Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)


Dosen Pengampu : Ns. Sumarjoko Ari Cahyadi. S.kep

Di Susun oleh : kelompok 1


1. Dewi Jumurti 2.11.017 6. Ina Tri C 2.11.050
2. Erin Prastiti 2.11.027 7. Novarika H. S 2.11.071
3. Evagracia R 2.11.030 8. Santi Nurani 2.11.088
4. Gusmana Raga 2.11.040 9. Siti Zulaikah 2.11.097
5. Hilda Febriana 2.11.044 10. Ulinnuha 2.11.104

PRODI DIII KEPERAWATAN

STIKES TELOGOREJO SEMARANG

2013
BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA

I. KONSEP DASAR
A. PENGERTIAN
1. Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran atau hipertrofi prostat, kelenjar
prostat membesar, memanjang kearah depan kedalam kandung kemih dan
menyumbat aliran keluar urine dapat mengakibatkan hidronefrosis dan hidroureter
(Doengoes, 2000, hlm.664 ).
2. Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran prostat yang mengenai uretra,
menyebabkan gejala urinaria dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari
buli-buli (Nursalam, 2006, hlm.135).
3. Benigna Prostat Hiperplasi adalah pembesaran prostat, kelenjar prostat membesar
memanjang kearah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine,
dapat mengakibatkan hidronefrosis dan hidroureter (Brunner & Suddarth, 2000,
hlm.432).
B. ETIOLOGI
Penyebab BPH hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti, tetapi beberapa
hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostate kaitannya dengan peningkatan kadar
dihidrosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesis yang diduga
sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat adalah:
1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma
dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi.
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen–testosteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan
testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma–epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya kematian sel prostat
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel
dari kelenjar prostat.
5. Usia
Biasanya terjadi pada usia diatas 50 tahun. Dengan bertambahnya usia akan terjadi
perubahan keseimbangan testosteron estrogen, karena produksi testosteron menurun
dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer.
6. Teori sel stem
Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya
aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel
epitel (Purnomo, 2003, hlm.70-72).

C. TANDA DAN GEJALA


1. Keluhan dan Gejala
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigna Prostat Hyperplasia disebut sebagai
Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
a. Gejala Obstruktif
1) Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan
waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi
adanya tekanan dalam uretra prostatika.
2) Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam mempertahankan tekanan intravesika
sampai berakhirnya miksi.
3) Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
4) Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
b. Gejala Iritasi
1) Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
2) Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada
malam hari (Nokturia) dan pada siang hari.
3) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
(Purnomo, 2003, hlm.73)

D. PATOFISIOLOGI

Umumnya gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan


hormonal. Bagian paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya adenoma
yang tersebar. Pembesaran adenoma progresif menekan atau mendesak jaringan
prostat yang normal ke kapsula sejati yang menghasilkan kapsula bedah. Kapsula
bedah ini menahan perluasannya dan adenoma cenderung tumbuh ke dalam menuju
lumennya, yang membatasi pengeluaran urin. Akhirnya diperlukan peningkatan
penekanan untuk mengosongkan kandung kemih. Serat-serat muskulus destrusor
berespon hipertropi, yang menghasilkan trabekulasi di dalam kandung kemih. Pada
beberapa kasus jika obsruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi kandung
kemih menjadi struktur yang flasid, berdilatasi dan sanggup berkontraksi secara
efektif. Karena terdapat sisi urin, maka terdapat peningkatan infeksi dan batu
kandung kemih. Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan hidronefrosis. Retensi
progresif bagi air, natrium, dan urea dapat menimbulkan edema hebat. Edema ini
berespon cepat dengan drainage kateter. Diuresis paska operasi dapat terjadi pada
pasien dengan edema hebat dan hidronefrosis setelah dihilangkan obstruksinya. Pada
awalnya air, elekrolit, urin dan beban solut lainya meningkatkan diuresis ini, akhirnya
kehilangan cairan yang progresif bisa merusak kemampuan ginjal untuk
mengkonsentrasikan serta menahan air dan natrium akibat kehilangan cairan dan
elekrolit yang berlebihan bias menyebabkan hipovelemia.
Biasanya ditemukan gejala obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi terjadi karena
detrusor gagal berkontraksi sehingga kontraksi menjadi terputus. Gejala iritasi terjadi
karena pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna saat miksi atau pembesaran
prostat yang menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, vesika sering
berkontraksi meskipun belum penuh. Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan
terjadi retensi urine sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urine dalam
kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini
berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak
mampu lagi miksi.
Karena produksi urine terus terjadi maka vesika tidak mampu lagi menampung
urine sehingga tekanan intra vesika terus meningkat melebihi tekanan-tekanan
sfingter dan obstruksi sehingga menimbulkan inkontinensia paradoks. Retensi kronik
menyebabkan refluk vesiko-ureter, hidroueter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses
kerusakan ginjal dipercepat apabila terjadi infeksi. Sisa urine yang terjadi selama
miksi akan menyebabkan terbentuknya batu endapan yang dapat menyebabkan
hematuria, sistitis dan pielonefritis (Brunner & Suddarth, 2000, hlm.432).
E. PATHWAYS

