Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN EFUSI PLEURA


DI RUANG ANTURIUM RSD dr. SOEBANDI
JEMBER

OLEH:
Tantia Ismi Nitalia, S.Kep.
NIM 182311101148

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan efusi


pleura di Ruang Anturium Rumah Sakit Daerah dr.Soebandi Jember telah
disetujui dan di sahkan pada:
Hari, Tanggal : , April 2019
Tempat : Ruang rawat Anturium RSD dr.Soebandi Jember

Jember, April 2019

Mahasiswa

Nahdah khoirotul U, S.Kep.


NIM 182311101129

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Stase Keperawatan Medikal Ruang Anturium
FKep Universitas Jember RSD dr. Soebandi Jember

Ns. Jon Hafan S, M.Kep., Sp.Kep.MB Ns. Sulis Setyowati., S.Kep.


NIP 19840102 201504 1 002 NIP. 19740708 200604 2 019
BAB 1. KONSEP TEORI PENYAKIT

1.1 Anatomi Fisiologi


Anatomi Fisiologi Sistem Pernafasan
Paru-paru adalah organ yang mendapat perlindungan dari dinding cavum
thoraks dan dibungkus oleh sebuah jaringan yang merupakan sisa bangunan
embriologi dari coelom extra-embryonal yakni pleura Paru-paru terletak pada
rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya berada di atas tulang iga pertama
dan dasarnya berada pada diafragma. Paru terbagi menjadi dua yaitu, paru kanan
dan paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus sedangkan paru-paru kiri
mempunyai dua lobus. Kelima lobus tersebut dapat terlihat dengan jelas. Setiap
paru-paru terbagi lagi menjadi beberapa subbagian menjadi sekitar sepuluh unit
terkecil yang disebut bronchopulmonary segments. Paru-paru kanan dan kiri
dipisahkan oleh ruang yang disebut mediastinum (Sherwood, 2001 dalam anonim,
2011). Paru-paru dibungkus oleh selaput tipis yaitu pleura. Pleura terbagi menjadi
pleura viseralis dan pleura pariental. Pleura viseralis yaitu selaput yang lansung
membungkus paru, sedangkan pleura parietal adalah selaput yang menempel pada
rongga dada. Diantara kedua pleura terdapat rongga yang disebut kavum pleura
(Guyton, 2007).
Fungsi paru yang utama adalah untuk proses respirasi, yaitu pengambilan
O2 dari luar masuk ke dalam saluran napas dan terus ke dalam darah. Oksigen
digunakan untuk proses metabolisme dan CO2 yang terbentuk pada proses
tersebut dikeluarkan dari dalam darah ke udara luar. Proses respirasi terdiri atas
tiga tahap yaitu ventilasi, difusi, dan perfusi. Ventilasi adalah proses keluar dan
masuknya udara ke dalam paru serta keluarnya CO2 dari alveoli ke udara luar.
Paru kanan normalnya terdiri dari tiga lobus, yaitu atas, tengah dan bawah. Paru
kiri terdiri dari dua lobus yaitu atas dan bawah.
Pleura merupakan membran serosa yang melingkupi parenkim paru,
mediastinum, diafragma serta tulang iga; terdiri dari pleura viseral dan pleura
parietal. Rongga pleura terisi sejumlah tertentu cairan yang memisahkan kedua
pleura tersebut sehingga memungkinkan pergerakan kedua pleura tanpa hambatan
selama proses respirasi. Cairan pleura berasal dari pembuluh-pembuluh kapiler
pleura, ruang interstitial paru, kelenjar getah bening intratoraks, pembuluh darah
intratoraks dan rongga peritoneum (Pratomo, 2013). Paru diselubungi oleh lapisan
yang mengandung kolagen dan jaringan elastis, dikenal sebagai pleura visceralis.
Sedangkan lapisan yang menyelubungi rongga dada dikenal sebagai pleura
parietalis. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfer,
sehingga mencegah terjadinya kolaps paru. Selain itu rongga pleura juga
berfungsi menyelubungi struktur yang melewati hilus keluar masuk dari paru.
Pada proses fisiologis aliran cairan pleura, pleura parietal akan menyerap cairan
pleura melalui stomata dan akan dialirkan ke dalam aliran limfe pleura. Cavum
pleura memiliki peran yang sangat penting pada proses respirasi yakni
mengembang dan mengempisnya paru, dikarenakan pada cavum pleura memiliki
tekanan negatif yang akan tarik menarik, di mana ketika diafragma dan dinding
dada mengembang maka paru akan ikut tertarik mengembang begitu juga
sebaliknya. Normalnya ruangan ini hanya berisi sedikit cairan serous untuk
melumasi dinding dalam pleura (Sari & Purwoko, 2015).
Pleura berperan dalam sistem pernafasan melalui tekanan pleura yang
ditimbulkan oleh rongga pleura. Tekanan pleura bersama tekanan jalan nafas akan
menimbulkan tekanan transpulmonar yang selanjutnya akan mempengaruhi
pengembangan paru dalam proses respirasi. Cairan pleura dalam jumlah tertentu
berfungsi untuk memungkinkan pergerakan kedua pleura tanpa hambatan selama
proses respirasi. Rongga pleura terisi cairan dari pembuluh kapiler pleura, ruang
interstitial paru, saluran limfatik intratoraks, pembuluh kapiler intratoraks dan
rongga peritoneum. Keseimbangan cairan pleura diatur melalui mekanisme
hukum Starling dan sistem penyaliran limfatik pleura. Rongga pleura merupakan
merupakan rongga potensial yang dapat mengalami efusi akibat penyakit yang
mengganggu keseimbangan cairan pleura (Yunus, 2013). Volume cairan pleura
selalu konstan, dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik sebesar 9 mmHg, diproduksi
oleh pleura parietalis serta tekanan koloid osmotik sebesar 10 mmHg yang
selanjutnya akan diabsorbsi oleh pleura viseralis. Pada lapisan terbawah pleura
viseralis terdapat jaringan interstitial subpleura yang banyak mengandung
pembuluh darah kapiler dan arteri pulmonalis, arteri brakhialis serta pembuluh
limfa yang menempel kuat pada jaringan paru fungsinya untuk mengabsorbsi
cairan pleura.

