DAN TABI’IN
Disusun oleh:
FUAD ELFAS
11170453000038
JAKARTA
2017
TASYRI’ PADA MASA SHIGAR AL-SHAHABAT
DAN TABI’IN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tarikh Tasyri’
Dosen :
Dr. Rumadi, MA
Disusun oleh:
FUAD ELFAS
11170453000038
JAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Segala sesuatu tidak akan pernah terlepas dari yang namanya masa
lalu, masa lalu inilah sebenarnya biasa kita kenal dengan istilah sejarah.
Begitu juga dengan tasyri’ hukum islam, ia tidak ubahnya sesuatu yang
lain, ia mempunyai masa lalu, ia mempunyai sejarah, sejarah tasyri’ di
masa rasulullah masih hidup sampai tasyri’ di masa sesudah baliau wafat,
bagaimana pekembangannya dan bagaimana situasi saat itu mempengaruhi
terhadap tasyri’hukum islam itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana situasi sosial politik pada masa Shigar al-Shahabat dan
Tabi’in dan pengaruhnya terhadap perkembangan Tasyri’?
2. Apa sumber-sumber Tasyri’ pada masa Shigar al-Shahabat dan
Tabi’in?
3. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Tasyri’?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimanakah situasi sosial politik pada masa
Shigar al-Shahabat dan Tabi’in dan pengaruhnya terhadap
perkembangan Tasyri’
2. Untuk mengetahui apa saja sumber-sumber Tasyri’ pada masa
Shigar al-Shahabat dan Tabi’in
3. Untuk Mengetahui apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan Tasyri’
BAB II
PEMBAHASAN
Masa Sigharus al-Sahabah ini adalah masa yang bisa disebut juga
dengan massa bani umayyah, di mana masa ini berlangsung semenjak
pemerintahan muawiyah sampai abad II h ijriyah1. Muawiyah adalah salah
seorang sahabat nabi yang baru masuk islam setelah penaklukan kota
mekah, meskipun yang mengakui beliau sahabat ini adalah masyarakat
yang notabennya dari golongan Sunni. Masa ini disebut dengan Am al-
Jama’ah (tahun persatuan) karena bersatunya pendapat mayoritas tabi’in
(jumhur) untuk melegalkan Muawiyah bin abi sufyan sebagai khalifah.
Pada masa ini juga, banyak sahabat yang sudah wafat. Namun
beberdapa orang di antara mereka yang masih hidup, menjadi guru bagi
orang yang ingin belajar agama. Mereka mempunyai hadist hadist yang
diriwayatkan dalam jumlah besar. Pada masa ini pula para cendikiawan
muslim mampu memberikan penerangan. Hukum tidak hanya dipandang
secara tekstual, tetapi juga kontektual berdasarkan situasi dan
perkembangan sosial masyarakat.2
1 Wajidi Sayadi, Sejarah Pembentukan Dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta; PT raja
grafindo persada, 2001).
2 Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag., Ikhtisar Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembinaan Islam Dari Masa
Ke Masa, (Jakarta, Amzah, 2013 ).
B. Situasi Sosial Politik Pada Masa Sighar al-Sahabat, Tabiin Dan
Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Tasyri’
1. Situasi politik pada masa sighar al-sahabat
Fitnah besar yang dihadapi umat pada akhir pemerintahan Ali
bin Abi Thalib adalah tahkim (perdamaian) antara pendukung Ali
sebagai khalifah dan pendukung Muawiyah sebagai gubernur
Damaskus. Hal ini terjadi setelah Muawiyah memiliki perasaan bahwa
perang antara beliau dan Ali akan dimenangkan oleh Ali. Perang inilah
yang disebut dengan siffin. Sehingga Mu’awiyah menyerukan
perdamaian dengan cara mengangkat mushaf diatas ujung tombak.
Ketika waktu itu Ali langsung berdiskusi dengan para bala
tentaranya, sebagian ada yang menginginkan perdamaian dan sebagian
ada yang tidak ingin berdamai. Tetapi Ali sendiri menginginkan
perdamaian karena menurutnya, hal ini lebih baik dilakukan agar
menghindari pertumpahan darah yang lebih banyak. Pendukung Ali
yang tidak menyetujui perdamaian membelok dan tidak lagi
mendukungnya dan merekalah yang disebut golongan Khawarij.