teori sel stem Usia >45 Dihydrotestosteron Balance Interaksi Berkurangnya


estrogen- stroma-epitel kematian sel
Proliferasi sel2 ≠ hormon ↑5 α reduktase testosteron prostat
estrogen-
testosteron ↑ estrogen & ↑ epidermal Estrogen ↑
Produksi ber> Hiperplasi
testosteron ↓ growth & ↓
sel stroma & stroma
transforming
epitel Proliferasi Stroma &
Hiperplasi growth
sel prostat epitel ↑ hidup
stroma
Hiperplasi di prostat
stroma &
epitel

BPH

Derajat I Derajat 2 Derajat 3 Derajat 4


Hidroureter,
hidronefrosis, Urin sisa Perdarahan
Retensi urin Retensi urin
obstrukti gagal ginjal kira” 150 cc dan retensi total
f urine
Vu mampu Disuria & urgency
nocturia Buli” penuh
mengeluarkan Sistitis,
urin sampai habis prostatitis,
Retensi urin pyelonefriti Miksi dgn
s mengejan
Pengobatan
konservatif
nyeri
hemoroid

Resiko ↑ Luka insisi Pembedahan Cemas


disfungsi
seksual Sistem irigasi Peregangan
Resiko ↑ Spasmus otot
infeksi VU
Resiko ↑
Penggunaan alat invasif
cidera Intoleransi nyeri
aktvts
gg.rsa nymn
F. KOMPLIKASI
1. Retensi Urine
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir
miksi masih di temukan sisa urin di dalam kandung kemih.
2. Perdarahan ( hematuri)
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung
kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria.
3. Infeksi saluran kemih akibat kateterisasi
4. Hidroureter
Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi dari pada tekanan sfingter dan obstruksi,
retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidrouretra.
5. Hidronefrosis
Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga menggangu faal
ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolitiasis.
6. Cystitis, prostatitis, epididymitis, pyelonefritis.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung
kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu
tersebut dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks, dapat terjadi
pielonefritis.
7. Prolaps ani/rectum, hemorrhoid
Pada waktu miksi, penderita harus selalu mengedan sehingga lama-kelamaan
menyebabkan hernia atau hemoroid.
8. Gagal ginjal.
Terjadi obstruksi saluran kemih karena urin tidak dapat melewati prostat sehingga
urin refluk ke ginjal.
(Nursalam, 2006, hlm. 137)
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien dengan BPH adalah:
a. Laboratorium
a) Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran
kemih.
b) Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
b. Pencitraan
a) Foto polos abdomen.
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan
kadang menunjukan bayangan buli-buli yang penuh terisi urin yang merupakan
tanda dari retensi urin.
b) BNO-IVP (Intra Vena Pielografi)
Pemeriksaan radiologi dengan menggunakan kontras untuk menilai sistem
urinarius. Pada pemeriksaan ini, kontras disuntikkan melalui vena dan kemudian
difoto menggunakan sinar x. Kontras tersebut berguna agar urine menjadi
terlihat pada sinar x dan bila ada halangan atau hambatan pada saluran kemih
maka akan terdeteksi.Media kontras yang digunakan adalah yang berbahan
iodium, dimana jumlahnya disesuaikan dengan berat badan pasien, yakni 1-2
cc/kg berat badan.
Pada BPH dengan BNO-IVP ditemukan:
a. Indentasi caudal buli-buli
b. Elevasi pada intraureter menghasilkan bentuk J-ureter (fish-hook
appearance)
c. Divertikulasi dan trabekulasi vesika urinaria 7,19
Gambar Tampak “Fish Hook appearance”(di tandai dengan anak panah)
pada gambar di atas.
c) Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa
urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.

