-UVP UVR UBF = uterine blood flow UAP = uterine arterial pressure UVP = uterine venous pressure
Universitas Sumatera Utara
UVR = uterine vascular resistance Aliran darah uterin menurun selama periode hipotensi maternal, dimana hal tersebut terjadi dikarenakan hipovolemia, perdarahan, dan kompresi aortocaval, dan blokade simpatis. Hal serupa, kontraksi uterus (kondisi yang meningkatkan frekuensi atau durasi kontraksi uterus) dan perubahan tonus vaskular uterus yang dapat terlihat dalam status hipertensi mengakibatkan gangguan pada aliran darah (Birnbach,et.al., 2009). 2.2 Seksio Sesarea 2.2.1 Definisi Seksio sesarea merupakan lahirnya janin melalui insisi dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi). Definisi ini tidak mencakup pengeluaran janin pada kasus ruptur uteri atau pada kasus kehamilan abdomen (Cunningham, 2010) 2.2.2 Indikasi Seksio Sesarea 2.2.2.1 Indikasi Absolut Menurut Norwitz (2008), indikasi absolut seksio sesarea dibagi atas a. Berasal dari ibu i. Induksi persalinan yang gagal ii. Proses persalinan tidak maju (distosia persalinan) iii. Disproporsi sefalopelvik b. Uteroplasenta i. Bedah uterus sebelumnya (sesar klasik) ii. Riwayat ruptur uterus iii. Obstruksi jalan lahir (fibroid) iv. Plasenta previa, abruptio plasenta berukuran besar c. Janin i. Gawat janin/ hasil pemeriksaan janin tidak meyakinkan ii. Prolaps tali pusat iii. Malpresentasi janin
Universitas Sumatera Utara
2.2.2.2 Indikasi Relatif Indikasi relatif dalam seksio sesarea terbagi atas (Norwitz, 2008): a. riwayat ibu i. bedah sesar elektif berulang ii. penyakit ibu b. uteroplasenta i. riwayat bedah uterus sebelumnya ii. presentasi funik pada saat persalinan c. janin i. malpresentasi janin ii. makrosomia iii. kelainan janin 2.2.2.3 Kontraindikasi Seksio Sesarea Menurut Pernoll (2009), kontraindikasi tindakan seksio sesarea meliputi infeksi piogenik dinding abdomen, janin abnormal yang tidak dapat hidup, janin mati (kecuali untuk menyelamatkan nyawa ibu) dan kurangnya fasilitas, perlengkapan atau tenaga yang sesuai. 2.2.3 Teknik Seksio Sesarea 2.2.3.1 Insisi Abdominal Umumnya digunakan insisi abdomen secara midline vertikal atau transversal suprapubik. Hanya dalam keadaan tertentu insisi paramedian atau midtransversum digunakan (Cunningham, 2010). 2.2.3.1.1 Insisi Abdominal Vertikal Abdomen biasanya dimasuki melalu insisi vertikal garis tengah yang rendah meskipun kadang-kadang insisi abdominal transversal dapat digunakan untuk seksio sesarea klasik. Insisi garis tengah biasanya mengikuti linea nigra dan memanjang dari umbilikus sampai simfisis pubis. Setelah menginsisi jaringan subkutan, insisilah rafe garis tengah secara tajam dan masuki peritoneum parietal dengan diseksi tajam. Umumnya, setelah melakukan insisi vertikal dilakukan penjahitan pada
Universitas Sumatera Utara