1.2 Definisi Penyakit


Efusi pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura.
Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan produksi cairan ataupun berkurangnya
absorbsi. Efusi pleura merupakan manifestasi penyakit pada pleura yang paling
sering dengan etiologi yang bermacam-macam mulai dari kardiopulmoner,
inflamasi, hingga keganasan yang harus segera dievaluasi dan diterapi. Efusi
pleura merupakan suatu indikator adanya suatu penyakit dasar baik itu pulmoner
maupun non pulmoner, akut maupun kronis (Ginting, 2015). Cairan biasanya
bersumber dari pembuluh darah atau pembuluh limfe, kadang juga disebabkan
karena adanya abses atau lesi yang didrainase ke cavitas pleuralis (Puspita dkk.,
2017).
Efusi pleura didefinisikan sebagai pengumpulan cairan dalam ruang pleura
diantara viseral dan parietal karena penyakit lokal atau sistemik pleura pada paru-
paru atau organ ekstrapulmoner. Efusi pleura merupakan manifestasi dari banyak
penyakit, mulai dari penyakit paru sampai inflamasi sistemik atau malignansi.
efusi pleura merupakan manifestasi dari penyakit lain yang mendasari
(Dwianggita, 2017). Efusi pleura merupakan suatu kondisi yang menandakan
terdapat akumulasi cairan yang berlebih pada cavitas pleuralis yang dapat
disebabkan oleh peningkatan produksi atau berkurangnya absorpsi cairan pleura.
Cairan normal dalam pleura normalnya 0,1 hingga 0,2 ml/kg cairan untuk
memfasilitasi gerakan pleura. Ketika keseimbangan antara produksi dan
reabsorpsi cairan memburuk maka terjadi efusi pleura. Cairan pleura terakumulasi
saat kecepatan pembentukan cairan pleura melebihi kecepatan absorbsinya. Pada
individu normal akan terdapat 4-17 ml cairan yang berada pada rongga pleura
yang berfungsi sebagai pelumas antara kedua permukaan pleura sehingga
memungkinkan permukaan pleura bergerak tanpa adanya friksi (Incekara, 2018).

1.3 Epidemiologi
Efusi pleura banyak terjadi di negara-negara yang sedang berkembang,
salah satunya Indonesia. Hal ini lebih banyak disebabkan oleh infeski
tuberculosis. Di negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal
jantung kongestif, keganasan dan pneumonia bakteri. Di Amerika Serikat, 1,5 juta
kasus efusi pleura terjadi tiap tahunnya. Sementara pada populasi umum secara
internasional, diperkirakan tiap 1 juta orang, 3000 orang terdiagnosa efusi pleura.
Di Indonesia sendiri, kasus efusi pleura mencapai 2,7 % dari penyakit
infeksi saluran napas lainnya. Secara keseluruhan, insidensi efusi pleura sama
antara pria dan wanita. Namun terdapat perbedaan pada kasus-kasus tertentu
dimana penyakit dasarnya dipengaruhi oleh jenis kelamin. Misalnya, hampir dua
pertiga kasus efusi pleura maligna terjadi pada wanita. Dalam hal ini efusi pleura
maligna paling sering disebabkan oleh kanker payudara dan keganasan
ginekologi. Sama halnya dengan efusi pleura yang berhubungan dengan sistemic
lupus erytematosus, dimana hal ini lebih sering dijumpai pada wanita. Efusi
pleura yang berkaitan dengan pankreatitis kronis insidensinya lebih tinggi pada
pria dimana alkoholisme merupakan etiologi utamanya. Efusi pleura yang
disebabkan oleh TB lebih banyak mengenai pria. Efusi rheumatoid juga
ditemukan lebih banyak pada pria daripada wanita. Efusi pleura kebanyakan
terjadi pada usia dewasa. Namun demikian, efusi pleura belakangan ini cenderung
meningkat pada anak-anak dengan penyebab tersering adalah pneumonia
(Ginting, 2015).

1.4 Etiologi
Pembentukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh banyak
keadaan yang dapat berasal dari kelainan dalam paru sendiri misalnya, infeksi
baik dari bakteri, virus atau jamur, tumor paru, tumor mediastinum, metastasis;
atau disebabkan oleh keadaan kelinan sistemik, antara lain penyakit penyakit yang
mengakibatkan hambatan aliran getah bening, hipoproteinemia pada penyakit
ginjal, hati, dan kegagalan jantung. Tidak jarang disebabkan pula oleh trauma
kecelakaan atau tindakan pembedahan (Sudoyo, 2009). Cairan efusi pleura dapat
berupa:
1. Cairan transudate, terdiri atas cairan yang bening,biasanya ditemukan pada
kegagalan jantung, kegagalan ginjal yang akut atau kronik, keadaan
hipoproteinemia pada kegagalan fungsi hati, pemberian cairan infus yang
berlebihan, dan fibroma ovarii.
2. Cairan eksudat, berisi cairan kekeruh-keruhan, paling sering ditemukan pada
infeksi tuberculosis, atau nanah (empyema) dan penyakit-penyakit kolagen
(lupus eritematosus, rheumatoid artritis)
3. Cairan darah, dapat disebabkan trauma tertutup atau terbuka, infark paru, dan
karsinoma paru.
4. Cairan getah bening: meskipun jarang terjadi tetapi dapat diakibatkan oleh
sumbatan aliran getah bening thoraks, misalnya pada filiariasis atau metastasis
pada kelenjar getah bening dari suatu keganasan.
Peningkatan pembentukan cairan pleura disebabkan oleh (Sudoyo, 2009):
1. peningkatan cairan interstitial paru : gagal jantung kiri, pneumonia, emboli
paru
2. peningkatan tekanan intravaskular pleura : gagal jantung kanan atau kiri,
sindrom vena kava superior
3. peningkatan permeabilitas kapiler pleura : Inflamasi pleura, peningkatan kadar
VEGF
4. peningkatan kadar protein cairan pleura
5. penurunan tekanan pleura : atelektasis, peningkatan rekoil elastik paru
6. peningkatan akumulasi cairan peritoneum : Asites, dialisis peritoneum
Penyebab efusi pleura ada yang dikarenakan infeski dan juga non infeksi,
yaitu :
1. Infeksi
Tuberkulosis, Non tuberkulosis, pneumonia, jamur, pneumonitis, perforasi
esofagus, abses subfrenik, abses paru, parasit, virus.
2. Non Infeksi
Hipoprotinemia, karsinoma paru, karsinoma pleural, tumor ovarium, gagal
jantung, gagal hati, gagal ginjal, hipotiroididme, emboli paru, hematothoraks.

1.5 Klasifikasi
Efusi pleura umumnya diklasifikasikan berdasarkan mekanisme
pembentukan cairan dan kimiawi cairan menjadi 2 yaitu atas transudat atau
eksudat. Transudat hasil dari ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dengan
tekanan hidrostatik, sedangkan eksudat adalah hasil dari peradangan pleura atau
drainase limfatik yang menurun. Dalam beberapa kasus mungkin terjadi
kombinasi antara karakteristik cairan transudat dan eksudat. Berikut adalah
penjelasan klasifikasi efusi pleura (Puspita dkk, 2017):
1. Efusi pleura transudat
Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah
transudat. Transudat terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan antara tekanan
kapiler hidrostatik dan koloid osmotik, sehingga terbentuknya cairan pada satu
sisi pleura melebihi reabsorpsinya oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi
pada:
a. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik
b. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
c. Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura
d. Menurunnya tekanan intra pleura
Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah gagal jantung kiri
(terbanyak), sindrom nefrotik, obstruksi vena cava superior, asites pada sirosis
hati (asites menembus suatu defek diafragma atau masuk melalui saluran getah
bening)
2. Eksudat
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang
permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan
protein transudat. Bila terjadi proses peradangan maka permeabilitas kapiler
pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat
atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab
pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis
dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Protein yang terdapat dalam
cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran
protein getah bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan
peningkatan konsentasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat.
Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain infeksi (tuberkulosis, pneumonia),
tumor pada pleura, infark paru, karsinoma bronkogenik, radiasi,, penyakit dan
jaringan ikat/ kolagen/ SLE (Systemic Lupus Eritematosis).

