Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemampuan untuk mencegah transmisi infeksi di Rumah Sakit dan upaya
pencegahan infeksi adalah tingkatan pertama dalam pemberian pelayanan
yang bermutu. Dalam pemberian pelayanan yang bermutu, seorang petugas
kesehatan harus memiliki kemampuan untuk mencegah infeksi dimana hal ini
memiliki keterkaitan yang tinggi dengan pekerjaan karena mencakup setiap
aspek penanganan pasien (Soeroso, 2007).
Kebutuhan untuk pengendalian infeksi nosokomial akan semakin
meningkat terlebih lagi dalam keadaan sosial ekonomi yang kurang
menguntungkan seperti yang telah dihadapi Indonesia saat ini. Indikasi rawat
pasien akan semakin ketat, pasien akan datang dalam keadaan yang semakin
parah, sehingga perlu perawatan yang lebih lama yang juga berarti pasien
dapat memerlukan tindakan invasif yang lebih banyak. Secara keseluruhan
berarti daya tahan pasien lebih rendah dan pasien cenderung untuk mengalami
berbagai tindakan invasif yang akan memudahkan masuknya mikroorganisme
penyebab infeksi nosokomial (Soeroso, 2007).
Saat ini, masalah infeksi nosokomial makin banyak mendapat perhatian
para ahli karena di samping dapat meningkatkan morbilitas maupun
mortalitas, juga menambah biaya perawatan dan obat-obatan, waktu dan
tenaga yang pada akhirnya akan membebani pemerintah/rumah sakit, personil
rumah sakit maupun penderita dan keluarganya. Hal ini jelas bertentangan
dengan kebijaksanaan pembangunan bidang kesehatan yang justru
menekankan peningkatan efisiensi pelayanan kesehatan (Triatmodjo, 1993).
Infeksi nosokomial adalah semua kasus infeksi yang terjadi sekurang-
kurangnya setelah 3 x 24 jam dirawat di rumah sakit atau pada waktu masuk
tidak didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut. Meskipun kultur
tidak mendukung ke arah infeksi nosokomial, tetap dicatat sebagai infeksi
nosokomial (Kurniadi, 1993).

1
Jenis infeksi nosokomial yang sering dijumpai pada pasien bedah berturut-
turut adalah infeksi saluran kemih, infeksi arena bedah, infeksi saluran napas
bawah, bakteriemia dan sepsis yang berkaitan dengan penggunaan alat
intravaskuler. Upaya identifikasi dan pengamatan pasien yang berisiko tinggi
harus dilakukan sehingga kemudian dapat dilakukan upaya pencegahan,
diagnosis dan penanggulangannya (Sjamsuhidayat & De jong, 2004).
Infeksi nosokomial pada pasien bedah meningkatkan morbiditas dan
mortalitas, memperpanjang masa rawat, menyebabkan hilangnya waktu kerja,
dan meningkatkan biaya perawatan (Sjamsuhidayat & De jong, 2004).
Cara penularan melalui tenaga perawat ditempatkan sebagai penyebab
yang paling utama infeksi nosokomial. Penularan melalui tangan perawat
dapat secara langsung karena tangan yang kurang bersih atau secara tidak
langsung melalui peralatan yang invasif. Dengan tindakan mencuci tangan
secara benar saja kejadian infeksi nosokomial dapat mencapai 50% apalagi
jika tidak mencuci tangan. Peralatan yang kurang steril, air yang
terkontaminasi kuman, cairan desinfektan yang mengandung kuman, sering
meningkatkan risiko infeksi nosokomial (Utje, 1993).

1.2 Rumusan Masalah


1. Aapa itu hepatitis?
2. Apa itu infeksi nosokomial?
3. Apa saja macam – macam infeksi nosokomial?
4. Apa saja media penularan infeksi nosokomial?
5. Apa itu asepsis pada infeksi nosokomial?
6. Apa itu sterilisasi dan desinfeksi pada infeksi nosokomial?
7. Apa saja alat pelindung diri pada kedokteran gigi?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan mempelajari tentang hepatitis dan gejalanya
2. Untuk mengetahui dan mempelajari tentang infeksi nosokomial

2
3. Untuk mengetahui dan mempelajari apa saja macam – macam infeksi
nosokomial
4. Untuk mengetahui dan mempelajari tentang media penularan infeksi
nosokomial
5. Untuk mengetahui dan mempelajari tentang asepsis pada infeksi
nosokomial
6. Untuk mengetahui dan mempelajari tentang sterilisasi dan desinfeksi
pada infeksi nosokomial
7. Untuk mengetahui dan mempelajari tentang apa saja alat pelindung diri
pada kedokteran gigi

3
BAB II

PEMBAHASAN

SKENARIO 4

Seorang laki-laki berusia 35 tahun datang ke RSGM dengan keluhan ingin


mencabut gigi yang berlobang besar. Dua minggu pasca ekstraksi, dokter gigi
mengeluhkan nausea, vomitus, malaise, dan febris. Dokter gigi baru menyadari
sebelum melakukan ekstraksi tidak melakukan anamnesis dengan lengkap,
tidak menggunakan masker dan tidak melakukan sterilisasi alat dengan baik.
Menurut penuturan sejawat, diketahui pasien tersebut menderita penyakit
heapatitis B.

