BAGIAN/SMF PSIKIATRI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SOETOMO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
Oleh:
1
1. Andi Airina Binti A.Agus 011723143213
2. Zaufy Verlieza Oktaviano Subagyo 011723143079
3. Vivi Permata Sari 011813143021
4. Fajar Sartika Hadi 011813143016
5. Ribka B. A. Mboe 011813143017
6. Alif Ridhani 011823143061
7. Muhammad Bagas Pratista 011823143062
8. Amanda Marantika 011823143063
9. Elvin Nuzulistina 011823143064
10. Intan Shofiyyah Artha Hidayah 011823143065
11. Alfin Putratama 011823143149
12. Asri Dhea Pratiwi 011823143150
13. Merilyne 011823143151
14. Angelina Hartadhi 011823143152
15. Erlyta Zulfaizah 011823143066
16. Anak Agung Putri Nadia Paramitha 011823143067
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Tim Penyusun
2
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Autisme
2.2 Kriteria Diagnosis
2.3 Deteksi Dini Anak Autis
2.4 Keterampilan Anak Autis yang Menonjol dan yang Dapat Dikembangkan
2.5 Masalah yang Dihadapi Anak Autis Dalam Pendidikan
2.6 Tahapan Terapi
2.7 Prinsip Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah
2.8 Pendidikan Formal
2.9 Pendidikan Anak Autis di Luar Sekolah
2.10 Diet Therapy
2.11 Edukasi Seksual
BAB III KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
3
Berdasarkan kriteria diagnostik PPDGJ-III dan DSM-5 bagian gangguan
neurodevelopmental, terdapat beberapa contoh gangguan jiwa, salah satunya adalah
autisme (Maslim, 2013). Autisme adalah gangguan perkembangan terutama muncul
pada masa kanak yang bisa berlanjut hingga remaja maupun dewasa, meliputi
gangguan dalam interaksi sosial, komunikasi dan perilaku terhadap orang lain (Curtis,
2017). Di Indonesia, penyandang autisme sekitar 2,4 juta orang dengan pertambahan
penyandang baru sekitar 500 orang/tahun. Jumlah jenis kelamin laki-laki penyandang
autisme cenderung lebih banyak dibanding perempuan dengan rasio 5:1
(Kemenpppa.go.id, 2018).
Perkembangan penyandang autisme tidak jauh berbeda dengan individu normal
lainnya. Saat memasuki usia remaja, penyandang autisme mengalami proses pubertas
yang dapat memengaruhi perubahan fisik maupun psikologis. Perubahan fisik dapat
ditandai dengan pertumbuhan seksual sekunder, sedangkan perubahan psikologis
dapat ditandai dengan kepekaan perasaan maupun dorongan terhadap seksual
(Gilmour, Schalomon, dan Smith, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian Brown-Lavoie, Viecili dan Weiss tahun 2014,
didapatkan tingkat pelecehan seksual pada remaja penyandang autisme cukup tinggi.
Sekitar 78% responden melaporkan setidaknya mengalami satu kejadian pelecehan
seksual. Remaja penyandang autisme juga berisiko dua sampai tiga kali lebih mungkin
mengalami pelecehan kontak seksual, vaksinasi paksaan seksual, dan pemerkosaan.
Hal ini mungkin dapat dijelaskan berdasarkan hasil studi oleh Gilmour, Schalomon,
dan Smith pada tahun 2012 yang mengatakan bahwa remaja penyandang autisme
cenderung tahu lebih sedikit tentang edukasi terkait seksual. Selain itu, pada studi lain
juga mengatakan banyak orang tua tidak membahas seksualitas dengan anak remaja
mereka yang menyandang autisme karena takut akan meningkatkan perilaku seksual
anak-anak mereka. Padahal, edukasi terkait seksual untuk remaja penyandang autisme
ini sangat dibutuhkan. Meski memang cara penyampaian edukasi terkait seksual
kepada remaja penyandang autisme lebih sulit, tetapi hal ini berguna untuk membentuk
hubungan romantis, memahami tubuh dan batasan, meningkatkan keselamatan
pribadi, dan menghindari masalah hukum (Curtis, 2017). Oleh karena itu, peran orang
tua maupun orang terdekat dari remaja penyandang autisme dalam penyampaian
edukasi terkait seksual sangatlah penting.