lapisan peritoneal dengan poliglikolik 00 atau 0. Jaringan fasia ditutup dengan jahitan terputus menggunakan benang berukuran 0 yang dapat diserap atau tidak dapat diserap. Setelah jaringan subkutan didekatkan kembali, kulit ditutup (Pernoll, 2009) 2.2.3.1.2 Insisi Abdominal Transversal Selain metode insisi abdominal pada linea mediana dikenal juga metode insisi abdominal transversal. Metode Pfannenstiel, Maylard, dan Joel-Cohen , merupakan metode seksio sesarea yang menggunakan insisi transversal pada dinding abdomen. Insisi Pfannenstiel meliputi insisi transversal semi lengkung (curved) setinggi 2 jari di atas tulang simfisis pubis, muskulus rektus dipisahkan secara tumpul dan peritoneum parietal diinsisi pada linea mediana. Insisi Maylard hampir serupa dengan metode Pfannen stiel namun muskulus rektus dipotong secara transversal menggunakan pisau bedah. Insisi ini menjadi pilihan ketika dijumpai adanya perlengketan akibat insisi Pfannenstiel pada operasi sebelumnya. Insisi Joel-Cohen meliputi insisi transversal yang lurus setinggi 3 cm di atas tulang simfisis dan diperdalam lapis demi lapis secara tumpul,bila perlu digunakan gunting bukan pisau. Kemudian plica vesicouterina digunting dan disisihkan, kemudian dibuat insisi pada segmen bawah uterus di bawah insisi plica yang kemudian dilebarkan secara tumpul dengan arah horizontal. Insisi Joel-Cohen berhubungan dengan waktu operasi yang singkat serta berkurangnya febris post operatif (Cunningham, 2010). 2.2.3.2 Insisi Uterus Pada umumnya insisi pada uterus dibuat pada segmen bawah rahim secara transversal seperti dinyatakan oleh Kerr pada tahun 1921 atau seperti yang dinyatakan oleh Kronig pada tahun 1912. Segmen bawah uterus relatif kurang vaskular dibandingkan korpus uteri, sehingga diharapkan perdarahan yang terjadi tidak seberat dibandingkan pada seksio sesarea secara klasik. Insisi lain yaitu insisi klasik, merupakan insisi vertikal pada korpus uteri hingga ke fundus dan insisi ini jarang
Universitas Sumatera Utara
digunakan. Insisi pada segmen bawah rahim mempunyai keuntungan yaitu hanya membutuhkan sedikit pembebasan kandung kemih dari myometrium (Cunningham, 2010). 2.2.3.3 Seksio Sesarea Klasik Indikasi seksio sesarea klasik adalah plasenta previa, letak janin melintang atau oblik dan jika persalinan cepat sangat penting. Seksio sesarea klasik merupakan tindakan paling sederhana. Buatlah insisi vertikal pada bagian bawah korpus uteri melalui peritoneum viseral ke dalam miometrium. Setelah masuk ke dalam kavum uteri , perluaslah insisi ke arah kaudal dan kranial dengan gunting perban. Lahirkan bayi, plasenta, dan selaput ketuban. Tutuplah insisi dengan tiga lapis jahitan yang dapat diserap. Tutuplah dua lapisan yang lebih dalam dengan jahitan terputus atau bersambung menggunakan benang 0 atau 00 dan lapisan yang lebih atas dengan jahitan bersambung(atau baseball) menggunakan benang 00 atau 000 (Pernoll, 2009). 2.2.4 Komplikasi Seksio Sesarea Pernoll (2009) menyatakan beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada kasus seksio sesarea. a. Kematian Ibu. Angka kematian ibu pada seksio sesarea adalah 40-80/100.000, meningkat sebanyak 25 kali angka kematian ibu pada persalinan per vaginam. b. Kesakitan Ibu selama Operasi. Komplikasi pembedahan selama seksio sesarea berkisar di atas 11% (kira-kira 80% minor dan 20% mayor). Komplikasi mayor meliputi trauma pada kandung kemih, laserasi sampai serviks atau vagina, laserasi korpus uteri, laserasi melalui ismus ke ligamentum latum, laserasi pada kedua arteri uterina, trauma usus dan trauma pada bayi dengan sekuele. Komplikasi minor meliputi transfusi darah, trauma pada bayi tanpa sekuele, laserasi minor pada isus dan kesulitan melahirkan.