2.1 Step I (Klarifikasi Istilah)


Dalam skenario 4 kami menemukan istilah sulit atau istilah baru yang tidak
kami pahami. Diantaranya sebagai berikut;
1. Nausea: Rasa tidak nyaman pada perut / muntah
2. Hepatitis B: Penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV),
yang menimbulkan gejala mata dan kulit kekuningan, serta apabila terus
belanjut dikhawatirkan.biasanya oenularannya dapat melalui makan dll.
3. Malaise: Salah satu keadaan lesu/ atau lemah
4. Febris : Demam, meningkatnya temperature tubuh dari batas
normal.
5. Sterilisasi: Usaha dalam menghilangan semua jenis mikroorganisme
hidup termasuk sporanya dalam pada benda-benda atau alat-alat
kesehatan khususnya.
6. Ekstraksi: Pencabutan gigi, upaya pencabutan gigi agar lepas dari
soketnya.
7. Vomitus: Muntah, respon menolaknya lambung terhadap makanan yang
dimakan sehingga dikeluarkan kembali melalui saluran pencernaan atas
hingg keluar melalui mulut.

4
2.2 Step II (Menentukan Permasalahan)
Dalam skenario 4 kami menemukan beberapa permasalahan, yaitu:
1. Apa saja gejala dari hepatitis B?
2. Macam –macam sterilisasi?
3. Apa hubungan anamnesis yang kurang lengkap dengan hepatitis B?
4. Apa infeksi yang melibatkan lingkungan kerja/ infeksi nosokomial dokter
dan sebutkan macam-macamnya?
5. Bagaimana Cara pencegahan tertular infeksi pada kasus diatas?
6. Apa perbedaan nausea dengan vomitus?
7. Bagaimana cara sterilisasi alat dengan baik ?
8. Apa saja macam macam hepatitis dan gejala yang ditimbulkan nya?
9. Bagaimana proses penularan infeksi dari dokter pasien?
10. Bagaimana cara pengobatan dan perawatan orang yang terkena hepatitis
B?
11. Bagaimana pencegahan penyakit hepatitis B?
12. Apa faktor tertinggi penyebab infeksi nosokimial?
13. Bagaimana prosedur anamnesis?

2.3 Step III (Brainstorming)


Dalam step ini kami mencurahkan pendapat kami mengenai masalah yang
dikemukakan. Hal itu seperti berikut ini:
1. Gejala hepatitis B, seperti mual, muntah, demam, tidak bertenaga, tidak
nafsu makan dan sclera mata beserta kulit muncul wana kekuningan.
2. Sterilisasi terdiri atas panas basah, panas kering, filtrasi, dengan zat kimia
dll
3. Anamnesis yang tidak lengkap membuat banyak hal yang tidak terungkap
dan tidak diketahui dokter, sehingga berpengaruh terhadap tingkat
kewaspadaan dokteritu sendiri dalam menangani pasien yang ternyata
memiliki penyakit menular seperti hepatitis B, sehingga tanpa

5
perlindungan yang bagus dokter pun tertular dengan penyakit Hepatitis B
yang diderita pasien.
4. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat di lingkungan rumah sakit,
baik itu dari dokter kepada pasien,pasien ke pasien lain, serta dari pasien
ke penunggu. Infeksi nosokomial berdasarkan sumber penularannya
terbagi 2, yaitu eksogen dan endogen. Eksogen berasal dari luar seperti
manusia dan lingkunga, sedangkan endogen dari mikroorganisme yang
memang sudah ada pada diri manusia tersebut yang terkena factor
predisposisi dehingga muncul sebagai infeksi.
5. Pencegahan dengan barier seperti masker, tidak makan makanan yang
sama, mencuci tangan sebelum dan sesudah bersentuhan apapun dnegan
pnderita,dll.
6. Nausea adalah perasaan mual, sedangkan vomitus merupakan lanjutan dari
nausea yaitu diiringi keluarnya makanan menuju mulut kembali atau
dikenal dengan muntah.
7. Sterilisasi alat yang baik yaitu dengan mencuci alat dulu dengan air
mengalir, lalu bros atau sikat bagian-bagian yang bergerigi yang
kemungkinannada darah atau cairan baku lainnya, lalu lakukan tindakan
sterilisasi lainnya, baik itu oanas kering maupun panas basah dll.
8. –
9. Penularan pasien ke dokter bsa melalui cairan tubuh pasien, darah pasien
contohnya.
10. –
11. –
12. Factor tertinggi penyebab infeksi nosokomial bisa berupa cairan tubuh,
yang paling gampang adalah darah, apabila kita memiliki luka sekecil
apapun atau abrasi pada kulit dan terpapar darah atau cairan tubuh pasien
maka dengan mudah virus juga akan masuk ke dalam tubuh kita.
13. Diawali dengan identitas pasien, keluhan, pencetus rasa sakit, pernah
berobat atau tidak, punya riwayat apa sebelumya, punya penyakit sistemik
atau tidak, bagaimana lingkungannya, dll.

6
2.4 Step IV (Menganalisis Permasalahan)
1. Apa itu hepatitis?
2. Apa itu infeksi nosokomial?
3. Apa saja macam – macam infeksi nosokomial?
4. Apa saja media penularan infeksi nosokomial?
5. Apa itu asepsis pada infeksi nosokomial?
6. Apa itu sterilisasi dan desinfeksi pada infeksi nosokomial?
7. Apa saja alat pelindung diri pada kedokteran gigi?