4
1.2.3 Apa pengertian edukasi terkait seksual?
1.2.4 Apa sajakah materi edukasi terkait seksual yang perlu diberikan pada remaja
penyandang autisme?
1.2.5 Bagaimanakah metode edukasi terkait seksual untuk remaja laki-laki
penyandang autisme?
1.2.6 Bagaimanakah metode edukasi terkait seksual untuk remaja perempuan
penyandang autisme?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mampu memahami dan menjelaskan edukasi terkait seksual pada remaja
penyandang autisme.
1.3.2 Tujuan Khusus
Menjelaskan pengertian, permasalahan, dan metode edukasi terkait seksual
pada remaja penyandang autisme.
1.4 Manfaat
Diharapkan karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat dalam memberi pengetahuan kepada
dokter muda maupun remaja penyandang autisme mengenai edukasi terkait seksual guna
menghindari terjadinya perilaku seksual yang menyimpang pada remaja dengan autisme.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
pertama kali ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943. Kanner mendeskripsikan gangguan ini
sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang
ditunjukkan dengan penguasaan bahasa yang tertunda, echolalia, pembalikan kalimat, adanya
aktivitas bermain repetitive dan stereotype, rute ingatan yang kuat dan keinginan obsesif untuk
mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya.
Autism spectrum disorder (ASD) adalah gangguan perkembangan yang mempengaruhi
komunikasi dan perilaku. Meskipun autisme dapat didiagnosis pada usia berapa pun, itu dikatakan
sebagai "gangguan perkembangan" karena gejala umumnya muncul dalam dua tahun pertama
kehidupan. (National Institute of Mental Health, 2018)
Sebuah panduan yang dibuat oleh American Psychiatric Association (DSM-5) yang
digunakan untuk mendiagnosis gangguan mental, anak-anak dengan autis memiliki:
1. Kesulitan dalam komunikasi dan interaksi dengan orang lain
2. Minat terbatas dan perilaku berulang
3. Gejala yang melukai kemampuan orang untuk berfungsi dengan baik di sekolah, pekerjaan,
dan bidang kehidupan lainnya
6
- Seringkali berbicara panjang lebar tentang subjek favorit tanpa memperhatikan bahwa orang
lain tidak tertarik atau tanpa memberi orang lain kesempatan untuk merespons
- Memiliki ekspresi wajah, gerakan, dan gerakan yang tidak sesuai dengan apa yang dikatakan
- Memiliki nada suara yang tidak biasa yang mungkin terdengar seperti lagu atau flat dan seperti
robot
- Kesulitan memahami sudut pandang orang lain atau tidak dapat memprediksi atau memahami
tindakan orang lain
Orang dengan ASD juga mungkin mengalami masalah tidur dan lekas marah. Meskipun orang-
orang dengan ASD mengalami banyak tantangan, mereka mungkin juga memiliki banyak
kekuatan, termasuk:
- Mampu mempelajari berbagai hal secara terperinci dan mengingat informasi untuk waktu yang
lama
- Menjadi pembelajar visual dan pendengaran yang kuat
- Unggul dalam matematika, sains, musik, atau seni
7
- Kecemasan dan depresi
Individu dengan autis secara umum mengalami perkembangan fisik yang normal termasuk
perkembangan seks sekunder saat pubertas, tetapi untuk perkembangan mental dan dorongan
seksual mungkin lebih lama. Perilaku seksual yang tidak pantas seringkali menjadi perhatian.
