Anda di halaman 1dari 14

17/6/2019 SPASME INFANTIL | ngurah_suwarba

ngurah_suwarba

dokter spesialis anak, konsultan saraf anak

NOV 23 2012

SPASME INFANTIL

PENDAHULUAN

Spasme infantil (SI) merupakan salah satu bentuk sindrom epilepsi pada bayi yang bersifat katastropik, terjadi
antara usia 3 bulan sampai 1 tahun. Secara klinis SI ditandai dengan kejang berupa spasme simetris pada leher,
1,2
batang tubuh dan ekstremitas secara mendadak dan berlangsung singkat . Beberapa istilah yang sering
3
digunakan yaitu Salaam spasmsatauJackknife seizures. Halini pertama kali dikemukakan oleh West pada tahun
1841. SI merupakan bagian dari suatu bentuk evolusi penyakit dan dapat merupakan kelanjutan dari Early
Infantile Epileptic Encephalopathy (EIEE) atau disebut sindrom Ohtahara yang terjadi pada umur 0-3 bulan, yang
kemudian berkembang menjadi sindrom west pada umur 3 bulan sampai 1 tahun dan selanjutnya menjadi
sindrom Lennox-Gastaut setelah berumur > 1 tahun. Sesuai dengan klasifikasi ILAE 1989, berdasarkan
etiologinya, SI dapat dibagi menjadi 3 yaitu simptomatis, kriptogenik dan idiopatik. Saat ini kalsifikasi dibagi
menjadi 2 yakni idiopatik dan simptomatis, yang mana kriptogenik dikelompokkan dalam simptomatik.
4
Sebagian besar SI termasuk kategori simptomatik.

Kejadian SI diperkirakan sebesar antara 2-5 per 10.000 kelahiran hidup dan dilaporkan hasil sama di seluruh
dunia. Di Amerika Serikat, didapatkan kejadian sebesar 2% dari seluruh kejadian epilepsi pada anak dan
sebanyak 25% diantaranya timbul pada tahun pertama kehidupan. Angka kejadian SI di Estonia sebesar 0,05 dari
1000 kelahiran hidup, di Oulu, Finlandia sebesar 0,41 dari 1000 kelahiran hidup. Prevalensi epilepsi anak
4
didapatkan sebesar 1,4% di Estonia, 4,2% di Odense, Denmark dan 7,6% di Tampere, Finlandia. Selama tahun
1985-1995, di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, diperoleh 53 kasus SI sedangkan tahun 2000-2005 ditemukan
5
sebanyak 36 pasien SI yang berobat ke poliklinik Neurologi Anak RSCM, Jakarta. Secara stastitistik, lebih
4
sering ditemukan pada laki-laki dengan rasio 3:2. Di tinjau dari segi usia, sebanyak 90% mulai timbul pada
usia kurang dari 12 bulan, dengan puncak onset usia 4-6 bulan, namun masih bisa ditemukan pada usia > 2
6,7
tahun, tetapi sangat jarang timbul saat usia 2 minggu kehidupan. Mortalitas SI sebesar 5-30%, 1/3 diantaranya
8
akan meninggal pada usia 3 tahun dan 50% akan meninggal pada usia 10 tahun.

Manifestasi klinis yang timbul sangat bervariasi, tergantung penyakit yang mendasarinya. Kejang biasanya sulit
dikontrol dan sebanyak 80% akan berkembang menjadi retardasi mental yang berat. Tipe spasme dapat
berupafleksor, ekstensor atau kombinasi keduanya. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisik dan penunjang. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) yang klasik ditemukan adanya gambaran
5
patonogmonis berupa hipsaritmia. Pemberian obat-obatan antiepilepsi (OAE) standar sebagian besar tidak
efektif dan tidak responsif. Obat anti epilepsi lini pertama yang dapat dicoba digunakan adalah nitrazepam dan
9
asam valproat tetapi hasilnya kurang memuaskan. Pemberian steroid oral (prednisone atau deksametason)
dilaporkan sedikit membantu memperbaiki segala klinis tetapi tidak optimal. Sampai saat ini obat yang terpilih
R
(drug of choise) adalah ACTH (adrenocorticotropin hormone, sinacten ) yang dapat mengurangi kejang dan
memperbaiki gambaran EEG secara bermakna dengan angka keberhasilan rata-rata 70%, namun penggunaan
ACTH di Indonesia sangat jarang.

Prognosis pada umumnya buruk dan berhubungan dengan penyebabnya. SI memberikan implikasi segera dan
jangka panjang. Setelah spasme menghilang, anak akan mengalami retardasi mental sebesar 70-90%, dengan 20-
9
50% diantaranya akan menjadi sindrom Lennox-Gastaut. Akibat buruknya prognosis SI ini, maka diperlukan
diagnosis yang cepat dan terapi yang tepat. Namun, seringkali terjadi kesalahan dalam menegakkan diagnosis
SI, sekitar 15% kasus didiagnosis sebagai kolik infantile, sedangkan kesalahan diagnosis yang lainnya yaitu
10,11
kaget, refluks gastroesofagus atau keliru dengan refleks Moro.

Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk membahas beberapa aspek spasme infantil yang meliputi
gambaran klinis, etiologi, patogenesis, diagnosis, pemeriksaan penunjang, terapi serta prognosisnya.

https://ngurahsuwarba.wordpress.com/2012/11/23/spasme-infantil/ 1/14
17/6/2019 SPASME INFANTIL | ngurah_suwarba
Faktor etiologi
4
Berdasarkan kemungkinan penyebab, spasme infantil diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:

1. Spasme infantil simptomatis


2. Spasme infantil kriptogenik
3. Spasme infantil idiopatik

1. Spasme infantil simptomatis

Sebagian besar SI termasuk kategori simptomatik dan Sebanyak 70-75% memiliki gejala kejang yang spesifik.
Besarnya persentase katagori ini tergantung dari penunjang diagnostik yang dilakukan.9 Awal tahun 1980,
sebagian besar penelitian mendapatkan kejadian simptomatis sebesar 45-60% kasus. Setelah itu, kasus
simptomatik cenderung mengalami peningkatan yaitu sebesar 70-80%. Hal ini mungkin akibat adanya kemajuan
pemeriksaan penunjang terutama neuroimaging. Di RSCM Jakarta, didapatkan kasus SI 36 anak, sebanyak 20
orang termasuk simptomatik, 14 orang termasuk kriptogenik dan 2 orang termasuk idiopatik. Kemungkinan
kasus simptomatik lebih besar apabila dilakukan berbagai macam pemeriksaan penunjang.5

Simptomatis berarti penyebab SI diketahui. Penyebabnya dapat dibagi menjadi 3 yaitu prenatal, perinatal dan
postnatal.

Penyebab prenatal merupakan penyebab yang tersering yaitu sekitar 30-45% kasus.Prenatalseperti
hidrosefalus, mikrocefali, hydranencephaly, schizencephaly, polymicrogyria, tuberos klerosis trisomy 21, trauma,
infeksi kongenital seperti TORCH (toxoplasmosis, rubella, citomegalovirus, dan herpes simpleks), sindrom Sturge-
Weberdan incontinentia pigmenti. Tuberosklerosis menjadi penyebab terbesar pada kasus prenatal yaitu
sebesar 10-30%. Kejadian tuberosklerosis kompleks diperkirakan 1 per 6000 sampai 9000 populasi, 2/3
diantaranya akibat mutasi sporadik. Minimal 1/3 kasus tuberosklerosis kompleks menderita spasme infantil,
tipikal pada usia 4-6 bulan. Displasia kortikalterjadi pada lebih dari 30% kasus dan anomali kromosom
6,8
mencapai 13% kasus.
·
Penyebab perinatal merupakan penyebab terbanyak kedua, yaitu mencapai 14-25% kasus spasme
infantil. Perinatalsepertimeningitis, trauma, hipoglikemia neonatal, perdarahan intrakranial dan HIE (hypoxic-
ischemic encephalopathies).12
Postnatal seperti meningitis, encefalitis, fenilketonuria, trauma, penyakit degeneratif, defisiensi piridoksin,
maple syrup urine disease.

Kehamilan yang abnormal, adanya riwayat infeksi saat kehamilan dan prematuritas sering menjadi penyebab
SI simptomatik. Pada asfiksia perinatal dan trauma persalinan biasanya jarang terjadi.SI juga dapat terjadi pada
12
penderita sindrom Down, dengan kejadian sebesar 1-5 per 100 anak sindrom Down.

2. Spasme infantil kriptogenik

Penderita didiagnosis SI kriptogenik apabila tidak ada penyebab langsung yang dapat diidentifikasi tapi ada
faktor yang mungkin menjadi penyebab terjadinya SI. Sebenarnya kriptogenik termasuk kategori simptomatik
namun penyebab yang spesifik tidak diketahui. Kategori ini biasanya terjadi pada bayi yang lahir normal dan
perkembangan sebelum timbulnya kejang terlihat normal. Kadang-kadang beberapa anak dalam satu keluarga
dapat menderita spasme infantil, hal ini juga termasuk kriptogenik, akibat adanya pengaruh genetik dan
herediter. Riwayat epilepsi ditemukan pada 40% kasus kriptogenik dan hanya 9,3% penyebabnya perinatal. Hal
tersebut menunjukkan bahwa faktor genetik berperan penting pada kasus kriptogenik tapi tidak pada tipe
8
simptomatik. Kasus kriptogenik lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan simptomatik yaitu kejadiannya
bervariasi berkisar antara 8-42%. Lebarnya rentang kejadian berhubungan dengan definisi kriptogenik yang
digunakan bervariasi dan usia saat diagnosis.4,6,12 Pada era sekarang ini, kejadian menurun sebanyak 5% akibat
munculnya pemeriksaan neuroradiologik yang semakin canggih ( seperti adanya computed tomography scan (CT
scan),MRI (magnetic resonance imaging), single photon emission tomography dan positron emission tomography
(PET),pemeriksaan metabolik dan juga virologik.8