2.5 Step V (Tujuan Pembelajaran)


1. Untuk mengetahui dan mempelajari tentang hepatitis dan gejalanya
2. Untuk mengetahui dan mempelajari tentang infeksi nosokomial
3. Untuk mengetahui dan mempelajari apa saja macam – macam infeksi
nosokomial
4. Untuk mengetahui dan mempelajari tentang media penularan infeksi
nosokomial
5. Untuk mengetahui dan mempelajari tentang asepsis pada infeksi
nosokomial
6. Untuk mengetahui dan mempelajari tentang sterilisasi dan desinfeksi
pada infeksi nosokomial
7. Untuk mengetahui dan mempelajari tentang apa saja alat pelindung diri
pada kedokteran gigi

2.6 Step VI (Belajar Mandiri)


Dalam step ini kami melakukan belajar mandiri, yaitu dengan mencari
berbagai literature yang berhubungan dengan tujuan pembelajaran baik dari
internet, buku, maupun dari pakarnya langsung.

2.7 Step VII (Hasil Belajar Mandiri dan Membahas Tujuan Pembelajaran)
Pada step ini kami mencurahkan referensi yang kami dapat, yaitu setelah
melalui step VI. Dari semua hasil mandiri yang kami lakukan sesuai dengan

7
tujuan pembelajaran yang hendak kami capai, maka kami menguraikannya
seperti berikut ini:

2.7.1 Hepatitis
Hepatitis atau yang biasa disebut dengan penyakit kuning ini merupakan
bagian dari penyakit yang menyebabkan peradangan pada fungsi organ hati
dan berakibat pada kerusakan fungsi hati. Hepatitis memiliki banyak jenis atau
tipe dengan beragam gejala, penyebab dan cara penyembuhannya.
A. Hepatitis A
Penyakit hepatitis A disebabkan oleh virus yang disebarkan
melalui feses manusia yang diakibatkan kesalahan dalam mengkonsumsi
suatu jenis makanan dan minuman. Virus hepatitis A atau VHA
penyebarannya melalui pembuangan limbah manusia yang dilatar
belakangi oleh keadaan lingkungan dan sanitasi yang kurang baik dan
bersih. Hepatitis A ini masih tergolong jenis hepatitis yang ringan dan
dapat disembuhkan dengan pemberian vaksinasi, lamanya penyakit ini
berlangsung 2-6 minggu.
Gejala-gejala yang ditimbulkan dari Hepatitis A ini, adalah :
1. Mengalami demam
2. Tubuh cepat merasa lemah, letih, lesu dan mudah capek
3. Sebagian diantaranya ada yang mengalami rasa mual dan muntah
4. Penurunan nafsu makan yang kian hari kian menurun
5. Berat badan yang semakin berkurang

Hepatitis A dibagi menjadi 3 stadium. Prodromal dengan gejala


letih, lesu, demam, kehilangan selera makan, dan mual. Stadium dengan
gejala kuning (stadium ikterik), dan stadium kesembuhan (konvalesensi),
namun stadium dengan gejala kuning jarang ditemukan. Akan tetapi untuk
memastikan diagnosis dilakukan pemeriksaan enzim hati, SGPT dan
SGOT. Karena pada hepatitis A juga bisa terjadi radang empedu, maka
pemeriksaan gama-GT dan alkali fosfatase dapat dilakukan disamping
kadar bilirubin.

8
Masa pengasingan yang disarankan adalah selama 2 minggu
setelah gejala pertama atau 1 minggu setelah penyakit kuning muncul.
Jangan terlalu banyak aktivitas. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah
menjaga kebersihan perorangan seperti mencuci tangan dengan sabun
sebelum dan sesudah menyentuh sesuatu. Orang yang dekat dengan
penderita mungkin memerlukan terapi imunoglobulin. Imunisasi hepatitis
A bisa dilakukan dengan bentuk sendiri/havrix atau bentuk kombinasi
dengan vaksin hepatitis B (twinrix).

Imunisasi hepatitis A dilakukan 2 kali yaitu vaksinasi dasar dan


booster yang dilakukan 6-12 bulan kemudian. Imunisasi hepatitis A
dianjurkan bagi orang yang memiliki potensi terinfeksi seperti penghuni
asrama dan mereka yang menggunakan obat-obat terlarang.

B. Hepatitis B
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus
hepatitis B (VHB), suatu anggota famili hepadnavirus yang dapat
menyebabkan peradangan hati akut atau menahun yang pada sebagian
kecil kasus dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kerusakan fungsi hati
dan kanker hati.
Penyakit hepatitis ini mula-mula banyak terjadi di negara Asia dan
Afrika kemudian penyakit ini mulai merambah samapi ke Tiongkok dan
berbagai negara Asia lainnya termasuk Indonesia. Penyebab penyakit
hepatitis B ini tidak hanya dikarenakan oleh virus dari hepatitis B, banyak
faktor penyebab dari hepatitis B seperti keracunan obat dan berbagai efek
samping zat kimia yang mungkin terdapat dalam jenis makanan, minuman
dan jenis obat-obatan tertentu seperti karbon tetraklorida, chlorpromazine,
chloroform, arsen, fosfor dan zat-zat lain yang banyak sekali digunakan
obat dalam industri modern bisa juga menyebabkan hepatitis. Zat-zat
kimia ini mungkin saja tertelan, terhirup atau diserap oleh darah dan kulit
penderita. Organ hati yang kita ketahui berfungsi sebagai organ tubuh

9
yang dapat menetralisir segala macam racun yang berada di setiap jaringan
darah.
Namun jika organ hati sudah terinfeksi dan teridentifikasi racun
dan virus seperti hepatitis B ini maka fungsi organ hati akan terganggu dan
tak mampu lagi menetralkan racun. Hal ini disebabkan virus hepatitis B ini
100 kali lebih kuat dan virus 10 kali lebih banyak dibanding dengan virus
HIV yang sifatnya sama-sama menular.
Gejala dari hepatitis B ini umumnya sangat ringan dan hampir
menyerupai gejala pada hepatitis A, seperti :
1. Kehilangan selera makan
2. Mulut terasa pahit
3. Rasa mual ingin muntah
4. Demam ringan
5. Terkadang disertai rasa nyeri sendi dan bengkak pada perut kanan atas
6. 1 minggu setelah diatas muncul dan dirasakan, kemudian akan timbul
gejala lanjutan seperti bagian putih pada mata akan berubah warna
menjadi kuning, perubahan kulit tubuh tampak kuning
7. Warna air seni juga terlihat agak kuning seperti warna air the