Pengetahuan dan perilaku seksual sangat tergantung pada sosialisasi dan interaksi sosial, orang
dengan autis sering terasingkan karena defisit sosial dan komunikasi mereka. Perilaku yang sesuai
sebagian besar diatur oleh proses pembelajaran informal yang terjadi dalam kelompok sebaya yang
biasanya berkembang, di mana individu tersebut umumnya tidak termasuk. Mengingat frekuensi
perilaku seksual yang tinggi di antara populasi ini, pengasuh dan staf harus siap untuk
memfasilitasi ekspresi seksual yang sesuai. Akses ke pendidikan seks komprehensif yang sesuai
dengan perkembangan sangat penting untuk pengembangan perilaku seksual yang sehat dan
sesuai. Kebutuhan akan program pendidikan seks khusus untuk individu dengan gangguan
spektrum autisme tidak dapat diabaikan. Ciri-ciri utama dari gangguan ini memerlukan kurikulum
dan instruksi yang secara memadai mengatasi defisit sosial dan keterlambatan perkembangan
lainnya (Sullivan & Caterino, 2008).
Pendidikan seks merupakan upaya transfer pengetahuan dan nilai (knowledge and values)
tentang fisik-genetik dan fungsinya khususnya yang terkait dengan jenis (sex) laki-laki dan
perempuan sebagai kelanjutan dari kecenderungan primitif makhluk hewan dan manusia yang
tertarik dan mencintai lain jenisnya. Selain itu, juga merupakan upaya pengajaran, penyadaran,
dan penerangan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan pada anak, dalam usaha menjaga
anak terbebas dari kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran agama serta menghindari segala
8
kemungkinan ke arah hubungan seksual terlarang. Pengarahan dan pemahaman yang sehat tentang
seks dari aspek kesehatan fisik, psikis, dan rohani. (Roqib, 2008)
Istilah pendidikan seks (sex education) umumnya berasal dari masyarakat Barat. Negara
Barat yang pertama kali memperkenalkan pendidikan ini dengan cara sistematis adalah Swedia,
dimulai sekitar tahun 1926. Dan untuk Indonesia pembicaraan mengenai pendidikan seks ini secara
resmi baru dimulai tahun 1972 melalui penyampaian ceramah. Namun hingga kini, pendidikan
seks masih menjadi sebuah tabu karena melibatkan aspek agama dan kultur. (Umar S, 2001)
Perkembangan ilmu dan teknologi masa kini telah membuat dunia bagaikan “desa buana”
yang segalanya serba transparan, mudah, dan cepat diakses oleh siapa, kapan dan di mana pun.
Informasi dan pengalaman seksual bisa diperoleh secara bebas, telanjang, dan tanpa filter. Hal ini
bisa berpengaruh secara psikis bagi anak. Jika anak memperoleh informasi dan pengalaman
tentang seks yang salah akan membuat beban psikis bisa mempengaruhi kesehatan seksualnya
kelak. Anak-anak memiliki kebiasaan menirukan apa yang dilakukan oleh orang lain karena
melalui konsep psikologi Behaviorism, teknologi membentuk perilaku manusia didasarkan pada
stimulus (S) dan response (R).
Selama ini, pendidikan seks untuk anak usia dini dianggap sebagai hal yang kurang etis di
kalangan masyarakat. Mereka beranggapan bahwa pendidikan seks belum pantas diberikan pada
anak kecil. Padahal dengan pendidikan seks yang diberikan sejak dini sangat berpengaruh dalam
kehidupan anak ketika dia memasuki masa remaja. Apalagi anak-anak sekarang kritis, dari segi
pertanyaan dan tingkah laku. Untuk itu perlu kiat-kiat khusus dalam memberikan pemahaman
tentang seks kepada mereka. Biasanya tak jarang guru atau orangtua mengalihkan pembicaraan,
kadang mereka membentak dan melarang anak untuk tak menanyakan hal tersebut. Padahal
jawaban yang demikian bisa memicu anak untuk mengeksplor sendiri, karena mereka merasa
penasaran dan berusaha mencari jawaban sendiri, apabila tidak mendapatkannya dari orangtuanya.