Gambar Tampak ukuran prostat membesar, tampak indentasi caudal ke


buli-buli.
d) Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika
dan melihat penonjolan prostat ke dalam rectum.
e) Pemeriksaan Uroflowmetri.
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin, secara obyektif
pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian :
a. Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
b. Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
c. Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
(E Doengoes, dkk, 2000, hlm.672).
H. DERAJAT BPH
a. Derajat I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai
habis. Biasanya belum membutuhkan tindakan pembedahan. Pengobatan
konservatif yang dapat diberikan adalah penghambat adrenoreseptor alfa seperti;
alfazosin, prazosin, dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera
terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun
kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b. Derajat II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak
sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa tidak enak BAK atau
disuria dan menjadi nocturia. Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan,
biasanya dianjurkan untuk dilakukan reseksi endoskopik melalui urethra (trans
urethra resection).
c. Derajat III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc. Pada derajat ini reseksi endoskopik dapat
dilakukan secara terbuka. Pembedaahan terbuka dapat dilakukan melalui
transvesikel, retropibik atau perineal.
d. Derajat IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara
periodik (over flow inkontinen). Pada derajat ini tindakan pertama adalah
membebaskan klien dari retensi urine total, dengan memasang kateter atau
sistostomi. Selanjutnya dapat dilakukan pembedahan terbuka. Untuk klien dengan
keadaan umum lemah dapat diberikan pengobatan konservatif yaitu penghambat
adrenoreseptor dan obat antiandrogen. Pengobatan invasif lainnya ialah pemanasan
prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat. Juga dapat
digunakan cahaya laser yang disebut transurethral ultrasound guide laser induced
prostatecthomy (Purnomo, 2003, hlm.79-84).
I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada klien benigna prostat hiperplasia terdiri dari penatalaksanaan
medis, penatalaksanaan keperawatan.
1. Penatalaksanaan medis
a. Pemberian obat-obatan antara lain Alfa 1-blocker seperti : doxazosin, prazosin
tamsulosin dan terazosin. Obat-obat tersebut menyebabkan pengenduran otot-
otot pada kandung kemih sehingga penderita lebih mudah berkemih. Finasterid,
obat ini menyebabkan meningkatnya laju aliran kemih dan mengurangi gejala.
Efek samping dari obat ini adalah berkurangnya gairah seksual. Untuk prostatitis
kronis diberikan antibiotik.
b. Pembedahan
1) Trans Urethral Reseksi Prostat ( TUR atau TURP ) prosedur pembedahan
yang dilakukan melalui endoskopi TUR dilaksanakan bila pembesaran
terjadi pada lobus tengah yang langsung melingkari uretra. Sedapat mungkin
hanya sedikit jaringan yang mengalami reseksi sehingga pendarahan yang
besar dapat dicegah dan kebutuhan waktu untuk bedah tidak terlalu lama.
Restoskop sejenis instrumen hampir serupa dengan cystoscope tapi
dilengkapi dengan alat pemotong dan couter yang disambungkan dengan
arus listrik dimasukan lewat uretra. Kandung kemih dibilas terus menerus
selama prosedur berjalan. Pasien mendapat alat untuk masa terhadap shock
listrik dengan lempeng logam yang diberi pelumas yang ditempatkan pada
bawah paha. Kepingan jaringan yang halus dibuang dengan irisan dan
tempat tempat pendarahan dihentikan dengan couterisasi. Setelah TUR
dipasang folley kateter tiga saluran ( three way cateter ) ukuran 24 Fr yang
dilengkapi balon 30-40 ml. Setelah balon kateter dikembangkan, kateter
ditarik kebawah sehingga balon berada pada fosa prostat yang bekerja
sebagai hemostat. Kemudian ditraksi pada kateter folley untuk meningkatkan
tekanan pada daerah operasi sehingga dapat mengendalikan pendarahan.
Ukuran kateter yang besar dipasang untuk memperlancar membuang
gumpalan darah dari kandung kemih.
2) Prostatektomi suprapubis adalah salah satu metode mengangkat kelenjar
prostat dari uretra melalui kandung kemih.
3) Prostatektomi perineal adalah mengangkat kelenjar prostat melalui suatu
insisi dalam perineum yaitu diantara skrotum dan rektum.
4) Prostatektomi retropubik adalah insisi abdomen mendekati kelenjar prostat,
yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung
kemih.
5) Insisi prostat transuretral (TUIP) adalah prosedur pembedahan dengan cara
memasukkan instrumen melalui uretra.
6) Trans Uretral Needle Ablation ( TUNA ), alat yang dimasukkan melalui
uretra yang apabila posisi sudah diatur, dapat mengeluarkan 2 jarum yang
dapat menusuk adenoma dan mengalirkan panas sehingga terjadi koagulasi
sepanjang jarum yang menancap dijaringan prostat.