Kelompok ini disebut sebut yang merencanakan pembunuhan terhadap
Ali dan Muawiyah, namun hanya Ali yang berhasil dibunuh. Muawiyah
mengambil alih kepemimpinan di mana umat Islam saat itu terpecah
menjadi tiga kelompok, yaitu Khawarij, Syiah dan Sunni.
Khawarij adalah golongan dari umat Islam yang membenci
Usman bin Affan dalam hal strategi politik dalam pemerintahannya, dan
membenci juga Ali bin Abi Thalib karena dia mau menerima
perdamaian dengan Muawiyah, serta membenci juga Muawiyah karena
dia menegakkan kekuasaan pemerintahannya dengan tindak kekerasan.
Jadi Khawarij adalah mereka yang keluar dari kelompok pengikut
Usman, Ali dan Muawiyah.
Prinsip golongan Khawarij adalah bahwa jabatan khalifah wajib
dipilih oleh umat Islam secara bebas terdiri dari orang yang memenuhi
syarat kecakapan memangku jabatan khalifah, baik berasal dari
kalangan etnis Quraisy ataupun bukan, bahkan bisa dari kalangan budak
Habsyi. Menurut khawarij khalifah tidak wajib ditaati, kecuali sikap
dan perilakunya mengikuti pola al-Qur’an dan as-Sunnah. Kalau dia
menyimpang dari pola al-Qur’an dan as-Sunnah, maka wajib ditentang.
Khawarij ini dalam memperkuat dan mempertahankan prinsip dan
doktrinnya, mereka menempuh dan menggunakan segala macam cara,
termasuk kekejaman, kekerasan dalam memerangi lawannya.
Adapun Syiah adalah golongan umat Islam yang sangat
mencintai Ali dan keturunannya secara berlebih lebihan. Golongan
Syiah berpendapat bahwa yang paling berhak memangku jabatan
khalifah adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, sebab dialah yang
diwasiatkan oleh Rasulullah SAW. Untuk menjadi khalifah setelah
beliau wafat. Syiah ini dalam kaitannya dengang masalah pewaris
jabatan khalifah terbagi dalam berbagai sekte, ada Syiah Kaisaniyah,
Syiah Zaidiyah, Syiah Ismailiyah, dan Syiah Ja’fariyah. Masing-masing
sekte tersebut menjadikan hal jabatan kahlifah pada bagian tertentu dari
keturunan Ali bin Abi Thalib.
Adapun Sunni (Ahlus Sunnah Waljamaah), yang pengikutnya
adalah mayoritas umat Islam yaitu golongan yang tidak sependapat
dengan Khawarij dan Syiah. Sunni tidak berpendapat bahwa hak
jabatan khalifah itu telah diwariskan kepada seseoang tertentu, bahkan
menurutnya khalifah dipilih dari kalangan etnis Quraisy yang cakap
kalau ada. Sunni tidak mendiskriminasi antara khalifah dengan yang
lain dari kalangan sahabat. Persengketaan yang tejadi sesama sahabat
ditakwilkan sebagai suatu ijtihad dalam politik pemerintahan dan
dianggap tidak ada sangkut pautnya dengan masalah kafir dan iman3.
3 Ibid
mereka senangi dan sesuai dengan pendirian dan fatwa ulama’ mereka.
Dengan demikian, mereka mempunyai fikih khusus.
Syiah menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas
dari kalangan sahabat dan Syiah juga tidak percaya terhadap pendapat
dan fatwa mereka tersebut. Masing-masing sekte dari golongan Syiah
ini hanya mau berpedoman kepada hadis yang diriwayatkan oleh para
imam mereka dari keluarga keturunan rasulullah SAW. serta fatwa
fatwa yang dikemukakan mereka. Golongan Syiah ini juga mempunyai
fikih khusus. Kitab fikih mereka yang sudah tercetak sudah sangat
banyak, bahkan tidak terhitung banyaknya.
Adapun golongan mayoritas Islam, yang mempunyai julukan
Sunni, mereka menjadikan hadis yang diriwayatkan oleh periwayat
yang tsiqah (terpercaya dan memiliki sifat adil dan cekatan) sebagai
hujjah. Dan tanpa mendiskriminasi antara seorang sahabat dengan
sahabat lainnya, mereka juga mengambil fatwa dan pendapat semua
sahabat. Golongan Sunni ini tidak sependapat dengan golongan
Khawarij dan Syiah dalam beberapa hal, seperti masalah warisan,
wasiat, transaksi (aqad) nikah dan lain-lain sebagainya4.