Universitas Sumatera Utara
c. Kesakitan Ibu Pascaoperasi Kesakitan pasca seksio sesarea kira-kira sebesar 15 % dan sekitar 90% di antaranya disebabkan oleh infeksi (endometitis, infeksi saluran kemih, sepsis karena luka). Komplikasi lebih banyak terjadi pada kasus seksio darurat kira kira 25% sedangkan pada kasus elektif hanya 5%. Predisposisi terjadi kesakitan pasca operasi adalah lamanya pecah selaput ketuban sebelum operasi, lama persalinan sebelum operasi, anemia dan obesitas. Komplikasi non infeksi pasca bedah yang lazin (< 10% total komplikasi) meliputi ileus paralitik, perdarahan intraabdominal, paresis kandung kemih, trombosis dan gangguan paru. 2.3 Spinal Anestesi Disebut juga spinal analgesia atau subarachnoid nerve block, terjadi karena deposit obat anestesi lokal di dalam ruangan subarachnoid. Terjadi blok saraf yang spinalis yang akan menyebabkan hilangnya aktivitas sensoris, motoris dan otonom (Morgan, 2006). Berbagai fungsi yang dibawa saraf-saraf medula spinalis misalnya temperatur, sakit, aktivitas otonom, rabaan, tekanan, lokalisasi rabaan, fungsi motoris dan proprioseptif. Secara umum fungsi-fungsi tersebut dibawa oleh serabut saraf yang berbeda dalam ketahanannya terhadap obat anestesi lokal. Oleh sebab itu ada obat anestesi lokal yang lebih mempengaruhi sensoris daripada motoris. Blokade dari medulla spinalis dimulai kaudal dan kemudian naik ke arah sephalad.Serabut saraf yang bermielin tebal (fungsi motoris dan propioseptif) paling resisten dan kembalinya fungsi normal paling cepat, sehingga diperlukan konsentrasi tinggi obat anestesi lokal untuk memblokade saraf tersebut.Level blokade otonom 2 atau lebih dermatom ke arah sephalik daripada level analgesi kulit, sedangkan blokade motoris 2 sampai 3 segmen ke arah kaudal dari level analgesi (Morgan, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.3.1 Indikasi Spinal Anestesi : Morgan (2006) menyatakan beberapa indikasi dari pemberian anestesi spinal 1. Operasi ekstrimitas bawah, baik operasi jaringan lunak, tulang atau pembuluh darah. 2. Operasi di daerah perineal : Anal, rectum bagian bawah, vaginal, dan urologi. 3. Abdomen bagian bawah : Hernia, usus halus bagian distal, appendik, rectosigmoid, kandung kencing, ureter distal, dan ginekologis 4. Abdomen bagian atas : Kolesistektomi, gaster, kolostomi transversum. Tetapi spinal anestesi untuk abdomen bagian atas tidak dapat dilakukan pada semua pasien sebab dapat menimbulkan perubahan fisiologis yang hebat. 5. Seksio Sesarea (Caesarean Section). 6. Prosedur diagnostik yang sakit, misalnya anoskopi, dan sistoskopi. 2.3.2 Kontra Indikasi Absolut : Beberapa kontraindikasi absolut dari pemberian anestesi spinal (Gwinnut,2009): 1. Gangguan pembekuan darah, karena bila ujung jarum spinal menusuk pembuluh darah, terjadi perdarahan hebat dan darah akan menekan medulla spinalis. 2. Sepsis, karena bisa terjadi meningitis. 3. Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi pergeseran otak bila terjadi kehilangan cairan serebrospinal. 4. Bila pasien menolak. 5. Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan ditusuk jarum spinal. 6. Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia pernisiosa, neurosyphilys, dan porphiria.