1.6 Patofisiologi dan Clinical Pathway


Di dalam rongga pleura terdapat kurang lebih 5 ml cairan yang cukup
untuk membasahi seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis. Dalam
keadaan normal tidak ada rongga kosong antara pleura parietalis dan pleura
viseralis, karena terdapat 1-20 ml cairan di dalam rongga pleura. Cairan ini
dihasilkan oleh kapiler pleura parietalis karena adanya tekanan hidrostatik,
tekanan koloid dan daya tarik elastis. Sebagian cairan ini diserap kembali oleh
kapiler paru dan pleura viseralis, sebagian kecil lainnya (10-20 %) mengalir ke
dalam pembuluh limfe sehingga pasase cairan di sini mencapai 1 liter seharinya.
Hal yang memudahkan penyerapan cairan pada pleura visceralis adalah
terdapatnya banyak mikrovili disekitar sel-sel mesofelial. Jumlah cairan dalam
rongga pleura tetap karena adanya keseimbangan antara produksi dan absobsi.
Keadaan ini karena adanya tekanan hidrostatik sebesar 9 cm H2O dan tekanan
osmotik sebesar 10 cm H2O.
Terkumpulnya cairan di rongga pleura (efusi pleura) terjadi bila
keseimbangan antara produksi dan absorpsi terganggu, dimana akumulasi cairan
pleura dapat terjadi apabila tekanan osmotik koloid menurun misalnya pada
penderita hipoalbuminemia dan bertambahnya permeabilitas kapiler akibat ada
proses keradangan atau neoplasma, bertambahnya tekanan hidrostatis akibat
kegagalan jantung dan tekanan negatif intra pleura apabila terjadi atelektasis paru
(Price, 2005).
Transudat misalnya terjadi pada gagal jantung karena bendungan vena
disertai peningkatan tekanan hidrostatik, dan sirosis hepatik tekanan osmotik
koloid yang menurun. Eksudat dapat disebabkan antara lain oleh keganasan dan
infeksi. Cairan keluar langsung dari kapiler sehingga kaya akan protein dan berat
jenisnya tinggi. Cairan ini juga mengandung banyak sel darah putih. Sebaliknya
transudat kadar proteinnya rendah sekali atau nihil sehingga berat jenisnya
rendah. Infeksi tuberkulosis pleura biasanya disebabkan oleh efek primer sehingga
berkembang pleuritis eksudativa tuberkulosa. Pergeseran antara kedua pleura yang
meradang akan menyebabkan nyeri. Suhu badan mungkin hanya sub febris,
kadang ada demam (Price, 2005). Penumpukan cairan pleura dapat terjadi bila
(Dewi, 2014):
1. Meningkatnya tekanan intravaskuler dari pleura meningkatkan pembentukan
cairan pleura melalui pengaruh terhadap hukum Starling. Keadaan ini dapat
terjadi pada gagal jantung kanan, gagal jantung kiri dan sindroma vena kava
superior.
2. Tekanan intra pleura yang sangat rendah seperti terdapat pada atelektasis, baik
karena obstruksi bronkus atau penebalan pleura visceralis.
3. Meningkatnya kadar protein dalam cairan pleura dapat menarik lebih banyak
cairan masuk ke dalam rongga pleura
4. Hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal bisa menyebabkan
transudasi cairan dari kapiler pleura ke arah rongga pleura
5. Obstruksi dari saluran limfe pada pleum parietalis. Saluran limfe bermuara
pada vena untuk sistemik. Peningkatan dari tekanan vena sistemik akan
menghambat pengosongan cairan limfe, gangguan kontraksi saluran limfe,
infiltrasi pada kelenjar getah bening.
6. Peradangan saluran getah bening yang mempengaruhi permeabilitas membran
dan menimbulkan akumulasi cairan dalam rongga pleura.
Efusi pleura akan menghambat fungsi paru dengan membatasi
pengembangannya. Derajat gangguan fungsi dan kelemahan bergantung pada
ukuran dan cepatnya perkembangan penyakit. Bila cairan tertimbun secara
perlahan-lahan maka jumlah cairan yang cukup besar mungkin akan terkumpul
dengan sedikit gangguan fisik yang nyata antara lain : Irama pernafasan tidak
teratur, frekuensi pernafasan meningkat, pergerakan dada asimetris, dada lebih
cembung, fremitus raba melemah, perkusi redup. Selai itu juga timbul
peningkbtbn suhu, batuk dan berat badan menurun.
Infeksi: TB, Pnemonitis, Non Infeksi: Ca Paru, Ca Pleura, Ca
abses paru Mediastinum, Gagal jantung, dll

- Peningkatan tekanan kapiler


Peradangan pleura Hipertermi - Penurunan tekanan koloid
osmotic dan pleura
Permeable membran kapiler menurun
Gangguan tekanan kapiler
hidrostatik dan koloid osmotika
Cairan protein dari getah bening masuk
intrapleura
rongga pleura

Konsentrasi protein cairan pleura meingkat Reabsorbsi cairan terganggu

Eksudat
Transudat

Akumulasi cairan di
rongga pleura

EFUSI PLEURA

Jumlah cairan rongga


Batuk-batuk dahak Peningkatan cairan pleura
dada terlalu tinggi

Ketidakefektifan bersihan Ekspansi paru inadekuat


jalan nafas
Sesak nafas (Dispnea) Gangguan suplai O2

Energi berkurang
Ketidakefektifan pola nafas

Sulit tidur Meningkatnya kelelahan

Proses penyakit Gangguan pola tidur Intoleransi aktivitas

Ketidakefektifan koping Defisit perawatan diri

Nafsu makan menurun


Pungsi cairan pleura

Ketidakseimbangan nutrisi:
Luka (Port de entry
kurang dari kebutuhan tubuh
kuman)

Nyeri Akut Resiko Infeksi


1.7 Manifestasi Klinis
Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan,
setelah cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan
sesak napas. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil,
dan nyeri dada, pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril
(tuberkulosis), banyak keringat, batuk. Pemeriksaan fisik dalam keadaan
berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan berpindah tempat. Bagian
yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan
vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan
cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu) (Puspita dkk, 2017).
Gejala yang paling sering ditemukan (tanpa menghiraukan jenis cairan
yang terkumpul ataupun penyebabnya) adalah sesak nafas dan nyeri dada
(biasanya bersifat tajam dan semakin memburuk jika penderita batuk atau
bernafas dalam). Kadang beberapa penderita tidak menunjukkan gejala sama
sekali. Gejala lainnya yang mungkin ditemukan adalah batuk, pernafasan yang
cepat, demam, dan cegukan. Dari anamnesa akan didapatkan (Dewi, 2014) :
a. Sesak nafas bila lokasi efusi luas. Sesak napas terjadi pada saat permulaan
pleuritis disebabkan karena nyeri dadanya dan apabila jumlah cairan
efusinya meningkat, terutama kalau cairannya penuh
b. Rasa berat pada dada
c. Batuk pada umumnya non produktif dan ringan, Batuk berdarah pada
karsinoma bronchus atau metastasis
d. Demam subfebris pada TBC, demam menggigil pada empiema

1.8 Pemeriksaan Penunjang


Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
mendapatkan diagnosa efusi pleura ini adalah (Ginting, 2015):
1. Pemeriksaan pencitraan radiologis (Rontgen dada)
Evaluasi efusi pleura dimulai dari pemeriksaan imejing untuk menilai jumlah
cairan, distribusi dan aksesibilitasnya serta kemungkinan adanya abnormalitas
intratorakal yang berkaitan dengan efusi pleura tersebut. Rontgen dada
biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk mendiagnosa
efusi pleura, yang hasilnya menunjukkan adanya cairan. Cairan dengan jumlah
sedikit akan memberikan gambaran berupa penumpukan di sudut
kostofrenikus.