Secara garis besar, pendidikan seks diberikan sejak usia dini (dan pada usia remaja) dengan
tujuan sebagai berikut:
1. Membantu anak mengetahui topik-topik biologis seperti pertumbuhan, masa puber, dan
kehamilan;
2. Mencegah anak-anak dari tindak kekerasan;
3. Mengurangi rasa bersalah, rasa malu, dan kecemasan akibat tindakan seksual;
4. Mencegah remaja perempuan di bawah umur dari kehamilan;
5. Mendorong hubungan yang baik;
6. Mencegah remaja di bawah umur terlibat dalam hubungan seksual (sexual intercourse);
7. Mengurangi kasus infeksi melalui seks;
8. Membantu anak muda yang bertanya tentang peran laki-laki dan perempuan di masyarakat.
9
Namun, pendidikan seksual tidak dapat dilakukan secara instan, prosesnya harus bertahap
dan sesuai dengan perkembangan anak itu sendiri. Tahapan pendidikan seksualitas anak terdiri
dari:
Perkembangan seksual individu Autis Seksualitas yang tampak pada masa puber
10
Sexual arousal. Memiliki hasrat seksual seperti individu pada
umumnya.
Ketrampilan sosial dan kognitif yang terbatas. Sulit untuk memahami minat dan keinginan
seksual.
Kurangnya kesadaran tentang bagian tubuh a. Menyentuh bagian tubuh orang lain.
pribadi dan kurangnya pemahaman cara untuk b. Emosi labil yang terjadi pada remaja
menyembunyikan rasa ingin tahu maupun perempuan autis selama haid
cara penyaluran hasrat seksual
Kurangnya kontrol diri, kesadaran sosial, dan Melakukan perilaku seksual di depan umum.
pemahaman penyaluran seksual Seperti masturbasi dengan frekuensi melebihi
orang normal.
Perkembangan seksual setiap individu ditandai dengan adanya berbagai perubahan yakni
munculnya ciri seksual sekunder dan seksual primer. Berdasarkan pada analisis informasi, subjek
pertama dan kedua juga mengalami perkembangan seksual sekunder pada saat memasuki usia
puber. Perkembangan ciri seksual sekunder tersebut merupakan awal mula perkembangan individu
dari anak-anak menjadi remaja. Menurut Bancroft (dalam Kelly, 2008, h.145), puberty memicu
berbagai perubahan fisik dan emosional dalam individu dan biasanya mengarah ke yang lebih
besar dan mendorong kesadaran terhadap sexual aurosal. Terjadi perubahan pada tubuh, perubahan
hormon dan perubahan mood. Masa puber membuat perubahan emosi subjek pertama dan kedua
menjadi lebih labil. Saat mulai memasuki masa pubertas, subjek pertama mudah tersulut emosi
sehingga cenderung menjadi mudah marah dan kurang terkendali. Pelampiasan emosipun sering
dilakukan dengan cara memukul orang lain. Pada subjek kedua, perubahan emosi subjek
cenderung labil, mudah marah, lebih hiperaktif dan cenderung sulit dikendalikan menjelang siklus
menstruasi. Perubahan perilaku yang terjadi pada subjek pertama dan kedua dapat dijelaskan
sebagaimana yang dikemukakan Christopher & Schaumann (1981,h.370), bahwa anak autis akan
mengalami perbaikan simtom setelah masa remaja, namun pada saat remaja anak autis
menunjukkan perilaku yang semakin memburuk seperti gangguan perilaku, destructiveness, dan
kegelisahan.
11
Saat memasuki masa puber, remaja mulai peka dan perhatian terhadap daya tarik pribadi
sebagai bentuk perkembangan psikoseksual remaja (Panuju dkk,1999). Hal tersebut juga sejalan
degan hasil analisis informasi bahwa subjek pertama dan kedua sudah mulai menampakkan
perhatian terhadap daya tarik pribadi. Berdasarkan analisis informasi, para caregiver baik itu
orangtua, pengasuh, guru, maupun terapis memiliki intervensi tersendiri ketika subjek memasuki
usia puber. Intervensi yang dilakukan meliputi:
1). Bersikap sabaran dan menerima diri atas perilaku anak merupakan langkah awal dalam
menangani anak autis pada masa pubernya
2). Penanganan perilaku mastrubasi dilakukan dengan cara mengarahkan anak untuk melakukan
hal tersebut di kamar tidur maupun mandi
3). Emosi anak yang cenderung tinggi pada masa puber, membuat orangtua memberikan
penanganan dengan pemberian vitamin otak dan membawa subjek ke tukang pijit agar ketegangan
saraf otaknya lebih tenang
4). Penekanan peredaan emosi pada masa puber dilakukan dengan cara membiarkan atau
mendiamkan subjek ketika sedang marah, kemudian membuat subjek merasa nyaman terlebih
dahulu baru diberikan kegiatan kembali
5). Penekan perilaku rangsangan seksual dilakukan dengan cara senantiasa memberikan kegiatan
pada subjek, agar tidak cenderung melakukan perilaku rangsangan seksual tersebut
6). Pemberikan penanganan ketika perut sakit sewaktu menstruasi pada remaja perempuan
dilakukan dengan mengoleskan minyak kayu putih dan tidak berani memberikan obat apapun
7). Selalu menegur subjek ketika subjek mulai memegang kemaluan. Hal tersebut dilakukan agar
tidak menjadi kebiasaan perilaku
8). Memisahkan subjek dengan temannya, kemudian menghadapkan wajah subjek ke caregiver
ketika subjek mulai berperilaku memeluk lawan jenis.
