Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP ASMA BRONKHIAL

2.1.1 PENGERTIAN ASMA BRONKHIAL

Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan peradangan

saluran napas kronis. ini didefinisikan oleh sejarah gejala pernapasan seperti

mengi, sesak napas, sesak dada dan batuk yang bervariasi dari waktu ke waktu

dan secara intens, bersama dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi variabel.

(GINA, 2018)

Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respons trachea dan

bronchus terhadao berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan

jalan napas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan maupun

sebagai hasil pengobatan. (Muttaqin, 2008:172).

Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang disebabkan oleh

reaksi hiperresponsif sel imun tubuh seperti mast sel, eosiniphils, dan T-

lymphocytes terhadap stimulus tertentu dan menimbulkan gejala dyspnea,

whizzing, dan batuk akibat obstruksi jalan napas yang bersifat reversible dan

terjadi secara episodic berulang (Brunner and suddarth, 2011)

Menurut Ikawati, (2011) Asma merupakan gangguan inflamasi kronik pada

saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi ini
berhubungan dengan hiperresponsivitas saluran pernapasan terhadap berbagai

stimulasi, yang menyebabkan kekambuhan sesak napas (mengi), kesulitan

bernapas, dada terasa sesak, dan bantuk, cenderung pada malam hari dan atau

dini hari. Sumbatan saluran napas ini bersifat reversible, baik dengan atau tanpa

pengobatan. Berbagai factor yang dapat menimbulkan serangan asma antara lain

jenis kelamin, genetic, obesitas, olah raga berlebihan, infeksi, allergen,

perubahan suhu, pajanan iritan asap rokok, dan factor lingkungan. Saat serangan

asma terjadi, saluran pernapasan ke paru-paru akan mengalami peradangan

(inflamasi) dan membengkak yang menyebabkan penyempitan (obstruksi) pada

saluran pernapasan, sehingga volume udara yang masuk berkurang dan

penderitanya akan sulit untuk bernapas secara normal.

Berdasarkan beberapa definisi diatas maka peneliti menarik kesimpulan

2.1.2 Klasifikasi Asma

Menurut (Andra & Yessie, 2013) Berdasarkan episodik serangan asma, dapat

dibedakan :

a. Asma episodik yang jarang.

Biasanya terdapat pada anak usia 3-6 tahun, serangan umumnya

dicetuskan oleh infeksi virus pada saluran nafas. Frekuensi serangan 3-

4x/tahun. Lamanya serangan beberapa hari dan langsung menjadi sembuh.

Gejala menonjol pada malam hari dapat berlangsung 3-4 hari, sedangkan

baruk 10-14 hari, serangan tidak ditemukan kelainan.


b. Asma episodik sedang

2 atau 3 golongan ini serangan pertama timbul pada usia sebulan

sampai 3 tahun, serangan berhubungan dengan infeksi saluran nafas akut,

pada usia 5-6 tahun dapat terjadi serangan tanpa infeksi yang jelas.

c. Asma kronik atau persisten

Serangan pertama terjadi pada usia 6 bulan (25%), sebelum usia 3

tahin (75%), pada 2 tahun pertama (50%) biasanya serangan episodik pada

usia 5-6 tahun akan lebih jelas terjadi obstruksi jalan nafas yang persisten

dan hampir selalu terdapat wheezing setiap hari. Pada malam hari sering

terganggu oleh batuk/wheezing dan waktu ke waktu serangan berat dan

sering memerlukan perawatan rumah sakit.

Menurut (Andra & yessie, 2013) Klasifikasi Asma berdasarkan berat

penyakit:

a. Tahap 1 : Intermitten

Penampilan klinik sebelum mendapat pengibatan :

 Gejala intermitten <1 kali dalam seminggu

 Gejala eksaserbasi singkat (mulai beberapa jam sampai beberapa

hari)

 Gejala serangan asma malam hari <2 kali dalam sebulan


 Asimptomatis dan nilai fungsi paru normal diantara periode

eksaserbasi

 PEF atau FEV¹: ≥ 80% dari prediksi

 Variabilitas < 20%.

 Pemakasian obat untuk mempertahankan kontrol :

Obat yang mengurangi gejala intermitten dipakai hanya kapan

perlu inhalasi jangka pendek β2 agonis.