3. Spasme infantil idiopatik

Disebut idiopatik bila tidak ada penyakit yang mendasarinya dan penyebab definitif tidak ditemukan.
Perkembangan psikomotor normal sampai onset serangan muncul atau sebelum terapi dimulai. Tidak
didapatkan adanya kelainan neurologis dan juga kelainan neuroradiologi. Bukti pencetus spasme juga tidak
12
didapatkan. Kejadian spasme infantil idiopatik dilaporkan sebesar 9-14%. Gambaran karakteristik bentuk
idiopatik yaitu (1) tidak adanya regresi mental secara bermakna dan fungsi visual yang masih terpelihara; (2)
tidak adanya abnormalitas EEG interiktal fokal pada pemberian diazepam intravena; (3) hipsaritmia muncul
secara berulang diantara serangan spasme yang berkelompok secara berurutan; (4) tidak dijumpai adanya lesi
pada otak kortikal; (5) outcome baik.8

PATOGENESIS

https://ngurahsuwarba.wordpress.com/2012/11/23/spasme-infantil/ 2/14
17/6/2019 SPASME INFANTIL | ngurah_suwarba
Patofisiologi SI masih belum jelas, namun banyak model patofisiologi yang telah dikemukakan terfokus pada
struktur subkorteks, terutama batang otak sebagai pusat mekanisme primer klinis spasme dan hipsaritmia.
Beberapa hipotesis yang dikemukakan yaitu hiperaktivitas serotonergik otak, monoaminergik-kolinergik dan
neurotransmision opioid. Stresor yang berbeda-beda atau bervariasi pada otak yang masih imatur, diduga dapat
menyebabkan produksi dan sekresi hormon CRH (corticotropin -releasing hormone) secara berlebihan akibat
disregulasi aksis hipotalamik-hipofisial sehingga timbul keadaan spasme atau kejang. Produksi hormon CRH
yang berlebihan dapat ditekan oleh hormon ACTH dan glukokortikoid. Nukleus lentikularis juga mengalami
8,13
keadaan hipermetabolisme dan hal ini secara konsisten tampak pada pemeriksaan PET.

Fungsi abnormal batang otak dapat mempengaruhi hemisfer cerebral secara difus yang menyebar ke bagian
korteks. SI terjadi akibat interaksi abnormal (disharmoni) antara korteks dan struktur batang otak atau adanya
suatu reaksi non spesifik korteks serebri yang belum matang terhadap trauma atau pertumbuhan dan
perkembangan yang abnormal. Lesi fokal pada awal kehidupan dapat menyebabkan efek sekunder di bagian
otak yang lain. Hipsaritmia mungkin terjadi akibat adanya aktivitas yang abnormal dari beberapa bagian otak.
Timbulnya SI pada usia spesifik mungkin akibat imaturnya sistem saraf pusat.13

Peningkatan eksitasi neurotransmisi (neurotransmission excitatory) asam amino juga juga telah dikemukakan
sebagai patogenesis SI. Suatu penelitian mendapatkan adanya peningkatan kadar lysin dan glutamat pada LCS
(liquor cerebro spinalis) pasien dengan SI. Tetapi penelitian yang lainnya, tidak ditemukan adanya suatu pola
asam amino spesifik pada LCS. Penelitian pada beberapa hewan dilaporkan bahwa eksitasiasam amino mungkin
berpartisipasi terhadap regulasi aksis hipotalamik-pituitari-adrenal. Agonist L-glutamat, asam kainik dan L-
aspartat mengurangi pelepasan CRH hipotalamik secara bermakna. Terdapat peningkatan kadar aspartat, asam
glutamin, glutamin, alanin, GABA (gamma amino butyric acid), threonin dan serin pada LCS otak E1 tikus yang
disebabkan oleh ACTH. Penelitian pada kelinci didapatkan adanya eksitasi asam amino yang mengakibatkan
stimulasi pengeluaran ACTH secara cepat dan poten. Hal ini menunjukkan kemungkinan terdapat hubungan
antara aksis hipotalamik-pituitari-adrenal dengan jalur eksitasiasam amino. Beberapa peneliti menemukan
penurunan kadar GABA dan serin, peningkatan kadar tirosin selama pemberian ACTH. Pasien yang terkontrol
dengan ACTH memiliki kadar asam amino bebas pada LCS lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak
terkontrol. Penelitian lain, kadar GABA, asam homovanilik dan 5-hidroksiindoleasetik pada LCS tidak
mengalami perubahan yang bermakna setelah diberikan terapi ACTH. Adanya peningkatan kadar aspartat pada
LCS selama diberikan ACTH, kemungkinan aspartat mempunyai peranan penting dalam jalur feedback negatif
antara ACTH dan CRH.14

SI mungkin juga berhubungan dengan disfungsi cerebral ATP-sensitive potassium channel pada otak yang sedang
mengalami perkembangan. Kir6.2 diekspresikan sangat tinggi di korteks serebri dan berperanan penting pada
berbagai fungsi sel. Mutasi pada Kir6.2 menyebabkan penutupan channel dan kemudian mengakibatkan
terjadinya depolarisasi sel dan hipereksibilitas. Hipereksibilitas yang terjadi selama periode kritis perkembangan
otak dianggap sebagai onset dari SI dan hipsaritmia.Padamodel tikus, adanya ekspresi Kir6.2 yang berlebihan
dapat melindungi terhadap hypoxic ischemic injury dan mengurangi kerusakan neuron, sebaliknya akibat
hipoksia dapat menyebabkan kehilangan fungsi ATP-sensitive potassium channel sehingga timbulah kejang.
Hipoksia pada otak yang sedang mengalami perkembangan telah diketahui sebagai penyebab timbulnya SI.15

Tuberosklerosis (Epiloia, penyakit Bourneville) salah satu penyebab SI simptomatis merupakan penyakit yang
diturunkan secara dominan autosomal akibat adanya mutasi pada gen TSC1 dan TSC2. Gen TSC1 terletak pada
kromosom band 9q34 yang mengkode protein hamartin sedangkan gen TSC2 terletak pada kromosom band
16p13 yang mengkode protein tuberin. Kadar tuberin tertinggi terdapat pada otak, jantung, ginjal, arteriol ginjal,
kulit, dan jantung, sel purkinje serebelar dan neuron piramidal yang berfungsi dalam neurogenesis dan aktivasi
GTP-ase. Kedua protein ini berfungsi sebagai tumour growth suppressors yang mengatur pembelahan dan
pertumbuhan sel. Mutasi pada kedua lokus gen menyebabkan hilangnya kontrol pertumbuhan dan pembelahan
sel sehingga dapat membentuk lesi hamartomatous yang bervariasi di berbagai organ tubuh.16,17 Lesi di otak
ada 3 tipe kelainan yang terjadi yaitu: tuber kortikal, nodul subependimal, dan gangguan myelinisasi. Tuber
kortikal merupakan kelainan yang terbanyak dan lokasi tuber tersering ditemukan yaitu di lobus frontal, namun
densitas tertinggi pada lobus parietal. Pada pemeriksaan histologi, tuber terlihat sebagai daerah sklerotik yang
terdiri dari sel giant atipikal yang tumbuh berlebihan.10,12

Penyebab yang lain dari SI simptomatis yaitu sindrom Sturge Weber (sindrom ensefalotrigeminal vaskular). Lesi
dasar penyakit Sturge Weber adalah adanya hemangioma kapiler kongenital pada kulit muka dan daerah leher,
selaput mukosa, leptomeningens, koroid dan kortek. Angiomatosis atau malformasi terutama pada otak
menyebabkan aliran darah di pembuluh darah stasis, melambat dan hipoksia sehingga metabolisme neuronal
akan menurun. Hipoksia mengakibatkan aliran abnormal ke pleksus, hipertrofi pleksus koroid, permeabilitas
kapiler meningkat, perubahan pH, deposisi kalsium, atrofi serebral dan rusaknya sawar darah otak. Predileksi
angiomatosis leptomeningeal yaitu regio oksipital atau oksipitoparietal salah satu sisi hemisfer.12

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis yang timbul dapat dibedakan menjadi 2 yaitu manifestasi klinis dari penyakit yang
mendasarinya dan gejala klinis dari SI.

1. Manifestasi klinis dari penyakit dasar


https://ngurahsuwarba.wordpress.com/2012/11/23/spasme-infantil/ 3/14
17/6/2019 SPASME INFANTIL | ngurah_suwarba
Penyakit yang mendasari SI cukup banyak yaitu pada kasus simptomatis. Apabila ada kecurigaan adanya SI,
maka perlu dicari manifestasi klinis yang kemungkinan menjadi penyebab. Perhatikan apakah ada kelainan
kongenital, infeksi kongenital seperti TORCH, encefalitis atau meningitis, kumpulan gejala-gejala untuk sindrom
Down, penyakit Sturge Weber dan sebagainya. Tuberosklerosis dan sindrom Sturge Weber termasuk sindrom
neurokutan atau fakomatosis yang mencakup lesi kulit dan susunan saraf, dan sering disertai kelainan pada
mata dan viscera. Tuberosklerosis ditandai oleh trias yaitu epilepsi dan retardasi mental (kelainan saraf) dan
adenoma sebaseum (kelainan kulit). Retardasi mental bervariasi dari ringan sampai berat. Bentuk epilepsi dapat
berupa SI pada saat bayi, jenis parsial kompleks dan tonik klonik umum pada anak yang sudah besar. Adenoma
sebaseum dapat ditemukan di pipi, dagu, dahi dan kulit kepala. Kelainan ini sebenarnya merupakan
angiofibroma (hemartoma kutaneus) dan kelenjar sebaseum terlibat secara pasif, tidak berhubungan produksi
sebum yang berlebihan atau jerawat. Selain itu, manifestasi kulit yang lain yaitu bercak kulit
hipopigmen/hipomelanotik yang biasanya berbentuk oval atau tak beraturan, ukuran bervariasi dapat terlihat
sejak lahir atau tidak nampak sama sekali. Pada pemeriksaan mata, didapatkan 50-80% kelainan di retina yaitu
astrositoma yang berupa nodul, bercak keputihan, agak menimbul (fakomata). Kelainan ini tidak akan
memberikan gejala atau menganggu penglihatan. Rabdomioma jantung yaitu tumor jinak fokal atau difus dan
dapat infiltasi, yang merupakan komplikasi tuberosklerosis yang jarang terjadi. Manifestasi penyakit ini berupa
gagal jantung yang progresif, aritmia dan kematian mendadak. Sebanyak 50-85% dari pasien rabdomioma
merupakan pasien tuberosklerosis. Tumor jinak , yang terdiri dari campuran jaringan fibrosa, lemak, pembuluh
darah dan otot polos, sebagian kistik dijumpai pada banyak organ seperti ginjal, jantung, hepar, lien, dan
paru.10,15

