Anda di halaman 1dari 29

KepadaYth:

Dr. dr. Hesti Lestari, SpA(K)

Dibacakantanggal: Juni 2019


Refarat Oleh: ***

BULAN IMUNISASI ANAK SEKOLAH (BIAS)

Oleh:
***
***

Masa KKM:
***

Supervisor Pembimbing:
Dr. dr. Hesti Lestari, Sp.A(K)

ResidenPembimbing:
***

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Refarat dengan judul:


BULAN IMUNISASI ANAK SEKOLAH (BIAS)

Oleh:
***
***

Masa KKM:
***

Telah dikoreksi, dibacakan,dan disetujui pada tanggal Juni 2019


untuk memenuhi syarat tugas Kepaniteraan Klinik Madya (KKM) di
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRAT Manado.

Megetahui,
Residen Pembimbing

***

Supervisor Pembimbing

Dr. dr. Hesti Lestari, Sp.A(K)

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaanNya,

sehingga refarat dengan judul Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) dapat

terselesaikan dengan baik.

Refarat ini dibuat sebagai salah satusyarat pada masa Kepaniteraan Klinik

Madya (KKM) di Bagian Ilmu Anak, RSUP Prof. dr. R. D. Kandou, Fakultas

Kedokteran, Universitas Sam Ratulangi Manado.

Terselesaikannya refarat ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan

dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan banyak terima

kasih kepada semua pihak yang telah aktif terlibat dan berperan serta dalam

penyusunan refarat ini.

Akhir kata penulis menyadari bahwa dalam penyusunan refrat ini masih

terdapat banyak kekurangan, sehingga kritik dan saran sangat diharapkan dalam

penyempurnaan refarat ini.

Manado, Juli 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. 2

KATA PENGANTAR ........................................................................................ 3

DAFTAR ISI ....................................................................................................... 4

BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................. 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 8

1. Definisi Imunisasi .................................................................................. 8

2. Definisi .................................................................................................... 9

3. Tujuan BIAS ........................................................................................... 10

4. Kebijakan dan Sasaran ............................................................................ 14

5. Sasaran .................................................................................................... 16

6. Substansi BIAS ....................................................................................... 16

7. Penatalaksanaan BIAS ............................................................................ 20

8. Faktor Penghambat.................................................................................. 22

9. Evaluasi ................................................................................................... 23

BAB III. PENUTUP ........................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 25

4
BAB I
PENDAHULUAN

Pembangunan kesehatan di Indonesia memiliki beban ganda (double

burden), dimana penyakit menular masih masalah karena tidak mengenal batas

wilayah administrasi sehingga tidak mudah untuk memberantasnya. Salah satu

upaya yang dilakukan untuk menurunkan angka kesakitan, kematian, kecacatan

dari penyakit menular dan penyakit tidak menular adalah imunisasi. Upaya

imunisasi telah diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956. Upaya ini

merupakan upaya kesehatan masyarakat yang terbukti paling cost effective.1

Dengan upaya imunisasi terbukti bahwa penyakit cacar telah terbasmi dan

Indonesia dinyatakan bebas dari penyakit cacar sejak tahun 1974. Mulai tahun

1977 upaya imunisasi dikembangkan menjadi progam pengembangan imunisasi

dalam rangka pencegahan penularan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan

imunisasi (PD3I) yaitu tuberculosis, difteria, pertussis, campak, polio, tetanus dan

hepatitis B. Dengan upaya imunisasi pula, kita sudah dapat menekan penyakit

polio dan sejak tahun 1995 tidak ditemukan lagi virus polio liar di Indonesia. Hal

ini sejalan dengan upaya global untuk membasmi polio di dunia dengan Program

Eradikasi Polio (ERAPO).2

World Health Organization (WHO) mulai menetapkan program imunisasi

sebagai upaya global dengan Expanded Program on Immunization (EPI), yang

diresolusikan oleh World Health Assembly (WHA). Trobosan ini menempatkan

EPI sebagai komponen penting pelayanan kesehatan ibu dan anak, khususnya

dalam pelayanan kesehatan primer. Pada tahun 1981 mulai dilakukan imunisasi

5
polio,tahun 1982 imunisasi campak, dan tahun 1997 imunisasi hepatitis mulai

dilaksanakan. Pada akhir tahun 1988 diperkirakan bahwa cakupan imunisasi di

Indonesia cukup tinggi dibandingkan beberapa negara berkembang lainnya.1

Imunisasi yang telah diperoleh dari bayi belum cukup untuk melindungi

terhadap penyakit, sejak anak mulai memasuki usia sekolah dasar terjadi

penurunan terhadap tingkat kekebalan yang diperoleh saat imunisasi ketika bayi,

pada usia sekolah anak-anak mulai berinteraksi dengan lingkungan baru dan

bertemu dengan lebih banyak orang sehingga beresiko tertular atau menularkan

penyakit, maka pemerintah melalui kementerian kesehatan republik indonesia

sejak tahun 1984 telah mulai melaksanakan program imunisasi pada anak sekolah.