 Intensitas pengobatan tergantung pada derajat eksasebasi

kortikosteroid oral mungkin dibutuhkan.

b. Tahap 2 : oersisten ringan

Penampilan klinik sebelum mendapatkan pengobatan :

 Gejala ≥ 1 kali seminggu tapi < 1 kali sehari.

 Gejala eksaserbasi dapat menganggu aktivitas dan tidur.

 Gejala serangan asma malam hari > 2 kali dalam sebulan

 PEF atau FEV¹ : > 80% dari prediksi

 Variabilitas 20-30%.

 Pemakaian obat untuk mempertahankan kontrol :

Obat-obatan pengontrol serangan harian mungkin perlu bronkodilator

jangka panjang ditambah dengan obat-obatan antiinflamasi (terutama

untuk serangan asma malam hari).

c. Tahap 3 : Persisten sedang.

Penampilan klinik sebelum mendapat pengobatan :


 Gejala harian.

 Gejala eksaserbasi mengganggu aktivitas dan tidur.

 Gejala serangan asma malam hari > 1 kali seminggu.

 Pemakaian inhalasi janga pendek β2 agonis setiap hari.

 PEV atau FEV¹ : >60%-80% dari prediksi

 Variabilitas >30%.

 Pemakaian obat-obatan harian untuk mempertahankan kontrol :

Obat-obatan pengontrol serangan harian inhalasi kortikosteroid

bonkodilator jangka panjang (terutama untuk serangan asma malam

hari).

d. Tahap 4 : persisten berat.

Penampilan klinik sebelum mendapatkan pengobatan :

 Gejala terus-menerus.

 Gejala eksaserbasi sering.

 Gejala serangan asma malam hari sering.

 Aktivitas fisik sangat terbatas oleh asma.

 PEF atau FEV¹ : ≤ 60% dari prediksi.

 Variabilitas > 30%.

2.1.3 Stadium Asma

Menurut (Andra & Yessie, 2013) Secara klinis asma dibagi menjadi dalam 3

stadium yaitu :
a. Stadium I

Waktu terjadinya edema dinding bronchus, batuk paroksimal karena iritasi

dan batuk kering, sputum yang kontal dan mengumpul merupakan benda

asing yang merangsang batuk.

b. Stadium II

Sekresi bronchus bertambah batuk dengan dahak jernih dan berbusa pada

stadium ini mulai terasa sesak nafas berusaha lebih dalam, ekspirasi

memanjang dan ada wheezing otot nafas tambahan turut bekerja terdapat

retraksi supra stenal epigastium.

c. Stadium III

Obstruksi atau spasme bronchus lebih berat. Aliran darah sangat sedikit

sehingga suara nafas hampir tidak terdengar, stadium ini sangat berbahaya

karena sering disangka ada perbaikan pernafasan dangkal tidak teratur dan

frekuensi nafas menjadi tinggi.

Menurut Brunner & suddarth (2002) menyampaikan asma sering di rincikan

sebagai alergik, idiopatik, nonalergik atau gabungan, yaitu:

a. Asma alergik

Disebabkan oleh allergen atau allergen-alergen yang dikenal (misal:

serbuk sari, bulu binatang, amarah dan jamur) kebanyakan allergen

terdapat di udara dan musiman. Pasien dengan asma alergik biasanya


mempunyai riwayat keluarga yang alergik dan riwayat masa lalu

ekzema atau rhinitis alergik, pejanan terhadap allergen pencetus asma.

b. Asma idiopatik atau nonalergik

Asma idiopatik atau non-alergik tidak ada hubungan dengan allergen

spesifik factor-factor, seperti udara dingin, infeksi traktus respiratorius,

latihan yang berlebihan, emosi, dan polusi lingkungan yang dapat

mencetus rangsangan. Agen farmakologis seperti aspirin dan alergen anti

inflamasi non-steroid lainnya, pewarna rambut dan agen sulfit (pengawet

makanan juga menjadi factor pencetus asma). Serangan asma idiopatik

atau non-alergik menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya

waktu dapat berkembang menjadi bronchitis kronis dan empizema.

c. Asma gabungan

Adalah asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik

dari bentuk alergik maupun bentuk idiopatik atau non-alergik.