2. Pemeriksaan cairan pleura


Analisa cairan pleura merupakan suatu sarana yang sangat memudahkan untuk
mendiagnosa penyebab dari efusi tersebut. Prosedur torakosentesis, yaitu
pengambilan cairan melalui jarum yang dimasukkan diantara sela iga ke
dalam rongga dada dapat dilakukan secara bedside sehingga memungkinkan
cairan pleura dapat segera diambil, dilihat secara makroskopik maupun
mikroskopik, serta dianalisa. Pemerikaan pada cairan efusi yaitu :
a. Komposisi kimia seperti protein, laktat dehidrogenase (LDH), albumin,
amylase, pH, glukosa.
b. Pemeriksaan hitung sel
1) Leukosit 25.000 : Emipema
2) Banyak netrofil paru : pneumonia, infark paru, pankreatitis, TBC
3) Banyak limfosit : tbc, limfoma
4) Eosinofil meningkat : emboli pbru, parasit dan jamur
5) Eritrosit > 1000 : infark paru, pankreatitis, pneumonia
3. Computed Tomography Scan (CT Scan Thorax)
CT scan dada akan terlihat adanya perbedaan densitas cairan dengan jaringan
sekitarnya. Pada CT scan, efusi pleura bebas diperlihatkan sebagai daerah
berbentuk bulan sabit di bagian yang tergantung dari hemithorax yang terkena.
Permukaan efusi pleura memiliki gambaran cekung ke atas karena tendensi
recoil dari paru-paru. CT Scan Thorax biasanya digunakan jika efusi pleura
pasien diebabkan karena adanya massa (tumor) dalam paru.
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat membantu dalam mengevaluasi etiologi efusi pleura. Nodularity
dan/atau penyimpangan dari kontur pleura, penebalan pleura melingkar,
keterlibatan pleura mediastinal, dan infiltrasi dari dinding dada dan/atau
diafragma sugestif penyebab ganas kedua pada CT scan dan MRI.
5. USG Thorax Marker
USG toraks marker salah satu alat diagnostik untuk menilai dinding dada,
rongga pleura, diafragma dan paru, digunakan untuk menentukan tata laksana
secara cepat dan tepat pada kasus emergensi di bidang paru. Kasus seperti
pneumotoraks, efusi pleura atau efusi loculoted, massa intra torakal,
konsolidasi paru dan disfungsi diafragma dapat didiagnosis segera secara
cepat dan tepat ( < 3 menit). Disamping itu USG toraks dapat digunakan
sebagai guiding tindakan diagnostic paru seperti aspirasi dan biopsy. USG
torak merupakan pemeriksaan lanjutan setelah pemeriksaan fisik torak dan
mengurangi keterlambatan waktu pada penentuan diagnosis kelainan system
respirasi. Posisi yang baik saat pemeriksaan USG toraks adalah posisi duduk.
Marker point tranduser merupakan indicator pada alat probe untuk
menentukan posisi penilaian gambar pada layar dengan posisi di cephalad dan
diletakkan tegak lurus pada dinding dada.

1.9 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan pasien dengan efusi pleura adalah mengeluarkan
isi abnormal di dalam cavum pleura dan berusaha mengembalikan fungsi tekanan
negatif yang terdapat di dalam cavum pleura. Beberapa pilihan untuk terapi pada
efusi pleura adalah sebagai berikut (Ginting, 2015):
1. Water Seal Drainage (tube thoracostomy)
Modalitas terapi yang bekerja dengan menghubungkan cavum pleura berisi
cairan abnormal dengan botol sebagai perangkat WSD yang nantinya akan
menarik keluar isi cairan abnormal yang ada di dalam cavum pleura dan
mengembalikan cavum pleura seperti semula, menyebabkan berkurangnya
kompresi terhadap paru yang tertekan dan paru akan kembali mengembang.
2. Thoracocentesis (Pungsi pleura)
Modalitas terapi yang bekerja dengan cara melakukan aspirasi menggunakan
jarum yang ditusukkan biasanya pada linea axillaris media spatium
intercostalis. Aspirasi dilakukan dengan menggunakan jarum dan spuit, atau
dapat juga menggunakan kateter. Aspirasi dilakukan dengan batas maksimal
1000 – 1500 cc untuk menghindari komplikasi reekspansi edema pulmonum
dan pneumothoraks akibat terapi.
3. Pleurodesis
Modalitas terapi yang bekerja dengan cara memasukkan substansi kimiawi
pada dinding bagian dalam pleura parietal, dengan tujuan merekatkan
hubungan antara pleura visceral dan pleura parietal. Dengan harapan celah
pada cavum pleura akan sangat sempit dan tidak bisa terisi oleh substansi
abnormal. Dan dengan harapan supaya paru yang kolaps bisa segera
mengembang dengan mengikuti gerakan dinding dada.