Universitas Sumatera Utara
7. Hipotensi. 2.3.3 Kontra Indikasi Relatif Gwinnutt (2009), menyatakan beberapa kontraindikasi relatif dalam pemberian anestesi spinal. 1. Pasien dengan perdarahan. 2. Problem di tulang belakang. 3. Anak-anak. 4. Pasien tidak kooperatif, psikosis. 2.3.4 Anatomi Terdapat 33 ruas tulang vertebra, yaitu 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4 coccygeal. Medulla spinalis berakhir di vertebra L2, karena ditakutkan menusuk medulla spinalis saat penyuntikan, maka spinal anestesi umumnya dilakukan setinggi L4-L5, L3-L4, L2-L3. Ruangan epidural berakhir di vertebra S2.6. Ligamen-ligamen yang memegang kolumna vertebralis dan melindungi medulla spinalis, dari luar ke dalam adalah sebagai berikut (Bernards, 2006) : 1. Ligamentum supraspinosum. 2. Ligamentum interspinosum. 3. Ligamentum flavum. 4. Ligamentum longitudinale posterior. 5. Ligamentum longitudinale anterior. 2.3.5 Teknik Spinal Anestesi : Anestesi spinal dan epidural dapat dilakukan jika peralatan monitor yang sesuai dan pada tempat dimana peralatan untuk manajemen jalan nafas dan resusitasi telah tersedia. Sebelum memosisikan pasien, seluruh peralatan untuk blok spinal harus siap untuk digunakan, sebagai contoh, anestesi lokal telah dicampur dan siap digunakan, jarum dalam keadaan terbka, cairan preloading sudah disiapkan. Persiapan alat akan meminimalisir waktu yang dibutuhkan untuk anestesi blok dan kemudian meningkatkan kenyamanan pasien (Bernards, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Adapun teknik dari anestesi spinal adalah sebagai berikut (Morgan, 2006): 1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika kita visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan untuk spinal anestesi. 2. Posisi pasien : a) Posisi Lateral. Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm, lutut dan paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada. b) Posisi duduk. Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi mungkin akan pusing dan diperlukan seorang asisten untuk memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila diinginkan sadle block. c) Posisi Prone. Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah menginginkan posisi Jack Knife atau prone. 3. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol, kemudian kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril. 4. Cara penusukan. Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi komplikasi sakit kepala (PSH=post spinal headache), dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stylet dari jarum spinal akan menyebabkan keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan spinal analgesi dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum
Universitas Sumatera Utara
beberapa mili meter sampai yang keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat anestesi lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan tempat tusukan. Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat anestesi lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus). 2.3.6 Obat-obat yang dipakai Obat anestesi lokal yang biasa dipakai untuk spinal anestesi adalah lidokain, bupivakain, levobupivakain, prokain, dan tetrakain. Lidokain adalah suatu obat anestesi lokal yang poten, yang dapat memblokade otonom, sensoris dan motoris. Lidokain berupa larutan 5% dalam 7,5% dextrose, merupakan larutan yang hiperbarik. Mula kerjanya 2 menit dan lama kerjanya 1,5 jam. Dosis rata-rata 40-50mg untuk persalinan, 75- 100mg untuk operasi ekstrimitas bawah dan abdomen bagian bawah, 100- 150mg untuk spinal analgesia tinggi. Lama analgesi prokain < 1 jam, lidokain ± 1-1,5 jam, tetrakain 2 jam lebih (Morgan,2006). 2.3.7 Pengaturan Level Analgesia Level anestesia yang terlihat dengan spinal anestesi adalah sebagai berikut : level segmental untuk paralisis motoris adalah 2-3 segmen di bawah level analgesia kulit, sedangkan blokade otonom adalah 2-6 segmen sephalik dari zone sensoris. Untuk keperluan klinik, level anestesi dibagi atas : 1. Sadle block anesthesia : zona sensoris anestesi kulit pada segmen lumbal bawah dan sakral. 2. Low spinal anesthesia : level anestesi kulit sekitar umbilikus (T10) dan termasuk segmen torakal bawah, lumbal dan sakral. 3. Mid spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T6 dan zona anestesi termasuk segmen torakal, lumbal, dan sacral. 4. High spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T4 dan zona anestesi termasuk segmen torakal 4-12, lumbal, dan sacral.