Model dan Materi Pendidikan Seks Anak Usia Dini Menurut Taksonomi Bloom
Menurut taksonomi Bloom, pendidikan seksual dapat dibagi menjadi tiga aspek
pengembangan meliputi:
12
a. Aspek Kognitif yaitu anak dapat memahami cara-cara menghindarkan sexual abuse
c. Aspek Psikomotorik yaitu anak mampu menolong diri sendiri dan orang lain melalui potensi
kekuatan fisik dan psikologis yang dimilikinya (Jatmikowati, Angin and Ernawati, 2015).
Berikut tema pendidikan seks beserta penjabarannya dalam ketiga aspek taksonomi Bloom
Tabel 1.1 Materi Pendidikan Seks Anak Usia Dini Berdasarkan Taksonomi Bloom
(Jatmikowati, Angin and Ernawati, 2015)
Tema Aspek Pengembangan
Aku dan Tubuhku Anak mengetahui Anak menerima Makan dan minum
nama dan fungsi perbedaan anggota menggunakan tangan
masing-masing tubuh laki-laki, kanan, berlatih
anggota tubuhnya perempuan, serta berjinjit melompat
fungsinya berjalan dan berlari
dengan kedua
kakinya,
berkomunikasi
dengan orang lain
menggunakan bahasa
oral
13
Aku dan Pakaianku Anak memahami Anak berusaha Anak memakai
fungsi pakaian dan menyeleksi pakaian pakaian yang bersih,
perbedaan pakaian yang akan dipakai rapi dan sopan sesuai
laki-laki dan dengan jenis
perempuan kelaminnya
14
Cara Merawat dan Anak mengetahui Anak menjaga, Anak melakukan
Menjaga Tubuh cara menjaga dan merawat, dan perawatan dan
merawat anggota mencegah anggota menjaga kebersihan
tubuhnya tubuhnya dari anggota tubuh secara
bahaya mandiri seperti
memotong kuku,
cebok setelah BAK
dan BAB, mandi
sendiri dan mencuci
rambut dua kali
seminggu, keluar
kamar mandi tidak
dengan telanjang,
dan berteriak apabila
ada orang yang akan
memegang
kelaminnya
Orang tua sebaiknya bersikap terbuka saat menjawab pertanyaan anak tentang pubertas dan
perubahan tubuh mereka. Dengan begitu anak akan memahami kalau mereka tidak perlu malu
untuk membicarakan pubertas dan percaya pada orang tua untuk bertanya dan menceritakan
apa yang mereka temukan pada masa pubertas mereka. Bahasa yang digunakan untuk
menjelaskan pubertas dan seks pada anak dengan autisme harus diperhatikan karena terkadang
mereka menangkap apa yang kita maksud hanya dari kata yang kita ucapkan. Nama bagian
tubuh vital yang diajarkan oleh orang tua kadang mereka temukan dengan nama yang berbeda
di lingkungan bermain mereka sehingga orang tua perlu memberikan pengertian kalau mereka
boleh menjauhi percakapan tentang hal itu apabila mereka merasa tidak nyaman.