Manifestasi klinis sindrom Sturge Weber yaitu berupa nevus vaskular kongenital yang berwarna merah anggur
di daerah muka bagian atas, kelopak mata superior atau daerah supraorbital. Angioma dapat melibatkan selaput
mukosa nasofaring dan membran koroid mata serta visera lainnya. Glaukoma unilateral pada mata dan
buftalmus dapat terjadi bersamaan dengan angioma membran koroid. Sebesar 75-90% pasien akan mengalami
epilepsi fokal atau umum. Epilepsi biasanya merupakan manifestasi neurologis awal dan lebih sering terjadi
pada usia kurang dari 1 tahun. Kejang yang terjadi dapat bersifat progresif dan refrakter kemudian diikuti
dengan hemiparesis permanen atau sementara.10,12

1. Manifestasi klinis SI

Manifestasi klinis yang paling khas untuk SI adalah adanya serangan spasme yang terjadi sebagai
sekelompok/serumpun serangan (cluster). Satu kelompok serangan terdiri dari beberapa kali sampai ratusan kali
serangan, bahkan ada pula yang mencapai ribuan kali serangan dalam sehari. Spasme berlangsung selama
beberapa detik. Pengulangan serangan ini merupakan tanda diagnostik yang sangat penting.7 Pada bayi yang
berumur kurang dari 1 tahun, terlihatnya gerakan-gerakan berulang walaupun tidak khas seperti head nodding
(mengangguk-anggukkan kepala), gerakan menyentak tiba-tiba dari tungkai, perlu dipikirkan adanya spasme
infantil, apalagi bila disertai dengan keterlambatan perkembangan psikomotor atau kelainan neurologis lainnya.
Head nodding tidak digolongkan ke dalam bentuk dasar SI tapi termasuk bentuk atipikal, karena masih
diperdebatkan. Tangisan atau jeritan biasanya terdengar segera setelah terjadinya spasme. Pada sebagian
penderita, teriakan dapat mendahului suatu serangan spasme. Rumpun serangan sering terjadi pada fase twilight
yaitu beberapa saat sebelum tidur atau pada saat bayi mengantuk, baru bangun dari tidur dan dapat pula timbul
6
selama tidur, walaupun hal ini jarang terjadi. Sebanyak 70-90% pasien SI, kejang akan diikuti dengan regresi
perkembangan psikomotor dan seringkali berhubungan dengan keterlambatan perkembangan. Saat diagnosis
ditegakkan, perkembangan yang normal hanya ditemukan sebanyak 10% dan sebesar 70% ditemukan adanya
pemeriksaan neurologis yang abnormal. Kelainan neurologis pada kasus simptomatik lebih besar dibandingkan
dengan idiopatik.7

Spasme unilateral atau asimetris sangat jarang ditemukan dan biasanya menunjukkan kerusakan-kerusakan
patologis otak. Kelainan ini dapat pula disertai dengan kejang umum atau parsial. Bentuk dasar SI terbagi
menjadi 3 tipe yaitu tipe fleksor, ekstensor, atau campuran kedua-duanya sesuai dengan jenis otot yang
6,7,10
terkena.

1. Spasme ekstensor

Tipe spasme ini sebesar 19-23% dari kasus. Spasme ekstensor terdiri dari ekstensi leher dan batang tubuh secara
mendadak, ekstensi simetris kedepan, abduksi pada ekstremitas atas serta ekstensi ekstremitas bawah pada
pangkal paha dan lutut. Tipe ini juga disebut dengan spasme bersorak atau juga menyerupai refleks moro.
Spasme ekstensor dan asimetris atau spasme unilateral sering berhubungan dengan kasus simptomatik.

1. Spasme fleksor

Spasme ini terjadi sekitar 34-42% kasus. Bayi terlihat tiba-tiba kejang, kontraksi otot fleksor, yang terlihat sebagai
fleksi kepala, tubuh, dan tungkai serta aduksi. Disebut juga jack-knive convulsion (seperti pisau lipat), salaam
spasm/ grusskrampfe (terlihat seperti orang yang menunduk memberi hormat. Serangan kejang yang terjadi sangat
singkat, dapat berlangsung kurang dari 1 menit. Pada beberapa pasien, dapat berlangsung selama 10-15 menit
bahkan lebih. Karena serangan cepat dan singkat, dikenal pula dengan sebutan bli -krampfe (seperti kilat). Pada
tipe ini, ekstremitas aduksi sedemikian rupa sehingga bayi tampak seperti memeluk dirinya sendiri dan sering
berhubungan dengan menangis. Setelah itu, penderita relaksasi kemudian kejang dapat berulang kembali,
demikian seterusnya, sehingga dapat terjadi berkali-kali selama 1 hari.

https://ngurahsuwarba.wordpress.com/2012/11/23/spasme-infantil/ 4/14
17/6/2019 SPASME INFANTIL | ngurah_suwarba
Spasme fleksor seperti terlihat pada gambar 1.

Kondisi bayi saat mengalami spasme

Sebelum mengalami mengalami spasme

Relaksasi setelah mengalami spasme

Kondisi bayi saat mengalami spasme

18
Gambar 1. Spasme fleksor pada bayi usia 5 bulan

1. Spasme campuran

Tipe spasme ini merupakan tipe yang tersering ditemukan yaitu sebesar 42-50% kasus. Pada spasme campuran,
postur primernya mungkin berupa fleksi atau ekstensi leher dan batang tubuh, tetapi kontraksi ekstremitas
berlawanan dengan postur primernya.

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik yang ditemukan tergantung dari penyakit yang mendasarinya, sering ditemukan dalam batas
normal. Tidak ada tanda patognomonis untuk pemeriksaan pasien dengan spasme infantil. Pengukuran lingkar
kepala sangat penting dilakukan untuk mengetahui adanya mikrosefali, makrosefali atau normosefali. Kulit
diperiksa secara menyeluruh untuk melihat adanya adenoma sebaseum pada tuberosklerosis atau mungkin
kelainan yang lainnya. Fungsi nervus kranial, pemeriksaan refleks, sensori dan motorik tidak spesifik dan sangat
6
tergantung dari kerusakan otak dan penyakit yang mendasarinya.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium, neuroradiologis, lumbal pungsi, pemeriksaan mata,
atau lampu wood dilakukan untuk mengetahui kemungkinan yang menjadi penyebab spasme. Pemeriksaan
yang paling penting dan harus selalu dilakukan apabila kita curiga spasme infantil yaitu pemeriksaan EEG,
karena pasien dengan spasme infantil sering berhubungan dengan EEG yang abnormal.

1. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dilakukan sesuai dengan indikasi untuk mencari kemungkinan penyebab spasme
infantil seperti pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, elektrolit, gula, urine lengkap, serum laktat
dan piruvat dan amonia plasma. LCS diperiksa bila curiga adanya meningitis atau encefalitis. Bila diperlukan,
lakukan pemeriksaan kultur darah, urin dan LCS. Kecurigaan terhadap TORCH perlu dilakukan pemeriksaan
serologis. Bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan gen untuk mengetahui adanya mutasi gen terutama pada
pasien tuberosklerosis.7,10

1. Pemeriksaan neuroradiologis

Pemeriksaan neuroradiologis pada pasien SI sebanyak 70-80% ditemukan abnormal. Pada CT-scan kepala dapat
dilihat adanya anomali struktur otak seperti hidrosefalus, hydranencephaly, schizencephaly, agenesis korpus
callosum. Kalsifikasi serebri dapat ditemukan pada pasien dengan tuberosklerosis atau infeksi kongenital. Pasien
tuberosklerosis akan dijumpai kalsifikasi yang umumnya terlihat di daerah foramen Monro atau periventrikular.
Selain itu, dapat pula menunjukkan adanya hematoma serebral, tumor subependim, ventrikulomegali, dan
daerah demielinisasi difus. MRI lebih superior dibandingkan dengan CT scan karena dapat mendeteksi
disgenesis kortikal, gangguan migrasi neuron atau gangguan mielinisasi. Gambaran CT scan kepala pasien
sindrom Sturge Weber menunjukkan kalsifikasi intrakranial yang khas yaitu kalsifikasi tersusun seperti garis
yang pararel (jalan kereta api) atau konvolusi seperti ular dan lebih menonjol di daerah oksipital.10,12

1. Pemeriksaan EEG

Pemeriksaan EEG harus selalu dilakukan apabila kita curiga adanya SI karena biasanya berhubungan dengan
gambaran EEG yang abnormal. Abnormalitas interiktal klasik yang sering ditemukan yaitu hipsaritmia tanpa
kelainan epileptiform fokal. Tidak semua SI menunjukkan gambaran hipsaritmia pada EEG dan hipsaritmia juga
tidak spesifik untuk SI karena dapat ditemukan pada sindrom epilepsi yang lain. Pada tuberosklerosis, hanya 1/3
kasus yang menunjukkan hipsaritmia. Gambaran EEG yang khas yaitu rekaman pada keadaaan sadar tampak
gambaran gelombang irama dasar yang tidak teratur diseluruh korteks, tak terorganisasi, amplitudo gelombang

https://ngurahsuwarba.wordpress.com/2012/11/23/spasme-infantil/ 5/14
17/6/2019 SPASME INFANTIL | ngurah_suwarba
yang tinggi mencapai 500 uv disertai dengan gelombang tajam (sharp wave) dan gelombang paku (spike wave)
yang tersebar tidak rata di seluruh korteks serta tidak sinkron (multifokal). Hipsaritmia berkaitan dengan usia,
akan berangsur berubah sesuai dengan bertambahnya umur dan makin matangnya susunan saraf pusat. Pada
umumnya, resolusi hipsaritmia bersamaan dengan hilangnya SI, kadang ditemukan hipsaritmia yang menetap
walaupun spasme telah menghilang. Modifikasi atau beberapa variasi yang dapat ditemukan pada SI yaitu
hipsaritmia dengan sinkronisasi interhemisfer, hipsaritmia dengan fokus epileptiform yang konsisten,
hemihipsaritmia, hipsaritmia dengan episode yang melemah, atau hipsaritmia dengan aktivitas gelombang
7,19
lambat bervoltase tinggi yang disertai gelombang paku minimal seperti terlihat pada gambar 2 dan 3.