2. Penatalaksanaan keperawatan
a. Mandi air hangat
b. Segera berkemih pada saat keinginan untuk berkemih muncul.
c. Menghindari minuman beralkohol
d. Menghindari asupan cairan yang berlebihan terutama pada malam hari.
e. Untuk mengurangi nokturia, sebaiknya kurangi asupan cairan beberapa jam
sebelum tidur (Brunner and Suddart, 2000).
II. KONSEP KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Anamnesa.
Nama, tgl MRS, jenis kelamin, pekerjaan.
2. Keluhan Umum.
Perubahan frekuensi berkemih, bila miksi terasa panas. Nyeri pada saat miksi,
dan terasa tidak puas. Mengejan saat miksi.
3. Riwayat kesehatan sekarang
Pada klien BPH keluhan-keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia, urgensi,
disuria, pancaran melemah, rasa tidak lampias/ puas sehabis miksi, hesistensi,
intermitency, dan waktu miksi mengejan dan akirnya menjadi retensio urine.
4. Riwayat penyakit yang lalu.
Adanya penyakit yang berhubungan dengan saluran perkemihan, misalnya ISK
(Infeksi Saluran Kencing ) yang berulang. Penyakit kronis yang pernah di
derita. Operasi yang pernah di jalani kecelakaan yang pernah dialami adanya
riwayat penyakit DM dan hipertensi .
5. Riwayat penyakit keluarga.
Adanya riwayat keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita
penyakit BPH Anggota keluarga yang menderita DM, asma, atau hipertensi.
6. Pemeriksaan Fisik.
a. Status kesehatan umum
Keadaan penyakit, kesadaran, suara bicara, status/ habitus, pernafasan,
tekanan darah, suhu tubuh, nadi.
b. Kulit
Apakah tampak pucat, bagaimana permukaannya, adakah kelainan
pigmentasi, bagaimana keadaan rambut dan kuku klien ,
c. Kepala
Bentuk bagaimana, simetris atau tidak, adakah penonjolan, nyeri kepala atau
trauma pada kepala.
d. Muka
Bentuk simetris atau tidak adakah odema, otot rahang bagaimana
keadaannya, begitu pula bagaimana otot mukanya.
e. Mata
Bagainama keadaan alis mata, kelopak mata odema atau tidak. Pada
konjungtiva terdapat atau tidak hiperemi dan perdarahan. Sclera tampak
ikterus atau tidak.
f. Telinga
Ada atau tidak keluar secret, serumen atau benda asing. Bagaimana
bentuknya, apa ada gangguan pendengaran.
g. Hidung
Bentuknya bagaimana, adakah pengeluaran secret, apa ada obstruksi atau
polip, apakah hidung berbau dan adakah pernafasan cuping hidung.
h. Mulut dan faring
Adakah caries gigi, bagaimana keadaan gusi apakah ada perdarahan atau
ulkus. Lidah tremor ,parese atau tidak. Adakah pembesaran tonsil.
i. Leher
Bentuknya bagaimana, adakah kaku kuduk, pembesaran kelenjar limphe.
j. Thoraks
Betuknya bagaimana, adakah gynecomasti.
k. Paru
Bentuk bagaimana, apakah ada pencembungan atau penarikan. Pergerakan
bagaimana, suara nafasnya. Apakah ada suara nafas tambahan seperti ronchi,
wheezing atau egofoni.
l. Jantung
Bagaimana pulsasi jantung (tampak atau tidak).Bagaimana dengan iktus atau
getarannya.
m. Abdomen
Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan retensi umumnya
ada penonjolan kandung kemih pada supra pubik. Apakah ada nyeri tekan,
turgornya bagaimana. Pada klien biasanya terdapat hernia atau hemoroid.
Hepar, lien, ginjal teraba atau tidak. Peristaltik usus menurun atau
meningkat.
n. Genitalia dan anus
Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat dapat teraba pada
saat rectal touché. Pada klien yang terjadi retensi urine, apakah terpasang
kateter, Bagaimana bentuk scrotum dan testisnya. Pada anus biasanya ada
haemorhoid.
o. Ekstrimitas dan tulang belakang
Apakah ada pembengkakan pada sendi. Jari – jari tremor apa tidak. Apakah
ada infus pada tangan. Pada sekitar pemasangan infus ada tanda – tanda
infeksi seperti merah atau bengkak atau nyeri tekan. Bentuk tulang belakang
bagaimana.
7. Pengkajian Fokus
a. Sirkulasi : Peninggian tekanan darah (efek pembesaran ginjal).
b. Eliminasi : Penurunan kekuatan dorongan aliran urine, tes keraguan.
a) Keragu-raguan pada berkemih awal.
b) Nokturia, disuria, hematuri.
c) Riwayat batu ginjal (stasis urinaria).
d) Konstipasi.
e) Massa padat dibawah abdomen bawah.
f) Nyeri tekan kandung kemih.
g) Hernia Inguinalis, Hemoroid.
h) Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih : dorongan dan
frekuensi.
c. Nyeri/ kenyamanan : Nyeri supra pubis, panggul atau punggung, tajam, kuat,
nyeri punggung bawah.
d. Seksualitas :
a) Masalah tentang efek kondisi/ terapi pada kemampuan seksual.
b) Inkontinensia.
c) Ejakulasi.
d) Pembesaran, nyeri tekan prostat.
e. Pengetahuan :
a) Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal.
b) Penggunaan antihipertensi, antideprresi, antibiotik urinaria.
(Nursalam, 2006, hlm.137)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pre Operasi :
1. Retensi urine (akut atau kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik
pembesaran prostat.
2. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan agen cedera fisik.
3. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi
prosedur bedah.