Ada 3 kemungkinan yang dapat terjadi dari gejala diatas, yang


akan terjadi pada diri seseorang yang memang teridentifikasi terjangkit
virus hepatitis B, seperti :

1. Kemungkinan pertama, jika tubuh memiliki sistem imunitas atau


kekebalan tubuh yang cukup kuat dan baik, maka tubuh dan segala
organ tubuh lainnya yang masih aktif akan berusaha melawan dan
membersihkan virus hepatitis, sehingga memungkinkan penderita
menjadi sembuh.
2. Kemungkinan kedua, jika sistem imunitas tubuh rendah dalam arti
tidak cukup kuat dan kurang memiliki pertahanan yang baik. Dalam
arti tubuh memiliki imunitas yang cukup baik tetapi tidak aktif untuk
melawan virus, ketika pertahanan tubuh menurun, virus akan aktif.

10
Seseorang yang terjangkit virus akan dikatakan sebagai carrier atau
pembawa virus inaktif.
3. Kemungkinan ketiga, jika tubuh memiliki 2 sifat intermediate atau 2
sistem pertahanan tubuh, seperti mudah terjadi perubahan pada
sistem imunitas tubuh yang terkadang kuat dan terkadang lemah.
Maka virus hepatitis B ini akan semakin berkembang menjadi
hepatitis B kronis.

Sebagai pencegahan dari berkembangnya virus dan pengobatan


awal upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian imunisasi
hepatitis B yang dilakukan 3 kali, yakni dasar, 1 bulan dan 6 bulan
kemudian.

C. Hepatitis C
Hepatitis C adalah penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis
C. Infeksi virus ini dapat menyebabkan peradangan hati (hepatitis) yang
biasanya asimtomatik. Virus ini menyebar melalui kontak darah. Gejala
pada hepatitis C ini dapat ditangani secara medis dan prorposi pasien dapat
dibersihkan dengan jangka panjang. Seseorang yang mengalami infeksi
virus ini sering mengalami gejala ringan dan sebagai sebab tidak
melakukan perawatan. Diperkirakan 150-200 juta orang di dunia terinfeksi
hepatitis C.
D. Hepatitis D
Virus hepatitis D atau virus Delta adalah virus yang unik yang
tidak lengkap dan untuk replikasi memerlukan keberadaan virus hepatitis
B. Penularanmnya melalui hubungan seksual, jarum suntik dan transfusi
darah, Gejala penyakit hepatitis D bervariasi, dapat muncul sebagai gejala
yang ringan (ko-infeksi) atau amat progresif.
E. Hepatitis E
Virus hepatitis E ini merupakan penyebab dari timbulnya penyakit
hepatitis E. Penyebarannya melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi oleh virus. Gejala-gejalanya adalah demam, rasa letih,

11
hilang nafsu makan, rasa mual, sakit perut, air seni berwarna kuning tua,
serta timbul warna kekuningan pada kulit dan mata. Hepatitis E ini akan
semakin parah dan perlu diwaspadai terutama pada ibu yang sedang dalam
masa kehamilan pada usia kandungan 3 bulan terakhir. Masa inkubasi
virus asalah 40 hari (rentang 15-60 hari).
F. Hepatitis G
Hepatitis G adalah penyakit inflamasi hati yang baru ditemukan.
Penyebarannya adalah virus hepatitis G yang menyerupai dengan virus
hepatitis C. Penularannya melaui kontak darah dengan pasien. Gejalanya
sama dengan jenis hepatitis lainnya.
Tidak ada perawatan khusus untuk hepatitis G ini. Hanya saja
disarankan untuk istirahat yang cukup, menghindari minuman alkohol, dan
konsumsi makanan dengan kandungan nilai gizi dan nutrisi yang
seimbang. Tak lupa tetap menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar.

2.7.2 Infeksi Nosokomial


Infeksi nosokomial atau infeksi yang diperoleh dari rumah sakit adalah
infeksi yang tidak diderita pasien saat masuk ke rumah sakit melainkan setelah
± 72 jam berada di tempat tersebut. Infeksi ini terjadi bila toksin atau agen
penginfeksi menyebabkan infeksi lokal atau sistemik. Infeksi nosokomial atau
disebut juga Hospital Acquired Infection (HAI) adalah infeksi yang didapatkan
dan berkembang selama pasien di rawat di rumah sakit (WHO, 2004). Sumber
lain mendefinisikan infeksi nosokomial merupakan infeksi yang terjadi di
rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan setelah dirawat 2x24 jam.
Sebelum dirawat, pasien tidak memiliki gejala tersebut dan tidak dalam masa
inkubasi. Infeksi nosokomial bukan merupakan dampak dari infeksi penyakit
yang telah dideritanya.
Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu pasien merupakan
kelompok yang paling berisiko terjadinya infeksi nosokomial, karena infeksi
ini dapat menular dari pasien ke petugas kesehatan, dari pasien ke pengunjung
atau keluarga ataupun dari petugas ke pasien (Husain, 2008). Menurut Vincent