2.1.4 Etiologi

Ada beberapa yang merupakan factor predisposisi dan presipitasi timbulnya

serangan asma menurut Baratawidjaja (2000) yaitu:

a. Faktor predisposisi

Berupa genetic diaman yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun

belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan

penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga ynag menderita


penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah

terkena penyakit asma jika terpapar dengan factor pencetus. Selain itu

hipersensitifitas saluran pernafasan juga bisa di turunkan.

b. Menurut (Muttaqin, 2008: 173) Faktor Presipitasi:

1). Alergen

Alergen adalah zat-zat tertentu yang bisa dihisap atau dimakan

dan dapat menimbulkan serangan asma misalnya debu rumah, spora

jamur, bulu kucing, bulu binatang, beberapa makanan lautm dan

sebagainya.

2). Infeksi saluran pernapasan

Infeksi saluran pernapasan terutama disebabkan oleh virus.

Virus influenza merupakan salah satu faktor pencetus yang paling

sering menimbulkan asma bronchial. Diperkirakan, dua pertiga

penderita asma dewasa serangan ditimbulkjan oleh infeksi saluran

pernapasan (sundaru, 1991).

3). Tekanan jiwa

Tekanan jiwa bukan penyebab asma tetapi pencetus asma,

karena banyak orang yang mendapat tekanan jiwa tetapi tidak menjadi

penderita asma bronchial. Faktor ini berperan mencetuskan serangan

asma terutama pada orang yang agak labil keperipadiannya. Hal ini

lebih menonjolkan pada wanita dan anak-anak (Yunus, 1994).


4). Olahraga/ kegiatan jasmani yang berat.

Sebagian penderita asma bronchial akan mendapatkan serangan

asma bila melakukan olahraga atau aktivitas fisik yang berlebihan. Lari

cepat dan bersepada adalah dua jenis kegiatan paling mudah

menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena kegiatan jasmani

(exercise induced asma-EIA) terjadi setelah olahraga atau aktivitas

fisik yang cukup berat dan jarang serangan timbul beberapa jam

setelah olahraga.

5). Obat-obatan.

Beberapa klien dengan asma bronchial sensitive atau alergi

terhadap obat tertentu seperti penisilin, salisilat, beta blocker, kodein,

dan sebagainya.

6). Polusi udara.

Klien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap

pabrik/kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil

pembakaran dan oksida fotokemikal, serta bau yang tajam.

7). Lingkungan kerja.

Lingkungan kerja diperkirakan merupakan faktor pencetus

yang menyumbat 2-15% klien dengan asma bronchial (sundaru, 1991).

2.1.5 Patofisiologi

Asma adalah obstruksi jalan nafas difus reversible. Obstruksi disebabkan oleh

satu atau lebih kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkhi, yang


menyempitkan jalan nafas, atau pembengkakan memberan yang melapisi

bronkhi, atau pengisab bronki dengan mukus yang kental. selain itu, otot-otot

bronkhian dan kelenjar mukosa membesar, sputum yang kental, banyak

dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara yang terperangkap di

dialam jaringan paru. Mekanisme yang pasti dari perubahan ini belum diketahui,

tetapi ada yang paling diketahui adalah ketelibatan sistem imunologis dan sistem

otonom.

Beberapa individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap

lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel

mast dalam paru. Pemajaan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen

dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator)

seperti histamin, bradikinin, dan prostaglandin serta anafiklaksis dari substansi

yang bereaksi lambat. Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi

otot polos dan kelenjar jalan nafas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan

membran mukosa dan pembentukan mukus yang sangat banyak.

Sistem saraf otonom mempengaruhi paru. Tonus otot bronkhial diatur oleh

impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non

alergi, ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi,

latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang dipelaskan

meningkat. Pelepasan asetikolin ini secara langsung menyebabkan

bronkokontriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas


diatas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon

parasimpatis.

Selain itu reseptor α- dan β- adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak

dalam bronki. Ketika reseptor α- adrenergik dirangsang terjadi bronkokontriksi,

bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β- adrenergik yang dirangsang.

Keseimbangan antara α- dan β- adrenergik dikendalikan terutama oleh siklus

adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor alfa mengakibatkan cAMP,

yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel

mast bronkokontriksi. Stimulasi reseptor beta adrenergik mengakibatkan

peningkatan tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan

menyebabkan bronkodilatasi. Teori ini diajukan adalah bahwa penyekatan β-

adrenergik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya, asmatik rentan

terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan kontriksi otot polos

(Andre & Yessie, 2013).