Program ini kemudian dikenal dengan istilah Bulan Imunisasi Anak Sekolah

(BIAS) yang diresmikan pada 14 November 1987 melalui surat keputusan

bersama dari Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri

Agama, dan Menteri Dalam Negeri.3

Sesuai dengan keputusan menteri kesehatan republik indonesia Nomor

1611/MENKES/SK/XI/2005 tentang pedoman penyelenggaraan imunisasi. Bulan

imunisasi anak sekolah yang selanjutnya disebut BIAS adalah bentuk operasional

dari imunisasi lanjutan pada anak sekolah yang dilaksanakan pada bulan tertentu

setiap tahunnya dengan sasaran semua anak kelas 1,2 dan 3 di seluruh Indonesia.

Pemberian imunisasi atau vaksin kepada anak sekolah ini merupakan kebijakan

pemerintah pusat yang harus dilaksanakan di seluruh Indonesia. Imunisasi adalah

suatu cara untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara

aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit

tersebut tidak akan menderita penyakit tersebut.2 Imunisasi lanjutan adalah

6
imunisasi ulangan untuk mempertahankan tingkat kekebalan di atas ambang

perlindungan atau untuk memperpanjang masa perlindungan. Pelaksanaan

kegiatan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) dilaksanakan oleh puskesmas dan

monitoring dilakukan oleh dinas kesehatan. Berikut refarat yang akan membahas

lebih lanjut mengenai Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS).

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Imunisasi

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang

secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada

antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit. Imunisasi merupakan usaha

memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin

kedalam tubuh. Agar tubuh membuat zat anti untuk merangsang

pembentukan zat anti yang dimasukkan kedalam tubuh melalui suntikan

(misalnya vaksin BCG, DPT dan campak) dan melalui mulut (misalnya

vaksin polio).3

Tujuan imunisasi yaitu untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada

seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat

(populasi) atau bahkan menghilangkan suatu penyakit tertentu dari dunia.

Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan

kematian dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pada saat ini,

penyakit-penyakit tersebut adalah difteri, tetanus, batuk rejan (pertusis),

campak (measles), polio dan tuberkulosis.3

Secara umun tujuan imunisasi antara lain:

a) Melalui imunisasi, tubuh tidak mudah terserang penyakit menular

b) Imunisasi sangat efektif mencegah penyakit menular

c) Imunisasi menurunkan angka mordibitas (angka kesakitan) dan

mortalitas (angka kematian) pada balita

8
2. Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS)

Salah satu strategi yang tercantum dalam Global Immunization Vision and

Strategy (GIVS) 2006 – 2015 adalah “to protect more people in a changing

world”. Untuk mengimplementasikan visi tersebut, maka kegiatan yang dapat

dilaksanakan adalah melakukan pemberian imunisasi pada anak yang lebih

tua, dalam hal ini adalah murid sekolah dasar. Pemberian imunisasi pada

murid sekolah yang disebut BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah) telah

dilaksanakan secara rutin sejak tahun 1984, dimana saat ini murid kelas 1

SD/MI menerima imunisasi DT dan Campak sedangkan murid kelas 2 dan

kelas 3 menerima imunisasi TT. Pelaksanaan BIAS ini merupakan salah satu

kegiatan rutin yang harus dilaksanakan bekerjasama dengan pihak sekolah

dasar/MI.1,2

Sesuai dengan keputusan menteri kesehatan republik indonesia Nomor

1611/MENKES/SK/XI/2005 tentang pedoman penyelenggaraan imunisasi,

bulan imunisasi anak sekolah yang selanjutnya disebut BIAS adalah bentuk

operasional dari imunisasi lanjutan pada anak sekolah yang dilaksanakan

pada bulan tertentu setiap tahunnya dengan sasaran semua anak kelas 1,2 dan

3 di seluruh Indonesia. Pemberian imunisasi atau vaksin kepada anak sekolah

ini merupakan kebijakan pemerintah pusat yang harus dilaksanakan di seluruh

Indonesia. Pelaksanaan kegiatan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS)

dilaksanakan oleh puskesmas dan monitoring dilakukan oleh dinas

kesehatan.4

9
Beberapa dasar hukum dari BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah) adalah

sebagai berikut:

 UUD RI NO : 36 th 2009 tentang kesehatan dst.

 Peraturan Pemerintah NO 25 tahun 2000 tentang kewenangan

Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.

 SKB Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menkes, Menteri Agama,dan

Menteri Dalam Negeri NO:0408A/U/1984,319/Menkes/SKB/VI/1984,

74/th/1984/60 tahun 1984 tentang Pokok Kebijaksanaan Pembinaan dan

Pengembangan Usaha Kesehatan Sekolah, dst.

 Surat Direktur Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan

Lingkungan Dep.Kesehatan RI tanggal 27 Juni 2001 no: PR.03.03.5.433

perihal : Rencana BIAS 2001.

 Petunjuk Tehnis BIAS oleh TP-UKS Pusat bagi Pengelolaan Program

tahun 1997.

3. Tujuan BIAS

Program imunisasi mempunyai tujuan umum yaitu menurunkan angka

kesakitan, kecacatan dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah

dengan imunisasi (PD3I). Tujuan khusus program ini adalah sebagai berikut:

1. Tercapainya target Universal Child Immunization (UCI) yaitu cakupan

imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di seluruh

desa/kelurahan pada tahun 2014.

2. Tervalidasinya Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (insiden di

bawah 1 per 1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun) pada tahun 2013.

10
3. Global eradikasi polio pada tahun 2018.