20
Gambar 2. Hipsaritmia pada bayi usia 4 bulan dengan infantil spasme dan retardasi mental.
13
Gambar 3. Hipsaritmia pada bayi perempuan usia 4 bulan dengan infantil spasme kriptogenik.

1. Pemeriksaan lainnya

Pemeriksaan mata diperlukan untuk melihat kelainan pada retina, fungsi penglihatan, glaukoma, koreoretinitis,
infeksi kongenital, atau tuber retinal pada tuberosklerosis. Lampu wood dilakukan untuk melihat adanya lesi
hipopigmentasi pada tuberosklerosis.

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Kemungkinan
yang menjadi penyebab juga perlu dicari, sehingga diketahui apakah termasuk simptomatik, kriptogenik, atau
idiopatik. Menegakkan diagnosis SI tidaklah mudah. Walaupun tidak ada yang patognomonis, yang harus
ditentukan dari anamnesis atau pemeriksaan fisik yaitu apakah penderita memang benar mengalami serangan
spasme, karena serangan spasme ini merupakan tanda khas dari SI. Secara singkat diagnosis SI ditegakkan
berdasarkan:

1. Gejala serangan yang khas


2. Kelainan neurologis atau keterlambatan tahapan perkembangan
3. Gambaran EEG yang khas yaitu terlihat gambaran hipsaritmia atau supression burst atau multifokal

DIAGNOSIS BANDING

Berdasarkan gejala klinis, terdapat beberapa yang menyerupai SI, yang seringkali terjadi kesalahan dalam
mendiagnosis SI yaitu seperti berikut :

1. Head nodding
2. Epilepsi mioklonik

Tambahkan penjelasan singkat dari diagnosis banding!

PENATALAKSANAAN

Tujuan utama pengobatan pada SI adalah meningkatkan kualitas hidup dengan mengontrol serangan spasme
atau kejang, meminimalkan efek samping akibat pengobatan serta meminimalkan jumlah pemberian obat-
obatan. Sebagian besar SI resisten terhadap obat antiepilepsi standar. Pengobatan ditujukan terhadap penyakit
dasar dan mengatasi spasmenya. Spasme diatasi dengan pemberian medikamentosa dan diet ketogenik.
Medikamentosa terdiri dari pengobatan lini pertama yaitu ACTH, prednison, vigabatrin, dan piridoksin (vitamin
B6) sedangkan benzodiazepin, asam valproat, lamotrigin, topiramat, zonisamide dan diet ketogenik digunakan
sebagai obat pilihan lini kedua. Walaupun demikian, sayangnya tidak ada satu obat pun yang dapat memberikan
hasil yang memuaskan dan kurangnya konsensus tentang pemilihan obat untuk pengobatan SI.

1. 1. Pengobatan terhadap penyakit dasar

Pada kasus simptomatis, selain mengatasi serangan spasme, pengobatan juga harus ditujukan terhadap penyakit
yang mendasarinya. Pengobatan penyakit dasar dapat berupa medikamentosa ataupun tindakan pembedahan.
Vigabatrin merupakan obat pilihan utama yang telah terbukti efektif dan sudah ada konsensus tentang
tuberosklerosis yang diterbitkan pada tahun 2000. Pada penyakit Sturge Weber, penanganan tergantung dari
manifestasi klinis. Fisioterapi dilakukan apabila ada kelumpuhan sedangkan wajah dapat diberikan krim.10,15

Tindakan pembedahan pada pasien SI dilakukan apabila terdapat lesi fokal pada otak yang diidentifikasi dengan
pemeriksaan teknik imaging. Lokasi fokus epileptiptogenik sebelum dilakukan tindakan pembedahan
diidentifikasi dengan menggunakan video-EEG dan PET. Studi melaporkan bahwa dengan tindakan
pembedahan pada lesi otak seperti tumor atau kista pada otak terbukti dapat mengatasi spasme. Reseksi lobus
yang terlibat bahkan mungkin hemisferektomi. Hemiferektomi dapat dipertimbangkan pada bayi usia < 1 tahun
10,13
dengan serangan spasme yang tak terkontrol.

1. 2. Mengatasi spasme

Medikamentosa
https://ngurahsuwarba.wordpress.com/2012/11/23/spasme-infantil/ 6/14
17/6/2019 SPASME INFANTIL | ngurah_suwarba
1. a. ACTH

Terapi hormonal dengan menggunakan ACTH telah dikenal sejak tahun 1958. Efektivitas pemberian ACTH
yaitu dapat menghentikan kejang, menghilangkan hipsaritmia dan memperbaiki fungsi kognitif.ACTH
terutama digunakan di Amerika Serikat dan di Inggris. Survei di Amerika Serikat mendapatkan bahwa sebesar
88% ahli saraf anak menggunakan ACTH sebagai pilihan utama SI. Di Inggris, penggunaan ACTH atau
vigabatrin sebagai pilihan pertama yaitu sebanyak lebih dari 80%. Di Eropa dan di Jepang, ACTH tidak
digunakan sebagai obat pilihan utama SI, sedangkan di Indonesia, obat ini jarang digunakan karena terbatasnya
persediaan.5,21 Mekanisme kerja ACTH yaitu mengikat reseptor pasangan protein G pada kortek adrenal dan
meningkatkan C-Adenosin Mono Phospat (C-AMP). Stimulasi pada kortek adrenal menyebabkan diproduksinya
glukokortikoid yaitu kortikosteroid dan mengontrol sekresi kortisol. ACTH diduga mempunyai efek langsung
terhadap susunan saraf pusat, mungkin sebagai efek tambahan akibat pelepasan kortisol atau merupakan efek
yang terpisah. Analog ACTH yang tidak mempunyai efek steroidogenik, tidak efektif untuk SI. Selain itu, ACTH
diduga dapat mempercepat pertumbuhan mielin, merangsang sintesis DNA dan RNA serta menginduksi enzim-
enzim otak sehingga dapat memperpendek spasme. Permasalahan pemberian ACTH yaitu mengenai dosis,
lama pemberian dan timbul efek samping yang serius.
22,23
Dosis pemberian ACTH masih kontroversi, walaupun telah digunakan lebih dari 40 tahun. Rekomendasi
yang dikeluarkan oleh American Academy of Neurology and the Child Neurology Society (2004) bahwa ACTH efektif
digunakan untuk terapi jangka pendek SI dan perbaikan hipsaritmia (level B) tetapi tidak terdapat bukti cukup
yang dipakai untuk merekomendasikan dosis optimum dan lama terapi ACTH (level U). Beberapa jadwal terapi
ACTH telah dipublikasikan, namun tidak ada satupun protokol yang dikeluarkan untuk penggunaan ACTH,
sehingga terdapat berbagai variasi penggunaan kortikotropin alami atau sintetis oleh banyak peneliti baik dalam
hal dosis, lama pemberian ACTH.19,24 Terapi ACTH pada umumnyadiberikan selama 2-6 minggu dengan
dosis 20-50 unit, disuntikan intramuskuler 3 kali seminggu (2 hari sekali). Setelah 1-2 minggu terapi, lakukan
EEG dan bila EEG normal, ACTH dihentikan. Terapi OAE selanjutnya tergantung tipe kejang yang masih ada.

Kortikotropin atau ACTH alamiah mempunyai masa kerja 12-18 jam, sedangkan derivat sintetiknya yaitu Zn
tetracosactrin mempunyai masa kerja 24-48 jam. 1 mg tetracosactrin setara dengan 100 unit kortikotropin. Di
Jepang menggunakan dosis 3-14 IU/hari, Finlandia 18-36 IU/hari, dan Amerika 80 IU/hari.5 Rentang dosis ACTH
yaitu antara 0,2 IU/kg sampai 150 IU/m2 luas permukaan tubuh diberikan secara intramuskuler. ACTH dosis
tinggi yaitu 120-160 IU/hari dengan lama pemberian 1 sampai 6 minggu dan total lama pemberian 4-12 minggu,
sedangkan ACTH dosis rendah apabila dosis ACTH yang digunakan 20-40 IU/hari. Tidak didapatkan perbedaan
yang jelas antara pemberian ACTH dosis tinggi dan rendah.10,19,21 Sebaiknya dosis yangdigunakan adalah
dosis yang rendah, dimulai dari dosis 40 IU/hari IM selama minimal 1 bulan (bentuk nonsintetik ACTH gel) dan
kemudian lakukan tapering 10 IU setiap minggu. Apabila serangan tidak berkurang dalam 2 minggu, maka dosis
ACTH dapat dinaikkan 10 IU setiap minggu sampai maksimal dosis 80 IU. Jika serangan masih ada, dapat
diberikan asam valproat dengan dosis 40-100 mg/kg/hari atau nitrazepam 0,6-1,0 mg/kg/hari atau klonazepam
0,1-0,3 mg/kg/hari. Dosis pemberian ACTH dapat dinaikkan kembali sampai dosis yang dapat menghentikan
serangan apabila terjadi serangan saat dilakukan penurunan dosis. Setelah serangan teratasi, dosis ACTH
tersebut dipertahankan selama minimal 1 bulan kemudian dosis diturunkan kembali.10 Neurologis anak di
Jepang lebih banyak dan lebih menyukai menggunakan dosis rendah dengan jadwal pemberian yaitu
disuntikkan setiap hari selama 2 minggu kemudian diturunkan selama 6 minggu (cara penurunan dengan
memberikan ACTH setiap 2 hari sekali selama 2 minggu, diikuti dengan 2 kali seminggu selama 2 minggu,
kemudian 1 minggu sekali selama 2 minggu).21 Secara umum, ACTH tidak boleh diberikan lebih dari 40-60 hari.
Hasil studi retrospektif tentang analisis respon peningkatan dosis ACTH, didapatkan kesimpulan bahwa dari 9
pasien, kejang berhenti dengan pemberian ACTH dosis 0,6 IU/kg/hari (6 unit untuk bayi <10 kg) dan dengan
dosis 0,8 IU/kg/hari dapat menghilangkan gambaran hipsaritmia.23 Dosis ACTH-Z sintetik yang sering dipakai
di Jepang adalah 0,0125 mg/kg/hari sedangkan institusi lainnya menggunakan dosis 0,015 mg/kg/hari.21