1.9 Evidance Based


Judul
Early mobilization reduces the atelectasis and pleural effusion in patients
undergoing coronary artery bypass graft surgery: A randomized clinical trial
Penulis
Seyed Tayeb Moradian, PhD, Mohammad Najafloo, MSc, Hosein Mahmoudi,
PhD, and Mohammad Saeid Ghiasi, MD
Atelektasis dan efusi pleura yang umum setelah operasi bypass arteri
koroner graft (CABG). Beberapa ahli percaya bahwa komplikasi ini dapat diamati
pada semua pasien. Kondisi ini dapat meningkatkan biaya dan lamanya tinggal di
rumah sakit. Berbagai intervensi telah digunakan untuk pengobatan disfungsi paru
setelah operasi jantung, termasuk latihan fisik dan pernapasan, spirometri insentif,
dan penggunaan perangkat mekanik.
100 pasien yang menjalani CABG secara acak dialokasikan ke dalam
kelompok intervensi dan kontrol, masing-masing terdiri dari 50 pasien. Penelitian
ini dilakukan. Para peserta yang memenuhi syarat untuk penelitian ini adalah
mereka yang memiliki riwayat negatif gangguan gerakan atau cacat pada
ekstremitas bawah, penyakit paru obstruktif kronik, stroke, atau gangguan
neurologis berat lainnya. Kriteria eksklusi adalah drainase lebih dari 400 mL pada
pertama 4 jam setelah operasi, ketidakstabilan hemodinamik, dan kehilangan
kesadaran, memerlukan ventilasi mekanis lebih dari 24 jam setelah operasi.
Protokol yang tersedia disajikan dalam sebuah panel ahli (yang terdiri dari
dua ahli anestesi, dua ahli fisioterapi, dua perawat berpengalaman, dan dua ahli
terapi pernapasan). Mereka divalidasi dan direkomendasikan protokol berikut.
Pasien yang dialokasikan untuk kelompok intervensi berada di pertama hari pasca
operasi; 2 jam setelah ekstubasi, pasien ditempatkan pada posisi duduk, dan
kemudian, kaki mereka yang menggantung sekitar 15 menit. Dalam kedua pasca
operasi hari pagi, mereka duduk di tempat tidur tepi selama 5 menit, dan
kemudian, mereka berjalan di lingkungan sekitar 10 meter dengan pemantauan
pulse oximetry. Di malam hari, mereka mengulangi langkah-langkah dan berjalan
30 meter. Pada hari pasca operasi ketiga, sebelum melepas tabung dada, mereka
berjalan 30 meter dan diulang langkah ini setelah pengangkatan tabung dada (
Tabel 1 ). Selama proses ini, mereka dipantau oleh perawat berpengalaman. Jika
denyut jantung dan laju pernapasan yang meningkat lebih dari 20% dari baseline,
intervensi dihentikan. Pasien dalam kelompok kontrol menerima perawatan rutin
di rumah sakit. Mereka dikerahkan pada hari pasca operasi ketiga setelah
penghapusan tabung dada. Jumlah saturasi oksigen arteri (SaO 2) dan tekanan
parsial oksigen dalam darah arteri (PaO 2) yang diukur dalam gas darah arteri,
dibandingkan antara kelompok-kelompok. Parameter ini diukur di pagi dan sore
hari. Efusi pleura diselidiki melalui penelaahan harian radiografi dada oleh ahli
anestesi yang buta dengan pengelompokan unit.
Hasil :
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mobilitas awal dari tempat tidur
mengurangi kejadian atelektasis dan efusi pleura dan meningkatkan oksigenasi
pada pasien yang menjalani CABG. Secara keseluruhan, kejadian atelektasis dan
efusi pleura menurun pada kelompok intervensi. Tidak aktif dilaporkan sebagai
penyebab utama komplikasi paru pada populasi yang berbeda dari pasien
perawatan kritis. Juga, dinyatakan bahwa mobilitas dini mengurangi komplikasi
paru seperti atelektasis dan meningkatkan fungsi paru-paru. PaO 2 dan SaO 2
pada hari-hari pasca operasi ketiga dan keempat yang secara signifikan lebih
tinggi pada kelompok intervensi. Pada saat itu, oksigenasi keseluruhan
ditingkatkan; Oleh karena itu, intervensi ini dapat digunakan sebagai ukuran aman
untuk mencegah komplikasi paru.
BAB 2. PROSES KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian
Identitas Klien
1. Nama
2. Umur: Efusi pleura lebih sering terjadi pada usia dewasa namun baru-baru ini
usia anak juga beresiko terjadi efusi pleura dengan penyebab utamanya yaitu
pneumonia
3. Jenis kelamin: Secara keseluruhan, insidensi efusi pleura sama antara pria dan
wanita. Namun terdapat perbedaan pada kasus-kasus tertentu dimana penyakit
dasarnya dipengaruhi oleh jenis kelamin. Misalnya, hampir dua pertiga kasus
efusi pleura maligna terjadi pada wanita. Dalam hal ini efusi pleura maligna
paling sering disebabkan oleh kanker payudara dan keganasan ginekologi.
4. Agama: Tidak ada hubungan antara agama yang dianut dengan kejadian efusi
pleura
5. Pendidikan: Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian
efusi pleura
6. Alamat: Orang yang tinggal di daerah dengan paparan asbestos lebih tinggi
maka meningkatkan resiko kejadian efusi pleura
7. No. RM: Diisi dengan nomor rekam medik yang tertera di buku pasien
8. Pekerjaan: Riwayat pekerjaan seperti paparan yang lama terhadap asbestos
dimana hal ini dapat meningkatkan resiko mesotelioma.
9. Status Perkawinan: Tidak ada hubungan antara status perkawinan dengan
angka kejadian efusi pleura
10. Tanggal MRS: Ditulis sejak klien masuk IGD
11. Tanggal Pengkajian: Ditulis dengan tanggal ketika perawat melakukan
pengkajian pertama kali
12. Sumber Informasi: Sumber informasi bisa didapat dari pasien, keluarga, atau
pasien dan keluarha. Dari pasien biasanya jika pasien tidak ada keluarga, dari
keluarga biasanya jika pasien tidak kooperatif, dan dari pasien dan keluarga
apabila keduanya kooperatif dalam memberikan informasi.
2.1.2 Riwayat Kesehatan
1. Diagnosa Medik:
Efusi Pleura
2. Keluhan Utama:
Adanya sesak nafas yang dirasakan semakin berat disamping itu disertai nyeri
dada yang semakin berat saat inspirasi dan saat miring ke sisi yang sakit.
3. Riwayat penyakit sekarang:
Gejala yang biasanya muncul pada efusi pleura yakni : nafas terasa pendek
hingga sesak nafas yang nyata dan progresif, timbul nyeri khas pleuritik pada
area yang terlibat, khususnya jika penyebabnya adalah keganasan. Nyeri dada
meningkatkan kemungkinan suatu efusi eksudat misal infeksi, mesotelioma
atau infark pulmoner. Batuk kering berulang juga sering muncul, khususnya
jika cairan terakumulasi dalam jumlah yang banyak secara tiba-tiba. Batuk
yang lebih berat dan atau disertai sputum atau darah dapat merupakan tanda
dari penyakit dasarnya seperti pneumonia.
4. Riwayat kesehatan terdahulu:
a. Penyakit yang pernah dialami:
Riwayat penyakit pasien perlu ditanyakan misalnya apakah pada pasien
terdapat hepatitis kronis, sirosis hepatis, pankreatitis, riwayat pembedahan
tulang belakang, riwayat keganasan, dll.
b. Alergi : Kaji alergi klien terhadap makanan, obat, plester, dan lain-lain
c. Imunisasi : Kaji apakah klien mendapatkan imunisasi lengkap atau tidak