2.1.6 Tanda dan Gejala Asma Bronkhial

Gejala asma sering timbul pada waktu malam dan pagi hari. Gejala yang

ditimbulkan berupa batuk-batuk pada pagi hari, siang hari, dan malam hari, sesak

napas/susah bernapas, bunyi saat bernapas (whezzing atau mengi) rasa tertekan di

dada, dan gangguan tidur karena batuk atau sesak napas atau susah bernapas.

Gejala ini secara reversible dan episodic berulang (Brunner & suddarth, 2011)
Gejala asma dapat diperburuk oleh keadaan lingkungan, seperti berhadapan

dengan bulu binatang, uap kimia, perubahan temperature, debu, obat (aspirin,

beta blocker), olahraga berat, serbuk, infeksi system respirasi, asap rokok dan

stress (GINA, 2004). Gejala asama dapat menjadi lebih buruk dengan terjadinya

komplikasi terhadap asma tersebut sehingga bertambahnya gejala terhadap

distress pernapasan yang biasa dikenal dengan Status Asmaticus (Brunner &

Suddarth, 2011).

Status Asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak merespons

terapi konvensional. Serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam. Infeksi,

kecemasan, penggunaan tranquiliser berlebihan, penyalagunaan nebulizer,

dehidrasi, peningkatan blok adrenergic, dan iritan non-spesific dapat menunjang

episode ini. Episode akut mungkin dicetuskan oleh hipersensitivitas terhadap

penisilin (smeltzer & bare, 2002).

Status Asmatikus yang dialami penderita asma dapat berupa pernapasan

whizzing, rochi ketika bernapas (adanya suara bising ketika bernapas), kemudian

bisa berlanjut menjadi pernapasan labored (perpanjang ekshalasi), perbesaran

vena leher, hipoksemia, respirasi alkalosis, respirasi sianosis, dypsnea dan

kemudian berakhir dengan tachypnea. Namun makin besarnya obstruksi di

bronkus maka suara whizzing dapat hilang dan biasanya menjadi pertanda

bahaya gagal pernapasan ( Brunner & Suddarth, 2011).


Begitu bahayanya gejala asma (Dahlan, 1998). Gejala asma dapat

mengantarkan penderitanya kepada kematian seketika, sehingga sangat penting

sekali penyakit ini dikontrol dan di kendalikan untuk kepentingan keselematan

jiwa penderitannya (Sudaru,2008; Dahlan, 1998).

2.1.7 Faktor resiko asma.

Berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host faktor)

dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetic yang

mempengaruhi berkembangnya asma yaitu genetic asma, alergik (atopi),

hiperaktiviti atau hiperesponsif bronkus, jenis kelamin, dan ras.

Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan atau

predisposisi asma, untuk berkembang menjadi asma, yang menyebabkan

terjadinya eksaserbasi dan gejala asma yang menetap. Beberapa hal atau kondisi

yang termasuk dalam faktor lingkungan, yaitu: alergen, sensitisasi lingkungan

kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan, diet, status ekonomi dan

besarnya keluarga (Mangunegoro, 2004).

2.1.8 Manifestasi Klinik.

Gejala klasik pada asma bronchial ini adalah sesak napas, mengi (whezzing),

batuk sebagian penderita nyeri dada. Oada serangan asma yang leibh berat

gejala-gejala yang timbul adalah sianosis, gangguan kesadaran, hiperventilasi

dada, tachicardi dan pernafasan dangkal. Gejala-gejala yang umum pada

penderita menutur Crockett (2001) diantaranya (a) sering pilek, sinusitis, bersin,
mimisan, amandek, sesak, suara serak, (b) pembesaran kelenjar dileher dan

kepala bagian belakang bawah, (c) Sering lebam kebiruan pada kaki atau tangan

seperti bekas terbentur, kulit timbul bisul, kemerahan, bercak putih dan bekas

hitam seperti tergigit nyamuk, (d) Sering menggosok mata, hidung, dan telinga

berlebihan, (e) Nyeri otot dan tulang belulang pada malam hari, (i) Sering

kencing, (g) Gangguan saluran pencernaan antara lain gastroesofageal reflek,

sering muntah, nyeri perut, sariawan, lidah sering putih atau kotor, nyeri gusi

atau gigi, mulut berbau, air liur berlebihan dan bibir kering, (h) Sering buang air

besar (>2 kali/hari), sulir buang air besar (obstripasi), kotoran bulat kecil hitam

seperti kotoran kambing, keras, sering buang angin, (i) kepala, telapak kaki atau

tangan sering teraba hangat atau dingin, (j) Sering berkeringat berlebih, (k) mata

gatal, timbul bintik di kelopak mata, mata sering berkedip, (l) Gangguan

hormonal berupa tumbuh rambut berlebih di kaki dan tangan, keputihan dan (m)

sering sakit kepala dan migrant.