Angka keberhasilan ACTH rata-rata sebesar 70%.22 Banyak studi melaporkan angka keberhasilan antara 30-
100% dengan interval pemberian selama 8-12 hari.Ada pula yang melaporkan bahwa angka keberhasilan
bervariasi antara 50-90%. Vigevano dan Cilio (1997) mendapatkan angka keberhasilan sebesar 81% dibandingkan
dengan vigabatrin sebesar 46%. Persentase keberhasilan bervariasi karena adanya perbedaan etiologi (respon
lebih baik pada kasus kriptogenik), dosis, lama pemberian dan efek samping ACTH. ACTH lebih efektif
diberikan pada kasus dengan perinatal hipoksia atau iskemik.25 American Academy of Neurology and the Child
Neurology Society (2004) melaporkan respon ACTH berdasarkan klas. Pada studi klas I, didapatkan angka
keberhasilan ACTH dosis tinggi mencapai 87% sedangkan studi klas II, angka keberhasilan dosis rendah dan
dalam waktu yang singkat mencapai 42%. Tidak didapatkan adanya hubungan antara dosis dan respon terapi
ACTH pada studi klas III. Angka kekambuhan sebesar 15% pada studi klas I, 33% pada studi klas II dan sebesar
19-24% pada studi klas III.19

Kejadian efek samping pemberian ACTH cukup tinggi seperti imunosupresi, hipertensi, iritabilitas,
meningkatnya nafsu makan, redistribusi lemak tubuh sehingga wajah dan leher tampak berlemak sedangkan
kaki dan tangan mengecil, obesitas, gangguan elektrolit, kadar gula darah meningkat. Kejadian hipertensi
dilaporkan sebesar 0-37%, iritabilitas sebesar 37-100%, infeksi sebesar 14% dan atrofi serebri sebesar 62%.
Komplikasi yang timbul tergantung dari dosis, lama pemberian dan sensitivitas individu terhadap ACTH.
Imunosupresi dapat menyebabkan infeksi berat dan serius dan merupakan penyebab kematian tersering selama
terapi ACTH. Obesitas dan iritabilitas merupakan efek samping yang sering terjadi. Hipokalemia merupakan
gangguan elektrolit yang sering dijumpai.21,22 Vigevano dan Cilio (1997) mendapatkan kejadian efek samping
25
https://ngurahsuwarba.wordpress.com/2012/11/23/spasme-infantil/ 7/14
17/6/2019 SPASME INFANTIL | ngurah_suwarba
25
pemberian ACTH mencapai 37% berupa hipertensi, iritabilitas dan mengantuk. Kortikotropin sintetik yang
diberikan pada 214 pasien Finnish antara tahun 1960-1978 dilaporkan 7 orang pasien meninggal akibat
pneumonia atau sepsis dan perdarahan intraventrikular masif. Studi di Jepang pada 138 pasien yang diberikan
kortikotropin sintetik didapatkan sebanyak 7% mengalami infeksi, hipertensi atau perdarahan intrakranial.24
PadaSI simptomatik sebaiknya tidak diberikan terapi ACTH, terlebih lagi penderita dengan retardasi berat,
penyakit kongenital, atau penyakit infeksi berat lainnya karena sebagian besar akan kambuh selama pemberian
ACTH. Pemberian ACTH atau kortikosteroid pada kelompok simptomatik dengan cacat otak berat tidak banyak
manfaatnya. Efek samping dapat diminimalkan apabila dosis diturunkan dengan cepat dan secara bertahap.
Akibat adanya potensial terjadinya efek samping yang serius dengan pemberian ACTH, sehingga pengunaan
ACTH menyebabkan mortalitas dan morbitas yang tinggi.22

1. b. Steroid

Kortikosteroid oral lebih disukai oleh beberapa penulis yaitu dengan memberikan prednison 2 mg/kg/hari atau
deksametason 0,3 mg/kgbb/hari. Pemberian ACTH atau prednison merupakan all or non phenomena dan biasanya
memberikan hasil yang lebih baik pada tipe kriptogenik.10 Mekanisme prednison dalam mengontrol spasme
belum dimengerti. Dosis permulaan yaitu 2 mg/kg/hari selama 4 minggu. Apabila tidak ada respon, dosis yang
sama dilanjutkan selama 2 minggu lagi, selama 12 minggu berikutnya dosis prednison dikurangi menjadi
setengahnya (1mg/kg/hari) kemudian dihentikan secara bertahap selama 4 minggu.

Penelitian di Los Angeles tahun 1996 mendapatkan sebanyak 13 dari 15 pasien spasme infantil (86,6%) berespon
baik secara klinis dan gambaran EEG setelah diberikan terapi ACTH dosis tinggi (150 UI/m2/hari) selama 2
minggu sedangkan hanya 4 dari 14 pasien (28,6%) yang berespon pada kelompok yang diberikan prednison (2
mg/kg/hari) selama 2 minggu. Disimpulkan bahwa efektivitas ACTH dosis tinggi lebih superior. Secara teori,
ACTH terutama dosis tinggi lebih efektif dalam menekan ekspresi gen CRH dibandingkan dengan prednison.
Sebelumnya, penelitian uji klinis buta ganda didapatkan efikasi yang sama antara pemberian prednison dan
ACTH dengan dosis 20-30 UI yang diberikan dalam waktu yang singkat.23 American Academy of Neurology and
the Child Neurology Society (2004) melaporkan bahwa pada studi klas II, tidak terdapat perbedaan efikasi secara
bermakna antara ACTH dosis rendah dengan prednison. Pada studi klas IV, ACTH dosis tinggi lebih superior
dengan respon 100% menghilangkan spasme dibandingkan dengan prednison yang hanya berespon sebesar
59%. Sebesar 97% gambaran EEG menjadi normal pada pemberian ACTH sedangkan pada pemberian prednison
hanya 50%.19

Efek samping pemberian steroid yang dilaporkan hampir sama dengan pemberian ACTH. Obesitas, retardasi
pertumbuhan, timbulnya jerawat dan iritabilitas merupakan efek samping yang ringan sedangkan gagal jantung
kongestif, imunosupresi, hipertensi, perdarahan intraserebral, atropi otak transien, gangguan elektrolit dan
alkalosis hipokalemik merupakan efek samping yang berat.

1. c. Vigabatrin

Vigabatrin (g-vinyl GABA) merupakan penghambat ireversibel aminotransferase (GABA-T), enzim yang dapat
mendegradasi GABA sehingga kadar GABA dalam otak meningkat. Obat ini digunakan secara luas di Eropa
sebagai obat lini pertama untuk SI tapi tidak disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika
Serikat. Vigabatrin terutama efektif bila digunakan pada pasien tuberosklerosis kompleks dengan angka
keberhasilan mencapai 70%.26 Waktu paruh kira-kira 6-8 jam. Pada studi Dosis yang adekuat belum
didefinisikan, rentang dosis yang dipakai yaitu 18-200 mg/kg/hari. Dosis 100-150 mg/kg/hari lebih sering efektif
dan dapat ditoleransi dengan multisenter sebanyak 135 anak dengan epilepsi refrakter, 13 diantaranya adalah
sindrom West, didapatkan tidak adanya efek samping dengan pemberian vigabatrin dosis lebih dari 100
mg/kg/hari.27

Respon pemberian vigabatrin pada 192 pasien SI didapatkan sebesar 69,4% spasme dapat ditekan pada kasus
kriptogenik dan sebesar 59,7% kasus simptomatik. Pada tuberosklerosis komplek dapat mengontrol kejang
sebesar 96% (27 dari 28 pasien). Sebanyak 82% kejang terkontrol setelah 7 hari pengobatan (median 4 hari, rata-
rata 5,7 hari, dan rentang 0,5-7 hari). Penelitian tentang efikasi vigabatrin dengan hidrokortison pada
tuberosklerosis tahun 1995 didapatkan bahwa vigabatrin lebih efektif mengatasi kejang yaitu sebesar 100% (11
dari 11 pasien) dibandingkan dengan pemberian hidrokortison yang hanya sebesar 36% (4 dari 11 pasien).
Fejerman, dkk (2000) melaporkan bahwa vigabatrin dapat mengatasi kejang sebesar 61,8% pada kasus
kriptogenik dan sebesar 29,2% pada kasus simptomatik. Jumlah kejang rata-rata berkurang setelah 6,7 hari
27
dengan rentang 1-12 hari dan rata-rata dosis 150 mg/kg/hari. Vigevano dan Cilio (1997) melakukan penelitian
prospektif yang membandingkan vigabatrin dengan ACTH sebagai obat lini pertama SI. Angka keberhasilan
pemberian vigabatrin sebesar 48%, lebih rendah dibandingkan dengan pemberian ACTH (81%). Tidak terdapat
perbedaan pada kasus kriptogenik. Angka kekambuhan didapatkan lebih tinggi pada pemberian ACTH. Respon
pengobatan vigabatrin sangat cepat yaitu dalam waktu 3 hari pada 7 kasus dan 8 hari pada 10 kasus, namun efek
pada EEG sangat lambat dibandingkan ACTH. Karena secara umum ACTH tidak boleh diberikan lebih dari 40-
60 hari maka vigabatrin diberikan pada kasus relaps setelah pemberian ACTH.25 American Academy of
Neurology and the Child Neurology Society (2004) mengeluarkan rekomendasi bahwa vigabatrin mungkin efektif
untuk pengobatan jangka pendek SI (level C, klas III dan IV).19 Efek samping yang dilaporkan yaitu efek sedasi
9-24% kasus, iritabilitas 4-9%, insomnia dan hipotonia pada 9% kasus. Penyempitan lapangan pandang
merupakan efek samping yang paling banyak dilaporkan secara bermakna yaitu sebesar 10-40% pasien dewasa.
Efek ini juga dilaporkan terjadi pada pasien anak-anak.19 Hammoudi, dkk (2005) melaporkan bahwa anak

https://ngurahsuwarba.wordpress.com/2012/11/23/spasme-infantil/ 8/14
17/6/2019 SPASME INFANTIL | ngurah_suwarba
dengan SI yang mendapatkan pengobatan vigabatrin mungkin akan mengalami penurunan fungsi visual
walaupun tidak terjadi gangguan visual pada kortek. Hasil pemeriksaan dengan kontras didapatkan bahwa
adanya penurunan fungsi penglihatan mungkin lebih berhubungan dengan SI daripada akibat vigabatrin.28
Mengingat efek samping yang mungkin terjadi, maka pemeriksaan mata sebaiknya dilakukan sebelum
penggunaan vigabatrin dan setiap 3 bulan selama pengobatan vigabatrin.13