Universitas Sumatera Utara
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motoris dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi (Kleinman, 2006). Level anestesi tergantung dari volume obat, konsentrasi obat, barbotase, kecepatan suntikan, valsava, tempat suntikan, peningkatan tekanan intra-abdomen, tinggi pasien, dan gravitas larutan. Makin besar volume obat, akan semakin besar penyebarannya, dan level anestesi juga akan semakin tinggi. Barbotase adalah pengulangan aspirasi dari suntikan obat anestesi lokal. Bila kita mengaspirasi 0,1ml likuor sebelum menyuntikkan obat; dan mengaspirasi 0,1ml setelah semua obat anestesi lokal disuntikkan, akan menjamin bahwa ujung jarum masih ada di ruangan subarakhnoid. Penyuntikan yang lambat akan mengurangi penyebaran obat sehingga akan menghasilkan low spinal anesthesia, sedangkan suntikan yang terlalu cepat akan menyebabkan turbulensi dalam liquor dan menghasilkan level anestesi yang lebih tinggi. Kecepatan yang dianjurkan adalah 1ml per 3 detik (Kleinman, 2006). Berdasarkan berat jenis obat anestesi lokal yang dibandingkan dengan berat jenis likuor, maka dibedakan 3 jenis obat anestesi lokal, yaitu hiperbarik, isobarik dan hipobarik. Berat jenis liquor cerebrospinal adalah 1,003-1,006. Larutan hiperbarik : 1,023-1,035, sedangkan hipobarik 1,001- 1,002 (Kleinman, 2006). Perawatan Selama pembedahan (Gwinnutt, 2009). 1. Posisi yang enak untuk pasien. 2. Kalau perlu berikan obat penenang. 3. Operator harus tenang, manipulasi tidak kasar. 4. Ukur tekanan darah, frekuensi nadi dan respirasi. 5. Perhatikan kesulitan penderita dalam pernafasan, adanya mual dan pusing. 6. Berikan oksigen per nasal. Perawatan Pascabedah (Gwinnutt, 2009). 1. Posisi terlentang, jangan bangun / duduk sampai 24 jam
Universitas Sumatera Utara
pascabedah. 2. Minum banyak, 3 lt/hari. 3. Cegah trauma pada daerah analgesi. 4. Periksa kembalinya aktifitas motorik. 5. Yakinkan bahwa perasaan yang hilang dan kaki yang berat akan pulih. 6. Cegah sakit kepala, mual-muntah. 7. Perhatikan tekanan darah dan frekuensi nadi karena ada kemungkinan penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi. 2.3.8 Komplikasi / Masalah Anestesi Spinal : Birnbach,et.al. (2009) menyatakan beberapa komplikasi terkait pemberian anestesi spinal 1. Sistim Kardiovaskuler : a) Penurunan resistensi perifer : 1. Vasodilatasi arteriol dan arteri terjadi pada daerah yang diblokade akibat penurunan tonus vasokonstriksi simfatis. 2. Venodilatasi akan menyebabkan peningkatan kapasitas vena dan venous return. 3. Proksimal dari daerah yang diblokade akan terjadi mekanisme kompensasi, yakni terjadinya vasokonstriksi. b) Penurunan Tekanan Sistolik dan Tekanan Arteri Rerata Penurunan tekanan darah tergantung dari tingginya blokade simfatis. Bila tekanan darah turun rendah sekali, terjadi risiko penurunan aliran darah otak. Bila terjadi iskemia medulla oblongata terlihat adanya gejala mual-muntah. Tekanan darah jarang turun > 15 mmHg dari tekanan darah asal. Tekanan darah dapat dipertahankan dengan pemberian cairan dan atau obat vasokonstriktor. Duapuluh menit sebelum dilakukan spinal anestesi diberikan cairan RL atau NaCl 10-15 ml/kgBB.