2.1.9 Penatalaksaan Asma Bronkhial.

Penatalaksaan asma bronkhial Menurut (GINA, 2016) yaitu :

a. Tujuan terapi asma :

 Mencapai asma terkontrol dan mempertahankan aktifitas yang normal.

 Menurunkan risiko eksaserbasi, efek samping, hamabatan saluran nafas

menetap.

 Komunikasi yang baik antara dokter dan pasien.


 Terapi asma di tingkat populasi lebih dipilih terpai yang mewakili

sebagian besar pasien.

 Terapi di tingkat pasien harus berdasarkan karakteristik atau fenotip

terhadap respon terapi.

 Pasien harus mendapatkan informasi kesehatan sehingga sadar dan

paham terhadap penyakit yang dideritanyal.

b. Terapi Asma.

1. Medikasi (obat-obatan).

2. Memodifikasi faktor risiko (merokok, kegemukan, gelisah).

3. Non-farmakologi.

2.1.9.1 Medikasi (obat-obatan) (GINA, 2016)

1. Pengontrolan (controllers)

Pengobatan jangka panjang uuntuk mengontrol asma, diberikan setiap hari

untuk mencapai dan mempertahankan asma terkontrol pada asma persisten.

 ICS (inhaled corticosteroids) : budesonide (pulmicort), fluticasone

propionate (Flixotide), ciclesonide , fluticasone furoate, mometasone,

triamcinolone.

 ICS/LABA (Long Acting Bronchodilator) :

- Beclometasone / formoterol (innovair MDI / Relvar Ellipta)

- Budesonide / formoterol (Symbicort turbuhaler).

- Fluticasone furoate / vilanterol (Breo Ellipta)

- Fluticasone propionate / formoterol (Fluticorm)


- Fluticasone propionate / salmeterol (Seretide diskus / MDI, Flutias

MDI)

 Kortikosteroid sistemik : oral, intramuskuler, intravena (prednison,

prednisolon, metilprednisolon, hidrokortison)

 Long acting anticholinergic : Tiotroprium (spiriva), glycopyronium

(Seebri)

 LTRA (Leucotrine Receptor Antagonist) : Zalfirlukas, Montelukas

(Singulair, Monarin, Rymont), Pranlukas, Zileuton.

 Metilsantin (Teofilin)

 Anti-IgE (omalizumab)

Tabel 1. Dosis Kortikosteroid Inhalasi menurut (GINA, 2016)

Kortikosteroid Rendah Sedang Tinggi

Inhalasi

Beklometason 200-500 >500-1000 >1000

Dipropionat (CFC)

Beklometason 100-200 >200-400 >400

Dipropionat (HFA)

Budesonid (DPI) 200-400 >400-800 >800

Siklesonid (HFA) 80-160 >160-320 >320


Fluktikason 100-150 >250-500 >500

Propionat (DPI)

Fluktikason 100-250 >250-500 >500

Propionat (HFA)

Mometason Furoat 110-220 >220-440 >440

Triamsinolon 400-1000 >1000-2000 >2000

Asetonid

2. Pelega (Reliever)

Menurut (GINA, 2016) berfungsi untuk dialtasi jalan nafas melalui

relaksasi otot polos, menghambat bronkokonstriksi yang berlebihan tetapi

tidak memperbaiki inflamasi.

Macam-macam Pelega:

 SABA (Short Acting Bronchodilator): Fenoterol, Prokaterol, Salbutamol/

albuterol, terbulatin.

 Short acting anticholinergic: Ipratropium Bromide, oxitropium bromide.

 Aminofilin.

 Kortikosteroid sistemik (Dipakai apabila bronkodilator optimal tetap tidak

berespon).