1. d. Vit B6

Piridoksin (vitamin B6) merupakan terapi pilihan pertama untuk SI di Jepang, yang digunakan oleh lebih dari
70% institut.Dosis pemeliharaan vitamin B6 yaitu 50 mg/hari dengan rentang 20-100 mg/hari sedangkan Tsuji,
dkk (2007) dimulai dengan dosis awal yaitu 10 mg/hari (rentang dosis 5-30 mg/hari) yang selanjutnya diikuti
dengan dosis pemeliharaan sebesar 30 mg (rentang dosis 10-50 mg/hari).21 Tidak ada penelitian uji klinis tentang
obat ini. Angka keberhasilan dilaporkan sebesar 13-29%.19 Caraballo, dkk (2004) menganjurkan penggunaan
vitamin B6 dengan dosis 200-400 mg/hari per oral (25-50 mg/kg/hari) sebagai pilihan terapi alternatif SI dengan
sindrom Down karena respon yang cepat dalam waktu 2 minggu tanpa adanya efek samping.29

1. e. Benzodiazepin

Golongan benzodiazepin diberikan apabila kejang tidak dapat diatasi dengan pemberian ACTH atau steroid.

1. Nitrazepam

Obat nitrazepam terbukti paling efektif dalam menghilangkan SI dibandingkan dengan jenis benzodiazepin yang
lainnya. Dosis yang diberikan 0,6-1,0 mg/kg/hari dibagi 3 dosis.10 Efek samping yang dilaporkan adalah
mengantuk, ataksia, hipotonia, eksaserbasi kejang umum dan hepatotoksik. Obat ini tidak diperdagangkan di
Amerika Serikat, namun banyak telah banyak digunakan di negara lainnya. Data tentang penggunaan
nitrazepam untuk SI sangat terbatas. American Academy of Neurology and the Child Neurology Society (2004)
mendapatkan 2 studi retrospektif yang termasuk klas IV. Rentang dosis yang digunakan antara 0,5-3,5
mg/kg/hari. Nitrazepam dapat mengatasi kejang sebesar 30% sampai 54%. Menghilangnya gambaran hipsaritmia
sebesar 46% (11 dari 24 pasien) dan angka kekambuhan sebesar 15% ( 2 dari 13 pasien).19

1. Klonazepam

Klonazepam telah disetujui oleh FDA di Amerika Serikat sebagai pengobatan SI sejak tahun 1980. Mekanisme
klonazepam yaitu mengikat reseptor channel ion klorida -A-GABA dan menghambat kerja GABA sehingga
dapat meningkatkan penyaluran ion klorida. Dosis efektif klonazepam antara 0,1-0,3 mg/kg/hari dibagi dalam 3
dosis dan respon pengobatan terjadi dalam 1-3 minggu pengobatan. Sebesar lebih dari 50% kasus (13 dari 24
kasus) dapat dikontrol dengan penggunaan klonazepam dan sebanyak 8 kasus terjadi perbaikan gambaran EEG.
Relaps terjadi pada 7 kasus dan tidak dapat diatasi walaupun dosis klonazepam ditingkatkan. Efek samping
yang sering terjadi adalah mengantuk, ataksia, perubahan tingkah laku, hipersalivasi dan hipersekresi bronkus.

1. Diazepam

Diazepam merupakan obat yang paling jarang digunakan untuk pengobatan SI. Sebanyak 4 dari 5 pasien SI
memberikan respon terhadap diazepam. Namun ada yang melaporkan bahwa diazepam kurang efektif
dibandingkan dengan nitrazepam.

1. f. Asam valproat

Asam valproat digunakan oleh lebih dari 70% sebagai pilihan pertama terapi SI di Jepang. Mekanisme kerja
asam valproat dalam mengatasi kejang yaitu menghambat GABA transminase yang akan menghambat
terjadinya degradasi GABA dan glutamat dekarboksilase yang memudahkan sintesis GABA sehingga kadar
GABA dalam otak akan meningkat. Meningkatkan efek inhibisi postsinaptik GABA, menghambat pembentukan
gelombang paku dan jaras neuronal eksitatorik. Rentang dosis asam valproat yaitu 40-100 mg/kg/hari dengan
dosis awal 15-20 mg/kgbb/hari dalam 2-4 dosis dalam 1-4 hari kemudian disusul dengan dosis rumatan 30-60
mg/kg/hari. Efikasi asam valproat mencapai 25-40%. Satu studi melaporkan bahwa dengan pemberian asam
valproat dapat mengatasi serangan spasme sebesar 73% dan memperbaiki hipsaritmia pada 91% dari 22 anak
setelah dilakukan follow up selama 6 bulan. Sebagian besar akan berespon dalam 2 minggu dan akan mengalami
relaps sebanyak 23%.19 Efek samping yang dapat timbul yaitu mual, muntah, nyeri perut, pankreatitis akut,
ruam kulit, mengantuk, perubahan perilaku, tremor, rambut rontok, serta dapat bersifat hepatotoksik yang fatal
terutama bila diberikan pada bayi.9

1. g. Topiramat

Topiramat telah diakui sebagai terapi tambahan epilepsi oleh Jerman pada tahun 1998 dan pada tahun 2001 bisa
diberikan pada usia < 2 tahun. Mekanisme kerja obat ini yaitu memblok saluran natrium, potensiasi
neurotransmisi GABA dan antagonis glutamat serta efek khusus pada reseptor kainate GluR5 dan menghambat
anhidrase karbonik. Dosis dan lama pemberian yang digunakan bervariasi. Glauser, dkk (1998) menggunakan
dosis permulaan sebesar 25 mg/hari kemudian dinaikkan setiap 2-3 hari sebanyak 25 mg. Apabila dengan dosis
tersebut tidak dapat ditoleransi, maka kecepatan titrasi diturunkan. Titrasi dilanjutkan selama £ 4 minggu atau
sampai mencapai dosis maksimal yaitu 24 mg/kg/hari atau 7 hari bebas kejang (spasme). Dengan dosis tersebut,
didapatkan sebanyak 45% pasien bebas dari spasme, dan 82% terjadi penurunan jumlah kejang > 50%. Respon
30
https://ngurahsuwarba.wordpress.com/2012/11/23/spasme-infantil/ 9/14
17/6/2019 SPASME INFANTIL | ngurah_suwarba
pengobatan topiramat relatif lebih cepat pada kasus kriptogenik dibandingkan simtomatik.30 Penelitian uji klinis
tidak tersamar oleh Watemberg, dkk (2003) menggunakan dosis 6-12 mg/kg/hari. Topiramat digunakan sebagai
monoterapi pada 1 pasien dengan SI dan 1 pasien dengan tuberosklerosis. Pada pasien spasme infantil terjadi
31
pengurangan jumlah spasme > 75% sedangkan pada tuberosklerosis lebih rendah (50-75%). Grosso, dkk (2005)
memberikan dosis harian sebesar 0,5-1 mg/kg kemudian diikuti dengan peningkatan dosis titrasi sebesar 1-3
mg/kg/hari sampai dosis maksimal 16 mg/kg/hari. Delapan dari 24 pasien SI, didapatkan jumlah kejang
berkurang > 50%.32 Valensia, dkk (2005) melaporkan penurunan jumlah kejang > 50% sebanyak 7 dari 8 pasien
SI. Rentang dosis yang digunakan yaitu 2,5-18 mg/kg/hari dengan rata-rata 8,8 mg/kg/hari.33 Hosain, dkk (2006)
menggunakan dosis permulaan 3 mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis, kemudian dinaikkan 3 mg/kg setiap 3 hari
sampai terlihat respon. Dosis rata-rata yang diberikan yaitu 14 mg/kg/hari (rentang dosis 9-27 mg/hari).
26
Sebanyak 20% (3 dari 15 pasien) bebas spasme dan jumlah kejang berkurang > 50% pada 5 pasien.
Korinthenberg dan Schreiner (2007) melaporkan efikasi topiramate sebesar 30% dengan median dosis 10
mg/kg.34

Pemberian topiramat dapat menyebabkan sedasi, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, iritabilitas,
nefrolitiasis, asidosis metabolik, disfungsi bahasa dan hipertermia.33,34 Efek samping yang tersering dilaporkan
yaitu penurunan nafsu makan dan berat badan, hipertermia, mengantuk, perubahan perilaku dan kesulitan
konsentrasi. Kejadian penurunan berat badan berkisar antara 6-40% sedangkan anoreksia sebesar 30%.33

1. h. Zonisamide

Penggunaan zonisamidesebagai terapi SI juga semakin meningkat. Watanabe (1995) melaporkan penggunaan
Zonisamide sebagai pilihan kelima sebesar 9,9% sedangkan Tsuji, dkk (2007) melaporkan sebesar 72,7 – 83,6%.
Zonisamide merupakan derivat sulfonamide yang bekerja pada saluran natrium dan kalsium. Dosis yang
digunakan berbeda-beda, ada yang menggunakan dosis pemeliharaan sebesar 10 mg/hari (8-20 mg/hari)
sedangkan Tsuji, dkk (2007) didahului oleh dosis awal sebesar 2 mg/hari (rentang dosis 0,15-7,5 mg/hari)
selanjutnya dosis pemeliharaan 8 mg/hari (0,5-20 mg/hari). Efikasi obat ini dilaporkan sebesar 25%, tidak akan
melebihi efikasi ACTH walaupun belum ada penelitian yang membandingkan keduanya.21 Lo e, dkk (2004)
mendapatkan bahwa spasme dapat dikontrol dan menghilangnya gambaran EEG sebanyak 6 dari 23 (26%)
pasien SI simptomatis dengan rata-rata lama menghilangnya spasme dan evolusi EEG selama 5,5 bulan.35 Efek
samping yang mungkin timbul yaitu mengantuk, gangguan kognitif dan rash pada kulit.