Universitas Sumatera Utara
Vasokonstriktor yang biasa digunakan adalah efedrin. Dosis efedrin 25-50 mg i.m. atau 15-20 mg i.v. Mula kerja-nya 2-4 menit pada pemberian intravena, dan 10-20menit pada pemberian intramuskuler. Lama kerja-nya 1 jam. c) Penurunan denyut jantung. Bradikardi umumnya terjadi karena penurunan pengisian jantung yang akan mempengaruhi myocardial chronotropic stretch receptor, blokade anestesi pada serabut saraf cardiac accelerator simfatis (T1-4). Pemberian sulfas atropin dapat meningkatkan denyut jantung dan mungkin juga tekanan darah. 2. Sistim Respirasi Bisa terjadi apnoe yang biasanya disebabkan karena hipotensi yang berat sehingga terjadi iskemia medula oblongata. Terapinya : berikan ventilasi, cairan dan vasopressor. Jarang disebabkan karena terjadi blokade motoris yang tinggi (pada radix n.phrenicus C3-5). Kadang-kadang bisa terjadi batuk-batuk kering, maupun kesulitan bicara 3. Sistim Gastrointestinal Diperlihatkan dengan adanya mual muntah yang disebabkan karena hipotensi, hipoksia, pasien sangat cemas, pemberian narkotik, over-aktivitas parasimfatis dan traction reflex (misalnya dokter bedah manipulasi traktus gastrointestinal). 4. Headache (PSH=Post Spinal Headache) Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan karena adanya kebocoran likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang dipakai, semakin besar kebocoran yang terjadi, dan semakin tinggi kemungkinan terjadinya sakit kepala pascaspinal anestesi. Bila duramater terbuka bisa terjadi kebocoran cairan serebrospinal sampai 1- 2minggu. Kehilangan CSF sebanyak 20ml dapat menimbulkan terjadinya sakit kepala. Post spinal headache (PSH) ini pada 90% pasien terlihat dalam 3 hari postspinal, dan pada 80% kasus akan
Universitas Sumatera Utara
menghilang dalam 4 hari. Supaya tidak terjadi postspinal headache dapat dilakukan pencegahan dengan : 1. Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no. 25,27,29). 2. Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater sehingga jarum tidak merobek dura tetapi menyisihkan duramater. 3. Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama 3 hari, hal ini akan menambah produksi CSF sebagai pengganti yang hilang. Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan 1. Memakai abdominal binder. 2. Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di ruang epidural tempat kebocoran. 3. Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari. Kejadian post spinal headache 10-20% pada umur 20-40 tahun; > 10% bila dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai jarum no.22 ke atas. Wanita lebih banyak yang mengalami sakit kepala daripada laki-laki. 5. Backache Sakit punggung merupakan masalah setelah suntikan di daerah lumbal untuk spinal anestesi. 6. Retensio Urinae Penyebab retensio urine mungkin karena hal-hal-hal sebagai berikut : operasi di daerah perineum pada struktur genitourinaria, pemberian narkotik di ruang subarachnoid, setelah anestesi fungsi vesica urinaria merupakan yang terakhir pulih. 7. Komplikasi Neurologis Permanen Jarang sekali terjadi komplikasi neurolois permanen. Hal-hal yang menurunkan kejadiannya adalah karena : dilakukan sterilisasi panas pada ampul gelas, memakai syringedan jarum yang disposible,
Universitas Sumatera Utara
spinal anestesi dihindari pada pasien dengan penyakit sistemik, serta penerapan teknik antiseptik. 8. Chronic Adhesive Arachnoiditis Suatu reaksi proliferasi arachnoid yang akan menyebabkan fibrosis, distorsi serta obliterasi dari ruangan subarachnoid. Biasanya terjadi bila ada benda asing yang masuk ke ruang subarachnoid. 2.4 Cairan Selama anestesia, umumnya diberikan cairan secara intravena untuk menggantikan kehilangan cairan karena pembedahan, dan untuk memenuhi kebutuhan harian normal pasien. Digunakan tiga jenis cairan yaitu kristaloid, koloid, dan darah serta komponennya (Gwinnutt,2009). Ada kontroversi mengenai penggunaan cairan koloid dan kristaloid. Para ahli mengatakan bahwa koloid dapat menjaga tekanan onkotik plasma, koloid lebih efektif dalam mengembalikan volume intravaskular dan curah jantung. Ahli yang lain mengatakan bahwa pemberian cairan kristaloid efektif bila diberikan dalam jumlah yang cukup. Beberapa pernyataan dibawah ini yang mendukung(Morgan,2006) : 1. Kristaloid, jika diberikan dalam jumlah cukup sama efektifnya dengan koloid dalam mengembalikan volume intravaskular. 2. Mengembalikan defisit volume intravaskular dengan kristaloid biasanya memerlukan 3-4 kali dari jumlah cairan jika menggunakan koloid. 3. Kebanyakan pasien yang mengalami pembedahan mengalami defisit cairan extraseluler melebihi defisit cairan intravaskular. 4. Defisit cairan intravaskular yang berat dapat dikoreksi dengan cepat dengan menggunakan cairan koloid. 5. Pemberian cairan kristaloid dalam jumlah besar (> 4-5 L) dapat menimbulkan edema jaringan.