12
(2003) Infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang tidak terinkubasi dan
terjadi ketika pasien masuk ke rumah sakit atau akibat dari fasilitas kesehatan
lainnya yang ada di rumah sakit. Menurut Breathnach (2005) Infeksi
nosokomial adalah suatu infeksi yang terjadi di rumah sakit yang berasal dari
alat-alat medis, prosedur medis atau pemberian terapi.
Contoh penyebab terjadinya infeksi nosokomial adalah
apabila dokter atau suster merawat seorang pasien yang menderita infeksi
karena mikroorganisme patogen tertentu kemudian mikroorganisme dapat
ditularkan ketika terjadi kontak. Selanjutnya, apabila suster atau dokter yang
sama merawat pasien lainnya, maka ada kemungkinan pasien lain dapat tertular
infeksi dari pasien sebelumnya. Ada beberapa pedoman yang dapat digunakan
untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial, yaitu pencegahan infeksi
dari kateter untuk saluran urin, kontrol infeksi pada pekerja rumah sakit,
pencegahan infeksi intravaskuler, isolasi pencegahan di rumah sakit,
pencegahan pneumonia dari rumah sakit, serta pencegahan infeksi dari
peralatan operasi.
Rumah sakit merupakan suatu tempat dimana orang yang sakit dirawat
dan ditempatkan dalam jarak yang sangat dekat. Di tempat ini pasien
mendapatkan terapi dan perawatan untuk dapat sembuh. Tetapi, rumah sakit
selain untuk mencari kesembuhan, juga merupakan depot bagi berbagai macam
penyakit yang berasal dari penderita maupun dari pengunjung yang berstatus
karier. Kuman penyakit ini dapat hidup dan berkembang di lingkungan rumah
sakit, seperti; udara, air, lantai, makanan dan benda-benda medis maupun non
medis. Terjadinya infeksi nosokomial akan menimbulkan banyak kerugian,
antara lain: lama hari perawatan bertambah panjang, penderitaan bertambah,
biaya meningkat.

2.7.3 Macam – macam Infeksi Nosokomial


Infeksi nosokomial dikelompokan berdasarkan tempat distribusinya.
Tempat-tempat utama terjadinya infeksi nosokomial dalam tubuh pasien
adalah:

13
A. Infeksi Traktus Urinarius
Ini merupakan infeksi nosokomial yang paling umum dengan
prevalensi mencapai 80%. Infeksi ini terjadi akibat penggunaan kateter
urin jangka panjang. Dibandingkan dengan infeksi nosokomial lainnya,
infeksi traktus urinarius ini tingkat morbiditasnya terbilang rendah, namun
terkadang infeksi ini dapat menyebabkan bakteriemia sehingga berujung
kematian. Infeksi ini dibuktikan dengan kultur urin kuantitatif (≥105
mikroorganisme/ml, dengan maksimum 2 spesies bakteri terisolasi).
Bakteri tersebut berasal dari flora usus, baik flora normal seperti
Escherichia coli, ataupun yang diperoleh dari rumah sakit seperti
multiresisten Klebsiella.
B. Infeksi Luka Operasi (ILO)
Infeksi luka operasi juga merupakan infeksi nosokomial yang
sering terjadi. Insidensinya bervariasi dari 0,5% sampai 15% tergantung
jenis operasi dan status dasar pasien. Dampaknya adalah bertambahnya
lama perawatan pasca operasi sekitar 3 sampai 20 hari dan meningkatnya
biaya perawatan yang cukup banyak. Gambaran klinis infeksi ini yaitu,
adanya discharge purulent disekitar luka 13 operasi. Bakteri yang
menyebabkan infeksi ini biasanya didapat selama operasi berlangsung,
baik secara eksogen (misalnya dari udara, peralatan medis, dokter bedah,
dan staf lainnya), ataupun secara endogen (misalnya dari flora yang
terdapat di kulit atau di tempat operasi).
C. Nosokomial Pneumonia
Pneumonia nosokomial terjadi pada kelompok pasien yang
berbeda. Prevalensi infeksi ini paling sering terjadi pada pasien dengan
ventilator di unit perawatan intensif. Kolonisasi dari mikroorganisme ini
terjadi di perut, saluran napas bagian atas, dan bronkus. Faktor risiko
nosokomial pneumonia ini diketahui berkaitan dengan jenis dan durasi
ventilasi, kualitas perawatan pernapasan, keparahan kondisi pasien (ada
atau tidaknya kegagalan organ), dan penggunaan antibiotk sebelumnya.
Namun, terlepas dari penggunaan ventilator, pasien dengan kejang atau

14
penurunan tingkat kesadaran juga berisiko terkena infeksi nosokomial,
bahkan jika tidak dilakukan intubasi. Viral brochiolitis (RSV) sangat
umum terjani di unit perawatan pediatric, sedangkan influenza dan
bacterial pneumonia sekunder sering terjadi pada unit geriatri.
D. Nosokomial Bakteriemia
Prevalensi infeksi nosokomial jenis ini terbilang cukup rendah,
yaitu hanya sekitar 5% dari total infeksi nosokomial, namun kasus
kematian akibat infeksi ini sangat tinggi hingga mencapai lebih dari 50%.
Infeksi ini dibagi menjadi dua kategori utama:
1. Infeksi pembuluh darah primer (IADP), muncul tanpa adanya tanda
infeksi sebelumnya, dan berbeda dengan organisme yang ditemukan
dibagian tubuhnya yang lain.
2. Infeksi sekunder, muncul sebagai akibat dari infeksi dari organisme
yang sama dari sisi tubuh yang lain.