4. Tercapainya eliminasi campak pada tahun 2015 dan pengendalian

penyakit rubella 2020.

5. Terselenggaranya pemberian imunisasi yang aman serta pengelolaan

limbah medis (safety injection practise and waste disposal

management) (Kemenkes RI, 2013).

Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) bertujuan untuk memberikan

perlindungan bagi anak-anak usia sekolah dasar terhadap penyakit campak,

difteri dan tetanus. Kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan bagi

masyarakat melalui pembangunan kesehatan dengan perencanaan terpadu.

Tujuan umum dari BIAS adalah meningkatkan derajat kesehatan anak usia

sekolah dan menurunkan angka kesakitan Tetanus dan Difteri. Tujuan

khususnya antara lain adalah:

 Meningkatkan tingkat imunitas / kekebalan anak usia sekolah thd Difteri

dan Tetanus.

 Diperolehnya perlindungan anak terhadap penyakit Difteri dan Tetanus

jangka panjang.

 Mempercepat pencapaian eliminasi Tetanus Neonatorum.

Pemberian vaksin melalui program imunisasi merupakan salah satu

strategi pembangunan kesehatan nasional dalam rangka mewujudkan

Indonesia sehat. Program imunisasi mengacu kepada konsep Paradigma

Sehat, dimana prioritas utama dalam pembangunan kesehatan yaitu upaya

pelayanan peningkatan kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit

(preventif) secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.

11
Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan bahwa

program imunisasi sebagai salah satu upaya pemberantasan penyakit menular.

Upaya imunisasi telah diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956. Upaya

ini merupakan upaya kesehatan yang terbukti paling cost effective. Mulai

tahun 1977, upaya imunisasi dikembangkan menjadi Program Pengembangan

Imunisasi dalam rangka pencegahan penularan terhadap Penyakit yang Dapat

Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I), yaitu tuberculosis, difteri, pertusis,

campak, polio, tetanus dan hepatitis B.

Beberapa bulan yang lalu pada beberapa daerah di Indonesia terserang

kembali wabah penyakit difteri dan campak. Seperti kasus peningkatan kasus

infeksi difteri di Jawa Timur berdasarkan laporan sampai dengan tanggal 8

Desember 2011 terjadi 560 kasus klinis difteri dengan 13 kematian. Kasus

difteri ini sudah menyebar ke beberapa daerah lain di Indonesia. Penyakit-

penyakit yang kembali mewabah ini (emerging diseases) merupakan penyakit

yang angka kejadiannya memiliki kecenderungan untuk meningkat dalam

waktu dekat dan area geografis penyebarannya meluas. Selain itu, termasuk

juga penyakit yang mencuat kembali (reemerging diseases), yaitu penyakit

meningkat kembali setelah sebelumnya mengalami penurunan angka kejadian

yang signifikan.

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia sejak tahun 1984 telah mulai melaksanakan program

imunisasi pada anak sekolah. Program ini kemudian dikenal dengan istilah

Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) yang diresmikan pada 14 November

12
1987 melalui Surat Keputusan bersama dari Menteri Kesehatan, Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri.

Imunisasi yang telah diperoleh pada waktu bayi belum cukup untuk

melindungi terhadap penyakit PD3I (Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan

Imunisasi) sampai usia anak sekolah. Hal ini disebabkan karena sejak anak

mulai memasuki usia sekolah dasar terjadi penurunan terhadap tingkat

kekebalan yang diperoleh saat imunisasi ketika bayi. Oleh sebab itu,

pemerintah menyelenggarakan imunisasi ulangan pada anak usia sekolah

dasar atau sederajat (MI/SDLB) yang pelaksanaannya serentak di Indonesia

dengan nama Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS).

Penyelenggaraan BIAS ini berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI

nomor 1059/Menkes/SK/IX/2004 dan mengacu pada himbauan UNICEF,

WHO dan UNFPA tahun 1999 untuk mencapai target Eliminasi Tetanus

Maternal dan Neonatal (MNTE) pada tahun 2005 di negara berkembang

(insiden dibawah 1 per 1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun). BIAS adalah

salah satu bentuk kegiatan operasional dari imunisasi lanjutan pada anak

sekolah yang dilaksanakan pada bulan tertentu setiap tahunnya dengan

sasaran seluruh anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) atau sederajat (MI/SDLB)

kelas 1, 2, dan 3 di seluruh Indonesia.

Imunisasi lanjutan sendiri adalah imunisasi ulangan yang ditujukan untuk

mempertahankan tingkat kekebalan diatas ambang perlindungan atau

memperpanjang masa perlindungan. Imunisasi yang diberikan berupa vaksin

Difteri Tetanus (DT) dan Vaksin Campak untuk anak kelas 1 SD atau

sederajat (MI/SDLB) serta vaksin Tetanus Toksoid (TT) pada anak kelas 2

13
atau 3 SD atau sederajat (MI/SDLB). Pada tahun 2011, secara nasional

imunisasi vaksin TT untuk kelas 2 dan kelas 3 SD atau sederajat (MI/SDLB)

ditambah dengan Antigen difteri (vaksin Td). Pemberian imunisasi ini

sebagai booster untuk mengantisipasi terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB)