 Adrenalin.
Tabel 2. Tahapan Terapi Asma (GINA, 2016)

Pengontrol Tahap1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5

-Utama - -ICS do -ICS/LABA -ICS/ -

rendah do rendah LABA Tambahkan

sedang/ mis: anti

tinggi IgE

-Alternatif -ICS do -LTRA -ICS -Tambah -Tambah

rendah -teofilin do sedang/ tiotropium tiotropium

rendah tinggi ICS do dan ICS do

-ICS rendah tinggi + rendah

+ LTRA LTRA (atau

(atau + + teofilin)

Teofilin)

Pelega SABA (k/p) SABA (k/p) SABA (k/p) SABA (k/p) SABA (k/p)

atau ICS/ atau ICS/ atau ICS/

formoterol formoterol formoterol

do rendah do rendah do rendah


Menurut BTS, 2014 dan GINA, 2016) Evaluasi Setelah Pemberian Obat

Pengontrol

 Evaluasi respon terapi setelah 2-3 bulan.

 Meningkatkan dosis terapi (step up) bila: gejala tidak terkontrol, terjadi

eksaserbasi/ risiko. Tetapi cek dan pastikan dahulu diagnosis, pemakaian

teknik inhalasi yang benar dan keteraturannya.

 Menurunkan dosis terapi (step down) bila: gejala asma terkontrol baik dan

fungsi paru stabil selama ≥ 3 bulan, pilih waktu yang tepat (tidak infeksi, tidak

bepergian, tidak hamil), penurunan dosis ICS 25-50% selama 3 bulan.

2.1.9.2 Terapi Non Farmakologis (BTS, 2014; GINA, 2015)

 Berhenti merokok

 Aktifitas fisik secara teratur

 Mencegah paparan alergen di tempat kerja, di dalam maupun di luar

ruagnan.

 Mencegah penggunaan obat yang dapat memperberat asma.

 Teknik pernafasan yang benar (DeepBreathing Exercise, yoga, dan

senam Asma)

 Diet sehat dan menurunkan berat badan

 Vaksinasi (Pneumococcal, influenza)

 Mengatasi stress emosional.

 Imunoterapi alergen

 Bronchial Thermoplasty
2.2 KONSEP FUNGSI PARU

2.2.1 Pengertian Uji Fungsi Paru

Uji fungsi paru dapat membantu diagnosis dan penatalaksanaan pasien

penyakit paru atau jantung, penentuan toleransi tindakan pembedahan, evaluasi

kesehatan untuk kepentingan asuransi, penelitian epidemiologi terhadap bahaya

suatu substansi serta prevalensi penyakit dalam komunitas. Analisis gangguan

ventilasi paru mencakup derajat hambatan terutama mekanisme yang

bertanggung jawab pada insufi siensi pernapasan. Analisis gangguan mekanik

paru merupakan langkah penting pertama prosedur diagnosis penyakit paru

(Williams & Wilkin, 1979)

Uji fungsi paru adalah alat untuk mengevaluasi sistem pernapasan, kelainan

yang terkait riwayat penyakit pasien, penelitian berbagai pencitraan paru dan uji

invasif seperti bronkoskopi dan biopsi terbuka paru. Perbandingan antara nilai

yang diukur pada pasien dengan nilai normal yang berasal dari penelitian

populasi dapat digunakan untuk mengetahui patofi siologi penyakit yang

mendasari. Persentase nilai prediksi normal dapat digunakan untuk menilai

keparahan penyakit. Dokter harus terbiasa dengan uji fungsi paru karena sering

digunakan dalam pengobatan dan evaluasi gejala pernapasan seperti sesak napas

dan batuk, untuk menilai praoperasi dan diagnosis penyakit seperti asma dan

penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Uji fungsi paru adalah istilah umum

manuver yang menggunakan peralatan sederhana untuk mengukur fungsi paru.


Uji fungsi paru meliputi spirometri sederhana, pengukuran volume paru formal,

kapasitas difusi karbon monoksida (CO) dan gas darah arteri. Uji fungsi paru

digunakan untuk mengukur dan merekam 4 komponen paru yaitu saluran napas

(besar dan kecil), parenkim paru (alveoli, interstitial), pembuluh darah paru dan

mekanisme pemompaan. Berbagai penyakit dapat berdampak pada komponen

tersebut (Martin, 2016).

2.3 KONSEP SPIROMETRI

2.3.1 Spirometri

Spirometri paling sering digunakan untuk menilai fungsi paru. Sebagian besar

pasien dapat dengan mudah melakukan spirometri setelah dilatih oleh pelatih

atau tenaga kesehatan lain yang tepat. Uji ini dapat dilaksanakan di berbagai

tempat baik ruang praktek dokter, ruang gawat darurat atau ruang perawatan.