Diet ketogenik

Diet ketogenik sudah lama digunakan untuk pengobatan epilepsi anak terutama epilepsi refrakter yaitu lebih
dari 80 tahun. Diet ini terdiri dimulai dari periode puasa dan restriksi cairan sampai keton bodis tampak pada
urin kemudian diikuti dengan pemberian makanan tinggi lemak, protein yang adekuat dan rendah karbohidrat.
Puasa dilakukan pada malam hari sebelum diet dimulai dan rasio antara lemak dan karbohidrat yaitu 3:1. Ini
disebut sebagai initial-fasting ketogenic diet yang bertujuan untuk memacu terjadinya ketosis lebih cepat dan untuk
adaptasi metabolik pada keadaan ketosis sehingga kejang dapat dikontrol. Non-fasting ketogenic diet yaitu dimulai
dengan pengenalan secara bertahap makanan yang tinggi lemak dengan diet yang biasa dan tidak memerlukan
puasa dan restriksi cairan. Kim, dkk (2004) mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan efikasi initial-fasting
ketogenic diet dan non-fasting ketogenic diet dalam memacu ketosis dan mengurangi kejang.36

Pemberian diet ketogenik menunjukkan adanya penurunan kadar insulin dalam darah (pada keadaan puasa)
dan peningkatan kadar kortisol yang potensial mempengaruhi eksitabilitas neuronal dan neurotransmiter. Secara
logika, diet ketogenik mempunyai efek tidak langsung terhadap CRH namun perlu penelitian lebih lanjut.
Penelitian tahun 1991 mendapatkan bahwa 12 dari 17 anak (70%) dengan SI mengalami perbaikan > 50% setelah
diberikan diet ketogenik. Sebanyak 67% mengalami perbaikan setelah 3 bulan diberikan diet ketogenik. Hal yang
sama dilaporkan oleh Kossoff, dkk (2002) bahwa spasme berkurang secara bermakna sebanyak 6 dari 7 anak usia
37
< 1 tahun setelah diberikan diet ketogenik dalam beberapa bulan. Penelitian uji klinis oleh Neal, dkk (2008)
melaporkan pemberian diet ketogenik selama 3 bulan dapat menurunkan jumlah kejang >50% pada 38% pasien
dibandingkan dengan kontrol sebesar 6%.38

Efek samping pemberian diet ketogenik yaitu dapat menyebabkan konstipasi, hipoglikemia, muntah,
hiperlipidemia, hiperkolesterolemia, dehidrasi, hipoproteinemia berat, anemia hemolitik, batu kandung empedu
dan peningkatan enzim hati. Sebelum pemberian diet ketogenik harus dilakukan skrining untuk mengetahui
adanya kelainan metabolik yang dapat memperburuk ketogenik diet seperti defisiensi piruvat karboksilase,
porfiria, defisiensi karnitin, kelainan mitokondria, defek oksidasi asam lemak. Neal, dkk (2008) mendapatkan
kejadian efek samping sebesar 25% kasus dengan konstipasi merupakan efek samping yang tersering dan
terberat.37-39

PROGNOSIS

Prognosis SI sebagian besar buruk, tergantung dari penyebab dan bersifat sangat individual sehingga berbeda
antara individu yang satu dengan yang lainnya. Faktor lain yang mempengaruhi antara lain yaitu pemeriksaan
neurologis yang normal, tidak adanya jenis kejang yang lain, onset pada usia yang lebih tua, pendeknya spasme
dan pengobatan yang efektif terhadap spasme diberikan lebih awal.13 Bentuk idiopatik biasanya lebih baik
dibandingkan dengan simptomatik atau kriptogenik. Selama 1 tahun pertama, prognosis SI sangat buruk.
Sebesar 82,4% (14/17) mengalami gangguan perkembangan dan sebagian besar diantaranya menderita retardasi
mental.40 Beberapa studi melaporkan retardasi mental sebesar 70-90% dan sebagian besar menderita retardasi
https://ngurahsuwarba.wordpress.com/2012/11/23/spasme-infantil/ 10/14
17/6/2019 SPASME INFANTIL | ngurah_suwarba
berat. Pada kasus kritogenik, sebesar 30-50% akan mengalami retardasi mental. Prognosis kasus simptomatik
sangat buruk yaitu sebesar 80-90% mengalami retardasi mental, 70% diantaranya mengalami retardasi berat
namun pada kasus sindrom Down dan neurofibromatosis biasanya prognosisnya lebih baik.13 Retardasi mental
terjadi sekitar 37-65% SI yang disebabkan oleh tuberosklerosis. Defisit neurologik yang lain seperti palsi
serebralis sebesar 30-50%. Infantil spasme juga berhubungam dengan kejadian epilepsi dan autisme. Sebanyak
50-70% pasien akan berkembang menjadi epilepsi, tersering berupa sindrom Lennox-Gastaut sebesar 20% dan
sebanyak 50% menjadi intraktabel epilepsi.41 Ada pula yang melaporkan bahwa sebesar 20-50% spasme infantil
akan berkembang menjadi sindrom Lennox-Gastaut.13 Hubungan antara spasme infantil dengan kejadian
autisme telah dilaporkan pada tahun 1981. Saemundsen, dkk (2007) melaporkan prevalensi autisme sebesar
35,3%.40

Mortalitas SI dilaporkan sebesar 5-30%, 1/3 diantaranya akan meninggal sebelum usia 3 tahun dan sebanyak >
50% akan meninggal sebelum usia 10 tahun. Penyebab tersering kematian adalah infeksi, kemudian diikuti oleh
komplikasi dari penyakit yang mendasarinya.13

SIMPULAN

SI merupakan kelanjutan dari Early Infantile Epileptic Encephalopathy (EIEE) yang kemudian berkembang menjadi
sindrom Lennox-Gastautdan terjadi antara usia 3 sampai 8 bulan dengan karakteristik kejang berupa spasme
simetris pada leher, batang tubuh dan ekstremitas secara mendadak, berlangsung singkat dan berkelompok.
Kejadian SI diperkirakan sebesar antara 2-5 per 10.000 kelahiran hidup, dengan mortalitas sebesar 5-30%.
Simptomatis merupakan faktor etiologi terbanyak dibandingkan kriptogenik, dan idiopatik.Salah satu penyebab
kasus simptomatik yang terbanyak yaitu tuberosklerosis. Patofisiologi SI masih belum jelas namun diduga akibat
hiperaktivitas serotonergik otak, monoaminergik-kolinergik danneurotransmission opioid. Tuberosklerosis
terjadi akibat adanya mutasi pada gen TSC1 dan TSC yang berfungsi sebagai tumour growth suppressors
sedangkan sindrom Sturge Weber terjadi statis aliran darah di pembuluh darah, melambat dan hipoksia
sehingga metabolisme neuronal akan menurun akibat adanya angiomatosis atau malformasi pada otak.

Manifestasi klinis yang timbul yaitu akibat penyakit dasar dan serangan spasme. Tuberosklerosis ditandai oleh
trias yaitu epilepsi dan retardasi mental dan adenoma sebaseum. Epilepsi dan nevus vaskular kongenital yang
berwarna merah anggur di daerah muka bagian atas, kelopak mata superior atau daerah supraorbital
merupakan gejala sindrom Sturge Weber. Gejala khas untuk SI adalah adanya serangan spasme yang terjadi
sebagai sekelompok / serumpun serangan dengan 3bentuk dasar yaitu tipe fleksor , ekstensor, atau campuran.
Pemeriksaan fisik dan penunjang tergantung dari penyakit yang mendasarinya sedangkan pada pemeriksaan
neurologis ditemukan adanya abnormalitas status mental. Hipsaritmia merupakan gambaran EEG pada SI.

Pengobatan SI juga ditujukan terhadap penyakit dasar dan mengatasi serangan spasme. Obat lini pertama
mengatasi spasme yaitu ACTH, prednison, vigabatrin, dan piridoksin (vitamin B6) sedangkan benzodiazepin,
asam valproat, lamotrigin, topiramat, zonisamide dan diet ketogenik sebagai obat lini kedua, namun sayangnya
tidak ada satu obat pun yang dapat memberikan hasil yang memuaskan. ACTH dapat menghentikan kejang,
menghilangkan hipsaritmia dan memperbaiki fungsi kognitif dengan angka keberhasilan rata-rata sebesar 70%.
Tindakan pembedahan pada pasien SI dilakukan apabila terdapat lesi fokal di otak. Vigabatrin merupakan obat
pilihan utama yang telah terbukti efektif untuk tuberosklerosis. Pada penyakit Sturge Weber, penanganan
tergantung dari manifestasi klinis. Fisioterapi dilakukan apabila ada kelumpuhan dan pada wajah dapat
diberikan krim.