Anak juga sebaiknya diberikan pemahaman tentang hal-hal yang dianggap umum dan juga
hal-hal yang dianggap privasi meliputi dengan siapa saja dia dapat membicarakan pubertas dan
seks, tempat-tempat apa saja yang merupakan tempat umum ataupun tempat pribadi, dimana
saja mereka boleh telanjang, dan juga mengetuk pintu kamar orang lain apabila hendak masuk.
Perubahan bentuk tubuh dapat dijelaskan dengan alat-alat bantu seperti foto masa kanak
atau foto anggota keluarga dengan berbagai usia sehingga anak dapat mengerti tentang pubertas
dan mengetahui apa saja yang akan terjadi pada kehidupannya nanti. Terkadang orang tua perlu
15
penjelasan ilmiah saat membahas cairan-cairan yang keluar dari tubuh mereka seperti darah
menstruasi, air mata, keringat, urin, air mani, dan juga cairan vagina.
Hubungan seksual perlu dikenalkan pada anak menggunakan hal-hal sederhana yang dapat
mereka mengerti. Hubungan antarindividu berasal dari interaksi sosial dan berteman dengan orang
lain. Cerita-cerita yang ada di masyarakat dapat digunakan sebagai media belajar anak agar
mendapat lebih banyak gambaran tentang menjalin hubungan dengan orang lain khususnya lawan
jenis. Orang tua sebaiknya juga mengenalkan bagaimana berperilaku seksual yang benar maupun
yang salah.
Dalam pemenuhan kebutuhan seksualitas, remaja autis memiliki ketertarikan kepada orang
lain, tapi gaya ekspresi seksualitas mereka tidak matang dan tidak sesuai usia (Schwier &
Hingsburger, dalam Puspita 2008). Dewey & Everad (dalam Puspita, 2008) mengatakan bahwa
gangguan autis tampaknya menghambat mereka dalam memahami sinyal-sinyal tersirat dalam
hubungan antar manusia. Jadi meskipun mereka mengalami perkembangan fisik yang sama
dengan anak lain seusianya, perkembangan emosi dan keterampilan sosial mereka tidak berimbang
sehingga menghambat mereka untuk berinteraksi secara positif dan efektif dengan orang lain atau
lawan jenis. Perilaku seksual timbul apabila dorongan seksual muncul. Perilaku seksual adalah
perilaku yang diarahkan pada pencapaian kepuasaaan atau kenikmatan seks (Purnamasari, 2008).
Bentuk perilaku yang mereka lakukan hanya dengan melihat tajam terhadap orang yang mereka
anggap menarik, mencubit atau dengan mengejarnya. Cara yang lain yaitu dengan memainkan alat
kelamin, baik itu dipegang langsung dengan memasukkan tangan ke dalam celana, digosok-
gosokkan dari luar baik dengan tangan/dinding, pintu dan yang lainnya. Perilaku tersebut mereka
lakukan tanpa melihat tempat, dimanapun dorongan seksual ada, disitu pula remaja autis
melakukan masturbasi.
Bagi remaja normal masturbasi merupakan hal yang wajar dilakukan, untuk menyalurkan
dorongan seksual asal mereka tahu tempat yang sekiranya tepat, seperti remaja masturbasi di
kamarnya sendiri (Puspita, 2008). Secara umum, masyarakat yang tidak memahami anak autis,
menyebabkan stigma “anak aneh” pada perilaku autis yang bisa mengganggu sebagian orang.
Berbeda dengan remaja pada umumnya, dorongan seksual dirasakan, dialami bahkan
dijadikan fenomena yang alami yang kadang perlu ditanyakan pada teman sebaya atau orang lain.
Sedangkan yang terjadi pada remaja berkebutuhan khusus terutama autis, mereka tidak dapat
mengendalikan perilaku seksualnya apabila ada dorongan. Dorongan seksual dapat diekspresikan
dalam berbagai perilaku namun tentu saja tidak semua perilaku merupakan ekspresi dorongan
seksual.