Mortalitas yang terjadi pada infeksi ini terutama disebabkan oleh


bakteri yang resisten terhadap antibiotika seperti Staphylococcus dan
Candida. Infeksi dapat muncul di tempat masuknya alat-alat seperti
jarum suntik, kateter urin, dan kateter vena sentral (CVC). Faktor utama
penyebab infeksi ini adalah panjangnya kateter, suhu tubuh saat
dilakukannya prosedur invasif, dan perawatan dari pemasangan kateter.

2.7.4 Media Penularan pada Infeksi Nosokomial


Cara penularan infeksi nosokomial bisa berupa infeksi silang (Cross
infection) yaitu disebabkan oleh kuman yang didapat dari orang atau penderita
lain di rumah sakit secara langsung atau tidak langsung. Infeksi sendiri (Self
infection, Auto infection) yaitu disebabkan oleh kuman dari penderita itu
sendiri yang berpindah tempat dari satu jaringan ke jaringan yang lain. Infeksi
lingkungan (Environmental infection) yaitu disebabkan oleh kuman yang
berasal dari benda atau bahan yang tidak bernyawa yang berada di lingkungan
rumah sakit. Misalnya lingkungan yang lembab dan lain-lain (Depkes RI,

15
1995). Menurut Jemes H,Hughes dkk, yang dikutip oleh Misnadiarli 1994,
tentang model cara penularan, ada 4 cara penularan infeksi nosokomial yaitu
kontak langsung antara pasien dan personil yang merawat atau menjaga pasien.
Seterusnya, kontak tidak langsung ketika objek tidak bersemangat / kondisi
lemah dalam lingkungan menjadi kontaminasi dan tidak didesinfeksi atau
sterilkan, sebagai contoh perawatan luka paska operasi. Selain itu, penularan
cara droplet infection dimana kuman dapat mencapai ke udara (air borne) dan
penularan melalui vektor yaitu penularan melalui hewan/serangga yang
membawa kuman (Depkes RI, 1995).

2.7.5 Asepsis pada Infeksi Nosokomial


Aseptik berarti bebas dari infeksi. Aseptik adalah keadaan bebas
dari mikroorganisme penyebab penyakit. Teknik aseptik/asepsis adalah segala
upaya yang dilakukan untuk mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam
tubuh yang kemungkinan besar akan mengakibatkan infeksi. Tindakan asepsis
ini bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan mikroorganisme yang
terdapat pada permukaan benda hidup atau benda mati.
Tindakan ini meliputi antisepis, desinfeksi, dan sterilisasi. Untuk itu,
diperlukan perlakuan khusus pada alat dan bahan operasi, lapangan operasi,
operator, dan asisten sebagai pelaksana. Teknik aseptik digunakan untuk
mengurangi risiko infeksi pasca-prosedur dan untuk meminimalkan paparan
dari penyedia layanan kesehatan untuk mikroorganisme yang berpotensi
menular.
Antisepsis adalah upaya pencegahan infeksi dengan membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada kulit dan jaringan
tubuh lainnya. Bahan yang digunakan disebut antiseptik. Antiseptik adalah
bahan yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan kuman, ada yang
bersifat sporosidal (membunuh spora) dan non sporosidal, digunakan pada
jaringan hidup khusus,yaitu kulit dan selaput lendir. Antiseptik harus
dibedakan dengan obat seperti antibiotik yang dapat membunuh

16
mikroorganisme di dalam tubuh atau dengan desinfektan yang digunakan untuk
membunuh mikroorganisme yang terdapat pada benda mati. Perlu diperhatikan
adanya reaksi atau riwayat alergi terhadap iodium. Jenis antiseptik yang sering
digunakan adalah alkohol 70 %, povidon iodin, chlorhexidine
gluconate dan triklosan.
Asepsis terdiri dari asepsis medis dan asepsis bedah. Asepsis medis
dimaksudkan untuk mencegah penyebaran mikroorganisme. Contoh tindakan:
mencuci tangan, mengganti linen, menggunakan cangkir untuk obat. Obyek
dinyatakan terkontaminasi jika mengandung / diduga mengandung patogen.
Asepsis bedah, disebut juga tehnik steril, merupakan prosedur untuk
membunuh mikroorganisme. Sterilisasi membunuh semua mikroorganisme
danspora, tehnik ini digunakan untuk tindakan invasif.

2.7.6 Sterilisasi dan Desinfeksi pada Infeksi Nosokomial


A. Sterilisasi

Sterilisasi adalah proses pengolahan suatu alat atau bahan dengan


tujuanmematikan semua mikroorganise termasuk endospora pada suatu
alat/bahan. Sterilisasi adalah cara yang paling aman dan paling efektif
untuk pengelolaan alat kesehatan yang berhubungan dengan darah atau
jaringan di bawah kulit yang secara normal bersifat steril (Darmadi, 2008).