2.1.3 Pengkajian Keperawatan


Pengkajian Pola-Pola Fungsi Kesehatan Gordon
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Bagaimana persepsi dan pendapat klien terkait dengan penyakit yang
dideritanya, serta penanganan pertama dalam mengatasi masalah
kesehatannya.Riwayat merokok, minum alkohol, dan penggunaan obat-
obatan.
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Bagaimana pola pemenuhan nutrisi setiap harinya. Perawat perlu
melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui
status nutrisi pasien. Pasien dengan efusi pleura akan mengalami
penurunan nafsu makan akibat dari sesak nafas dan penekanan pada
struktur abdomen yang akan menyebabkan berat badan menurun.
Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit sehingga
keadaan pasien tampak lemah. Pasien efusi pleura akan mengalami
penurunan nafsu makan akibat dari sesak nafas dan penekanan pada
struktur abdomen.
c) Pola eliminasi
Perawat perlu menanyakan mengenai kebiasaan defekasi sebelum dan
sesudah MRS. Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan
lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan konstipasi yang akibat
dari menurunnya gerakan peristaltik usus.
d) Pola aktivitas dan latihan
Perawat perlu untuk terus mengkaji status pernapasan pasien, karena
akibat dari sesak napas akan mengganggu ekspansi paru berkembang dan
pasien merasa malaise untuk beraktivitas. Disamping itu pasien juga akan
mengurangi aktivitasnya akibat adanya nyeri dada dan untuk memenuhi
kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien dibantu oleh perawat dan
keluarganya.
e) Pola tidur dan istirahat
Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur, istitahat dan sering
terbangun jika nyeri, selain itu akibat perubahan kondisi lingkungan
seperti keluarga pasien yang menunggu banyak dan kondisi rumah sakit
yang pasiennya banyak.
f) Pola hubungan dan peran
Akibat dari sakitnya, secara langsung pasien akan mengalami perubahan
peran, misalkan pasien seorang laki-laki sebagai kepala rumah tangga,
tidak dapat menjalani fungsinya untuk menafkahi istri dan anaknya.
Disamping itu, peran pasien di masyarakat pun juga mengalami perubahan
dan semua itu mempengaruhi hubungan interpersonal pasien.
g) Pola persepsi dan konsep diri
Persepsi pasien terhadap dirinya akan berubah. Pasien yang tadinya sehat,
tiba-tiba mengalami sakit, sesak nafas, nyeri dada. Sebagai seorang awam,
pasien mungkin akan beranggapan bahwa penyakitnya adalah penyakit
berbahaya dan mematikan. Dalam hal ini pasien mungkin akan kehilangan
gambaran positif terhadap dirinya.
h) Pola sensori dan kognitif
Fungsi panca indera pasien tidak mengalami perubahan, demikian juga
dengan proses berpikirnya. Adapun dari pola sensori yang teganggu tapi
jarang yaitu ketika demam dan sesak napas yang mengakibakan
kelemahan akan menggangu penglihatan pasien menjadi kabur dan
somnolen. Akibat efusi pleura akan menyebabkan penekanan pada paru
oleh cairan sehingga menimbulkan rasa nyeri.
i) Pola reproduksi seksual
Kebutuhan seksual pasien akan terganggu untuk sementara waktu karena
pasien berada di rumah sakit dan kondisi fisiknya masih lemah.
j) Pola managemen stress dan koping
Pasien yang tidak mengtahui penyabab dan proses dari penyakitnya akan
mengalami stress dan mungkin pasien akan banyak bertanya pada perawat
dan dokter yang merawatnya atau orang yang mungkin dianggap lebih
tahu mengenai penyakitnya.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Sebagai seorang beragama pasien akan lebih mendekatkan dirinya kepada
Tuhan dan menganggap bahwa penyakitnya ini adalah suatu cobaan dari
Tuhan.

2.1.4 Pemeriksaan Fisik (Data Fokus)


a) Keadaan umum
Pasien tampak sesak nafas
b) Tingkat kesadaran
Komposmentis
c) TTV
RR : takipnea
N : takikardi
S : jika ada infeksi bisa hipertermi
TD : bisa hipotensi
d) Kepala:
Ins: Rambut kepala berwarna lebat, tidak terdapat masa (benjolan), persebaran
rambut rata, tidak terdapat lesi, tidak terdapat hiperpigmentasi pada kepala, wajah
simetris, tidak terdapat lesi pada wajah.
Pal: tidak ada nyeri tekan dan benjolan
e) Mata:
Ins: Tidak terdapat hordeolum pada mata, konjungtiva tidak anemis, bola mata
simetris, tidak terdapat gangguan penglihatan, pasien tidak menggunakan alat
bantu penglihatan, tidak ada benjolan/nyeri tekan pada mata. Pupil isolor.
Pal: tidak ada nyeri tekan dan benjolan
f) Telinga:
Ins: Tidak terdapat lesi atau serumen yang keluar dari telinga. Bentuk daun telinga
normal dan simetris, tidak ada nyeri tekan pada tragus, tidak ada gangguan
pendengaran, tidak menggunakan alat bantu pendengaran, tidak ada benjolan dan
tanda-tanda peradangan pada
Pal: tidak ada nyeri tekan dan benjolan
g) Hidung:
Ins: Bentuk hidung simetris, terdapat pernafasan cuping hidung, penggunaan
oksigen binasal, tidak ada serumen atau sekret yang keluar dari hidung.
Pal: tidak ada nyeri tekan dan benjolan
h) Mulut:
Ins: Mukosa bibir kering, warna bibir tidak sianosis, mulut bersih, tidak ada
benjolan/tanda peradangan, pasien menggunakan masker bedah (batuk).
i) Leher:
Ins: Bentuk leher simetris, tidak ada benjolan pada leher, trakea simetris, tidak ada
tanda-tanda peningkatan tekanan vena jugularis, dan tidak ada pembesaran pada
kelenjar tiroid.
Pal: Pal: tidak ada nyeri tekan dan benjolan, teraba nadi karotis
j) Dada:
1) Paru-paru
Inspeksi : bentuk dada, warna kulit, pengembangan paru tidak
simetris, terdapat penggunaan otot bantu nafas, irama nafas tidak teratur
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada krepitasi/benjolan
Perkusi : perkusi paru sonor dan redup pada bagian paru sinistra
Auskultas : terdengar suara ronkhi pada paru sinistra, Jantung
2) Jantung
Inspeksi : tidak ada pembesaran pada dada sebelah kiri.
Palpasi : ictus cordis teraba, tidak ada tenderness, vokal vremitus
menurun pada bagian sinistra.
Perkusi : suara jantung terdengar redup
Auskultasi : suara S1 dan S2 normal, tidak ada suara jantung abnormal.
k) Abdomen:
Inspeksi : tidak terdapat hiperpigmentasi, bentuk simetris, tidak ada
benjolan atau lesi, kondisi bersih, dan tidak ada asites.
Auskultasi : bising usus meningkat
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan.
l) Urogenital:
Buang air kecil spontan, warna jernis, bau khas urin.
m) Ekstremitas:
Ekstremitas atas
Pergerakan ekstremitas, letak infus, kekuatan otot
Ekstremitas bawah
Pergerakan ekstremitas, letak infus, kekuatan otot
n) Kulit dan kuku:
1) Kulit
Tidak terdapat hiperpigmentasi, turgor kulit baik, akral hangat, kulit dalam
keadaan bersih.
2) Kuku
Warna kuku normal (merah muda), kondisi kuku tidak retak/pecah, tidak
ada lesi/peradangan, CRT < 2 detik.