Spirometri dapat digunakan untuk diagnosis dan memantau gejala pernapasan

dan penyakit, persiapan operasi, penelitian epidemiologi serta penelitian lain

(Martin, 2016).Indikasi spirometri dapat dilihat pada tabel 3.


Tabel 3 indikasi spirometri (Martin, 2016)

Diagnostik

Evaluasi keluhan dan gejala (deformitas rongga dada, sianosis, penurunan suara

napas, perlambatan udara ekspirasi, overinfl asi, ronki yang tidak dapat dijelaskan)

Evaluasi hasil laboratorium abnormal (foto toraks abnormal, hiperkapnia,

hipoksemia,polisitemia)

Menilai pengaruh penyakit pada fungsi paru

Deteksi dini seseorang yang memiliki risiko menderita penyakit paru (perokok,

pekerja yang terpajan substansi tertentu)

Pemeriksaan rutin (risiko pra-pembedahan, menilai prognosis, menilai status

kesehatan)

Monitoring

Menilai efek terapi (terapi bronkodilator, terapi steroid)

Menggambarkan perjalanan penyakit (penyakit paru, interstitial lung disease (ILD),

gagal jantung kronik, penyakit neuromuskuler, sindrom Guillain-Barre)

Efek samping obat pada paru

Evaluasi kecacatan

Kesehatan masyarakat
Menurut (Yunus, 1987) Pada spirometri, dapat dinilai 4 volume paru dan 4

kapasitas paru :

a. Volume paru:

1. Volume tidal, yaitu jumlah udara yang masuk ke dalam dan ke luar dari

paru pada pernapasan biasa.

2. Volume cadangan inspirasi, yaitu jumlah udara yang masih dapat masuk

ke dalam paru pada inspirasi maksimal setelah inspirasi biasa.

3. Volume cadangan ekspirasi, yaitu jumlah udara yang dikeluarkan secara

aktif dari dalam paru setelah ekspirasi biasa.

4. Volume residu yaitu jumlah udara yang tersisa dalam paru setelah

ekspirasi maksimal.

b. Kapasitas paru:

1. Kapasitas paru total, yaitu jumlah total udara dalam paru setelah inspirasi

maksimal.

2. Kapasitas vital, yaitu jumlah udara yang dapat diekspirasi maksimal

setelah inspirasi maksimal.

3. Kapasitas inspirasi, yaitu jumlah udara maksimal yang dapat masuk ke

dalam paru setelah akhir ekspirasi biasa.

4. Kapasitas residu fungsional, yaitu jumlah udara dalam paru pada akhir

ekspirasi biasa.
Pengukuran Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP¹) dan kapasiti vital

paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang

standar. Pemeriksaan itu sangat di bergantung kepada kemampuan penderita

sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperatif penderita.

Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang

reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio

VEP¹ atau KVP < 75% atau VEP¹ < 80% nilai prediksi.

2.3.2 Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma:

 Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai risiko VEP¹ atau KVP < 75%

atau VEP¹ < 80% nilai prediksi.

 Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP¹ ≥ 15% secara spontan, atau setelah

inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian

bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid

(inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis

asma.

 Menilai derajat asma.

2.3.3 Arus Puncak Ekspirasi (APE)

Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan

yang lebih jelas sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF

meter) yang relatif sangat mudah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan

mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas


ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/

dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di

rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaana

APE dengan ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang

jelas.

2.3.4 Manfaat APE dalam diagnosis ASMA.

 Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE ≥ 15% setelah inhalasi bronkodilator

(uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi

kortikosteroid (inhalasi/ oral, 2 minggu)

 Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE

harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat

berat penyakit.

Nilai APE tidak selalu berkolerasi dengan parameter pengukuran faal paru lain,

di samping itu APE juga selalu berkorelasi dengan derajat obstruksi. Oleh karenanya

pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai terbaik sebelumnya,

bukan nilai prediksi normal, kecuali tidak diketahui nilai terbaik penderita yang

bersangkutan.

2.3.5 Cara pemeriksaan Variabiliti APE harian

Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari untuk

mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dpat diperoleh melalui 2 cara :
 Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan nilai

APE pagi hari sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi

sebelum bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah bronkodilator

menunjukan persentase rata-rata nilai APE harian. Nilai > 20%

dipertimbangkan sebagai Asma.