Difteri. Perubahan pemberian imunisasi dari vaksin TT ditambah dengan

vaksin Td ini sejalan dengan rekomendasi dari Komite Ahli Penasehat

Imunisasi Nasional atau Indonesia Technical Advisory Group on

Immunization. Hal ini disebabkan adanya perubahan trend kasus infeksi

difteri pada usia anak sekolah dan remaja.5

Pemberian imunisasi bagi para anak usia SD atau sederajat (MI/SDLB) ini

merupakan komitmen pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan dalam

upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Selain itu, berdasarkan

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1059/MENKES/SK/IX/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi

bahwa imunisasi sebagai salah satu upaya preventif untuk mencegah penyakit

melalui pemberian kekebalan tubuh harus dilaksanakan secara terus menerus,

menyeluruh, dan dilaksanakan sesuai standar sehingga mampu memberikan

perlindungan kesehatan dan memutus mata rantai penularan.

4. Kebijakan dan Sasaran

A. Kebijakan

Kebijakan dari program ini antara lain:

14
a) Penyelenggaraan imunisasi anak sekolah dilaksanakan secara terpadu

lintas program & Lintas sektor dalam hal tenaga, sarana & dana mulai

dari tingkat Pusat sampai tingkat Daerah.

b) Imunisasi anak sekolah dilaksanakan satu kali setahun pada setiap

bulan November, dimulai pada tahun 1998. Pada tahun 2001 di bln

Oktober, dilakukan lintar sektor yang tergabung alam TIM Koordinasi

BIAS bersama dengan masyarakat.

c) Sarana yg berupa vaksin dipenuhi dari Departemen Kesehatan dan

Kesejahteraan Sosial RI sedangkan peralatan imunisasi diupayakan

baik dari Pusat, Dinas/Instansi Tehnis tingkat Provinsi & Kab/Kota.

d) Dukungan sumber daya / dana melalui APBN, APBD Provinsi, APBD

Kab / Kota dan swadaya oleh sekolah.

B. Strategi

Strategi yang dilakukan antara lain:

a) Imunisasi anak sekolah mengikuti jadwal baru yg telah ditetapkan

dengan maksud untuk meninggikan tingkat imunitas yang sudah ada

dan memberikan perlindungan jangka panjang.

b) BIAS dilaksanakan secara bertahap :

- Th 1998 s/d 2000 : Imunisasi Difteri Tetanus (DT) satu kali pada

anak kelas- I dan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) satu kali pada

anak kelas- II,Kelas- III, kelas -IV,kelas -V dan kelas -VI.

- Tahun 2001 dan seterusnya diberikan imunisasi DT satu kali pada

anak kelas- I dan TT satu kali pd anak kelas- II dan kelas III saja.

15
c) Mobilisasi sosial kepada sasaran dengan memberikan penjelasan

tentang pentingnya BIAS, terutama kepada orang tua murid yang ikut

dalam mendukung keberhasilan BIAS.

d) Pelayanan terbaik sesuai sasaran, termasuk penanganan cepat & tepat

terhadap kasus yg mungkin terjadi KIPI

e) Memberikan pelatihan petugas sehingga yang bsangkutan dapat

melaksanakan tugas secara benar sesuai standar pelayanan kesehatan

yang berlaku.

5. Sasaran

Sasaran dari program BIAS adalah:

A. Semua anak sekolah kelas-I sampai kelas-III di semua Sekolah Dasar

(SD), Ibtidaiyah (MI), Sekolah dasar luar biasa (SDLB) dan Sekolah Luar

Biasa (SLB) dan baik negeri maupun swasta.

 Sasaran imunisasi DT adalah semua anak kelas-I

 Sasaran imunisasi TT adalah semua anak kelas II dan III.

2. Data dasar awal BIAS per Kab / Kota ( menurut hasil pendataan sasaran

BIAS tahun 2000).

6. Substansi BIAS

A. Vaksin Difteri

Anti-toksin difteria pertama kali digunakan pada tahun 1891 dan

mulai dibuat secara massal tahun 1892. Anti-toksin difteria ini terutama

digunakan sebagai pengobatan dan efektifitasnya sebagai pencegahan

16
diragukan. Pemberian anti-toksin dini sangat mempengaruhi angka

kematian akibat difteria. Kemudian dikembangkanlah toksoid difteria yang

ternyata efektif dalam pencegahan timbulnya difteria. Untuk imunisasi

primer terhadap difteria digunakan toksoid difteria yang kemudian

digabung dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis dalam bentuk vaksin

DTP.6,7

Untuk imunisasi rutin anak dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia

2, 4, 6, 15-18 bulan dan saat masuk sekolah. Beberapa penelitian serologis

membuktikan adanya penurunan kekebalan sesudah kurun waktu tertentu

dan perlunya penguatan (booster) pada masa anak.8,9

Difteri adalah salah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh

bakteri Corynebacterium diptheriae. Penyakit ini diperkenalkan pertama

kali oleh Hipokrates pada abad ke 5 SM dan epidemi pertama dikenal pada

abad ke-6 oleh Aetius. Bakteri tersebut pertama kali diisolasi dari

pseudomembran pasien penderita difteria pada tahun 1883 oleh Klebs,

sedangkan anti-toksin ditemukan pertama kali dibuat pada akhir abad ke-

19 sedangkan toksoid difteria mulai dibuat sekitar tahun 1920. Cara

penularan terjadi apabila terdapat kontak langsung dengan penderita difteri

atau dengan pasien carrier difteri. Kontak langsung melalui percikan ludah

(saat batuk, bersin dan berbicara), eksudat dari kulit yang terinfeksi atau

kontak tidak langsung melalui debu, baju, buku maupun mainan yang

terkontaminasi.10

Gambaran klinis, masa inkubasi difteri umumnya 2-5 hari pada

difteri kulit masa inkubasi adalah 7 hari setelah infeksi primer pada kulit.