Sama halnya dengan remaja pada umumnya, remaja autis perlu diperkenalkan pendidikan
seks sedini mungkin, terutama pada individu autis yang memang memerlukan penanganan khusus
16
(Puspita, 2008). Peran orang tua di masa kanak-kanak sangatlah menentukan dalam
mempersiapkan kanak-kanak sangatlah menentukan dalam mempersiapkan anak autis dalam
menghadapi masa-masa remaja dan masa dewasa mereka. Orangtua adalah pihak yang
bertanggungjawab atas proses pengajaran seksualitas pada anak. Bagaimanapun, rumah adalah
daerah “pribadi” di mana anak diharapkan mengekspresikan kebutuhan seksualitasnya. Orang tua
berkesempatan memperkenalkan anggota tubuh melalui kegiatan sehari-hari, orangtua bisa
membentuk rutinitas kebiasaan anak sehingga anak paham konsep-konsep ‘publik’ versus
‘pribadi’, orangtua dan saudara kandung juga bisa menjadi model perilaku bagi anak. Dengan
pertimbangan moral, orangtua, saudara maupun guru di sekolah, bisa melakukan kesempatan
sebelum langkah-langkah penanganan diambil. Misalnya bagaimana menyikapi kebutuhan anak
akan ekspresi seksualitas, apakah anak diperbolehkann masturbasi atau tidak (Puspita, 2008).
Edukasi anak autisme dengan gangguan intelegensi dapat dimulai dari identitas seksual
dirinya karena penting untuk mengetahui perubahan tubuh diri sendiri, hal-hal yang termasuk
privasi, jarak antara dirinya dengan orang lain serta membangun hubungan dengan orang lain
melalui Focus Group Discussion (National Autistic Society, 2018).
KESIMPULAN
Sama seperti remaja pada umumnya, remaja dengan autisme juga mengalami perubahan
fisik dan seksualitasnya. Namun dengan hambatan interaksi sosial dan emosional, membuat remaja
dengan autisme perlu dibantu untuk dapat mengembangkan perilaku seksual yang sesuai dengan
kesepakatan sosial di masyarakat.
17
Orangtua dan pendidik perlu bekerjasama untuk menyusun program belajar perilaku
seksual secara sistematis dan terstruktur. Hal ini ditujukan agar terciptanya suatu belajar rutin baru,
perilaku seksual yang akan dilakukan remaja untuk mengelola hasratnya.
Remaja dengan autisme perlu dikenalkan dengan diskriminasi konteks yang tepat untuk
melakukan perilaku seksual, menumbuhkan kemampuan menjaga kesehatan reproduksi, dan juga
mengembangkan kemampuan interaksi sosial. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah
pembuatan cerita sosial.
Remaja dengan autisme yang memperoleh pemahaman yang cukup optimal mengenai
seksualitasnya akan meningkatkan keberhasilannya untuk mencapai tugas perkembanan di masa
dewasa.
DAFTAR PUSTAKA
Brown-Lavoie, S., Viecili, M. and Weiss, J. (2014). Sexual Knowledge and Victimization in
Adults with Autism Spectrum Disorders. Journal of Autism and Developmental Disorders, 44(9),
pp.2185-2196.
Curtis, A. (2017). Why Sex Education Matters for Adolescents with Autism Spectrum Disorder.
AJN, American Journal of Nursing, 117(6), p.11.
18
Gillberg, C & Schaumann, H. 1981. Infantile Autism and Puberty. Journal of Autism and
Developmental Disorders,11, 4, 365-371.
Gilmour, L., Schalomon, P. and Smith, V. (2012). Sexuality in a community based sample of adults
with autism spectrum disorder. Research in Autism Spectrum Disorders, 6(1), pp.313-318
Kelly, G.. F. 2008. Sexuality Today. New York, Avenue of the America: McGraw-Hill Higher
Education.
Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, pp.129-131 dan 216-224.
Puspita, D. 2008. Warna-warni Kehidupan: Ketika Anak Autis Berkembang Remaja. Jakarta :
Yayasan Autisme Indonesia.
Sullivan A & Caterino LC. (2008). Addressing the Sexuality and Sex Education of Individuals with
Autism Spectrum Disorders. Education and Treatment of Children, 31(1), 381–394.
19