Post Operasi :
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa kandung
kemih.
2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasive.
3. Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan.
4. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten.
(Nanda 2012-2014)
C. INTERVENSI
PRE OP
1. Retensi urin (akut atau kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat.
Tujuan : tidak terjadi obstruksi.
Kriteria Hasil : Berkemih dengan jumlah yang cukup tak teraba disekitar kandung
kemih.

Intervensi Rasional
1. Dorong klien untuk berkemih tiap 2 Meminimalkan retensi urine berlebihan
sampai 4 jam. pada kandung kemih.
2. Observasi aliran urine. Perhatikan Berguna untuk mengevaluasi obstruksi
ukuran dari kekuatan. dan pilihan intervensi.
3. Awasi dan catat waktu, jumlah tiap Retensi urine meningkatkan tekanan
berkemih. Perhatikan penurunan dalam saluran perkemihan bagian atas
pengeluaran urine dan perubahan yang dapat mempengaruhi ginjal.
berat jenis.
4. Anjurkan untuk minum air 3000 Peningkatan aliran cairan
ml/hari. mempertahankan perfusi ginjal dan
membersihkan ginjal, kandung kemih
dari pertumbuhan bakteri.
5. Lakukan kateterisasi dan perawatan Menurunkan resiko infeksi asendens.
perianal.
6. Kolaborasi pemberian Obat anti Menghilangkan spasme kandung kemih,
spasmodik, supositoria rektal, sedangkan antibiotik untuk melawan
antibiotic. infeksi.
2. Nyeri (akut) berhubungan dengan agen cidera fisik.
Tujuan : Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol, tampak rileks, mampu untuk
tidur atau istirahat dengan tepat.
Kriteria Hasil: Klien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol, menunjukkan
ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk
situasi individu. Tampak rileks, tidur / istirahat dengan tepat.

Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat nyeri Memberi informasi dalam keefektifan
intervensi.
2. Plester selang drainase pada paha Mencegah penarikan kandung kemih
dan keteter pada abdomen. dan erosi pertemuan penis skrotal.
3. Pertahankan tirah baring. Mungkin diperlukan pada awal retensi
akut namun ambulasi dini dapat
memperbaiki pola berkemih normal.

3. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi


prosedur bedah.
Tujuan: Tampak rileks, melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat
ditangani, dan menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi.
Kriteria Hasil : Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi, menunjukkan
rentang yang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
Intervensi Rasional
Bina hubungan saling percaya pada Menunjukkan perhatian dan keinginan
pasien atau keluarganya selalu ada di untuk membantu.
dekat pasien.
Berikan informasi tentang prosedur Membantu pasien maemahami tujuan
dan tes khusus dan apa yang akan dari apa yang dilakukan dan
terjadi contoh : kateter urine mengurangi masalah kesehatan karena
berdarah. ketidaktahuan termasuk ketakutan akan
kanker.
Dorong pasien/orang terdekat untuk Mendefenisikan masalah memberikan
menyatakan masalah. kesempatan untuk menjawab
pertanyaan, memperjelas kesalahan
konsep dan solusi pemecahan masalah.

POST OP
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih.
Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
a) Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang.
b) Ekspresi wajah klien tenang.
c) Klien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
d) Klien akan tidur / istirahat dengan tepat.
e) Tanda – tanda vital dalam batas normal.

Intervensi Rasional
Jelaskan pada klien tentang gejala dini Klien dapat mendeteksi gajala dini
spasmus kandung kemih. spasmus kandung kemih.
Pemantauan klien pada interval yang Menentukan terdapatnya spasmus
teratur selama 48 jam, untuk mengenal sehingga obat – obatan bisa
gejala – gejala dini dari spasmus diberikan.
kandung kemih.
Jelaskan pada klien bahwa intensitas dan Memberitahu klien bahwa
frekuensi akan berkurang dalam 24 ketidaknyamanan hanya temporer.
sampai 48 jam.
Beri penyuluhan pada klien agar tidak Mengurangi kemungkinan spasmus.
berkemih ke seputar kateter.
. Anjurkan pada klien untuk tidak duduk Mengurangi tekanan pada luka
dalam waktu yang lama sesudah insisi.
tindakan TUR-P.
Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, Menurunkan tegangan otot,
termasuk latihan nafas dalam, memfokuskan kembali perhatian
visualisasi. dan dapat meningkatkan
kemampuan koping.
Jagalah selang drainase urine tetap aman Sumbatan pada selang kateter oleh
dipaha untuk mencegah peningkatan bekuan darah dapat menyebabkan
tekanan pada kandung kemih. Irigasi distensi kandung kemih dengan
kateter jika terlihat bekuan pada selang. peningkatan spasme.
Observasi tanda – tanda vital Mengetahui perkembangan lebih
lanjut.
kolaborasi dengan dokter untuk memberi Menghilangkan nyeri dan mencegah
obat – obatan (analgesik atau anti spasmus kandung kemih.
spasmodik ).

2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasive.