1. Sterilisasi cara fisik


Sterilisasi basah dilakukan dengan uap panas pada tekanan tertentu
misalnya pada Autoclave, atau dengan cara mendidihkan. Sterilisasi
dengan autoclave paling efisien karena suhu yang dicapai melebihi titik
didih air yaitu 121ºC dan lama sterilisasi pada umumnya 20 menit.
Lama sterilisasi dihitung mulai dari saat suhu mencapai 121ºC, untuk
seperti kain kasa dan kapas lama sterilisasi 30 menit. Untuk mengawasi
kualitas sterilisasi basah digunakan spora tahan panas misalnya spora
bacillus stearothermophilus.
2. Sterilisasi kering

17
Dilakukan didalam oven, membutuhkan suhu yang lebih tinggi
yaitu umumnya antara 150-170 ºC dan waktu yang lebih lama dari pada
autoclave. Digunakan terbatas untuk alat gelas dan bahan minyak, gas
atau bubuk yang rusak dengan uap. Untuk mematikan spora dibutuhkan
waktu 2 jam pada suhu 180ºC.
3. Sterilisasi dengan bahan kimia/gas
Ada beberapa bahan kimia yang merupakan racun bagi
mikroorganisme tetapi tidak banyak yang di pakai sebagai bahan
sterilisasi. Bahan kimia yang digunakan untuk sterilisasi antara lain gas
etilen oksida, formaldehid. Gas ini merupakan bahan kimia yang sangat
relatif, sehingga cukup berpotensi untuk membunuh mikroorganisme.
Namun kadang-kadang meninggalkan sisa pada bahan yang disterilkan.
4. Sterilisasi cara penyaringan (filtrasi)
Merupakan metode sterilisasi yang dipakai untuk larutan yang
tidak tahan panas seperti serum,plasma atau tripsin. Jenis saringan
terbuat dari selulosa berpori, penyaringan (filter) ini mengabsorbsi
hanya sedikit cairan yang difiltrasi. Dan ukuran penyaring (filter) yang
digunakan untuk sterilisasi adalah 0,22 µm karena ukuran ini lebih
kecil dari bakteri.
5. Sterilisasi cara penyinaran ultra violet
Penyinaran ultra violet terutama digunakan untuk mengendalikan
infeksi yang ditularkan melalui udara pada ruang kultur jaringan. Efek
samping dapat merusak retina mata dan sel-sel yang bermitosis
sehingga tidak diperbolehkan bekerja dibawah sinar UV, selain itu sinar
Ultra Violet juga bersifat mutogenik.

Menurut Darmadi (2008), sterilisasi merupakan suatu proses


dengan metode tertentu dapat memberikan hasil akhir, yaitu suatu bentuk
keadaan yang tidak dapat ditunjukkan lagi adanya mikroorkanisme hidup.
Metode sterilisasi cukup banyak, namun alternatif yang dipilih sangat
bergantung pada keadaan serta kebutuhan setempat. Apapun pilihan
metodenya, hendaknya tetap menjaga kualitas hasil sterilisasi. Kualitas

18
sterilisasi peralatan medis perlu dijaga terus, mengingat risiko kontaminasi
kembali saat penyimpangan dan terutama pada saat penyimpanan dan
terutama pada saat akan digunakan dalam tindakan medis.

Jumlah dan ragam peralatan medis kritis yang


dibutuhkan/digunakan oleh berbagai unit pelayanan di rumah sakit sangat
banyak dan harus siap selama 24 jam penuh. Peralatan-peralatan medis ini
akan selalu memerlukan upaya sterilisasi berulang dari satu pemanfaatan
ke pemanfaatan berikutnya. Semakin banyak kegiatan tindakan medis
dikerjakan, semakin tinggi pula kegiatan upaya sterilisasi. Sterilisasi
sebagai kegiatan khusus atau tersendiri di rumah sakit yang mengelola
peralatan medis steril siap pakai. Unit ini disebut Central Sterile Supply
Department (CSSD) atau instalasi sterilisasi sentral (ISS). Pemusatan
kegiatan sterilisasi ini mempunyai beberapa keuntungan yaitu : (1)
Efisiensi dalam penggunaan sarana dan peralatan, sehingga mampu
menghemat biaya investasi operasional serta pemeliharaan. (2) Efisiensi
tenaga peramedis, artinya tenaga paramedis yang berada di masing-masing
unit kerja tidak perlulagi menangani kegiatan sterilisasi. (3) Adanya
standarisasi prosedur kerja dan adanya jaminan mutu hasil sterilisasi
(Darmadi, 2008).

Dengan adanya pemusatan (sentralisasi) kegiatan sterilisasi pada


sebuah unit tersendiri ini, CSSD/ISS tinggal mendistribusikan produk
sterilisasinya kesemua unit pelayanan medis yang ada dan sebaliknya
menerima peralatan medis yang terkontaminasi dari unit yang sama. Garis
besar kegiatan CSSD/ISS secara berurutan adalah sebagai berikut:

a) Dekontaminasi
Peralatan medis yang terkontaminasi disentifikasi telebih
dahulu untuk meminimalkan jenis dan jumlah mikroba patogen
yang ada.
b) Pembersihan

19
Peralatan medis dibersihkan untuk membebaskan bakteri
organik yang menempel seperti daerah jaringan tubuh, dan
sebagainya kemudian dilanjutkan dengan proses pengeringan.
c) Pengemasan
Membungkus/ mengemas secara rapi peralatan medis
disertai pemasangan label dan siap untuk proses sterilisasi.
d) Proses sterilisasi
Peralatan sterilisasi yang terbungkus/terkemas selanjutnya
metode menjalani sterilisasi sesuai metode yang dipilihnya.
e) Penyimpanan
Setelah selesainya proses sterilisasi, peralatan medis
disimpan dan harus dijaga kualitas sterilisasinya.
f) Pendistribusian
Peralatan medis yang siap pakai selanjutnya didistribusikan
ke unit-unit yang memerlukannya.
B. Desinfeksi
Desinfeksi suatu proses untuk menghilangkan sebagian besar
mikroorganisme pathogen, dengan perkecualian spora bakteri dari suatu
benda mati (Rutata, 1996). Desinfektan secara umum dapat dilakukan
menggunakan cara fisik dengan pemanasan suhu 75-100ºC atau kimiawi
(cairan kimia) (Depkes, 2002).
Setiap proses desinfeksi harus selalu didahului dengan proses
dekontaminasi atau pencucian yang memadai, karena proses ini akan
menghilangkan sebagian besar kuman yang terdapat pada permukaan
banda dan sisa kuman yang sedikit akan lebih mudah dibutuhkan oleh zat
bahan desinfektan. Menurut Rutata (1996), pada saat ini telah banyak jenis
desinfektan yang beredar dan digunakan pada perawatan pasien,
diantaranya adalah alkohol, klorin dan senyawanya. Hydrogen peroksida,
iodorof, fenolik dan senyawa ammonium kwartener. Desinfektan ini tidak
dapat saling ditukarkan satu dengan yang lainnya dalam penggunaan, yang
disebabkan karakteristik kerjanya yang spesifik. Oleh karena itu