2.1.5 Pemeriksaan Penunjang & Laboratorium


1. Pemeriksaan pencitraan radiologis
Evaluasi efusi pleura dimulai dari pemeriksaan imejing untuk menilai jumlah
cairan, distribusi dan aksesibilitasnya serta kemungkinan adanya abnormalitas
intratorakal yang berkaitan dengan efusi pleura tersebut
2. Pemeriksaan cairan pleura
Analisa cairan pleura merupakan suatu sarana yang sangat memudahkan untuk
mendiagnosa penyebab dari efusi tersebut.
3. Computed Tomography Scan (CT Scan)
CT scan dada akan terlihat adanya perbedaan densitas cairan dengan jaringan
sekitarnya.
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat membantu dalam mengevaluasi etiologi efusi pleura.

2.2 Diagnosa
NO DIAGNOSA
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ekspansi paru tidak
adekuat
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas akibat akumulasi secret (00031)
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan (00092)
4. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi (00004)
5. Nyeri akut berhubungan dengan adanya peningkatan atau akumulasi cairan
di rongga pleura
6. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
7. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nafas pendek
8. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan dan nyeri.
9. Resiko Infeksi berhubungan dengan luka bekas tindakan invasif
2.2 Intervensi/Nursing Care Plan
No. Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1. Ketidakefektifan pola Tujuan: 3140. Manajemen Jalan nafas
napas (00032) Setelah dilakukan perawatan 2x24 jam status pola 1. Posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi
berhubungan dengan nafas klien efektif 2. Motivasi pasien untuk bernafas dalam dan pelan
ekspansi paru inadekuat Kriteria Hasil: 3. Monitor status pernafasan dan oksigenasi
Status Pernafasan sebagaimana mestinya
1. Frekuensi pernafasan dari skala 1 menjadi skala 5 3320. Terapi Oksigen
2. Kapasitas vital dan volume tidal dari skala 1 1. Bersihkan mulut hidung dan sekresi trakea
menjadi skala 4 dengan tepat
3. Suara auskultasi nafas dari skala 1 menjadi skala 4
2. Pertahankan kepatenan jalan nafas
4. Irama pernafasan dari skala 1 menjadi skala 5 3. Siapkan peralatan oksigen dan berikan melalui
sistem humidifier
4. Berikan oksigen tambahan seperti yang
diperintahkan
5. Monitor alat pemberian oksigen
6. Monitor efektifitas terapi oksigen dengan tepat
2. Ketidakefektifan bersihan Tujuan: 3350. Monitor pernafasan
jalan nafas berhubungan Setelah dilakukan perawatan 2x24 jam bersihan jalan 1. Pantau rate, irama, kedalaman, dan usaha
dengan obstruksi jalan nafas klien efektif respirasi
nafas akibat akumulasi Kriteria Hasil: 2. Perhatikan gerakan dada, amati simetris,
secret (00031) 1. Frekuensi pernafasan dari skala 1 menjadi skala 5 penggunaan otot aksesori, retraksi otot
2. mengeluarkan sputum dari skala 1 menjadi skala 3 supraclavicular dan interkostal
3. Irama pernafasan dari skala 1 menjadi skala 5 3. Monitor suara napas tambahan
4. Monitor pola napas : bradypnea, tachypnea,
hyperventilasi
5. Auskultasi bunyi nafas tambahan; ronchi,
wheezing.
6. Berikan posisi yang nyaman untuk mengurangi
dispnea.
7. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea; lakukan
penghisapan sesuai keperluan.
8. Anjurkan asupan cairan adekuat.
9. Ajarkan batuk efektif
10. Kolaborasi pemberian oksigen
11. Kolaborasi pemberian broncodilator sesuai
indikasi.
3. Intoleransi aktivitas Tujuan: 0180 Manajemen Energi
Setelah dilakukan perawatan 2x24 jam Intoleransi
berhubungan dengan 1 Kaji adanya factor yang menyebabkan
aktivitas klien dapat teratasi
kelelahan
kelemahan (00092) Kriteria Hasil:
2 Monitor nutrisi dan sumber energi yang
1. Tanda Vital dari skala 2 menjadi skala 5
adekuat
2. mentoleransi aktivitas dari skala 2 menjadi skala 5
3 Monitor respon kardivaskuler terhadap
3. Kelelahan dari skala 2 menjadi skala 5
aktivitas
4. Bergerak dengan mudah dari skala 2 menjadi
4 Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat
skala 4
pasien
5 Ajarkan klien mengenai pengelolaan dan
manajemen waktu untuk mencegah kelelahan
6 Kolaborasi dengan tenaga medis lain untuk
mengurangi kelelahan fisik (Farmakologi dan
non farmakologi)
4310 Terapi Aktifitas
1 Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas
yang mampu dilakukan
2 Bantu klien untuk membuat jadwal latihan
diwaktu luang
3 Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas
seperti kursi roda, krek
4. Hipertermi berhubungan Tujuan: 1. Pantau suhu dan tanda vital lainnya
Setelah dilakukan perawatan 2x24 jam hipertermi 2. Monitor warna kulit
dengan proses inflamasi
klien teratasi 3. Selimuti pasien dengan selimut tipis dan
(00004) Kriteria Hasil: pakaian tipis
1. Penurunan suhu dari skala 3 menjadi skala 5 4. Anjurkan pasien minum banyak air (250ml/ 2
2. Penurunan gelisah (tenang) dari skala 3 menjadi jam)
skala 5 5. Anjurkan pasien banyak istirahat, batasi
3. Melaporkan kenyamanan suhu dari skala 3 aktivitas jika diperlukan
menjadi skala 5 6. Anjurkan memberikan kompres hangat saat
pasien demam
7. Kolaborasi pemberian obat (antipiretik,
antibiotik, dan cairan IV)
8. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium (darah
lengkap, urin)
5. Nyeri akut (00132) Tujuan: 2210. Pemberian Analgesik
berhubungan dengan Setelah dilakukan perawatan 3x24 klien sedikit atau 1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
peningkatan cairan pleura tidak menunjukkan nyeri keparahan nyeri sebelum mengobati klien
Kriteria Hasil: 2. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis,
1605. Kontrol Nyeri dan frekuensi obat analgesik yang diresepkan
4. Mengenali kapan nyeri terjadi dari skala 1 menjadi 3. Cek adanya riwayat alergi obat
skala 3 4. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah
5. Menggambarkan faktor penyebab nyeri dari skala pemberian analgesik
1 menjadi skala 3 5. Berikan analgesik sesuai dengan waktu
6. Menggunakan tindakan pengurangan nyeri (tanpa paruhnya
analgesik) dari skala 1 menjadi skala 3 1400. Manajemen Nyeri
7. Melaporkan nyeri terkontrol dari skala 1 menjadi 1. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif dengan
skala 4 teknik PQRST
2102. Tingkat Nyeri 2. Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk
1. Nyeri yang dilaporkan dari skala 1 menjadi skala 4 mengetahui pengalaman nyeri
2. Ekspresi wajah nyeri dari skala 1 menjadi skala 3 3. Berikan informasi mengenai nyeri, seperti
penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
dirasakan dan antisipasi dari ketidaknyamanan
akibat prosedur
4. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri
5. Dorong pasien untuk memonitor nyeri dan
menangani nyerinya dengan tepat.
6. Kolaborasi dengan pasien, orang terdekat dan
tim kesehatan lainnya untuk memilih dan
mengimplementasikan tindakan penurunan
nyeri sesuai kebutuhahan.
6. Ketidakseimbangan Tujuan: 1100. Manajemen Nutrisi
nutrisi: kurang dari Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 1. Kaji status nutrisi klien
kebutuhan tubuh (00002) jam, kebutuhan nutrisi klien tercukupi 2. Kaji frekuensi mual, durasi, tingkat keparahan,
berhubungan dengan Kriteria Hasil: faktor frekuensi, presipitasi yang menyebabkan
intake inadekuat 1. berat badan dari skala 2 menjadi skala 3 mual.
2. Berat badan ideal dengan tinggi badan dari skala 2 3. Anjurkan pasien makan sedikit demi sedikit tapi
menjadi skala 3 sering.
3. Klien mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi 4. Anjurkan pasien untuk makan selagi hangat
dari skala 2 menjadi skala 4 5. Delegatif pemberian terapi antiemetik
4. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti 6. Diskusikan dengan keluarga dan pasien
dari skala 2 menjadi skala 4 pentingnya intake nutrisi dan hal-hal yang
menyebabkan penurunan berat badan.
7. Gangguan pola tidur Tujuan: 1850. Peningkatan Tidur
(000198) berhubungan Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 jam 1. Kaji pola tidur dan aktivitas klien.
dengan gangguan diharapkan klien tidak mengalami gangguan pola tidur 2. Jelaskan pentingnya tidur yang cukup selama
kenyamanan fisik dengan klien sakit.
Kriteria Hasil: 3. Monitor/catat waktu dan pola tidur klien.
1. Memiliki jam tidur yang teratur 4. Atur lingkungan (misalnya pencahayaan, suara
2. Memiliki pola tidur yang teratur berisik, suhu, kasur, dan tempat tidur) untuk
3. Mengalami tidur yang berkualitas mempermudahkan klien tidur.
4. Merasa segar kembali setelah tidur 5. Minta klien untuk menghindari makanan atau
5. Bangun pada waktu yang tepat minuman yang dapat mempengaruhi tidur.
6. Berikan lingkungan yang nyaman dengan
melakukan pijatan, posisi yang tepat dan
sentuhan afektif.
7. Berikan obat yang dapat membantu klien tidur.
8. Defisit perawatan diri Tujuan: Bantuan perawatan diri: mandi/kebersihan
Setelah dilakukan perawatan 2x24 jam perawatan diri (1801)
berhubungan dengan
klien efektif 1. Fasilitasi pasien untuk menggosok gigi dengan
kelemahan dan nyeri. Kriteria Hasil:
tepat
1. Menjaga kebersihan untuk kemudahan bernafas
2. Fasilitasi pasien untuk seka dengan tepat
2. Mempertahankan kebersihan mulut
3. Monitor kebersihan kuku
3. Memperhatikan kuku jari tangan
4. Monitor integritas kulit
4. Memperhatikan kuku jari kaki
5. Jaga kebersihan secara berkala
5. Mempertahankan kebersihan tubuh
6. Dukung keluarga berpartisipasi dalam
mempertahankan kebersihan dengan tepat.
9. Resiko Infeksi (00004) Tujuan: 6540. Kontrol Infeksi
berhubungan dengan Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 jam 1. Cuci tangan sebelum dan sesudah kegiatan
tindakan invasif diharapkan kondisi klien dapat menunjukkan perawatan klien
Kriteria Hasil: 2. Ganti IV perifer dan tempat saluran penghubung
1. Klien dapat secara konsisten dapat serta balutannya sesuai dengan pedoman CDC
mengidentifikasi faktor risiko infeksi saat ini
2. Tanda dan gejala infeksi teridentifikasi 3. Pastikan tekhnik perawatan luka yang tepat
3. Perubahan status kesehatan termonitor dengan 4. Berikan terapi antibiotic yang sesuai
baik 5. Ajarkan pasien dan anggota keluarga mengenai
bagaimana menghindari infeksi
6. Batasi jumlah pengunjung
7. Dorong untuk beristirahat
DAFTAR REFERENSI