17
Pasien akan mengalami gejala seperti demam dan terkadang menggigil,

kerongkongan sakit dan suara parau, perasaan tidak enak, mual, muntah,

sakit kepala, hidung berlendir kadang-kadang bercampur darah, serta dapat

teraba adanya benjolan dan bengkak pada daerah leher (bullneck).11

B. Vaksin Tetanus

Pembuktian bahwa toksin tetanus dapat dinetralkan oleh suatu zat

dilakukan oleh Kitasatol (1889) dan Nocard (1897) yang menunjukkan

efek dari transfer pasif suatu anti-toksin yang kemudian diikuti oleh

imunisasi pasif selama perang dunia I. Toksoid tetanus kemudian

ditemukan oleh Descombey pada tahun 1924 dan efektifitas imunisasi

aktif didemonstrasikan pada perang dunia II. 12

Toksoid tetanus yang dibutuhkan untuk imunisasi adalah sebesar

40 IU dalam setiap dosis tunggal dan 60 IU bersama dengan toksoid

difteria dan vaksin pertusis. Pemberian toksoid tetanus memerlukan

pemberian berkesinambungan untuk menimbulkan dan mempertahankan

imunitas. Tidak diperlukan pengulangan dosis bila jadwal pemberian

ternyata terlambat. Efektifitas vaksin ini cukup baik, ibu yang

mendapatkan toksoid tetanus 2 atau 3 dosis memberikan proteksi bagi bayi

baru lahir terhadap tetanus neonatal.13,14

Tetanus (lockjaw/kejang otot pada rahang dan wajah) adalah salah

satu penyakit menular yang disebabkan oleh tetanospasmin sejenis

neurotoksin yang diproduksi oleh bakteri Clostridium tetani. Penyakit ini

sudah mulai dikenal sejak abad ke-5 SM tetapi baru pada tahun 1884

18
dibuktikan secara eksperimental melalui penyuntikan pus pasien tetanus

pada seekor kucing oleh Carle dan Rattone.15

Clostridium tetani adalah bakteri yang sensitif terhadap suhu panas

dan tidak bisa hidup dalam lingkungan beroksigen. Sebaliknya, spora

tetanus sangat tahan panas dan kebal terhadap beberapa antiseptik. Bakteri

ini banyak terdapat pada kotoran, debu jalan, usus dan tinja kuda, domba,

anjing serta kucing.

Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka sehingga

mampu menginfeksi sistem urat saraf dan otot menjadi kaku (rigid). Gejala

utama penyakit ini timbul kontraksi dan spastisitas otot yang tidak

terkontrol, kejang, gangguan saraf otonom, dan rigid paralysis (kehilangan

kemampuan untuk bergerak). Perawatan luka merupakan pencegahan

utama terjadinya tetanus di samping imunisasi pasif dan aktif.

C. Vaksin DT (Difteri Tetanus) dan Td (Tetanus difteri)

Vaksin DT diberikan kepada anak kelas satu SD atau sederajat

(MI/SDLB) dan vaksin Td diberikan pada anak kelas dua dan tiga SD atau

sederajat (MI/SDLB). Pemberian imunisasi ini akan melengkapi status

TT 5 (TT lima dosis) yang dapat melindungi dirinya selama 25 tahun

terhadap infeksi tetanus. Apabila kelak seorang anak perempuan hamil

maka bayi yang akan dilahirkan akan terlindungi dari infeksi tetanus

neonatorum (tetanus pada bayi baru lahir).16,17

D. Vaksin Campak

Vaksin Campak diberikan pada anak kelas satu SD atau sederajat

(MI/SDLB), pemberian vaksin ini merupakan imunisasi ulang atau booster

19
untuk meningkatkan kekebalan tubuh sehingga dapat memutuskan mata

rantai penularan terhadap penyakit campak.18

Penyakit Campak (measles) adalah salah satu penyakit menular

yang disebabkan oleh virus paramiksovirus Gejala dari penyakit ini

ditandai dengan demam, batuk, konjungtivitis (peradangan selaput ikat

mata/konjungtiva) dan ruam kulit. Penyakit ini penularan infeksi karena

menghirup percikan ludah penderita campak. Penderita bisa menularkan

infeksi ini dalam waktu 2-4 hari sebelum rimbulnya ruam kulit dan 4 hari

setelah ruam kulit ada.19,20

7. Pelaksanaan BIAS

Setiap tahun BIAS dilaksanakan pada bulan Agustus untuk Campak dan

pada bulan November untuk DT (kelas I) dan Td (kelas II dan III). Pelayanan

imunisasi di sekolah dikoordinir oleh tim pembina UKS. Peran guru menjadi

sangat strategis dalam memotivasi murid dan orangtuanya. Ketidak hadiran

murid pada saat pelayanan imunisasi akan merugikan murid itu sendiri dan

lingkungannya karena peluang untuk memperoleh kekebalan melalui

imunisasi tidak dimanfaatkan.