Dengan ini hadirnya tiga partai politik ini sangat begitu
mempengaruhi terhadap pembentukan dan perkembangan hukum
Islam, di mana antara satu golongan dengan golongan lainnya saling
tidak memperdulikan terhadap hadis yang dibawa, yang dalam hal ini
mempunyai pengaruh yang besar dalam hal istinbath.
C. Sumber-Sumber Tasyri’ Pada Masa sighar al-sahabat dan Tabiin
Sumber adalah segala sesuatu yang dengan nalar benar bisa
dijadikan perantara dan acuan untuk mengetahui ajaran Islam 5. Sumber
tasyri’ pada masa sighar al-sahabat ini tidak jauh berbeda dengan masa
sebelumnya, dimana sumber tasyri’ pada masa sebelumnya ada tiga, yaitu
al-Qur’an as-Sunnah, dan Ijtihad.
1. Al- Qur’an
Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada nabi
Muhammah SAW. melalui malaikat Jibril, yang berbentuk bahasa arab,
4 Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Islam Di Indonesia, (Jakarta; PT Rajagrafindo Indonesia, 1990)
5 Rusydi Kholil, Usul FIQH Li_Rusydi Kholil, (Pamekasan, 2013), hal 56
memiliki daya I’jaz, dinukil secara mutawatir6, membacanya bernilai
ibadah, ditulis di atas mushaf, didahului dengan surat al-Fatihah dan
diakhiri dengan surat an-Nas.
Al- Qur’an adalah sumber yang utama, ia adalah hujjah yang
harus diikuti dan diamalkan oleh segenap umat manusia karena ia
adalah firman Allah yang yang dinukil dengan cara yang meyakinkan
tanpa keraguan sedikitpun. Bukti bahwa ia adalah firman Allah adalah
daya i’jâz yang dimilikinya sehingga tak seorangpun mampu meniru
dan menandinginya.
Al- Qur’an adalah satu-satunya dalil yang menyebutkan hukum
dalam banyak aspek, seperti tentang keyakinan, akhlaq bahkan tentang
cara berinteraksi kita pun juga disebutkan dalam al-Qur’an. Maka tidak
aneh ketika dikatakan bahwa al-Qur’an adalam pedoman, penjelas
antara yang benar dan salah.
2. As-Sunnah
As-Sunnah adalah sumber tasyri’ yang kedua setelah al-Qur’an,
di mana as-Sunnah adalah segala sesuatu yang datangnya dari
Rasulullah, baik ia berupa perkataan (qawliyah), pekerjaan (fi’liyah)
atau ketetapan dari beliau (taqririyah)7. Hukum yang disbutkan dalam
as-Sunnah kaitannya dengan hukum yang disebutkan dalam al-Qur’an
ada yang sebagai penjelas hukum, pembuat hukum dan pembuat hukum
yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an.
3. Ijtihad
Ijtihad berasal dari akar kata jahda yang memiliki arti
bersungguh sungguh atau al-masyaqah yang berarti sulit atau susah
payah. Ijtihad adalah menggunakan seluruh kesanggupan untuk
menetapkan hukum hukum syara’. Imam al-Qaffal mengatakan bahwa
pintu ijtihad pada masa ini sudah di tutup. Ijtihad pada masa sighar al-
sahabat ini sedikit berbeda dengan ijtihad pada masa kibar al-sahabat,
di mana ijtihad pada masanya tidak lebih pada ijtihad sebagai teori
melainkan ijtihad sebagai penggunaan akal sehat semata, jadi ijtihad
pada masa sighar al-sahabat ini sudah berbentuk teori, yaitu Ijma’ dan
Qiyas.
6 Mutawatir adalah diriwayatkan orang banyak yang tidak mungkin sepakat berdusta
7 Ibid, hal 62
Disebutkan dalam kitab Ushul Fiqh bahwa Ijma’ dan Qiyas ini
merupakan sumber tasyri’ yang disepakati ulama’. Karena sebenarnya
Ijma’ dan Qiyas adalah mengembalikan permasalahan yang ada
terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal ini bisa diketahui dari kedua
definisi sumber tasyri’ tersebut8.
Ijma’ adalah kesepakatan semua ulama’ diseluruh dunia atas
suatu hukum di suatu masa setelah wafatnya nabi Muhammad SAW.
sedangkan qiyas adalah menyamakan permasalahan yang tidak
disebutkan dalam al-qur’an terhadap permasalahan yang disebutkan di
dalam al-qur’an karena ada kesamaan alasan.
BAB III
KESIMPULAN