Universitas Sumatera Utara
2.4.1 Kristaloid Kristaloid merupakan larutan kristalin padat dalam air. Larutan ini digolongkan ke dalam dua kelompok: (1) yang memiliki kandungan elektrolit-elektrolit dengan komposisi yang sama dengan plasma, mempunyai osmolalitas yang sama dengan plasma dan sering dianggap sebagai isotonik; (2) larutan yang mengandung lebih sedikit atau tidak mengandung elektrolit (hipotonik) tetapi mengandung glukosa untuk memastikan bahwa mereka memiliki osmolalitas yang sama dengan plasma. Begitu cairan ini diberikan, maka terjadi proses redistribusi di berbagai kompartemen cairan tubuh, jumlahnya bergantung pada komposisi larutan. Sebagai contoh, larutan saline 0,9% didistribusikan sepanjang ruang interstisial dan intravaskular sebanding dengan ukurannya. Setelah 15-30 menit, hanya 25-30% dari volume yang diberikan tetap di intravaskular. Oleh karena itu, setiap pemberian cairan kristaloid untuk menggantikan volume sirkulasi maka dibutuhkan sekitar tiga sampai empat kali cairan yang hilang (Gwinnutt,2009). 2.4.2 Koloid Cairan koloid lebih efektif dibandingkan kristaloid untuk meningkatkan volume plasma karena kandungan molekul yang besar, difusi yang kurang baik, sehingga mencetuskan terjadinya tekanan osmotik untuk menjaga air tetap di ruang vaskular (Marino,2007). 2.4.2.1 Hydroxyethyl Starch (HES) Hetastarch adalah koloid sintetik yang tersedia sebagai cairan 6% dalam saline isotonik. Hetastarch berisi molekul amilopektin yang bervariasi dalam ukuran beberapa ratus hingga satu juta Dalton lebih. Berat molekul rata-rata dari molekulnya setara dengan albumin 5%. Hetastarch sangat efektif sebagai plasma expander dan lebih murah dibandingkan dengan albumin. Lebih jauh, hetastarch bersifat non antigenik dan reaksi anafilaksisnya jarang terjadi tetapi pruritus pernah dijumpai pada beberapa kasus (Marino,2007)
Universitas Sumatera Utara
2.4.2.1.1 Fitur Hetastarch sedikit lebih kuat dari albumin 5% sebagai koloid. Memiliki COP lebih tinggi dari albumin 5% dan menyebabkan ekspansi volume plasma yang lebih besar (sampai 30% lebih besar dari volume infus). Ini juga memiliki waktu paruh eliminasi yang panjang (17 hari), tetapi hal ini menyesatkan karena efek onkotik hetastarch hilang dalam waktu 24 jam (Marino,2007). 2.4.2.1.2 Kekurangan Molekul hetastarch terus dihancurkan oleh enzim amilase dalam aliran darah sebelum dibersihkan ginjal. Kadar serum amilase sering meningkat (2 sampai 3 kali di atas normal) selama beberapa hari pertama setelah infus hetastarch, dan kembali normal pada hari ke-5 sampai hari ke-7 setelah pemberiannya. Reaksi anafilaksis untuk hetastarch yang jelas jarang terjadi (insiden terendah 0,0004%). Uji laboratorium koagulopati dapat terjadi tetapi tidak disertai dengan perdarahan (Marino, 2007). 2..5 Efedrin Efedrin (ephedrine) merupakan simpatomimetik yang didapat dari tanaman genus Ephedra (misalnya Ephedra vulgaris) dan telah digunakan luas di Cina dan India Timur sejak 5000 tahun yang lalu. Pengobatan tradisional Cina menyebut efedrin dengan nama Ma huang (Katzung, 2006). 