Imunisasi anak sekolah Pemberian imunisasi Dosis

Kelas I DT 0.5 cc

Campak 0.5 cc

Kelas II TT 0.5 cc

Kelas III TT 0.5 cc

Tabel 1. Jadwal Pemberian Imunisasi Pada Anak Sekolah

20
Pemberian imunisasi pada anak sekolah bertujuan sebagai investasi bagi

pembangunan sumber daya manusia yang produktif, meningkatkan

kemampuan hidup sehat bagi peserta didik dalam lingkungan hidup sehat

sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh dan berkembang secara

harmonis dan optimal menjadi sumber daya manusia yang lebih berkualitas.

Pelaksanaan BIAS merupakan keterpaduan lintas program dan lintas sektor

terkait sebagai salah satu upaya mengurangi angka morbiditas dan mortalitas.

Diselenggarakan melalui wadah yang sudah ada yaitu Tim Pembina Usaha

Kesehatan Sekolah (TP UKS), dimana imunisasi merupakan salah satu

komponen kegiatan UKS.

Upaya imunisasi perlu terus ditingkatkan untuk mencapai tingkat

population immunity (kekebalan masyarakat) yang tinggi sehingga dapat

memutuskan rantai penularan PD3I. Dengan berbagai kemajuan pada bidang

ilmu pengetahuan dan teknologi, upaya imunisasi menjadi semakin efektif

dan efisien dengan harapan dapat memberikan langkah nyata bagi

kesejahteraan anak, ibu, serta masyarakat secara umum.

8. Faktor penghambat

Pelaksanaan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) berdasarkan

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 482/

MENKES/SK/VI/2010 tentang Gerakan Imunisasi Nasional yaitu

konsekuensi dari penerapan desentralisasi yang belum berjalan semestinya,

kurangnya dana operasional imunisasi rutin di kabupaten atau kota,

banyaknya pemekaran daerah yang tidak didukung oleh tersedianya sarana

21
dan prasarana, kurangnya koordinasi lintas sektor (unit pelanyanan kesehatan

swasta) terutama mengenai pencatatan dan pelaporan, masih adanya

keterlambatan dalam pendistribusian vaksin, kekurangan jumlah,kualitas, dan

distribusi SDM dan kurangnya informasi yang lengkap dan akurat tentang

pentingnya imunisasi.

Pada tahun 2002 sebanyak 777.000 di antaranya 202.000 berasal dari

Negara ASEAN, dan 15% dari kematian campak tersebut berasal dari

Indonesia. Diperkirakan 30.000 anak Indonesia meninggal tiap tahunnya

disebabkan komplikasi campak, artinya 1 anak meninggal tiap 20 menit

karena setiap tahunnya lebih dari 1 juta anak Indonesia belum terimunisasi

campak.

Pada pelaksanaan BIAS di sekolah dasar beberapa anak ada yang ijin

keluar kota, sakit, menolak dengan alasan takut anaknya sakit dan menolak

dengan alasan sudah di imunisasi oleh dokter dengan membawa surat

keterangan dari dokter. Contohnya yang terjadi di Kota Tegal. Namun

menurut keterangan petugas kesehatan yang melaksanakan kegiatan progam

Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) surat keterangan yang dibawa oleh

orangtua anak adalah surat keterangan dari dokter luar wilayah kota Tegal

bahkan ada yang membawa surat keterangan dari dokter Spesialis kulit

kelamin yang masih diragukan kebenarannya. Setelah 1 minggu dari

pelaksanaan kegiatan progam Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS)

dilakukan sweeping atau penyisiran terhadap anak yang belum mendapatkan

imunisasi campak di wilayah puskesmas Tegal Barat, namun masih ada yang

menolak untuk di imunisasi.

22
9. Evaluasi

Evaluasi pelaksanaan BIAS dilakukan setelah rekapitulasi dan analisa

laporan Kabupaten/Kota. Berikut adalah tolak ukur keberhasilan BIAS:

A. Cakupan imunisasi DT Kelas 1

Jml siswakelas-I yg mdpt 1 dosis DT X 100%


Jml sasaran anak sekolah kelas –I

B. Cakupan imunisasi TT Kelas 2

Jml siswa kelas II yg mdpt TT X 100%


Jml sasaran anak sekolah kelas-II

C. Cakupan imunisasi TT Kelas 3

Jml siswa kelas III yg mdpt TT X 100%


Jml sasaran anak sekolah kelas-III

D. Cakupan imunisasi TT Kelas 2 dan 3

Jml siswa kelas II s/d III yang mendapat TT X 100%


Jml sasaran anak sekolah kelas-II s/d III

E. Cakupan anak sekolah yang di imunisasi

Jml siswa kelas I s/d III yg dpt imunisasi X 100%


Jml sasaran slrh siswa kelas I s/d III

23
BAB III
PENUTUP

Penyakit menular tidak mengenal batas wilayah administrasi, sehingga

menyulitkan pemberantasannya. Dengan tersedianya vaksin yang dapat mencegah

penyakit menular tertentu, maka tindakan pencegahan berpindahnya penyakit dari

satu daerah atau negara ke negara lain dapat dilakukan dalam waktu relatif singkat