Tujuan: Klien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi .
Kriteria hasil:
a) Klien tidak mengalami infeksi.
b) Dapat mencapai waktu penyembuhan.
c) Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda shock.
Intervensi Rasional
pertahankan sistem kateter steril, Mencegah pemasukan bakteri dan
berikan perawatan kateter dengan steril. infeksi
Anjurkan intake cairan yang cukup Meningkatkan output urine sehingga
(2500 – 3000 ) sehingga dapat resiko terjadi ISK dikurangi dan
menurunkan potensial infeksi. mempertahankan fungsi ginjal.

Pertahankan posisi urobag dibawah. Menghindari refleks balik urine yang


dapat memasukkan bakteri ke
kandung kemih.
Observasi tanda – tanda vital, laporkan Mencegah sebelum terjadi shock.
tanda – tanda shock dan demam
Observasi urine: warna, jumlah, bau. Mengidentifikasi adanya infeksi.
Kolaborasi dengan dokter untuk Untuk mencegah infeksi dan
memberi obat antibiotik. membantu proses penyembuhan.

3. Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan


Tujuan: Tidak terjadi perdarahan.
Kriteria hasil:
a) Klien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan.
b) Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Intervensi Rasional
Jelaskan pada klien tentang sebab Menurunkan kecemasan klien dan
terjadi perdarahan setelah pembedahan mengetahui tanda – tanda perdarahan.
dan tanda – tanda perdarahan.
Irigasi aliran kateter jika terdeteksi Gumpalan dapat menyumbat kateter,
gumpalan dalam saluran kateter. menyebabkan peregangan dan
perdarahan kandung kemih.
Sediakan diet makanan tinggi serat Dengan peningkatan tekanan pada fosa
dan memberi obat untuk prostatik yang akan mengendapkan
memudahkan defekasi. perdarahan.
Mencegah pemakaian termometer Dapat menimbulkan perdarahan prostat
rektal, pemeriksaan rektal atau .
huknah, untuk sekurang – kurangnya
satu minggu..
Pantau traksi kateter: catat waktu Traksi kateter menyebabkan
traksi di pasang dan kapan traksi pengembangan balon ke sisi fosa
dilepas . prostatik,menurunkan perdarahan.
Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah
pembedahan .
Observasi: Tanda – tanda vital tiap 4 Deteksi awal terhadap komplikasi,
jam, masukan, haluaran dan warna dengan intervensi yang tepat mencegah
urine. kerusakan jaringan yang permanen.
4. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten.
Tujuan: Fungsi seksual dapat dipertahankan.
Kriteria hasil:
a) Klien tampak rileks dan melaporkan kecemasan menurun.
b) Klien menyatakan pemahaman situasi individual.
c) Klien menunjukkan keterampilan pemecahan masalah.
d) Klien mengerti tentang pengaruh TUR-P pada seksual.
Intervensi Rasional
Beri kesempatan pada klien untuk Untuk mengetahui masalah klien.
memperbincangkan tentang pengaruh
TUR – P terhadap seksual.
Jelaskan tentang : kemungkinan kembali Kurang pengetahuan dapat
ketingkat tinggi seperti semula dan membangkitkan cemas dan
kejadian ejakulasi retrograd (air kemih berdampak disfungsi seksual.
seperti susu).
Mencegah hubungan seksual 3-4 minggu Bisa terjadi perdarahan dan
setelah operasi. ketidaknyamanan.
Dorong klien untuk menanyakan Untuk mengklarifikasi
kedokter salama di rawat di rumah sakit kekhawatiran dan memberikan
dan kunjungan lanjutan . akses kepada penjelasan yang
spesifik.
(NIC-NOC 2002)
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal- Bedah Edisi 8. Jakarta: EGC
Doengoes, M.E & Alice, C.G. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk
Perencanaan Dan Dokumentasi Perawatan Pasien. Jakarta: EGC
Long, B.C. 1996. Perawatan Medikal Bedah Suatu pendekatan Proses keperawatan. Jakarta:
EGC
Nanda. 2012. Diagnosis Keperawatan Nanda 2012-2014. Jakarta: EGC
Nursalam. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika
Price, S.A, & Wilson, L.M. 2005. Pathofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit.
Jakarta: EGC
Purnomo, Basuki B. 2003. Dasar-Dasar Urologi Edisi kedua. Jakarta: Sagung Seto

Anda mungkin juga menyukai