Anonim, 2011. II. TINJAUAN PUSTAKA. Serial online.


http://digilib.unila.ac.id/6590/15/BAB%20II.pdf
Bulechek, G. M., H. K. Butcher., J. M. Dochterman., & C. M. Wagner. Nursing
Interventions Classification (NIC) Edisi 6. (2013). Nursing Interventions
Classification ( Edisi Bahasa Indonesia). Indonesia. ELSEVIER.
Dewi, Putu Bayu Dian Tresna (2014). Efusi Pleura Masif: Sebuah Laporan
Kasus.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=14479&val=970.
Dwianggita, P. 2017. Etiologi efusi pleura pada pasien rawat inap di rumah sakit
umum pusat sanglah, denpasar, bali tahun 2013. Intisari Sains Medis.
7(1):57
Ed. Herman T.H., & Komitsuru. S. 2018. Nanda Internasional Nursing
Diagnosis, Definition and Clasification 2018-2020. EGC. Jakarta
Ginting. (2015). Pemeriksaan Protein, Kolesterol dan Laktat Dehidrogenase
Cairan Pleura sebagai Parameter dalam Membedakan Efusi Pleura
Transudat dan Eksudat.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/45835/Chapter%20II
.pdf;jsessionid=93A79FAD8D4B63596DB815EF51F72B04?sequence=4
Incekara, F. O. 2018. Pleural effusions. iMedPub Journals. 3(11):1–7.
Moorhead, S., M. Johnson, M. L. Maas, & E. Swanson. Nursing Outcomes
Classification (NOC) Edisi 5. (2013). Nursing Outcomes Classification
(Edisi Bahasa Indonesia). Indonesia. ELSEVIER.
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardhi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic Noc. Jogja: Mediaction

Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis


Proses-Proses Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta EGC.
Pratomo, I.P.& F.Yunus. 2013. Anatomi dan Fisiologi Pleura. CDK-205/ vol. 40
no. 6, th. 2013. Serial Online.
http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_205Anatomi%20dan%20Fisiologi
%20Pleura.pdf
Puspita, I., T. U. Soleha, G. Berta, F. Kedokteran, dan U. Lampung. 2017.
Penyebab efusi pleura di kota metro pada tahun 2015 causes of pleural
effusion in metro city in 2015. J AgromedUnila. 4(1):25–32.

Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah : Asuhan Keperawatan pada


Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Salemba Medika
https://books.google.co.id/books?id=G3KXne15oqQC&pg=PA126&dq=efu
si+pleura+adalah&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjg9_fXrsrYAhXIrY8KHZ
FvCYQQ6AEIKTAA#v=onepage&q=efusi%20pleura%20adalah&f=true

Sudoyo AW., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S. (2009). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing

Anda mungkin juga menyukai