dengan hasil yang efektif. Imunisasi merupakan upaya prioritas yang dapat

dipilih, mengingat bahwa imunisasi merupakan upaya yang paling cost effective

dan diperlukan oleh semua daerah. Untuk mengimplementasikan visi tersebut,

maka kegiatan yang dapat dilaksanakan adalah melakukan pemberian imunisasi

pada anak yang lebih tua yaitu dengan program BIAS. Diharapkan program ini

dapat terus meningkatkan derajat kesehatan anak usia sekolah sebagai tujuan

umum dan meningkatkan imunitas terhadap anak usia sekolah, adanya

perlindungan anak terhadap penyakit tetanus, difteri, dan campak serta

mempercepat eliminasi tetanus sebagai tujuan khusus.

Upaya imunisasi perlu terus ditingkatkan untuk mencapai

tingkat population imunity (kekebalan masyarakat) yang tinggi sehingga dapat

memutuskan rantai penularan PD3I. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan

tehnologi, upaya imunisasi dapat semakin efektif dan efisien dengan harapan

dapat memberikan sumbangan yang nyata bagi kesejahteraan anak, ibu serta

masyarakat lainnya.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. S Susanti. Pelaksanaan program bulan imunisasi anak sekolah pada anak

sekolah dasar untuk memenuhi hak asasi anak dalam memperoleh

perlindungan penyakit campak di wilayah Puskesmas Tegal Barat Kota

Tegal. [Thesis] Semarang: Universitas Soegijapranata; 2016.

2. Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

1059/MENKES/SK/IX/2004 tentang pedoman penyelenggaraan imunisasi.

Jakarta: 2005.

3. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB. Pedoman

Imunisasi di Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan

Dokter Anak Indonesia; 2008.

4. Munthe AR, Kusnanto H, Hasanbasri M. Pelatihan seperti apa yang dapat

mendukung implementasi kebijakan: perspektif peserta – evaluasi training

manajer mid level untuk imunisasi di kota banda Aceh. Jurnal kebijakan

kesehatan Indonesia. 2013; 2(1): 1-3.

5. Sari DP. Status imunitas terhadap tetanus pada anak kelas I SD di

beberapa Sekolah Dasar di Palembang tahun 2008 [tesis]. Palembang:

Program Pasca Sarjana Universitas Sriwijaya; 2009

6. Hadinegoro SRS, Ismoedijanto, Tumbelaka AR. Difteria, Tetanus,

Pertusis. Dalam: Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita

CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko, penyunting. Pedoman Imunisasi di

Indonesia. Edisi 4. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak

Indonesia, 2014. h. 271-83.

25
7. World Health Organization. Diphtheria vaccine: position paper. Wkly

Epidemiol Rec 2006;81:24-32.

8. Rusmil K, Gunardi H, Fadlyana E, Soedjatmiko, Dhamayanti M, Sekartini

R, dkk. The immunogenicity, safety, and consistency of an Indonesia

combined DTP-HB-Hib vaccine in expanded program on immunization

schedule. BMC Pediatrics 2015;15:219.

9. Wirsing von Konig CH, Campins-Marti M, Finn A, Guiso N, Mertsola J,

Liese J. Pertussis immunization in the global pertussis initiative European

region: recommended strategies and implementation considerations.

Pediatr Inf Dis J 2005;24(5 Suppl):S87-92.

10. Skogen V, Jenum PA, Danilova E, Koroleva VN, Halvorsen DS, Sjursen

H. Immunity to diphtheria among children in Northern Norway and North-

Western Russia. Vaccine 2001;19:197-203.

11. Y Iriani, Kaharuba CF, Sari DP, Azhar MB, Tjuandra W, Anwar Z. Kadar

immunoglobulin G-Difteri dan tetanus pada anak sekolah dasar kelas satu.

Sari Pediatri. 2012; 14(1): 46-51.

12. Blencowe H, Cousens S, Mullany LC, Lee AC, Kerber K, Wall S, et al.

Clean birth and postnatal care practices to reduce neonatal deaths from

sepsis and tetanus: a systematic review and Delphi estimation of mortality

effect. BMC Public Health. 2011 Apr 13. 11 Suppl 3:S11.

13. Centers for Disease Control and Prevention. Recommended Immunization

Schedule for Children and Adolescents Aged 18 Years or Younger, United

States, 2017. [ Cited 12 Juni 2019]. Available from :

www.cdc.gov/vaccines/hcp/acip-recs/index

26
14. World Health Organization. WHO Technical Note: Current

recommendations for treatment of tetanus during humanitarian

emergencies. January 2010.

15. Lin TS, Chen LK, Lin TY, Wen SH, Chen MC, Jan RH. Autonomic

dysfunction because of severe tetanus in an unvaccinated child. Pediatr

Neonatol. 2011 Jun. 52(3):169

16. Dinelli MIS, Fisberg M, Moraes-Pinto MI. Tetanus and diphtheria

immunity in adolescents from Sao Paulo, Brazil. Braz J Med Biol Resp

2007;40:259-63.

17. Prijanto M, Handajani S, Parwati D, Siburian F, Sumarno, Wurjani HS.

Status kekebalan terhadap difteria dan tetanus pada anak usia 4-5 tahun

dan siswa SD kelas VI. Cermin Dunia Kedokteran 2002;134:24-6.