20
pemakaian harus dapat memilih desinfektan yang sesuai dan
menggunakan secara aman dan efisien.

2.7.7 Alat Pelindung Diri pada Kedokteran Gigi


Alat pelindung diri mencakup sarung tangan, masker, alat pelindung mata,
topi, gaun, apron dan pelindung yang lainnya. Jenis jenis alat pelindung diri :
1. Sarung tangan
Sarung tangan merupakan penghalang (barrrier) fisik paling
penting untuk mencegah penyebaran infeksi dan melindungi tangan dari
bahan yang mengandung mikroorganisme yang berada di tangan petugas
kesehatan. Sarung tangan harus selalu diganti setiap kontak dengan satu
pasien ke pasien yang lainnya. Langkah langkah :
a. Perawat membuka bungkkus sarung tangan steril dan taruh di tempat
yang bersih.
b. Pegang sarung tangan steril tersebut dengan tangan yang bersarung
tangan dan pasang dengan cara biasa.
2. Masker
Masker harus cukup besar untuk menutupi mulut, hidung, bagian
bawah dagu dan jenggot. Masker dipakai untuk menahan cipratan yang
keluar sewaktu petugas kesehatan berbicara, batuk atau bersin serta untuk
mencegah percikan darah atau cairan tubuh lainnya memasuki hidung atau
mulut petugas kesehatan.
3. Alat pelindung mata
Alat ini untuk melindungi petugas kesehatan dari percikan darah
dan cairan tubuh lainnya dengan cara melindungi mata. Alat pelindung
mata mencakup goggles, kacamata pengaman, pelindung wajah dan visor.
4. Topi
Digunakan untuk menutup rambut dan kulit kepala sehingga
serpihan kulit dan rambut tidak masuk ke dalam luka selama pembedahan.
Topi harus cukup besar untuk menutupi semua rambut. Meskipun top dpat

21
memberikan sejumlah perlindungan pada pasien tetapi tujuan utamanya
adalah melindungi pemakainya dari percikan darah atau cairan tubuh.
5. Gaun pelindung
Pemakaian gaun pelindung terutama untuk melindungi baju dan
kulit petugas kesehatan dari percikan darah, cairan tubuh, sekresi dan
ekskresi.
6. Apron
Digunakan ketika melakukan perawatan langsung pada pasien,
membersuhkan pasien, melakukan prosedur dimana ada resiko tumpahan
darah,cairan tubuh datau sekresi.
7. Pelindung kaki
Digunakan untuk melindungi kaki dari cidera benda tajam atau
benda berat yang mungkin jatuh secara tidak sengaja ke atas kaki.
Sebaiknya menggunakan sepatu boot atau sepatu kulit tertutup dan harus
dijaga kebersihannya.

22
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat di rumah sakit, gejala
muncul selama di rumah sakit sekurang-kurangnya 72 jam semenjak pasien
dirawat atau muncul setelah pasien telah dipulangkan. Infeksi nosokomial
dapat terinfeksi melalui satu pasien ke pasien lainnya, dari dokter ke pasien,
dari pasien kepada penunggunya, dan begitu sebaliknya.
Sebagai seorang dokter kita bisa menggunakan berbagai cara untuk dapat
melaukakan pengendalian terhadap infeksi nosokomial baik pada alat maupun
terhadap jaringan tubuh. Pada alat kita dapat melakukan sterilisasi, desinfeksi.
Sedangkan pada jaringan kita dapat menggunakan antiseptic untuk
membebaskumankan jaringan tubuh kita seperti pengusapan kulit dengan
alcohol 70% pada bagian yang akan diinjeksi untu mencegah kuman ikut
terbawa masuk ke dalam pembuluh darah. Selain membebaskumankan alat-alat
medis dan mengasepsis jaringan tubuh kita dapat menggunakan perlindungan
diri seperti masker, kaca mata, sarung tangan, gaun, dll agar tidak terpapar oleh
kuman.

3.2 Saran
Kita sebagai mahasiswa kedokteran gigi, seharusnya memahami dan
menerapkan segala hal yang dapat mencegah terjadinya infeksi nosokomial
karena tidak mungkin seseorang dokter gigi tidak akan berhubungan dengan
cairan tubuh pasiennya, sehingga juga tidak menutup kemungkinan dokter bisa
tertular jika tidak memahami segala hal yang behubungan dengan infeksi
nosokomial ini.

23
DAFTAR PUSTAKA

Christantie, Effendy.2014. Infeksi Nosokomial. Jakarta: Universitas Indonesia.

Fauzia, Neila.2015. Infeksi Nosokomial. Malang: Univrsitas Brawijaya Malang.

Repository.usu.ac.id

Digilib.unimus.ac.id

Eprints.undip.ac.id

24

Anda mungkin juga menyukai