Variabiliti harian = APE malam – APE pagi


X 100%
½ (APE malam + APE pagi)

 Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE pagi

sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan

persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari).

2.4 KONSEP LATIHAN NAFAS DALAM

2.4.1 Pengertian Nafas Dalam

Latihan napas dalam adalah bernapas dengan perlahan dan menggunakan

diafragma, sehingga memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan dada

mengembang penuh (Parsudi, dkk., 2006).

Latihan Deep Breathing merupakan latihan pernapasan dengan teknik

bernapas secara perlahan dan dalam, menggunakan otot diafragma, sehingga

memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan dada mengembang penuh

(Smeltzer, et al., 2008).


Latihan napas dalam bukanlah bentuk dari latihan fisik, ini merupakan teknik

jiwa dan tubuh yang bisa ditambahkan dalam berbagai rutinitas guna

mendapatkan efek relaks. Praktik jangka panjang dari latihan pernapasan dalam

akan memperbaiki kesehatan. Bernapas pelan adalah bentuk paling sehat dari

pernapasan dalam (Brunner & Suddarth, 2006).

2.4.2 Tujuan Nafas Dalam.

Tujuan nafas dalam adalah untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan

efisien serta untuk mengurangi kerja bernafas, meningkatkan inflasi alveolar

maksimal, meningkatkan relaksasi otot, menghilangkan ansietas, menyingkirkan

pola aktifitas otototot pernapasan yang tidak berguna, tidak terkoordinasi,

melambatkan frekuensi pernapasan, mengurangi udara yang terperangkap serta

mengurangi kerja bernapas (Suddarth & Brunner, 2006).

Menurut Smeltzer dan Bare (2002) menyatakan bahwa tujuan dari teknik

relaksasi nafas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara

pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efisiensi batuk

mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan

intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan.


2.4.3 MANFAAT NAFAS DALAM.

Menurut Wara kushartanti (2002) program latihan yang dirancang bagi

penderita asma pada dasarnya menitik beratkan pada latihan pernapasan yang

bertujuan untuk:

a. Meningkatkan efisiensi fase ekspirasi.

b. Mengurangi aktivitas dada bagian atas.

c. Mengajarkan pernapasaan diafragma.

d. Merelakskan otot yang tegang.

e. Meningkatkan fleksibilitas otot intercostalis, pectoralis, scalenius, dan

trapezius.

Pada latihan pernapasan merupakan alternatif sarana untuk memperoleh

kesehatan yang diharapkan bisa mengefektifkan semua organ dalam tubuh secara

optimal dengan olah napas dan olah fisik secara teratur, sehingga hasil

metabolisme tubuh dan energi penggerak untuk melakukan aktivitas menjadi

lebih besar dan berguna untuk menangkal penyakit (Wisnu Wardoyo, 2003).
2.5 KERANGKA KONSEP.

Asma adalah suatu penyakit


dengan ciri meningkatnya respons trachea
dan bronchus terhadao berbagai Farmakologi:
rangsangan dengan manifestasi adanya
Pengontrol, Pengobatan jangka
penyempitan jalan napas yang luas dan
panjang uuntuk mengontrol asma,
derajatnya dapat berubah-ubah secara
diberikan setiap hari untuk
spontan maupun sebagai hasil pengobatan.
mencapai dan mempertahankan
asma terkontrol pada asma
persisten

Pelega (Reliever)Menurut (GINA,


Spirometri dapat digunakan 2016) berfungsi untuk dialtasi
untuk diagnosis dan memantau gejala jalan nafas melalui relaksasi otot
pernapasan dan penyakit, persiapan polos, enghambatbronkokonstriksi
operasi, penelitian epidemiologi serta yang berlebihan tetapi tidak
penelitian lain. memperbaiki inflamasi

Non Farmakologi:
Pencegahan Asma Bronkhial
Teknik pernafasan yang benar
(DeepBreathing Exercise, yoga,
dan senam Asma)

(BTS, 2014; GINA, 2015)


Keterangan:

: Diteliti

: Tidak diteliti Manfaat:

Meningkatkan efisiensi fase


ekspirasi dan Mengurangi
aktivitas dada bagian atas.

Anda mungkin juga menyukai