18. Centers for Disease Control and Prevention. Measles—United States,

January–May 20, 2011. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2011 May

24;60:1-4

19. Lowes R. Three-Fold Increase in Measles Warrants Vigilance, CDC Says.

Medscape Medical News. [ Cited 12 Juni 2019]. Available

from http://www.medscape.com/viewarticle/815514.

20. Gastañaduy PA, Budd J, Fisher N, Redd SB, Fletcher J, Miller J, et al. A

Measles Outbreak in an Underimmunized Amish Community in Ohio. N

Engl J Med. 2016 Oct 6. 375 (14):1343-1354.

27
1
S Susanti. Pelaksanaan program bulan imunisasi anak sekolah pada anak sekolah dasar untuk
memenuhi hak asasi anak dalam memperoleh perlindungan penyakit campak di wilayah
puskesmas tegal barat kota tegal.
2
Pedoman
3
1. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, penyunting.

Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Satgas Imunisasi

Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.

4
Munthe AR, Kusnanto H, Hasanbasri M. Pelatihan seperti apa yang dapat mendukung
implementasi kebijakan: perspektif peserta – evaluasi training manajer mid level untuk imunisasi
di kota banda Aceh. Jurnal kebijakan kesehatan Indonesia. 2013; 2(1): 1-3.
5
Sari DP. Status imunitas terhadap tetanus pada anak kelas I SD di beberapa Sekolah Dasar di
Palembang tahun 2008 [tesis]. Palembang: Program Pasca Sarjana Universitas Sriwijaya; 2009
6
Hadinegoro SRS, Ismoedijanto, Tumbelaka AR. Difteria, Tetanus, Pertusis. Dalam: Ranuh IGN,
Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko, penyunting. Pedoman
Imunisasi di Indonesia. Edisi 4. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2014. h.
271-83.
7
World Health Organization. Diphtheria vaccine: position paper. Wkly Epidemiol Rec 2006;81:24-
32.
8
Rusmil K, Gunardi H, Fadlyana E, Soedjatmiko, Dhamayanti M, Sekartini R, dkk. The
immunogenicity, safety, and consistency of an Indonesia combined DTP-HB-Hib vaccine in
expanded program on immunization schedule. BMC Pediatrics 2015;15:219.
9
Wirsing von Konig CH, Campins-Marti M, Finn A, Guiso N, Mertsola J, Liese J. Pertussis
immunization in the global pertussis initiative European region: recommended strategies and
implementation considerations. Pediatr Inf Dis J 2005;24(5 Suppl):S87-92.

10
Skogen V, Jenum PA, Danilova E, Koroleva VN, Halvorsen DS, Sjursen H. Immunity to diphtheria
among children in Northern Norway and North-Western Russia. Vaccine 2001;19:197-203.
11
Y Iriani, Kaharuba CF, Sari DP, Azhar MB, Tjuandra W, Anwar Z. Kadar immunoglobulin G-
Difteri dan tetanus pada anak sekolah dasar kelas satu. Sari Pediatri. 2012; 14(1): 46-51.
Blencowe H, Cousens S, Mullany LC, Lee AC, Kerber K, Wall S,
12

et al. Clean birth and postnatal care practices to reduce neonatal


deaths from sepsis and tetanus: a systematic review and Delphi
estimation of mortality effect. BMC Public Health. 2011 Apr 13. 11
Suppl 3:S11.
13
Centers for Disease Control and Prevention. Recommended Immunization Schedule for
Children and Adolescents Aged 18 Years or Younger, United States, 2017. Diakses 28 Januari
2017. Diunduh dari: www.cdc.gov/vaccines/hcp/acip-recs/index. html.
14
World Health Organization. WHO Technical Note: Current
recommendations for treatment of tetanus during humanitarian
emergencies. January 2010.
15
Lin TS, Chen LK, Lin TY, Wen SH, Chen MC, Jan RH.
Autonomic dysfunction because of severe tetanus in an
unvaccinated child. Pediatr Neonatol. 2011 Jun. 52(3):169-71
16
Dinelli MIS, Fisberg M, Moraes-Pinto MI. Tetanus and diphtheria immunity in adolescents from
Sao Paulo, Brazil. Braz J Med Biol Resp 2007;40:259-63.

28
17
Prijanto M, Handajani S, Parwati D, Siburian F, Sumarno, Wurjani HS. Status kekebalan
terhadap difteria dan tetanus pada anak usia 4-5 tahun dan siswa SD kelas VI. Cermin Dunia
Kedokteran 2002;134:24-6.
18
Centers for Disease Control and Prevention. Measles—United
States, January–May 20, 2011. MMWR Morb Mortal Wkly Rep.
2011 May 24;60:1-4
19
Lowes R. Three-Fold Increase in Measles Warrants Vigilance,
CDC Says. Medscape Medical News. Available
at http://www.medscape.com/viewarticle/815514. Accessed: 12
Juni 2019

Gastañaduy PA, Budd J, Fisher N, Redd SB, Fletcher J, Miller J,


20

et al. A Measles Outbreak in an Underimmunized Amish


Community in Ohio. N Engl J Med. 2016 Oct 6. 375 (14):1343-
1354.

29

Anda mungkin juga menyukai