2.5.1 Farmakokinetik Efedrin dapat diberikan secara oral, topikal maupun parenteral. Efedrin dapat diserap secara utuh dan cepat pada pemberian oral, subkutan ataupun intramuskular. Bronkodilatasi terjadi dalam 15- 60 menit setelah pemberian oral dan bertahan selama 2-4 jam. Absorbsi efedrin yang diberikan lewat jalur intramuskular lebih cepat (10-20 menit) dibanding dengan pemberian subkutan. Pada pemberian intravena, efek klinik dapat langsung diobservasi. Lama kerja terhadap efek tekanan darah bertahan sampai 1 jam pada pemberian parenteral dan dapat bertahan selama 4 jam pada
Universitas Sumatera Utara
pemberian secara oral. Efedrin juga dilaporkan melewati plasenta dan terdistribusi pada air susu ibu.Efedrin dimetabolisme oleh liver dalam jumlah kecil melalui deaminasi oksidasi, demetilasi, hidroksilasi aromatis dan konjugasi. Metabolitnya adalah p- hidroksiefedrin, p-hidroksinorefedrin, norefedrin dan konjugasinya. Efedrin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui urine dan dalam bentuk tidak berubah. Eliminasi efedrin dan metabolitnya dipengaruhi oleh asiditas urine. Eliminasi paruh waktu efedrin dilaporkan 3 jam pada pH urin 5 dan 6 jam pada pH urin 6,5 (Katzung, 2010). 2.5.2 Farmakodinamik Efek kardiovaskular dari efedrin menyerupai epinefrin, tetapi respon kenaikan tekanan darah sistemik kurang dibanding efedrin. Efedrin membutuhkan 250 kali dibandingkan epinefrin untuk mendapatkan efek kenaikan tekanan darah yang sama. Pemberian efedrin intravena meningkatkan tekanan darah, denyut jantung dan curah jantung. Aliran darah renal dan splanik menurun, tetapi aliran darah koroner dan otot skelet meningkat. Resistensi vaskular sistemik berubah karena vasokonstriksi pada vascular beds diimbangi dengan vasodilatasi oleh stimulasi β2 pada tempat-tempat yang lain. Efek kardiovaskular tersebut pada reseptor α menyebabkan vasokonstriksi arteri dan vena di perifer. Mekanisme utama efek efedrin terhadap kardiovaskular adalah dengan meningkatkan kontraktilitas otot jantung dengan aktivasi reseptor β1. Dengan adanya antagonis reseptor β maka efek efedrin terhadap kardiovaskular adalah dengan stimulasi reseptor α (Setiawati,2006). Dosis kedua efedrin setelah pemberian dosis awal mempunyai efektifitas lebih rendah dibanding dosis awal. Fenomena ini dikenal dengan istilah takifilaksis, yang mana juga terjadi pada
Universitas Sumatera Utara
simpatomimetik dan berhubungan dengan masa kerja obat. Takifilaksis terjadi oleh karena blokade reseptor adrenergik secara persisten. Sebagai contoh, efedrin menyebabkan aktivasi reseptor adrenergik bahkan setelah peningkatan tekanan darah sistemik terjadi pada subdosis. Ketika efedrin diberikan pada saat itu, reseptornya bisa menempati batas minimal efedrin untuk peningkatan tekanan darah. Takifilaksis mungkin karena kekurangan simpanan norepinefrin (Calvey,2008)