Prognosis SI sebagian besar buruk, tergantung dari penyebab. Retardasi mental terjadi sebesar 70-90% dan
sebagian besar menderita retardasi berat. Sebanyak 50-70% pasien akan berkembang menjadi epilepsi, tersering
berupa sindrom Lennox-Gastaut sebesar 20% dan sebanyak 50% menjadi intraktabel epilepsi.Tuberosklerosis
akan mengalami retardasi mental sekitar 37-65% kasus. Kasus simptomatik mempunyai prognosis lebih buruk
dibandingkan dengan kriptogenik.

https://ngurahsuwarba.wordpress.com/2012/11/23/spasme-infantil/ 11/14
17/6/2019 SPASME INFANTIL | ngurah_suwarba

DAFTAR PUSTAKA

1. Johnston MV. Seizures in Childhood. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders; 2004. h.1998.

1. Kwon YS, Jun YH, Hong YJ, Son BK. Topiramate Monotherapy in Infantile Spasm. Yonsei Med J 2006;
(47):4:498-504.

1. Victor M, RopperAH. Adams and Victor’s Principles of Neurology. Edisi ke-7, edisi internasional. New York:
McGraw-Hill Medical publishing Division; 2000. h. 342.

1. Anonim. West syndrome. Diakses: tgl 8 Mei 2008. Modifikasi terakhir : tgl 15 Februari 2008.

Diunduh dari: h p://en (h p://en/). wikipedia.org/wiki/West_syndrome.

1. Handryastuti S. Mangunatmadja I. Manifestasi Klinik dan Tata laksana Spasme Infantil di departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Sari Pediatri 2007; (8):3:21-26.

1. Glauser TA. Infantile Spasm (West Syndrome). Last update:10 April 2006. Diakses tanggal: 8 Maret 2008.
Diunduh dari: h p://www.emedicine.com/specialties.htm (h p://www.emedicine.com/specialties.htm)

1. Holmes GL. Infantile Spasms. 2004. Diunduh dari h p//www. Epilepsy.com/professionals. Diakses tanggal: 8
Maret 2008.

1. Reiter E, Tiefenthaler M, Freilinger M, Bemert G, Seidi R, Hauser E. Familial Idiopathic West Syndrome. J
Child Neurol 2000; 15:249-52.

1. Zupanc ML. Infantile Spasms. Expert Opinion on Pharmacotherapy2003; 4(11):2039-48.

1. Pusponegoro HD. Sindrom Epilepsi pada Bayi dan Anak. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting.
Buku Ajar Neurologi Anak. Cetakan ke-2. BP Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta. 2000; h.219-41.

1. Maydell BV, Berenson F, Rothner D, Wyllie E, Kotagal P. Benign Myoclonus of Early Infancy: An Imitator of
West’s Syndrome. J Child Neurol. 2001; 16:109-12.

1. Sankar R, Koh S, Wu J, Menkes JH. Paroxysmal Disorder. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL,
penyunting. Child Neurology. Edisi ke-7. Lippinco Williams & Wilkins, Philadelphia. 2006; h.877-80.

1. Trevathan E. Infantile Spasms and Lennox-Gastaut Syndrome. J Child Neurol. 2002; 17:2S9-2S22.

1. Tegul H, Tutuncuoglu S, Coker M, Coker C. Infantile Spasm: the Effect of Corticotropin (ACTH) on the free
amino acid profile in cerebrospinal fluid. Brain & Development Official Journal of the Japanese Society of
Child Neurology. 1999; 21:20-23.

1. Bahi-Buisson N, Eisermann M, Nivot S, Bellanne-Chantelot C, Dulac O, Bach N, et. al. Infantile Spasms as an
Epileptic Feature of DEND Syndrome Associated with an Activating Mutation in the Potassium Adenosine
Triphosphate (ATP) Channel, Kir6.2. J Child Neurol. 2007; 22:1147-50.

1. Franz DN. Tuberous Sclerosis. Last updated 14 Februari 2007. Diakses tgl 20 Juli 2008.

Diunduh dari: h p://www.emedicine.com/specialties.htm (h p://www.emedicine.com/specialties.htm)

1. Anonim. Tuberous Sclerosis. Diakses: tgl 20 Juli 2008. Modifikasi terakhir : tgl 3 Juli 2008.

Diunduh dari: h p://en (h p://en/). wikipedia.org/wiki/Tuberous _sclerosis.

1. Anonim. Epileptic seizure. Diakses tanggal 7 Maret 2008. Diunduh dari:


h p://www.epilepsiemuseum.de:80/english/einfuehr/bns.html
(h p://www.epilepsiemuseum.de/english/einfuehr/bns.html)
https://ngurahsuwarba.wordpress.com/2012/11/23/spasme-infantil/ 12/14
17/6/2019 SPASME INFANTIL | ngurah_suwarba
1. Mackay MT, Weiss SK, Adams-Webber T, Ashwal S, Stephens D, Ballaban-Gill K, Baram TZ, Duchowny M,
Hir D, Pellock JM, Shields WD, Shinnar K, Wyllie E, Snead OC. Practice Parameter: Medical Treatment of
Infantile Spasme: Report of the American Academy of Neurology and the Child Neurology Society. American
Academy of Neurology. 2004; 62;1668-81.

1. Anonim. EEG in Generalized Epilepsies. Diakses tgl 30 mei 2008. Diunduh dari:
h p://www.medscape.com/viewarticle (h p://www.medscape.com/viewarticle)

1. Tsuji T, Okumura A, Ozawa H, Ito M, Watanabe K. Current Treatment of West Syndrome in Japan. J Child
Neurol. 2007; 22:560-64.

1. Shields WD. West’s Syndrome. J. Child Neurol. 2002; 17:S76-79.

1. Baram TZ, Mitchell WG, Tournay A, Snead OC, Hanson RA, Horton EJ. High –dose Corticotropin (ACTH)
Versus Prednison for Infantile Spasm: A Prospective, Randomized, Blinded Study. Pediatrics. 1996; 97:3:375-
79.

1. Partikian A dan Mitchell WG. Major Adverse Events associated with Treatment of Infantile Spasms. J Child
Neurol. 2007; 22:1360-65.

1. Vigevano F dan Cilio MR. Vigabatrin versus ACTH as First-Line Treatment for Infantile Spasm: A
Randomized, Prospective Study. Epilepsia. 1997; 38:12:1271-73.

1. Hosain SA, Merchant S, Solomon GE, Chutorian A. Topiramate for the Treatment of Infantile Spasms. J Child
Neurol. 2006; 21:17-19.

1. Fejerman N, Cersosimo R, Caraballo R, Grippo J, Corral S, Martino RH, Martino G, Aldao M, Caccia P,
Retamero M, Macat MC, Di Blasi MA, Adi J. J Child Neurol. 2000; 15:161-5.

1. Hammoudi DS, Lee SSF, Madison A, Mirabella G, Buncic JR, Logan WJ, Snead OC, Westall CA. Reduced
Visual Function associated with Infantile Spasms in Children on Vigabatrin Therapy. Investigative
Ophthalmology & Visual Science. 2005; 46:2:514-20.

1. Caraballo RH, Cersosimo RO, Garro F, Kesler K, Fejerman N. Infantile Spasme in Down Syndrome: a Good
Response to Vitamin B6. Journal of Pediatric Neurology. 2004; 2:1:15-19.

1. Glauser TA, Clark PO, Strawsburg R. A Pilot Study of Topiramate in the Treatment of Infantile Spasms.
Epilepsia. 1998; 39:12:1324-28.

1. Watemberg N, Goldberg-Stern H, Ben-Zeep B, Berger I, Straussberg R, Kivity S, Kramer U, Brand N, Lerman-


Sagie T. Clinical Experiance with Open Label Topiramate Use in Infant Younger than 2 Years of Age. J Child
Neurol. 2003; 18:258.

1. 32. Grosso S, Franzoni E, lanne i P, Incorpora G, Cardinali C, Toldo I, et. al. Efficacy and Safety of
Topiramate in Refractory Epilepsy of Childhood: Long-term Follow-Up Study. J Child Neurol. 2005; 20:893.

1. 33. Valencia I, Fons c, Kothare SV, Khurana DS, Yum S, Hardison HH, et. al. Efficacy and Tolerability of
Topiramate in Children Younger than 2 Years Old. J Child Neurol. 2005; 20:667

1. Korinthenberg R, Schreiner A. Topiramate in Children with West Syndrome: A Retrospective Multicenter


Evaluation of 100 Patients. J Child Neurol. 2007; 22:302.

1. Lo e TE, Wilfong AA. Zonisamide treatment for Symptomatic Infantile Spasms. Neurology. 2004; 62:296-98.
(abstrak).

1. Kim DW, Kang HC, Park JC, Kim HD. Benefits of the Nonfasting Ketogenic Diet compared with the Initial
Fasting Ketogenic Diet. Pediatrics. 2004; 114:1627-30.

1. Kossoff EH, Pyzik PL, McGrogan JR, Vining EPG, freeman JM. Efficacy of Ketogenic Diet for Infantile Spasms.
Pediatrics. 2002; 109:780-83.

1. Neal EG. The Ketogenic Diet for the Treatment of Childhood Epilepsy: A Randomized Controlled Trial.
Lancet Neurol. 2008; 7:471. (abstrak)

1. Stewart WA, Gordon K, Camfield P. Acute Pancreatitis Causing Death in Child on the Ketogenic Diet. J Child
Neurol. 2001; 16:682.

https://ngurahsuwarba.wordpress.com/2012/11/23/spasme-infantil/ 13/14
17/6/2019 SPASME INFANTIL | ngurah_suwarba
1. Saemundsen E, Ludvigsson P, Rafnsson V. Autism Spectrum Disorders in Children with a History of Spasms:
A Population-Based Study. J. Child Neurol. 2007; 22:102.

1. Askalan R, Mackay M, Brian J, Otsubo H, McDermo C, Bryson S, et.al. Prospective Preliminary Analysis of
the Development of Autism and Epilepsy in Children with Infantile Spasms. J Child Neurol. 2003; 18:165.

Advertisements

REPORT THIS AD
By ngurahsuwarba

Blog at WordPress.com.

https://ngurahsuwarba.wordpress.com/2012/11/23/spasme-infantil/ 14/14

Anda mungkin juga menyukai